10
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Water Supply and Demand (Pasokan dan Permintaan Air) Water supply (pasokan air) adalah proses atau kegiatan oleh air yang disediakan untuk beberapa penggunaan, misalnya, ke sebuah rumah, pabrik, atau bisnis. Istilah ini juga berarti pasokan air yang disediakan dengan cara tertentu. Sumber dasar air adalah curah hujan, yang mengumpul di sungai dan danau, di bawah tanah, dan di waduk buatan. Air dari bawah tanah disebut airbumi (groundwater) dan tersedia sebagai sumur. Paling sering air diambil dari sumur dengan pompa. Dalam beberapa kasus sumur akan menarik air dari lapisan batuan permeabel yang disebut akifer di mana air berada di bawah tekanan; seperti sumur butuh sedikit atau tanpa pemompaan (lihat sumur artesis). Air yang terkumpul di sungai, danau, atau waduk disebut air permukaan. Sebagian besar sistem pasokan air permukaan menarik air melalui pipa-pipa masuk khusus atau terowongan dan transportasi ke wilayah pengguna melalui kanal, terowongan, atau pipa, yang dikenal sebagai pipa saluran air. (www.answers.com/topic/water-supply). Istilah penggunaan air (water use) dan permintaan air (water demand) sering digunakan secara bergantian. Namun, istilah ini mempunyai arti yang berbeda. Penggunaan air (water use) dapat dibedakan dalam tiga jenis yang berbeda, yaitu:(1) Withdrawals (penarikan) merupakan air yang diambil dari permukaan atau airbumi, dan setelah digunakan dikembalikan ke badan air alami, misalnya air yang digunakan untuk pendinginan dalam proses industri yang akan dikembalikan ke sungai. Aliran baliknya sangat penting untuk pengguna di hilir yang menggunakan air dari sungai, (2) Consumptive water use or water consumption (penggunaan air konsumtif atau konsumsi air) adalah dimulai dengan penarikan atau pemindahan, namun tanpa aliran kembali. Konsumsi air adalah air yang tidak bisa digunakan karena evaporasi, transpirasi, atau telah menjadi bagian tanaman, dikonsumsi oleh manusia atau ternak atau hilang dari sumber-sumber air tawar. Kehilangan air selama pengangkutan air antara titik-titik penarikan dan titik penggunaan, (misalnya akibat kebocoran dari pipa distribusi), tidak termasuk dalam penggunaan air konsumtif. Contoh penggunaan air konsumtif termasuk uap yang menguap ke atmosfer dan air yang terkandung dalam produk akhir yaitu air yang tidak tersedia langsung untuk penggunaan selanjutnya; dan (3) Non-
11 consumptive water use (penggunaan air non-konsumtif) yaitu penggunaan in situ tubuh air untuk navigasi, aliran instream untuk ikan, rekreasi, pembuangan limbah cair dan pembangkit listrik hidroelektrik (Wallingford, 2003) Permintaan air (water demand) didefinisikan sebagai volume air yang diminta oleh pengguna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Istilah sederhana ini sering dianggap sama dengan konsumsi air, meskipun secara konseptual kedua istilah tidak memiliki arti yang sama. Permintaan air mencakup: kepemilikan air, penggunaan air, penggunaan air primer, keadilan, efisiensi, dan hak dan kewajiban yang tepat yang dibuat melalui perijinan air. 2.1 1 Ketersediaan dan Kebutuhan Air Dunia Planet bumi kita ini diperkirakan menyimpan sekitar 1.400 juta km3 air, namun hanya 35 juta km3 di antaranya yang tersedia dalam bentuk air tawar (freshwater) yang dapat langsung dikonsumsi manusia. Itupun, sebagian besar dari air segar tersebut tidak dapat diakses langsung oleh manusia karena terperangkap dalam bentuk bongkahan dan gunung-gunung es di kutub, glasier, dan air tanah sangat dalam. Air segar yang langsung dapat dikonsumsi manusia adalah berupa air hujan yang tercipta dari siklus hidrologi global yang jumlah rata-rata per tahunnya hanya sekitar 119.000 km3, namun 74.000 km3 di antaranya menguap kembali ke atmosfir. Sisa air hujan sebesar 45.000 km3 mengalir ke danau-danau, waduk dan sungai-sungai, atau meresap kembali ke tanah untuk menggantikan air tanah yang hilang. Dengan demikian, tidak semua sumber air sebanyak 45.000 km3 dapat dikonsumsi oleh manusia oleh karena sebagian air tersebut mengalir selama musim hujan atau berupa banjir ke sungai-sungai yang terpencil jauh di pedalaman dan di pelosok hutan belantara. Diperkirakan dalam setahun hanya sekitar 9.000 sampai 14.000 km3 saja air segar yang akhirnya tersedia dan dapat dikonsumsi oleh manusia, suatu jumlah yang sangat kecil (0,26-0,40%) apabila dibandingkan dengan potensi air segar di bumi. Sementara itu penarikan (withdrawals) air segar dari alam diperkirakan mencapai 5.950 km3 setahun terdiri dari penggunaan air segar oleh manusia sebanyak 3.600 km3 dan jumlah air segar yang masih harus dipertahankan untuk kesinambungan ekologi sungai dan konservasi ekosistem air yang mencapai sekitar 2.350 kilometer kubik per 2 tahun (FAO, 2002) .
12 Sementara itu World Bank (2001) menyatakan bahwa secara global hanya 3% dari total air di bumi adalah air tawar (freshwater). Sisanya adalah air laut atau lautan. Dari 3% tersebut 79% merupakan es dan gletser, dan hanya 1% yang merupakan air permukaan. Dari air permukaan ini 52% terdapat di danau, 1% di sungai, 38% di dalam tanah (soil moisture), 8% adalah uap air dan sisanya air yang ada dalam kehidupan organisme. Tiap tahun, 40.000 km3 tersedia untuk keperluan manusia, kira-kira sekitar 4.000 km3 yang benar-benar di ambil kembali (water withdrawal). Untuk keperluan pertanian (70%), industri 22%, domestik (keperluan rumah tangga) 8%. Dari total 40.000 km3 tercatat 60% nya tersebar di 9 negara yang disajikan pada Tabel 1. Terlihat bahwa terdapat Negara yang mempunyai sumber daya air yang berlimpah dan yang langka air. Tabel 1 Potensi sumber daya air di 9 negara di dunia No
Negara
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Brasil Rusia China Kanada Indonesia USA India Kolumbia Kongo Total
Potensi sumber daya air 5.670 km3 3.904 km3 2.880 km3 2.850 km3 2.530 km3 2.478 km3 1.550 km3 1.112 km3 1.020 km3
23.994 km3
Penggunaan air untuk berbagai sektor di dunia cenderung meningkat dari tahun 1900-2025.
Pada Gambar 2 disajikan fluktuasi penggunaan air untuk
berbagai sektor periode 1900-2025. Studi oleh IFPRI (International Food Policy Research Institute) dan IWMI (International Water Management Institute) bahwa terjadi tren yang berkelanjutan, tahun 2025 kompetisi dari pertumbuhan kota dan industri akan membatasi sejumlah ketersediaan air untuk irigasi. Hal ini menyebabkan produksi tanaman pangan hilang 350 juta metrik ton per tahun. Lingkungan juga akan semakin rusak secara terus-menerus, sehingga ketersediaan
air untuk tiga sektor pertanian,
perumahan, dan industri semakin menurun padahal pemanfaatannya selalu meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Jika tingkat investasi dalam kebijakan air berlanjut dan pengelolaan menurun lebih dari 20 tahun lagi,
13 maka akan terjadi penurunan produksi tanaman pangan.
Penelitian yang lalu
menunjukkan bahwa peningkatan produksi air di lahan beririgasi dan tadah hujan akan membuat kita cukup air untuk keperluan domestik, industri, dan alami. Tetapi ini memerlukan suatu komitmen kelembagaan dan perubahan pengelolaan, dan investasi yang besar di penelitian tanaman, teknologi, dan infrastruktur (Carriger, 2003).
Gambar 2 Fluktuasi penggunaan air untuk berbagai sektor periode 1900-2025
Selanjutnya dengan memperhitungkan pertumbuhan penduduk dunia dan kebutuhan akan air yang mengiringinya, masa depan neraca air global, ketersediaan infrastruktur dan pelayanan sumber daya air nampaknya akan menjadi sangat timpang dan sensitif. Sementara itu, penyebaran penduduk dan ketersediaan sumber daya air segar yang tidak merata di permukaan bumi menambah intensitas permasalahan kelangkaan air. Amerika dan Australia, misalnya, mempunyai potensi air segar per kapita 100 kali lebih besar dari Ethiopia. Di Eropa dan Amerika Utara, 70 persen dari potensi sumber daya air telah dimanfaatkan untuk membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sementara di Asia hanya 30 persen. Di Afrika hanya menggunakan sekitar tiga persen dari potensi air yang dapat diperbaruinya, hanya sekitar enam persen dari lahannya yang beririgasi, dan hanya lima persen dari potensi airnya yang dibangun untuk PLTA. Sementara itu 15 persen dari penduduk Amerika Latin dan Karibia, 20 persen dari penduduk Asia, dan 40 persen dari penduduk Afrika tidak mempunyai akses terhadap air bersih dan sanitasi yang sehat. Disparitas air dan penduduk dunia tersebut telah
14 menyebabkan beberapa negara dan bagian dunia telah berada dalam kondisi krisis air yang mendalam diiringi dengan meningkatnya kompetisi dan konflik untuk memperebutkan sumber-sumber air (Winpenny, 2003).
2.1.2 Ketersediaan dan Kebutuhan Air di Indonesia Secara nasional, ketersediaan air di Indonesia mencapai 1.957 milyar meter kubik per tahun. Dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta jiwa, potensi tersebut mencapai 8.800 meter kubik perkapita per tahun, masih di atas rata-rata dunia yang hanya 8.000 meter kubik per kapita per tahun. Namun, jika ditinjau ketersediaan air menurut wilayah dan waktu maka kondisi yang terjadi akan bervariasi. Lebih dari 83 persen dari aliran permukaan terkosentrasi di Sumatera, Kalimantan dan Papua, 17 persen lainnya di Jawa-Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Pulau Jawa dengan luas 7 persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya memiliki potensi air tawar 4,5 persen dari total nasional. Dalam pada itu, pulau ini dihuni oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi di atas menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar akan terjadi di Jawa dengan daya dukung sumbedaya air yang telah mencapai titik krisis (BAPPENAS, 2006). Jika dilihat ketersediaan air per kapita per tahun, di Jawa hanya tersedia 1.750 meter kubik, masih di bawah standar kecukupan yaitu 2000 meter kubik. Hingga tahun 2020 di Pulau Jawa diperkirakan hanya akan tersedia sebesar 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Potensi krisis air ini juga terjadi wilayah lain seperti Nusa Tenggara Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka akan terjadi keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumber daya air yang telah terlampaui. Dari total ketersediaan air per tahun, sekitar 80 persen tersedia pada musim hujan yang berdurasi selama 5 bulan, sedangkan 20 persen lainnya tersedia pada musim kemarau dengan durasi selama 7 bulan. Pada musim hujan banyak air yang terlimpas langsung ke daerah hilir antara lain akibat bentuk topografi, berkurangnya tutupan vegetasi lahan, dan juga berkurangnya daerah resapan akibat laju penggunaan lahan, Air yang mengalir langsung ini telah banyak menyimpang dari daur hidrologi asal yang bisa disebut sebagai kombinasi dari ‗sub-surface flow‘ dan ‗surface flow‘ menjadi ‗surface flow dominant‘ tanpa pemanfaatan berarti.
15 Perubahan ini bahkan telah menjadi ancaman banjir rutin di beberapa wilayah serta ancaman kekeringan pada musim kemarau yang telah dirasakan di pulau Jawa (BAPPENAS, 1991). Kebutuhan air secara nasional saat ini terkonsentrasi pada Jawa dan Bali, dengan penggunaan terutama untuk minum, rumah tangga, perkotaan, industri, pertanian dan lainnya. Dari data neraca air tahun 2003, kondisi Jawa dan Bali dengan kebutuhan air sebesar 38.4 milyar meter kubik pada musim kemarau, yang dapat dipenuhi hanya sekitar 25.3 milyar kubik. Defisit ini diperkirakan akan semakin tinggi pada tahun 2020, dimana jumlah penduduk dan aktifitas perekonomian meningkat secara signifikan (BAPPENAS, 2006). Penanganan kebutuhan air di pulau Jawa telah ditempuh melalui pembangunan waduk besar dan sedang. Dari pemantauan yang dilakukan terhadap 14 waduk utama di Jawa, seluruhnya mengalami kondisi di bawah normal (pola kering) pada saat musim kemarau. Untuk itu dilakukan penentuan prioritas pemanfaatan waduk-waduk tersebut, yaitu Prioritas pertama untuk air minum, air rumah tangga dan perkotaan (semua waduk utama menjamin terpenuhinya air), Prioritas 2 untuk irigasi tanaman pangan, dan Prioritas 3 untuk industri dan kebutuhan lainnya. Pada tahun 2003 rendahnya daya dukung waduk tersebut mengakibatkan terjadinya kekeringan pada areal sawah di daerah produksi beras seluas 430.295 hektar termasuk yang mengalami puso 82.696 ha. Di samping itu, terdapat beberapa PLTA yang terpaksa beroperasi secara intermitten. Kekeringan ini telah berdampak pada menurunnya pendapatan, kekurangan pangan, dan kesulitan lapangan kerja bagi lebih dari 250.000 KK, serta kesulitan memperoleh air bersih di wilayah perkotaan. Rawannya ketersediaan air antar waktu (temporal) dan antar wilayah (spatial) pada musim kemarau menyebabkan pasokan air untuk keperluan pertanian, domestik dan munisipal terganggu. Sebaliknya pada musim hujan, tingginya curah hujan dan rusaknya DAS menyebabkan hanya sebagian kecil saja volume air hujan yang dapat ditampung melalui infiltrasi dan intersepsi, sedangkan sisanya ditransfer menjadi aliran permukaan. Secara kuantitatif fenomena ini ditandai dengan semakin tingginya debit puncak dan semakin singkatnya waktu respon DAS. Kondisi distribusi air yang fluktuatif akan kurang menguntungkan institusi yang bergerak dalam bisnis air seperti Perum Jasa Tirta II, karena pasokan
16 untuk keperluan domestik dan industri secara teoritis tetap untuk suatu periode dan bahkan cenderung meningkat. Pada Tabel 2 disajikan pasokan/ketersediaan air per pulau di Indonesia (Departemen Kimpraswil, 2000). Tabel 2 Ketersediaan sumber daya air di pulau-pulau di Indonesia
Pulau
Luas Wilayah
Jawa/Bali Nusa Tenggara Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Barat Total
139 81 470 535 187 78 414 1904
Potensi air permukaan (m3/dt)
Potensi air bumi (m3/dt)
6199 1777 23660 32279 2488 3373 28061 97837
95 21 N/A N/A 44 9 N/A
Low flow tersedia (m3/dt) 786 90 4704 6956 561 391 4140 17628
Permintaan (m3/dt) Irigasi 950 70 271 19 120 5 2 1437
DMI
Total
124 3 26 7 6 1 1 1168
1074 73 297 26 126 6 1 1603
Sumber: Departemen Kimpraswil (2000) Ket: N/A: tidak tersedia DMI: Domestic, Municipal and Industri
Banyak negara dan wilayah di dunia yang sudah mencapai titik kritis. Dari 180 negara yang diberi ranking/peringkat dalam laporan tersebut menurut ketersediaan sumber daya air yang dapat diperbaharui (renewable water resources) pernegara perkapita, negara/wilayah yang paling parah ketersediaan airnya (berada pada peringkat terbawah, 176-180) adalah Kuwait, Jalur Gaza, Emirat Arab, Bahamas, dan Qatar. Sedangkan Indonesia berada pada peringkat 58, dimana tersedia 13.381 m3 air pertahunnya, perkapita penduduk Indonesia. Tetapi, meskipun Indonesia berada pada peringkat yang ―lumayan‖ dalam hal ketersediaan airnya, dibandingkan dengan Kuwait (hanya 10 m3) atau Emirat Arab (58 m3) misalnya, namun jika dilihat dari kualitas airnya, ternyata Indonesia berada pada peringkat yang cukup mengkhawatirkan, yaitu urutan ke 110 dari 122 negara yang terdata. Berarti, tingkat polusi, sistem pembuangan dan sanitasi berada pada tingkat yang cukup parah sehingga jaminan agar rakyat bisa mendapatkan air bersih yang layak, kecil sekali (Hadad, 2003).
