IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR SATUAN PETA TANAH SEMI DETAIL MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT-7 ETM DAN MODEL ELEVASI DIGITAL DI DAERAH BOGOR
Oleh SUKARMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
3
IDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR SATUAN PETA TANAH SEMI DETAIL MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT-7 ETM DAN MODEL ELEVASI DIGITAL DI DAERAH BOGOR
SUKARMAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Identifikasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah Semi Detail Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan Model Elevasi Digital di Daerah Bogor, disusun dengan sebenar-benarnya berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Karya tulis ilmiah ini merupakan gagasan atau hasil disertasi saya di bawah bimbingan ketua komisi dan anggota komisi, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bahan pembuatan disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar doktor atau pada program sejenis di perguruan tinggi lain.
Semua data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Bogor, Nopember 2005 Yang membuat pernyataan
(Sukarman)
Judul Disertasi
: Identifikasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah Semi Detail Menggunakan Citra Landsat-7 ETM dan Model Elevasi Digital di Daerah Bogor.
Nama Mahasiswa
: Sukarman
NRP
: P.02600005
Program Studi
: Ilmu Tanah
MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. Ketua
Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc. Anggota.
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Anggota
2. Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS.
Tanggal Ujian: 7 September 2005
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Anggota
Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc. Anggota
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto MSc.
Tanggal Lulus 12 Desember 2005
PRAKATA
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala Rahmat dan KaruniaNya yang dilimpahkan kepada penulis sehingga selesainya penulisan desertasi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, MSc. sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan kepada Bapak
Dr. Ir. Budi Mulyanto,
Prof. Dr. Ir.
Sudarsono, MSc,
Dr. Ir.
Muhammad Ardiansyah, dan Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran-sarannya mulai dari rencana penelitian hingga terwujudnya tulisan ini.
Kepada Ibu Dekan Sekolah
Pascasarjana IPB, serta Ketua Program Studi Ilmu Tanah dan seluruh jajarannya penulis ucapkan banyak terima kasih atas semua pelayanan yang diberikan selama mengikuti pendidikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, yang telah memberikan izin untuk mengikuti program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan yang sama penulis sampaikan Kepada Pemimpin
Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP), Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dukungan dana selama mengikuti pendidikan dan penelitian di IPB tersebut. Kepada Ketua Kelompok Peneliti Penginderaan Jauh Balittanah dan stafnya, penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya selama menggunakan laboratorium.
Kepada Ibu Ir. Ita Carolita MSi dan Ir Kustiyo MSi dari
Lapan penulis ucapkan banyak terima kasih atas bantuan data pendukung penelitian yang diberikan kepada penulis. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada Sdr. Herres Suhirman dan Cahaya Budiman yang telah membantu penulis selama melakukan
penelitian
di
lapangan.
Kepada
teman-teman
sejawat
di
iii
Puslitbangtanak, Dr Agus Sofyan, Dr A. Hidayat, Ir Anny Mulyani MS, Ir Suparto MP dan Ketua Kelti Pedologi, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya.
Hal yang senada juga penulis sampaikan kepada teman-teman
mahasiswa Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pasca Sarjana IPB atas segala dorongan dan saran-saran yang diberikan kepada penulis. Penghargaan yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Tinie Suprihatini serta anak-anak Rizki Meikandani, Riky Paskandani serta Lucky Adhandani atas segala pengertian, pengorbanan serta ketabahannya selama penulis mengikuti pendidikan ini.
Ucapan terima kasih khusus kepada anakku yang sulung
Zaki Primadani atas semua kerelaannya dalam membantu biaya keluarga selama ini, meskipun masih berstatus mahasiswa S1.
Penulis juga mohon maaf kepada kedua
orangtua penulis di Ciamis, karena penulis kurang sekali membantu beliau dikala usianya semakin senja dan semakin perlu bantuan.
Kepada semua saudara yang
tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih atas segala bantuannya selama penulis mengikuti pendidikan ini. Dengan rasa rendah hati penulis menyadari bahwa tulisan ini masih mengandung kekurangan, namun demikian semoga hasil karya ini dapat berguna khususnya bagi penulis umumnya untuk para pembaca semua.
Bogor, Nopember 2005 Penulis
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 12 September 1956 dari pasangan Bapak Kartawisastra dan Ibu Sumiarsih. Penulis merupakan anak sulung dari tujuh bersaudara. Pendidikan pascasarjana S2 diperoleh dari Fakultas Pascasarjana, IPB, program studi Ilmu Tanah pada tahun 1990.
Kesempatan untuk melanjutkan ke
program doktor pada program studi yang sama diperoleh pada tahun 2000. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sejak tahun 1979. pemetaan dan klasifikasi tanah.
Bidang penelitian yang digelutinya adalah bidang Selama
bekerja
sebagai
peneliti,
penulis
berkecimpung dalam berbagai kegiatan survei pemetaan tanah mulai dari pemetaan tanah detail sampai pemetaan tanah tinjau di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Penulis juga menjadi anggota Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). Berbagai karya ilmiah telah diterbitkan di berbagai majalah ilmiah di seluruh Indonesia.
Salah satu karya ilmiah yang diterbitkan dalam Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian pada tahun 1998 berjudul Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Lahan untuk Meningkatkan Produksi Pangan di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Artikel lain yang merupakan bagian dari penelitian program S3 penulis, telah diterbitkan dalam Jurnal Tanah dan Iklim (Indonesian Soil and Climate Journal) Nomor 22, Desember 2004 yang berjudul Penggunaan Model Elevasi Digital untuk Analisis Landform Daerah Volkanik dan Hubungannya dengan Satuan Tanah di Cisarua, Bogor.
v
Penulis menikah dengan Tinie Suprihatini pada tahun 1981 dan telah dikarunia empat orang putra yaitu: Zaki Primadani (23 tahun), Rizki Meikandani (21 tahun), Riky Paskandani (16 Tahun) dan Lucky Adhandani (11 tahun).
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
ix
DAFTAR PETA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xiii
DAFTAR GAMBAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
xvi
PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
1
Tujuan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
3
Hipotesis Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4
TINJAUAN PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
Peta Tanah dan Satuan Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
Peta Tanah .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
5
Konsep Penyusunan Satuan Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . .
6
Unsur-unsur Satuan Peta Tanah
..................... .
8
Kualitas Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
9
Ketelitian dan Ketepatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
10
Kemurnian
.......................................
11
Penggunaan Citra Satelit dalam Pemetaan Tanah . . . . . . . . . . . . . . .
12
Penggunaan Model Elevasi Digital (DEM) dalam Pemetaan Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
18
Interpretasi Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
20
Deskripsi Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23
Lokasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
23
Geologi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
25
Iklim
............................................
28
METODE PENELITIAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Lokasi dan Waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
31 31
Bahan dan Peralatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Metode . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
32 32
Pengolahan Citra Landsat-7 ETM dan Pembuatan DEM . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pengamatan Lapang dan Interpretasi Data . . . . . . . . . . . . . .
34 39
Evaluasi Hasil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
42
vii
HASIL DAN PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
46
Tampilan Model Elevasi Digital (DEM) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Penyusunan dan Delineasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah . . . . . .
46 47
Landform Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Relief Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Bahan induk Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
47 83 105
Satuan Tanah di Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Hubungan Tanah dengan Indeks Kecerahan, Kehijauan dan Kebasahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . Peta Tanah Semi Detail . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
114
Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Lokasi Cibinong . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Karakteristik Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
147 153 158
Kualitas Peta Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Interpretasi Peta . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
160 163
Efisiensi Metode Pemetaan Tanah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . Pembahasan Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
166 169
132 141 142
KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
176
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
179
DAFTAR SINGKATAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 186 LAMPIRAN-LAMPIRAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 187
viii
DAFTAR TABEL Nomor
1. 2. 3.
