II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teologi Lingkungan dalam Perspektif Islam Teologi merupakan istilah yang lekat kaitannya dengan agama dan ketuhanan. Dalam Kamus Filsafat Istilah teologi berasal dari kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti wacana atau ilmu. Dalam pengertian lebih luas teologi berarti ilmu tentang hubungan dunia ilahi atau ideal atau kekal tak berubah dengan dunia fisik (Bagus, 1996). Teologi tersebut sangat erat kaitannya dengan dasar-dasar agama sehingga dapat memberikan pemahaman dan keyakinan mendasar tentang agama yang dianut. Dalam Islam istilah teologi lebih dikenal dengan Usul ad Din dengan ajaran dasar berupa aqa’id, credos atau keyakinan-keyakinan. Teologi ini dalam islam juga dikenal dengan sebutan ‘ilm al-tauhid (Nasution, 1986). Dimensi teologi yang selama ini dikenal kemudian semakin meluas seiring dengan semakin kompleksnya pertautan antara Islam dengan hal lain sehingga teologi tidak lagi hanya membincangkan tentang ketuhanan akan tetapi semua hal yang berkaitan dengan-Nya (Fakhry dalam Hermansyah, 2003). Dalam kaitan dengan lingkungan, teologi ini kemudian diturunkan pada wilayah yang lebih praksis yaitu melihat bagaimana kaitan antara lingkungan dengan sang pencipta. Lingkungan yang dimaksud tidak hanya sekedar lingkungan yang bersifat biofisik tetapi termasuk juga manusia dan makhluk hidup lainnya. Upaya penggalian nilai spiritual ekologi Islami ini merupakan pengayaan khazanah ekologi profetis Islam untuk menawarkan konsep ekologi alternatif atau ekologi transformatif. Teologi lingkungan secara definisi adalah teologi yang obyek material kajiannya bidang lingkungan dan perumusannya didasarkan pada sumber nilai ajaran agama Islam. Sehingga teologi lingkungan merupakan ilmu yang membahas tentang ajaran dasar Islam mengenai lingkungan (Abdillah, 2001). Ini merupakan jawaban atas semakin berkembangnya peradaban umat manusia serta jawaban atas semakin kompleksnya permasalah yang dihadapi dan salah satunya adalah munculnya berbagai masalah lingkungan. Islam secara transenden mengakui keberadaan seluruh makhluk dimuka bumi sebagai suatu kesatuan dan ciptaan sang khalik sehingga kerusakan yang
diakibatkan oleh salah satu makhluk merupakan pengingkaran terhadap ciptaan Allah (Izzi Deen, 1990; Qardhawi, 2001). Lebih lanjut, Islam sendiri memiliki prinsip-prinsip dasar dalam kaitan dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam. Prinsip-prinsip tersebut adalah Tauhid, Amanah, Khalifah, Halal, Haram, Adil, Tawasshur (Kesederhanaan), Ishlah (Pemeliharaan), dan Tawazun (keseimbangan dan harmoni) (Sardar 2006; Chirzin, 2003). Prinsip-prinsip tersebut merupakan prinsip ideal yang coba ditawarkan oleh Islam sebagai upaya menjawab persoalan lingkungan tersebut. Inti permasalahan lingkungan hidup menurut Soemarwoto adalah hubungan mahluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Dalam pandangannya Soemarwoto menyebutkan hubungan timbal balik tersebut adalah ekologi. Lebih lanjut Soemarwoto menjelaskan bahwa konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Dalam memandang ekosistem, maka harus di lihat unsur-unsur dalam lingkungan hidup kita tidak secara tersendiri, melainkan terintegrasi sebagai komponen yang berkaitan dalam suatu sistem. Pendekatan ini dalam Soemarwoto disebut dengan pendekatan ekosistem atau pendekatan holistik (Soemarwoto, 2004). Dalam konsep ekologi manusia, terdapat berbagai macam pandangan dalam memandang hubungan antara manusia dengan lingkungan. Varian teori tersebut antara lain adalah (a) teori determinisme lingkungan (Jabariyah) yang menempatkan aspek budaya dan perilaku manusia semata-mata dipengaruhi oleh lingkungan. (b) posibilisme lingkungan (Tahammuliyyah) dimana lingkungan memiliki peran penting dalam menjelaskan hubungan antara budaya tertentu dengan lingkungan tertentu. (c) teori ekologi budaya (bi’ah al-hudriy) yang menjelaskan bahwa budaya dan lingkungan adalah suatu kesatuan dengan suatu budaya yang menjadi intinya. (d) teori sistem yang merupakan teori ekosistem yang melihat hubungan antara manusia dengan lingkungan biotik dan abiotik dilihat secara sistem meskipun pada tingkatan yang lebih kecil yaitu ekosistem lokal. Selain itu peran ritual juga dimasukkan dalam inti budaya dan memiliki peran besar dalam pola adaptasi yang dilakukan oleh manusia. Keempat teori tersebut kemudian mendapat tanggapan dengan munculnya teori alternatif yaitu
9
(e) teori dialektika ekologis Islam yang merupakan proses dialektis antara nilainilai spiritual religius Islam dengan nilai-nilai ekologis. Proses dialektika yang terjadi dilakukan melalui tiga tahap yaitu tahap internalisasi, tahap obyektivikasi, dan tahap eksternalisasi (Rambo, 1983; Abdillah, 2001). Berdasarkan paparan diatas, jelas bahwa Islam sebagai suatu sistem kepercayaan memiliki dasar teologi lingkungan yang mengakar. Akan tetapi, konteks yang dicoba dikedepankan pada penelitian ini tidak pada domain teologis murni atau hanya mencari nilai-nilai ekologi dalam diktum keagamaan melainkan mencoba melihat pada aras yang lebih praksis. Meminjam konsepsi Hermansyah (2003) dalam melihat proses arus balik dari semangat mencari kebenaran dalam tauhid (tawhid) melalui berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah (a) faktor biologis dan faktor psikologis karena dalam setiap individu terdapat keterkaitan biologis seperti keturunan, perkawinan, kekerabatan dan lainnya. (b) faktor ekonomi karena sesungguhnya faktor ini terkadang menjadi dominan dari pada faktor sosial. (c) faktor sosiologis-antropologis yang terkait dengan sosiobudaya, struktur dan hubungan sosial yang terbangun dan terakhir (e) faktor teologis yang merupakan dasar aktivitas yang transenden dalam diri manusia itu sendiri.
