Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
IDENTITAS DOKUMEN (Preview) Judul
:
Nama Jurnal Edisi Penulis Abstrak
: : : :
Studi Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pondok Pesantren Se Karesidenan Kedu Jawa Tengah Jurnal Fenomena Volume 6-Nomor 1-Maret 2008 D.Agus Harjito, Suparwoko, Supriyanto Abdi, Saru Arifin This research attempts to identify and arrange the Pesantrent’s economic potention all of Kedu region, and how can it be optimized. Beside, this research also attempts to identify the Pesantrent’s need and the way to full fill it. The sample of this research is multistage random sampling. The result of this research shows that the Pesantrent’s economic potentioan are various including: agriculture (the majority), small trading, cooperation (economic enterprise), animal husbandry, fishery and a little bit handyacraft. Generally, the development of the Pesantrent’s economic is conventionally and it’s not synergy yet with modern technology. Beside, the human resources development also poorly. The Pesantrent’s need are primary and secundary. The primary needs are daily food such as rice, side dish and books. The secondary needs are clothing, flying mate, slipper, prayer robe, and veil. Those goods some are provide by pesantrent it self, and some are provided by others.
keywords Kesimpulan
: :
Penerbit
:
Bahasa Format Web Tag
: : : :
Pesantren need, economic potention, Santri, Kiai. Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: 1. secara ekonomi potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren di Keresidenan Kedu sangat beragam yang meliputi pertanian, perdagangan melalui koperasi pesantren, peternakan, perikanan, dan sebagian kecil adalah keterampilan. Diantara sekian potensi ekonomi yang dimiliki pesantren tersebut yang paling dominan adalah pertanian, berikutnya perdagangan dan selanjutnya peternakan. 2. Dalam pengembangan potensi pesantren, terutama dalam aspek ekonomi secara umum pada pesantren di Karesiden Kedu masih bersifat konvensional, belum bersinergi dengan teknologi modern. Pemberdayaan SDM dalam pengelolaan potensi ekonomi pesantren seperti dalam koperasi, pertanian dan peternakan masih lemah. 3. Kebutuhan yang diperlukan oleh pondok pesantren di Karesidenan Kedu, secara umum terbagi dalam dua kebutuhan yaitu primer dan sekunder. Kebutuhan primer menyangkut kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan lauk-pauk, serta kitab. Sementara kebutuhan sekunder seperti baju, sajadah, sandal, mukena dan kerudung. Kebutuhan tersebut dipenuhi sendiri oleh masing-masing pesantren bekerjasama dengan para supplier dari luar pesantren yang dipasok melalui koperasi pesantren. Persentase besarnya kebutuhan primer dan sekunder pesantren sangat bergantung kepada besar-kecilnya pesantren yang bersangkutan, yang diukur dengan besaran jumlah santri secara keseluruhan. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Univervitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Indonesia PDF http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id Jurnal Penelitian dan Pengabdian
1
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Studi Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pondok Pesantren Se Karesidenan Kedu Jawa Tengah Tim Peneliti PPSH: D.Agus Harjito, Suparwoko, Supriyanto Abdi, Saru Arifin Abstract This research attempts to identify and arrange the Pesantrent’s economic potention all of Kedu region, and how can it be optimized. Beside, this research also attempts to identify the Pesantrent’s need and the way to full fill it. The sample of this research is multistage random sampling. The result of this research shows that the Pesantrent’s economic potentioan are various including: agriculture (the majority), small trading, cooperation (economic enterprise), animal husbandry, fishery and a little bit handyacraft. Generally, the development of the Pesantrent’s economic is conventionally and it’s not synergy yet with modern technology. Beside, the human resources development also poorly. The Pesantrent’s need are primary and secundary. The primary needs are daily food such as rice, side dish and books. The secondary needs are clothing, flying mate, slipper, prayer robe, and veil. Those goods some are provide by pesantrent it self, and some are provided by others. Keywords: Pesantren need, economic potention, Santri, Kiai., Pendahuluan Ditinjau dari geodemografis, pesantren merupakan institusi yang menghasilkan suatu produk yaitu alumni dalam jumlah yang sangat besar, bisa ribuan bahkan puluhan ribu alumni setiap tahunnya. Para alumni itu disadari atau tidak, akan masuk dalam "pasar" di mana konsumennya juga mengalami dinamika perkembangan yang menuntut kualifikasi tertentu. Dalam dinamika tersebut, pondok pesantren dihadapkan pada realitas bahwa konsumen menjadi penentu. Ini merupakan tantangan yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren. Karena itu, pondok pesantren harus mengalami pemberdayaan untuk menjawab tantangan tersebut. Dalam era persaingan bebas dewasa ini, pembangunan kompetensi dan kapasitas santri adalah suatu keharusan. Hal itu dapat dibangun dengan melakukan penyesuaian dengan dinamika global yang berkembang. Gagasan penyesuaian atau modernisasi dengan spirit tradisi agama sejatinya memberikan ruang dialog yang konstruktif dengan realitas sosio-politik kemasyarakatan agar dapat menjawab tantangan zaman. Tanpa penyesuaian maka tradisi akan hancur menjadi fosil dan relik sejarah yang dimakan waktu dan zaman. Untuk dapat bersaing secara kompetitif dalam dunia global, pondok pesantren dituntut mampu melahirkan produk dan alumni yang mempunyai kompetensi dan produktif dalam tiga hal. Pertama, kompeten dan produktif secara spiritual. Peran pesantren dalam pembangunan aspek spiritualitas tidak dapat dibantah. Sejak dulu, pesantren terus mengeluarkan ulama-ulama yang memiliki madilogi spiritualitas yang tinggi dan dikenal baik nasional maupun internasional. 2
