II. ANATOMI PENAMPANG LINTANG BATANG 9 JENIS BAMBU Abstrak Ketersediaan bambu yang melimpah serta keterbatasan pemanfaatan bambu mendorong dilakukannya penelitian dasar di bidang anatomi untuk memperoleh landasan ilmiah mengenai karakter bambu yang dapat digunakan untuk mengarahkan pemanfaatan bambu secara optimum. Metode analisis adalah pendekatan regresi dengan peubah boneka dengan melibatkan faktor jenis, posisi bambu secara vertikal (pangkal, tengah, dan ujung), posisi bambu secara horizontal (tepi, tengah, pusat dan dalam), serta pola ikatan pembuluh bambu (pola 1, 2, 3, dan 4). Hasil penelitian ini menetapkan bahwa setiap spesies bambu memiliki pola ikatan pembuluh dari pola 1 sampai pola 4, baik itu pola tunggal ataupun pola kombinasi. Dendrocalamus strictus, bagian ujung batang, bagian tepi penampang lintang, dan pola ikatan pembuluh 1 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh tertinggi dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan lainnya. Bambu Cephalostachyum pergracile memiliki nilai panjang serabut terendah dibandingkan dengan spesies bambu lain. Panjang serabut tertinggi dimiliki oleh bambu-bambu yang memiliki pola 4. Persen serabut tertinggi pada penampang lintang batang ada pada bagian tepi. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai nilai penting untuk membedakan jenis bambu juga dapat digunakan untuk menentukan arah penggunaan bambu. Kata kunci: kerapatan ikatan pembuluh, pola, persentase serabut, panjang serabut, penampang lintang Abstrak Abundant availability of bamboo and limitations in the use of bamboo encourage basic research in the field of anatomy. The study is expected to provide a scientific basic for the character of bamboo that can be used to direct the optimum utilization of bamboo. The research method is the approach of regression with dummy variables which involved factors of bamboo species, position of bamboo vertical (base, middle, and top), bamboo horizontal position (edge, middle, center, inner) and bamboo patterns (1, 2, 3 and 4 ). The result of this study is that every bamboo species has vascular bundle pattern from 1 to 4 as well as the single patern and the combination pattern. Dendrocalamus strictus species, the culm top, edges of the cross section, vascular bundle pattern 1 have the highest vascular bundle density values and significantly different with others. Cephalostachyum pergracile fiber length has the lowest compared to other species of bamboo but pattern 4 has the highest fiber length. The highest percent of fibers in the cross section of the stem is at the edge. The conclusion of this study is the vascular bundle patterns have important value for distinguishing species of bamboo and they can also be used to determine the direction of bamboo’s utilization. Key word : vascular bundle density, pattern, fibre percentage, fibre length, cross section
Pendahuluan Bambu merupakan tanaman monokotil yang tersedia melimpah di Indonesia bahkan di dunia, yang digunakan untuk berbagai tujuan walaupun dalam hal ini tidak semua spesies sesuai untuk tujuan tertentu. Bambu mempunyai sifat-sifat fisik dan mekanik yang berbeda sehingga menghasilkan produk dengan mutu yang berbeda pula. Pengetahuan mengenai komponen anatomi bambu memegang peranan penting bahkan diperlukan dalam penemuan suatu produk baru. Dengan demikian,
riset dasar sangat penting untuk mendapatkan suatu karakterisasi
bambu. Menurut American Bamboo Society (1999), riset pada sifat-sifat dasar akan membawa kepada penggunaan yang lebih baik dan peningkatan nilai tambah produk. Untuk penggunaan yang lebih optimum diperlukan kriteria tertentu yang sesuai dan sering terkait dengan struktur sel (anatomi) dan sifat-sifat pada bambu (Liese 1987). Gritsch dan Murphy (2005) menyatakan bahwa struktur anatomi bambu menentukan sifat dasar terutama sifat fisik dan mekanik. Bambu dikenal sebagai salah satu tanaman cepat tumbuh sehingga dapat menjadi alternatif terbaik pengganti kayu di masa datang. Tidak seperti kayu, bambu hanya memerlukan 3-4 tahun untuk siap tebang dan digunakan (Wahab et al. 2009). Jenis-jenis bambu yang tumbuh di Indonesia sangat banyak dan belum dimanfaatkan secara optimum.
Dengan demikian,
terbuka peluang untuk
memanfaatkan lebih banyak jenis-jenis bambu yang ada. Untuk mengenal seluruh jenis bambu relatif sulit karena banyak bambu yang belum dikenal di masyarakat. Perlu dicari upaya lain agar dapat mengenal dalam konteks menggunakan bambu secara tepat dengan lebih mudah. Penelitian ini mencoba untuk mengamati secara mendalam sifat anatomi penampang lintang bambu dengan memperhatikan berbagai informasi yang muncul dari penampang lintang bambu-bambu yang diujikan. Penelitian pada bidang anatomi sebaiknya dikembangkan untuk menggali potensi yang dimiliki bambu sehingga hasilnya dapat dipergunakan terutama dalam memanfaatkan bambu secara optimum (Lwin et al. 2007). Seperti halnya tanaman monokotil lain, anatomi batang bambu tersusun selain oleh parenkim sebagai jaringan dasar juga oleh ikatan pembuluh yang tertanam dalam parenkim (Londono et al. 2002). Keragaman di antara genus dan
spesies bambu terkait dengan jenis pola ikatan pembuluh (Grosser dan Liese 1971). Tampilan pola ikatan pembuluh itu sendiri akan dapat dilihat dengan jelas pada penampang melintang bambu (Lwin et al. 2007). Bambu memiliki 4 pola ikatan pembuluh
yaitu tipe 1 yang terdapat pada genus Leptomorph seperti
Arundinaria, tipe 2 terdapat pada genus Melocanna dan Cephalostachyum, sedangkan tipe 3 dan 4 muncul pada genus Dendrocalamus dan Gigantochloa. Perbedaan struktur anatomi yang mendasar antara keempat pola mempengaruhi sifat-sifat kerapatan, kekuatan, dan kelenturan (Grosser dan Liese 1971). Dengan demikian, melalui penelitian sifat anatomi diharapkan akan dapat diketahui sifatsifat struktural dan hubungan dengan sifat dasar lainnya secara lengkap. Penetapan pola ikatan pembuluh dilakukan pada 9 jenis bambu.
Pada
proses selanjutnya sampel bambu yang diambil hanya 8 jenis bambu (tanpa Gigantochloa atroviolacea) karena setiap pola cukup terwakili oleh 2 jenis bambu. Diharapkan melalui kegiatan penelitian ini akan diperoleh informasi secara lengkap mengenai sifat anatomi penampang lintang batang bambu.
Bahan dan Metode Bahan Bahan penelitian adalah 9 jenis bambu yang telah berumur 3-4 tahun serta memiliki pola ikatan pembuluh 1-4 yang ditentukan berdasarkan panduan penetapan pola ikatan pembuluh bambu oleh Grosser dan Liese (1971) (Lampiran 1)
dengan ulangan 3 kali.
Bambu-bambu tersebut terdiri atas Arundinaria
hundsii Munro (Ah), Arundinaria javonica (Aj), Melocanna baccifera (Mb), Cephalostahyum pergracile (Munro) (Cp), Dendrocalamus giganteus (Wallich ex Munro
(Dg/sembilang),
Dendrocalamus
asper
Dendrocalamus (Schultes
f.)
strictus
(Roxb.)
(Da/betung/petung),
Nees
(Ds),
Gigantochloa
atroviolacea (Widjaja) (Gat/hitam atau pring wulung), dan Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz (Ga/tali) dengan lokasi pengambilan 6 jenis bambu pertama di Kebun Raya Bogor, sedangkan lokasi pengambilan 3 jenis bambu yang terakhir dari daerah di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Penentuan sifat anatomi Variabel pengamatan adalah tipe dan kerapatan ikatan pembuluh, panjang serabut dan persentase serabut. Sampel uji ditetapkan pada penampang lintang ruas tengah bagian pangkal, tengah, dan ujung batang bambu, sedangkan pada posisi horizontal (penampang lintang batang), sampel uji ditetapkan pada bagian tepi, tengah, pusat, dan dalam.
Maserasi menggunakan metode Schultze,
sedangkan pembuatan preparat sayatan mengacu kepada Sass (1951). Kerapatan ikatan pembuluh ditentukan berdasarkan perhitungan jumlah pola ikatan pembuluh untuk setiap luasan tertentu.
