8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Adopsi 2.1.1
Pengertian adopsi
Pengertian adopsi dalam proses penyuluhan menurut Departemen Kehutanan (1996) dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective), maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar
“tahu”,
tetapi
sampai
benar-benar
dapat
melaksanakan
atau
menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam kehidupan dan usahataninya. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling baik. Keputusan inovasi merupakan proses mental, sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai mengambil keputusan untuk menerima atau menolaknya kemudian mengukuhkannya. Keputusan inovasi merupakan suatu tipe pengambilan keputusan yang khas (Suprapto dan Fahrianoor, 2004). Diartikan oleh Mardikanto dan Sutarni (1982) mengartikan adopsi sebagai penerapan atau penggunaan sesuatu ide, alat-alat atau teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi (lewat penyuluhan). Manifestasi dari bentuk adopsi ini dapat dilihat atau diamati berupa tingkah laku, metoda, maupun peralatan dan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan komunikasinya.
8
9
Disebutkan oleh Samsudin (1982), adopsi adalah suatu proses yang dimulai dari keluarnya ide-ide dari satu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai diterimanya ide tersebut oleh masyarakat sebagai pihak kedua. Seseorang menerima suatu hal atau ide baru selalu melalui tahapan-tahapan. Tahapan ini dikenal sebagai tahap proses adopsi. Rogers (1983) berpendapat, proses pengambilan keputusan inovasi adalah proses dimana seseorang berlalu dari pengetahuan pertama mengenai suatu inovasi dengan membentuk suatu sikap terhadap inovasi, sampai memutuskan untuk menolak atau menerima, melaksanakan ide-ide baru dan mengukuhkan terhadap keputusan inovasi. Jadi, Adopsi merupakan suatu proses perubahan penerapan atau penggunaan ide-ide atau teknologi baru pada diri seseorang setelah menerima “inovasi” yang disampaikan oleh Penyuluh. Dinyatakan oleh Rogers (1983) bahwa perubahan seseorang untuk mengadopsi suatu perilaku yang baru tersebut terjadi dalam beberapa tahapan sebagai berikut: 1) Tahap kesadaran (awareness), dalam hal ini Petani mulai sadar tentang adanya sesuatu yang baru, mulai terbuka akan perkembangan dunia luarnya, sadar apa yang sudah ada dan apa yang belum. 2) Tahap minat (Interest), Tahap ini ditandai oleh adanya kegiatan mencari keterangan-keterangan tentang hal-hal yang baru diketahuinya. 3) Tahap penilaian (Evaluation), Setelah keterangan yang diperlukan diperoleh, mulai
timbul
rasa
menimbang-nimbang
untuk
kemungkinan
melaksanakannya sendiri. 4) Tahap mencoba (Trial). Jika keterangan sudah lengkap, minat untuk meniru
9
10
besar, dan jika ternyata hasil penilaiannya positif, maka dimulai usaha mencoba hal baru yang sudah diketahuinya. 5) Tahap adopsi (Adoption). Petani sudah mulai mempraktekkan hal-hal baru dengan keyakinan akan berhasil. Dari tahapan yang telah disebutkan di atas nampaknya terdapat kelemahan dimana proses adopsi tidak berhenti setelah suatu inovasi diterima atau ditolak. Kondisi ini akan berubah lagi sebagai akibat dari pengaruh lingkungan penerima adopsi. Oleh sebab itu, direvisi kembali oleh Rogers (1983) teorinya tentang inovasi
yaituknowledge
(pengetahuan),
persuation
(persuasi),
decision
(keputusan), implementation (pelaksanaan), dan confirmation (konfirmasi). 1. Pengetahuan Seseorang
mengetahui
adanya
inovasi
dan
memperoleh
beberapapengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. Ditambahkan oleh Mardikanto dan Sutarni (1982) bahwa pada tahap ini, komunikan menerima inovasi dari mendengar dari teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru (penyuluh) yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal inovasi tersebut. Menurut Rogers, tiga jenis pengetahuan (knowledge) sebagai berikut. 1) Pengetahuan akan keberadaan inovasi (Awareness-knowledge) Merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut. Kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan
10
11
inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi. 2) Pengetahuan tentang cara menggunakan inovasi (How-to-knowledge) Merupakan pengetahuan tentang cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini. 3) Pengetahuan tentang prinsip-prinsip mendasari bagaimana dan mengapa inovasi dapat bekerja (Principles-knowledge) Merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan.
2. Persuasi Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers
11
12
menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan), sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan
pada
fungsi-fungsi
inovasi
dan
dukungan
sosial
akan
mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi.
3. Keputusan Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpanya pada keberadaan suatu individu, maka inovasi akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berpikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berpikir untuk mengadopsi.
4. Implementasi Pada tahap implementasi sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah
inovasi
membawa
sesuatu
12
yang
baru
apabila
tingkat
13
ketidakpastiannya akan terlibat dalam adopsi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya.
5. Konfirmasi Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka si pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi, kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung memperkuat keputusan tersebut. Tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih kursial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. Ketidak-berlanjutan adalah suatu keputusan menolak sebuah inovasi setelah sebelumnya mengadopsinya. Ketidak-berlanjutan ini dapat terjadi selama tahap ini dan terjadi pada dua cara sebagai berikut. 1) Penolakan individu terhadap sebuah inovasi mencari inovasi lainnya yang akan menggantikannya. Keputusan jenis ini dinamakan replacement discontinuance. 2) Disenchanment discontinuance, dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut.