2.1.3 Proyeksi Ketersediaan dan Kebutuhan Air Menurut proyeksi International Food Policy Research Institute (IFPRI) (1997) kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25%, 400% dan
17 300%. Sementara itu, secara kuantitas volume air yang ada relatif konstan bahkan yang dapat digunakan (utilizable) cenderung menurun antara lain akibat pencemaran, rusaknya kondisi biofisik DAS. Salah satu indikatornya adalah tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan kemarau serta rentannya (susceptible) pasokan air akibat deraan anomali iklim seperti El-Niño dan La-Niña. Masalah air di Indonesia cukup kritis.
Untuk menjamin keberlanjutan
ketersedian air perlu upaya-upaya pengelolaan air yang baik, terpadu dan profesional. Masalah utama pengelolaan sumber daya air di Indonesia antara lain: (1) Kelangkaan lokal dalam alokasi air di beberapa sektor karena peningkatan jumlah penduduk
dan peningkatan permintaan air bersih, khususnya di
perkotaan. Meskipun total ketersediaan air bersih di Indonesia masih cukup tinggi sekitar 13000 m3 /kapita/tahun, tetapi ketersediaan di beberapa wilayah tidak sama. Misalnya di Jawa, dengan hanya 4,5% dari total potensial air bersih nasional, harus menyokong 65% penduduk Indonesia dari total 210 juta orang. Akibatnya terjadi krisis air selama musim kemarau. Di sisi lain, permintaan air bersih terutama di Jawa meningkat setiap tahun. Menurut data dari Kimpraswil permintaan air bersih meningkat 220% antara 1990 dan 2020 (Sarwoko dan Anshori, 2003). (2) Kemampuan akses untuk air bersih dari institusi pengelola dan kemampuan infrastruktur air bersih di perkotaan untuk menyediakan cepatnya permintaan air bersih.
Penelitian WATSAL menyebutkan bahwa di perkotaan, hanya
sekitar 40% dari seluruh wilayah perkotaan yang mendapatkan akses dari air PAM. Sehingga, masyarakat mengandalkan air tanah untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan untuk industri. Diperkirakan 80% keperluan air bersih penduduk perkotaan dan pedesaan disuplai dari air tanah dan 90% industri juga menggunakan air bersih (Yousana OP Siagian, 2003). (3) Kecerobohan perencanaan dengan tidak adanya perhatian pada kelangsungan lingkungan dan budaya lokal menyebabkan stres pada lingkungan. Sedangkan industrialisasi dan urbanisasi akan menambah stres. Rata-rata tahunan curah hujan atau ketersediaan air di Indonesia cukup berlimpah, tetapi terdapat variasi antar wilayah dan antar waktu, sehingga sering terjadi kekurangan air di wilayah rawan kekeringan, dan banjir di tempat lain atau
18 waktu lain. Hal ini jelas mengganggu keberlanjutan sistem produksi pertanian nasional, termasuk bahan pangan. Kebutuhan air pertanian relatif terpenuhi di wilayah irigasi teknis yang telah dilengkapi dengan bendungan dan saluran-saluran irigasinya.
Itupun pada akhir-
akhir ini mengalami kekurangan air apabila terjadi anomali iklim, yang sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sedangkan pertanian tadah hujan, terutama di wilayah beriklim kering seperti Indonesia Bagian Timur, selalu terancam oleh risiko kekurangan air. Dewasa ini, masalah meningkatnya tekanan terhadap sumber daya air di beberapa tempat sudah semakin besar, disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan
permintaan akibat pertumbuhan ekonomi dan proses urbanisasi
(Pasandaran, 1996). Karena ketersediaan air secara kualitas cenderung menurun, maka akan mempengaruhi pemenuhan air untuk kebutuhan rumah tangga, sektor pertanian, industri, dan lingkungan.
Pada saat ini, permintaan air tersebut masih dapat
dipenuhi karena ketersediaan air jauh lebih besar dari permintaannya (Tabel 3). Bahkan kebutuhan air sampai tahun 2020 masih dapat dipenuhi dari air yang tersedia saat ini. Neraca kebutuhan air tahun 2003 dan 2020 disajikan pada Tabel 4 dan 5. Secara global sampai dengan tahun 2020 diperkirakan kebutuhan produksi padi nasional meningkat hingga 71,55 juta ton dengan peningkatan kebutuhan pengembangan sumber daya air sebesar 45-57,5% dibanding tahun 1998 (Pasandaran dan Sugiharto, 1999). Selanjutnya menurut Napitupulu (1999) kebutuhan air irigasi sawah di Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan ± 71,676 juta meter kubik (MMC)/tahun, sementara itu untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam 10 tahun mendatang (dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk nasional 1,6%/tahun) diperlukan air 90-100 MMC/tahun. Sebagai gambaran kapasitas waduk Jatiluhur hanya 2 juta MMC, sehingga paling tidak perlu dibangun 45-50 buah waduk sejenis untuk memenuhi kebutuhan air tersebut, apalagi dengan kondisi pendanaan yang tampaknya semakin sulit. Disisi lain pada saat ini persaingan penggunaan air antar sektor sedemikian meningkat akibat peningkatan pertumbuhan penduduk. Apalagi ada indikasi bahwa gejala anomali iklim, baik ElNino maupun La-Nina semakin kerap terjadi.
19 Tabel 3 Ketersediaan dan permintaan air aktual untuk keperluan rumah tangga, perkotaan, industri dan irigasi No
Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28 29
N. Aceh D. Sumatra Utara Sumatra Barat Riau Jambi Sumsel (Bangka/Belitung) Bengkulu Lampung SUMATRA DKI Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur JAWA JAWA+BALI Kalbar Kalsel Kalteng Kaltim KALIMANTAN Bali NTB NTT BALI+ N.TENGGARA N.TENGGARA Sulawesi Utara Gorontalo Sulteng Sultra Sulsel SULAWESI Maluku Utara Maluku Papua MALUKU dan PAPUA INDONESIA
Ketersediaan Rata-rata 3,042.21 2,948.79 1,670.69 5,020.67 2,680.65 4,793.82 1,662.20 1,528.41 23,347.44 317.45 252.38 2,171.14 1,665.18 175.23 1,354.95 5,936.33 6,109.24 10,154.14 5,668.41 5,824.04 10,318.37 31,964.96 172.91 404.90 907.98 1,485.79 1,312.88 1,003.93 221.91 3,683.12 217.69 2,698.76 7,825.41 1,324.00 1,994.17 27,786.00 31,104.17 101,664.10
Permintaan Saat Ini (2002) dalam m3/dt R.Tangga Perkotaan Industri Irigasi 9.34 3.98 126.54 87.46 37.32 9.42 166.51 8.00 3.41 93.01 15.76 6.73 74.42 6.17 2.63 31.14 26.96 11.50 62.67 2.97 17.82 174.48 31.41 1.11 24.00 17.95 3.89 24.99 103.35 105.25 3.51 5.69 8.96 14.41 32.57 1.90 1.90 1.52 5.32 3.42 2.13 0.81 8.92 0.71 9.05 21.62 0.28 5.78 13.41 19.47 356.81
1.27 7.60 74.44 13.77 0.49 9.00 7.87 1.71 10.96 43.80 44.59 1.47 2.38 3.75 6.03 13.63 0.79 0.79 0.64 2.22 1.43 0.89 0.34 3.74 0.30 3.79 9.06 0.12 2.42 5.62 8.16 151.31
102.43 14.14 1.59 20.00 11.55 47.28 47.28 0.00 0.00 0.00 1.10 1.10 0.00 150.81
41.96 94.67 597.91 75.85 29.05 372.00 337.28 50.01 419.26 1,283.45 1,374.40 5.17 7.18 0.38 3.26 15.99 90.95 164.65 23.70 279.30 188.35 42.69 11.22 71.97 6.04 232.03 363.95 0.80 10.02 2.32 13.14 2,553.74
Total 139.86 300.71 104.42 96.91 39.94 101.13 46.20 120.09 949.26 135.17 32.24 425.00 363.10 55.61 466.76 1,477.88 1,571.52 10.15 15.25 13.09 23.70 62.19 93.64 167.34 25.86 286.84 193.20 45.71 12.37 84.63 7.05 245.97 395.73 1.20 18.22 21.35 40.77 3,212.67
Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Direktorat Pemanfaatan Sumber daya Air, Dep.Kimpraswil (2003)
Tabel 4 Neraca air pada MK tahun 2003 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pulau Sumatera Jawa Bali Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua
* : % terhadap total nasional
Kebutuhan (kemarau) Milyar m3 (%)* 11.6 17.5 38.4 57.8 2.9 4.3 4.3 6.5 9.0 13.6 0.1 0.2 0.1 0.1
Tahun 2003 Ketersediaan (kemarau) Milyar m3 (%) 96.2 19.9 25.3 5.2 167.0 34.6 4.2 0.9 14.4 3.0 12.4 2.6 163.6 33.9
Neraca surplus defisit surplus defisit surplus surplus surplus
20 Tabel 5 Proyeksi keadaan neraca air pada MK tahun 2020 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pulau Sumatera Jawa Bali Kalimantan Nusa Tenggara Sulawesi Maluku Papua
Tahun 2020 Ketersediaan (kemarau) Milyar m3 (%) 96.2 19.9 25.3 5.2 167.0 34.6 4.2 0.9 14.4 3.0 12.4 2.6 163.6 33.9
Kebutuhan (kemarau) Milyar m3 (%)* 13.3 17.6 44.1 58.4 3.5 4.6 4.7 6.2 9.7 12.8 0.1 0.2 0.2 0.2
Neraca Surplus Defisit Surplus defisit surplus surplus surplus
Sumber: Sub Direktorat Hidrologi, Dep.Kimpraswil, 2000
. Ketersediaan sumber daya air nasional (annual water resources, AWR) memang masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya utilizable. Sebaiknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasi suryanya melimpah, curah hujannya rendah (< 1500 mm/tahuin) yang terdistribusi selama 34 bulan saja. Kondisi sumber daya air yang berbeda akan memerlukan strategi pengelolaan dan sistem usahatani yang berlainan pula. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah (air permukaan dan air bumi) di seluruh Indonesia adalah 2110 mm/tahun setara dengan 127.775 m3/detik (Tabel 6) (Pawitan, et al, 1996; Las, Pawitan, Sarnita,1998). Berdasarkan analisis ―water-demand-supply 2020‖ oleh International Water Management Institute (IWMI), Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan kebutuhan dan potensi sumber daya airnya yang membutuhkan pengembangan sumber daya 25-100% dibanding saat ini (Seckler, et al., 1998). Tabel 6 Total air tersedia menurut wilayah/kepulauan di Indonesia Wilayah/ Pulau
Luas (Km2)
Curah Hujan (mm/th)
Total Air Tersedia 3
(mm/th)
(m /det)
MCM
Keb. air irigasi MCM
Sumatera
477.379
2.801
2.128
32.198
1015.396
19.417
Jawa Bali & NT
121.304 87.939
2.555 1.695
1.915 1.167
7.360 3.251
232.105 102.525
32.255 3.808
Kalimantan Sulawesi
534.847 190.375
2.956 2.156
2.264 1.568
38.369 9.458
1210.004 298.267
8.123 7.855
499.300
30.221
2.221
37.139
1171.215
218
1911.144
2.779
2.110*
127.775
4029.512
71.676
Maluku/Papua Indonesia
Sumber : Pawitan et al (1996) dan Napitupulu(1999) data diolah, *dengan asumsi air hanya digunakan 1(satu) kali
21 Sementara itu secara hidrologis masih terdapat peluang yang cukup besar untuk meningkatkan ketersediaan air melalui pemanfaatan air limpasan (direct runoff) sebesar kurang lebih 45% dari total hujan, sedangkan sisanya yaitu 55% akan dievapotranspirasikan (Seckler et al, 1998). Di Indonesia pada beberapa DAS yang kritis prosentase air limpasannya lebih dari 50%, sehingga proporsi air yang disimpan sebagai cadangan air tanah sangat rendah dan sering menyebabkan banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sementara itu potensi sumber daya air tanah cukup besar, yaitu dengan debit 4,7 x 109 m3/tahun dari 224 cekungan yang tersebar diseluruh Indonesia. Sumber daya air tersebut pada musim kemarau sangat potensial untuk suplemen air permukaan (irigasi dan curah hujan bagi kebutuhan pertanian (Soetjipto, 1997). Hasil penelitian teknologi panen hujan dan aliran permukaan di Sub DAS Kripik menunjukkan bahwa teras sawah dapat menurunkan debit puncak dari 14,42 menjadi 11.40 m3/detik, dan memperpanjang waktu terjadinya debit puncak selama 42 menit (Irianto, 1999). Debit puncak pada lahan yang diteras lebih rendah 3,02 m3/detik dibandingkan dengan lahan tidak diteras, sedangkan waktu respon lahan berteras lebih lama 42 menit. Artinya DAS yang diteras menyimpan air hujan dan aliran permukaan lebih besar dari pada yang tidak diteras. Dalam penelitiannya Irianto (1999) juga mengemukakan bahwa apabila kapasitas menahan air pada lahan tanpa teras dibandingkan dengan lahan yang diteras untuk luasan yang sama, maka teras dapat menyimpan 1,2 kali lebih besar dibandingkan lahan tidak diteras.