Persentase serabut ditentukan
dengan menghitung luasan serabut untuk setiap luasan tertentu dalam satuan persen. Kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut diukur dengan alat stereo discovery V8 merk Zeiss dengan kamera Axio Cam M Rc 5 yang dihubungkan komputer dengan perangkat lunak Axio Vision Rel. 4.6. Sementara pengukuran panjang serabut dilakukan dengan mikroskop. Dokumentasi foto mikro bambu dilakukan dengan bantuan mikroskop dengan pembesaran 40 kali.
Analisis data Data dianalisis dengan pendekatan regresi dengan peubah boneka. Peubah boneka dalam analisis ini adalah 8 (delapan) jenis bambu yang terwakili dalam peubah X1-X7; 3 (tiga) posisi vertikal yaitu pangkal, tengah, dan ujung yang terwakili dalam peubah X8 dan X9; 4 (empat) posisi horizontal yaitu tepi, tengah, pusat, dan dalam yang terwakili dalam X10-X12; 4 (empat) pola bambu yang terwakili dalam X13- X15. Dalam penentuan panjang serabut hanya ada 12 peubah boneka (dummy) karena tidak ada peubah untuk posisi horizontal. Kontribusi keseluruhan peubah akan dianalisis dalam persamaan regresi.
Hasil dan Pembahasan Deskripsi pola ikatan pembuluh bambu Pengamatan pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu memberikan hasil berupa penetapan pola ikatan pembuluh. Penetapan pola ikatan pembuluh
dilakukan dengan pengamatan bentuk pola pada bagian pusat (setelah bagian tengah) penampang lintang batang karena bentuk dan ukuran pola telah mencapai diferensiasi optimum (Londono et al. 2002). Pada bagian tengah batang bambu, Arundinaria hundsii dan Arundinaria javanica memiliki ikatan pembuluh pola 1, sedangkan Melocanna baccifera dan Cephalostahyum pergracile baik bagian pangkal, tengah, dan ujung memiliki pola 2. Demikian pula Dendrocalamus giganteus dan Dendrocalamus strictus memiliki pola 3 pada keseluruhan bagian batang (pangkal, tengah, dan ujung). Namun, pola pada bambu Dendrocalamus asper berbeda dengan spesies bambu sebelumnya, yaitu pada bagian pangkal memiliki pola 4, sedangkan pada bagian tengah dan ujung mempunyai pola 3. Bambu Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa apus pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4, sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3. Selanjutnya, akan diuraikan deskripsi pola ikatan pembuluh untuk setiap jenis bambu.
Arundinaria hundsii A. hundsii adalah bambu yang termasuk kelompok bambu monopodial. Umumnya, ketinggian batang 3 m. Bambu ini memiliki dinding batang tipis dibandingkan dengan spesies bambu lain, yaitu tebal dinding batang bagian pangkal rata-rata 0.6 cm, sedangkan bagian ujung rata-rata 0.4 cm. Bentuk pola pada penampang lintang bambu dapat diamati secara jelas pada bagian tengah dan bagian dalam yang berbentuk pola 1. Bentuk pola pada bagian tepi belum terlihat jelas karena rantai pembuluh pusat masih bergabung dengan rantai serabut. Sementara itu, bentuk pola pada bagian tengah dan dalam terlihat jelas. Selubung sklerenkim pada bagian tengah lebih tebal dibandingkan dengan bagian dalam. Adapun gambaran tanaman bambu secara utuh dan sayatan pola ikatan pembuluh pada penampang lintang bambu A. hundsii selengkapnya pada Gambar 3 dan sketsa pola ikatan pembuluh pada tipe 1 pada Gambar 4.
(b) (a) kulit
dalam
Gambar 3. (a). Bentuk pohon bambu A. hundsii secara utuh, (b). Sayatan mikro pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x) parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel sklerenkim
Gambar 4. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. hundsii Arundinaria javonica Seperti halnya spesies bambu sebelumnya, bambu A. javonica adalah bambu yang termasuk kelompok monopodial yang berasal dari negara Jepang (Botanic Garden of Indonesia 2001). Ketinggian batang bambu ini rata-rata 4 m dengan tebal dinding batang bagian pangkal rata-rata adalah 0.6 cm dan bagian ujung adalah 0.4 cm. Umumnya, dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian tengah dan dalam hampir sama, tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung serabut, yaitu pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1. Tampilan bambu secara utuh dan sayatan penampang lintang A. javonica dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan sketsa pola ikatan pembuluh tercantum pada Gambar 6.
(b) (a)
kulit
dalam
Gambar 5. (a). Bentuk pohon bambu A. javonica secara utuh, (b). Sayatan pada penampang lintang bambu (pembesaran 40x) parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel sklerenkim
Gambar 6. Sketsa pola ikatan pembuluh tipe 1 pada A. javonica Melocanna baccifera Bambu M. baccifera berasal dari negara Banglades, Burma, dan India, tetapi telah menyebar luas ke seluruh dunia ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini termasuk kelompok simpodial. Di Kebun Raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan tinggi batang rata-rata 8 m dan tebal dinding batang pangkal adalah 0.7 cm dan bagian ujung 0.3 cm. Tampilan secara utuh pohon bambu Melocanna baccifera terlihat pada Gambar 7. Uraian sifat anatomi berdasarkan bagian pada batang, yaitu pada pangkal, tengah, dan ujung.
Gambar 7. Bentuk pohon bambu M. baccifera secara utuh
Pangkal Pola ikatan pembuluh pada bambu M. baccifera merupakan pola 2 yang terlihat jelas pada bagian tengah penampang lintang batang. Pada bagian tepi penampang lintang, selubung serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh pusat. Sementara itu, pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola sudah jelas terlihat. Pada bagian dalam, gambaran pola tidak sempurna karena perluasan selubung sklerenkim pada ruang antar sel sangat sedikit (Gambar 8). parenkim metaxilem
(b) (a)
ruang antar sel jar. floem sklerenkim
kulit
dalam
Gambar 8. (a) M. baccifera bagian pangkal dengan pembesaran 40x (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera
Tengah Seperti pada bagian pangkal, pola ikatan pembuluh bambu M. baccifera bagian tepi penampang lintang batang belum memberikan gambaran pola yang jelas.
Pada bagian tengah penampang lintang batang, gambaran pola sudah
terbaca berupa pola 2 dan bentuk pola yang tidak sempurna muncul pada bagian dalam seperti yang tertera pada Gambar 9.
parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel (a) kulit
(b)
sklerenkim
dalam
Gambar 9. (a) M. baccifera bagian tengah (pembesaran 40x) (b) sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera
Ujung Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung sama seperti pada bagian pangkal dan tengah, tetapi ukurannya lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang batang, gambaran pola tidak jelas terlihat. Pola ikatan pembuluh terlihat jelas hanya pada bagian tengah. Bagian dalam disusun oleh pola-pola yang tidak sempurna (Gambar 10). parenkim metaxilem ruang antar sel (b)
jar. floem sklerenkim
(a) kulit
dalam
Gambar 10. (a). Penampang lintang M. baccifera bagian ujung (pembesaran 40x), (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera (pola 2)
Cephalostachyum pergracile Bambu C.pergracile adalah kelompok bambu simpodial yang berasal dari India, Nepal, Burma, Thailand, dan China ( Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di Kebun Raya Bogor dengan tinggi batang rata-rata 14 m. Ketebalan dinding batang pada bagian pangkal rata-rata 1.4 cm, sedangkan bagian ujung adalah 0.6 cm. Tampilan pohon bambu secara utuh dapat diamati pada Gambar 11. Pembahasan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi berdasarkan bagian batang, yakni pangkal, tengah, dan ujung.
Gambar 11. Bentuk pohon bambu C. pergracile
Pangkal
Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat dikelilingi oleh selubung serabut sehingga belum dapat ditentukan bentuk polanya. Pada bagian tengah penampang lintang terlihat perluasan selubung serabut dekat ruang antar sel sehingga bakal pembentukan pola 2 sudah mulai terlihat.