13
14
2.1.2
Faktor-faktor yang mendukungkecepatan adopsi
Dinyatakan oleh Mardikanto (1993) bahwa kecepatan adopsi dipengaruhi oleh banyak faktor, berikut ini. 1.
Sifat Inovasi Sifat inovasinya sendiri, baik intrinsik (yang melekat pada inovasinya
sendiri)
maupun
sifat
ekstrinsik
(menurut/dipengaruhi
oleh
keadaan
lingkungannya. Sifat-sifat instrinsik inovasi itu mencakup berikut ini. 1) Informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, 2) Nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan politis) yang melekat pada inovasinya, 3) Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi, 4) Mudah/tidaknya dikomunikasikan inovasi, 5) Mudah/tidaknya inovasi tersebut dicoba (trial-ability), 6) Mudah/tidaknya inovasi tersebut diamati (observability). Sedangkan sifat ekstrinsik inovasi meliputi sebagai berikut. 1) Kesesuaian (compatibilty) inovasi dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomi masyarakatnya). 2) Tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/digantikannya, baik keunggulan teknis, ekonomis
14
15
(besarnya biaya), manfaat non ekonomi, maupun dampak sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya (relative advantage). 2. Sifat sasarannya Dilihat dari karakteristik sasarannya, dikemukakan oleh Rogers and Shoemaker (1971)bahwa dalam setiap kelompok masyarakat terbagi menjadi 5 (lima) kelompok individu berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi sebagai berikut. 1) Kelompok perintis (innovator) Pelopor/ orang-orang yang pertama dalam suatu wilayah tertentu yang paling cepat mengadopsi suatu inovasi, memiliki rasa ingin tahu tinggi/curiousity, cenderung indualis. 2) Kelompok pelopor (early adopter), Orang yang cukup aktif dalam pembangunan desa, umur relatif muda, pendidikan cukup tinggi, status sosial agak tinggi dan disegani oleh anggota masyarakat. 3) Kelompok penganut dini (early mayority), Golongan yang mudah terpengaruh bila hal baru telah disadari dan diyakini keunggulannya. 4) Kelompok penganut lambat (late mayorty), Orang yang lambat menerima inovasi, kedudukan ekonominya rendah, dan kurang bersemangat dalam usahataninya. 5) Kelompok orang-orang kolot/naluri (laggard) Kaum kolot/penolak, usia tua, statis dan pasif terhadap perubahan, dan kurang rasional.
15
16
3. Cara pengambilan keputusan Terlepas dari ragam karakteristik individu dan masyarakat, cara pengambilan keputusan yang dilakukan untuk mengadopsi sesuatu inovasi juga akan mempengaruhi kecepatan adopsi. Tentang hal ini, jika keputusan adopsi dapat dilakukan secara pribadi relatif lebih cepat dibandingkan pengambilan keputusan berdasarkankeputusan bersama warga masyarakat yang lain, apalagi jika
harus
menunggu
peraturan-peraturan
tertentu
seperti:
rekomendasi
pemerintah. 4.
Saluran komunikasi yang digunakan Inovasi dapat dengan mudah dan jelas dapat disampaikan lewat media
masa, atau sebaliknya jika kelompok sasarannya dapatdengan mudah menerima inovasi yang disampaikan melalui media masa, maka proses adopsi akan berlangsung relatif lebih cepat dibandingkan dengan inovasi yang harus disampaikan lewat media antar pribadi. 5.
Keadaan penyuluh Kecepatan adopsi ditentukan oleh aktivitas yang dilakukan oleh penyuluh,
khususnya tentang upaya yang dilakukan penyuluh untuk “mempromosikan” inovasinya. Semakin rajin penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi semakin cepat pula. 6.
Ragam sumber informasi Kecepatan adopsi inovasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
sasaran penyuluhan pada tiap tahapan adopsi sangat dipengaruhi oleh ragam sumber informasi yang menyampaikannya. Dikemukakan oleh Lionberger dalam Mardikanto (1993) beberapa faktor
16
17
yang mempengaruhi kecepatan mengadopsi inovasi ditinjau dari ragam golongan masyarakat yang meliputi: (a) luas usahatani, (b) tingkat pendapatan, (c) keberanian mengambil resiko, (d) umur, (e) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri, (f) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, (g) sumber informasi yang dimanfaatkan.
2.2 Inovasi
Inovasi didefinisikan sebagai suatu ide, praktek atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Didefinisikan oleh Thompson dan eveland, 1967(dalam Mardikanto 1993) bahwa inovasi sama dengan teknologi yaitu suatu desain yang digunakan untuk tindakan intrumental dalam rangka mengurangi ketidakteraturan suatu hubungan sebab akibat dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi, inovasi dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu. Dinyatakan oleh Rogers (1983) bahwa inovasi adalah “an idea, pratice, or object perceived as new by the individual.” (suatu gagasan, praktek, atau benda yang dianggap/dirasa baru oleh individu). Kata perceived menjadi kata yang penting karena suatu ide, praktek atau benda lain akan dianggap sebagai inovasi bagi sebagian orang tetapi bagi sebagian lainnya tidak, tergantung apa yang dirasakan oleh individu terhadap ide, praktek atau benda tersebut. 1.
Karakteristik Inovasi Dijelaskan oleh Roger (1983), karakteristik inovasi dibagi menjadi lima
karakteristik sebagai berikut.
17
18
1) Keunggulan relatif (relative advantage) Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/ unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi ekonomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi. 2) Kompatibilitas (compatibility) Kompatibilitas adalah derajat dimana suatu inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible) 3) Kerumitan (Complexity) Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. 4) Kemampuan diuji cobakan (trialability) Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam tempat sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukkan keunggulannya. 5) Kemampuan diamati (abservability)
18
19
Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji-cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.