Bahkan secara potensial teras mampu
menampung volume air 2-3 kali lebih besar dari yang ada apabila genangan air di teras dapat mencapai ketinggian 6-10 cm. Berdasarkan
sebaran luas baku lahan dan sebaran jumlah penduduk
Indonesia, terlihat adanya kesenjangan (gap) ketersediaan air antar pulau (wilayah) yang cukup besar (Tabel 7). Menurut Ditjen Pengairan (1997), batas kritis yang ―aman‖ persediaan air wilayah berdasarkan jumlah penduduk adalah 2000 MCCT (meter cubic per capita per year). Jika berada di bawah nilai tersebut maka diperkirakan bahwa pengembangan sumber daya air untuk mengikuti laju peningkatan kebutuhan di masa datang sulit dilakukan.
22 Tabel 7 Rasio ketersediaan air dan luas lahan pertanian dan ketersediaannya per kapita Wilayah Sumatera Jawa Bali & NT Kalimantan Sulawesi Maluku/Papua Indonesia*) *)
Luas Wilayah % 24,7 6,9 4,6 28,1 9,9 25,9 100,0
Total Air Tersedia GMC 1015 232 103 1210 298 1171 4030
Luas Lahan Rb. Ha 14.833 7.052 1.574 6.229 5.063 tad 34.763
Air/luas lahan MCHY 68.429 32.898 65.438 194.252 58.858 115.928
Penduduk
Air/kapita
Jt. Jiwa 42,6 121,3 10,8 10,6 14,2 4,1 203,6
MCCY 23.826 1.896 9.537 114.151 20.986 285.610 19.793
tad = tidak ada data
Penerapan rekayasa teknologi irigasi dan pengelolaan sumber daya air dimungkinkan untuk mentransfer air dari satu ke lain DAS, namun belum mungkin dilakukan antar pulau. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap air dalam bentuk investasi air oleh swasta atau privatisasi air untuk irigasi (misalnya sprinkler irrigation, drip irrigation) merupakan salah satu indikator berkembangnya sektor agribisnis. Melalui penerapan teknik rekayasa irigasi yang memadai, maka efisiensi irigasi dan air dan pengembangan komoditas unggulan bernilai ekonomi tinggi pada petani yang pemilikan lahannya sempit dapat ditingkatkan dan mampu membiayai investasi yang ditanamkan sekaligus memberikan keuntungan yang mamadai (Dahigaonkar, 1993). Pengembangan teknik irigasi tersebut juga sangat tepat untuk pengembangan lahan kering, mengingat pada saat ini lahan kering semakin strategis dalam ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis (Las et al., 2000). Dari hasil penelitian peningkatan intensitas pertanaman mengenai palawija utama menunjukkan bahwa tanaman kedelai dan jagung merupakan tanaman yang relatif tidak boros air dan merupakan tanaman palawija utama di Indonesia, dapat dipilih menjadi tanaman alternatif yang dapat digunakan untuk mengganti padi. Peningkatan IP pada dasarnya adalah pemanfaatan sumber daya air dan lahan secara optimal. Potensi ketersediaan air sangat menentukan jenis tanaman yang ditanam. Jika potensi air relatif besar, jenis tanaman yang sebaiknya ditanam adalah padi. Sedangkan pada daerah yang mempunyai ketersediaan air terbatas, lahan sebaiknya ditanami palawija (kedelai dan jagung).
23 Selanjutnya masalah air di Indonesia ditandai juga dengan kondisi lingkungan yang makin tidak kondusif sehingga makin mempercepat kelangkaan air. Kerusakan lingkungan antara lain disebabkan oleh terjadinya degradasi daya dukung daerah aliran sungai (DAS) hulu akibat kerusakan hutan yang tak terkendali sehingga luas lahan kritis sudah mencapai 18,5 juta hektar. Di samping itu jumlah DAS kritis yang berjumlah 22 buah pada tahun 1984 telah meningkat menjadi 59 buah pada tahun 1998. Fenomena ini telah menyebabkan turunnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau sehingga frekuensi dan besaran banjir makin meningkat, demikian juga sedimentasi makin tinggi yang menyakibatkan pendangkalan di waduk dan sungai sehingga menurunkan daya tampung dan pengalirannya. Pada tahun 1999 terdeteksi bahwa dari 470 DAS di Indonesia, 62 di antaranya dalam kondisi kritis, yang diprediksi dari perbandingan aliran maksimum dan minimum sungai-sungai yang sudah jauh melampaui batas normalnya. Keadaan ini diperparah oleh degradasi dasar sungai akibat penambangan bahan galian golongan C di berbagai sungai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat yang telah menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi prasarana dan sarana di sepanjang sungai. Sementara itu penyedotan air tanah terutama di beberapa kota besar di Indonesia yang melebihi kemampuan alami untuk mengisinya kembali makin tidak terkendali sejalan dengan perkembangan permukiman dan pertumbuhan kegiatan ekonomi penduduk yang pada akhirnya menyebabkan permukaan tanah turun, muka air tanah menurun, dan terjadinya intrusi air laut. Sebagai contoh, di wilayah Leuwigajah (Bandung) telah terjadi penurunan muka air tanah yang mencapai 60 meter sedangkan di Jakarta muka air tanah turun rata-rata antara setengah sampai dengan tiga meter per tahun dan intrusi air laut telah sampai di wilayah Jakarta Pusat yaitu di daerah Monumen Nasional (Santoso, 2000). Penurunan muka air tanah tersebut telah menyebabkan turunnya permukaan tanah dengan laju 2,3 sampai dengan 34 sentimeter per tahun sehingga meningkatkan kerentanan wilayah-wilayah tersebut terhadap banjir. Salah satu implikasi terbesar dari kelangkaan air global dan lokal adalah jaminan kesinambungan ketahanan pangan (food security). Sebagian besar dari sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih mengalami kekurangan pangan dan kelaparan hidup di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air yang laten.
24 Dari sekitar 3.600 kilometer kubik air yang dikonsumsi manusia per tahun (ekivalen dengan 580 meter kubik per kapita per tahun), sekitar 69 persen di antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian, bahkan di Asia mencapai rata-rata sekitar 83 persen, sedangkan sisanya sebesar 21 persen untuk industri, dan 10 persen untuk sektor perkotaan. Ancaman kelangkaan air untuk kehidupan manusia ini menjadi lebih kita pahami bila menyadari bahwa untuk memproduksi satu kilogram beras diperlukan sekitar satu sampai tiga ton air (FAO, 2002) . Di Indonesia, pada tahun 2020 kebutuhan air untuk keperluan irigasi masih mencapai 74,1 persen dari total kebutuhan sedangkan lainnya digunakan untuk keperluan domestik, perkotaan, dan industri (domestic,municipal and industries - DMI) sebanyak 11,34 persen, pemeliharaan sungai 7 11,53 persen, dan sisanya untuk keperluan tambak dan peternakan (Kimpraswil, 2003). Kekurangan air pada suatu kawasan juga akan memicu terjadinya konflik di kawasan tersebut, baik konflik antar wilayah, antar sektor, maupun konflik antar petani dan pengguna air lainnya. Dalam skala tertentu, konflik penggunaan air secara horizontal sudah terjadi di Indonesia terutama antara daerah hulu dan hilir. 2.1.4 Kelangkaan Air Salah satu implikasi terbesar dari kelangkaan air global dan lokal adalah jaminan kesinambungan ketahanan pangan (food security). Sebagian besar dari sekitar 800 juta penduduk dunia yang masih mengalami kekurangan pangan dan kelaparan hidup di wilayah-wilayah yang mengalami kekurangan air yang laten. Dari sekitar 3.600 kilometer kubik air yang dikonsumsi manusia per tahun (ekivalen dengan 580 meter kubik per kapita per tahun), sekitar 69 persen di antaranya dipergunakan untuk sektor pertanian --bahkan di Asia mencapai rata-rata sekitar 83 persen-- sedangkan sisanya sebesar 21 persen untuk industri, dan 10 persen untuk sektor perkotaan. Ancaman kelangkaan air untuk kehidupan manusia ini menjadi lebih kita pahami bila menyadari bahwa untuk memproduksi satu kilogram beras diperlukan sekitar satu sampai tiga ton air (FAO, 2002) . Di Indonesia, pada tahun 2020 kebutuhan air untuk keperluan irigasi masih mencapai 74,1 persen dari total kebutuhan sedangkan lainnya digunakan untuk keperluan domestik, perkotaan, dan industri (domestic,municipal and industries - DMI)
25 sebanyak 11,34 persen, pemeliharaan sungai 7 11,53 persen, dan sisanya untuk keperluan tambak dan peternakan (Kimpraswil, 2003). Kelangkaan air yang terjadi, terutama di musim kemarau, semakin terasa akibat kompetisi pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Untuk itu dalam pengelolaan air, perlu mempertimbangkan kebutuhan air untuk komponen usaha tani lain selain dari tanaman. Kekurangan air pada suatu kawasan juga akan memicu terjadinya konflik di kawasan tersebut, baik konflik antar wilayah, antar sektor, maupun konflik antar petani dan pengguna air lainnya. Dalam skala tertentu, konflik penggunaan air secara horizontal sudah terjadi di Indonesia terutama antara daerah hulu dan hilir. Pakar hidrologi mengembangkan konsep model untuk menentukan kelangkaan air (water scarcity) di dunia.
Pengalaman beberapa Negara
menunjukkan bahwa kelangkaan air (terjadi saat kurang dari 1.000 m3 air tawar (renewable freshwater) tersedia per orang per tahun. Jika air bersih tersedia antara 1.000 -1.700 m3 per orang per tahun dinyatakan stress air (water stress). Dan jika lebih dari 1.700 m3
per orang per tahun relatif cukup air (water sufficient)
(Falkenmark et al., 1999).
2.2 Water Allocation (Alokasi Air) Alokasi memungkinkan sumber daya yang terbatas untuk dibagi. Dalam kasus air, alokasi saat ini dibuat berdasarkan sumber daya apakah sedang diakses saat ini di simpanan permukaan (air permukaan) atau simpanan bawah permukaan (airbumi). Alokasi air ini didasarkan pada perkiraan hasil yang berkelanjutan dari sumber daya yang ditetapkan, berasal dari pemahaman tentang kapasitas penyimpanan, tingkat pengisian dan dampak ekstraksi. Kerangka alokasi air cenderung tidak mempertimbangkan nilai hubungan. Oleh karena itu, hubungan sumber daya air dinilai tidak berlebihan dialokasikan (atau berlebihan digunakan) dalam suatu pemisahan, mungkin dalam kenyataannya adalah bilamana dipertimbangkan secara bersama-sama.
2.2.1 Konflik dan Dampak Penggunaan Air antar Sektor Walaupun sejarah konflik permasalahan sumber daya air sudah ada sejak ribuan tahun lalu di negara-negara Timur Tengah akan tetapi gagasan water
26 sharing di negara-negara maju seperti Amerika, Eropa pada umumnya dan Australia baru dirintis pada awal 1970-an (Gleick, 2003). Di Asia konflik water sharing di Gangga dimulai sesaat setelah pemisahan India menjadi dua pada tahun 1947. Dimulai dengan liputan media India atas rencana India membangun Farakka Barrage di Gangga. Konflik dapat diantisipasi dengan ditandatanganinya antara India- Pakistan yaitu Indus Water Sharing Treaty bulan April tahun 1960, Ganges Water Sharing Treaty antara
India dan
Bangladesh 12 Desember 1996, Mahakali Integrated Development Treaty tahun 1996 antara India-Nepal (Parajuli et al., 2003). Konflik mungkin berakar dari rangsangan untuk memiliki atau menguasai sumber daya air negara lain, sehingga membuat sumber daya dan sistem air sebagai suatu tujuan politis atau militer. Distribusi yang tidak adil dan penggunaan sumber daya air, kadang-kadang timbul dari suatu pembangunan air, barangkali menimbulkan berkembangnya perselisihan, menambah pentingnya air sebagai tujuan strategis atau menimbulkan degradasi/penurunan sumber air yang lainnya. Konflik mungkin juga timbul ketika sistem air digunakan sebagai instrumen/alat perang, baik sebagai target atau alat bantu (tools). Pada tahun 2001, lembagalembaga mulai memasukkan peristiwa-peristiwa keterlibatan air dan terorisme. (Gleick, 2003). Di Indonesia terdapat dua fenomena besar yang sangat meresahkan petani dan masyarakat kelas menengah bawah dalam hal penggunaan air, yaitu (1) penguasaan absolut atas sumber mata air (spring water resources) oleh sektor tertentu yang tidak terkendali, serta (2) belum tersedianya pola, sistem, dan mekanisme dalam: penetapan water sharing, implementasi, pemantauan, dan penyelesaian konfliknya, sehingga masing-masing pemangku kepentingan (stake holder) mendapat perlakuan yang adil. Kedua isu tersebut saat ini terus mengemuka, karena selain air menguasai hajat hidup orang banyak, ia juga menjadi komponen utama penyusun makhluk hidup. Sementara itu, secara kuantitas ketersediaannya yang utilizable terus menurun akibat rusaknya daur hidrologi, pencemaran (Irianto, 2004). Dalam konferensi pembangunan berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat terikat oleh kesepakatan tentang pembangunan berkelanjutan di bidang sumber daya air. Kesepakatan tersebut
27 hendaknya bisa dijadikan peluang untuk membuat peraturan pengalokasian sumber daya air agar adil dan optimal antar sektor. Sebenarnya tujuan penting pengelolaan air adalah untuk menyeimbangkan permintaan dengan ketersediaan air, melalui pengaturan alokasi air yang sesuai. Umumnya di DAS dan sub DAS terdapat sejumlah besar konflik penggunaan air termasuk untuk irigasi, penggunaan domestik di perkotaan, penggunaan domestik di pedesaan, peternakan, penggunaan industri, penggunan komersial, untuk lingkungan (kebutuhan air untuk kehidupan air dan satwa liar, penggunaan air untuk institusi (sekolah, rumah sakit dll), PLTA, pendinginan (pembangkit tenaga panas), perikanan, rekreasi, dan navigasi menurut (Wallingford, 2003). Di banyak negara Afrika selatan ada reformasi yang signifikan dalam cara pengelolaan air. Salah satu aspek dari reformasi air ini di Afrika Selatan adalah meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan air melalui organisasi pengelola DAS. Beberapa jenis penggunaan air memberi nilai lebih daripada jenis lainnya. Kasus klasik adalah nilai yang berbeda dicapai dalam sektor pertanian dan perkotaan: nilai yang dicapai dalam sektor perkotaan biasanya besarnya lebih tinggi daripada di bidang pertanian. Jika air saat ini digunakan di sektor pertanian, biaya kesempatan (opportunity cost), yaitu nilai dari penggunaan alternatif terbaik, mungkin sepuluh kali lebih tinggi, tentu saja subyek dari "lokasi dan sambungan hidrolik memungkinkan di antara pengguna". Dengan demikian pergeseran nilai yang lebih tinggi terhadap penggunaan sering dinaikkan (Wallingford, 2003). Sedangkan biaya kesempatan air untuk penggunaan air domestik mungkin tertinggi, saat ketersediaan lebih tinggi daripada permintaan, biaya kesempatan dari air akan jatuh ke jenis terbaik berikutnya yang digunakan. Hal ini tidak mungkin untuk mengkonsumsi semua air pada nilai penggunaan tertinggi. Biaya kesempatan yang tepat untuk air irigasi mungkin hanya setengah, atau kurang, daripada penggunaan alternatif terbaik. Bahkan, kemudian keandalan pasokan untuk irigasi pertanian dapat diterima jauh lebih rendah dari ketersediaan air perkotaan: bendungan penyimpanan menghasilkan x m3 air untuk irigasi sejumlah 80%, dapat menghasilkan hanya 0.5x m3 (atau kurang, tergantung pada hidrologi) untuk air perkotaan yang tersedia pada 95% reliabilitas. Biaya kesempatan yang efektif untuk penggunaan air irigasi karena itu harus setidaknya bisa dibagi dua. Biaya
28 kesempatan yang dihasilkan dengan demikian hanya sebagian kecil dari beberapa tuntutan ekonomi neo-klasik yang terjadi.