Demikian pula pada bagian pusat, bentuk pola ikatan hampir sama
dengan bagian tengah, tetapi perluasan selubung serabutnya agak memanjang. Namun, pada bagian dalam, perluasan selubung serabut pada ruang antar sel tidak seluas seperti pada bagian tepi, tengah, dan pusat (Gambar 12).
parenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem
(a) (b) dalam
kulit
Gambar 12.
sklerenkim
(a) Tampilan penampang lintang bambu C. pergracile bagian pangkal l dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile
Tengah Pada bagian tepi penampang lintang batang, selubung serabut mengelilingi seluruh rantai pembuluh pusat. Bagian tengah penampang lintang berbeda dengan bagian tepi karena perluasan selubung sudah mulai terlihat. Hal yang sama terjadi pada bagian dalam penampang lintang batang. Dengan demikian, pada bagian tengah dan bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluh sudah terlihat jelas, yaitu pola 2 (Gambar 13).
parenkim metaxilem ruang antar sel (b)
jar. floem sklerenkim
(a) kulit
dalam
Gambar 13. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian tengah (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile Ujung Pada bagian tepi penampang lintang batang, rantai pembuluh pusat seluruhnya dikelilingi oleh selubung serabut dengan bagian yang agak menonjol pada bagian ruang antar sel. Bentuk pola ikatan pada bagian tengah penampang lintang adalah pola 2. Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh ada yang tidak sempurna (Gambar 14).
parenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem (a) kulit
(b)
sklerenkim
dalam
Gambar 14. (a). Penampang lintang bambu C. pergracile bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile
Pengamatan pada susunan pola ikatan pembuluh pada posisi vertikal, pada bagian pangkal,
jarak antara ikatan pembuluh agak renggang dan selubung
serabut agak memanjang ke arah radial. Pada bagian tengah, selubung serabut relatif agak pendek. Pada bagian ujung, selubung serabut lebih tipis dengan tetap menunjukkan kekhasan pola 2-nya. Dendrocalamus giganteus D. giganteus adalah bambu simpodial dengan asal yang belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan berasal dari Burma dan Thailand (Dransfield dan Widjaja 1995). Di Kebun Raya Bogor, tinggi batang bambu ini rata-rata 24 m. Rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 2.4 cm, sedangkan pada bagian ujung adalah 0.6 cm. Adanya perbedaan yang mencolok dari ketebalan dinding batang juga terlihat dari perbedaan diameter batang antara bagian pangkal dan bagian ujung (Gambar 15). Selanjutnya, diuraikan sifat anatomi pada bagian pangkal, tengah, dan ujung bambu.
Gambar 15. Tampilan utuh bambu D. giganteus Pangkal Pada bagian tepi penampang lintang batang, sebagian besar sudah terlihat cikal bakal munculnya pola 3, yaitu dengan adanya rantai serabut, sedangkan pada bagian tengah penampang lintang sudah memunculkan bentuk pola 3 dengan bentuk rantai serabut yang membulat. Bentuk pola yang hampir sama juga ada pada bagian pusat dengan rantai serabut yang lebih pipih dan memanjang. Pada bagian dalam, bentuk pola ikatan pembuluhnya tidak sempurna. parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut sklerenkim
(b) (a) kulit
dalam
Gambar 16. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian pangkal (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus Tengah Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola tidak terlihat karena pembuluh pusat dan rantai serabut masih menyatu.
Pada bagian tengah
penampang lintang, bentuk pola sudah terlihat jelas dengan rantai serabut yang bulat dan agak runcing pada bagian ujungnya. Pada bagian pusat, bentuk pola hampir sama dengan tengah penampang lintang, tetapi bentuk rantai serabut ramping. Bentuk yang hampir sama ditemukan pada bagian dalam, tetapi dikombinasikan juga dengan adanya pola yang tidak sempurna karena tidak mengandung rantai serabut (Gambar 17).
parenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem (b)
(a) kulit
rantai serabut sklerenkim
dalam
Gambar 17. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian tengah (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus Ujung Bentuk pola pada seluruh bagian penampang lintang bambu bagian ujung hampir sama dengan bagian tengah dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola belum terlihat. Pada bagian tengah, bentuk pola sudah terlihat, yaitu pola 3. Pada bagian dalam penampang lintang, bentuk pola tidak sempurna ( Gambar 18). parenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem rantai serabut sklerenkim
(b)
(a) dalam
kulit
Gambar 18. (a) Penampang lintang bambu D. giganteus bagian ujung (pembesaran Susunan pola pada berbagai posisi vertikal terlihat berbeda. Pada bagian 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus pangkal bentuk rantai serabut ramping agak melengkung ke arah tangensial. Sementara pada bagian tengah rantai serabut membulat agak melengkung walaupun sebagian kecil berbentuk lurus (tidak melengkung). Pada bagian ujung bentuk rantai serabut membulat dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan bagian pangkal dan tengah.
Dendrocalamus strictus Bambu D. strictus termasuk ke dalam bambu simpodial yang berasal dari negara India, Nepal, Banglades, Burma dan Thailand (Dransfield danWidjaja 1995). Di kebun raya Bogor, bambu ini tumbuh dengan rata-rata tinggi batang adalah 9 m dengan rata-rata tebal dinding batang bagian pangkal adalah 1.5 cm (Gambar 19). Pada bagian ujung, penampang lintang batang berbentuk solid (tidak berongga). Tahapan selanjutnya adalah uraian sifat anatomi pada pangkal, tengah dan ujung batang.
Gambar 19. Bentuk pohon bambu D. strictus secara utuh Pangkal
Pola ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian pangkal adalah pola 3 yang tampak
jelas pada bagian tengah penampang lintang batang dengan rantai
serabut berbentuk setengah bulatan. Pada bagian dalam, bentuk pola tampak tidak sempurna karena hanya terdiri atas rantai pembuluh pusat (Gambar 20).
sklerenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut (b)
(a) kulit
parenkim
dalam
Gambar 20. (a). Penampang lintang Dendrocalamus strictus bagian pangkal (pembesaran 40x) (b). Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus Tengah Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah mempunyai bentuk yang sama dengan bagian pangkal dan ujung, hanya ukuran dan kerapatannya saja yang berbeda. Bentuk rantai serabut berupa setengah bulatan yang kelihatan jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang sementara pada bagian tepi rantai serabut masih bergabung dengan dengan rantai pembuluh pusat sementara pada bagian dalam bentuk pola tidak sempurna karena rantai serabut tidak ada lagi (Gambar 21).
parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel (a) kulit
(b) dalam
rantai serabut sklerenkim
Gambar 21. (a) Penampang lintang D. strictus bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus Ujung Bentuk pola ikatan pembuluh pada bagian ujung agak berbeda dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah karena bentuknya ramping. Rantai serabut setengah bulatan yang lonjong yang terlihat jelas polanya pada bagian tengah. Perubahan bentuk pola yang sangat mendadak terlihat antara bagian tepi dengan tengah yang diduga terjadi karena dinding batang yang sempit (Gambar 22). parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut (b)
(a) kulit
sklerenkim
dalam
Gambar 22. (a) Penampang melintang D. strictus bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus Dendrocalamus asper Bambu D. asper adalah bambu kelompok simpodial yang berasal dari Jawa dan Malaysia (Botanic Garden of Indonesia 2001). Tingggi batang bambu ratarata 21 m dengan diameter batang pada bagian pangkal sebesar 1.8 cm sedangkan ketebalan batang pada bagian ujung adalah 0.8 cm. Tampilan bambu D. asper secara utuh dapat diamati pada Gambar 23. Uraian sifat anatomi pada berbagai posisi vertikal dijelaskan pada uraian selanjutnya.
Gambar 23. Bentuk pohon bambu D. asper Pangkal Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh tampak terdiri atas 2 bagian yaitu rantai pembuluh pusat dan rantai serabut. Ukuran rantai serabut lebih besar dibandingkan rantai pembuluh pusat. Pada bagian tengah penampang lintang, sudah terlihat bentuk pola yaitu pola 4 dengan bentuk rantai serabut agak membulat dan tebal. Demikian pula pada bagian pusat bentuk pola 4
terlihat
jelas dengan sedikit perbedaan dalam bentuk rantai
serabutnya yang lebih memanjang. Sementara pada bagian dalam bentuk pola mirip dengan bagian pusat namun dengan rantai serabut yang memanjang tipis atau bahkan berbentuk tidak sempurna (Gambar 24).
(b)
(a)
kulit
parenkim parenkim metaxilem metaxilem jar. floem jar. floem ruang antar sel ruang antar sel rantai serabut rantai serabut sklerenkim sklerenkim
dalam
Gambar 24. (a) Penampang lintang bambu D. asper bagian pangkal dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 Tengah Pada bagian tepi penampang lintang batang, kedua rantai serabut saling bersambungan sehingga rantai pembuluh pusat seperti berada di tengah-tengah serabut.