2. Jenis-jenis Inovasi Dikemukakan oleh Rogers (1983) Inovasi terdiri atas empat jenis dibawah ini. 1) Penemuan yaitu kreasi suatu produk, jasa, atau proses baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Konsep ini cenderung disebut revolisioner. Contoh: Penemuan pesawat terbang oleh wright. 2) Pengembangan yaitu pengembangan suatu produk, jasa, atau proses yang sudah ada. Konsep seperti ini menjadi aplikasi ide yang telah ada berbeda. Misalnya pengembangan Mcd oleh Ray Kroc. 3) Duplikasi yaitu peniruan suatu produk, jasa, atau proses yang telah ada. Meskipun duplikasi bukan semata meniru melainkan menambah sentuhan kreatif untuk memperbaiki konsep agar lebih mampu memenangkan persaingan. Misalnya duplikasi perawatan gigi oleh Dentaland. 4) Sintesis yaitu perpaduan konsep dan faktor-faktor yang sudah ada menjadi formulasi baru. Proses ini meliputi pengambilan sejumlah ide atau produk
19
20
yang sudah ditemukan dan dibentuk sehingga menjadi produk yang dapat diaplikasikan dengan cara baru. Misalnya sintesis pada arloji oleh casio.
3. Proses Keputusan Inovasi Digambarkan oleh Rogers (1983) proses keputusan inovasi sebagai kegiatan individu untuk mencari dan memproses informasi tentang suatu inovasi sehingga dia termotivasi untuk mencari tahu tentang keuntungan atau kerugian dari inovasi tersebut yang pada akhirnya akan memutuskan apakah dia akan mengadopsi inovasi tersebut atau tidak. Dinyatakan oleh Rogers (1983) proses keputusan inovasi memiliki lima tahap berikut ini. 1) Tahap pengetahuan (Knowledge stage) Seseorang
mengetahui
adanya
inovasi
dan
memperoleh
beberapapengertian tentang bagaimana inovasi itu berfungsi. Ditambahkan oleh Mardikanto dan Sri Sutarni (1982) bahwa pada tahap ini, komunikan menerima inovasi dari mendengar dari teman, beberapa media massa, atau dari agen pembaru (penyuluh) yang menumbuhkan minatnya untuk lebih mengetahui hal ikhwal inovasi tersebut. Dikemukakan oleh Rogers, tiga jenis pengetahuan (knowledge) sebagai berikut. a. Pengetahuan akan keberadaan inovasi (Awareness-knowledge) Merupakan pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan ini akan memotivasi individu untuk belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada tahap ini inovasi mencoba diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti tentang produk tersebut.
20
21
Kurangnya informasi tersebut maka masyarakat tidak merasa memerlukan akan inovasi tersebut. Rogers menyatakan bahwa untuk menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui akan keberadaan suatu inovasi. b. Pengetahuan tentang cara menggunakan inovasi (How-to-knowledge) Merupakan pengetahuan tentang bagaimana cara menggunakan suatu inovasi dengan benar. Rogers memandang pengetahuan jenis ini sangat penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki pengetahuan ini dengan memadai berkenaan dengan penggunaan inovasi ini. c. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana dan mengapa inovasi dapat bekerja (Principles-knowledge) Merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat bekerja. Contoh dalam hal ini adalah ide tentang teori kuman, yang mendasari penggunaan vaksinasi dan kakus untuk sanitasi perkampungan dan kampanye kesehatan. 2) Tahap persuasi (persuasion stage) Tahap persuasi terjadi ketika individu memiliki sikap positif atau negatif terhadap inovasi. Tetapi sikap ini tidak secara langsung akan menyebabkan apakah individu tersebut akan menerima atau menolak suatu inovasi. Suatu individu akan membentuk sikap ini setelah dia tahu tentang inovasi, maka tahap ini berlangsung setelah knowledge stage dalam proses keputusan inovasi. Rogers menyatakan bahwa knowledge stage lebih bersifat kognitif (tentang pengetahuan),
21
22
sedangkan persuasion stage bersifat afektif karena menyangkut perasaan individu, karena itu pada tahap ini individu akan terlibat lebih jauh lagi. Tingkat ketidakyakinan
pada
fungsi-fungsi
inovasi
dan
dukungan
sosial
akan
mempengaruhi pendapat dan kepercayaan individu terhadap inovasi. 3) Tahap keputusan (Decision stage) Pada tahapan ini individu membuat keputusan apakah menerima atau menolak suatu inovasi. Menurut Rogers adoption (menerima) berarti bahwa inovasi tersebut akan digunakan secara penuh, sedangkan menolak berarti “not adopt an innovation”. Jika inovasi dapat dicobakan secara parsial, umpanya pada keberadaan suatu individu, maka inovasi akan lebih cepat diterima karena biasanya individu tersebut pertama-tama ingin menerima inovasi tersebut. Walaupun begitu, penolakan inovasi dapat saja terjadi pada setiap proses keputusan inovasi ini. Rogers menyatakan ada dua jenis penolakan, yaitu active rejection dan passive rejection. Active rejection terjadi ketika suatu individu mencoba inovasi dan berpikir akan mengadopsi inovasi tersebut namun pada akhirnya dia menolak inovasi tersebut. Passive rejection individu tersebut sama sekali tidak berpikir untuk mengadopsi. 4) Tahap implementasi (Implementation stage) Pada tahap implementasi sebuah inovasi dicoba untuk dipraktekkan, akan tetapi
sebuah
inovasi
membawa
sesuatu
yang
baru
apabila
tingkat
ketidakpastiannya akan terlibat dalam adopsi. Ketidakpastian dari hasil-hasil inovasi ini masih akan menjadi masalah pada tahapan ini. Maka si pengguna akan
22
23
memerlukan bantuan teknis dari agen perubahan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dari akibatnya. 5) Tahap konfirmasi (confirmation stage) Ketika keputusan inovasi sudah dibuat, maka si pengguna akan mencari dukungan atas keputusannya. Menurut Rogers keputusan ini dapat menjadi terbalik apabila si pengguna ini menyatakan ketidaksetujuan atas pesan-pesan tentang inovasi tersebut. Akan tetapi, kebanyakan cenderung untuk menjauhkan diri dari hal-hal seperti ini dan berusaha mencari pesan-pesan yang mendukung memperkuat keputusan tersebut. Tahap ini, sikap menjadi hal yang lebih kursial. Keberlanjutan penggunaan inovasi ini akan bergantung pada dukungan dan sikap individu. Ketidak-berlanjutan adalah suatu keputusan menolak sebuah inovasi setelah sebelumnya mengadopsinya. Ketidak-berlanjutan ini dapat terjadi selama tahap ini dan terjadi pada dua cara : a. Penolakan individu terhadap sebuah inovasi mencari inovasi lainnya yang akan menggantikannya. Keputusan jenis ini dinamakan replacement discontinuance. b. Disenchanment discontinuance, dalam hal ini individu menolak inovasi tersebut disebabkan ia merasa tidak puas atas hasil dari inovasi tersebut.
