Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
IDENTITAS DOKUMEN (Preview) Judul
:
DAYA ANTIHELMINTIK AIR REBUSAN DAUN KETEPENG (Cassia alata L) TERHADAP CACING TAMBANG ANJING IN VITRO
Nama Jurnal Edisi Penulis Abstrak
: : : :
Jurnal Logika
keywords Kesimpulan
: :
Penerbit
:
Bahasa Format Web Tag
: : : :
Volume 5-Nomor 1-Agustus 2008 Titik Kuntari Prevalensi penyakit infeksi cacing tambang di Indonesia masih cukup tinggi. Karena risiko yang ditimbulkan cukup berat, upaya penanggulangan penyakit ini harus dilakukan secara intensif. Usaha tersebut memiliki kendala yaitu harga obat yang dipandang relatif mahal oleh masyarakat, karena itu perlu dilakukan upaya mencari obat tradisional alternatif yang mudah diperoleh dan murah. Salah satu tanaman yang sering digunakan untuk obat cacing adalah Cassia alata L. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya daya antihelmintik air rebusan daun Cassia alata L. Penelitian dilakukan dengan metode Randomized Control Trial melalui dua tahap pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air rebusan daun ketepeng memiliki efek antihelmintik meskipun efektifitasnya lebih rendah daripada pirantel pamoat. daya antihelmintik, daun ketepeng, cacing tambang, in-vitro Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air rebusan daun ketepeng (Cassia alata L) mempunyai efek antihelmintik terhadap cacing tambang anjing in vitro dengan LC50 36,5 persen walaupun efektifitasnya sebagai antihelmintik lebih rendah daripada pirantel pamoat. Untuk selanjutnya perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap zat aktif yang terkandung dalam daun ketepeng yang memiliki daya antihelmintik. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DPPM) Univervitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Indonesia PDF http://www.uii.ac.id ; http://dppm.uii.ac.id Jurnal Penelitian dan Pengabdian
1
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
DAYA ANTIHELMINTIK AIR REBUSAN DAUN KETEPENG (Cassia alata L) TERHADAP CACING TAMBANG ANJING IN VITRO Titik Kuntari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
ABSTRAK Prevalensi penyakit infeksi cacing tambang di Indonesia masih cukup tinggi. Karena risiko yang ditimbulkan cukup berat, upaya penanggulangan penyakit ini harus dilakukan secara intensif. Usaha tersebut memiliki kendala yaitu harga obat yang dipandang relatif mahal oleh masyarakat, karena itu perlu dilakukan upaya mencari obat tradisional alternatif yang mudah diperoleh dan murah. Salah satu tanaman yang sering digunakan untuk obat cacing adalah Cassia alata L. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya daya antihelmintik air rebusan daun Cassia alata L. Penelitian dilakukan dengan metode Randomized Control Trial melalui dua tahap pengujian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa air rebusan daun ketepeng memiliki efek antihelmintik meskipun efektifitasnya lebih rendah daripada pirantel pamoat. Keywords: daya antihelmintik, daun ketepeng, cacing tambang, in-vitro
I. PENDAHULUAN Perkembangan sosial ekonomi telah menambah kompleks masalah kesehatan di Indonesia. Pada saat penyakit infeksi masih belum dapat dikendalikan dengan baik, penyakit non infeksi seperti penyakit degeneratif, keganasan, jantung dan sebagainya mulai meningkat, sehingga terjadi beban ganda1. Penyakit cacing merupakan salah satu penyakit yang banyak terdapat di negara tropis dan berkembang. Insiden penyakit ini meningkat dengan luasnya tanah untuk pertanian dan banyaknya mobilitas masyarakat. Penyakit cacing, khususnya yang menimbulkan infeksi pada usus, merupakan salah satu penyakit parasit dengan prevalensi tinggi sehingga senantiasa menjadi masalah kesehatan yang penting2. Penyakit cacing terdapat luas di seluruh Indonesia yang beriklim tropis, terutama di pedesaan, daerah kumuh dan daerah yang padat penduduknya. Prevalensi kecacingan di Indonesia antara 60-90 persen. Semua umur dapat terinfeksi cacing dan prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak. Penyakit ini erat hubungannya dengan sosial ekonomi, kebersihan diri dan lingkungan3. Penyakit kecacingan mempunyai dampak ekonomi yang sangat luas karena menurunkan produktivitas kerja dan kualitas sumber daya manusia. Pada anak, infeksi ini bisa mengakibatkan kurang gizi dan anemia sehingga akhirnya mengganggu pertumbuhan dan kecerdasannya. Keadaan kekurangan gizi dan kemampuan kognitif ini dapat menurunkan kualitas manusia 1,4.