Pada bagian tengah penampang lintang batang, bentuk pola ikatan
pembuluh terlihat jelas membentuk pola ikatan pembuluh 4 dan sebagian kecil muncul pola ikatan pembuluh 3 (Gambar 25). Hal sama juga terlihat pada bagian pusat penampang lintang, hanya bentuk kedua rantai serabut relatif memanjang
dan pada bagian ini terbentuk pola 3 dan 4. Pada bagian dalam bentuk pola ikatan pembuluh ada yang sempurna dan tidak sempurna.
sklerenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem rantai serabut (b)
parenkim
(a)
kulit
dalam
Gambar 25. (a) Penampang lintang D. asper bagian tengah dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper Ujung Pada bagian tepi penampang lintang batang, bentuk pola ikatan pembuluh belum terlihat karena rantai serabut masih menyatu. Sedangkan pada bagian tengah penampang lintang sudah terlihat pemisahan rantai serabut membentuk pola 3. Pada bagian pusat bentuk kedua rantai serabut terlihat memanjang dan menjadi tidak sempurna pada bagian dalam (Gambar 26). parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut (a)
(b)
kulit
dalam
sklerenkim
Gambar 26. Penampang lintang D. asper bagian ujung dengan pembesaran 40x, (b) Sketsa 1 pola ikatan pembuluh 3 pada D. asper Gigantochloa apus G. apus adalah bambu yang berasal dari Burma dan Thailand dan termasuk ke dalam bambu simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Tinggi batang ratarata 17 m dengan diameter batang bagian pangkal adalah 7.2 cm. Pada bagian ujung batang, diameternya adalah 5.2 cm. Ketebalan dinding batang berturutturut pada bagian pangkal dan ujung adalah 1 cm dan 0.5 cm (Gambar 27). Selanjutnya adalah uraian sifat anatomi bambu pada bagian pangkal, tengah, dan ujung batang.
Gambar 27. Tampilan utuh bambu G. apus Pangkal Pola ikatan pembuluh pada bambu G.apus adalah pola 4 yang kelihatan jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang (Gambar 28). Rantai serabut yang muncul mendahului rantai pembuluh pusat berbentuk setengah bulatan
dengan ukuran lebih kecil dibandingkan rantai serabut
pasangannya. Pada bagian tepi penampang lintang, kedua rantai serabut masih menyatu dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola tidak terlihat jelas. Hal yang agak berbeda terlihat di bagian dalam yaitu bentuk pola tampak tidak sempurna karena ada sebagian rantai serabut yang hilang. parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut sklerenkim
(a)
(b) dalam
kulit
Gambar 28. (a). Penampang lintang G. apus bagian pangkal (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. apus Tengah Pola ikatan pembuluh pada bagian tengah batang adalah pola 4 yang jelas terlihat pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Pada bagian tepi penampang lintang, rantai serabut sebagian masih bergabung dengan rantai pembuluh pusat sedangkan yang lainnya terlihat sudah terpisah.
Dua rantai
serabut yang bergabung dengan rantai pembuluh pusat memiliki ukuran yang berbeda (Gambar 29). parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut (b)
(a) kulit
sklerenkim
dalam
Gambar 29. (a) Tampilan penampang lintang G. apus bagian tengah (pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. apus
Ujung Pola ikatan pembuluh pada bagian ujung batang adalah pola 3. Rantai serabut pada bagian ujung berbentuk memanjang ramping di bagian pusat penampang lintang dan agak membulat pada bagian tengah penampang lintang. Bentuk pola yang lengkap juga sebagian muncul pada bagian dalam. Tampilan lengkap tersaji pada Gambar 30. parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut sklerenkim
(a)
(b) dalam
kulit
Gambar 30. (a) Penampang lintang G. apus bagian ujung ( pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. apus Gigantochloa atroviolacea G. atrovilacea adalah bambu yang berasal dari negara Indonesia dan tumbuh secara simpodial (Dransfield dan Widjaja 1995). Bambu ini tumbuh di daerah Dermaga, Bogor (Fakultas Kehutanan) dengan tinggi batang rata-rata 19 m.
Diameter batang bagian pangkal adalah 6.2 cm dengan ketebalan dinding
batang 1.1 cm. Diameter batang bagian ujung adalah 5.1 cm dengan ketebalan dinding batang sebesar 0.6 cm. Gambaran lengkap bambu G. atroviolacea dapat diamati pada Gambar 31.
Adapun uraian sifat anatomi batang pada bagian
pangkal, tengah dan ujung diuraikan dalam tulisan selanjutnya.
Gambar 31. Bentuk pohon bambu G. atroviolecea Pangkal Pola ikatan pembuluh bambu Gigantochloa atroviolacea adalah pola 4 yang terlihat sangat jelas pada bagian tengah dan pusat penampang lintang batang. Rantai serabut pada bagian tepi penampang lintang masih bergabung dengan rantai pembuluh pusat sehingga bentuk pola belum terlihat. Pada bagian dalam sebagian pola tersusun sempurna dan sebagian lagi tidak sempurna. Bentuk rantai serabut sangat unik dibandingkan dengan pola pada spesies bambu lain yaitu seperti bulan sabit yang melengkung tajam. Memang ada 2 rantai serabut yang menyusun pola tetapi ukuran salah satu rantai serabut yang satu
lebih kecil dibanding pasangannya (Gambar 32). Sifat anatomi batang bagian pangkal, tengah, dan ujung batang akan diuraikan pada penjelasan selanjutnya. parenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel (a) kulit
rantai serabut sklerenkim
(b) dalam
Gambar 32. (a). Penampang lintang G. atroviolacea bagian pangkal (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea
Tengah Pada posisi ini, bambu G. atroviolacea memiliki pola 4 yang terlihat sangat jelas baik pada bagian tengah maupun pusat penampang lintang bambu (Gambar 33). Rantai serabut membentuk setengah bulatan tipis yang melengkung tajam. Ukuran rantai serabut yang membentuk satu pola ikatan tidak sama. Pola yang sangat jelas terlihat pada penampang lintang bagian tengah dan pusat sementara pola ikatan pembuluh pada bagian dalam tidak sempurna. parenkim metaxilem ruang antar sel jar. floem rantai serabut
(a) (b) kulit
sklerenkim
dalam
Gambar 33. (a) Penampang lintang bambu G. atroviolacea bagian tengah (pembesaran 40x), (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 4 pada G. atroviolacea Ujung Bagian ujung batang bambu G. atroviolacea memiliki pola 3. Pada bagian ujung ini rantai serabut berbentuk setengah bulatan yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian pangkal dan tengah. Dinding batang yang relatif tipis membagi penampang lintang batang hanya terdiri atas tepi, tengah dan dalam (Gambar 34). sklerenkim metaxilem jar. floem ruang antar sel rantai serabut parenkim
(b)
(a) kulit
dalam
Gambar 34. (a) Penampang lintang G. atroviolacea bagian ujung (pembesaran 40x, (b) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada G. atroviolacea
Hasil penelitian peneliti sebelumnya menyatakan bahwa genus Arundinaria memiliki pola 1 (Grosser dan Liese 1971). Dalam hal ini khusus untuk bambu A. hundsii dan A. javonica, pembuatan contoh uji dan pengamatan tidak dilakukan pada bagian pangkal dan ujung. Hal ini terjadi karena ukuran bambu sangat kecil (diameter 1-2 cm) sedangkan penelitian yang dilakukan membutuhkan bahan yang sangat banyak karena selain untuk bahan penelitian anatomi juga diperlukan juga sebagai bahan dalam penelitian kimia, fisik, dan mekanik. Demikian pula dinyatakan bahwa bambu genus Cephalostachyum hanya memiliki satu pola, yaitu pola 2 untuk semua bagian batang (pangkal, tengah, dan ujung) sedangkan untuk genus Melocanna pada ruas bawah terdapat gabungan pola 2 dan 3. Pada Dendrocalamus dan Gigantochloa pun pada ruas bawah umumnya merupakan gabungan antara pola 3 dan 4. Penelitian yang telah dilakukan memberikan hasil yang berbeda seperti yang ditunjukkan oleh spesies Gigantochloa apus dan G atroviolacea.
Pada
kedua bambu ini pada ruas bawah tidak terdapat pola gabungan, namun pada D. asper khususnya pada ruas bawah murni terdiri atas pola 4 sedangkan pola gabungan hanya ada pada bagian tengah yaitu gabungan pola 3 dan 4 yang didominasi oleh pola 3. Sebagai pembanding penelitian ini, sketsa 4 macam pola ikatan pembuluh hasil penelitian Grosser dan Liese (1971) disajikan pada Gambar 35 dan 36. metaxilem Selubung sklerenkim
Selubung pada ruang antar sel
(b)
(a)
Sumber : Grosser dan Liese (1971)
Gambar 35. Sketsa pola ikatan pembuluh 1 (a) dan 2 (b)
Rantai serabut
Selubung sklerenkim
(c) metaxilem
(d)
Sumber : Grosser dan Liese (1971)
Gambar 36. Sketsa pola ikatan pembuluh 3 (c) dan 4 (d)
Penjelasan dari sketsa pola ikatan pembuluh menurut Grosser and Liese (1971) bahwa pola 1 tersusun atas rantai pembuluh pusat yang terdiri atas metaxilem, floem, dan ruang antar sel sedangkan pada pola 2 hanya ada tambahan berupa selubung pada ruang antar sel yang lebih besar dibanding selubung yang lain. Sementara pola 3 selain memiliki rantai pembuluh pusat juga didukung oleh 1 rantai serabut dan pola 4 memiliki susunan yang hampir sama dengan pola 3 , yaitu hanya memiliki 2 rantai serabut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola ikatan pembuluh pada bambu A. javonica dan A. hundsii yang sama-sama memiliki pola 1 ternyata memiliki beberapa perbedaan (Gambar 37). Perubahan bentuk pola secara bertahap terjadi pada bambu A. javonica sedangkan pada bambu A. hundsii perubahan bentuk pola
tidak secara bertahap. Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketebalan dinding batang. Bambu A. javonica memiliki dinding batang tipis dan secara umum dinding batang hanya terbagi atas 3 bagian saja yaitu bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola ikatan pembuluh antara bagian tengah dan dalam hampir sama tetapi ada sedikit perbedaan dalam selubung sklerenkim dimana pada bagian dalam ukurannya lebih kecil. Bentuk pola terlihat jelas pada bagian tengah yaitu membentuk pola 1.