2.2.2 Rekomendasi Alokasi Air Tujuan
penting
pengelolaan
air
adalah
untuk
mencocokkan
atau
menyeimbangkan permintaan dengan ketersediaan air, melalui pengaturan alokasi air yang sesuai. Keseimbangan kebutuhan air dengan ketersediaan air adalah daerah tangkapan spesifik dan karenanya tidak ada satu metode tertentu yang dapat direkomendasikan. Keseimbangan penawaran dengan permintaan akan sering melibatkan proses pengambilan keputusan di mana kompromi yang sulit harus dibuat. Dalam semua kasus, proses alokasi air memerlukan pemahaman kuantitatif baik ketersediaan air dan permintaan air. Selain itu, aspek-aspek berikut harus mendapatkan perhatian yang cermat, dan kemungkinan kombinasi terbaik (win win solution) yaitu: kewajiban konstitusional untuk memberikan jumlah dasar air tawar untuk penduduk; hukum (atau perjanjian) kewajiban untuk mempertimbangkan persyaratan hilir di luar daerah yang sedang dipertimbangkan untuk alokasi air; kewajiban hukum untuk menyediakan kebutuhan air lingkungan hidup; Kehilangan air harus dianalisis dengan mempertimbangkan skala spasial yang berbeda, dan fungsi-fungsi yang tidak disengaja dimana kerugian ini dapat melayani; Prinsip alokasi harus mencakup ketentuan-ketentuan yang jelas untuk (ekstrim) saat kekeringan; Prinsip alokasi air yang harus meningkatkan pengguna air serta minat untuk berinvestasi dalam infrastruktur air dan untuk meningkatkan efisiensi.
2.3 Water Sharing (Berbagi Air) 2.3.1 Permasalahan dalam Water Sharing (Berbagi Air) Permasalahan yang tidak bisa dipisahkan dari upaya untuk menyediakan akses masyarakat terhadap air bersih adalah kompetisi, alokasi dan distribusi penggunaan air untuk keperluan pertanian, industri dan kebutuhan domestik, yang
29 semakin diperparah dengan laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi sementara pasokan dan ketersediaan air yang utilizable cenderung menurun. Permasalahannya semakin kompleks dengan adanya keragaman ketersediaan air antar waktu dan antar wilayah pada musim kemarau yang mengakibatkan penurunan kemampuan waduk dalam memasok air untuk keperluan pertanian, domestik dan industri. Permasalahan alokasi dan distribusi air sering muncul meskipun alokasi dan distribusi air antar sektor/pengguna sudah ditetapkan, namun dalam implementasi di lapangan sangat beragam terutama pada musim kemarau. Hal ini terjadi akibat alokasi yang sudah direncanakan tidak selalu tepat sasaran dalam hal kuantitas dan waktu pendistribusian, sehingga sangat merugikan sektor pertanian. Sebagai contoh Perum Jasa Tirta II sudah memperkirakan bahwa tidak akan terjadi defisit air sampai dengan musim kemarau 2004, tetapi Kompas (2004)
mengungkapkan
bahwa sebagian besar kawasan pertanian di pantura Jawa Barat mengalami keterlambatan tanam sekitar satu hingga satu setengah bulan pada awal musim tanam I (2003/2004). Dari total lahan seluas 240.000 ha yang mendapat air irigasi terdapat sekitar 30.738 ha yang belum ditanami padi hingga akhir Januari 2004. Daerah yang mengalami keterlambatan paling parah adalah Karawang, bahkan ada beberapa petani yang tidak bisa menanam selama setahun akibat keterlambatan tanam tahun lalu. Penyalahgunaan air untuk kepentingan satu pihak terlihat di mata air Desa Pager Rejo, Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Garang Hulu, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, telah terjadi pengambilan air yang berlebihan untuk keperluan industri dan air minum mulai tahun 1997 sampai sekarang. Hal itu berdampak terhadap penurunan intensitas tanam dan luas areal tanam serta produktivitas pertanian. Informasi ini dapat dengan jelas divalidasi dengan menggunakan citra dengan resolusi spatial dan temporal yang memadai seperti spot image multitemporal. Kasus serupa terjadi di DAS yang sama, yaitu di mata air Desa Nyatnyono, akibat pengambilan air yang berlebihan oleh produsen air kemasan. Fenomena yang identik juga terjadi di DAS Kali Kuning, Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan mata air Cokrotulung, Klaten, Jawa Tengah, yang mulai mengeksploitasi sumber mata air mulai tahun 2002 dan beroperasi penuh tahun 2004 (Irianto, 2004).
30 Tingginya kebutuhan air untuk irigasi dengan tingkat efisiensi rata-rata nasional yang masih di bawah 50% menyebabkan world water forum menuding bahwa sektor pertanian yang boros air perlu diprivatisasi. Pemikiran tersebut sangat kurang tepat dan membahayakan, karena sektor pertanian sebenarnya hanya memerlukan air irigasi pada musim kemarau, sementara pada musim hujan sepenuhnya tergantung pada air hujan. Produksi tanaman musim kemarau secara faktual kualitas dan produktivitasnya tinggi dengan pasar yang relatif bagus, karena pasokan terbatas sementara permintaan tetap.
2.3.2 Konsep Water Sharing (Berbagi Air) Di negara-negara bagian (state) yang saling berbatasan konsep water sharing adalah bagaimana menggunakan sumber daya air yang ada terutama dari sungai yang melintasi negara-negara tersebut secara proposional baik dalam hal kuantitas, kualitas dan aspek pengelolaanya. Gagasan water sharing antar negara/negara bagian menjadi sangat penting dan krusial manakala setiap negara/negara bagian mulai menghadapi pertambahan jumlah penduduk dan industri yang menuntut penyediaan air yang cukup baik dalam kuantitas dan kualitas. Hal tersebut seringkali memicu konflik politik antar negara yang berkepentingan seperti yang terjadi antara Meksiko dengan Amerika sempat mengganggu hubungan sosial dan ekonomi kedua belah pihak dalam mengelola ‖transboundary water sharing resources‖ sebelum konsep water sharing antar negara diperbaharui dan disepakati yang mencakup aspek pengelolaan dan pembiayaan sumber daya air konvensional (snowmelt, ground water and surface water) dan sumber daya air non konvensional (desilinated water and recycled water) (Bradley and Fluente, 2002). Permasalahan tersebut dapat dipahami karena dampak ekonomi dari water sharing yang tidak optimal (economic impact of water sharing) yang ditimbulkan sangat signifikan baik pada tingkat regional maupun nasional. Di dalam hukum Islam konsep water sharing
yang melibatkan banyak
pemangku kepentingan pada dasarnya menggunakan asas urutan prioritas yaitu : (1) hak untuk memuaskan kedahagaan (Haq al shafa), (2) domestik termasuk di dalamnya adalah untuk binatang (3) irigasi pertanian, dan (4) komersial dan industri (Hussein and Al-Jayyousi dalam Faruqui et al., 2001)).
31 Undang Undang (UU) nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air yang sudah disyahkan DPR merupakan salah satu bentuk manifestasi dari konsep water sharing. Namun sayangnya mekanisme yang digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut di dalam UU nomor 7 tahun 2004 dilakukan melalui hak guna yang terdiri dari hak guna pakai dan hak guna usaha. Hak guna usaha akan menempatkan posisi negara dan pemegang hak dalam posisi yang sejajar sehingga jika terjadi konflik diantaranya maka mekanismenya harus melalui pengadilan. Selain itu jika pada prakteknya terjadi perubahan alokasi air akibat meningkatnya kebutuhan maupun musim kemarau maka tidak serta merta negara dapat mengurangi alokasi air bagi pemegang hak guna usaha. Hal ini akan menyebabkan penguasaan absolut atas sumber-sumber air oleh sektor atau kelompok tertentu. Sehingga ke depan UU nomor 7 tahun 2004 perlu ditinjau ulang agar konsep water sharing dapat diatur lebih jelas dan transparan. Dalam menghadapi masalah sumber daya air yang semakin terbatas, alokasi sumber daya air menjadi perhatian penting dalam pengelolaan sumber daya air. Alokasi air yang adil dan optimal ke semua sektor pengguna air menjadi sangat penting guna mencapai kesejahteraan semua pihak. Kriteria kesejahteraan yang dapat dipakai dalam mengalokasikan sumber daya yang efisien, antara lain adalah: (1) kriteria kesejahteraan sosial, (2) kriteria pemerataan, (3) kriteria manfaat, dan (4) kriteria maksimin. Kriteria kesejahteraan mengasumsikan bahwa selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung. Individu memiliki preferensi yang bersaing satu sama lainnya, yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang optimum di mana alokasi optimum merupakan kondisi ―Pareto Optimum‖ dan disebut alokasi Pareto optimum. Kriteria pemerataan, merupakan suatu kriteria berdasarkan pada tingkat kepuasaan individu yang terlibat dan bukan jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jumlah barang bukan merupakan ukuran tetapi tingkat kepuasan yang optimum masing-masing individu menjadi tolok ukur utama. Dan kriteria manfaat hampir sama dengan kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas bersamanya mencapai maksimum. Ketiga kriteria ini sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kriteria maksimin yang dikemukakan oleh
32 John Rawls (1971) dalam Dinar et al. (1997), memandang masyarakat pada posisi awal, dimana tidak ada yang tahu dimana posisi dan kepuasan akhirnya. Kriteria Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi paling lemah, atau dikatakan memaksimalkan mereka yang utilitasnya minimum. Khusus yang menyangkut penggunaan air konsumtif (rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan), alokasi sumber daya air ditujukan dengan tujuan suplai air yang terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya rendah. Dengan kata lain, alokasi sumber daya air harus memenuhi tiga kriteria yaitu: (1). Eficiency (efisiensi), (2) Equity (keadilan), dan (3) Sustainability (keberlanjutan). Kriteria efisiensi memiliki tujuan biaya penyediaan air yang rendah, penerimaan per unit sumber daya yang tinggi, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kriteria keadilan memiliki tujuan akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat, dan kriteria keberlanjutan bertujuan untuk menghindari terjadinya deplesi air bawah tanah (groundwater depletion), menyediakan cadangan air cukup untuk memelihara ekosistem, dan meminimalkan pencemaran air. Selain kriteria di atas, arti yang sesuai dari alokasi sumber daya diperlukan untuk mencapai alokasi secara optimal atas sumber daya. Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk membandingkan bentuk-bentuk alokasi air (Howe et al., 1986 dalam Dinar et al., 1997): (1) Flexibility (fleksibilitas) dalam penyediaan air, sehingga sumber daya dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan, sehingga memungkinkan untuk menyamakan nilai marjinal melebihi banyak penggunaan dengan biaya rendah, (2) Security (keterjaminan) bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan sumber daya air seefisien mungkin; keterjaminan tidak bertentangan dengan fleksibilitas selama ada cadangan sumber daya yang tersedia untuk memenuhi permintaan tak terduga, (3) Real opportunity cost (biaya kesempatan yang riil) penyediaan sumber daya yang dibayarkan oleh pengguna, sehingga permintaan lain atau efek eksternalitas diinternalisasikan, (4) Predictability (kemungkinan meramalkan) hasil proses alokasi, sehingga alokasi terbaik dapat terwujud, dan ketidakpastian (khususnya untuk biaya transaksi) diminimalkan, (5) Equity proses alokasi harus dirasakan oleh
33 calon pengguna, memberikan kesempatan bagi setiap pengguna potensial untuk mendapatkan keuntungan yang sama dalam memanfaatkan sumber daya, (6) Political and public acceptability (akseptabilitas politik dan publik) sehingga tujuan alokasi bisa diterima oleh masyarakat. Beberapa kriteria tambahan berikut sering digunakan dalam debat kebijakan air dalam mewujudkan ekuitas atau keadilan dalam alokasi air. Paket tambahan kriteria meliputi: (1) Efficacy (keampuhan), sehingga bentuk alokasi bisa berubah mengikuti situasi yang tidak diinginkan seperti berkurangnya air tanah, dan pencemaran air untuk mencapai tujuan kebijakan yang diinginkan, dan (2) Administrative feasibility and sustainibility (kelayakan dan keberlanjutan administrasi), untuk bisa menerapkan mekanisme alokasi, dan untuk terus melanjutkan dan mengembangkan dampak kebijakan tersebut (Winpenny, 1994 dalam Dinar et al., 1997). Lebih lanjut menurut Wallace et al. (2003), untuk meminimalkan kekurangan air di masa mendatang dan dampak lingkungan yang tidak diinginkan, diperlukan pembagian sumber daya air yang lebih adil antara masyarakat dan alam. Hal ini akan membutuhkan jumlah fisik dan nilai-nilai sosial antara manusia dan ekosistem. Sistem valuasi air saat ini didominasi oleh nilai-nilai ekonomi sehingga perlu kuantifikasi baru dan metode penilaian yang lebih mempertimbangkan kesejahteraan manusia dan lingkungan. Gambar 3 menunjukkan masalah secara konseptual antara sistem alam dan sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Apabila sistem alam telah diubah, maka manfaat dari sistem alam menurun; misalnya fungsi hidrologi, produk dan keanekaragaman hayati akan hilang. Pada saat yang sama, keuntungan dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi akan meningkat, misalnya produksi makanan meningkat. Disarankan bahwa manfaat dari sistem dengan pengelolaan yang tinggi mencapai titik tertinggi, sedangkan manfaat dari sistem alam akan turun ke nol di beberapa titik. Total manfaat jangka panjang dapat dihitung dengan menambahkan manfaat dari sistem alam dan sistem dengan pengelolaan yang tinggi. Sehingga totalnya akan naik ke maksimum sebelum menurun. Pada titik tersebut keseimbangan level pengelolaan menjadi optimal. Hal ini jelas, bahwa masyarakat ditempatkan sebagai barang dan jasa dan pertimbangan etika akan menentukan ketepatan bentuk kurva. Memang, manfaat yang dirasakan akan berbeda antara
34 kelompok dan individu yang berbeda. Hal ini penting karena biaya dan manfaat alokasi air untuk masyarakat dalam menjaga ekosistem air dan mendukung penggunaan langsung dalam pertanian, industri dan domestik telah terukur. Keadilan (equity) telah menjadi konsep penting dalam alokasi air pada dekade terakhir. Sebagai tekanan terhadap peningkatan penggunaan sumber daya air, keadilan dan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan akan menjadi tantangan utama. Selama 100 tahun terakhir, pembangunan ekonomi telah didominasi oleh infrastruktur, dengan alokasi air terfokus pada pertanian intensif, pembangkit tenaga listrik, industri, dan domestik. Ada kecenderungan yang selalu berulang untuk mengabaikan kebutuhan masyarakat miskin di pedesaan, melebihi kebutuhan yang lain, tergantung pada sumber daya alam dan fungsi ekosistem. Alokasi air untuk kebutuhan masyarakat miskin yang lebih adil harus dipenuhi oleh redistribusi dari sektor lain, meskipun jumlah yang terlibat relatif kecil. Pada saat yang sama, konservasi ekosistem dan spesies langka sering menjadi prioritas terendah. Kini menjadi jelas bahwa kelangsungan hidup jangka panjang dari keragaman manusia dan biologis di Bumi akan bergantung pada paradigma baru alokasi yang adil antara kebutuhan ekonomi, sosial dan ekologi. Pembagian sumber daya air yang adil antara masyarakat dan alam akan membutuhkan nilai untuk ditempatkan pada kebutuhan keduanya. Nilai-nilai ini perlu dimasukkan ke dalam kebijakan makro-ekonomi yang lebih rasional sehingga pengambilan keputusan tentang alokasi air dapat dibuat, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk kita saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang (Wallace et al., 2003).
