II KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1
Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan
karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik.
Sapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok
ruminansia terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untuk dikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi-sapi ini umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan, dipelihara secara intensif selama beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk dipotong (Abidin, 2006). Sapi potong telah lama dipelihara oleh sebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah dengan manajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besar berupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan. Pemeliharaan dilakukan terintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan. Permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapi potong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan (Suryana, 2009). Menurut Bambang (2005), sapi dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu: Bos indicus (zebu/sapi berpunuk) yang berkembang di India dan sudah tersebar ke berbagai negara terlebih negara tropis; Bos taurus merupakan bangsa sapi yang menurunkan bangsa sapi potong dan perah di Eropa serta sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia; serta Bos sondaicus (Bos bibos)
yang merupakan sumber asli bangsa sapi di Indonesia. Sapi yang kini ada merupakan keturunan banteng (Bos bibos) yang sekarang dikenal sebagai Sapi Bali, Madura, Sumatra, dan Sapi Pasundan.
2.2
Sapi Pasundan Sapi Pasundan merupakan bagian dari sumberdaya genetik lokal yang layak
dikembangkan karena telah lama akrab dan beradaptasi dengan lingkungan fisik maupun sosial. Menurut deskripsi pada Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 1051/Kpts/SR.120/10/2014 tanggal 13 Oktober 2014 tentang Penetapan Rumpun Sapi Pasundan disebutkan bahwa Sapi Pasundan dipelihara secara turun-temurun dan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat peternak selama ratusan tahun serta dijadikan sumber modal kehidupan. Sapi Pasundan merupakan hasil adaptasi lebih dari 10 (sepuluh) generasi anatara Bos sondaicus/banteng/ Sapi Bali, dengan Sapi Jawa, Sapi Madura dan Sapi Sumba Ongole membentuk Sapi Pasundan (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). Pengembangan sapi lokal merupakan bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan ketahanan pangan. Provinsi Jawa Barat memiliki potensi dalam upaya pemenuhan daging nasional karena kondisi wilayahnya pada bagian selatan dikelilingi pegunungan memungkinkan untuk pengembangan ternak sapi. Sapi Pasundan merupakan salah satu ternak lokal asli Jawa Barat yang sebelumnya disebut Sapi Rancah.
Sapi Pasundan diharapkan
menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi masyarakat dalam misi untuk mencapai swasembada daging sapi khususnya di Jawa Barat sebagaimana yang
telah dicanangkan oleh Gubernur Jawa Barat.
Sapi Pasundan saat ini telah
mendapatkan pengakuan dari Pemerintah sebagai sapi asli Jawa Barat melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 1051/Kpts/SR.120/10/2014 tanggal 13 Oktober 2014 tentang Penetapan Rumpun Sapi Pasundan. Sapi Pasundan merupakan kekayaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). Penyebaran populasi sapi Pasundan berada di dua wilayah penting Jawa Barat yaitu wilayah Buffer Zone hutan Priangan Utara dan wilayah pesisir selatan. Penyebaran populasi ini berurutan dari yang terbesar di wilayah selatan Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya. Kemudian disusul wilayah Buffer zone hutan di Kuningan, wilayah selatan Pangandaran, wilayah selatan Indramayu, wilayah timur Majalengka, Purwakarta dan Ciamis Timur. Populasi Sapi Pasundan juga menyebar di wilayah selatan Garut, wilayah utara Sumedang dan sebagian kecil ada di Bogor selatan dan Karawang (Indrijani, 2014). Tabel 1. Karakteristik Performa Reproduksi Sapi Pasundan Jantan dan Betina No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Parameter reproduksi Cara perkawinan Umur beranak pertama (bulan) Umur dewasa kelamin jantan (bulan) Lama bunting (bulan) Umur birahi pertama (bulan) Lama siklus estrus (hari) Jumlah anak per kelahiran (ekor) Masa produktif (tahun) Lama menyusui (bulan) Jarak beranak (tahun) Seks rasio di lapangan/penggembalaan Kemampuan beranak selama hidup (kali)
*) Alam 30 – 40 25 – 30 8,5 - 10,0 18 -24 18-24 1 ekor 10 – 20 4 -7 1,2 1 : 10 10 – 20
Keterangan : *) Hasil pengamatan (2010-2013) Sumber : (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). Sapi Pasundan mempunyai kemampuan reproduksi cukup baik yaitu mampu menghasilkan anak setiap tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa masa birahinya tidak terpengaruh oleh musim. Perkawinan Sapi Pasundan pada umumnya dilakukan dengan kawin alam.