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Kedua, kompeten dan produktif secara sosial. Kompetensi dan produktivitas sosial para alumni pesantren dapat diwujudkan dengan upaya pengintegrasian pengetahuan keagamaan dengan pengetahuan humaniora yang progresif, membebaskan, dan mencerahkan. Sikap toleran atas kemajemukan, nalar keadaban, dan multikultural adalah prasyarat mutlak untuk membangun citra pesantren sebagai sarana pendidikan anak bangsa yang berkualitas dan patriotik. Ketiga, alumni pesantren harus kompeten dan produktif secara ekonomis. Kompetensi dan produktivitas ekonomi harus ditopang dengan keahlian teknik aplikatif melalui program-program pengembangan ekonomi dan kurikulum pengetahuan aplikatif untuk dapat mendayagunakan potensi lingkungan yang ada agar memiliki nilai ekonomi yang maksimal. Etos kerja para alumni pesantren bisa dibangun atas dasar nilai-nilai moral dan spiritualitas tradisi Islam. Namun demikian, harus diakui bahwa tidak semua pondok pesantren yang ada sekarang ini telah mampu memenuhi tuntutan dan harapan ideal tersebut. Dalam hal ini tingkat keberhasilan pondok pesantren untuk memenuhi tuntutan dan harapan ideal tersebut dipengaruhi oleh, dan tergantung pada, sejumlah faktor, antara lain adalah kadar potensi dan kualitas sumber daya yang dimilikinya, dan tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Kedua faktor inilah yang secara simultan membuka dan sekaligus mambatasi kemungkinan-kemungkinan pondok pesantren untuk memainkan fungsi dan peran-peran idealnya. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa semakin besar potensi yang dimiliki oleh suatu pondok pesantren, dan semakin tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, maka akan semakin besar kemungkinannya untuk dapat memenuhi tuntutan dan harapan-harapan ideal terhadapnya. Sebaliknya, pondok pesantren yang memiliki potensi yang kecil dan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar yang rendah akan kesulitan untuk memenuhi tuntutan dan harapan ideal yang diarahkan kepadanya. Di sinilah, identifikasi potensi dan kebutuhan pondok pesantren menjadi sangat penting untuk dilakukan sebagai langkah awal dalam upaya optimalisasi peran pondok pesantren dewasa ini. Tanpa identifikasi potensi dan kebutuhan pondok pesantren, upaya untuk memperpendek kesenjangan atara harapan ideal terhadap pesantren dan kenyataan di lapangan akan menemui banyak kesulitan. Sebaliknya, upaya pengembangan dan optimalisasi peran dan fungsi pondok pesantren akan lebih mudah dilakukan bila ia didasarkan pada data konkrit dan empiris mengani potensi dan kebutuhan yang dimiliki oleh pondok pesantren. Berdasarkan
latar belakang seperti dipaparkan di atas, penelitian ini akan berusaha
menjawab dua pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1). Apa saja potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren di Keresidenan Kedu (baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya)?; (2). Bagaimana potensi-potensi itu bisa dikembangkan lebih lanjut dengan memanfaatkan teknologi mutakhir?; (3). Apa saja kebutuhan yang diperlukan oleh pondok pesantren di Karesidenan Kedu?. 3
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Penelitian ini bertujuan untuk: (1). mengidentifikasi dan menyusun database tentang berbagai potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren yang ada di Karesidenan Kedu serta menilai sejauh
mana
potensi-potensi
tersebut
bisa
diaktualisasikan
secara
berkelanjutan;
(2).
mengidentifikasi berbagai kebutuhan yang dihadapi oleh pondok pesantren di Keresidenan Kedu serta menilai sejauh mana kebutuhan-kebutuhan itu sudah terpenuhi. Kerangka Teori Transformasi Peran Kiai dan Pesantren Dalam sejarah perkembangannya, pondok pesantren telah diakui secara luas tidak hanya sebagai lembaga dan pusat pendidikan Islam tetapi juga sebagai pusat perubahan kehidupan politik, budaya, sosial dan keagamaan paling tidak untuk masyarakat sekitarnya. Dalam konteks ini, perubahan dan transformasi peran dan pola kepemimpinan kiai selaku pengasuh pondok pesantren memainkan peran penting dan instrumental. Peran kiai ternyata tidak stagnan, tetapi megalami transformasi. Kiai tidak hanya berperan sebagai makela budaya (cultural broker), mediator atau keduanya, tetapi juga dapat berperan sebagai pengembang masyarakat dalam konteks yang luas (Nur Syam, 2005). Perubahan dalam pengertian secara luas berarti perubahan dari situasi ke situasi lain baik dalam suatu ruang atau waktu tertentu. Perubahan tersebut bisa terkait dengan kehidupan yang berupa fisik, alam, dan sosial (Garna, 1992). Di sisi lain, juga terjadi perubahan pada level individu, interaksi organisasi, komunitas, masyarakat, kebudayaan, dan peradaban global (Lauer, 1993). Transformasi peran kiai dan pesantren terjadi dalam dua level perubahan tersebut, yaitu interaksi kiai dan pondok pesantren dengan dunia kehidupan yang lebih luas teruatama menyangkut pengembangan masyarakat (Nur Syam, 2005). Kepemimpinan kiai juga mengalami berbagai perubahan. Kepemimpinan dalam konteks ilmu sosial menurut Weber bisa dibagi menjadi tiga tipologi, yaitu: pertama, kepemimpinan kharismatik yang pengabsahannya berasal dari kekuatan adikodrati; kedua, kepemimpinan tradisional yang pengabsahannya berasal dari keturunan terdahulu dan ketiga, kepemimpinan legal-formal yang legitimasinya bersumber dari aturan hokum yang berlaku. Kepemimpinan itu berubah secara linier, yaitu dari kharismatik ke tradisional dan selanjutnya ke legal-formal (Surbakti, 1999). Konsep Weber ini kemudian dibantah oleh Imron Arifin (1995) dengan menyatakan bahwa proses perubahan kepemimpinan kiai ternyata tidak linier sebagaimana pandangan Weber tetapi berproses secara spiral. Ada pola kepemimpinan campuran, yaitu dari kharismatik ke kahrismatik tradisional, ke tradisional legal formal. Gambaran di dunia pesantren sekarang lebih menggambarkan corak kepemimpinan bertipe campuran tersebut. Kepemimpinan kiai oleh Clifford Geertz (1996) dinyatakan sebagai kepemimpinan yang 4
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
berciri khas cultural broker, yaitu sejenis kepemimpinan yang berperan sebagai penyaring berbagai budaya yang datang ke suatu wilayah. Sebagai penyaring, peran kiai ialah meyaring berbagai budaya yang datang dan kemudian menentukan mana yang bisa diakomodasi dan mana yang tidak. Ketika peran tersebut tidak lagi dapat dilakukan kiai maka peran kepemimpinan itu akan macet. Perspektif ini kemudian dibantah oleh Hiroko Horikoshi (1987) yang menyatakan bahwa kepemimpinan kiai bukan sebagai penyaring budaya, melainkan sebagai mediator, yaitu kiai berperan menjadi penghubung antara kepemimpinan kaum bawah dan kaum atas. Kiai hidup di dalam dua kutub itu dan menyambungkan kepentingan keduanya dalam institusi kekiaiannya. Kedua pandangan yang berbeda tersebut kemudian oleh Dirdjosanyoto (1999) yang menegaskan bahwa kiai bisa berperan sebagai keduanya, sebagai makelar budaya dan juga mediator. Keduanya ternyata dapat dijumpai dalam kenyataan peran kiai selain sebagai penyaring budaya yang masuk dan menentukan mana yang diperbolehkan juga berperan sebagai mediator yang menghubungkan kepentingan atasan dan bawahan. Selain itu, dengan semakin terdiferensiasinya struktur kehidupan masyarakat, peran kiai pun terpaksa berubah sehingga terjadilah diferensiasi struktur spesialisasi fungsi. Jika pada masa lalu seorang kiai dapat menjadi tumpuan segala pertanyaan dan kebutuhan masyarakat, dengan semakin meningkatnya diferensiasi struktur tersebut maka peran kiai juga semakin terspesisalisi (Nur Syam, 2005).