Gambar 3 Peningkatan manfaat ekosistem air tawar Kunci untuk pelaksanaan metode alokasi air yang lebih adil adalah penerapan pengelolaan sumber daya air terpadu berbasis DAS. Kerangka holistik ini
35 memungkinkan kebutuhan air untuk manusia dan ekosistem dan interaksi di antara mereka dapat dipahami dengan lebih baik. Pengetahuan ini memberikan dasar untuk menggabungkan faktor-faktor sosial yang relevan sehingga kebijakan dan undang-undang air dapat dikembangkan untuk penggunaan terbaik dalam sumber daya air yang terbatas. DAS berbasis co-management dapat membantu untuk memastikan pembagian air antara manusia dan alam menjadi lebih efektif (Wallace et al, 2003). Jadi kriteria terpenting dalam konsep water sharing kedepan adalah keadilan dan keberlanjutan. Keadilan mengandung makna bakwa semua stakeholder pengguna air memiliki akses terhadap sumber daya air atau mendapatkan alokasi yang optimal sesuai kebutuhannya. Sedangkan keberlanjutan mengandung makna bahwa penggunaan sumber daya air tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang sehingga penggunaan sumber daya air harus diupayakan untuk penyediaan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran lingkungan.
2.3.3 Implementasi Water Sharing (Berbagi Air) 1. Water Sharing di Asia Contoh implementasi water sharing di Asia terlihat pada Indus Water Treaty memberikan rencana untuk water sharing sungai Indus dan anak –anak sungainya yang mengalir melalui India dan Pakistan. Indus Water Treaty menjadi perlu setelah pemisahan India dengan Pakistan pada tahun 1947. Antara kedua negara mengeluarkan suatu kerangka tentang water sharing treaty. Ciri-ciri utama Indus Water Treaty meliputi:
Semua air dari sungai-sungai bagian timur (Sutlej, Ravi, dan Beas) akan tersedia untuk penggunaan yang tidak terbatas untuk India
Pakistan mengambil air dari anak sungai Basantsar dari sungai Ravi untuk keperluan irigasi kurang lebih 100 acre (40 ha) lahan per tahun
Pakistan akan mengambil air dari anak sungai yang mengikuti Ravi yang di perlukan untuk irigasi yang telah ditentukan batas minimumnya (Tabel 8).
36 Tabel 8 Penggunaan minimum air sungai untuk irigasi Anak Sungai
Penggunaan minimum untuk irigasi tahunan (acre*) 14.000 26.600
Basantar Bein Tamah
1.800
Ijh
3.000
Ket: * 1 acre = 0,4646 ha
Aliran air di Pakistan yang menghubungkan sungai utama Sutlej atau Ravi, tersedia untuk penggunaan yang tidak terbatas untuk Pakistan. India tidak membuat syarat/ketentuan, hal ini sebagai pemberian kepada Pakistan atas beberapa hak yang diberikan untuk beberapa wilayah. Pakistan bebas menggunakan semua air dari sungai di bagian barat (Indus, Jhelum, dan Chenab) dimana India berkewajiban untuk mengalirkannya. Air ini digunakan untuk: (a) Domestik, (b) Penggunaan yang tidak konsumtif, (c) India akan mengalirkan air dari sungai utama Chenab untuk pertanian di Pakistan dengan mengikuti ketentuan aliran maksimum yang bisa digunakan seperti yang disajikan pada Tabel 9 berikut: Tabel 9 Ketentuan aliran maksimum bagi Pakistan yang digunakan untuk pertanian Nama kanal Kanal Ranbir Kanal Pratap
Aliran maksimum untuk pertanian 100 cusec dari 15 April sampai 14 Oktober, dan 350 cusec dari 15 Oktober sampai 14 April 400 cusec dari 15 April sampai 14 Oktober, dan 100 cusec dari 15 Oktober sampai 14 April
d) India bisa melanjutkan untuk mengairi pertaniannya dari sungai di sebelah barat pada hari yang ditetapkan misalnya 1 April 1960, (e) India bisa juga menggunakan aliran lanjutan dari basin berikut: Tabel 10 Ketentuan aliran maksimum bagi India untuk pertanian Aliran sungai Dari Indus dalam drainage basin Dari Jhelum dalam drainage basin Dari Chenab dalam drainage basin Sisi luar drainase pada wilayah barat Dag Nadi, jumlah daya tampung saluran irigasi yang keluar drainage basin Chenab ke daerah ini tidak lebih dari 120 cusecs
Wilayah maksimum yang ditanami (acre) 70.000 400.000 225.000 acre, tidak lebih dari 100.000 acre ada di wilayah Jammu
6.000
37 (f) Pembangkit tenaga hiro-elektrik dari hidro-elektrik yang dibangun yang beroperasi atau dibangun pada hari yang ditetapkan (1 April 1960), (g) India bisa membangun runoff river baru atau menyimpan air pokok untuk kriteria khusus sebagai uraian dalam perjanjian Annexure D dan E. Setiap kelompok di kedua negara setuju bahwa beberapa penggunaan non konsumtif disepakati melalui perjanjian bersama, sedangkan aliran yang digunakan untuk kepentingan yang konsumtif melalui syarat dari perjanjian Kedua negara setuju untuk membentuk panitia bersama, yang dinamakan Permanent Indus Commission. Sedangkan pemerintah akan memutuskan untuk mengadakan beberapa pernyataan tidak resmi secara langsung dengan pelaksanaan perjanjian tersebut.
2. Water Sharing di Australia Australia telah membangun teknik-teknik resolusi konflik dalam perencanaan jangka panjang dan pendekatan konsultatif untuk kepentingan pengambilan keputusan alokasi air. Ada suatu riset ini di Lockyer catchment yang menggambarkan bagaimana menghidupkan nilai dan minat tentang penggunaan air yang berkelanjutan dan mengendalikan kepentingan sendiri yang berhubungan dengan peraturan yang dijabarkan ke dalam satu proses pengambilan keputusan di, hal ini juga telah digunakan di Lower Balonne. Dalam mencari kesepakatan, pemecahan masalah bersama, mengidentifikasi kriteria untuk pilihan-pilihan, dan membingkainya kembali, semua teknik-teknik resolusi perselisihan dalam proses pengambilan keputusan di Lockyer Catchment melalui satu sharing diskusi-diskusi dan pandangan-pandangan ke arah pengaturan-pengaturan administratif alokasi air yang saling menghormati. Sedangkan hasil dari negosiasi pada draft Lockyer WRP telah menuju ke arah pencapaian yang lebih besar dalam keberlanjutan regional jangka panjang berdasarkan tiga garis dasar (ekonomi, sosial, dan lingkungan) dan peningkatan pelaksanaan agenda reformasi air di Lockyer Catchment. Perbedaan kontras terjadi di Lower Balonne, bahwa ketiadaan perhatian untuk kebutuhankebutuhan air, dan kelalaian untuk menggunakan beberapa teknik-teknik resolusi konflik dasar, terutama sekali penghormatan pada sharing pandangan-pandangan
38 yang terpimpin di dalam hubungan-hubungan antara para pihak. Dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan para pihak, pemerintah Queensland telah memastikan satu pengambilan keputusan ROP yang lebih dapat dipercaya dan proses pengambilan keputusan ROP yang abadi di Lower Balonne. Hal ini tidak berarti bahwa proses-proses alokasi dan perencanaan sumber daya air perlu diperlakukan istimewa terutama dalam proses-proses resolusi konflik (melalui proses-proses yang mungkin terjadi di dalam hubungan dimana konflik terjadi). Yang lebih baik dilakukan, harus menumbuhkan rasa hormat pada kebutuhan-kebutuhan dan perhatian-perhatian, perlu identifikasi tentang minat dasar dan hal-hal yang disetujui, dan penggunaan tepat dari pendekatan resolusi konflik yang lain, sehingga hal ini dapat menambah nilai untuk satu perencanaan melalui proses konsultatif. 3. Water Sharing di Afrika Keadilan adalah prinsip luas yang paling bisa diterima dalam pembagian sumber air lintas batas Afrika. Seperti kasus Zambezi River yang dibagi ke delapan negara Afrika Tengah bagian selatan. Akan tetapi, masalahnya menjadi rumit karena adanya struktur kontrol buatan yang tidak hanya cenderung pada perubahan aliran rezim alam dari hilir sungai, tetapi juga pengaruh budaya leluhur. Pembagian air dari Zambezi River untuk
wilayah Zambia maupun Zimbabwe, dan
merekomendasikan alokasi pada basis konstribusi aliran dari dua Negara Bagian, mengasumsikan 100% penggunaan oleh semua negara-negara hulu. Kriteria berdasarkan pada kombinasi sistem alokasi prioritas dan proporsional. Berbagai bentuk dari sistem alokasi digunakan oleh otoritas pengelolaan air dunia. Umumnya sistem merupakan variasi atau kombinasi dari dua sistem fundamental yaitu sistem prioritas dan proporsional. Sistem prioritas Sistem ini membutuhkan prioritas dari kelompok pengguna air dengan cara bahwa kelompok prioritas yang tinggi dipertimbangkan menempati tempat pertama untuk alokasi dalam kejadian bahwa jumlah yang tersedia tidak mencukupi untuk memenuhi semua pengguna. Kedua negara Zambia dan Zimbabwe memprioritaskan kebutuhan air primer (domestik) dari semua grup pengguna air.
39 Sistem proporsional Dalam sistem ini pengguna air membagi jumlah yang tersedia dalam proporsi yang ditentukan dengan semua pengguna air mendapatkan alokasi proporsional apabila sumberd aya tidak mencukupi.
Sistem yang mengkombinasikan keduanya diadopsi Zambezi River. Kebutuhan air primer akan diberikan prioritas pertama dalam sistem sedangkan pengguna yang lain menerima alokasi proporsional yang hanya akan sepenuhnya terpenuhi bila ketersediaan sumber daya air mencukupi. Upaya untuk meningkatkan kepedulian konflik potensial seputar akses air yang menuju pada pasokan terbatas pada 2020 dan menyarankan beberapa pendekatan masalah. Studi water sharing di Afrika menunjukkan bahwa beberapa negara bagian di Afrika Tengah bagian selatan akhirnya mempersiapkan dengan lebih baik upaya untuk memperkenalkan keseimbangan dan menyediakan mekanisme perbaikan untuk mengantisipasi konflik melalui beberapa rekomendasi Sedangkan konsep keadilan dalam pembagian sumber air Zambezi River umumnya pada kedua Zambia dan Zimbabwe bisa dipertimbangkan dalam hubungannya dengan dua skenario: 1) antara berbagai grup pengguna/kategori, tidak tergantung pada lokasinya dan 2) antara pemerintah Negara bagian yang berkuasa. Merupakan suatu fakta bahwa air, seperti unsur alam yang lain, diketahui tidak ada batas-batas politik. Air akan selalu mengalir ke lereng yang lebih rendah, tanpa disadari melibatkan seluruh unsur ekologi, termasuk manusia. Setiap anggota dalam sistem ekologi harus dipertimbangkan untuk mempunyai akses yang sama pada air. Setiap intervensi hulu akan berakibat, positif atau sebaliknya terhadap ketepatan pembagian air pada masing-masing grup pengguna di hilir. Kesulitannya adalah bagaimana membangun konsep pembagian yang tepat yang diakibatkan setiap unsur. Oleh karena itu kelompok pengguna yang ada perlu dipertimbangkan mendapatkan pembagian yang adil dalam setiap unit air yang mengalir dari hulu sampai anak sungai. Hal ini juga dimaksudkan agar kelompok pengguna khusus mampu ―menyelamatkan‖ dengan cepat ketersediaan airnya.