2.3 Peran Penyuluh Pertanian
Penyuluh menurut undang-undang No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan kehutanan adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Menurut Rogers (1983) penyuluh sebagai
23
24
agen pengubah adalah seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhan untuk mau dan mampu melakukan perubahan dengan mengadopsi suatu inovasi. Karena itu, seorang penyuluh seperti dikemukakan Mardikanto (1992) haruslah memiliki kualifikasi tertentu, baik yang menyangkut kepribadian, pengetahuan, sikap, dan ketrampilan menyuluh yang profesional. Peran penyuluh tidak hanya sebatas pada fungsi menyampaikan inovasi dan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran penyuluhannya, akan tetapi harus mampu menjadi jembatan penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakili dengan masyarakat sasaran, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan pembangunan maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan petani-peternak kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan. Dikemukakan oleh Suhardiyono (1992) penyuluh pertanian haruslah dapat berperan sebagai pembimbing, organisator, dinamisator, pelatih, teknisi, dan jembatan penghubung antara masyarakat sasaran dan lembaga yang diwakilinya. Penyuluh pun diharapkan dapat membantu sasaran (petani) mengenal masalah-masalah yang dihadapi petani dan membantu memberikan jalan keluar yang diperlukan. Oleh karena itu, agar penyuluh mampu berperan di dalam menfasilitasi pembelajaran petani, haruslah memiliki kompetensi profesional yang dibutuhkan, yaitu kompetensi yang mengacu kepada satu bidang pekerjaan sesuai tugas pokok, fungsi dan peranannya sebagai profesi.
24
25
2.3.1
Kompetensi profesional penyuluh Kompetensi merupakan kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas
secara efektif, sedangkan makna profesional merujuk tingkat keahlian atau ketrampilan yang didasarkan di dalam menjalankan tuntutan tugas atau profesinya (Imran dan Ganang, 1999). Kompetensi profesional penyuluh adalah derajat kemampuan yang dimiliki penyuluh di dalam menjalankan tugas atau tuntutan profesinya secara efektif . Dinyatakan oleh Yoder (1994) ada delapan kompetansi profesional yang harus dimiliki oleh seorang penyuluh. 1. Kompetensi administrasi yakni tingkat kemampuan yang mencangkup aktivitas di dalam merumuskan tujuan nyata program penyuluhan, orientasi bagi kerjasama antara staf, pengelolaan waktu secara efektif, pengembangan potensi kepemimpinan, dan pengembangan kemampuan diri dan staf. 2. Kompetensi
perencanaan
program
yakni
tingkat
kemampuan
yang
mencangkup aktivitas dalam penentuan kebutuhan sasaran program penyuluhan, penentuan tujuan dari program, identifikasi potensi sumberdaya, prencanaan program, pengembangan jadwal kegiatan. 3. Kompetensi
pelaksanaan
program
yakni
tingkat
kemampuan
yang
mencangkup aktivitas kepemimpinan atau pemanduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan program, pengembangan hubungan kerjasama dengan sasaran, penggunaan ragam teknik di dalam mempengaruhi sasaran, kunjungan usahatani, dan membantu sasaran di dalam memecahkan masalah. 4. Kompetensi pengajaran yakni tingkat kemampuan yang mencangkup aktivitas pengembangan prencanaan pengajaran, penyajian informasi,
25
26
kegiatan bimbingan atau konseling, pelaksanaan prinsip pengajaran, perencanaan dan pengoragnisasian kunjungan lapangan dan pelatihan. 5. Kompetensi komunikasi yakni kemampuan yang mencangkup mengontrol sikap dalam berkomunikasi, penyiapan publikasi dan penggunaan alat komunikasi, membangun komunikasi diantara staf dan sasaran serta pihak terkait. 6. Kompetensi
pemahaman perilaku manusia yakni
kemampuan
yang
mencangkup menilai persepsi sosial, pengenalan budaya sasaran, identifikasi kelompok potensial dalam masyarakat sasaran, pengenalan perbedaan peta kognitif dan kelompok umur sasaran, dan mengidentifikasi dan mengenal perilaku sosial. 7. Kompetensi
memelihara
profesionalisme
yakni
kemampuan
yang
mencangkup mengidentifikasi peluang untuk meningkatkan profesionalisme, membangun integritas kepribadian dan moral, membangun integritas intelektual, dan membangun rencana untuk pengembangan profesionalisme. 8. Kompetensi evaluasi yakni kemampuan yang mencangkup penggunaan pendekatan eksperimental dalam kerja penyuluhan, mengidentifikasi yang dibutuhkan untuk penelitian, kerjasama dengan lembaga penelitian, mempersepsi dan menggunakan temuan-temuan penelitian.