2
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Obat cacing yang beredar di apotek dan toko obat umumnya mempunyai banyak efek samping dan beberapa obat cacing seperti mebendazol mempunyai efek teratogenik sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil5. Masyarakat juga belum banyak menggunakan obat cacing secara periodik dengan alasan tertentu, misalnya harga obat tersebut dirasa cukup mahal untuk golongan masyarakat tertentu yang justru cukup tinggi kemungkinan terkena infeksi ini 2. Masyarakat Indonesia, terutama di pedesaan, sampai saat ini masih banyak yang mengobati diri sendiri dengan obat tradisional yang merupakan pengetahuan turun- temurununtuk mengobati anak yag kurang nafsu makan karena kecacingan. Tetapi ternyata masih banyak obat cacing dari alam Indonesia yang belum dibuktikan secara ilmiah. Ketepeng (Cassia alata) merupakan salah satu tanaman obat yang sering digunakan sebagai obat cacing tetapi belum dibuktikan secara ilmiah. Hal inilah yang mendorong dilakukannya penelitian tentang efek antihelmintik air rebusan daun ketepeng terhadap cacing tambang anjing secara in vitro. II. METODE PENGUMPULAN DATA Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Randomized Control Trial. Penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama bertujuan untuk mencari serial konsentrasi air rebusan daun ketepeng yang akan digunakan pada uji tahap dua. Pada uji tahap dua, dilakukan perendaman cacing kait anjing dalam tiap konsentrasi air rebusan daun ketepeng yang telah diperoleh pada uji tahap satu dan diamati jumlah cacing yang mati setiap jamnya selama enam jam. Uji tahap satu dan dua menggunakan air garam faali sebagai kontrol. Uji tahap dua juga menggunakan pirantel pamoat LD50 sebagai pembanding. Cacing tambang anjing diperoleh dari usus halus anjing yang baru disembelih. Cacing dipilih yang memiliki ukuran tubuh hampir sama besar dengan tidak membedakan spesies kemudian dikelompokkan secara acak. Uji Tahap I Tahap pertama adalah tahap pembuatan air rebusan daun ketepeng. Dipilih daun ketepeng yang baik, kemudian dicuci bersih. Daun kemudian direbus dengan air sehingga volume air menjadi tinggal tiga perlima dari volume awal. Berat kering daun ketepeng adalah 28 persen dari berat basah, jadi jika 100 gram daun ketepeng segar direbus sampai air rebusan tinggal 100 ml, konsentrasi air rebusan tersebut dianggap 28 persen. Untuk memperoleh air rebusan dengan konsentrasi yang lebih rendah, air rebusan ditambah dengan larutan garam faali dengan rumus V1xC1=V2xC2 dimana V1 adalah volume awal, C1 adalah konsentrasi awal, V2 adalah volume akhir dan C2 adalah konsentrasi akhir. Pada percobaan ini, dibuat serial air rebusan daun ketepeng dengan konsentrasi 28 persen, 22,4 persen, 16,8 persen, 11,2 persen, 8,4 persen, 5,6 persen dan 2,8 persen. Masing- masing diambil sebanyak 25 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri. Pada petri untuk kelompok kontrol dimasukkan 25 ml garam faali.