4. 5. 6.
7. 8. 9. 10.
11. 12. 13. 14.
Teks
Halaman
Kualitas/karakteristik Lahan yang Digunakan dalam Klasifikasi Kemampuan Lahan dan Klasifikasi Kesesuaian Lahan . . . . . . . .
22
Curah Hujan, Bulan Defisit air, Zone Agroklimat di Daerah Penelitian dan Sekitarnya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
29
Temperatur Udara dan Tanah Rata-rata Bulanan dan Tahunan di Daerah Darmaga, pada Ketinggian 50 dpl dan Pada Ketinggian 1.160 meter dpl . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
30
Klasifikasi Relief dan Kelas Lereng yang Digunakan Dalam Analisis Citra Landsat-7 ETM dan DEM . . . . . . . . . . . . . . . . . .
35
Beberapa Contoh Penamaan Landform Berdasarkan Atribut Landform yang Terbentuk . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
38
Satuan Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
52
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cisarua. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
59
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
60
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . .
61
Satuan landform hasil analisis citra Landsat-7 ETM, DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM di lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
67
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di lokasi Cigudeg. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
73
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis DEM di Lokasi Cigudeg. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
74
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . .
75
Satuan Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
81
ix
Nomor 15.
16.
17. 18. 19. 20.
21. 22. 23. 24.
25.
26.
27.
Teks
Halaman
Matriks Uji Ketepatan Peta LandformHasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
83
Legenda Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
84
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cisarua . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
90
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
91
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua. . . . . . . . .
91
Legenda Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
96
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cigudeg . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
97
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis DEM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
98
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg. . . . . . . . .
99
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 TM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
104
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah yang Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cisarua .. . . . . . . . . . . . . . . .
115
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah yan g Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cigudeg .. . . . . . . . . . . . . . .
120
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah yang Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cibinong . . . . . . . .. . . . . . . .
125
28.
Kisaran Jumlah Satuan Tanah (Tingkat Famili, Subgroup, Great Grup) pada Setiap Metode yang Digunakan . . . . . . . . . . . 131
29.
Persentase Rata-rata Tingkat Kebenaran Hasil Pemisahan Sifat-sifat Tanah di Ketiga Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . .
133
x
Nomor 30.
31. 32. 33. 34. 35. 36.
Teks
Halaman
Persamaan Regresi dan Koefisien Korelasi antara Komponen Kecerahan dan Kebasahan pada Kebun Singkong dan Kebun Bambu di Daerah Cibinong . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
139
Karakteristik Peta Tanah Hasil Tiga Metode Analisis di Lokasi Cisarua, Cigudeg dan Cibinong, skala 1 : 50.000 . . . . . . . . . .
159
Hasil Penilaian Kualitas Peta Tanah dan tekstur Peta di Tiga Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
161
Sistem Evaluasi Lahan yang Dapat Digunakan pada Setiap Peta Tanah yang Dihasilkan oleh Suatu Metode Analisis . . . .
163
Nilai Efisiensi Relatif (ER) Waktu Pekerjaan Pemetaan Tanah Di Tiga Lokasi Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
167
Nilai Efisiensi Relatif (ER) Biaya Pekerjaan Pemetaan Tanah Di Tiga Lokasi Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
168
Metode Analisis Terpilih untuk Pemetaan Tanah Semi Detail Berdasarkan Urutan Kualitas Peta Tanah di Setiap Karakteristik Wilayah Lokasi Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . .
171
Lampiran 1.
Sifat-sifat Morfologi Profil Pewakil Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . .
188
2.
Hasil Analisis Kimia, Fisik Beberapa Profil Pewakil di Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
194
Nilai Masing-masing Komponen Kecerahan, Kehijauan dan Kebasahan Hasil Analisis Transformasi Tesseled Cap Pada Setiap Tanah di Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . .
200
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . .
212
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis DEM di Daerah Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
214
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Perpaduan Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . .
217
7.
Legenda Peta Tanah Semi Detail Acuan di Lokasi Cisarua . . . . . . . .
221
8.
Hasil Uji Kemurnian Satuan tanah pada Setiap Satuan Peta Tanah Berdasarkan Hasil Ketiga Metode Analisis di Lokasi Cisarua. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
224
3.
4. 5. 6.
xi
Nomor 9.
Teks
Halaman
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . .
225
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis DEM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
228
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Perpaduan Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . .
232
12.
Legenda Peta Tanah Semi Detail Acuan di Lokasi Cigudeg . . . . . . .
236
13.
Hasil Uji Kemurnian Satuan tanah pada Setiap Satuan Peta Tanah Berdasarkan Hasil Ketiga Metode Analisis di Lokasi Cigudeg. . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
240
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cibinong . . . . . . . . . . . . . . . . . .
242
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Metode Analisis DEM di Lokasi Cibinong . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
243
Legenda Peta Tanah Semi Detail Hasil Perpaduan Metode Analisis Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. .
244
17.
Legenda Peta Tanah Semi Detail Acuan di Lokasi Cibinong . . . . . .
245
18.
Hasil Uji Kemurnian Satuan tanah pada Setiap Satuan Peta Tanah Berdasarkan Hasil Ketiga Metode Analisis di Lokasi Cisarua . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
246
10. 11.
14. 15. 16.
xii
DAFTAR PETA Nomor
Teks
Halaman
1.
Peta Lokasi Daerah Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
24
2.
DEM Daerah Cisarua, Skala 1 : 100.00 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
46
3.
Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cisarua. Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
48
Peta Landform Hasil Analisis DEM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
49
Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan citra Landsat-7 ETM Dengan DEM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . .
50
6.
Peta Landform Acuan di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . .
51
7.
Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 63
8.
Peta Landform Hasil Analisis DEM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
4.
5
64
9.
Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . 65
10.
Peta Landform Acuan di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . .
11.
Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 77
12.
Peta Landform Hasil Analisis DEM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ..
66
78
13.
Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . 79
14.
Peta Landform Acuan di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . 80
15.
Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
86
Peta Relief Hasil Analisis DEM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
87
16. 17.
Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . 88
xiii
Nomor 18.
Teks
Halaman
Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan pengamatan lapangan di daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
89
Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .
92
Peta Relief Hasil Analisis DEM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
93
Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . .
94
22.
Peta Relief Acuan Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . .
95
23.
Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
100
Peta Relief Hasil Analisis DEM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
101
Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . .
102
26.
Peta Relief Acuan Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . .
103
27.
Peta Geologi Daerah Cisarua dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor . .
107
28.
Peta Geologi Daerah Cigudeg dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor . .
110
29.
Peta Geologi Daerah Cibinong dan Sekitarnya, Kabupaten Bogor. .
113
30.
Peta Tanah Bersifat Aquic dan Non Aquic Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . .
136
Peta Tanah Bersifat Aquic dan Non Aquic Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . .
137
Peta Tanah Bersifat Aquic dan Non Aquic Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . .
138
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . .. . . . . . . . . .. . .
143
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis DEM di Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
144
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . .
145
19. 20. 21.
24. 25.
31. 32 33. 34. 35.
xiv
Nomor
Teks
Halaman
36.
Peta Tanah Semi Detail Acuan Daerah Cisarua, Kabupaten Bogor. .
146
37.
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
148
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis DEM di Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
149
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . .. . . .
150
40.
Peta Tanah Semi Detail Acuan Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor .
151
41.
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
154
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis DEM di Daerah Cibinong, Kabupaten Bogor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
155
Peta Tanah Semi Detail Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor . . . . . . . . .. . . . . . . . .
156
Peta Tanah Semi Detail Acuan Daerah Cigudeg, Kabupaten Bogor .