40 Pada konteks keadilan internasional dalam akses sumber air transboundary seperti Zambezi River, ini bisa lebih aman apabila membuang jauh-jauh batasan politik. Alokasi cadangan untuk kebutuhan masa depan digunakan sebagai suplemen dan penyangga dalam fluktuasi permintaan air dalam kelompok pengguna. Selain itu, tenaga air, menjadi satu singa yang bisa berbagi air, karena bukan merupakan pengguna yang konsumtif. Oleh karena itu, air masih tersedia dalam lingkungan dan untuk pengguna konsumtif yang lain.
4. Water Sharing di Eropa Eropa menghadapi berbagai macam tantangan yang berhubungan dengan air, perubahan iklim, peningkatan populasi dan peningkatan penggunaan air. Eropa, sebagai benua, terdiri dari 46 negara, dan banyak perbedaan ekstrim muncul diantaranya adalah kaya versus miskin, maju versus sedang berkembang, daerah yang menderita kekeringan versus daerah yang menghadapi banjir, air bersih versus air minum yang tidak aman dikonsumsi, dan optimal versus ketiadaan sanitasi. Kondisi umum terlihat bahwa barat laut Eropa memiliki kelebihan air, Eropa selatan memiliki sangat sedikit air, dan Eropa timur tidak memiliki cukup sanitasi dan air minum. Kesemuanya ini berarti bahwa, dalam kenyataannya, Eropa menghadapi sekumpulan besar tantangan-tantangan. Penggunaan air berkelanjutan adalah sebuah contoh yang baik, karena hal ini adalah masalah yang dihadapi oleh hampir semua negara dan daerah. Selain itu, kita juga harus menyadari bahwa tekanan yang dibebankan oleh tingginya kepadatan populasi Eropa, dan pertumbuhan penduduk di beberapa negara, sebagaimana pertumbuhan irigasi pertanian, sering memperburuk tantangan air. Di Eropa, 41 juta orang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman dikonsumsi dan 85 juta kekurangan akses untuk sanitasi dasar. Namun, akses terhadap air adalah hak dasar manusia. Jadi, beban pokok ini harus dibagi secara merata diantara masyarakat, daerah-daerah dan bahkan negara, melalui prinsip ‖solidaritas‖ yaitu suatu aksi berdasarkan kepercayaan orang bahwa mereka mempunyai tugas untuk membantu sesama manusia. Mekanisme solidaritas melibatkan semua komponen dalam masyarakat termasuk pemerintah, otoritas
41 lokal, kelompok-kelompok masyarakat sipil, perusahaan swasta, dan lembagalembaga multilateral. Banyak mekanisme solidaritas yang sukses telah ada di Eropa. Dalam negeri di Eropa, distribusi pelayanan dan biaya yang adil dilakukan melalui pajak umum, tarif air yang lebih tinggi untuk daerah-daerah yang lebih kaya (atau urban) dan bisnis, dan rencana ‘keuntungan-bersih‘ untuk menyediakan subsidi biaya air bagi rakyat miskin. Diantara negara-negara, mekanisme solidaritas telah ada termasuk investasi finansial Uni Eropa di Anggota Negara Bagian yang Baru dan dana pengembangan luar negeri yang disediakan oleh EuropeAid dan European Water Inisiative. Contoh lain termasuk penggalangan dana yang difokuskan untuk air, dana sumbangan dan keahlian melalui adanya kota-kota kembar, dan sumbangan waktu, uang dan keahlian oleh perusahaan air Eropa dan para pegawainya. Meskipun pemerintah nasional dan lokal bertanggung jawab untuk pengembangan air dan sistem sanitasi, aksi-aksi solidaritas internasional harus mendukung dan menambah inisiatif ini. Beberapa hal yang dapat dipelajari dari kasus implementasi water sharing di Eropa adalah: Terdapat ketidaksamaan akses masyarakat terhadap hak dasar atas air yang aman. Hal ini tidak hanya terdapat di negara-negara di luar Eropa. Di dalam Eropa, negara-negara dengan cakupan air yang sangat baik mempunyai hak atas negara-negara lain yang jutaan penduduknya meniadakan hak dasar ini. Tentang ketidaksamarataan akses terhadap air dan sanitasi pada masyarakat menunjukkan solidaritas dengan sesama makhluk hidup, baik yang berada dalam wilayah satu negara atau di luar negeri. Banyak mekanisme solidaritas yang telah ada di Eropa pada tingkat multilateral, nasional dan lokal. Contoh-contoh sukses solidaritas antara pengguna air dan otoritas masyarakat dapat dicontoh dan dikembangkan lebih jauh untuk membantu mengurangi ketidaksamarataan ini. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan untuk memastikan ketersediaan air dan sanitasi untuk semua masyarakat harus diperkenalkan melalui: - legitimasi otoritas lokal (misal kotamadya, pedesaan, kelompok otoritas lokal, dan daerah-daerah)
42 - kapasitas dalam mengelola pelayanan sanitasi dan air - kemampuan mereka berkolaborasi dengan stakeholder yang berbeda-beda (misal pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dan sektor swasta, baik di Eropa dan negara-negara berkembang lainnya). Aksi-aksi solidaritas yang dilakukan dapat: - diprakarsai otoritas nasional dan lokal melalui ketetapan kerangka peraturan dan sistem tarif yang memastikan keadilan dalam distribusi layanan dan biaya - menyediakan jaringan keamanan untuk mereka yang terperangkap dalam rantai hutang - menyediakan, secara langsung pada tingkat lokal, pendanaan yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan proyek-proyek sanitasi dan air - memajukan keahlian lokal dan pengetahuan dan membangun kapasitas lokal melalui berbagi pengalaman Harus dipahami dengan jelas bahwa tidak ada satupun mekanisme solidaritas yang menyediakan sebuah solusi yang berdiri sendiri, tetapi menggunakan kombinasi semua mekanisme solidaritas sehingga diharapkan peningkatan keberlanjutan akses terhadap air dan sanitasi untuk semua bisa terwujud. Tanggung jawab utama untuk meletakkan sistem sanitasi dan air dalam wadah yang ada dalam pemerintahan lokal dan nasional. Peranan aksi-aksi solidaritas internasional adalah untuk mendukung dan menambah inisiatif ini, baik dalam hal pendanaan dan pembangunan kapasitas. 5. Water Sharing di Amerika Implementasi water sharing tercermin dari sebuah konsep pembagian air di lintas perbatasan yang bermanfaat bagi Amerika Serikat dan Meksiko. Daerah San Diego-Tijuana merupakan contoh yang menggambarkan pendekatan DAS secara holistik. Di daerah perbatasan Amerika Serikat-Meksiko yang kering dengan populasi yang berkembang, beberapa pemimpin tidak melihat hubungan mendasar antara ketersediaan air yang cukup dengan kualitas hidup pada masyarakat perbatasan. Kekeringan dan pertumbuhan penduduk sebagai faktor yang dominan menyebabkan terjadinya kontroversi yang berkepanjangan dalam bidang politik, ekonomi dan lingkungan. Hal ini mempengaruhi evolusi penyediaan air dan
43 infrastruktur. Infrastruktur yang terkait dengan air adalah infrastruktur yang digunakan untuk mengelola sumber-sumber air termasuk air bersih, air limbah dan storm water. Sumber air konvensional adalah hujan, salju yang mencair, airbumi dan air permukaan (sungai dan danau). Sumber air yang non konvensional antara lain hasil pengolahan air laut dan air yang didaurulang. Dimana pun keberadaan air itu, banyak faktor menyebabkan terjadinya sejumlah hambatan dalam penyediaan infrastruktur air, termasuk demografi dan penggunaan lahan, sumber air, bentuk wilayah dan kapasitas infrastruktur yang sudah ada. Terlepas dari sejumlah hambatan yang terjadi, terdapat dua macam peluang regional yang bisa dilakukan dalam hal pembagian air: yaitu penyaluran air lintas perbatasan atau kepemilikan dan pengoperasian infra struktur air bersama-sama. Termasuk opsi pembagian air adalah waduk binasional, fasilitas pengolahan air laut binasional, penyaluran air daur ulang, dan pemilikan serta pengoperasian bersama sistem pengisian (recharge) dan pengambilan (extract) airbumi. Satu analisis hambatan menunjukkan bahwa berbagi akifer penyimpan dan pemanfaatan kembali air daur ulang adalah peluang berbagi air yang layak dan efektif dari segi biaya yang akan memberi keuntungan. Melalui penyuntikan (injeksi) ke dalam akifer yang bisa diakses dari dua sisi perbatasan, air daur ulang mengatasi hambatanhambatan untuk pengangkutan yang disebabkan oleh perkembangan kota. Sementara beberapa pilihan yang ada dalam menghasilkan sumber air yang baru, daur ulang air merupakan salah satu alternatif yang bisa digunakan berkaitan dengan kondisi topografi, hidrogeologi, dan infrastruktur. Proyek daur ulang air yang dikembangkan adalah South Bay Water Reclamation Plant (SBWRP) di Tijuana dan International Wastewater Treatment Plant (IWTP) di San Diego, yang mengatur kualitas air, jauh dekatnya akses, dan/atau status perjanjian air antar dua negara. Dengan menginjeksi air daur ulang pada elevasi yang lebih tinggi di Rio Alamar, air akan tersedia bagi konsumen di Tijuana dan hilir Tijuana River Valley di Amerika Serikat. Kedua masyarakat akan untung dan terhindar dari biaya tinggi dari saluran pipa air melalui daerah perkotaan yang padat. Perbaikan aliran sungai merupakan bagian dari proyek, biaya pengelolaan akifer dapat dikurangi sementara perbaikan habitat dan ruang terbuka dan mitigasi bencana banjir terukur.
44 Melihat pembatas/hambatan yang ada, kondisi berikut merupakan skenario untuk pembagian air yang melewati perbatasan (water sharing across the border): 1. Dua tipe kesempatan yang ada untuk pembagian air (water sharing): pemindahan air lintas perbatasan dan kepemilikan bersama dan pengadaan infrastruktur. Pilihan-pilihan untuk pembagian air di daerah San DiegoTijuana termasuk terowongan air 2 negara, pabrik penyulingan air 2 negara, pemindahan air daur ulang, dan kepemilikan bersama dan pengisian airbumi (groundwater recharge) dan sistem ekstraksi. 2. Pembagian air harus difokuskan pada keberlanjutan, dicirikan adanya standar minimal untuk kebutuhan air dasar dan kualitas hidup dan terkadang pemeliharaan lingkungan. Kebutuhan daerah Tijuana-Rosarito melebihi kebutuhan daerah San Diego dan oleh karena itu harus difokuskan awalnya untuk pembagian air. Akan tetapi, pembagian air tanpa keuntungan ke daerah San Diego memberikan sedikit rangsangan untuk investasi. 3. Penambahan air dari Colorado River tidak mungkin sampai di daerah San Diego-Tijuana untuk beberapa waktu. Akan tetapi, kepemilikan bersama dan pengoperasian terowongan air akan memperkuat keandalan penyaluran air secara langsung ke daerah San Diego-Tijuana; selanjutnya, tantangan kelembagaan dan politik dengan pilihan ini sangatlah penting. 4. Airbumi merupakan sumber daya yang dibagi. Diantara Tijuana River Valley, airbumi
yang
digunakan
berlebihan
untuk
penggunaan
pertanian
menyebabkan penurunan kualitas air yang membatasi penggunaan saat ini. Di Tijuana, sumur airbumi menghasilkan air dengan kandungan garam yang cenderung tinggi. Airbumi dapat diisi untuk memelihara kapasitas menahan air pada akifer untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil air. Injeksi air dari sumber lainnya dapat mengisi akifer untuk jangka waktu tidak terbatas dan mengijinkan penyaluran air di bawah permukaan tanah pada pengguna. 5. Desalinasi (desalination) menawarkan kesempatan untuk penyedian air tidak terbatas, tetapi peralatan dan energi yang digunakan untuk proses tersebut membutuhkan biaya. Untuk itu desalinasi dapat menjadi jalan untuk pembagian air (water sharing) di masa mendatang.
45 6. Daur ulang air menawarkan penyediaan air yang tetap, tetapi opini publik menghalangi optimisasi sum berdaya ini, karena daur ulang air membutuhkan biaya besar. 7. Secara teori, pengolahan air pertanian untuk air daur ulang dapat menyediakan banyak air permukaan untuk penggunaan perkotaan. Tetapi jarak yang jauh antara sumber dan pengguna dan penggunaan lahan perkotaan berpengaruh terhadap tingginya biaya pengolahan. 8. Perbedaan ketinggian dan penggunaan lahan perkotaan menyebabkan penyaluran air dari daerah San Diego ke daerah Tijuana-Rosarito sangat terhambat
dan
membutuhkan
biaya
besar.
IWTP
dan
SBWRP
menggambarkan kualitas air terbaik dari yang ada. Penghambat teknik yang digambarkan dan ringkasan pilihan pembagian air menunjuk pada banyak tantangan yang mungkin secara teknik dan pembagian air dengan biaya efektif yang menguntungkan. Hal ini memungkinkan bahwa satu alternatif penyimpanan akifer dan penggunaan lagi air daur ulang dapat diimplementasikan di masa mendatang. Air daur ulang diinjeksi kedalam akifer langsung dapat diakses yang menawarkan keuntungan apabila hambatan biaya pengangkutan jarak jauh melalui pengembangan daerah perkotaan yang pesat dapat diatasi. Hambatan, tantangan dan kesempatan pembagian air akan sama sepanjang bagian-bagian lain daerah perbatasan. Contoh ini menggambarkan kenyataan dan menunjukkan bagaimana kerjasama lintas perbatasan dan upaya teknis dapat menurunkan kekurangan air, meningkatkan kualitas hidup, dan keamanan penduduk perbatasan.