3
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Kemudian dilakukan pengambilan cacing tambang dari usus anjing. Usus anjing yang baru disembelih dipotong membujur, isinya idtmapung dalam ember. Mukosa usus kemudian dikerok untuk melepas cacing yang mungkin melekat pada mukosa. Isi usus kemudian disaring pada air mengalir dan satu persatu cacing yang masih hidup diambil dengan spuit. Kemudian ke dalam masing- masing konsentrasi rebusan dan kontrol, dimasukkan 10 ekor cacing tambang anjing. Kematian cacig dihitung setiap jam selama 6 jam6. Uji Tahap II Pada tahap II ini sebanyak 25 ml dari masing-masing konsentrasi air rebusan daun ketepeng yang sudah diperoleh pada uji tahap I, garam faali dan pirantel pamoat 0,236persen dimasukkan ke dalam cawan petri. Kemudian, ke dalam masing-masing larutan tersebut kita masukkan 10 ekor cacing tambang anjing. Kematian kita mati tiap jam selama 6 jam. Percobaan ini kita ulang sebanyak 3 kali. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Uji tahap I dilakukan dengan mengamati jumlah cacing tambang anjing yang mati mati pada perendaman dengan berbagai konsentrasi air rebusan daun ketepeng selama 6 jam. Waktu 6 jam mengacu pada penelitian sebelumnya6. Hasil uji tahap 1 disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Persentase Kematian Cacing Tambang dalam Berbagai Konsentrasi Air Rebusan Daun Ketepeng * Waktu (jam)
Persentase Kematian Cacing Tambang dalam Air Rebusan Daun Ketepeng konsentrasi (%) 28% 22,4% 16,8% 11,2% 8,4% 5,6% 2,8%
I 0 0 0 0 0 0 II 0 0 0 0 0 0 III 20 20 0 0 0 0 IV 40 30 10 0 0 0 V 40 30 10 10 0 0 VI 60 40 30 10 0 0 Keterangan: * Jumlah sampel tiap-tiap kelompok adalah 10 ekor
0 0 0 0 0 0
Kontrol Garam Faali 0 0 0 0 0 0
Hasil uji tahap I didapatkan serial konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian cacing kira-kira 10 persen sampai 60 persen, sehingga pada penelitian tahap II ditentukan serial konsentrasi dengan konsentrasi terrendah 11,2 persen dan konsentrasi tertinggi 39,2 persen dengan harapan konsentrasi tertinggi air rebusan dapat menyebabkan kematian cacing hampir 90 persen. Hasil uji tahap II disajikan lengkap pada tabel 2 berikut ini.
4
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Tabel 2. Persentase Kematian Cacing Tambang dalam Berbagai Konsentrasi Air Rebusan Daun Ketepeng Selama 6 jam perendaman* Konsentrasi (%)
Replikasi 2
Jumlah Cacing yang 1 3 mati 39,2 6 9 10 25 33,6 4 7 7 18 28 1 6 6 13 22,4 1 3 3 7 16,8 0 3 2 5 11,2 0 2 2 4 Garam faali 0 0 0 0 Keterangan: * Jumlah sampel tiap-tiap kelompok adalah 10 ekor
Persentase (%) 83,33 60 43,33 23,33 16,67 13,33 0
Kematian pada kelompok kontrol adalah 0 persen sehingga tidak perlu dikoreksi dengan formula Abbot7. Data dari uji tahap II selanjutnya dianalisis menggunakan analsiis probit untuk mengetahui daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Hasil Analisis Probit untuk Pengujian Daya Antihelmintik Air Rebusan Daun Ketepeng Persentase Kematian (%) 10 30 50 70 90
Konsentrasi Air Rebusan Daun Ketepeng 17,4 26,9 36,5 49,4 76,6
Batas Bawah (%) 14,0 23,8 30,9 38,3 50,9
Batas Atas (%) 21,6 30,5 43,0 63,8 115,4
Dari hasil analisis probit didapatkan LC50 air rebusan daun ketepeng adalah 36,5 persen dan LC90-nya adalah 76,6 persen. Heterogenitas pada percobaan ini tidak bermakna (X2=5,396, p>0,05). Ini berarti bahwa respon cacing tambang terhadap air rebusan daun ketepeng adalah homogen. Selanjutnya dilakukan analisis Probit untuk membandingkan daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng 39,2 persen dengan Pirantel Pamoat LD50 dengan larutan garam faali sebagai kontrol. Konsentrasi 39,2 persen merupakan konsentrasi yang paling mendekati LC50 air rebusan daun ketepeng. Perbandingan dilakukan dengan melihat perbedaan LT 50 keduanya. Dari hasil analisis Probit didapatkan LT50 air rebusan daun ketepeng adalah 3 jam 58 menit dengan kisaran batas atas 4 jam 26 menit dan kisaran batas bawah 3 jam 33 menit. Heterogenitas respon cacing tidak bermakna (X2= 1,93, p>0,05). Hasil analisis Probit untuk mengetahui LT50 air rebusan daun ketepeng secara lengkap disajikan pada tabel 4 berikut ini.