157
38. 39.
42.
43. 44.
xv
DAFTAR GAMBAR Nomor 1.
Teks
Halaman
Kurva Reflektan Spektral Objek Vegetasi, Tanah dan Air Menurut Swain dan Davis (1978) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
14
2.
Diagram Alir Tahapan Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
33
3.
Diagram Pencar Subgrup Oxic Dystrudept/Rhodic Hapludox dan Oxyaquic Dystrudept pada Kebun Singkong Berdasarkan Kombinasi Komponen Kecerahan dan Kebasahan di Daerah Cibinong. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
140
Diagram Pencar Subgrup Oxic Dystrudept/Rhodic Hapludox dan Oxyaquic Dystrudept pada Kebun Bambu Berdasarkan Kombinasi Komponen Kecerahan dan Kebasahan di Daerah Cibinong. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
140
4.
xvi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemetaan tanah semi detail adalah pemetaan tanah yang dilakukan pada skala antara 1 : 25.000 – 1 : 50.000, menggunakan klasifikasi tanah pada kategori famili atau seri dengan fasenya (Soekardi, Suharta dan Ritung, 1989). Pemetaan tanah semi detail (skala 1 : 50.000) yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam pelaksanaan Land Resources Evaluation Planning Project-II (LREPP-II) menggunakan unsur-unsur satuan peta tanah, terdiri dari: satuan tanah, landform, relief dan bahan induk. Satuan tanahnya menggunakan
sistem
klasifikasi
taksonomi
tanah
pada
kategori
seri
(Hardjowigeno, Marsoedi dan Ismangun, 1993). Satuan peta tanah merupakan suatu wilayah yang mempunyai satuan tanah dan faktor lingkungan seragam. Dalam pemetaan tanah semi detail diperlukan sarana bantu untuk mempermudah dan mempercepat pelaksanaannya, diantaranya adalah potret udara.
Potret udara yang tersedia umumnya sudah tidak sesuai lagi dengan
keadaan sebenarnya di lapangan, karena waktu pemotretan dilaksanakan lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tidak semua wilayah di seluruh Indonesia mempunyai potret udara yang sesuai untuk pemetaan tanah semi detail dan jumlah potret udara yang dibutuhkan sangat banyak. Pelaksanaan pemetaan tanah semi detail di lapangan, memerlukan waktu lama dan dana besar, karena harus melakukan penjelajahan lapangan di seluruh daerah pemetaan dan memerlukan jumlah pemeta tanah yang banyak. Daerah pemetaan seringkali mempunyai asesibilitas sulit karena kondisi topografi dan belum adanya jalan yang memadai.
Mengingat kebutuhan data dasar tanah
untuk perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pertanian yang semakin mendesak dan keterbatasan dana, maka diperlukan metode pemetaan tanah yang lebih cepat dan murah tanpa meninggalkan kualitas peta yang dihasilkan.
1
Sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemetaan tanah dapat dibantu dengan menggunakan citra satelit dan model elevasi digital (Digital Elevation Model atau DEM.), sebagai pengganti potret udara.
Citra
satelit merupakan data penginderaan jauh yang menggambarkan keadaan permukaan bumi yang ditangkap oleh sensor suatu satelit, sedangkan DEM adalah gambaran digital secara kontinyu menurut ruang dari suatu keadaan relief (Rossiter, 1994). Citra satelit mulai dimanfaatkan untuk pemetaan tanah pada skala medium (skala 1 : 50.000) sampai skala kecil (skala < 1 : 500.000).
Salah satu
citra satelit yang memungkinkan untuk digunakan sebagai alat bantu pemetaan tanah semi detail adalah citra satelit Landsat-7 ETM (Enhance Thematic Mapper), yang merupakan Landsat generasi terbaru. Citra satelit Landsat-7 ETM ini mempunyai resolusi antara 15 – 30 m dan mempunyai delapan band spektral serta dapat disajikan dalam skala 1 : 50.000 (Hanggono, 1999). Untuk tujuan pemetaan tanah, unsur-unsur satuan peta tanah seperti landform, relief dan satuan tanah dapat didelineasi dengan bantuan citra satelit melalui dua ciri, yaitu ciri spasial dan ciri spektral.
Landform dan relief dapat
dikenal melalui ciri spasial yaitu sifat khas keruangan yang meliputi bentuk, ukuran, bayangan, tekstur dan pola.
Ciri spektral citra satelit dapat digunakan
sebagai indikasi untuk membedakan berbagai jenis tanah. Ciri spektral ialah sifat khas benda atau gejala dari tenaga elektromagnetis yang dipantulkannya. Pemanfaatan citra satelit untuk analisis landform dan relief sebagai unsur satuan pemetaan tanah tinjau telah dilakukan oleh Marsoedi (1981); Wahyunto, Marsoedi dan Djaenudin (1988); Deri, Marsoedi dan Wahyunto (1988); dan Dobos et al, (2000).
Analisis tersebut dilakukan secara visual dan hasilnya
mendapatkan bahwa citra satelit sangat membantu identifikasi dan delineasi landform dan relief untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1 : 250.000 - 1:500.000). Penelitian pemanfaatan ciri spektral citra satelit (antara lain Landsat) untuk mempelajari hubungannya dengan penyeberan tanah telah dilakukan oleh 2
beberapa peneliti.
Hasilnya menunjukkan bah wa karakteristik spektral citra
ternyata dapat dijadikan indikasi untuk membedakan tanah sampai tingkat sub ordo dan subgrup (Stoner dan Braumgardner, 1981; Thompson dan Henderson, 1984), dan tipe tanah (Goosens dan van Ranst, 1998).
Penelitian-penelitian
tersebut lebih banyak dilakukan di daerah beriklim kering (arid atau semi arid) atau pada daerah yang bervegetasi seragam.
Namun di daerah tropika basah
dijumpai berbagai masalah seperti sebagian wilayahnya tertutup hutan atau penggunaan lahannya tidak seragam, sehingga hasil-hasil penelitian tersebut belum tentu sesuai dengan daerah tropika basah. Model elevasi digital (DEM) dapat digunakan untuk analisis landform, relief dan aplikasi spasial lainnya. DEM dapat dibuat dari peta topografi digital pada berbagai skala mulai dari detail sampai eksplorasi. DEM juga dapat dibuat dari potret udara dan citra satelit tiga dimensi.
Dari DEM dapat dianalisis
berbagai atribut landform seperti: kemiringan lereng, arah lereng, bentuk lereng, panjang lereng dan profil lereng (Odeh, Bratney dan Chittleborough, 1994; Thompson, Bell dan Buttler, 2001). Hasil-hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang erat antara atribut landform dengan tanah.
Berdasarkan hal
tersebut, maka DEM dapat digunakan untuk mempe lajari hubungan antara landform dengan tanah. Uraian tersebut di atas memberi gambaran masih terdapat peluang untuk memperbaiki metode pemetaan tanah dengan menggunakan citra satelit dan DEM agar diperoleh metode pemetaan yang lebih cepat dan murah.
Tujuan Penelitian Sehubungan dengan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan utama untuk mendelineasi dan mengidentifikasi unsur-unsur satuan peta tanah semi detail menggunakan bantuan citra Landsat-7 ETM dan DEM. Unsur-unsur yang dijadikan satuan peta tanah adalah landform, relief, bahan
3
induk dan satuan tanah, seperti yang digunakan dalam pemetaan tanah semi detail LREPP-II.
Dalam penelitian ini, unsur-unsur satuan peta tanah yang
didelineasi dan diinterpretasi dari citra Landsat-7 ETM dan DEM hanya landform, relief dan satuan tanah, sedangkan bahan induk diinterpretasi dari peta geologi. Satuan tanah yang digunakan adalah tingkat famili dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah.