Perkawinan ini paling banyak terjadi pada saat sapi
digembalakan baik di padang penggembalaan maupun di kawasan hutan. Kemampuan reproduksi yang cukup baik dilihat dari dewasa kelamin lebih pendek dibandingkan dengan sapi lokal lain dan masa reproduksinya cukup panjang. Pengalaman peternak menginformasikan bahwa Sapi Pasundan mampu melahirkan sampai 23 kali selama masa hidupnya, namun rata-rata 10 hingga 20 kali (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). 2.3
Karakteristik Kuantitatif Suhaima (1999) menyatakan bahwa ukuran-ukuran tubuh ternak merupakan
sifat kuantitatif yang dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan – perbedaan antara jenis ternak. Ukuran tubuh ternak sering juga digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan karena ukuran merupakan indikator penting dari pertumbuhan. Erfan (2004) menyatakan bahwa ukuran tubuh dapat digunakan untuk menaksir bobot tubuh dan berat karkas, serta memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa ternak tertentu. Menurut Soeparno, (2005) nilai kuantitatif pada ternak akan berhubungan dengan pertumbuhan pada ternak. Pertumbuhan secara umum didefinisikan sebagai perubahan ukuran tubuh yang meliputi perubahan bobot badan, bentuk, dimensi dan
komposisi tubuh termasuk perubahan jaringan-jaringan tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ. Menurut Santosa (2008) karakteristik kuantitatif adalah karakter yang dapat diukur dari ternak yang memiliki derajat dan sifat yang diamati dari tubuh ternak itu sendiri.
Pengukuran karakteristik kuantitatif mengacu pada Standar Nasional
Indonesia (SNI) meliputi umur (tahun), tinggi pundak, panjang badan dan lingkar dada (SNI 7651.4:2015). 2.3.1
Umur Umur ternak berperan penting dalam perubahan dimensi tubuhnya. Ternak
yang mendapat perlakuan dan manajemen pemeliharaan yang baik dari muda maka perubahan atau pertambahan dimensi tubuhnya akan bagus (Patmawati, 2013). Dimensi tubuh pedet jelas berbeda dengan dimensi tubuh sapi dara dan induk, hal tersebut membuktikan pengaruh umur terhadap dimensi tubuh (Siregar, 2008). Hammack dan Shrode (1996) menyatakan, bahwa hewan yang lebih panjang dan
lebih
kurus
pada
umur
dan
berat
tertentu,
cenderung
mempunyai
pertambahan bobot tubuh lebih tinggi sampai umur setahun. 2.3.2
Panjang Badan Pengukuran panjang badan dilakukan dengan cara mengukur jarak dari
bongkol bahu (Tuberositas humeri) sampai ujung tulang duduk (Tuber ischii), menggunakan tongkat ukur (SNI 7651.4:2015). Panjang badan dan lingkar dada dapat digunakan untuk melakukan pendugaan bobot hidup sapi. Panjang badan dan lingkar dada memiliki hubungan erat dengan komponen tubuh, ukuran permukaan dan bagian
tubuh ternak serta mempunyai banyak kegunaan karena dapat digunakan dalam penaksiran bobot badan dan karkas (Santosa, 2008). 2.3.3
Tinggi Pundak Tinggi pundak ialah jarak tegak lurus dari titik tertinggi pundak sampai ke
tanah atau lantai diukur menggunakan tongkat ukur. Ukuran-ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan dan tinggi pundak dapat memberikan petunjuk bobot badan ternak dengan ketelitian yang cukup baik.
Korelasi antara lingkar dada,
panjang badan, dan tinggi pundak dengan bobot hidup sangat tinggi dibandingkan dengan ukuran tubuh lainnya (Santosa, 2008). 2.3.4
Lingkar dada Pengukuran lingkar dada dilakukan dengan cara mengukur lingkar dada
dengan melingkarkan pita ukur pada bagian dada dibelakang bahu (SNI 7651.4:2015). Lingkar dada mempunyai peranan nyata terhadap peramalan bobot badan dibanding ukuran tubuh lain. Williamsom dan Payne (1993) menyatakan bahwa penggunaan ukuran lingkar dada dan panjang badan dapat memberikan petunjuk bobot badan seekor hewan dengan tepat. Metode pendugaan ini memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan, akan tetapi memiliki kendala dengan tingkat akurasi pendugaannya dan masih perlu terus dikembangkan terutama dalam konteks ternak-ternak lokal di Indonesia (Gunawan,1993).