2.2. Etika Protestanisme dan Tindakan Sosial Salah satu teoritikus yang banyak menitikberatkan penelitiannya pada etos kerja adalah Max Weber. Damsar (2002) menjelaskan bahwa Weber dalam bukunya The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa ketelitian yang khusus, perhitungan dan kerja keras dari bisnis barat yang didorong oleh perkembangan etika protestan yang muncul pada abad keenambelas dan digerakkan oleh dokrin Calvinisme yaitu doktrin tentang takdir. Senada dengan Damsar, Mintarti (2001) juga menjelaskan bahwa pandangan Weber diatas berawal dari keganjilan, penyimpangan yang jelas terlihat dan identifikasinya serta penjelasnya merupakan orisinalitas sebenarnya dari The Protestan Ethic. Biasanya, mereka yang hidupnya terpaut dengan kegiatan ekonomi dan dengan pengejaran keuntungan, bersikap acuh terhadap agama, bahkan suka bermusuhan terhadap agama karena kegiatan mereka tertuju
10
kepada dunia materil. Akan tetapi agama Protestan bukannya mengendurkan pengawasan gereja atas kegiatan sehari-hari, malahan menuntut penganutnya disiplin yang lebih keras daripada penganut agama Katolik. Tulisan Weber tersebut menurut Sobary (2007) menyebutkan peran yang dimainkan oleh agama, terutama etika yang menjiwai beberapa sekte Protestan tertentu terutama dalam perkembangan kapitalisme modern. Menurutnya, kontribusi penting Weber adalah memahami sepenuhnya asal usul kapitalisme modern. Weber mencoba menjelaskan hakikat dan kemunculan suatu mentalitas baru, yang disebutnya semangat kapitalisme yang menggantikan tradisionalisme dalam kehidupan ekonomi. Selain itu, semangat kapitalisme dalam pandangan weber merupakan aspek sentral dari kapitalisme modern. Weber membedakan empat aliran utama agama Protestan ascetic: Calvinisme, Metodisme, Peitisme, dan sekte Baptis. Akan tetapi analisisnya tentang etika Protestan terpusat pada salah satu dari keempat aliran tersebut, yaitu Calvinisme. Di dalam Calvinisme terdapat tiga kepercayaan pokok yaitu (1) semesta diciptakan untuk menunjukkan keagungan Tuhan yang Mahabesar dan bahwa semua itu harus ditafsirkan sesuai dengan maksud dan kehendak Tuhan, (2) maksud dan kehendak Tuhan tidak selalu bisa dipahami oleh manusia, dan (3) kepercayaan kepada takdir, yakni hanya sejumlah kecil manusia akan terpilih untuk diangkat ke surga (Giddens, 1986). Tesis utama Weber seperti yang disebutkan oleh Morrison (1995) terletak pada dua hal yaitu bahwa banyak pusat-pusat komersial di Eropa ketika itu telah menunjukkan aktivitas komersial yang sangat intens bersamaan dengan berkembangnya ajaran Protestanisme. Tesis kedua dari Weber adalah bahwa kapitalisme barat di motivasi atas dua hal yang menurutnya sangat kontradiksi. Disatu sisi bahwa perilaku menimbun kekayaan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan individu, akan tetapi disisi lain justru masyarakat eropa menghindari penggunaan kekayaan mereka untuk tujuan berfoya-foya dan bersenang-senang. Weber kemudian menyimpulkan bahwa yang mendasari perilaku tersebut adalah etika agama yang dalam hal ini etika protestan. Johnson (1986) juga menjelaskan bahwa akar motivasi individu jauh lebih dalam daripada keputusan rasional yang disengaja mengenai alat dan tujuan atau
11