Meta xilem
(a)
(a1)
Meta xilem
(b)
Selubung sklerenkim
Selubung sklerenkim
(b1)
Gambar 37. (a) Pola ikatan pembuluh pada A. javonica (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh A. javonica, (b) Pola ikatan pembuluh A. hundsii (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 1 pada A. hundsii. Bambu A. hundsii juga memiliki dinding tipis sehingga penampang batang terbagi atas bagian tepi, tengah, dan bagian dalam. Bentuk pola 1 yang sudah jelas tampak pada bagian dalam. Hal ini dimungkinkan karena bambu A. hundsii memiliki dinding batang tipis sehingga perubahan bentuk pola yang cukup jelas baru muncul di bagian dalam batang.
Bambu C. pergracile dan M. baccifera memiliki pola 2 baik pada bagian pangkal, tengah maupun ujung. Antara kedua bambu tersebut selain berbeda dalam ketebalan dinding sel di mana bambu C.pergracile lebih tebal dibandingkan dengan bambu M. baccifera juga selubung sklerenkim pada C. pergracile lebih lebar baik yang mengelilingi metaxilem maupun yang mengelilingi ruang antar sel. Untuk lebih jelasnya Gambar 38 menampilkan pola ikatan pembuluh 2 bagian tengah.
Selubung sklerenkim
(a)
(a1) )
Selubung sklerenkim pada ruang antar sel
Selubung sklerenkim
(b)
(b1)
Gambar 38. Pola ikatan pembuluh pada (a) C. pergracil (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada C. pergracile, (b) M. baccifera dengan pembesaran 40x, (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 2 pada M. baccifera Bambu-bambu yang memiliki pola 3 dalam penelitian ini adalah D. strictus dan D. giganteus. Bentuk pola bagian pangkal yang dimiliki oleh D. strictus lebih membulat dan berukuran lebih kecil tapi pada D. giganteus bentuk rantai serabutnya memanjang. Demikian pula bentuk rantai serabut kedua bambu pada
bagian tengah sama dengan bentuk rantai serabut bagian pangkal dengan ukuran yang lebih kecil. Pada bagian ujung bentuk rantai serabut pada D. giganteus mendatar dan ramping sementara pada D. strictus tetap membulat. Gambaran yang lebih jelas dari kedua bambu pada bagian ujung seperti pada Gambar 39.
Rantai serabut yang membulat
(a1 ) (a)
Rantai serabut yang mendatar
(b)
(b1)
Gambar 39. Pola ikatan pembuluh pada (a) D. strictus (pembesaran 40x), (a1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. strictus, (b) Pola ikatan pembuluh D. giganteus (pembesaran 40x), (b1) Sketsa pola ikatan pembuluh 3 pada D. giganteus
Beberapa jenis bambu ternyata dalam tampilan batangnya mempunyai 2 jenis pola. Perbedaan pola antar bagian batang pada tingkatan jenis/spesies memang tidak diungkapkan dalam penelitian Grosser dan Liese (1971) tetapi dinyatakan bahwa
perbedaan pola dalam satu batang bambu jenis tertentu
kemungkinan ada terutama dengan munculnya pola gabungan. Dalam penelitian ini ternyata ditemukan ada 3 jenis bambu yang memiliki perbedaan pola antar bagian batangnya, misal untuk bambu G. apus dan G. atroviolacea memiliki tren pola yang sama yaitu pada bagian pangkal dan tengah mempunyai pola 4 sedangkan pada bagian ujung mempunyai pola 3.
Hal ini mudah untuk
dimengerti karena pola 4 merupakan pola yang memerlukan ruangan yang relatif lebih luas sehingga muncul hanya pada bagian batang dengan dinding yang relatif lebih tebal sedangkan pola 3 merupakan pola yang lebih sederhana dan memerlukan ruangan lebih sempit sehingga memungkinkan muncul pada bagian ujung. Hal yang sama berlaku pula untuk bambu D. asper namun perbedaan pola terjadi antar bagian pangkal dengan bagian tengah/ujung yaitu pola 4 berada pada bagian pangkal sedangkan bagian tengah dan ujung memiliki pola 3. Bambu D. asper terutama pada bagian pangkal dan tengah memiliki bentuk rantai serabut yang lancip hampir seperti setengah lingkaran dengan jarak antar pola yang relatif renggang jika dibandingkan dengan pola ikatan pembuluh pada bambu G atroviolacea dan G. apus (Gambar 40). Pada G. atroviolacea bentuk rantai serabut lancip tajam dan jarak antar pola relatif rapat sementara pada G. apus
bentuk rantai serabut membulat dan kecil dengan jarak antar pola relatif
renggang. Pada bagian tengah batang bentuk rantai serabut sama dengan bagian pangkal dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk rantai serabut bagian ujung dari bambu D. asper adalah membulat ramping sampai datar, juga terdapat pada G. atroviolacea tetapi bentuk yang agak berbeda dimiliki oleh bambu G. apus dengan bentuk rantai serabut mulai dari yang mendatar hingga membulat dengan salah satu sisi melengkung atau meruncing. (a)
Rantai serabut membulat ramping
(b)
Rantai serabut membulat
(c)
Rantai serabut membulat dengan satu sisi melengkung
Gambar 40. Bentuk rantai serabut pada bagian ujung (a) D. asper, (b) G. atroviolacea, dan (c) G. apus
Rangkuman tentang pola ikatan pembuluh yang dimiliki oleh 9 jenis bambu seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Pola ikatan pembuluh pada 9 jenis bambu Spesies Arundinaria hundsii Arundinaria javonica Melocanna baccifera
Cephalostachyum pergracile
Dendrocalamus strictus
Dendrocalamus giganteus
Dendrocalamus asper
Gigantochloa apus
Gigantochloa atroviolacea
Bagian tengah tengah pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung pangkal tengah ujung
1 √ √
Pola ikatan pembuluh 2 3
4
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Kerapatan ikatan pembuluh Nilai kerapatan ikatan pembuluh pada penampang lintang batang 8 jenis bambu dapat diamati pada Lampiran 2.
Analisis keragaman
terhadap nilai
kerapatan ikatan pembuluh sebagai variabel y dan faktor jenis, posisi vertikal, posisi horizontal, dan pola sebagai variabel x menghasilkan persamaan regresi (1) bersifat nyata (Lampiran 3). Y = 3.4 + 0.4X2 + 0.6X3 + 0.6X4 - 2.7X5 +2.1X6 + 1.6X7 + 1.1X8 + 0.5X9 + 0.5X10
- 0.4X11 - 1.2X12 + 0.9X13 - 1.2X14 - 2.4X15…………………………………(1) Dari berbagai variabel yang diujikan ternyata yang mempengaruhi nilai kerapatan adalah semua faktor yang terdiri atas faktor jenis, posisi vertikal, posisi horizontal dan pola.
Apabila dari berbagai faktor tersebut dibandingkan nilai
signifikannya maka
faktor pola menduduki urutan pertama dalam tingkat
kesignifikannya.
Hal ini berarti pola paling mempengaruhi nilai kerapatan
bambu. Uji lanjutan Duncan untuk melihat jenis-jenis bambu yang berpengaruh nyata terlihat bahwa jenis bambu A. hundsii (Ah), G. apus (Ga), A. javonica (Aj), D. asper (Da), M. baccifera (Mb), C. pergracile (Cp), dan D. giganteus (Dg) memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang sama sementara antara jenis-jenis bambu yang sudah diuraikan sebelumnya dengan bambu D. strictus memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berbeda nyata.
Hal ini terjadi karena kerapatan
ikatan pembuluh bambu D. strictus bagian ujung batang terutama pada bagian tepi penampang lintang relatif paling tinggi jika dibandingkan dengan bambu-bambu lain (Lampiran 2).