Pondok Pesantren dan Pengembangan Masyarakat Pondok pesantren seyogyanya dipahami sebagai satu warisan sekaligus kekayaan penting dari kebudayaan-intelektual Nusantara. Bukan saja karena pondok pesantren merupakan pelembagaan tradisi pendidikan tertua di Indonesia yang masih survive, tetapi juga karena lembaga ini mampu terus melakukan kerja-kerja pemberdayaan masyarakat di tingkat yang paling bawah (grassroots), dan diminati masyarakat banyak. Dengan kata lain, dalam pergulatannya menghadapi arus modernisasi yang tak terelakkan, pondok pesantren bukan saja mampu mempertahankan eksistensinya, melainkan juga secara antusias dan konsisten menyambut esensi pembangunan (modernisasi) sekaligus mengejawantahkan etos dan misinya di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di sinilah, dalam penelitiannya Ziemek (1983) menemukan suatu model pembangunan yang emansipatif-partisipatif yang bisa dikembangkan oleh pondok pesantren. Kesimpulan Ziemek tampaknya tidak berlebihan. Sejak awal 1980-an optimisme yang tinggi akan peran aktif dan kontribusi pondok pesantren dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat juga dikemukakan oleh sejumlah pimpinan pondok pesantren dan aktivis-aktivis
5
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Muslim yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat. Dari kalangan pimpinan pondok pesantren, misalnya, K.H Yusuf Hasyim (1987) dari Pondok Pesantren Tebuireng menegaskan, bahwa pondok pesantren berpotensi untuk melakukan pemberdayaan dan pembebasan karena mereka memiliki akar yang kuat pada kelas bawah. Dari kalangan di luar pesantren, sejumlah pengamat dan aktivis sosial juga menyatakan bahwa tantangan terbesar bagi pesantren saat ini adalah menjalankan fungsinya untuk mengabdi kepada masyarakat umum, terutama menghadapi proses marginalisasi sosial di pedesaan (Widiastono dan Tebba, 1985). Pondok pesantren diyakini dapat memberi kontribusi lebih aktif dalam perjuangan melawan ketimpangan sosial, ekonomi dan budaya, khususnya di wilayah pedesaan (Abbas, 1985). Tidak mengherankan jika para pendukung pengembangan masyarakat dan ekonomi di tingkat akar rumput (grassroots) menganggap pondok pesantren sebagai kendaraan yang tepat untuk upaya-upaya itu. Bagaimanapun, pondok pesantren merupakan lembaga yang otentik dan mengakar secara sosial, salah satu di antara sedikit lembaga yang mempunyai akses pada orangorang yang menjadi target ‘pembangunan dari bawah’. Sebagai lembaga independen tetapi tidak menentang pemerintah, pondok pesantren bisa bertindak sebagai perantara antara negara dan masyarakat lokal (van Bruinessen dan Wajidi, 2005). Secara historis, upaya mendekatkan pesantren dengan usaha-usaha pembangunan dan pengembangan masyarakat mengalami pasang surut dan sangat dipengaruhi oleh wacana dan praktik resmi pembangunan negara, serta wacana dan praktik tandingan dari lembaga-lembaga non-pemerintah. Sejak Orde Baru, paling tidak ada tiga model pendekatan dalam upaya-upaya pembangunan dan pengembangan masyarakat berbasis pesantren. Ketiga model itu adalah pertama, pendekatan pembangunan berbasis pesantren yang diinisasi oleh pemerintah, kedua, pendekatan pengembangan masyarakat berbasis pesantren yang didukung oleh lembaga-lembaga non-pemerintah dan ketiga model pengembangan masyarakat berbasis pesantren yang dipelopori oleh kiai rakyat.
Sarana dan Prasarana Pesantren Pengertian sarana dan prasarana dalam hal ini merujuk kepada pengertian yang dibuat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya Pasal 1 ayat (5 dan 6), yang menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Prasarana lingkungan" adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan pengertian sarana sarana lingkungan adalah fasilitas penunjang, yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. 6
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Merujuk pada defenisi di atas, maka yang dimaksud dengan sarana dan prasaran pondok pesantren adalah kelengkapan dasar fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan pesantren dalam kegiatan pendidikan. Pengertian ini lebih bersifat praktis yang menyangkut sarana dan prasarana yang pokok-pokok saja yang dimiliki oleh setiap pesantren. Namun demikian atara pondok pesantren yang satu dengan lainnya penyediaan sarana dan prasarananya berbeda-beda sesuai dengan jenis dan kapasitas yang dimilikinya. Menurut Syafruddin Amir (2006), dalam kenyataannya di lapangan sarana dan prasarana penunjang pesantren secara umum yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selain itu, kebutuhan penataan dan pengadaan infrastruktur pondok pesantren telah berimplikasi terhadap munculnya anggapan misalnya dalam bidang kesehatan bahwa pesantren adalah komunitas yang tidak sehat. Sekalipun perilaku hidup sehat mulai disadari oleh sebagian besar pondok pesantren. Namun, hal itu masih perlu lebih banyak dorongan, khususnya pondok-pondok pesantren kecil yang memiliki pendanaan minim. Kebutuhan Pondok Pesantren Kebutuhan dalam penelitian ini terutama dimaksudkan sebagai kebutuhan pokok atau dasar dari komunitas pondok pesantren (kiai, keluaraga kiai, ustadz dan santri). Kebutuhan pokok tersebut mencakup kebutuhan akan pangan, sandang, papan, layanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sebagai satu kesatuan tempat pemukiman, pondok pesantren juga membutuhkan: (a) prasarana lingkungan seperti jalan, saluran air limbah dan saluran hujan; (b) utilitas umum seperti jaringan listrik, gas, air bersih, telepon, pembuangan sampah dan pemadam kebakaran; dan (c) fasilitas sosial yang merupakan kelengkapan lingkungan seperti layanan kesehatan, pelayanan umum, olah raga, lapangan terbuka dan fasilitas umum lainnya (Marsono, 1995: 425). Hasil Penelitian Jumlah dan Pertumbuhan Jumlah Santri Pertahun Jumlah santri yang belajar di masing-masing pesantren dari 10 pesantren yang menjadi sample penelitian ini, relatif tidak begitu banyak perbedaan yang berkisar antara 100-200 santri gabungan antara putra dan putri. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan santri pada setiap pondok pesantren tersebut dam setiap tahunnya berkisar antara 10%-70%. Pertumbuhan tertinggi terjadi di Pesantren Roudatuth Tholibin Wonosobo yang mencapai pertumbuhan 70% setiap tahunnya. Sebaliknya, pertumbuhan terendah jumlah santri terjadi pada 2 pesantren, yaitu Pondok
7
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Pesantren Barokatul Hidayah di bawah asuhan KH.Anwar Mubarok Wonosobo, dan Pondok Pesantren Al-Hijrah dibawah asuhan KH.Saifudin Zuhri Salatiga, dengan laju pertumbuhan mencapai 105 setiap tahunnya. Dilhat dari persentase luas area pesantren, maka pesantren Darul Falah, asuhan KH.Gus Holany, Wonosobo yang terluas dengan luas area mencapai 6000 m2 dan terluas kedua adalah pesantren PPTI Alfalakh, asuhan KH.Abdulllah Salam, Salatiga dengan luas mencapai 4000 m2 , sebaliknya pesantren terkecil luas areanya adalah Pesantren Baraokatul Hidayah, asuhan KH.Anwar Mubarok, Wonosobo, yang hanya mencapai 300 m2 . Tabel 1 Profil Identitas 12 Pesantren Sebagai Sample Identitas Pesantren No. Nama Pesantren
Lokasi
Tahun Berdiri
Kiai/Pengasuh
Santri Lk
Santri Pr
Total
Pert/ tahun
Area m2
1
PP. Roudhotul Ummat
Des. Panggisari kec. Mandiraja, kab. Banjarnegara,53473
2003
K. Mukhlisin
50
50
100
20%
3000
2
Barokatul Hidayah
Dusun Kalikuto, desa Candimulyo, Kertek, Wonosobo
1999
Anwar Mubaroq
75
87
162
10%
300
3
Al Hijrah
Klumpit Sidorejo kidul salatiga
1999
H. Saifudin Zuhrima
63
94
157
10%
2000
4
Al Musyaffa
Kampir Sudipayung Ngampel Kendal
1989
H. Muchlis Musyaffa
150
140
290
20%
2000
5
Husnul Hidayah
Karang Tanjungalin Kebumen
1955
K.M. Amir Mishbah
92
58
150
13%
3947
6
Darul Falach
Maron, Garung, Wonosobo
1965
K.H. A. Gostholani/ ust.A. Refiudin
125
132
257
30%
6000
7
A.D.I. Arrobbani Daarunna'iim
Ds. Lungge, kec.kab. Temanggung
1982
K.H. Muhammad Nawawi
50
15
65
15%
250
8
Tanwirusshobir
Kalilawang, Sitiharjo, Garung
1993
K.H. Aboul Djamil
110
86
196
25%
400
9
Roudlotuth Tholibin
Jawar Mojotengah Wonosobo
1972
K.M. Nur Yasin Ibrohim
223
130
353
70%
3806
10
PPs. PPTI Al Falakh
Jl. Bima 02 Dukuh Salatiga
1986
K.H. Abdullah Salam
67
94
161
60%
4000
11
PPs. Nurul Falah
Muntilan, Magelang
1980
KH.Abdurrazaq
300
200
500
20%
1500
PPs.Qomarul Huda
Purwareja, Klampok, Purbalingga
2001
KH.Muh.Badruttaman
71
107
178
5%
221
12
Sumber: Diolah dari Data Primer, 2007
Pembahasan Analisis data dimulai dengan melihat potensi ekonomi yang ada di kedua belas pesantren yang dijadikan sampel penelitian. Dari 12 belas pesantren tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai tolok ukur keadaan bagi seluruh populasi pesantren se – Karesidenan Kedu, Jawa Tengah yang besar dan keadaanya sesuai.
8
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Jika dilihat dari standar kelayakan representasi sample, maka jumlah sample yang diteliti ini kurang memadai. Sebab, jumlah pesantren se Karesidenan Kedua seitar 400 an pesantren. Namun jika dilihat dari karakteristiknya, maka pesantren di kawasan tersebut cenderung punya karakter homogemon. Analisis Potensi Ekonomi dan Kebutuhan Pesantren Pondok pesantren adalah salah satu institusi sosial yang mempunyai potensi ekonomi cukup besar dan sampai saat ini masih belum dimaksimalkan. Keadaan seperti ini juga terlihat pada Pondok Pesantren di wilayah Kedu. Oleh karena itu penguatan ekonomi pondok pesantren diyakini dapat mempengaruhi ekonomi masyarakat sekitarnya, baik di sekitar bangunan pondok pesantren maupun di wilayah yang lebih luas lagi di mana pondok pesantren (ponpes) tersebut berada. Jika gerakan ini membesar, maka akan mampu menciptakan kantong-kantong penggerak ekonomi masyarakat yang secara otomatis dapat mengurangi kemiskinan di wilayah Kedu, Jawa Tengah bahkan secara nasional. Berdasarkan data lapangan penelitian ini, usaha ekonomi yang dilakukan pesantren pada umumnya menyangkut empat hal pokok, yaitu: (a). Pertanian; (b). Peternakan; (c). Koperasi Pesantren; dan (d). Kerajinan Keempat usaha yang dilakukan oleh pesantren tersebut, bervariasi antara satu pesantren dengan yang lainnya, tergantung pada luas lahan yang dimiliki dan besar jumlah santri yang ada. Demikian pula mengenai jenis produk pertanian yang dihasilkan juga bervariasi. Namun secara umum produk pertanian yang dihasilkan antara lain meliputi: padi, ketela, sayuran, kedelai, dan jagung. Hasil yang didapatkan dari usaha pertanian juga tidak begitu banyak, untuk jagung misalnya, hanya berkisar antara 10-20 kwintal, jagung cukup banyak sampai mencapai 