2.3.2
Faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh
Dijelaskan oleh Yusri (1999), ada dua faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh pertanian dalam bekerja secara profesional sebagai berikut.
26
27
1.
Faktor Internal Penyuluh Pertanian Kinerja penyuluh dipengaruhi oleh faktor dari penyuluh itu sendiri. Faktor
internal terdiri atas berikut ini. 1) Pendidikan formal penyuluh pertanian Telah ditetapkan basis pendidikan formal penyuluh pertanian minimal Diploma III atau memperoleh sertifikat pendidikan dan latihan fungsional dibidang penyuluhan
pertanian. Tingkat
pengetahuan mempengaruhi
ketrampilan dan keahlian yang dimiliki untuk melaksanakan tugasnya mengimbangi dinamika masyarakat petani. 2) Umur penyuluh pertanian Semakin bertambah umur dan golongan penyuluh, persepsi penyuluh pertanian tentang jabatan fungsional dalam pengembangan karier dan profesi penyuluh semakin rendah. 3) Masa kerja penyuluh pertanian Semakin lama masa kerja, penyuluh akan semakin menguasai bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sehingga akan semakin matang dan pekerja lebih produktif dan bersamaan dengan kemampuan kerja menentukan kinerja kerja.
2. Faktor Eksternal Penyuluh Pertanian Beberapa faktor eksternal penyuluh yang dipertimbangkan berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian sebagai berikut. 1) Ketersediaan sarana dan prasarana
27
28
Adanya sarana dan prasarana seperti teknologi pertanian, pelatihan, transportasi, komputer, OHP dan lain-lain sangat diperlukan penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. 2) Sistem penghargaan Hal ini biasanya terkait dengan perbaikan sistem penggajian, tunjangan fungsional dan dana operasional serta jabatan atau kepangkatan. 3) Komoditas dominan di wilayah binaan Kebiasaan pola tanam yang dilakukan oleh petani secara turun temurun telah memberikan pengetahuan teknologi usahatani dan pengalaman berharga kepada petani untuk dapat dikembangkan kearah yang lebih maju dan rasional dalam interaksinya bersama-sama penyuluh.
2.4 Penyuluhan Pertanian 2.4.1
Pengertian penyuluhan pertanian
Diartikan oleh Van Den Ban dan Hawkins (1999) penyuluhan sebagai keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Dalam Wikipedia, pengertian pertanian dalam pengertian yang luas mencakup semua kegiatan yang melibatkan pemanfaatan makhluk hidup (termasuk tanaman,hewan, dan mikroba) untuk kepentingan manusia. Dalam arti sempit, pertanian diartikan sebagai kegiatan budidaya tanaman.
28
29
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K), arti penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup.
2.4.2 Prinsip-prinsip metode dan teknik penyuluhan pertanian
Prinsip merupakan suatu pernyataan mengenai kebijaksanaan yang dijadikan sebagai pedoman dalam pengambilan keputusan dan dilaksanakan secara konsisten. Dalam kegiatan penyuluhan, prinsip menurut Leagans (1961) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya
harus
berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati agar dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Dinyatakan oleh Mardikanto (1993) bahwa merujuk pada pemahaman penyuluhan pertanian sebagai proses pembelajaran, maka prinsip-prinsip dalam penyuluhan pertanian sebagai berikut. 1. Mengerjakan artinya kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk menerapkan sesuatu. 2. Akibat artinya kegiatan pertanian harus memberi dampak yang memberi pengaruh baik.
29
30
3. Asosiasi artinya kegiatan penyuluhan harus saling terkait dengan kegiatan lainnya. Misalnya apabila seorang petani berjalan di sawahnya kemudian melihat tanaman padinya terserang hama, maka ia akan berupaya untuk melakukan tindakan pengendalian. Dinyatakan oleh Dahama dan Bhatnagar (dalam Mardikanto (1999)) bahwa yang mencakup prinsip-prinsip penyuluhan pertanian berikut ini. 1. Minat dan kebutuhan artinya penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat, utamanya masyarakat tani. 2. Organisasi masyarakat bawah artinya penyuluh akan efektif jika mampu melibatkan organisasi masyarakat bawah dari setiap keluarga petani. 3. Keraguan budaya artinya penyuluhan harus memperhatikan adanya keragaman budaya. 4. Perubahan budaya artinya setiap penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. 5. Kerjasama dan partisipasi artinya penyuluhan hanya akan efektif jika menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah dicanangkan. 6. Demokrasi dalam penerapan ilmu artinya dalam penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menawar setiap alternatif. 7. Belajar sambil bekerja artinya kegiatan penyuluhan pertanian harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil berbuat, atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan.