Nilai kerapatan ikatan pembuluh untuk 8 jenis bambu
tercantum pada Gambar 41.
8
Kerapatan ikatan pembuluh/mm2
6.8
4.7
4.7
4.7
Aj
Da
5.1
5.1
Cp
Dg
4.1 4 3.2
0
Jenis bambu
Ah
Mb
Ds
Ga
Gambar 41. Kerapatan ikatan pembuluh bambu Secara vertikal,
(/mm2) pada 8 jenis
nilai kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal dan
tengah tidak berbeda nyata namun antara pangkal, tengah, dan bagian ujung mempunyai nilai kerapatan ikatan pembuluh yang berbeda nyata (Gambar 42). Secara vertikal kerapatan ikatan pembuluh pada bagian pangkal lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan pada bagian tengah dan ujung. Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa nilai kerapatan pada bagian pangkal dan tengah tidak berbeda nyata tetapi jika dibandingkan dengan bagian ujung maka nilai kerapatan antar pangkal dan tengah dengan bagian ujung berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa nilai kerapatan antara bagian pangkal dan tengah tidak terdapat perbedaan yang mencolok tetapi perbedaan kerapatan itu terlihat relatif besar jika dibandingkan dengan bagian ujung.
Nilai kerapatan ikatan pembuluh diperoleh
melalui perhitungan jumlah ikatan pembuluh untuk luasan tertentu sehingga semakin kecil dan rapat ukuran ikatan pembuluh maka nilai kerapatan ikatan pembuluh akan semakin tinggi.
Kerapatan ikatan pembuluh antara bagian
pangkal dan tengah walaupun melalui hasil uji lanjut tidak berbeda nyata tetapi trennya semakin meningkat dan semakin tinggi nilainya pada bagian ujung. Hal ini diduga terkait dengan ketebalan dinding batang bambu yang semakin kecil ke arah ujung batang Grosser dan Liese 1971). Semakin sempit dinding batang maka
terlihat ukuran dan jumlah ikatan pembuluh juga akan semakin kecil sehingga nilai kerapatan akan semakin meningkat ke arah ujung batang.
Penelitian
Mohmod dan Mustafa (1992) yang mengamati nilai kerapatan ikatan pembuluh bambu Bambusa blumeana memperlihatkan hasil yang sama dengan nilai kerapatan/mm2 pada bagian pangkal sebesar 3.07 pada bagian tengah 3.55 dan pada bagian ujung sebesar 4.05. Terlihat bahwa nilai kerapatan semakin besar
Kerapatan ikatan pembuluh/mm2
dari mulai pangkal hinggga ke ujung. 4.0 3.1
1.9
2.0 1.4
0.0 Pangkal
Tengah
Ujung
Gambar 42. Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi pangkal, tengah dan ujung Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal juga berpengaruh nyata. Uji lanjut Duncan memberikan hasil bahwa posisi pusat, tengah, dan dalam memiliki kerapatan ikatan pembuluh yang sama dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan bagian tepi (Gambar 43). Kerapatan ikatan pembuluh pada bagian tepi paling tinggi jika dibandingkan dengan bagian-bagian lain. Hal ini mudah dimengerti karena pada bagian tepi ukuran ikatan pembuluh paling kecil dan rapat sehingga tentu saja kerapatannya akan meningkat. Demikian pula nilai kerapatan ikatan pembuluh pada bagian
tengah relatif lebih tinggi juka
dibandingkan dengan bagian pusat, hal ini terkait selain dengan ukuran juga kelengkapan suatu pola. Dalam bambu terutama bambu yang berdinding tipis maka, kemunculan suatu pola secara utuh itu ada pada bagian pusat. Pada bagian tengah umumnya tampilan suatu pola dalam bentuk transisi dengan bentuk dan ukuran berbeda sehingga nilai kerapatannya lebih tinggi dibandingkan bagian pusat. Sementara kerapatan pada bagian dalam relatif lebih tinggi dibandingkan
bagian tengah dan pusat karena pada bagian ini bentuk dan ukuran pola tidak sempurna sehingga kondisi ini akan meningkatkan nilai kerapatan ikatan
Kerapatan ikatan pembuluh/mm2
pembuluh. 5.0 3.2 2.5
2.2
2.0
1.7
0.0 Tepi
Tengah
Pusat
Dalam
Gambar 43. Kerapatan ikatan pembuluh pada posisi horizontal Nilai kerapatan ikatan pembuluh juga dipengaruhi oleh pola ikatan pembuluh yang dimiliki bambu (Gambar 44). Berdasarkan uji lanjut Duncan terhadap ke-4 pola yang diujikan terlihat bahwa pola 2, 3, dan 4 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh yang tidak berbeda nyata. Nilai kerapatan antar ke-3 pola tersebut jika dibandingkan dengan pola 1 memberikan hasil uji yang berbeda nyata.
Kerapatan ikatan pembuluh/mm2
4.5
3.9
3.0
1.5
1.5
1.2 0.2
0.0 Pola 1
Pola 2
Pola 3
Pola 4
Gambar 44. Kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai pola
Pola 1 memiliki nilai kerapatan yang paling tinggi dibandingkan dengan pola-pola lain, demikian juga pola 2 memiliki nilai kerapatan ikatan pembuluh lebih tinggi dibandingkan pola 3 dan 4. Pola 3 memiliki nilai yang terendah dibandingkan dengan pola-pola lain. Pola 4 mempunyai kerapatan yang cenderung lebih tinggi jika dibandingkan pola 3. Pengamatan pada ukuran ikatan pembuluh yang dimiliki oleh bambu dengan pola 1 ternyata ukuran ikatan pada pola 1 paling kecil dibandingkan dengan pola-pola lain, demikian pula ukuran pola ikatan pembuluh pada pola 2 lebih kecil dibandingkan dengan pola 3 dan pola 4. Bentuk ikatan pembuluh antar pola 1 dan 2 tidak terlalu berbeda yaitu sama-sama terdiri atas rantai pembuluh pusat dan didukung jaringan selubung sklerenkim, hanya memang
untuk pola 2 ada tambahannya yang berbentuk
selubung sklerenkim pada ruang interseluler.
Demikian juga bentuk ikatan
pembuluh antara pola 3 dan 4 menunjukkan adanya kesamaan yaitu keduanya terdiri atas selain rantai pembuluh pusat juga hadirnya rantai serabut, hanya untuk pola 4 jumlah rantai serabut adalah 2 buah. Dengan demikian jumlah ikatan pembuluh/satuan luas paling tinggi pada pola 1 karena ukurannya paling kecil, demikian juga dengan ukuran ikatan pembuluh pada
pola 4 paling besar
dibandingkan dengan pola-pola lain sehingga seharusnya memiliki nilai kerapatan yang paling rendah.
Akan tetapi, dalam uji ini ternyata nilai kerapatan pola 3
lebih rendah dibandingkan dengan nilai kerapatan ikatan pembuluh pada pola 4, hal ini diduga karena jarak antar ikatan pembuluh yang relatif renggang dibandingkan pada pola 4. Dalam penelitian ini jarak antar ikatan tidak diukur. Dalam pengamatan visual terhadap pola 3 dan 4 terlihat bahwa jarak antar pola relatif jarang dibandingkan dengan pola 1 dan 2.
Diduga kondisi ini turut
mempengaruhi nilai kerapatan ikatan pembuluh yang relatif kecil. . Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Mohmod & Mustafa (1992) terhadap Bambusa blumeana
dan B vulgaris serta Gigantochloa scortechinii
dengan rata-rata kerapatan ikatan pembuluh /mm2 adalah berturut-turut 2.9, 2.5 serta 1.8 . Sedangkan hasil penelitian Wahab et al. (2009) pada bambu Bambusa vulgaris ternyata nilai rata-rata kerapatan ikatan pembuluh/mm2 adalah 2.6 ± 0.19. Sementara nilai kerapatan ikatan pembuluh dalam penelitian ini adalah 0.2/mm2 untuk pola 3 dan 1.2/mm2 untuk pola 4.