5
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
Tabel 4. Hasil Analisis Probit untuk Mengetahui LT50 Air Rebusan Daun Ketepeng 39,2 persen Persentase Waktu (jam) Batas Bawah (jam) Batas Atas (jam) Mortalitas (%) 10 2,09 1,68 2,59 30 3,05 2,67 3,49 50 3,97 3,55 4,43 70 5,16 4,48 5,94 90 7,55 5,99 9,51 LT50 pirantel pamoat 0,236 persen pada percobaan ini adalah 2 jam 41 menit dengan kisaran batas atas 3 jam 21 menit dan kisaran batas bawah 2 jam 9,6 menit. Hasil analisis Probit untuk mengetahui LT50 pirantel pamoat 0,236 persen secara lengkap disajikan pada tabel 5. heterogenitas respon cacing tambang terhadap pirantel pamoat bermakna (X2= 10,94, p<0,05). LT90 dari pirantel pamoat 0,236 persen adalah 5 jam 36 menit dengan kisaran batas atas 7 jam 44 menit dan kisaran batas bawah 4 jam 2 menit. Tabel 5. Hasil Analisis Probit untuk Mengetahui LT50 Pirantel Pamoat 0,236 persen Persentase Waktu (jam) Batas Bawah (jam) Batas Atas (jam) Mortalitas (%) 10 1,30 0,84 2,01 30 1,99 1,50 2,66 50 2,69 2,16 3,35 70 3,63 2,91 4,51 90 5,58 4,03 7,72 B. Pembahasan Untuk mengetahui daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng terhadap cacing tambang secara in vitro, penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap I, dilakukan perendaman cacing tambang dalam beberapa konsentrasi air rebusan daun ketepeng untuk mengetahui serial konsentrasi yang dapat membunuh cacing kira-kira 5 sampai 95 persen. Sebagai kontrol, digunakan NaCl faali karena bersifat isotonis sehingga tidak merusak membran sel tubuh cacing. Hasil uji tahap I ini menunjukkan rentang konsentrasi yang dapat dipakai pada uji tahap II adalah 11,2 sampai 39,2 persen. Dari uji tahap I ini dapat dilihat bahwa air rebusan daun ketepeng mempunyai efek antihelmintik in vitro. Pada uji tahap II, cacing tambang direndam pada serial konsentrasi air rebusan daun ketepeng yang diperoleh pada uji tahap I. Hasil uji tahap II ini digunakan untuk mengetahui LC50 dan LC90 air rebusan daun ketepeng. Dengan analisis Probit diperoleh hasil bahwa LC50 dan LC90 air rebusan daun ketepeng adalah 36,5 persen dan 76,6 persen. Artinya pada konsentrasi 36,5 persen, air rebusan daun ketepeng dapat membunuh 50 persen cacing tambang uji. Kemudian analisis Probit dilakukan untuk membandingkan daya natihelmintik air rebusan daun ketepeng 39,2 persen, yaitu konsentrasi yang paling mendekati LC50, dengan pirantel pamoat 6
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
0,236 persen sebagai drug of choice infeksi cacing tambang. Dari analisis Probit ini didapatkan bahwa LT50 air rebusan dauk ketepeng pada konsentrasi 39,2 persen adalah 3 jam 58 menit. Ini berarti bahwa dalam waktu 3 jam 58 menit, jumlah cacing tambang yang mati mencapai 50 persen. Angka tersebut jauh di atas nilai LT50 pirantel pamoat 0,236 persen yaitu 2 jam 41 menit. Hal tersebut menunjukkan bahwa efektifitas air rebusan ketepeng sebagai antihelmintik lebih rendah daripada efektifitas pirantel pamoat yang memang obat pilihan untuk infeksi cacing tambang, dalam waktu yang sama pirantel pamoat akan membunuh lebih banyak cacing dibandingkan air ebusan daun ketepeng. Untuk lebih jelas, perbedaan