Sejalan dengan tujuan utama tersebut maka tujuan spesifik
dari penelitian ini adalah : 1.
Mencari manfaat citra Landsat-7 ETM, DEM atau perpaduan keduanya untuk membantu delineasi dan identifikasi unsur-unsur satuan peta tanah semi detail, terutama landform, relief dan satuan tanah.
2.
Mencari metode pemetaan tanah yang sesuai digunakan untuk pemetaan tingkat semi detail skala 1 : 50.000 dengan bantuan citra Landsat-7 ETM dan DEM.
3.
Menilai kualitas peta tanah semi detail skala 1 : 50.000 yang dihasil kan dengan bantuan citra Landsat-7 ETM, DEM dan perpaduan keduanya.
Hipotesis Penelitian
1.
Citra Landsat-7 ETM
(kombinasi band 5-4-2 atau hasil transformasi
tesseled cap) atau perpaduannya dengan DEM dapat digunakan untuk membantu identifikasi dan delineasi unsur-unsur satuan peta tanah semi detail terutama landform, relief dan menginterpretasi satuan tanah. 2.
Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM merupakan metode yang baik dalam membantu pemetaan tanah semi detail dibanding dengan pemetaan konvensional.
3.
Penggunaan citra Landsat-7 ETM dan perpaduannya dengan DEM mempengaruhi kualitas peta tanah semi detail yang dihasilkan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Peta Tanah dan Satuan Peta Tanah
Peta Tanah Peta tanah adalah peta yang menggambarkan penyebaran jenis-jenis tanah di suatu daerah.
Pada peta ini terdapat legenda yang secara singkat
menerangkan satuan tanah dan faktor-faktor lingkungannya dari masing-masing satuan peta tanah, serta dilengkapi dengan buku laporan yang memuat uraianuraian lebih lengkap. Pada dasarnya peta tanah dibuat untuk tujuan pertanian maupun non pertanian seperti dalam bidang perekayasaan dan pengembangan daerah rekreasi (Hardjowigeno, 1995). Jenis peta tanah yang dihasilkan dari suatu survei tanah tergantung dari intensitas pengamatan tanah di lapangan dan skala peta. Menurut Soekardi et al. (1989) di Indonesia khususnya yang dikembangkan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dikenal tujuh jenis peta tanah, yaitu: ultra detail (skala 1:> 5.000), detail (sakala 1:5.000-10.000), semi detail (skala 1:25.000-50.000), tinjau mendalam (skala 1:50.000-100.000), tinjau (skala 1:100.000-500.000), eksplorasi (skala 1:1.000.000-2.500.000) dan bagan (skala < 1:2.500.000).
Setiap tingkat peta tanah mempunyai satuan tanah yang
disesuaikan dengan kategori dari klasifikasi tanah. Mengingat skala peta dan tingkat kerincian informasi tanah berbedabeda, maka setiap jenis peta tanah juga mempunyai kegunaan berbeda-beda pula.
Peta tanah detail biasanya digunakan untuk
tujuan-tujuan praktis,
misalnya perencanaan detail dari usaha tani, pola tan am, konservasi tanah, kebun-kebun percobaan dan sebagai dasar alih teknologi. Peta tanah semi detail digunakan untuk studi kelayakan, perencanaan fisik, rencana irigasi dan transmigrasi. Peta tanah tinjau mendalam umumnya digunakan untuk keperluan
5
perencanaan kota atau pengembangan daerah yang lebih mendalam, mencari hubungan antara tanah dan penggunaannya, pengelolaan usaha tani, serta pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
Peta tanah tinjau digunakan untuk
perencanaan makro di tingkat propinsi atau regional. tingkat nasional digunakan peta tanah eksplorasi.
Untuk perencanaan di Peta bagan dibuat untuk
tujuan memberikan gambaran tentang tanah pada tingkat nasional dan international. Disamping itu, peta ini dapat digunakan untuk tujuan studi geografi dan perencanaan global (Soekardi et al., 1989) Wilayah Indonesia yang sudah dipetakan tanahnya masih sangat sedikit. Sampai tahun 2003 baru sekitar 55 persen dari wilayah Indonesia yang telah dipetakan tanahnya pada tingkat tinjau
(skala 1: 250.000) dan umumnya
mencakup Kawasan Barat Indonesia,
sedangkan untuk Kawasan Timur
Indonesia baru mencapai 21 persen dari wilayah Indonesia. Untuk pemetaan semi detil baru mencapai 10,4 persen. Daerah yang belum dipetakan umumnya sulit dijangkau karena kondisi topografi dan keterbatasan asesibilitasnya (Suharta dan Subagjo, 2000). diperlukan terobosan-terobosan
Agar seluruh Indonesia dapat dipetakan baru
dengan
mencari
alternatif
metode
pemetaan yang lebih cepat dan murah. Pemanfaatan citra satelit sebagai salah satu alternatif metode pemetaan, perlu dikaji dan diteliti dengan seksama.
Konsep Penyusunan Satuan Peta Tanah Masalah mendasar yang selalu diperdebatkan dalam pemetaan tanah adalah penarikan batas (delineasi) satuan peta tanah. Berbagai konsep untuk mengatasi masalah tersebut telah banyak dilakukan. Salah satu konsep yang mengemukakan cara-cara survei tanah yang didasarkan kepada pendekatan landform. Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui suatu evolusi tertentu pula (Marsoedi et al., 1997). Pemahaman
yang mendorong
6
digunakannya pendekatan landform ini adalah bahwa pada pemetaan tanah berskala kecil, batas-batas penyebaran tanah sulit ditentukan, sebaliknya batasbatas landform tampak lebih jelas. Pemakaian atribut landform sebagai unsurunsur satuan peta telah dimulai sekitar tahun 1975 bertepatan dengan pemanfaatan teknik penginderaan jauh di Indonesia pada tahun 1977/1978. Catalogue of Landform for Indonesia (Dessaunettes, 1977) banyak digunakan sebagai dasar tentang pembagian morfologi landform untuk pemetaan tanah. Oleh karena itu dalam pemetaan tanah tinjau atau yang lebih kecil, interpretasi citra berdasarkan pengetahuan geomorfologi menjadi sangat penting peranannya dan biasanya menjadi dasar kerja bagi pemetaan tanah tinjau (Hidayat dan Darul, 1991). Penelitian mengenai hubungan antara pola penyebaran tanah dengan atribut landform banyak dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri. Penelitian yang dilakukan oleh Sudihardjo, Suwardjo dan Deri (1991) di Riau mendapatkan bahwa penyebaran Jenis tanah (great group) berhubungan erat dengan penyebaran satuan lahan.
Hasil serupa juga didapat oleh Hikmatullah,
et al. (1991) di Aceh Timur. Di daerah ini, terjadi hubungan yang jelas antara pola penyebaran satuan lahan dengan pola penyebaran dan komposisi tanahnya pada kategori great group.
Penelitian hubungan antara landform. litologi dan
tanah telah dilakukan juga oleh Prasetyo dan Subardja (1998) di daerah Karawang Bawah, Jawa Barat. Hasilnya mendapatkan bahwa satuan landform pada kategori subgrup atau yang lebih detail berhubungan erat dengan perbedaan litologi/bahan induk dan tanahnya pada kategori subgrup. Penelitian mengenai hubungan atribut landform dengan tanah telah dilakukan oleh Sukarman, Suhardjo dan Djaenuddin (1999) di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur.