Panjang serabut Hasil pengukuran panjang serabut pada 8 jenis bambu selengkapnya tercantum pada Lampiran 4. mempengaruhi
panjang
Analisa keragaman terhadap faktor-faktor yang
serabut
dengan
menggunakan
analisa
regresi
menghasilkan persamaan regresi (2) bersifat sangat nyata (Lampiran 5). Y = 2081,7 + 197.2X1 + 425.7X2 - 420.3X3 + 842.7X4 - 987.9X5 + 165.4X7 - 150.4X8 + 225.8X9 + 729.6X10 + 717.9X12………………………………………………… (2)
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh nyata adalah jenis dan pola. Berdasar
hasil uji lanjut Duncan terhadap jenis-jenis bambu ternyata bahwa
bambu C. pergracil (Cp) memiliki urutan panjang serabut terendah dan berbeda nyata jika dibandingkan dengan bambu-bambu lain sedangkan bambu D. strictus (Ds) berada pada posisi peralihan (Gambar 41). Bambu A. hundsii (Ah), D. giganteus (Dg), D. asper (Da), A. javonica (Aj), M. baccifera (Mb) dan G. apus (Ga) memiliki nilai yang tidak berbeda.
Panjang serabut (µm)
4000
2307.5
2472.9
2472.9
2333.1
2327.7
2530.3
1907.4
2000
1485.0
0
Ah
Aj
Mb
Cp
Dg
Ds
Da
Ga Jenis bambu
Gambar 45. Posisi panjang serabut (µm) berbagai jenis bambu
Panjang serabut beragam diantara spesies dan bahkan dalam spesies. Panjang serabut bambu beragam sehingga menjadi ciri individu bambu (Liese 1987, Grosser dan Liese 1971). Hasil uji Duncan terhadap pola bambu memperlihatkan hasil bahwa panjang serabut antara pola 1,2, dan 3 tidak berbeda
tetapi berbeda secara nyata dengan pola 4. Terlihat juga bahwa panjang serabut pola 1 terendah dibandingkan dengan pola-pola lain (Gambar 46).
Panjang
serabut cenderung meningkat nilainya mulai dari pola 1 ke pola berikutnya (walaupun panjang serabut antara pola 2 dan 3 relatif sama) akan tetapi antara pola 1, 2, dan 3 dengan pola 4 berbeda nyata.
5000
Panjang serabut (µm)
3821.1
2500
3091.5
3091.5
Pola 2
Pola 3
2373.6
0 Pola 1
Pola 4
Gambar 46. Posisi panjang serabut (µm) pada 4 pola bambu Dalam tanaman bambu, ternyata pembagian sel, diferensiasi parenkim dan serabut tidak secara jelas terorganisir seperti halnya pada kayu (Gritsch dan Murphy 2005) walaupun pertumbuhan panjang serabut dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan seperti kondisi tanah dan perubahan iklim (Mohmod dan Mustafa 1992). Sementara Liese (1980) mengemukakan juga hasil penelitiannya terhadap beberapa jenis bambu yaitu rata-rata panjang serabut pada jenis-jens Phillostachys edulis, 1.5 mm, P nakinoi, 2.5 mm, P puhescens, 1.3 mm (mewakili pola 1) sedangkan pada Melocanna baccifera, 2.7 mm, Thirsosiachvs siamensis, 2.3 mm.
Teinostachyum sp, 3.6 mm (mewakili pola 2). Pada jenis-jenis
Oxvtenanthera nigrociliata, 3.6 mm, D. strictus, 2.4 mm, Dendrocalamus giganteus, 3.2 mm; Bambusa arundinacea adalah 2.7 mm, B.textilis, 3.0 mm, B. tulda, 3.0 mm, B. vulgaris, 2.3 mm, D. niemhranaceus, 4.3 mm, Gigantochloa aspera, 3.8 mm diduga mewakili tipe 3 sampai 4. Apabila dikelompokan berdasar pola ikatan pembuluh dengan acuan sebagian hasil penelitian ini serta hasil penelitian Grosser dan Liese (1971) ternyata pola 1 memiliki panjang serabut relatif pendek dibandingkan dengan
pola-pola lain.
Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian Liese (1992)
terhadap bambu-bambu dengan panjang serabut yang cukup pendek yaitu Phyllostachys edulis (1.5 mm), Ph. pubescens (1.3 mm), sedangkan bambu yang memiliki panjang serabut yang cukup panjang yaitu Dendrocalamus giganteus (3.2 mm), Oxytenanthera nigrocilliata (3.6 mm), D. membranaceus (4.3 mm). Serabut-serabut itu sendiri tersusun dalam jaringan sklerenkim yang terdapat sebagai selubung ikatan pembuluh atau rantai isolasi (Mohmod dan Mustafa 1992). Sel serabut merupakan sel yang panjang dan meruncing pada bagian ujungnya. Serabut dalam pola 1 terdapat dalam selubung sklerenkim sedangkan serabut pada pola 2 selain ada pada selubung sklerenkim juga terdapat perluasan serabut pada ruang antar sel. Serabut dalam pola 3 dan 4 selain dalam selubung juga terdapat dalam bentuk rantai serabut. Posisi serabut dalam pola ikatan pembuluh kemungkinan ikut mempengaruhi ukuran/panjang serabut. Pada pola 4, sebagian besar serabut berada di dalam rantai serabut. Rantai serabut akan membatasi perkembangan ke arah diameter dibanding ke arah panjang. Hal ini terjadi terutama pada tahap awal diferensiasi jaringan di mana serabut yang ada pada bagian dalam rantai terhalang berkembang ke arah diameter (Murphy dan Alvin 1997). Pada penampang melintang batang bambu, panjang serabut meningkat dari bagian tepi sehingga mencapai puncaknya pada bagian tengah dan menurun ke bagian dalam (Liese 1980). Terkait dengan hal tersebut dapat dijelaskan melalui ketebalan masing-masing pola bambu. Ketebalan dinding batang pola 1dan 2 pada umumnya dibawah 1 cm (kecuali bagian pangkal bambu Cephalostachyum pergracil memiliki ketebalan dinding batang paling tinggi (1.4 cm). Bambubambu dengan pola 3 maksimum memiliki rata-rata ketebalan dinding batang bagian pangkal sebesar 1.4 cm (kecuali bagian pangkal bambu Dendrocalamus giganteus sebesar 2.40 cm dengan ketebalan bagian ujung rata-rata 0.5 cm). Bambu dengan pola 4 umumnya pada bagian ujung memiliki pola 3 dengan ketebalan dinding pangkal rata-rata dari 1 cm (Gigantochloa apus) sampai 1.8 cm (Dendrocalamus asper) dengan ketebalan dinding batang bagian ujung adalah 0.5 cm (G. apus) dan 0.8 cm (D. asper). Adanya perbedaan nilai panjang serabut antara pola 1, 2 dan 3 dengan pola 4 apabila dikaitkan dengan ketebalan dinding
batang terutama yang untuk jenis bambu yang memiliki 2 pola terlihat bahwa pola 4 berada pada dinding batang yang relatif lebih tebal dibandingkan dengan pola 3. Apabila hal ini dikaitkan dengan pernyataan Liese (1980) yang mengungkapkan bahwa panjang serabut pada bagian tengah batang adalah maksimum maka dengan proporsi bagian tengah pada pola 4 lebih besar dibandingkan dengan pola 3 maka panjang serabut pada pola 4 lebih menonjol.
Persentase serabut Berdasarkan hasil analisa keragaman terhadap faktor-faktor yang diduga mempengaruhi nilai persentase serabut ternyata menghasilkan persamaan regresi (3) yang bersifat sangat nyata (Lampiran 6). Y= 49.5 – 2.1X2 + 1.5X4 - 7.9X5 + 10.4X6 - 7.4X7 + 1.6X8 + 5.6X9 - 8.5X10 + 1.2X11 - 21.5X12 + 4.6X13 - 8.7X14 + 7.8X15 ………………………………(3) Di antara faktor yang diujikan ternyata hanya posisi horizontal saja yang berpengaruh sangat nyata sedangkan faktor jenis, posisi vertikal, dan pola tidak berpengaruh nyata. Melalui uji lanjut Duncan ternyata nilai persentase serabut pada posisi bagian dalam berbeda nyata dengan persentase serabut pada bagian pusat. Demikian pula nilai persentase serabut antara bagian dalam, pusat dan tepi berbeda nyata, hanya pada bagian tengah nilai persentase serabut berada diantara bagian dalam dan pusat.