konformitas terhadap tuntutan dari mereka yang berotoritas. Analisa Weber mengenai etika Protestan serta pengaruhnya dalam meningkatkan pertumbuhan kapitalisme menurutnya menunjukkan pengertiannya mengenai pentingnya kepercayaan agama serta nilai dalam membentuk pola motivasional individu serta tindakan ekonominya. Pengaruh agama terhadap pola perilaku individu serta bentuk-bentuk organisasi sosial juga dapat dilihat dalam analisa perbandingannya mengenai agama-agama dunia yang besar. Dalam Economy and Society, Weber menetapkan garis pemisah antara ekonomi dan sosiologi ekonomi dengan mengajukan tiga unsur yaitu (1) bahwa tindakan ekonomi adalah tindakan sosial; (2) tindakan ekonomi selalu melibatkan makna; (3) tindakan ekonomi selalu memperhatikan kekuasaan (Damsar, 2002). Weber juga menjelaskan bahwa kenyataan sosial secara mendasar terdiri dari inidivud-individu dan tindakan-tindakan sosialnya yang berarti. Weber melihat bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial. Tindakan sosial menurut Weber harus didasari oleh raisonalitas sehingga rasionalitas ini menjadi kunci bagi suatu analisa obyektif mengenai arti-arti subyektif
dan juga merupakan dasar
perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan sosial yang berbeda (Johnson, 1986). Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka acuan bersama secara luas dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Rasionalitas merupakan konsep dasar yang digunakan Weber dalam klasifikasinya mengenai tipe-tipe tindakan sosial. Perbedaan pokok yang diberikan adalah antara tindakan rasional berhubungan dengan pertimbangan yang sadar dan pilihan bahwa tindakan itu dinyatakan
sedangkan tindakan
irasional adalah sebaliknya (Johnson, 1986). Dalam Johnson (1986) dijelaskan bahwa Weber membagi tindakan menjadi empat tipe. Tipe pertama adalah tindakan rasional instrumental. Tipe ini merupakan tingkat rasionalitas yang paling tinggi yang meliputi pertimbangan dan pilihan yang sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan alat yang dipergunakan untuk mencapainya. Individu dilihat sebagai memiliki macammacam tujuan yang mungkin diinginkannya, dan atas dasar suatu kriterium menentukan satu pilihan di antara tujuan-tujuan yang saling bersaingan ini.
12
Individu itu lalu menilai alat yang mungkin dapat dipergunakan untuk mencapai tujuan yang dipilih tadi. Tindakan ekonomi dalam sistem pasar yang bersifat impersonal mungkin merupakan bentuk dasar rasionalitas instrumental ini. Tipe tindakan ini juga tercermin dalam organisasi birokratis. Weber melihat sistem pasar yang impersonal dan organisasi birokratis sedang berkembang dalam dunia Barat modern. Tipe kedua adalah rasionalitas yang berorientasi nilai. Sifat rasionalitas yang berorientasi nilai yang penting adalah bahwa alat-alat hanya merupakan obyek pertimbangan dan perhitungan yang sadar. Tujuannya sudah ada dalam hubungannya dengan nilai individu yang bersifat absolute atau merupakan nilai akhir baginya. Tindakan religius merupakan bentuk dasar dari rasionalitas yang berorientasi nilai ini. Tipe ketiga adalah tindakan tradisional. Tindakan ini merupakan tipe tindakan sosial yang bersifat non-rasional. Tindakan ini lebih dikarenakan kebiasaan kemudian diabsahkan atau didukung oleh kebiasaan atau tradisi yang sudah lama mapan sebagai kerangka acuannya, yang diterima begitu saja tanpa persoalan. Weber melihat bahwa tipe tindakan ini telah hilang lenyap karena meningkatnya rasionalitas instrumental. Tipe keempat adalah tindakan afektif. Tipe tindakan ini ditandai oleh dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Tindakan seperti ini benar-benar tidak rasional karena kurangnya pertimbangan logis, ideologis, atau kriteria rasionalitas lainnya.
2.3. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Pesantren merupakan model pendidikan khas yang dimiliki oleh Indonesia. Selain itu, pesantren juga tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Kondisi ini dikarenakan pesantren tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat terutama dalam melakukan proses transformasi, sehingga dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan sistem pendidikan khas yang sarat dengan nilai transformatif yang sebelumnya berada pada wilayah keagamaan kemudian meluas dalam bentuk pengabdian sosial (A’la, 2006).