Penelitian tersebut mendapatkan bahwa posisi, kemiringan
lereng dan ketinggian tempat pada suatu landform grup Volkan menyebabkan terjadinya perbedaan tanah pada kategori ordo. Ordo Andisol dijumpai pada posisi lereng atas, agak curam dengan ketinggian lebih dari 900 meter dari 7
permukaan laut, sedangkan Ordo Mollisol dijumpai pada posisi lereng tengah, curam dengan ketinggian kurang dari 900 meter dari permukaan tanah.
Hasil
penelitian yang tidak sejalan ditemukan oleh Hikmatullah dan Herry (1993). Penelitian ini dilakukan pada suatu landform tua dan stabil di Sumatera Selatan. Hasilnya
menunjukkan
bahwa
posisi
lereng
dari
suatu landform tidak
berpengaruh terhadap sifat-sifat kimia dan fisik tanah. Semua tanah yang diteliti diklasifikasikan pada kategori great group ke dalam Hapludox.
Unsur-unsur Satuan Peta Tanah Satuan peta tanah terdiri dari satuan tanah yang disesuaikan dengan kategori dari klasifikasi dan unsur-unsur lainnya seperti landform, relief dan bahan induk.
Unsur-unsur dan kriteria yang digunakan dalam penyusunan
satuan peta berubah-ubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perubahan ke arah yang lebih baik. Suatu hal yang cukup nyata dalam perubahan penyusunan satuan peta ini terjadi sejak mulai digunakannya sistem klasifikasi Taksonomi Tanah dari Amerika Serikat. Tata cara dalam penyusunan satuan peta secara rinci dikemukakan dalam National Soil Handbook (Soil Conservation Service, 1983) dan dalam Guidelines for Using Soil Taxonomy in the Names of Soil Map Units (van Wambeke dan Forbes, 1986). Penggunaan unsur-unsur satuan peta tanah pada pemetaan tanah semi detail skala 1 : 50.000, sangat beragam dari waktu ke waktu. Peta tanah semi detail yang menggunakan sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (Soepraptohardjo, 1961), satuan peta tanahnya berupa kombinasi antara Rupa tanah dan relief. Rupa tanah ditentukan oleh tiga unsur yaitu Macam tanah, kelas tekstur dan kelas drainase (Hardjowigeno, 1995). Sementara itu pemetaan tanah semi detail yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor pada calon lokasi transmigrasi di daerah pasang surut maupun
8
non pasang surut seperti di daerah Rimbo Bujang-Teluk Kuali, Jambi (Institut Pertanian Bogor, 1976) dan di daerah Gasing Puntian, Sumatera Selatan (Institut Pertanian Bogor, 1983), menggunakan satuan tanah berupa famili tanah dari sistem klasifikasi Taksonomi Tanah. Penyusunan satuan peta tanah pada pemetaan tanah semi detail untuk kegiatan studi kelayakan lokasi transmigrasi pada tahun delapan puluhan berpedoman kepada Terms of Reference Survai Kapabilitas Tanah (Pusat Penelitian Tanah, 1983).
Satuan peta tanahnya terdiri dari satuan tanah,
fisiografi, relief, dan bahan induk.
Klasifikasi tanah yang digunakan khusus
disusun untuk kegiatan ini. Klasifikasi tersebut didasarkan kepada morfogenetik dan merupakan modifikasi dari sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo (Soepraptohardjo, 1961). Definisi-definisi terutama pada tingkat Macam tanah sebagian besar mengambil definisi dari Legenda Soil Map of the World (FAO, 1974) dan disesuaikan dengan keadaan di Indonesia (Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah, 1983). Satuan tanah terdiri dari: Macam tanah, ukuran besar butir, kedalaman tanah, drainase tanah, reaksi tanah, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa. Menurut Suhardjo dan Suwardjo (1992) satuan tanah yang terdiri dari Macam tanah serta sifat-sifat tambahan lainnya seperti tersebut di atas setara dengan kategori famili dalam sistem klasifikasi Taksonomi Tanah. Pemetaan tanah semi detail dalam rangka pelaksanaan Proyek LREP-II menggunakan satuan tanah berupa seri tanah dan fase, sedangkan seluruh satuan peta tanah terdiri dari: satuan tanah, relief, landform dan bahan induk (Hardjowigeno et al., 1993). Kualitas Peta Tanah
Satuan peta tanah disusun untuk memberikan informasi kepada pemakai peta tanah tentang sifat-sifat tanah yang ada di dalamnya secara lebih tepat. Ketepatan memprakirakan sifat-sifat tanah tersebut sangat menentukan kualitas
9
peta tanah. ketepatan
Peta tanah yang berkualitas baik ditentukan oleh ketelitian, serta
kemurnian
Notohadiprawiro, 1992).
satuan
peta
tanahnya
(Beckett,
1968;
Dent dan Young (1981) menyatakan bahwa setiap
satuan peta tanah detail harus memperlihatkan : (1) perbedaan yang nyata tiap satuan peta dalam sifat penentu satuan tanahnya dan (2) perbedaan respon terhadap beberapa tingkat pengelolaan.
Ketelitian dan Ketepatan Peta tanah teliti adalah peta tanah yang mempunyai keragaman (variabilitas) sifat-sifat tanah yang kecil pada setiap satuan peta tanahnya (Beckett, 1968).
Menurut Dent dan Young (1981) antara satuan satuan peta
tanah haruslah menunjukkan perbedaan untuk interpretasinya bagi penggunaan tertentu. Peta demikian dinilai sebagai peta yang tepat. Untuk menilai derajat perbedaan antara satuan peta tanah pada suatu peta tanah perlu didasarkan kepada keragaman relatif, yaitu perbandingan antara keragaman pada satuan peta tanah dengan total keragaman pada seluruh daerah pemetaan. Penelitian mengenai keragaman sifat-sifat tanah dalam satuan peta tanah telah dilakukan antara lain oleh Campbell (1978), Edmonds, Baker dan Simpson (1985), Rachim (1989) dan Sukarman (1990). bahwa
keragaman
kandungan
pasir
Campbell (1978) menunjukkan
mempunyai
sedangkan keragaman pH tanah bersifat acak.
pola
yang
sistematik,
Faktor yang mengendalikan
keragaman yang bersifat sistematik adalah posisi geomorfik dan litologik bahan induk tanahnya. Hasil penelitian Rachim (1989) pada dua satuan peta tanah detail di daerah Ciomas Bogor mendapatkan bahwa : (1) sifat-sifat kimia umumnya lebih beragam daripada sifat-sifat fisik, (2) sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan proses geologik mempunyai keragaman lebih besar daripada sifat-sifat yang berkaitan dengan proses pedologik (3) keragaman sifat tanah di permukaan
10
lebih besar daripada tanah di lapisan bawah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukarman (1990) terhadap beberapa satuan peta tanah detail di Cimulang Bogor, yang dihasilkan dengan tiga metode pemetaan mendapatkan bahwa: (1). di daerah datar keragaman
tanah pada satuan peta tanah yang dihasilkan
dengan metode interpretasi potret udara lebih besar daripada yang dihasilkan dengan metode grid atau metode bebas; (2) di daerah berombak sampai berbukit, keragaman sifat-sifat tanah pada satuan peta tanah yang dihasilkan dengan metode grid sistematis jauh lebih besar daripada yang dihasilkan dengan metode interpretrasi potret udara maupun metode bebas.
Kemurnian Kemurnian satuan peta tanah adalah bagian dari keadaan tanah yang sebenarnya di lapangan yang diisi oleh tanah yang ditunjukkan dalam legenda peta tanah (Chittleborough, 1978). Menurut Van Wambeke dan Forbes (1986) ketentuan kemurnian di Amerika Serikat pada satuan peta tanah yang baik adalah 85 persen atau lebih, sedangkan sisanya berupa inklusi.