Berikut hasil ujinya dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil uji Duncan untuk persentase serabut Posisi Horizontal Dalam Tengah Pusat Tepi
Persen Serabut 24.63 31.97 33.17 53.49
Kode a ab b c
Pada bagian dalam penampang lintang batang, bentuk pola tidak sempurna sehingga wilayah serabut menjadi berkurang. Dengan demikian bagian dalam akan memiliki persentase serabut yang rendah. Persentase serabut pada bagian
tengah lebih tinggi dibandingkan bagian dalam tetapi lebih rendah dibandingkan bagian pusat. Hal ini terjadi karena bentuk pola pada bagian tengah umumnya merupakan bentuk transisi menuju ke bentuk pola yang sempurna. Nilai persentase serabut pada bagian pusat memiliki nilai yang relatif tinggi karena berasal dari serabut pola-pola yang sudah terbentuk
sempurna. Posisi tepi
memiliki nilai persentase serabut yang paling tinggi karena bagian tepi disusun oleh ikatan-ikatan serabut yang sangat rapat sehingga total nilai serabut pun paling tinggi. Hal ini didukung oleh Ray et al. (2004) dalam penelitian mikro struktur yang mengemukakan bahwa populasi serabut bervariasi dari bagian luar (tepi) ke bagian dalam. Serabut pada bagian tepi sangat kompak dengan jumlah serabut yang lebih banyak dibandingkan bagian dalam sehingga nilai persentase serabut semakin tinggi (Gambar 47). Hal yang sama juga diungkapkan Londono et al. (2002) dalam hasil penelitiannya pada bambu Gigantochloa angustifolia dengan persentase serabut ditemukan pada bagian pinggir/tepi penampang lintang batang dan nilai persentase serabut yang terendah ada pada bagian dalam penampang lintang.
Persentase serabut (%)
60
53.5
32.0
33.2
30
24.6
0 Tepi
Tengah
Pusat
Dalam
Gambar 47. Persentase serabut penampang lintang bambu Faktor-faktor lain yang tidak berpengaruh nyata antara lain adalah pola. Hal ini terjadi karena rata-rata persentase serabut antar pola tidak ada perbedaan. Hasil penelitian ini agak berbeda dengan pernyataan Grosser dan Liese (1971) yang mengemukakan bahwa pada umumnya kandungan serabut pada pola 2 lebih
banyak dibandingkan dengan pola 1 demikian pula dengan kandungan serabut pada pola 3 lebih banyak dibandingkan dengan pola 2 dan seterusnya. Pernyataan yang dikemukakan oleh Grosser dan Liese tentang persentase serabut akan terbukti jika jarak antar pola ikatan cukup rapat. Dalam pengamatan visual terhadap pola 3 dan 4 terlihat bahwa jarak antar pola relatif jarang dibandingkan dengan pola 1 dan 2. Diduga kondisi ini turut mempengaruhi nilai persentase serabut. Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dengan persentase serabut menghasilkan persamaan Y = 0.572 + 0.045X dengan R2=0.159
yang berarti
bahwa terdapat hubungan yang positif antara kerapatan ikatan pembuluh dengan persentase serabut yang bermakna bahwa kerapatan ikatan pembuluh akan semakin tinggi nilainya apabila nilai persentase serabut semakin besar. Hal ini terjadi karena dengan nilai persentase serabut yang tinggi maka semakin tinggi peluang untuk memperoleh kerapatan yang tinggi walaupun koefisien korelasinya kecil (39.87%), hal ini terutama berlaku untuk pola-pola yang sederhana (1 dan 2). Susunan pola ikatan pembuluh pada pola yang sederhana terdiri atas 1 rantai pembuluh pusat yang dikelilingi selubung serabut (sklerenkim) dan biasanya jarak antar pola relatif dekat. Susunan pola ikatan pembuluh pada pola yang kompleks (pola 3 dan 4) selain terdiri atas unsur-unsur yang ada pada pola 1 dan 2 juga ditambah dengan 1 atau 2 rantai serabut dengan jarak tertentu. Dengan kondisi tersebut akan memunculkan nilai koefisien korelasi yang kecil (Gambar 48).
Kerapatan ikatan pembuluh
12 10 y = 0.045x + 0.572 R² = 0.159
8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
Persentase Serabut
Gambar 48. Hubungan antara kerapatan ikatan pembuluh dan persentase serabut Berdasarkan hasil uraian terlihat bahwa pola ikatan pembuluh mempunyai peran yang cukup penting karena mempunyai pengaruh terhadap nilai kerapatan ikatan pembuluh dan panjang serabut.
Dengan demikian dapat dijadikan
pegangan dalam menentukan karakteristik anatomi bambu.
Hal ini didukung
pula oleh cara penetapannya yang relatif mudah.
Simpulan dan Saran Hasil penelitian pada penampang lintang batang
bambu diperoleh
kesimpulan bahwa bambu-bambu yang diteliti mempunyai pola ikatan pembuluh 1 untuk bambu Arundinaria hundsii dan Arundinaria javoniva, pola 2 untuk bambu Melocanna baccifera dan Cephalostachyum pergracile, pola 3 untuk bambu Dendrocalamus strictus dan
Dendrocalamus giganteus dan pola
gabungan 3 dan 4 untuk bambu Dendrocalamus asper, Gigantochloa atroviolacea dan Gigantochloa apus. Nilai kerapatan ikatan pembuluh dipengaruhi selain oleh jenis-jenis bambu juga oleh posisi vertikal, posisi horizontal dan juga oleh pola ikatan pembuluh. Faktor jenis dan pola ikatan pembuluh mempengaruhi nilai panjang serabut. Nilai persentase serabut hanya dipengaruhi oleh posisi horizontal penampang
lintang bambu. Persentase serabut yang semakin tinggi akan memberikan nilai kerapatan ikatan pembuluh yang tinggi. Pola ikatan pembuluh pada bambu berhubungan erat dengan struktur penyusun ikatan pembuluh dan bersifat konsisten pada genus dan spesies sehingga dapat digunakan untuk identifikasi bamboo. Karakteristik struktur penyusun pola ikatan pembuluh tersebut merupakan dasar bagi arah pemanfaatan bambu. Pola ikatan pembuluh perlu dipertimbangkan dalam pengenalan jenis bambu dan perencanaan pemanfaatan bambu sesuai dengan karakteristik yang dimiliki setiap jenis bambu.
Untuk itu perlu pendalaman lebih lanjut mengenai sifat
struktural dan teknologinya.
DAFTAR PUSTAKA
[ABS] American Bamboo Society. Newsletter 20 (1).
1999.
Bamboo: Past-present-future.
Botanic Gardens of Indonesia. 2001. An Alphabetical List of Plants Spesies Cultivated in the Bogor Botanical Garden. Indonesian Institute of Sciences. Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Bamboos. Indonesia: Prosea Bogor. Draper N, Smith H. 1992. Analisis Regresi Terapan. Ed ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pusta Utama. Gritsch CS, Murphy RJ. 2005. Ultrastructure of fibre and parenchyma cell walls during early stages of culm development in Dendrocalamus asper. Annals of Botany 95: 619–629. Grosser D, Liese W. 1971. On the anatomy of Asian bamboos, with spesial reference to their vascular bundles. Wood Sci and Tech 5: 290-312 Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Di dalam: Lessard G dan Chounard A, editor. Proceedings of a Workshop. Singapore, 28-30 Mei 1980. Lwin KM, Han YY, Maung W, Moe AKZ, Than SBM. 2007. An investigation on morphology, anatomy and chemical properties of some Myanmar bamboos. http://www.myanmar.gov.mm/Ag/Jur/ProcFo01.10.[3 Nov. 2007]. Liese W. 1987. Anatomy and properties of bamboo. Di dalam: Rao, A.N., Dhanarajan, G. dan Sastry, C.B, editor. Recent Research on Bamboo. Proceedings of the International Bamboo Workshop, Hangzholu, People's Republic of China, 6-14 Oktober, 1985. Academy of Forestry, People's Republic of China & International ,Development Research Centre, Canada, hal: 196-208. Liese W. 1992. The structure of bamboo in relation to its properties and utilization. Dalam Bamboo And Its Use, International Symposium On Industrial Use Of Bamboo. Beijing, China, 7-11 Desember 1992. hlm 1 - 6 Londono X, Camayo GC, Riano NM, Lopez Y. 2002. Characterization of the anatomy of Guadua angustifolia (Poaceae: Bambusoideae) culms. J Am Bam Soc 16 (1): 18–31. Mohmod AL, Mustafa MT. 1992. Variasi in anatomical properties of three Malaysian bamboos from natural stands. J Tropic For Sci 5(1): 90-96 Murphy RJ , Alvin KL. 1997. Fibre maturation in the bamboo Gigantochloa scortechinii. IAWA J, Vol. 18 (2): 147-156. Ray AK, Das SK, Mondal S. 2004. Microstructural characterization of bamboo. J Mater Sci 39: 1055-1060. Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique . Iowa: The Iowa State College Press.
Wahab R, Mohammed A, Mustafa MT, Hassan A. 2009. Physical characteristics and anatomical properties of cultivated bamboo Bambusa vulgaris (Schrad.) culms. J Biol Sci 9: 753-759. Widjaja, EA. 2001. Identifikasi Jenis-jenis Bambu di Jawa. Bogor : LIPI – seri panduan lapangan.
III. KORELASI POLA IKATAN PEMBULUH PADA SIFAT FISIK DAN MEKANIK TIGA JENIS BAMBU