13
Secara terminologis pesantren yang biasa disebut sebagai pondok atau surau (Azra, 1985) merupakan suatu tempat pendidikan dan pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat tinggal santri yang bersifat permanen (Qomar, 2005). Meskipun demikian, dalam khazanah pendidikan Islam sendiri pesantren bukanlah satu-satunya model pendidikan yang lekat dengan Islam. Terdapat berbagai varian model seperti madrasah, pengajian dan lainnya. Yang menjadi kekhasan pesantren adalah adanya pondok atau asrama yang menjadi tempat tinggal para santri dalam batas teritorial tertentu serta pemimpin yang disebut dengan Kyai. Terdapat berbagai macam kategorisasi pesantren. Kategorisasi ini bisa berdasarkan keterbukaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi yaitu pesantren salafi dan khalafi. Ada juga yang melakukan kategorisasi berdasarkan kelengkapan komponennya yaitu (a) hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai; (b) masjid, rumah kyai dan asrama; (c) masjid, rumah kyai, asrama dan pendidikan formal; (d) masjid, rumah kyai, asrama, pendidikan formal dan pendidikan keterampilan; (e) masjid, rumah kyai, asrama, madrasah dan bangunan fisik lainnya (Qomar, 2005). Pesantren setidaknya memiliki elemen-elemen dasar seperti pondok atau asrama, masjid, pengajaran kitab-kitab klasik, santri dan kyai (Dhofier dalam Hadimulyo, 1985). Kesemuanya menjadi satu entitas yang saling melengkapi dan terintegrasi dalam suatu teritori. Meskipun demikian, elemen dasar tersebut memiliki keterbatasan seiring dengan semakin berkembangnya model pesantren kekinian. Ini disebabkan banyaknya pesantren-pesantren yang bermunculan dengan tidak lagi menempatkan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai tujuan utamanya. Selain itu sistem pengajaran yang bersifat sorogan1, bandongan2 tidak lagi dianut oleh seluruh pesantren. Beberapa pesantren tidak lagi menggunakan sistem tersebut tetapi lebih menggunakan sistem yang lebih modern seperti 1
Sorogan merupakan sistem pengajaran konvensional yang dimiliki oleh pesantren. Sistem sorogan merupakan sistem pengajaran satu arah yang menempatkan kyai sebagai guru yang menjelaskan maksud dari kitab tersebut. Santri dalam hal ini diharuskan mengajukan kitab apa yang akan dipelajari kemudian secara mendalam dan dihafal. 2 Bandongan atau juga disebut wetonan merupakan sistem pengajaran yang lain yang dimiliki oleh pesantren. Sistem ini juga tergolong konvensional dimana Kyai menjelaskan isi kita secara sistematis perkata yang kemudian menjelaskan arti dan maksud dari kitab tersebut sementara santri dituntut untut memperhatikan secara seksama.
14
pendidikan fomal. Oleh karena itu kategori lain yang muncul adalah kategori pesantren tradisional dan pesantren modern. Secara lebih terperinci akan dicoba dijelaskan elemen-elemen dasar yang terdapat di pesantren yaitu: 1.
Pondok atau asrama. Pondok atau asrama ini merupakan tempat tinggal santri dimana seluruh aktivitas keseharian santri berada disini. Interaksi sosial antar santri juga terjalin secara apik di pondok. Tujuan dari adanya asrama ini adalah selain menjadi tempat tinggal juga dapat memudahkan kyai dalam mendidik dan mengajarkan segala jenis ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Selain itu juga difungsikan untuk mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan oleh kyai atau ustadz (Fadhillah, 2005; Qomar, 2005).
2.
Masjid. Masjid ini merupakan pusat aktivitas utama santri yaitu ibadah. Fungsi lain yang dimiliki adalah juga fungsi pendidikan dimana masjid terkadang digunakan sebagai tempat pengajian baik formal maupun informal. Secara umum seluruh aktivitas santri ditandai oleh masjid terutama waktu shalat.
3.
Kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik merupakan salah satu identitas pesantren terutama pesantren tradisional dimana dikenal dengan kitab kuning. Kitab ini merupakan karya klasik pemikir Islam pada abad pertengahan. Secara akademis kitab tersebut memiliki bobot yang cukup serta komprehensif akan tetapi dari segi sistematika penyajiannya tampak sangat sederhana (Mas’udi, 1985). Pada pesantren yang tergolong modern, kitabkitab klasik juga digunakan dan disandingkan dengan sistem pendidikan yang lebih modern serta literatur dari negara dan kontemporer lainnya.
4.
Santri. Santri merupakan individu atau murid yang belajar dan tinggal dalam lingkungan pesantren. Kata-kata santri ini juga menjadi salah satu varian yang digunakan oleh Geertz dalam bukunya Religion of Java sebagai orang yang selalu mengaitkan hidupnya
dengan
aktivitas
beragama
dan
perdagangan. Geertz kemudian menempatkan santri pada posisi struktur ditengah diatas abangan dan dibawah priyayi. Santri sendiri merupakan individu yang memusatkan perhatiannya pada doktrin agama Islam,
15
khususnya penafsiran moral dan sosialnya (Effendy, 1985). Selain itu, nilai pokok yang dianut oleh santri adalah bahwa seluruh kehidupan dipandang sebagai ibadah. Konsep ini merupakan perluasan Bachtiar Effendy dari apa yang dijelaskan oleh Abdurrahman Wahid bahwa santri merupakan individu yang memiliki ciri dan watak tersendiri yang disebut “subkultural“. Santri juga dibedakan menjadi santri mukim yang bertempat tinggal di pondok atau asrama serta santri kalong yang tidak tinggal didalam asrama dan biasanya merupakan masyarakat sekitar pesantren (Ghazali, 2003). Dalam hubungan dengan kyai, santri juga memiliki variasi yang sangat terkait dengan tipe pesantren dimana dia bermukim. Fadhillah (2005) menyebutkan bahwa terdapat hubungan patrimonial antara kyai dengan santri dan hubungan formal. Kedua hubungan ini sangat terkait dengan sistem pesantren serta kedudukan kyai menurut pandangan santri tersebut. 5.