30
31
8. Penggunaan metode yang sesuai artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang selalu disesuaikan dengan kondisi lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosial budaya. 9. Kepemimpinan artinya penyuluh tidak melakukan kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepuasan sendiri, tetapi harus mampu mengembangkan kepemimpinan. 10. Spesialis yang terlatih artinya penyuluh harus benar-benar orang yang telah mengikuti latihan khusus tentang segala sesuatu dengan fungsinya sebagai penyuluh. 11. Segenap keluarga artinya penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dikemukakan oleh Mardikanto (2006) bahwa prinsip-prinsip dalam Metode dan teknik penyuluhan pertanian sebagai berikut. 1. Upaya pengembangan untuk berpikir kreatif Prinsip ini dimaksudkan bahwa melalui penyuluhan pertanian harus mampu menghasilkan petani-petani yang mandiri, mampu mengatasi permasalahan yang
dihadapi
dan
mampu
mengembangkan
kreativitasnya
untuk
memanfaatkan setiap potensi dan peluang yang diketahui untuk memperbaiki mutu hidupnya. 2. Tempat yang paling baik adalah di tempat kegiatan sasaran Prinsip ini akan mendorong petani belajar pada situasi nyata sesuai permasalahan yang dihadapi. 3. Setiap individu terkait dengan lingkungan sosialnya
31
32
Prinsip ini mengingatkan kepada penyuluh bahwa keputusan-keputusan yang diambil petani dilakukan berdasarkan lingkungan sosialnya. 4. Ciptakan hubungan yang akrab dengan sasaran Keakraban hubungan antara penyuluh dan sasaran memungkinkan terciptanya keterbukaan sasaran dalam mengemukakan masalahnya. 5. Memberikan sesuatu untuk terjadinya perubahan Metoda yang diterapkan harus mampu merangsang sasaran untuk selalu siap (dalam arti sikap dan pikiran) dan dengan suka hati melakukan perubahanperubahan demi perbaikan mutu hidupnya sendiri, keluarganya dan masyarakatnya.
2.5 Sistem Tanam Jajar Legowo
Menurut Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Jambi Tahun 2011, SistemTanam Jajar Legowo merupakan perubahan teknologi jarak tanam padi yang dikembangkan dari Sistem Tanam Tegel (penempatan tanaman terlihat seperti susun tegel rumah dimana sisinya sama misalnya 20 X 20 cm atau 25 X 25 cm) yang telah berkembang di masyarakat. Istilah legowo yang diambil dari Bahasa Jawa, Banyumas, terdiri atas kata lego dan dowo; lego berarti luas dan dowo berarti memanjang. Dengan SistemTanam Jajar Legowo, kelompokkelompok barisan tanaman padi dipisahkan oleh suatu lorong yang luas dan memanjang. Bila jarak antar baris tanaman padi umumnya adalah 20 hingga 25 cm, lorong yang memisahkan antar kelompok barisan mencapai 50 cm hingga 70 cm, tergantung kesuburan tanah dan keragaan varietas padi yang ditanam. Tanah
32
33
yang subur memilki lorong yang lebih sempit sedangkan keragaan varietas yang berdaun lebat dan tinggi perlu lorong yang lebih luas. Menurut Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Jambi Tahun 2011 tipe dari SistemTanam Jajar Legowo untuk padi sawah bisa dilakukan dengan berbagai tipe yaitu: legowo (2:1), (3:1), (4:1), (5:1), (6:1) atau tipe lainnya.
2.5.1. Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1
Sistem TanamJajar legowo 2:1 adalah cara tanam padi dimana setiap dua baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar baris sedangkan jarak tanaman dalam barisan adalah setengah kali jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada sistem Jajar Legowo 2:1 adalah 25 cm (antar barisan) X 12,5 cm (barisan pinggir) X 50 cm (barisan kosong). Pada Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 seluruh tanaman dikondisikan seolah-olah menjadi tanaman pinggir. Penerapan Sistem TanamJajar Legowo 2:1 dapat meningkatkan produksi padi dengan gabah kualitas benih. Sistem TanamJajar Legowo seperti ini sering dijumpai pada pertanaman untuk tujuan penangkaran atau produksi benih. Untuk lebih jelasnya tentang cara tanam jajar legowo 2:1 dapat dilihat pada Gambar 2.1. Menurut Balai Pengkaji Teknologi Pertanian Jambi Tahun 2011, prinsip dari Sistem TanamJajar Legowo adalah pemberian kondisi pada setiap barisan tanam padi untuk mengalami pengaruh sebagai tanaman barisan pinggir. Umumnya tanaman pinggir menunjukkan hasil lebih tinggi atau lebih rendah dari
33
34
tanaman yang ada di bagian dalam barisan. Tanaman pinggir juga menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik karena kurangnya persaingan tanaman antar barisan. Dengan diterapkannya cara tanam sistem legowo yang menambah kemungkinan barisan tanaman untuk mengalami efek tanaman pinggir, sinar matahari dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses fotosintesis. Pada lahan yang lebih terbuka karena adanya lorong pada baris tanaman, serangan hama, khususnya tikus, dapat ditekan karena tikus tidak suka tinggal di dalamnya dan dengan terciptanya kelembaban lebih rendah, perkembangan penyakit dapat juga ditekan. Tidak hanya itu, pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman menjadi lebih mudah dilakukan di dalam lorong-lorong.