Tetapi jika
inklusi yang dijumpai sifatnya lebih jelek dari tanah utama, maka inklusi yang diperbolehkan paling besar 10 persen. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Cormack dan Wilding (1969) terhadap peta tanah skala medium di Ohio Amerika Serikat mendapatkan bahwa klasifikasi tanah yang sesuai dengan legenda pada tingkat seri dan famili hanya 17 persen, pada tingkat sub group hanya 22 persen, pada tingkat great group hanya 44 persen dan pada tingkat ordo hanya 74 persen. Penelitian kemurnian satuan peta tanah yang dilakukan oleh Notohadiprawiro (1988) didasarkan kepada sidik ragam profil tanah. Penelitian dilakukan terhadap Peta Tanah Semi Detail (skala 1 : 50.000) daerah Seruyan Kalimantan Tengah. Hasilnya mendapatkan bahwa kemurnian setiap satuan peta bervariasi dari 80 sampai 100 persen. Dari 13
11
satuan peta tanah yang diteliti ternyata hanya 2 satuan peta yang mempunyai kemurnian kurang dari 85 persen. Sementara itu Sukarman (1990) telah melakukan penelitian tentang kemurnian satuan peta tanah pada Peta Tanah Detail Daerah Cimulang Bogor (skala 1 : 10.000) yang dipetakan dengan metode grid, metode interpretasi potret udara dan metode bebas. Hasilnya berbeda-beda untuk setiap relief. Di daerah datar, peta tanah yang dihasilkan dengan metode interpretasi potret udara kemurniannya hanya 47 persen, sedangan dengan metode taktis dan metode grid mempunyai kemurnian 80,7 persen. Di daerah berombak peta tanah yang dihasilkan dengan metode interpretasi potret udara menghasilkan kemurnian 77,7 persen, sedangkan dengan metode bebas dan grid menghasilkan kemurnian 88,9 persen. Di daerah bergelombang sampai berbukit, metode grid menghasilkan kemurnian 77,0 persen dan metode interpretasi potret udara serta metode bebas masing-masing menghasilkan kemurnian 85,5 persen dan 87,4 persen. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemurnian satuan peta tanah sangat menentukan kualitas peta tanah. Kemurnian satuan peta tanah haruslah tinggi sesuai dengan kaidah-kaidah pemetaan tanah, serta mempunyai keragaman sifat-sifat tanah yang rendah agar dapat diinterpretasikan dengan tepat untuk penggunaan dan pengelolaan lahannya.
Pe nggunaan Citra Satelit dalam Pemetaan Tanah
Pengenalan benda dan gejala di permukaan bumi yang tergambar pada citra dilakukan dengan jalan merunut (tracing) ciri benda dan gejala yang tergambar pada citra. Pada umumnya untuk maksud ini digunakan tiga ciri, yaitu ciri spectral, ciri spasial dan ciri temporal. Ciri spektral benda dan gejala ialah sifat khas benda dan gejala sebagai hasil imbal dayanya dengan tenaga elektromagnetik. Ciri spasial ialah sifat khas keruangan yang meliputi bentuk, 12
ukuran, bayangan, tekstur, pola, situs dan asosiasi. Ciri temporal ialah sifat khas yang berkaitan dengan waktu. Masing-masing ciri tersebut sangat membantu dalam pengenalan benda dan gejala yang tergambar pada citra (Sutanto, 1992). Dengan perkembangan teknologi citra satelit yang pesat, suatu obyek tertentu yang terdapat pada suatu wilayah yang luas memungkinkan untuk diteliti melalui analisis secara visual maupun digital. Penggunaan citra satelit termasuk Landsat Thematic Mapper
(TM), memiliki banyak keunggulan, antara lain
cakupan areal luas, real time , data bersifat mutakhir, multi temporal, dan resolusi cukup tinggi, sehingga banyak dimanfaatkan untuk menelaah informasi di berbagai disiplin ilmu seperti pedo-geomorfologi, pertanian, geologi, penutupan lahan/vegetasi, lingkungan dan lain-lain (Lee, Lee dan Taylor, 1988a, Chatterejee et al., 1996 dan Haack dan Jampoler, 1994). Dalam analisis citra Landsat TM, hal
yang perlu dipahami adalah
mengenal sifat reflektan gelombang suatu obyek pada setiap panjang gelombang. Gambar 1 menyajikan beberapa sifat reflektan obyek pada berbagai panjang gelombang (Swain dan Davis, 1978). bahwa: (1).
Gambar tersebut menjelaskan
Pada suatu panjang gelombang tertentu (band) yang sama,
perbedaan reflektan gelombang elektromagnetis tergantung dari jenis obyek. (2). Pada jenis obyek yang sama nilai reflektan gelombang elektromagnetis tergantung dari panjang gelombang (band) yang digunakan. Menurut Suryanto et al. (1999) analisis dari citra Landsat TM secara umum dapat dilakukan dengan cara visual dan digital.
Prinsip dasar dalam
analisis citra secara visual adalah bahwa perbedaan besarnya pantulan dan penyerapan energi radiasi tercermin dari wujud perbedaan warna sesuai dengan gabungan band yang digunakan.
Prinsip dasar dari analisis digital adalah
mengelompokkan obyek yang mempunyai kelas pixel sama.
Nilai pixel
merupakan perbedaan besarnya nilai pantulan dan diwujudkan dalam bentuk numerik atau disebut juga sebagai nilai intensitas pantulan obyek.
13
60 50 40 30
Vegetasi Air
20
Tanah 10 0 0,4
Gambar 1.
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
2
2,2
2,4
2,6
Kurva Reflektan Spektral Objek Vegetasi, Tanah dan Air Menurut Swain dan Davis (1978)
Analisis secara visual dari citra satelit memerlukan suatu band (kanal) tunggal atau kombinasinya.
Suatu band tertentu mempunyai kepekaan yang
baik terhadap obyek tertentu di permukaan bumi.
Dengan demikian pemakaian
suatu band atau kombinasinya diharapkan akan memberikan hasil yang paling optimal. Salah satu perhitungan statistik untuk mendapatkan nilai optimal dari pemakaian kombinasi band adalah Optimum Index Factor atau OIF (Chavez et al., 1982 dalam Yesou, Besnus dan Rolet, 1993). Yesou et al. (1993) telah meneliti nilai OIF dari kombinasi tiga band Landsat TM untuk tujuan analisis struktur geologi di Perancis.
Dari sebelas
kombinasi band yang digunakan ternyata kombinasi band 5-4-3 merupakan kombinasi tertinggi.
Namun berdasarkan hasil pengalamannya, ternyata cara
tersebut di atas tidak memberikan kombinasi yang optimum untuk analisis geologi, kombinasi band 5-4-2 secara empirik memberikan hasil yang terbaik. Salah satu teknik pengolahan data citra Landsat MSS (Multispectral scanner) selain seperti yang disebutkan di atas adalah konsep Transformasi Tesseled cap.
Konsep ini diperkenalkan oleh Kauth dan Thomas (1976 dalam
Crist dan Cicone, 1984) untuk menghasilkan indeks kecerahan tanah
14
(brightness), dan indeks kehijauan vegetasi (greeness). Konsep Transformasi Tesseled cap ini kemudian dimodifikasi oleh Crist dan Cicone (1984) pada Landsat TM dengan penambahan indeks kebasahan (wetness).