Kyai. Kyai merupakan pemimpin pesantren dan menjadi figur sentral dari pesantren. Kehadiran kyai sangat menentukan arah gerak kemajuan pesantren. Istilah kyai ini lebih banyak dikenal di wilayah Jawa. Di Sumatera misalnya lebih dikenal dengan sebutan Buya dan di Sulawesi lebih dikenal dengan sebutan Gurutta. Dalam kondisi yang lebih maju kedudukan seorang kyai dalam pondok pesantren tetap sebagai tokoh primer dimana kyai tetap sebagai pemimpin, pemilik dan guru utama (Ghazali, 2003). Dalam beberapa hal juga kekuasaan kyai dan mitos wali disakralkan dan memiliki kekuasan yang mutlak sehingga terkadang menimbulkan status quo (Romas, 2003). Selain itu Geertz juga menempatkan kyai sebagai cultural broker atau makelar budaya (Geertz, 1960) yang berfungsi menjadi intermediasi baik dalam pesantren maupun luar pesantren. Pendapat ini kemudian mendapat tanggapan dan koreksi dari Hiroko Horikoshi yang mencoba menempatkan Kyai bukan hanya sebagai broker tetapi lebih sebagai transformator yang dapat mendorong perubahan signifikan baik diinternal pesantren maupun masyarakat sekitar (Horikoshi, 1986).
Seiring dengan semakin berkembangnya dinamika dalam masyarakat serta tuntutan perubahan yang selalu menyeruak, pesantren dihadapkan pada keharusan
16
melakukan transformasi kearah yang lebih luas. Transformasi ini mengejawantah dalam bentuk pengabdian sosial sebagai perluasan dari sistem yang selama ini dianut oleh pesantren kebanyakan. Usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh pesantren secara garis besar dapat dibedakan atas pelayanan kepada para santri dan pelayanan kepada masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan usaha memajukan desa dimana pesantren tersebut berdomisili. Pola ini digunakan sebagai ajang para santri dan komponen
pesantren
lainnya
memperoleh
pengalaman
berharga
bagi
kehidupannya kelak. Usaha ini bukan berarti menghilangkan corak keagamaan yang selama ini melekat pada pesantren, tetapi lebih pada upaya membawa persoalan nyata yang selama ini berada di masyarakat kedalam pesantren, mencoba memahami persoalan tersebut untuk memudian bersama mencari pemecahan dan jawaban dari berbagai persoalan tersebut (Suyata, 1985). Berbagai jawaban yang secara empirik dilakukan adalah seperti yang dilakukan
oleh
beberapa
pesantren
seperti
Pesantren
Pabelan
yang
mentransformasi menjadi learning society (Hidayat, 1985; Arifin dan Hasanah, 2003). Pesantren An-Nuqayah dengan mendirikan BPM sebagai solusi dan intermediasi antara masyarakat dengan pesantren (Basyuni, 1985; Effendy, 1990; Ghazali, 2003) dan Pesantren Hidayatullah di Kalimantan (Yacub, 1984) serta banyak lagi pesantren lainnya yang baik secara langsung bersentuhan dengan masyarakat maupun yang tidak secara langsung.
2.4. Pesantren dan Gerakan Ekologi Sebagai salah satu respon terhadap berbagai permasalahan yang muncul terutama permasalahan lingkungan adalah dengan munculnya gerakan ekologi (environmental movement). Pengertian gerakan ekologi ini lebih banyak didominasi oleh gerakan lingkungan seperti lembaga swadaya masyarakat atau lembaga intermediasi lintas negara serta partai politik. Aras gerakan ini juga berada pada semua level baik lokal, nasional maupun internasional. Gerakan lingkungan dalam pengertiannya adalah suatu gerakan yang mengandung jejaring yang luas antar individu dan organisasi-organisasi yang saling mengikat diri dalam aksi bersama (collective action) untuk mendapatkan atau mengejar
17
keuntungan-keuntungan bagi lingkungan (Rootes, 2002). Aksi bersama ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kesamaan ide antar aktor didalamnya. Dalam konteks Pesantren, nilai teologi yang melekat atau dalam istilah Max Weber verstehen dapat menjadi dasar bergerak yang nantinya dapat dimanifestasikan melalui struktur yang terdapat dipesantren tersebut. Gerakan ekologi dapat dibedakan menjadi tiga variasi yaitu pertama, gerakan ekologi yang sebagai produk dari faktor-faktor budaya dan struktural yang muncul secara independen sebagai jawaban atas kondisi lingkungan sekitar. Kedua, gerakan ekologi yang menempatkan pola dan pengaruh mediasi dalam lobi-lobi lingkungan, peranan media serta ilmuwan. Ketiga, gerakan ekologi yang muncul sebagai respon dan meletakkan fokusnya pada semakin memburuknya kondisi lingkungan dan menjadikannya sebagai fokus utama gerakannya (Garner, 1996). Selain itu, dalam mengidentifikasi gerakan ekologi tersebut perlu dilihat dari beberapa sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah melihat dari sisi perhatian (interests) dan sebab (causes) yang melatar belakangi gerakan tersebut. Lowe dan Goyder dalam Garner (1996) membuat tipologi menjadi dua yaitu gerakan yang bersifat menekan (emphasis) dan gerakan yang bersifat promosional (promotional). Gerakan menekan merupakan gerakan yang telah mendapatkan kesuksesan atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan selama ini telah berbuahkan hasil sedangkan gerakan yang bersifat promosi adalah gerakan yang secara signifikan melakukan upaya promosi dan menyuarakan perubahan. Selain itu, identifikasi juga bisa dilakukan dengan menempatkan apakah fokus gerakan tersebut menempatkan gerakannya sebagai gerakan utama (primary) atau hanya gerakan kedua (secondary). Identifikasi juga bisa dilakukan berdasarkan pengaruh geografis yang dilakukan apakah bersifat lokal, nasional atau internasional. Identifikasi terakhir adalah identifikasi pada isu-isu yang diperjuangkan. Varian isu tersebut dapat berupa isu konservasi (conservation), rekreasi (recreation), kenyamanan (amenity) dan sumberdaya (resources). Selain paparan diatas, dalam konsepsi etika lingkungan juga dikenal istilah Deep Ecology yang merupakan pandangan filosofis yang mendasarkan pada hubungan yang suci antara bumi dengan makluk lainnya. Deep ecology atau
18
ekologi dalam merupakan gerakan internasional yang mendorong agar kelangsungan masa depan dapat terjaga dan juga ekologi dalam menjadi penuntun atau penunjuk arah bagi aktivitas keseharian manusia dan alam sekitarnya sebagai satu kesatuan ekosistem. Ekologi dalam mendorong terus dilakukannya penyelidikan dan penelitian tentang peran manusia di bumi ini dan juga mendorong untuk menganalisa praktik pembangunan yang tidak berkelanjutan, mendorong untuk menurunkan tingkat konsumsi manusia, upaya konservasi dan pemulihan ekosistem. Istilah deep ecology ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1970an yang merupakan reaksi atas terbatasnya konsepsi operasional dan politik yang dipaksakan oleh ideologi liberal dan institusi konservatif ketika melakukan reformasi lingkungan. Paradigma baru ini memandang dunia secara holistik yaitu mengatakan bahwa dunia secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan dan bukan merupakan satuan-satuan yang terpisah. Aliran filosofis ini didirikan oleh filsuf Norwegia Arne Naess di awal tahun tujuh puluhan bersama pembedaan yang ia lakukan antara ekologi yang dangkal (shallow environment) dengan yang dalam (deep ecology). Sekarang perbedaan ini diterima secara luas sebagai istilah yang sangat berguna untuk merujuk pada pembagian utama dalam pemikiran kontemporer atas lingkungan. Devall dan Sessions dalam Luke (2002) mencoba mengadaptasi dua norma yang diusulkan oleh Naess yaitu self-realization (perwujudan diri sendiri) dan biocentric equality (persamaan atau kesetaraan biosentris). Devall dan Sessions menempatkan self-realization sebagai visi dari kerja yang sesungguhnya atau berkerja keras untuk menjadi individu yang penuh daripada menjadi individu yang terisolasi oleh ego materialistik semata. Bentuk praktis ini mendorong munculnya etika baru yaitu menjadi atau melakukan dan bukan lagi mencoba atau memiliki. Norma yang kedua adalah norma biosentrime yang menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki hak yang sama untuk hidup dan berkembang dan mencapai bentuk individual mereka. Keraf (2002) menyebutkan beberapa prinsip gerakan lingkungan yaitu biospheric egalitarianism-in principle yaitu pengakuan bahwa semua organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu keseluruhan
19
yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Prinsip kedua adalah ninantroposentrisme, yaitu manusia merupakan bagian dari alam, bukan di atas atau terpisah dari alam. Ketiga yaitu realisasi diri (self-realization). Maksudnya adalah bahwa manusia merealisasikan dirinya dengan mengembangkan potensi diri. Keempat adalah pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan kompleksitas ekologis dalam suatu hubungan simbiosis dan kelima adalah perlunya perubahan dalam politik menuju eco-politics. Platform Deep Ecology tahun 1984 memberi kekhasan pada Deep Ecology sebagai gerakan politis-sosial-ekofilosofis internasional kontemporer. Platform itu secara esensial merupakan suatu pernyataan ekosentrisme normatif dan filosofis bersama dengan suatu seruan bagi aktivis lingkungan (Keraf, 2002). Pernyataan flatform Deep Ecology yang dimaksud adalah sebagai berikut; 1.
Kesejahteraan dan perkembangan kehidupan manusia dan non-manusia diatas bumi mempunyai nilai dalam diri mereka sendiri, atau dengan kata lain mempunyai nilai intrinsik (inheren). Nilai-nilai ini terlepas dari kegunaan dunia non-manusia bagi tujuan-tujuan manusia.
2.
Kekayaan dan keragaman bentuk-bentuk kehidupan memberikan kesadaran akan nilai-nilai ini dan juga merupakan nilai-nilai dalam kehidupan mereka sendiri.