20 ton, dan sayuran mencapai 5 ton. Dari keempat jenis komoditas usaha yang dilakukan pesantren tersebut, pada umumnya yang menjadi produk unggulan nya adalah jagung. Sementara itu, jenis peternakan yang dikelola oleh pesantren, secara umum mengenai ayam, kambing, sapi dan ikan. Hasil yang dicapai juga bervariasi, ayam misalnya berkisar antara 100 an ekor, kambing 15 ekor, sapi 10 ekor, dan ikan mencapai maksimal 2000 buah. Diantara keempat produk peternakan tersebut, yang menjadi produk unggulan pesantren pada umumya adalah peternakan ikan yang mencapai rata-rata 5000 ikan dan ayam yang mencapai 1000 ekor. Adapun kerajinan yang banyak dilakukan pesantren berkisar pada kerajinan rangan dan sablon kaos, usaha konveksi busana muslim, dan membuat keripik dan sejenisnya. Di samping potensi ekonomi ponpes yang cukup besar, ponpes juga telah mempunyai tenaga-tenaga terampil yang dapat menggerakkan potensi ekonomi tersebut. Namun demikian, pesantren masih belum mempunyai "kepercayaan diri" untuk memulai sehingga potensi ekonomi 9
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
itu belum teroptimalkan untuk kepentingan pesantren, baik untuk kepentingan internal pesantren itu sendiri maupun kepentingan lingkungannya serta pesantren-pesantren lain di wilayah lainnya. Apabila kemampuan atau potensi pesantren ini dikembangkan, bukan tidak mungkin kebutuhan pesantren, sebagaimana terlihat pada bagian berikut di bawah ini, dapat dipenuhi oleh pesantren itu sendiri dengan bekerjasama dengan pesantren lainnya. Pada Tabel 2 di bawah ini, terlihat bahwa sebagian besar kebutuhan santri pada tiap-tiap pesantren masih banyak yang disuplai oleh koperasi. Kebutuhan pokok seperti beras, biasanya santri beli sendiri di luar pesantren atau dikirimi oleh orang tua santri secara reguler setengah bulan sekali, atau ikan yang biasanya dibeli dari pasar terdekat atau kepada masyarakat kampung yang ada disekitar pesantren. Kedudukan koperasi pesantren yang menyediakan kebutuhan santri tersebuti, dari penelusuran lapangan lebih bersifat sebagai agen distributor dari beberapa produk dagangan, seperti rokok, minuman, sabun, shampo dan lain sebagainya. Namun ada juga koperasi pesantren yang secara proaktif mengambil barang dari perusahan secara langsung, misalnya ke beberapa perusahaan di Pekalongan dan Semarang, dengan jenis komoditi seperti sarung, baju koko/muslimah, kopiah, kitab dan mukena. Misalnya, beberapa kebutuhan pokok santri seperti sabun, pasta gigi, rokok, mie instant, minyak goreng dan minyak tanah, jika diorganisir melalui suatu pesantren induk yang punya kapasitas SDM dan sarana pendukung yang memadai, maka roda perekonomian pesantren akan tumbuh dengan baik. Apabila
dibuatkan
perhitungan
secara
matematis
dalam
pemenuhan
kebutuhan
pesantrean, misalnya kebutuhan beras seluruh pesantren di Wilayah Kedu 10 ton sebulan dan 500 liter minyak kelapa. Maka ada sebuah pesantren di wilayah Kedu ini yang bisa mensuplai kebutuhan beras dan minyak tersebut. Sementara kebutuhan sabun mandi dan sabun cuci mungkin bisa disuplai oleh pesantren lain yang khusus menanganinya. Apabila masing-masing pesantren mempunyai komoditi perdagangan yang berbeda-beda dan saling bisa mensuplai antar pesantren, maka sistem perdagangan diantara kelompok pesantren di Kedu ini meningkat pesat. Secara diagram model produksi dan pemasaran kebutuhan pesantren tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
10
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Hirarki Pesantren berbasis kwalitas manajemen dan jumlah santri
A
B E
O
U
F
P
V
I
G
Q
W
H
I
II
D
C
J
R
X
K
L
M
T
S
Y
Z
III IV V
Gambar 1 Hirarki Model Produksi dan Pemasaran Kebutuhan Pesantren
11
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Tabel 2 Daftar Kebutuhan Pesantren Per Bulan No.
JENIS KEBUTUHAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Beras Daging Ikan Susu Gula Kopi Teh Rokok Mie Instant Minyak Tanah Minyak Goreng Baju Koko Celana Panjang Sarung Songkok Sajadah Busana Muslimah Mukena Tikar Sandal Sepatu Sabun Mandi Sabun Cuci Shampo Pasta Gigi Kitab Bolpen
JUMLAH KEBUTUHAN PADA MASING-MASING PONDOK PESANTREN (PPS) PER BULAN PPs 1
PPs 2
PPs 3
PPs 4
PPs 5
300 kg 10 kg 7.5 kg 10 kg 15 kg 300 bks 300 bks 60 bks 100 bks 300 ltr 50 ptg 50 ptg 50 ptg 50 bh 50 ptg 50 ptg 10 lbr 100 psg 100 bh 250 kg 500 sch 400 bh 80 bk 200 biji
500 kg 500 kg 300 bks 150 bk 900 bks 3000bks 200 ltr 100 ltr 50 psg 600 bh 900 kg 300 sch 100 biji
100kg 50 kg 100 kg 200 kg 75 bks 200 bks 300 bks 500 bks 200 ltr 500 ltr 157 ptg 157 ptg 157 ptg 157 bh 157 ptg 97 ptg 97 ptg 157 lbr 157 psg 157 psg 157 bh 350 kg 600 sch 157 bh 157 bk -
300 kg 500 kg 1000bks 500 bks 100 bks 3000bks 300 ltr 30 ltr 100 ptg 100 ptg 200 ptg 100 bh 100 ptg 100 ptg 100 ptg 20 lbr 100 psg 100 psg 100 bh 100 kg 100 sch 100 bh 60 bk -
2.200 kg 30 kg 60 kg 65 bks 50 bks 1.500bks 300 ltr 112 ptg 93 ptg 111 ptg 110 bh 115 ptg 55 ptg 50 ptg 50 lbr 115 psg 100 psg 400 bh 450 kg 300 sch 450 bh 100 bk 300 biji
PPs 6
PPs 7
PPs 8
PPs 9
200 kg 50 kg 30 kg 50 bks 100 bks 42 bks 300 bks 40 ltr 5 ltr 20 ptg 15 ptg 10 ptg 15 bh 20 ptg 10 ptg 10 lbr 50 psg 50 psg 200 bh 150 kg 100 sch 200 bh 20 bk 257 biji