Gambar 2.1 Sistem Tanam Jajar Legowo 2 : 1
34
35
Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 juga meningkatkan populasi tanaman. Untuk populasi tanaman padi yang lebih banyak, dibutuhkan benih padi dan tenaga kerja yang lebih banyak namun tenaga kerja lebih sedikit pada penyiangan. Kenaikan jumlah gabah yang dipanen menyebakan upah pekerja juga meningkat. Walaupun demikian, Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 lebih menguntungkan bila ditinjau dari hasil gabah kering panen dan pemeliharaan. Tujuan Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 (Indonesian Agency For Agricultural Research an Development In Cooperation With Rural Development Administration, Republic of Korea, 2014) sebagai berikut. 1. Mengoptimalkan pemanfaatan sinar matahari oleh tanaman yang berada pada bagian pinggir barisan. Semakin banyak sinar matahari yang mengenai tanaman, maka proses fotosintesis oleh daun tanaman akan semakin tinggi sehingga akan mendapatkan bobot bulir yang lebih berat. 2. Mengurangi kemungkinan seranggan hama, terutama tikus. Pada lahan yang relatif terbuka, hama tikus kurang suka tinggal di dalamnya. 3. Menekan serangan penyakit. Pada lahan yang relatif terbuka kelembaban akan semakin berkurang, sehingga serangan penyakit juga akan berkurang. 4. Mempermudah pelaksanaan pemupukan dan pengendalian hama/penyakit. Posisi orang yang melaksanakan pemupukan dan pengendalian hama atau penyakit bisa leluasa pada barisan kosong diantara 2 barisan legowo. 5. Menambah populasi tanaman. Misalnya pada Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 populasi tanaman akan bertambah sekitar 33%. Bertambahnya populasi tanaman akan memberikan harapan peningkatan produksi padi.
35
36
Menurut Indonesian Agency For Agricultural Research an Development In Cooperation With Rural Development Administration, Republic of Korea, 2014 Keuntungan Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 sebagai berikut. 1. Semua barisan rumpun tanaman yang berada pada bagian pinggir memberi hasil tinggi 2. Lebih mudah untuk mengendalikan hama, penyakit, dan gulma 3. Menyediakan ruang kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong emas atau mina padi 4. Penggunaan pupuk lebih berdaya guna. Menurut Indonesian Agency For Agricultural Research an Development In Cooperation With Rural Development Administration, republic of korea, 2014 Teknik Penerapan Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1 sebagai berikut. 1) Pembuatan Baris Tanam Persiapkan alat garis tanam dengan ukuran jarak tanam yang dikehendaki. Bahan untuk alat garis tanam bisa digunakan kayu atau bahan lain yang tersedia serta biaya terjangkau. Lahan sawah yang telah siap ditanami, 1-2 hari sebelumnya dilakukan pembuangan air sehingga lahan dalam keadaan macak-macak. Ratakan dan datarkan sebaik mungkin. Selanjutnya dilakukan pembentukan garis tanam yang lurus dan jelas dengan cara menarik alat garis tanam yang sudah dipersiapkan sebelumnya serta dibantu dengan tali yang dibentang dari ujung ke ujung lainnya. 2) Tanam Umur bibit padi yang digunakan sebaiknya kurang dari 21 hari. Gunakan satu bibit per lubang tanam pada potongan garis yang sudah terbentuk. Cara
36
37
laju tanam sebaiknya maju agar perpotongan garis untuk lubang tanam bisa terlihat dengan jelas. 3) Pemupukan Pemupukan dilakukan dengan cara tabur. Posisi orang yang melakukan pemupukan berada pada barisan kosong di antara dua barisan legowo. Pupuk ditabur ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga satu kali jalan dapat melakukan pemupukan dua barisan legowo. Khusus cara pemupukan pada legowo 2:1 boleh dengan cara ditabur di tengah alur dalam barisan legowonya. 4) Penyiangan Penyiangan dapat dilakukan langsung dengan tangan atau menggunakan alat siang seperti landak/gasrok. Apabila penyiangan dilakukan dengan alat siang, cukup dilakukan ke satu arah sejajar legowo dan tidak perlu dipotong seperti penyiangan pada cara tanam bujur sangkar. Sisa gulma yang tidak tersiang dengan alat siang di tengah barisan legowo bisa disiang dengan tangan, bahkan sisa gulma pada barisan pinggir legowo sebenarnya tidak perlu diambil karena dengan sendirinya akan kalah bersaing dengan pertumbuhan tanaman padi. 5) Pengendalian Hama dan Penyakit Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan alat semprot atau hand sprayer. Posisi orang berada pada barisan kosong di antara dua barisan legowo. Penyemprotan diarahkan ke kiri dan ke kanan dengan merata, sehingga satu kali jalan dapat melakukan penyemprotan dua barisan legowo.