6. Water Sharing di Indonesia Keberadaan subak tidak dapat dilepaskan dari sifat kegotong-royongan masyarakat Bali yang sangat tinggi serta tradisi turun-temurun raja-raja di Bali yang mengakui hak atas tanah dan perolehan airnya bagi mereka-mereka yang membuka lahan di suatu tempat. Kelembagaan ini juga tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan kepercayaan agama Hindu yang mereka anut. Aturan-aturan agama Hindu dipakai sebagai dasar tuntunan (awig-awig) bagi subak dalam melaksanakan kegiatannya.
46 Kegiatan yang dilakukan subak meliputi operasi dan pemeliharaan, serta pengelolaan air irigasi yang dipadukan dengan budidaya pertanian, seperti menentukan jadwal tanam dan jadwal pemberian air, pemilihan jenis tanaman, rotasi tanaman, usaha pemberantasan hama dan sebagainya. Subak melayani anggotanya dengan mengusahakan pembuatan jaringan irigasi yang diperlukan secara lengkap, mulai dari bendung (empelan), saluran (telabah), bangunan sadap (tembuku), bangunan pembagi air (pemaron) dan sebagainya. Pada jaman kolonial Belanda, jumlah subak mencapai 2.484 kemudian menurun hingga menjadi 1.230 pada tahun 1951 dengan cakupan areal seluas 96.243 hektar. Penurunan jumlah subak disebabkan adanya kegiatan pemerintah berupa perbaikan dan peningkatan jaringan irigasi dengan menggabungkan jaringan subak menjadi jaringan irigasi yang lebih besar. Berkembangnya sistem sewa lahan pertanian dan degradasi prasarana irigasi mengakibatkan semakin beratnya beban subak dalam mengoperasikan dan membagi air sehingga jumlah subak semakin lama semakin berkurang. Sejalan dengan fenomena tersebut, juga terjadi peningkatan penyadapan air pada satu sungai oleh beberapa subak. Hal ini mendorong campur tangan pemerintah untuk mengatur alokasi air melalui berbagai cara agar air yang terbatas dapat dibagi secara adil dan merata. Pada awal dilaksanakannya program perbaikan dan peningkatan irigasi di Bali
telah
terjadi
permasalahan-permasalahan
yang
berakibat
timbulnya
perselisihan antara subak yang satu dengan subak lainnya hingga berlanjut secara turun temurun. Ketika itu pemerintah lebih banyak menggunakan pendekatan teknis dan ekonomis dalam melaksanakan kegiatan perbaikan dan peningkatan irigasi, dan mengabaikan pendekatan agama dan budaya setempat yang telah melekat dan berakar pada kehidupan masyarakat Bali. Beberapa jaringan irigasi digabungkan menjadi satu jaringan irigasi yang lebih besar dengan ukuran bangunan yang hanya mempertimbangkan faktor efisiensi semata tanpa memperhatikan sejarah dan latar belakang subak, budaya, dan agama. Berdasarkan pengalaman tersebut, pada periode berikutnya program peningkatan dan perbaikan jaringan irigasi tidak hanya memperhatikan pendekatan teknis dan ekonomis, tetapi juga memperhatikan pendekatan budaya dan agama. Selain subak implementasi water sharing telah tampak pada tradisi gotong royong masyarakat Indonesia yang merupakan cikal bakal timbulnya bentuk-
47 bentuk kelembagaan tradisional dalam pengelolaan sumber daya air terutama yang terkait dengan irigasi. Dalam perkembangannya, sebagian lembaga tersebut ada yang hilang dari kehidupan masyarakat dan ada yang tetap bertahan serta berkembang sesuai tuntutan zaman. Lembaga lokal yang termashur adalah subak di Bali dan di sebagian daerah Lombok. Lembaga-lembaga lain yang masih bisa dilacak keberadaannya antara lain Panriahan Pamokkahan di Sumatera Utara serta Panitia Siring di Sumatera Selatan dan Bengkulu. Hingga akhir Pelita V kelembagaan Panitia Siring —siring berarti saluran—masih dapat dijumpai di beberapa daerah irigasi pedesaan. Lembaga-lembaga tradisional ini seringkali lebih dikenal lewat istilah yang menunjukkan kedudukan atau jabatan petugas, pimpinan atau ketuanya, seperti misalnya Ulu-ulu Desa dan Ulu-ulu Pembagian (Ulu-ulu Vak) di Jawa Tengah, Ili-Ili di Jawa Timur, Tuo Banda atau Siak Bandar di Sumatera Barat, Raksabumi di Jawa Barat, Malar atau Ponggawa di Sumbawa, Tudung Sipulung di Sulawesi Selatan dan Kejruen Blang di Aceh. Keberadaan dan peran kelembagaan lokal tersebut semakin mantap dengan adanya dukungan dari pemerintah yang mengarahkan agar lembaga-lembaga lokal tersebut dibina menjadi suatu Di Kali Kuning, Sleman, Yogyakarta, dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, kontribusi sektor pertanian, air minum, industri, dan lingkungan, serta potensi lestari pemanfaatan mata air, maka ditetapkan bahwa sektor pertanian mendapat alokasi 50 persen debit dari mata air, 35 persen untuk air minum dan industri, sedangkan sisanya, 15 persen, untuk keperluan lingkungan. Perum Jasa Tirta II yang bertanggung jawab mengelola dan mendistribusikan kebutuhan air waduk Jatiluhur menetapkan bahwa alokasi untuk sektor pertanian sebesar 78% dari debit total, domestik sebesar 7%, industri 5%, hidro elektrik 2%, dan sisanya masing-masing 3% untuk sektor perikanan dan penggelontoran (flushing) (Sosiawan, 2005). Tanpa persiapan yang memadai, sengketa air dapat memicu kerawanan sosial politik nasional yang luar biasa. Sehingga, masyarakat kecil yang terus tertekan dan tertindas akibat rendahnya keberpihakan pemerintah akan memberikan reaksi yang ekstrem apabila terus termarjinalkan. Strategi water sharing tercermin dalam prioritas masing-masing wilayah dalam penentuan proporsi dan alokasi penggunaan air untuk masing-masing
48 pemangku kepentingan untuk setiap sektor yang berbeda.
Di masing-masing
Negara juga mempunyai pertimbangan yang berbeda antar wilayah dalam Negara tersebut dalam pemanfaatan air. Water sharing beberapa wilayah di dunia disajikan pada Tabel 11 (www.ecen.org/cms/uploads/Water-the%20issues.doc). Tabel 11 Water sharing di beberapa benua Benua
Water Sharing (%) Pertanian 27 33
Amerika Eropa
Industri 65 54
Municipal dan domestik 8 13
Australia
23
69
8
Afrika Asia
5 6
88 86
7 8
Sumber: World Bank (2001) dalam Vischer (2003)
2.4 Water Governance (Tata Air) 2.4.1 Konsep Umum Water Governance (Tata Air) Krisis air saat ini disebabkan salah oleh kelembagaan air. Penyelesaian itu berarti mengubah politik, sosial, ekonomi dan sistem administrasi yang menjadi pedoman pengelolaan sumber daya air dan penyediaan layanan air. Pertama dan terutama, pengguna air perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini memungkinkan keseimbangan yang tepat dari nilai-nilai air yang benar, dan berfungsi untuk meningkatkan kepedulian akan masalah air dan penerimaan solusi mereka. Pada saat yang sama, peran, tanggung jawab dan tugas-tugas harus ditetapkan secara jelas dan kinerja kelembagaan ditingkatkan. Untuk memfasilitasi hal ini, kebijakan air, peraturan dan prosedur administratif harus selaras dan dibuat lebih transparan. Kepemimpinan yang kuat dan terukur (accountable) akan membuktikan pentingnya dalam membawa perubahan-perubahan seperti itu dan menjadi kunci keistimewaan dari tata kelola air yang baik. Tata air mengacu pada mekanisme politik, sosial dan administratif yang berbeda yang harus ditempatkan dalam suatu wadah untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya air dan penyediaan pelayanan air di tingkat masyarakat yang berbeda (Pasandaran, 2005). Secara umum untuk meningkatkan tata air, perlu untuk menyeimbangkan tekanan sosial dengan tuntutan ekonomi dan kebutuhan lingkungan. Ini melibatkan pengelolaan risiko, mempromosikan kesadaran dan pengertian, dan memobilisasi
49 kemauan politik untuk membuat keputusan dan melihatnya melalui penerapan. Ini berarti mengakui potensi, dan kemudian bergerak ke arah penyediaan air yang diperlukan infrastruktur, mengakui bahwa hal itu dapat menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan. Sebuah sistem yang terstruktur dengan baik akan mencakup semua unsur kebijakan berikut: Kebijakan air dan program aksi di semua negara yang efektif, perumusan nya oleh para pemangku kepentingan yang bersangkutan, baik pemerintah dan non pemerintah yang berkepentingan Pembentukan mekanisme koordinasi, yang bisa menjadi perwakilan nasional, seperti Dewan atau komisi Air Nasional, yang mengawasi proses reformasi sektor dan untuk meningkatkan koordinasi, termasuk penciptaan dan pengawasan organisasi daerah aliran sungai dengan partisipasi stakeholder Langkah-langkah untuk meningkatkan penyediaan layanan air melalui penyedia-penyedia yang otonom dan bertanggungjawab Langkah-langkah untuk mendorong pemanfaatan yang efisiensi dan berkelanjutan dan konservasi air Ketentuan/syarat untuk penggunaan bersama sumber daya air yang saling menguntungkan Penyediaan saling menguntungkan untuk penggunaan bersama sumber daya air Peningkatan tata air melalui capacity building (peningkatan kapasitas), pembelajaran dan evaluasi Untuk mencapai struktur tata air yang optimal, perlu diperhatikan berbagai isu yang penting, termasuk: kerangka kelembagaan, definisi dan pembentukan Undang-Undang, hak dan lisensi. Tanggung jawab dari berbagai aktor di sektor harus ditetapkan. Standar yang diperlukan: untuk kualitas air dan penyediaan layanan (terutama bagi masyarakat miskin), untuk lingkungan, untuk pengelolaan penggunaan lahan, dan untuk pembangunan dan pengelolaan infrastruktur yang akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumber daya air;
50 Instrumen pengelolaan yang mencakup pengaturan regulasi investasi dalam regulasi adalah sama pentingnya dengan investasi di bidang infrastruktur. Ukuran dasar/patokan dan rencana diperlukan, serta mekanisme untuk pemangku kepentingan yang efektif; pengetahuan dan sistem informasi yang meningkatkan transparansi, memotivasi alokasi air yang efektif, penggunaan dan konservasi, diperlukan, yang juga mengamankan pemeliharaan dan keberlanjutan fisik sistem sumber daya air; Pengembangan dan pengelolaan infrastruktur, tahunan dan multi tahun peraturan aliran air untuk banjir dan kekeringan, penyimpanan serbaguna dan untuk kualitas air dan perlindungan sumber air, di samping itu, untuk distribusi suplai air kepada masyarakat dan untuk irrigators serta pengumpulan dan penanganan limbah dan pengelolaan air limbah perkotaan; Ekonomi politik pengelolaan dan reformasi air, di mana terdapat penekanan khusus pada distribusi manfaat dan biaya dan pada insentif yang menjanjikan atau kendala penggunaan sumber daya yang lebih produktif dan berkelanjutan
Desentralisasi-dalam pandangan terakhir ini kegagalan dari pendekatan pemerintah yang terpusat pada pengelolaan air, desentralisasi pengelolaan penting, dalam lingkungan yang kondusif dibuat oleh pemerintah. Jadi prinsip desentralisasi harus diterapkan, yang melibatkan delegasi tanggung jawab dan kewenangan untuk pengelolaan air dari pemerintah, turun ke lapisan bawah, ke tingkat organisasi terendah dengan kapasitas dan sumber daya untuk mengatasinya, termasuk cukup memiliki kredibilitas untuk meminjam dana (World Water Council, 2003).