650 kg 100 kg 50 bks 400 bks 25 bks 100 bks 25 ltr 60 ltr 45 ptg 70 ptg 15 ptg 100 bh 65 ptg 45 ptg 30 ptg 15 lbr 130 psg 80 bh 70 kg 500 sch 75 bh 36 bk 90 biji
200 kg 10 kg 15 kg 1 kg 30 kg 40 bks 5 bks 100 bks 100 bks 20 ltr 80 ltr 10 psg 20 bh 2 kg 200 sch 15 bh 30 bk 10 biji
200kg 5 kg 30 kg 10 bks 99 bks 300 bks 960 bks 200 ltr 15 ltr 21 ptg 25 bh 5 ptg 60 psg 220 bh 240 kg 650 sch 410 bh 100 bk 160 biji
PPs 10 175kg 150 kg 50 kg 75 bks 25 bks 100 bks 500 bks 15 psg 100 bh 200 kg 300 sch 50 bh 100 bk -
12
PPs 11 200 kg 10 kg 5 kg 20 kg 50 bks 10 bks 5 ltr 20 ltr 15 ptg 15 ptg 15 ptg 15 bh 30 ptg 17 ptg 17 ptg 40 bh 30 psg 7 psg 100 bh 25 kg 100 sch 60 bh 60 bk 30 biji
TOTAL 3.025 kg 105 kg 182.5 kg 166 kg 1.535 kg 2.015 bks 1.884 bks 3.427bks 8.560 bks 990 bks 1.590 ltr 499 ptg 500 ptg 579 ptg 572 bh 472 ptg 384 ptg 354 ptg 302 bh 817 psg 414 psg 2.077 bh 2.755 kg 3.350 sch 1.917 bh 743 bk 1.147
RATARATA/PPs 275 kg 25 kg 36 kg 41 kg 139 kg 183 bks 171 bks 311 bks 778 bks 123 ltr 159 ltr 45 ptg 45 ptg 64 ptg 63 bh 78 bh 54 ptg 50 ptg 43 bh 74 psg 82 psg 188 bh 250 kg 304 sch 174 bh 74 bk 104 biji
KETERANGAN Santri beli Beli dari koperasi Santri beli Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi Beli dari koperasi
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Analisis Sarana dan Prasarana Pesantren Sarana dan prasarana pada masing-masing pesantren, secara umum telah memadai sesuai dengan persyaratan dalam ketentuan UU Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, khususnya Pasal 1 ayat 5 dan 6. Dalam ketentuan tersebut mencakup dua hal persyaratan kelayakan bagi sebuah pemukiman (pesantren), yaitu prasarana lingkungan dan dan sarana lingkungan. Persyaratan pertama, prasarana lingkungan yang menunjang berfungsinya lingkungan pesantren seperti asrama santri, masjid, musholla, dapur, dan kamar mandi merupakan kebutuhan vital dari keberlangsungan pesantren yang harus ada. Namun, kuantitas dan kualitas dari jenisjenis prasarana tersebut, dari masing-masing pesantren terlihat berbeda. hal itu tidak terlepas dari kemampuan pesantren masing-masing dalam pengadaannya. Berdasarkan data lapangan sebagaimana tersebut di atas, tampak bahwa rata-rata ketersediaan prasarana lingkungan pesantren, seperti tersebut di atas sudah memadai. Pada Tabel 3 berikut disajikan mengenai ketersediaan prasarana pada masing-masing pesantren yang ada di dua belas pesantren di atas. Tabel 3 Ketersediaan Prasarana Lingkungan Pesantren No.
Jenis Prasarana
Ketersediaan Pada Masing-Masing Pondok Pesantren (PPs) PPs 1
PPs 2
PPs 3
PPs 4
PPs 5
PPs 6
PPs 7
PPs 8
PPs 9
PPs 10
PPs 11
PPs 12
1
Rumah Kiai
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
2
Asrama Santri
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
3
Musholla
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
4
Madrasah
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
5
Kamar Mandi
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
6
Dapur
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
7
Ruang Tamu
-
√
√
√
√
√
√
-
√
√
√
-
8
Ruang Kantor
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
Keterangan: PPs: Pondok Pesantren 1. Raudhatul Ummat 2. Barokatul Hidayah 3. Al-Hijrah 4. Almusyaffa 5. Husnul Hidayah 6. Darul Falach 7. Arrobbani Daarunna Ilmi 8. Tanwirusshobir 9. Roudhotuth Tholibin 10. PPTI Al Falakh 11. Nurul Falakh 12. Qomarul Huda 13
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Berdasarkan Tabel 3 di atas, terlihat bahwa 7 dari 12 pondok pesantren yang ada telah melengkapi fasilitas prasarana pesantren yang merupakan kebutuhan pokok dalam operasional belajar-mengajar pada masing-masing pesantren tersebut. Sementara 5 pesantren lainnya masih belum secara penuh menyediakan prasana pokok seperti ruang tamu, kantor, dan madrasah. Hal itu dikarenakan ada sebagian pesantren yang menggabungkan ruang tamu misalnya, menyatu dengan rumah tinggal Kiai. Ada juga yang tidak melakukan kegiatan belajar secara klasikal di dalam sebuah gedung madrasah, tetapi menggunakan musholla atau masjid sebagai gantinya. Demikian juga penyediaan ruang kantor pesantren, biasanya ada pesantren yang tidak secara khusus menyediakannya. Keterbatasan penyediaan prasarana tersebut tidak telepas dari kemampuan ekonomi dan ketersediaan lahan pesantren yang ada. Sebab, pada umumnya pesantren-pesantren salaf tersebut dibangun secara swadaya oleh masyarakat atau dengan menggunakan dana-dana infaq dari wali santri yang diberikan dalam bentuk bisyaroh (uang yang diberikan kepada kiai oleh santri secara ikhlas ketika bersalaman pamit pulang). Sementara untuk bantuan dari pemerintah, sebagian pesantren masih ada yang menutup diri1. Sikap ini dimaksudkan untuk menjaga netralitas pesantren secara politis, dan menjaga keberkahan pesantren yang hanya menggunakan dana yang murni dari swadaya masyarakat secara ikhlas2. Sementara itu, ketersediaan sarana pesantren yang bersifat komplementer, merupakan unsur pengembangan, baik yang berupa sarana ekonomi dan sosial budaya, diantaranya adalah sarana yang tergolong modern, seperti penyediaan laboratorium dan sarana keterampilan bagi santri yang dulunya hanya dimiliki oleh pesantren modern (khalafy), seperti di Pondok Pesantren Husnul Hidayah, Kebumen. bahkan, beberapa pesantren juga telah menyediakan sarana internet dan warung telekomunikasi.