3.
Manusia tidak mempunyai hak untuk mereduksi kekayaan dan keragaman itu kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok.
4.
Perkembangan hidup dan kebudayaan manusia sesuai dengan pengurangan subtansial dari populasi manusia. Perkembangan kehidupan non-manusia menuntut pengurangan seperti itu.
5.
Campur tangan manusia sekarang terhadap dunia non-manusia bersifat berlebihan dan situasinya menjadi memburuk dengan cepat.
6.
Kebijakan-kebijakan harus diubah. Kebijakan-kebijakan ini mempengaruhi tata susunan ekonomi, teknologi dan idiologi dasar.
7.
Perubahan idiologis terutama adalah perubahan mengenai penghargaan terhadap kualitas hidup yang berada didalam situasi-situasi yang inheren dari pada mempertahankan standar hidup (materilistis) yang semakin tinggi.
20
Dalam kaitan pesantren dengan gerakan ekologi, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya terdapat gerakan-gerakan ekologi yang berasal dari komunitas pesantren sebagai jawaban atas permasalahan yang muncul kekinian. Gerakan yang muncul dipesantren tersebut tidak terlepas dari narasi yang berkembang baik pada aras lokal, nasional maupun internasional. Begitu juga fokus isu yang berkembang memiliki hubungan dengan fenomena yang terjadi di dalam tubuh pesantren itu sendiri dan juga nilai teologi keislaman yang lama mengakar didalamnya.
2.5. Kerangka Pemikiran Pesantren merupakan bagian integral dari masyarakat sekitarnya karena maju maupun tidaknya pesantren sangat dipengaruhi oleh dua hal yaitu peran kyai sebagai figur sentral di pesantren serta perannya dalam menjembatani perubahan baik
internal
pesantren maupun eksternal
pesantren. Hal
lain
adalah
perkembangan masyarakat sekitarnya, termasuk bagaimana pesantren mampu menjawab berbagai persoalan yang menimpa masyarakat. Transformasi pesantren yang sebelumnya hanya berkutat pada diktum keagamaan dan menekankan hanya pada dakwah bil aqwal melalui metode-metode tradisional seperti mengajar, pidato dan lainnya dan berkutat hanya pada isu keagamaan, kemudian meluas menjadi dakwah bil hal yang lebih menekankan pada mencari langkah kongkrit menjawab permasalahan kontemporer. Transformasi ini tentu tidak dapat dilepaskan dari semakin meluasnya cakupan teologi yang termanifestasi oleh komponen pesantren tersebut. Ini dikarenakan pesantren yang selama ini dikenal sebagai institusi religius tidak pernah bisa dilepaskan dari narasi keagamaan dan menjadi sebuah lompatan besar bagi pesantren apabila dapat menjembatani dikotomi yang selama ini terpatri dan mengakar. Tentu perluasan ini selaras dengan akar sejarah pesantren itu sendiri. Pesantren yang selama ini dikenal juga berangkat dan tumbuh dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat disekitarnya. Transformasi teologi tersebut juga kemudian meluas menjadi teologi lingkungan dan berkembang dikalangan pesantren. Kyai sebagai pemimpin spiritual maupun struktural dalam pesantren tentu memiliki peran yang sangat
21
signifikan dalam proses perubahan tersebut. Kondisi ini memungkinkan karena kedudukan kyai di mata santri maupun masyarakat begitu amat agung dan kharismatik sehingga apabila secara teologis sang kyai mengalami transformasi dan meluaskan cakupan teologinya menjadi teologi lingkungan kemudian di transformasikan kepada santri dan masyarakat yang kemudian menjadi dorongan untuk melakukan berbagai gerakan pada level praktisnya. Kondisi ini dilatari oleh semangat ibadah dan integritas terhadap kyai sebagai representasi Nabi dan sang Khalik. Struktur sosial yang telah terbangun di pesantren juga menjadi salah satu faktor bagaimana proses transformasi tersebut dapat berjalan serta bagaimana penerimaan santri dan masyarakat terhadap pembaruan pemikiran teologis tersebut. Akan tetapi, kondisi geografis tentunya dapat mempengaruhi proses transformasi tersebut terutama perbedaan yang cukup mendasar antara pesantren yang berada di daerah perkotaan dengan daerah pedesaan. Budaya yang relatif homogen di pedesaan dapat menjadi stimulus perubahan tersebut sedangkan budaya yang relatif heterogen justru dapat menghambat proses perubahan yang sedang diupayakan oleh pesantren tersebut. Proses perubahan dalam Pesantren dalam memandang problematika lingkungan menjadi suatu hal yang unik. Meskipun demikian, dalam literatur ekologi terdapat istilah yang membedakan mereka yang memiliki perhatian terhadap lingkungan hanya untuk kepentingan manusia saja yang disebut sebagai ekologi dangkal, serta mereka yang secara kongkrit merubah cara pandang dengan menempatkan semua makhluk dalam kesetaraan seperti ekologi dalam. Islam sendiri memiliki berbagai macam prinsip yang dapat menjadi dasar seluruh aktivitas keseharian pemeluknya, tidak terkecuali kesadaran dalam menginisiasi konservasi lingkungan yang dilakukan oleh berbagai pesantren tersebut. Tahapan ini yang disebut sebagai tahapan internalisasi. Kesadaran ini tentunya melalui proses sublimasi nilai-nilai keagamaan menjadi suatu landasan eco-spiritualitas dalam gerakan lingkungan. Nilai-nilai eco-spritualitas