37
38
2.5.2
Sistem Tanam Jajar Legowo 3:1
Sistem Tanam Jajar legowo 3:1 adalah cara tanam padi dimana setiap tiga baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar barisan. Modifikasi tanaman pinggir dilakukan pada baris tanaman ke-1 dan ke-3 yang diharapkan dapat diperoleh hasil tinggi dari adanya efek tanaman pinggir. Prinsip penambahan jumlah populasi tanaman dilakukan dengan cara menanam pada setiap barisan pinggir (baris ke-1 dan ke-3) dengan jarak tanam setengah dari jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada SistemTanamJajar Legowo 3:1 adalah 20x 10 x 40 cm, yang lebih jelasnya dapat dilihat padaGambar 2.2
Gambar 2.2 Sistem Tanam Jajar Legowo 3:1
38
39
2.5.3
Sistem Tanam Jajar Legowo 4:1
Sistem Tanam Jajar Legowo 4:1 adalah cara tanam padi dimana setiap empat baris tanaman diselingi oleh satu barisan kosong yang memiliki jarak dua kali dari jarak tanaman antar barisan. Dengan sistem legowo seperti ini maka setiap baris tanaman ke-1 dan ke-4 akan termodifikasi menjadi tanaman pinggir yang diharapkan dapat diperoleh hasil tinggi dari adanya efek tanaman pinggir. Prinsip penambahan jumlah populasi tanaman dilakukan dengan cara menanam pada setiap barisan pinggir (baris ke-1 dan ke-4) dengan jarak tanam setengah dari jarak tanam antar barisan. Dengan demikian jarak tanam pada Sistem Tanam Jajar Legowo 4:1 adalah 25 cm X 12,5 cm X 50cm, yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.3
Gambar 2.3 Sistem Tanam Jajar Legowo 4:1 39
40
2.6 Kelompok Tani 2.6.1 Pengetian kelompok tani
Menurut Wikipedia Kelompok tani adalah beberapa orang petani atau peternak yang menghimpun diri dalam suatu kelompok karena memiliki keserasian dalam tujuan, motif, dan minat. Kelompok tani dibentuk berdasarkan surat keputusan dan dibentuk dengan tujuan sebagai wadah komunikasi antarpetani. Surat keputusan tersebut dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan untuk memonitor atau mengevaluasi kinerja kelompok tani. Kinerja tersebutlah yang akan menentukan tingkat kemampuan kelompok. Penilaian kinerja kelompok tani didasarkan pada SK Mentan No. 41/Kpts/OT. 210/1992. Fungsi kelompok tani sebagai berikut. 1. menciptakan tata cara penggunaan sumber daya yang ada; 2. sebagai media atau alat pembangunan; dan 3. membangun kesadaran anggota petani untuk menjalankan mandat yang diamanatkan oleh kelompok.
2.6.2 Karakteristik kelompok tani
Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/Ot.160/4/2007 Kelompok tani pada dasarnya adalah organisasi non formal di perdesaan yang ditumbuhkembangkan “dari, oleh dan untuk petani”, memiliki karakteristik sebagai berikut.
40
41
1.
Ciri Kelompok Tani 1) saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota. 2) mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam usahatani. 3) memiliki kesamaan dalam tradisi dan atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi. 4) ada pembagian tugas dan tanggung jawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama.
2. Fungsi kelompok tani 1) Kelas belajar Kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera. 2) Wahana kerjasama Kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompoktani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha lainnya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. 3) Unit produksi Usahatani yang dilakukan oleh masing-masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai suatu kesatuan usaha yang
41
42
dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. 3. Klasifikasi Kelompok Tani 1) Kelas Pemula merupakan kelas terbawah dan terendah dengan mempunyai nilai 0 sampai dengan 250. 2) Kelas Lanjut merupakan kelas yang lebih tinggi dari kelas pemula dimana kelompok tani-nelayan sudah melakukan kegiatan perencanaan meskipun masih terbatas, dengan mempunyai nilai 251 sampai dengan 500. 3) Kelas Madya merupakan kelas berikutnya setelah kelas lanjut dimana kemampuan kelompok tani-nelayan lebih tingggi dari kelas lanjut yaitu dengan nilai 501 sampai dengan 750. 4) Kelas Utama merupakan kelas kemampuan kelompok yang tertinggi, dimana kelompok tani-nelayan sudah berjalan dengan sendirinya atas dasar prakarsa dan swadaya sendiri. Nilai kemampuan diatas 750. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No.41/Kpts.OT.210/1/1992, tentang pedoman
pembinaan kelompok
tani-nelayan,
maka
pengakuan
terhadap
kemampuan kelompok diatur sebagai berikut. 1) Kelas Pemula, dengan piagam yang ditandatangani oleh Kepala Desa. 2) Kelas Lanjut, dengan piagam yang ditandatangani oleh Camat. 3) Kelas Madya, dengan piagam yang ditandatangani oleh Bupati/Walikota. 4) Kelas Utama, dengan piagam yang ditandatangani oleh Gubernur.
42
43
2.7 Kerangka Penelitian
Dalam upaya pencapaian target program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Badan Pengembangan dan Penelitian telah banyak mengeluarkan rekomendasi untuk diaplikasikan oleh petani. Salah satu rekomendasi ini adalah penerapan sistem tanam yang benar dan baik melalui pengaturan jarak tanam yang dikenal dengan Sistem Tanam Jajar Legowo. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tahapan adopsi, faktor-faktor yang mendukung kecepatan adopsi petani dan tingkat adopsi petani di Kelompok Tani Mina Sri Jaya terhadap Sistem Tanam Jajar Legowo 2:1. Pengukuran penelitian secara deskriptif mengunakan variabel-variabel yang telah ditentukan oleh peneliti, sehingga akan mendapatkan hasil analisis Deskriptif Kualitatif kemudian mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.4
43
44
Adopsi Inovasi Anggota Kelompok Tani Mina Sri Jaya Kecamatan Glenmore, Banyuwangi Sistem Jajar Legowo 2:1
Proses Adopsi 1. Pengetahuan 2. Persuasi 3. Keputusan 4. Pelaksanaan 5. Konfirmasi
Faktor yang mendukung Kecepatan Adopsi 1. Sifat inovasi 2. Sifat sasaran 3. Cara pengambilan keputusan 4. Saluran komunikasi 5. Keadaan penyuluh 6. Ragam sumber informasi
Tingkat Adopsi 1. Prinsip Jajar Legowo 2:1 1) Jumlah populasi tanaman perumpun 2) Jarak tanam 3) Ruang terbuka 4) Umur bibit 5) Pemupukan 6) Pengendalian hama dan penyakit 7) penyiangan
Analisis Deskriptif Kualitatif
Hasil Analisis
Simpulan dan rekomendasi
Gambar 2.4 Kerangka PemikiranTingkat Adopsi Sistem Legowo 2:1 Di Kelompok Tani Mina Sri Jaya Desa Sepanjang Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur 2015
44