Indeks
kecerahan (brightness) diperoleh dari keenam band (band 1 s.d. 5 dan 7). Kecerahan dapat mengekspresikan keadaan sifat-sifat tanah seperti ukuran besar butir (tekstur) dan kandungan bahan organik. Indeks kehijauan dihasilkan dari dua band yaitu band tampak ( visible band) dan band infra merah dekat (near infra red band). Indeks kehijauan memperlihatkan korelasi dengan persentase penutupan tajuk, indeks luasan daun dan jumlah biomas segar. kebasahan diperoleh dari band infra merah panjang.
Indeks
Indeks kebasahan ini
mengekspresikan status kelembaban tanah disamping juga kelembaban dari tanaman yang ada di atasnya. Penelitian pemanfaatan citra satelit dalam pemetaan tanah sebagian besar dilakukan di daerah beriklim kering (arid) atau pada lahan yang bervegetasi bukan hutan. Fagbami (1986) telah mengkaji pemanfaatan CCT (Computer compatible tape) Landsat pada tahun 1976 untuk pemetaan tanah di Nigeria Tengah.
Hasilnya menunjukkan bahwa data Landsat MSS yang
diklasifikasikan dengan komputer menghasilkan kelas tanah yang sama dengan cara konvensional. Mulder dan Epema (1986) telah melakukan penelitian di Tunisia dengan menggunakan
data Landsat TM.
Hasilnya menunjukkan
bahwa data TM dalam beberapa hal lebih unggul daripada potret udara. Agbu, Fehrenbacher dan Jansen, (1990) melakukan penelitian tentang hubungan antara sifat tanah dengan data digital satelit SPOT (System Probatoire d’Observation de la Terre)
di Illinois.
Goosens dan van Ranst (1998)
melaporkan bahwa Landsat TM dapat dimanfaatkan bergypsum di Ismailia, Mesir.
untuk pemetaan tanah
Hasilnya menunjukkan bahwa hasil klasifikasi
citra antara tanah bergypsum dengan tanah lainnya sangat berbeda dan dapat diidentifikasi sampai tipe tanah.
Penelitian itu juga memperlihatkan bahwa
15
penggunaan Landsat TM
terutama pada band 6 (thermal) dalam pemetaan
tanah di daerah ini merupakan salah satu cara yang cepat dan akurat. Lee et al. (1988a) telah menggunakan panjang gelombang sensitif dari data Landsat TM untuk menduga penyebaran tanah di Wisconsin. Ketiga peneliti tersebut mendapatkan bahwa band 5 dan 7 merupakan spektral yang sangat penting untuk menduga sifat-sifat tanah. Kombinasi band 5 dan 7 memberikan hasil lebih baik daripada menggunakan band tunggal. Hubungan data spektral Landsat TM dengan tanah hanya berkorelasi pada tingkat klasifikasi tanah yang lebar.
Tanah yang dapat diidentifikasi berdasarkan kenampakan dari data
Landsat TM adalah Aluvial, tanah rawa, tanah mineral berdrainase baik, tanah mineral berdrainase buruk dan Histosol. Hasil lainnya adalah bahwa band 6 (thermal) memberikan hasil yang baik untuk memisahkan antara tanah berpasir berdrainase baik dengan Histosol berdrainase sangat buruk. Pada lahan yang tertutup rapat dengan vegetasi tidak memberikan hasil yang baik.
Hasil
penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Weismiller, Persinger dan Montgomery (1977) di Missouri.
Peneliti-peneliti tersebut
mendapatkan bahwa data penutup tanah yang dikelaskan dari citra Landsat MSS tidak
menunjukkan hubungan yang erat dengan
tipe tanah.
Oleh
karena itu dia menggunakan gabungan antara citra Landsat dengan peta topografi untuk menganalisis penyebaran tanahnya. Penelitian citra satelit untuk pemetaan tanah tinjau di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sebagian besar penelitian tersebut dilakukan secara visual. Marsoedi (1981) telah melakukan penelitian pemanfaatan citra Landsat MSS untuk pemetaan tanah tinjau
di daerah Sulawesi Tenggara.
Penelitian yang sama juga telah dilakukan oleh Wahyunto et al. (1988) di daerah Sesayap-Sebakung Kalimantan Timur. Penelitian pemanfaatan citra untuk analisis landform sebagai wadah satuan peta tanah tinjau telah dilakukan oleh Deri et al. (1988) di Kotabumi Lampung. Suryanto, Sukodarmodjo dan Suti kno (1989) telah mengkaji kemampuan citra satelit SPOT untuk pemetaan tanah 16
tinjau di daerah Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini lebih ditekankan kepada delineasi satuan peta, yaitu memperbandingkan antara hasil delineasi dari citra SPOT dengan peta tanah yang delineasinya menggunakan potret udara. Hasilnya menunjukkan bahwa citra SPOT dapat digunakan untuk membantu pemetaan tanah, namun hasilnya akan lebih baik menggunakan citra satelit SPOT tiga dimensi. Berbeda dengan tanah di daerah beriklim arid, tanah di daerah tropika basah banyak tertutup oleh vegetasi, sehingga pengenalannya pada citra menjadi lebih sulit.
Pengenalannya hanya dapat dilakukan secara tidak
langsung, yaitu dengan mengenali benda dan gejala yang ada kaitannya dengan tanah. Dapat atau tidaknya dilakukan pengenalan tergantung dari dua hal, yaitu ada atau tidak adanya benda atau gejala yang berkorelasi erat dengan tanah dan dapat dikenalinya benda atau gejala tersebut pada citra. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut beberapa peneliti telah melakukan
penelitian
dengan cara memadukan suatu citra dengan citra
lain, memadukan dengan DEM, dengan peta topografi atau penggunaan citra secara multitemporal. Yesou et al. (1993) memadukan citra Landsat TM dengan citra SPOT pankhromatik dalam meneliti struktur geologi. Dobos et al. (2000) memadukan citra NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dengan DEM dalam pemetaan tanah ekplorasi di Hungaria.
Weismiller et al.
(1977) memadukan citra Landsat dengan data topografi dalam pemetaan tanah setara semi detail (Ordo 3). Se mentara Siswanto et al. (1998) menggunakan citra Landsat multitemporal dalam mengindentifikasi daerah genangan rawa lebak di Kalimantan Selatan. Citra Landsat-7 ETM merupakan generasi terbaru dari Landsat-5 TM dengan perbaikan resolusi spasial dari 30 m menjadi 15 m terutama pada band 6 (thermal) dan pankhromatik, artinya obyek dengan luas minimum 225 m2 dapat dideteksi atau dikenal, dan skala peta yang dapat dihasilkan antara 1 : 50.000 sampai 1 : 100.000 (Hanggono, 1999). 17
Penggunaan Model Elevasi Digital (DEM) dalam Pemetaan Tanah
Untuk mengatasi kesulitan pengenalan citra pada daerah bervegetasi lebat dalam pemetaan tanah terutama untuk analisis landform, maka telah digunakan Model Elevasi Digital (DEM). DEM adalah gambaran digital secara kontinyu menurut ruang dari suatu keadaan relief (Rossiter, 1994). DEM yang berkualitas baik dapat dibuat dari citra satelit beresolusi tinggi, sedangkan citra yang beresolusi rendah me nghasilkan DEM yang kurang baik (Dobos, 2000). Hasil penelitian Franklin (1987) mendapatkan bahwa hasil analisis dari DEM yang berasal dari Landsat MSS hanya mempunyai ketelitian antara 46-75 persen.
DEM yang umum sekarang digunakan untuk berbagai analisis, dibuat
dari peta topografi hasil interpretasi potret udara atau dari peta topografi hasil pengukuran di lapangan. DEM tersebut mempunyai tingkat resolusi berbedabeda tergantung dari skala peta topografi yang digunakan.