maupun
eco-teologi
tersebut
kemudian
bergerak
tertransformasikan secara individual melalui proses pemaknaan dalam diri masing-masing individu. Ini merupakan langkah awal dan sejatinya merupakan
22
langkah terpenting karena proses pengendapan nilai dalam diri yang melibatkan interaksi, baik dalam pribadi individu tersebut maupun keterlibatan aktor luar dalam memaknai prinsip-prinsip tersebut. Santri maupun masyarakat yang memiliki keterlibatan baik secara personal maupun masif, dalam proses memaknai nilai keIslaman tersebut dapat melalui edukasi dari Kyai sehingga bukan tidak mungkin, kesalahan pemahaman oleh Kyai dapat menyebabkan kesalahan mereka dalam memahami fenomena sosial yang menyeruak di masyarakat. Proses yang terbentuk dalam tahapan ini selaras dengan proses obyektifikasi. Langkah akhir yang kemudian terbangun adalah bentuk aplikasi pragmatis dari pemahaman mereka terhadap nilai dan transendensi nilai dalam bentuk gerakan ekologi. Munculnya gerakan ekologi ini dapat disebabkan adanya pengetahuan dari aktor luar (eksternal) maupun aktor dalam (internal) yang bermain dalam ruang kontestasi ekologi yang sebagai perwujudan tahapan eksternalisasi menjadi sebuah gerakan ekologi. Gerakan ini yang nantinya diidentifikasi menjadi gerakan ekologi dalam yang mengedepankan etika dan perubahan cara pandang dalam melihat alam dan manusia, atau justru menjadi gerakan ekologi dangkal yang meskipun aktivitas ekologi atau lingkungan dilakukan oleh pesantren, tetapi terbatas hanya pada upaya pencegahan yang didasari oleh kepentingan pragmatis saja. Individu juga tidak mengalami perubahan cara pandang dan masih menempatkan manusia menjadi khalifah yang menguasai seluruh sumberdaya di muka bumi. Meskipun demikian, ketiga proses diatas dapat berjalan secara evolutif maupun parsial. Gerakan lingkungan seperti konservasi di Pesantren dan sekitarnya dapat diidentifikasi dalam area dua kontinum gerakan tersebut. Permasalahan yang muncul adalah, apakah ketiga tahapan tersebut merupakan proses yang utuh, yang dilalui oleh pesantren sehingga sejatinya gerakan tersebut memiliki landasan spiritual dan gerakan tersebut merupakan buah dari proses evolusi individual dalam memaknai prinsip, kemudian mengendap dalam diri dan termanifestasikan dalam aktivitas. Gerakan lingkungan juga dapat bersifat parsial ketika individu melakukan aktivitas yang terputus satu sama lain. Individu dapat mengetahui dan memahami prinsip ekologi tersebut, tetapi tidak kemudian termanifestasi dalam bentuk
23
gerakan. Individu juga dalam terlibat dalam gerakan, tetapi sesungguhnya tidak dilandasi oleh pemahaman atas prinsip ekologi tersebut. Kondisi ini yang kemudian dapat menempatkan mereka dalam kontinum gerakan yang paling awal yaitu kontinum gerakan ekologi dangkal. Selebihnya, ketika proses evolusi itu dilalui dan berujung pada manifestasi gerakan, mereka sejatinya berada dalam kontinum akhir yaitu gerakan ekologi dalam. Proses sedemikian rupa yang digambarkan diatas, sejalan dengan argumentasi yang diberikan oleh Engineer (2007) bahwa sejatinya manifestasi merupakan bentuk lain dari hikmah (kebijaksanaan) yang merupakan ekstraksi dan sublimasi dari ‘ilm (pengetahuan). Kedua hal tersebut bersumber pada ‘aql (akal) dan fikr (pemikiran) yang terbentuk dari pembacaan terhadap fenomena yang muncul disekitar yang dalam hal ini berbagai problema lingkungan dengan pemahaman terhadap sumber teologi dalam Islam seperti Al-Quran dan Hadist. Berdasarkan pemikiran diatas maka secara ringkas dan memperjelas kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1):
Konstruksi Gerakan Terbentuk Karena Refleksi Pribadi
Kerangka Dasar dan Nilai-nilai Ekologi Dalam Islam
Refleksi Nilai Dalam Sistem Pesantren (Formal dan Informal)
Konstruksi Gerakan Terbentuk Karena induksi Dari Aktor Luar Tahap Internalisasi
Aktor-Aktor Internal Yang Bermain
Kontinum Gerakan Ekologi Ekologi Dangkal
Ekologi Dalam
Aktor-Aktor Eksternal Yang Bermain
Tahap Obyektifikasi
Tahap Eksternalisasi
Kontinum Manifestasi - Aksi
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
24