garis regresi probit antara keduanya dapat dilihat pada gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Perbedaan Garis Regresi Probit LT50 Air Rebusan Daun Ketepeng 39,2 persen dengan Garis Regresi Probit LT50 Pirantel Pamoat 0,236 persen Meskipun efek antihelmintik air rebusan daun ketepeng rendah, bukan berarti daun ketepeng tidak efektif untuk digunakan sebagai obat cacing karena bahan uji yang digunakan disini adalah air rebusan dan bukan ekstrak. Bahan ini masih mengandung bahan lain di samping bahan aktif antihelmintik dan kadar antihelmintiknya tentu lebih rendah jika dibandingkan dalam bentuk ekstrak. Jika bahan aktif antihelmintik bisa dipisahkan, kemungkinan daya antihelmintiknya akan lebih besar. Kemampuan air rebusan daun ketepeng untuk membunuh cacing tambang mungkin disebabkan karena adanya senyawa aktif tertentu yang terkandung di dalamnya. Daun Cassia alata L diketahui mengandung alkaloid, flavonoid, tani dan antrakinon8. senyawa saponin 7
Jurnal Penelitian & Pengabdian dppm.uii.ac.id
mempunyai efek menghambat kerja enzim khemotripsin, kholinesterase dan preoteinase9. Daya antihelmintik air rebusan daun ketepeng diduga disebabkan oleh senyawa aktif saponin yang menghambat kerja kholinesterase sehingga cacing akan mengalami paralisis spastik otot yang akhirnya dapat menimbulkan kematian. IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air rebusan daun ketepeng (Cassia alata L) mempunyai efek antihelmintik terhadap cacing tambang anjing in vitro dengan LC50 36,5 persen walaupun efektifitasnya sebagai antihelmintik lebih rendah daripada pirantel pamoat. Untuk selanjutnya perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap zat aktif yang terkandung dalam daun ketepeng yang memiliki daya antihelmintik. DAFTAR PUSTAKA
1. Alisah, S., Abidin, N., Sunkar, S. 1997. Beberapa Infeksi Parasitik Masa Lampau dan Masa 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kini. Majalah Kedokteran Indonesia : 47 (9): 453-4 Kuswinarti. 1993. Penelitian In Vitro terhadap Tanaman yang Dikenal sebagai Obat Cacing. Majalah Kedokteran Bandung. XXV (3): 100-3 Tjitra, E. 1991. Penelitian- Penelitian Soil Transmitted Helminth di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran no 72: 12-5 Rahmat, E.S., Setianingrum, S.W. 1987. Perbandingan Efektivitas Pengobatan Cacingan dengan Piperazin v.s. Levamisol pada Murid SD. Majalah Kedokteran Indonesia: 47 (9): 435-8 Iskandar, E.Y., Suganda, A.G., S, Ana., Wari, R.D., Kristiana. 1997. Efek Antihelmintik Zingiber zerumber, Zingiber cassumunar dan Curcuma xanthorrhiza terhadap Cacing Ascaris summ. Majalah Farmasi Indonesia: 8 (1):12-3 Mulyaningsih,B., 1987. Khasiat Rimpang Temu Lawak (Curcuma rhizoma) terhadap Cacing Tambang Anjing in Vitro. Laporan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Umniyati,S.R., 1990. Analisis Probit secara Aritmatis untuk Pengujian Toksisitas Insektisida terhadap Serangga. Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Syamsuhidayat,S.S., Hutapea,J.R., 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. DEPKES RI. Jakarta Liener, I.E., 1969. Toxic Constituens of Plant Foodstuffs. Academic Press. New York
8