2.4.2 Permasalahan dan Mekanisme Water Governance (Tata Air) Tantangan untuk tata air yang efektif adalah: (1) Membangun pemerintahan yang layak sebagai kebaikan bersama, (2) Mengatasi fragmentasi lembagalembaga, (3) Mengatasi pengelolaan sektor tunggal, (4) Mengoreksi kerangka kerja legislatif yang tidak sesuai (untuk melindungi kualitas air dan eko-sistem), (5) Mempromosikan mekanisme penegakan; (6) Memobilisasi sumber daya keuangan
51 dan menarik investasi, (7) Mempromosikan partisipasi efektif multi-stakeholder, (8) Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, dan (9) Memanfaatkan dan mengembangkan pengetahuan, pendidikan, dan keterampilan. Hal-hal yang diperlukan untuk membangun tata air yang efektif adalah: (1) Reformasi/peningkatan susunan kelembagaan yang ada, (2) Merevisi kepolisian nasional, strategi dan rencana untuk menyediakan Undang-undang tata air yag baik (3) Mengembangkan mekanisme yang efektif untuk arus informasi dan partisipasi publik, (4) Membangun kapasitas pelaku-pelaku yang berbeda, (5) Berbagai pengalaman dan pengetahuan, (6) Memperkuat tingkat pengelolaan DAS, (7) Kerjasama untuk mengelola pembagian sumber daya air (GWP, 2001). Menurut Pasandaran (2005) khusus untuk Indonesia agenda kebijakan yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terpadu berdasarkan rasa keadilan dan keberlanjutan pada masa yang akan datang adalah: (1) Membangun inisiatif pendekatan partisipatif terpadu sebagai arus utama dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya air di Indonesia. Dalam pendekatan keterpaduan diharapkan adanya pemahaman yang luas tentang keragaman
pemangku
kepentingan
dalam
kedudukan
yang setara
guna
mewujudkan suatu dialog yang berarti antar berbagai pemangku kepentingan. Demikian pula pemahaman tentang keragaman karakteristik wilayah sumber daya air seperti wilayah sungai diperlukan untuk membangun keterpaduan yang bersifat lokal, (2) Mewujudkan kemandirian masyarakat dan memperkuat kapital sosial. Dalam jangka panjang diperlukan upaya untuk mewujudkan kemandirian dan kemampuan masyarakat dalam pengelolaan terpadu sumber daya air. Walaupun pada masa lampau kebijakan pemerintah dalam membangun dan mengelola sumber daya air sering memperlemah kemandirian masyarakat, namun demikian masih ada unsur kelembagaan yang mempunyai nilai positif yang perlu dibangun dan diperkuat, dengan memberikan apresiasi pada kelembagaan pengelolaan sumber daya air yang ada pada masyarakat. Dalam kaitan dengan upaya mewujudkan kemandirian masyarakat adalah perlunya diperjuangkan hak atas air bagi kelompok masyarakat yang tersisihkan seperti kelompok tani di bagian hilir daerah irigasi, atau kelompok rumah tangga miskin di perkotaan melalui kerangka hukum seperti undang-undang atau peraturan pemerintah, (3) Suatu sistem kemitraan yang berbasis pada masyarakat perlu dibangun tidak saja dalam hubungan dengan upaya
52 pengelolaan sumber daya air pada umumnya tetapi terutama untuk memperbaiki sistem sumber daya air dan sumber daya alam yang sedang mengalami proses pengrusakan melalui upaya konservasi. Sistem kemitraan juga diperlukan untuk mengatasi peluang munculnya konflik di masa yang akan datang sebagai akibat dari meluasnya krisis air. Konflik air telah muncul di beberapa daerah irigasi di pulau Jawa dan akan meluas di berbagai tempat dimasa yang akan datang. 2.5 Pendekatan Sistem untuk Alokasi Sumber Daya Air Alokasi Sumber Daya Air Optimal Menggunakan Pemrograman Matematika Pemrograman matematika sebagai sarana untuk memecahkan masalah alokasi sumber daya air memerlukan suatu pernyataan yang tepat berkaitan dengan fungsi tujuan secara keseluruhan dan kendala yang terkait dengan masalah lingkungan. Pernyataan-pernyatan ini harus cukup akurat sehingga kita dapat menerjemahkan setiap fungsi tujuan dan kendala dalam bahasa Matematika (Roger and Fiering, 1986) Salah satu kasus dalam penggunaan program Matematika untuk menentukan alokasi sumber daya air optimal terlihat contoh berikut. Apabila terdapat dua sumber daya x dan y pada kondisi pasokan air yang terbatas, maka perlu upaya untuk menentukan alokasi sumber daya air yang optimal. Terdapat beberapa kendala atau keterbatasan fisik, ekonomi, politik, hukum, dan etika yang berhubungan dengan penggunaan kedua sumber daya air tersebut. Gambar 4A menggambarkan kombinasi antara sumber daya air x dan y dengan kendala fisik, ekonomi, politik, hukum, dan etika yang terkait dengan penggunaan sumber daya secara terpisah dan bersama. Wilayah yang diarsir dinamakan feasible region. Pada dasarnya, feasible region merupakan solusi simultan dari persamaan lengkap yang menggambarkan kendala-kendala atau keterbatasan yang berhubungan dengan penggunaan sumber daya secara terpisah dan bersama. Feasible region berisi kemungkinan kombinasi sumber daya air x dan y dalam jumlah yang tak terbatas, yang semuanya merupakan solusi potensial untuk masalah alokasi sumber daya air karena memenuhi semua kendala. Penentuan keputusan dalam permasalahan sumber daya air adalah upaya untuk menentukan mana kemungkinan kombinasi yang layak dan optimal dari sumber daya air x dan y dalam kaitan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan air.
53
Gambar 4 Suatu keputusan dalam permasalahan alokasi sumber daya air Misalkan apabila kita mendefinisikan satu tujuan tentang alokasi dua sumber daya air (air permukaan dan airbumi), maka pencapaian kesepakatan tentang tujuan sering merupakan hal paling menantang yang berkaitan dengan implementasi program matematika atau apapun metode analisis sistem lainnya. Komputer membantu latihan dalam negosiasi untuk membantu mencapai tujuan yang terkait dengan ekonomi, hukum, politik, dan isu-isu kelembagaan yang kompleks yang muncul pada permasalahan alokasi sumber daya lingkungan yang langka, terutama di saat-saat krisis (Sheer, Baeck, & Wright, 1989 ). Untuk saat ini, perlu kesepakatan untuk mencapai tujuan yang berkaitan dengan alokasi sumber daya air x dan y. Misalkan tujuannya diukur dalam fungsi berikut:
Z f x, y ………………………………........………… (1) dimana Z adalah ukuran utilitas atau nilai pengalokasian suatu jumlah x dan y dari masing-masing sumber daya x dan y. Pada dasarnya, x dan y adalah variabel keputusan yang merupakan nilai optimal yang dicari. Variabel Z adalah keuntungan bersih secara ekonomi, terkait dengan alokasi sumber daya air x dan y. Gambar 4B menggambarkan nilai-nilai fungsi objektif Z sebagai fungsi dari jumlah sumber daya air x dan y yang dialokasikan. Masing-masing bentuk elips mewakili nilai konstan fungsi tujuan, dan peningkatan nilai fungsi obyektif menuju pusat elips tersebut. Gambar 4B seperti gunung, seperti apabila kita mendaki ke
54 puncak (dilambangkan oleh Z*), nilai Z meningkat. Jika fungsi objektif menggambarkan keuntungan bersih, maka kita mencari nilai maksimum, tetapi jika fungsi objektif menggambarkan biaya bersih, maka kita mencari nilai minimum. Sedangkan Gambar 4C menggabungkan daerah yang diarsir dengan kontur fungsi tujuan dan menunjukkan bahwa solusi Z* adalah layak dan optimal. Oleh karena itu, alokasi sumber daya air optimal dalam hal ini adalah untuk mengalokasikan x* dari sumber daya x dan y* dari sumber daya y. Ketika salah satu kendala pada masalah atau fungsi objektif tidak linier, maka didekati dengan pemrograman non linier. Gambar 4 merupakan representasi dari satu masalah pemrograman non linier karena fungsi tujuannya adalah non linier (misal elip). Dalam hal ini, feasible region adalah poligon yang dibentuk oleh titik pertemuan dari tujuh jalur. Masing-masing baris mewakili kendala yang unik (dalam hal ini linier) pada sumber daya air x dan y. Dalam masalah alokasi sumber daya aktual, sering kali ada ratusan atau bahkan ribuan kendala dan variabel keputusan, dalam hal ini feasible region menjadi poligon n-dimensi. Ketika fungsi objektif dan kendala linier, maka untuk mengurangi masalah digunakan program linier. Algoritma yang kuat telah dikembangkan untuk memecahkan permasalahan. Algoritma tersebut tersedia dalam bentuk perangkat lunak komputer untuk digunakan pada mainframe dan komputer pribadi (Schrage, 1989 dalam Chechile and Carlisle, 1991). Program Linear untuk Alokasi Sumber Daya Air Contoh sederhana dari alokasi sumber daya air disajikan dengan menggunakan pendekatan grafis untuk memperjelas kerangka sistem untuk merumuskan dan memecahkan masalah alokasi sumber daya lingkungan. Ketika beberapa sumber air seperti akifer airbumi dan air permukaan, masing-masing dengan karakteristik yang berbeda tersedia, maka sangatlah mungkin untuk mengeksploitasi perbedaan tersebut untuk meningkatkan kualitas air di lingkungan secara keseluruhan yang didistribusikan ke pengguna. Penggunaan air permukaan dan air tanah bersama-sama dalam beberapa cara yang sistematis disebut penggunaan yang berhubungan (conjunctive use) (Buras, 1963; Maknoon & Burges, 1978; Coe, 1990). Penggunaan bersama sumber daya air permukaan dan airbumi dapat meningkatkan hasil dan keandalan sistem secara keseluruhan.
55 Gagasannya adalah untuk mengelola dan mengkoordinasikan sumber daya air sedemikian rupa sehingga hasil sistem total melebihi jumlah hasil komponen yang terpisah dari sistem ketika kegiatannya tidak terkoordinasi Pemanfaatan secara optimal sumber daya alam ini dianggap penting untuk pembentukan struktur ekonomi dan sosial yang stabil pada suatu wilayah pada beberapa dekade ke depan. Istilah "optimal" selalu menimbulkan sejumlah pertanyaan penting. Optimal untuk siapa, untuk apa, dan dalam kondisi apa? Sejumlah pertanyaan ini digunakan untuk menentukan tujuan alokasi dari kedua sumber daya air tersebut. Untuk itu, perlu diasumsikan bahwa tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan bersih sesuai dengan alokasi airbumi dan air permukaan. Untuk itu perlu mendefinisikan sebuah fungsi objektif yaitu Z = bgG + bgS, di mana bg dan bs masing-masing menunjukkan keuntungan bersih dari satu unit pasokan airbumi dan air permukaan. Lalu Z menunjukkan keuntungan bersih yang dihasilkan dari keputusan untuk menggunakan G dan S. Keuntungan bersih didefinisikan sebagai keuntungan total proyek dikurangi biaya total proyek sesuai dengan alokasi sumber daya air G dan S. Biaya proyek meliputi biaya konstruksi (untuk sumur, waduk, pabrik pengolahan, dan jaringan distribusi yang berkaitan dengan sistem yang digunakan) dan biaya operasi dan pemeliharaan, dengan mengabaikan umur proyek untuk memperhitungkan nilai waktu uang (Loucks et al., 1981 dalam Chechile and Carlisle, 1991). Masalah keputusan alokasi sumber daya air ini dinyatakan dalam rumus matematika dengan memaksimumkan Z, dimana:
Z bg G bs S ……………………………........………… (2) Dengan kendala:
G Gmaks
……………………………........………… (3)
S S maks
……………………………........………… (4)
GS K
……………………………........………… (5)
GS 0
……………………………........………… (6)
Selain itu, terdapat kendala G ≥ 0 dan S ≥ 0 yang tersirat. Masalah ini merupakan masalah pemrograman linier karena fungsi objektif Z, dan semua kendala merupakan fungsi linier dari variabel keputusan G dan S. Gambar 5 menggambarkan persamaan kendala 3 sampai 6, menggunakan panah untuk
56 menunjukkan arah setiap pertidaksamaan. Daerah yang diarsir memenuhi keempat kendala, sehingga, setiap kombinasi G dan S yang terdapat di daerah itu merupakan solusi layak untuk masalah tersebut. Persamaan 2 dapat ditulis kembali sebagai berikut:
G Z / bg bs / bg S ……………………........………… (7) Persamaan 7 adalah sebuah garis lurus yang memotong sumbu G di G = Z/bg dan memiliki kemiringan sama dengan bs/bg. Terdapat berbagai solusi optimal, tergantung pada besar dari keuntungan bersih yang terkait dengan masing-masing unit airbumi (bg ) dan air permukaan (bs).
Gambar 5 Grafik penggunaan air dengan solusi optimal jika bg > 0 and bs< 0 Gambar 6 merupakan plot persamaan fungsi tujuan pada persamaan 7 dengan superimpose garis tebal di atas feasible region. Gambar 6 menggambarkan solusi yang optimal untuk S* = Smax dan G* = K-Smax jika manfaat bersih dari air permukaan positif (bs> 0) dan manfaat bersih dari air tanah negatif (bg <0). Ini berarti bahwa biaya hukum, ekonomi, dan lingkungan dari pembangunan dan pengoperasian sistem pasokan airbumi lebih besar dibanding keuntungannya, sedangkan sebaliknya terjadi pada sistem pasokan air permukaan dimana biaya dari pembangunan dan pengoperasian sistem pasokan air permukaan lebih kecil dibanding keuntungannya. Solusi optimal adalah untuk menyediakan air permukaan selayak (Smax) dengan membatasi penggunaan airbumi ke jumlah minimum yang layak, yang dirumuskan K-Smax. Dalam hal ini, tidak ada insentif untuk meningkatkan suplai air tanah ke titik di mana kendala hukum dan lingkungan (G ≤ S) menjadi pembatas. Oleh karena
57 itu, hanya
satu kendala
yang berpengaruh pada masalah kendala proyeksi
permintaan G + S ≥ K, dan kendala hidrologi air permukaan S ≤ Smax.
Gambar 6 Grafik penggunaan air: feasible region Gambar 7 merupakan plot fungsi objektif dengan superimpose garis tebal di atas feasible region. Dalam hal ini, keuntungan bersih air permukaan adalah negatif (bs <0) dan keuntungan bersih dari airbumi adalah positif (bg> 0). Solusi optimal tergantung pada rasio bs/bg. Gambar 6 menunjukkan bahwa solusi optimal adalah S* = K/2 dan G* = K/2 ketika bs > bg . Namun, jika bs < bg , maka solusi optimal adalah S* = Gmax dan G*
= Gmax. Solusi untuk setiap persoalan linear
programming akan menjadi salah satu sudut ruang terkait dengan daerah di feasible solution. Jika kemiringan fungsi objektif kurang dari 45°, maka sudut S* = K/2 dan G* = K/2 adalah solusi optimal. Namun, jika kemiringan lebih besar dari 45°, maka sudut G* = Gmax dan S* = Gmax adalah solusi optimal. Kasus nyata alokasi sumber daya air biasanya melibatkan banyak kendala dan fungsi tujuan yang kompleks sehingga pendekatan grafik perlu diganti dengan metode pemrograman matematika. Contoh dua dimensi yang telah dibahas menunjukkan prinsip-prinsip pendekatan sistem analisis untuk alokasi sumber daya air. Selain itu, contoh di atas menunjukkan salah satu alternatif yang paling menjanjikan dalam penggunaan sistem analisis dalam praktek, yaitu untuk mengidentifikasi berbagai solusi optimal dalam suatu pengambilan keputusan. Pemahaman dari berbagai solusi tidak harus optimal, namun di lingkungan, solusi optimal dapat memberikan wawasan penting dalam proses pengambilan keputusan secara keseluruhan.
58
Gambar 7 Penggunaan air: solusi optimal jika bg < 0 and bs > 0
Tujuan Alternatif yang Menghasilkan Solusi Alternatif Contoh kasus berikut merupakan jalan menuju solusi optimal yang tergantung pada kedua feasible region yaitu kendala dan sifat fungsi tujuan. Tujuan alternatif sering mengakibatkan solusi optimal alternatif. Misalnya, tujuan kita adalah untuk meminimalkan total biaya dalam hubungannya dengan alokasi bersama dari air permukaan dan airbumi. Kemudian masalah optimasi menjadi salah satu upaya untuk meminimalkan Z, di mana:
Z c g G cs S ……………………………........………… (8) Kendala ditetapkan oleh persamaan 3 sampai 6, di mana cg dan cs masing-masing adalah biaya satuan penyediaan airbumi dan air permukaan. Dalam hal ini, solusi yang optimal adalah S* = Smax dan G* = K-Smax jika cs
cg. Apabila tujuannya untuk menyediakan kapasitas yang melebihi dari yang diperlukan K, maka hal ini menjadi tidak menarik secara ekonomi.