Tabel 4 Ketersediaan Sarana Lingkungan Pesantren Ketersediaan Pada Masing-Masing Pondok Pesantren (PPs) No. 1
Jenis Sarana Koperasi
PPs 1
PPs 2
PPs 3
PPs 4
PPs 5
PPs 6
PPs 7
PPs 8
PPs 9
PPs 10
PPs 11
PPs 12
-
-
√
√
√
√
√
√
√
√
-
-
1 Pengalaman di Pesantren API Tegalrejo, sebagaimana dituturkan oleh Pengasuhnya, Gus Yusuf, menyebutkan, bahwa dalam tradisi pesantren yang diwariskan oleh ayahnya KH.Khudori, jika ada bantuan dari Pemerintah tetap diterima, namun bantuan tersebut dipakai untuk pembangunan kamar mandi (WC) dan saluran irigasi. Menurutnya, bantuan pemerintah itu diyakini bersifat subhat sehingga tidak digunakan untuk membangun Pesantren. Wawancara, tanggal 1 Maret 2007 di Ponpes API, Tegalrejo, Magelang. 2 Disarikan dari hasil wawancara dengan KH. Abdul Rozak, Pengasuh Ponpes Nurul Falah, Tempel, Sleman, Yogyakarta, tanggal 4 Agustus 2007.
14
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Ketersediaan Pada Masing-Masing Pondok Pesantren (PPs) No. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Jenis Sarana
PPs 1
PPs 2
PPs 3
R. Aula √ √ Parkir √ Tpt Olah Raga √ √ R. Tamu √ √ Kamar Tamu √ Kantin √ Wartel Internet √ R. Ustazd/ah √ √ Laboratorium √ R.Keterampilan √ Perpustakaan √ Sumber: Diolah dari Data Primer, 2008
PPs 4
PPs 5
PPs 6
PPs 7
PPs 8
PPs 9
PPs 10
PPs 11
PPs 12
√ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ -
√ √ √ √ √ √ √ -
√ √ √ -
√ -
√ √ √ √ √ √ √ -
√ √ √ √ √ √ √ √ -
√ √ √ √ -
√ √ -
Dengan demikian, maka secara umum, sarana dan prasarana pondok pesantren yang berada di kawasan Karesidenan Kedu-Jateng sudah mencukupi baik dari jenis maupun jumlahnya. Namun, perawatan yang kurang memadai mengakibatkan kualitas sarana dan prasarana pesantren menjadi tidak baik. Oleh karena itu, budaya merasa memiliki fasilitas sarana dan prasarana tersebut perlu ditanamkan kepada anggota pesantren sehingga perawatan fasilitas tersebut terjaga. Semboyan bahwa ”kebersihan adalah sebagian dari iman” betul-betul perlu diaplikasikan secara disiplin di tiap-tiap pesantren. Analisis Sosial dan Keagaaman Dalam penelitian ini di ketahui, bahwa secara geografis sebagian (besar) pondok pesantren di wilayah Karesidenan Kedu berlokasi di pedesaan. Kondisi geografis tersebut menggambarkan bagaimana bangunan sosio kultural yang terbangun di kalangan santri dan kiai. Pola interaksi sosial yang terbangun banyak mengedepankan aspek-aspek moral dan etika yang dibalut oleh budaya Jawa. Sosok kiai sebagai figur sentral dalam komunitas pesantren terbangun secara alamiah berdasarkan tradisi yang terbangun sejak dulu. Kualitas dan kapasitas keilmuan yang dimiliki para kiai (ulama) telah mendorong mereka untuk aktif membimbing masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Modal keilmuan dan integritas diri menjadikan ulama sebagai tokoh sentral yang sampai saat ini paling bisa dipercaya. Tindakan dan ucapan ulama senantiasa konsisten. Hal subtansial lainnya dari ulama adalah keihklasan dalam beramal, sehingga ketika ia melakukan tindakan apapun yang mengatasnamakan masyarakat selalu termotivasi oleh semangat 15
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
pengabdian dan dakwah kepada umat secara ikhlas tanpa imbalan apapun. Sidik Jatmika (2005:87-97), menguraikan sejumlah sumber kewibawaan Kiai sebagai bagian dari ulama dalam konteks yang lebih luas—yang menjadikannya disegani dan ditaati oleh masyarakat, sehingga ucapan dan tingkah lakunya diteladani secara ikhlas. pertama, penguasaan ilmu agamanya. Kiai di mata para pengikutnya, selain memiliki pengetahuan keagamaan juga memiliki kekuataan spiritual melebihi kebanyakan orang (karamah dan ilmu laduni). Kedua, pada umumnya kalangan kiai sering mengikatkan tali persaudaraan secara dekat melalui mekanisme perkawinan di kalangan keluarganya. Jarang sekali seorang kiai yang keluar dari kelompok mereka dalam mengembangkan keluarga melalui perkawinan. Dengan demikian, diharapkan keberlangsungan tradisi “darah biru” yang dapat meneruskan kepemimpinan pesantren dapat terjaga dalam ikatan kekerabatan. Ketiga, kekayaan keluarga. Pada umumnya kiai adalah sekaligus pemilik pesantren, baik karena membangun sendiri maupun karena warisan dari orang tuanya. Hal tersebut menjadikan kiai mempunyai otoritas penuh dalam mengelola pesantren. Akses ekonomi para kiai secara umum bersumber dari tiga hal pokok, yaitu: (1) Infaq, pemberian sejumlah uang dari santri atau wali santri yang sifatnya tidak mengikat; (2) Bisyaroh, yaitu pemberian uang kepada kiai ketika memberikan pengajian, tahlilan atau kegiata-kegiatan keagamaan lainnya, seperti pada perayaan akhir tahun yang disebut dengan haflah imtihan. Keempat, jaringan keilmuan. Pada umumnya, seorang kiai dalam menuntut ilmu sebelum ia memegang pesantren mengikuti jejak orang tuanya. Dengan demikian kemudian terbentuk jaringan keilmuan di mana seolah-olah terdapat stratifikasi dalam pesantren. Kelima, relasi dengan pemerintah dan pusat-pusat kekuasaan. Setidaknya, ada dua faktor yang mendekatkan kiai dari pusat-pusat kekuasaan. Pertama, karena relasi dengan santri yang sukses menduduki jabatan di pemerintahan yang menjadikannya memiliki ikatan emosional yang tinggi. Dalam konteks tertentu santri yang menjadi pejabat bisaanya akan tetap tunduk kepada kiai. Kedua, karena pengaruhnya yang luas, kiai bisaanya memiliki akses yang mudah terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat ditarik kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: 1. secara ekonomi potensi yang dimiliki oleh pondok pesantren di Keresidenan Kedu sangat beragam yang meliputi pertanian, perdagangan melalui koperasi pesantren, peternakan, perikanan, dan sebagian kecil adalah keterampilan. Diantara sekian potensi ekonomi yang
16
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
dimiliki pesantren tersebut yang paling dominan adalah pertanian, berikutnya perdagangan dan selanjutnya peternakan. 2.