2.4
Faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Kuantitatif
2.4.1
Jenis Kelamin Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap karakteristik kuantitatif. Pada
Sapi Pasundan sifat kuantitatifnya meliputi panjang badan, tinggi pundak dan lingkar dada. Panjang badan Sapi Pasundan jantan adalah 120 cm dan pada Sapi Pasundan betina 110 cm. Tinggi pundak Sapi Pasundan jantan 115 cm dan betina 109 cm. Lingkar dada Sapi Pasundan jantan 150 cm dan betina 138 cm (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, 2014). Sapi potong yang baik untuk bakalan adalah sapi dengan jenis kelamin jantan. Pertumbuhan sapi jantan relatif lebih cepat dibandingkan dengan sapi betina. Umur sapi yang baik untuk bakalan adalah 1 - 2 tahun karena pada umur tersebut sapi mengalami laju pertumbuhan yang tinggi (Setiadi, 2011). 2.4.2
Pola Pemeliharaan Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif,
semi intensif dan ekstensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan lahan
untuk
pemeliharaan
secara
ekstensif
sudah
karena
mulai berkurang.
Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Sapi diberikan pakan sebanyak dan sebaik mungkin sehingga cepat besar dan gemuk. Kotorannya pun biasa terkumpul dalam satu tempat sehingga mudah dibersihkan dan dimanfaatkan untuk keperluan lain (Bambang, 2005).
Pada sistem pemeliharaan semi intensif, umumnya ternak dipelihara dengan cara sapi-sapi ditambatkan atau digembalakan di ladang, kebun, atau pekarangan yang rumputnya tumbuh subur pada siang hari.
Sore harinya, sapi tersebut
dimasukkan ke dalam kandang sederhana dan lantainya dari tanah yang dipadatkan. Pada malam hari, sapi diberi pakan tambahan berupa hijauan. Dapat juga ditambah pakan penguat berupa dedak halus yang dicampur dengan sedikit garam. Dalam hal perawatan, kandang sapi dibersihkan setiap hari atau minimal seminggu sekali (Susilorini, 2009). Pada sistem pemeliharaan ekstensif, sapi dilepaskan di padang pengembalaan dan digembalakan sepanjang hari, mulai pagi sampai sore hari. Selanjutnya mereka digiring kekandang terbuka yakni kandang tanpa atap. Di dalam kandang, sapi itu tidak diberi pakan tambahan lagi (Sugeng, 2000). 2.4.3
Pakan Pakan sapi pada dasarnya merupakan sumber pembangun tubuh.
Untuk
memproduksi protein tubuh, sumbernya protein pakan, sedangkan energi yang diperlukan bersumber dari pakan yang di konsumsi, sehingga pakan merupakan kebutuhan utama dalam pertumbuhan ternak (Santosa, 2008). Pakan adalah semua bahan yang diberikan dan bermanfaat bagi ternak dan tidak menimbulkan racun dan pengaruh negatif terhadap tubuh ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak seperti air, karbohidrat, lemak, protein dan mineral (Syamsu, 2005). Maksud pemberian pakan kepada ternak sapi adalah untuk perawatan tubuh atau kebutuhan pokok hidup dan keperluan berproduksi (Sudarmono dan Bambang, 2008).
Syamsu (2005) menyatakan bahwa ternak ruminansia harus mengkonsumsi hijauan sebanyak 10 % dari bobot badan setiap hari dan konsentrat sekitar 1,5-2 % dari jumlah tersebut termasuk suplementasi vitamin dan mineral. Oleh karna itu hijauan dan sejenisnya terutama rumput dari berbagai spesies merupakan sumber energi utama ternak ruminansia. Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya agar proses pencernaannya berlangsung secara optimal. Sumber utama serat kasar adalah hijauan. Oleh karna itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia miasalnya, kebutuhan mineral hijauan berkisar antara 0,5-0,8 % bahan kering dari bobot badan ternak yang digemukkan (Anggorodi, 1984).