Dalam pengembangan potensi pesantren, terutama dalam aspek ekonomi secara umum pada pesantren di Karesiden Kedu masih bersifat konvensional, belum bersinergi dengan teknologi modern. Pemberdayaan SDM dalam pengelolaan potensi ekonomi pesantren seperti dalam koperasi, pertanian dan peternakan masih lemah.
3.
Kebutuhan yang diperlukan oleh pondok pesantren di Karesidenan Kedu, secara umum terbagi dalam dua kebutuhan yaitu primer dan sekunder. Kebutuhan primer menyangkut kebutuhan sehari-hari, seperti makan dan lauk-pauk, serta kitab. Sementara kebutuhan sekunder seperti baju, sajadah, sandal, mukena dan kerudung. Kebutuhan tersebut dipenuhi sendiri oleh masing-masing pesantren bekerjasama dengan para supplier dari luar pesantren yang dipasok melalui koperasi pesantren. Persentase besarnya kebutuhan primer dan sekunder pesantren sangat bergantung kepada besar-kecilnya pesantren yang bersangkutan, yang diukur dengan besaran jumlah santri secara keseluruhan.
Rekomendasi Memperhatikan potensi ekonomi dan sosial pesantren yang sedemikian besar, tetapi dengan management pengelolaan yang masih konvensional, maka ada beberapa rekomendasi yang bisa disusun sebagai berikut: 1.
Dalam pengembangan potensi ekonomi pesantren diperlukan management modern dan pemberdayaan
SDM
dengan
skill
yang
sesuai
dengan
bidang
tugas
dan
tanggungjawabnya dalam pengeloaan aset ekonomi pesantren. Selain itu, pesantren yang ada dii karesidenan Kedua potensial untuk melakukan produksi dan pemasaran dengan model hirarki pesantren di bawah koordinator P4SK. Melalui model ini diharapkan pesantren dapat tumbuh dan berkembang secara ekonomi dengan lebih mandiri. 2.
Dalam pendayagunaan potensi sosial seperti SDM santri, perlu dikembangkan melalui media training pemberdayaan santri, baik dalam aspek organisasi, kepemimpinan dan management, agar setelah lulus mempunyai kapasitas intelektual yang lebih.
3.
Perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kesehatan santri dan lingkungan, untuk meningkatkan citra kumuh dan tidak sehat dari pesantren. Hal ini sekaligus dalam upaya meningkatkan kepedulian santri terhadap budaya hidup sehat sejak dini, sebagai implementasi dari konsep kebersihan dalam ajaran Islam.
4.
Perlu dilakukan penelitian secara khusus mengenai minat dan bakat santri, sehingga hal itu bisa dijadikan pertimbangan dalam mengarahkan cita-cita dan keinginan santri kelak pasca mondok di pesantren masing-masing. 17
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Mochtar, 1988, “For Alternative Education, Pesantren Pabelan”, Pesantren’s Linkage 4, no. 2. Ana Muanah, 2006. Pemda Jatim Mewujudkan Proposal YKNH, Diakses pada tanggal 19 Desember 2006 dari http://www.jatim.go.id/opini_detail.php. Afwah Mumtazah, 2005. Mencermati Kiprah Pesantren, Makalah disampaikan pada acara Semiloka “ Pendidikan untuk Perempuan: Belajar dari Pengalaman Pesantren, diselenggarakan oleh Yayasan RAHMA, Jakarta, 5 Jnauari 2005. Arifin, Imron, 1995, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (Malang: Kalimasada Press) Garna, Yudistira K, 1992, Teori-Teori Perubahan Sosial, (Bandung: PPs.Universitas Pajajaran) Geertz, Clifford, 1960, “The Javanese Kijai: the Changing Roles of Cultural Broker”, dalam Comparative Studies in Society and History, Vol. II, Nomor 2, hal. 228-249. Hasyim, Yusuf, 1987, “The Role and Potential of Pesantren”, Pesantren’s Linkage 3, no. 2. Hiroko, Horikoshi, 1987, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M). Jatmika, Sidik, 2005, Kiai dan Politik Lokal: Studi Kasus Reposisi Politik Kiai NU Kebumen, Jawa Tengah Memanfaatkan Peluang Keterbukaan Partisipasi di Era Reformasi, Disertasi Program Doktor Sekolah Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Lauer, Robert H, 1993, Perspektif dalam Perubahan Kebudayaan (Bandung: Bina Aksara) Mastuhu, 1997, 'Kiai Tanpa Pesantren: K.H Ali Yafie dalam Peta Kekuatan Sosial Islam Indonesia' dalam Jamal D. Rahman (ed), Wacana Baru Fikh Sosial 70 Tahun K.H Ali Yafie, Mizan, Bandung. Marsono, 1995, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan di Bidang Perumahan dan Pemukiman, Penerbit Djambatan, Jakarta. Nadjih Ahjad, 2006. Sejarah Pondok Pesantren Maskumambang, diakses pada tanggal 19 Desember 2006 dari http://maskumambang.net/sejarah.htm. Nur Syam, 2005, “Pengembangan Komunitas Pesantren” dalam (eds). Moh. Ali Aziz, Rr. Suhartini, A. Halim, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi (Yogyakarat: LKIS) Surbakti, Ramlan, 1999, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Syafruddin Amir, 2006. Pesantren Pembangkit Moral Bangsa, Pikiran Rakyat, Bandung, 13 Juli 2006. van Bruinessen, Martin dan Farid Wajidi, 2006, “Syu’un Ijtima’iyah and the Kiai Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Society and Social Concerns”, dalam (ed). Henk Schulte Nordholt, Indonesian Transitions, Pustaka Pelajar,Yogyakarta. Widiastono dan Tebba, Sudirman, 1985, “Community Development and Self-Reliance of Pesantren”, Pesantren’s Linkage 1, no. 2. Zarkasyi, K.H Imam, 1985, Serba-Serbi Singkat Tentang Pondok Modern Gontor Ponorogo (Sekretariat P.M). W. Gulo, 2002. Metode Penelitian, Grasindo, Jakarta. Zarkasyi, Abdullah Syukti, 1999, “Pondok Pesantren sebagai Alternatif Kelembagaan Pendidikan 18
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
untuk Program Pengembangan Studi Islam di Asia Tenggara” dalam (eds), Zainuddin Fananie dan M. Thoyibi, Studi Islam Asia Tenggara, Muhammadiyah University Press, Surakarta. Ziemek, Manfed. 1983. Pesantren-Islamische Bildung in Sozialen Wandel, Disertasi Doktor de Philosophie pada Johan Wolfgang Goethe Universitat, Frankfrut, Jerman Barat. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
19