Selain itu tingkat
resolusi memberikan ketepatan dan ketelitian yang berbeda-beda pula. Hasil penelitian Hammer et al. (1995) di Missouri Amerika Serikat, mendapatkan bahwa klasifikasi lereng dari DEM resolusi 30 meter, resolusi 10 meter dan hasil survei lapang pada skala 1 : 24.000, mempunyai ketepatan dan ketelitian berbeda. Peta lereng yang diturunkan dari DEM resolusi 10 meter lebih tepat dalam menggambarkan keragaman relief daripada metode lainnya. DEM resolusi 30 meter berbeda dua sampai tiga kelas lebih curam, sedangkan DEM resolusi 10 meter berbeda satu kelas lebih curam dari kenyataan di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa DEM
resolusi 10 meter mempunyai potensi yang baik untuk analisis lereng dalam pemetaan tanah dan perencanaan pen ggunaan lahan skala 1 : 24.000 dengan verifikasi lapang yang cukup. DEM yang dibuat dari peta topografi hasil interpretasi potret udara dan digunakan untuk melihat hubungan antara tanah dengan relief atau landform antara lain telah dilakukan oleh Irvin, Ventura dan Slater (1997), de Bruin dan
18
Stein (1998) dan Thompson et al. (2001), sedangkan penelitian semacam ini tetapi
DEM dibuat dari peta topografi hasil pengukuran di lapangan telah
dilakukan antara lain oleh King et al. (1999) dan Lark (1999). Menurut Thompson et al. (2001) peta DEM yang dibuat dari peta topografi hasil pengukuran langsung di lapangan mempunyai ketepatan lebih baik daripada yang dibuat dari hasil interpretasi potret udara. Pemanfaatan DEM untuk pemetaan tanah lebih banyak dipergunakan untuk mempelajari hubungan antara hasil analisis atribut landform dengan sifatsifat tanah. Moore et al. (1993)
telah menggunakan DEM resolusi 15 meter
untuk mengkorelasikan atribut landform dengan keragaman sifat-sifat tanah di Colorado.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa terdapat korelasi nyata
antara atribut landform dengan atribut tanah.
Lereng dan indeks kebasahan
berkorelasi sangat tinggi dengan atribut tanah, yaitu : ketebalan horison A, kandungan bahan organik, P terekstraks i, kandungan debu dan pasir. Penelitian mengenai prediksi antara sifat tanah dengan atribut landform yang dianalisis dari DEM telah dilakukan oleh Odeh et al. (1994) di Australia. Hasilnya menunjukkan bahwa ketelitian memprediksi sifat-sifat tanah tergantung dari variabel yang dominan. Oleh karena itu diperlukan pemilihan model analisis yang paling tepat. Penelitian oleh Lark (1999) di Inggris, mendapatkan bahwa DEM yang dibuat dari peta topografi dengan interval 12,5 m mampu untuk mempelajari hubungan antara atribut landform dan tanah sampai kategori seri. Sehingga disimpulkan bahwa DEM dapat digunakan untuk mempelajari hubungan antara landform dan tanah baik pada skala besar maupun pada skala lebih kecil. Penelitian sejenis juga dilakukan oleh de Bruin dan Stein (1998) di Spanyol, DEM beresolusi 5 meter dibuat dari peta topografi hasil interpretasi potret udara pankhromatik. Hasilnya menunjukkan hubungan yang jelas antara hasil klasifikasi landform dengan sifat-sifat tanah baik di lapisan atas maupun di dalam profil. Hubungan antara horison tanah berkapur dan tidak berkapur telah diteliti oleh King et al. (1999) di Perancis. DEM beresolusi 20 m dibuat dari peta 19
topografi hasil pengukuran di lapangan.
Hasil penelitiannya mendapatkan
bahwa tanah-tanah yang tidak mempunyai horison berkapur terletak pada lereng tengah dengan aspek lereng menghadap ke arah timur laut. Penelitian mengenai citra Landsat untuk pemetaan tanah yang dipadukan dengan DEM
telah dilaksanakan oleh Weismiller et al. (1977) di Missouri
Amerika Serikat, Lee, Lee dan Tayler (1988b) di Wisconsin Amerika Serikat dan oleh Dobos et al. (2000) di Hungaria. Penelitian DEM yang dipadukan dengan citra tersebut dilatar belakangi oleh keterbatasan citra untuk pemetaan tanah. Hasilnya menunjukkan bahwa pemanfaatan citra yang dipadukan dengan DEM untuk pemetaan tanah memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan tanpa dipadukan dengan DEM.
Hal ini terjadi karena dari DEM dapat dianalisis
berbagai atribut landform lebih rinci yang erat sekali kaitannya dengan pola penyebaran tanah.
Interpretasi Peta Tanah
Peta tanah sebagai hasil dari suatu pemetaan tanah, belum banyak berarti bagi pengguna yang tidak paham akan teknis ilmu tanah. Untuk itu peta tanah perlu diinterpretasikan antara lain ke dalam peta kesesuaian lahan atau peta kemampuan lahan.
Proses menginterpretasikan peta tersebut dikenal
dengan nama evaluasi lahan.
Jadi evaluasi lahan adalah usaha untuk
menampilkan lahan untuk tujuan tertentu, melalui interpretasi hasil pemetaan dari aspek relief, tanah, iklim/hidrologi dan pengelolaan, agar dapat mengidentifikasi dan membandingkan berbagai alternatif jenis penggunaan lahan yang mungkin dapat dikembangkan (FAO, 1976). Klasifikasi Kesesuaian Lahan (Land Suitability Classification) adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian dan pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu.
Klasifikasi Kemampuan Lahan (Land Capability 20
Classification) adalah penilaian lahan atau komponen-komponen lahan secara sistematik dan mengelompokkannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan faktor-faktor
penghambat
atau
faktor-faktor
menguntungkan,
agar
penggunaannya dapat lestari (Arsyad, 2000). Sebagian besar penilaian kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan untuk menginterpretasi peta tanah berskala kecil dilakukan berdasarkan metode penghambat dan bersifat kualitatif. Artinya dalam penyusunan kelas, lahan yang mempunyai penghambat yang paling kecil akan mempunyai kela s yang paling tinggi dan penghambat yang paling besar akan mempunyai kelas yang paling rendah. Selain itu dalam klasifikasi ini tidak dilakukan penilaian secara ekonomi. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penilaian kemampuan lahan merupakan sifat-sifat fisik tanah dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah : iklim, erosi, kedalaman tanah, tekstur tanah, permeabilitas,
drainase
dan faktor-faktor khusus seperti : keadaan batuan dan kerikil di permukaan dan di dalam penampang, ancaman banjir dan salinitas (Arsyad, 2000). lahan atau faktor penghambat
Kualitas
yang digunakan dalam penilaian kesesuaian
lahan tidak saja melibatkan faktor fisik tanah dan lingkungan tetapi juga melibatkan sifat-sifat kimia tanah. Kualitas lahan tersebut meliputi: temperatur, ketersediaan air, media perakaran, retensi hara, kegaraman, hara tersedia, kemudahan pengolahan dan terrain (Djaenuddin et al., 1994)
Tabel 1
menyajikan kualitas lahan/karakteristik lahan yang digunakan dalam penilaian kemampuan lahan atau kesesuaian lahan. Dari Tabel 1 terlihat bahwa kualitas lahan/karakteristik lahan yang digunakan untuk penilaian kelas kemampuan lahan jumlahnya lebih sedikit dan lebih sederhana daripada yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan. Sifat-sifat tanah yan g digunakan untuk menilai kelas kemampuan lahan kecuali sifat salinitas terdiri dari sifat-sifat fisik yang diperoleh dari hasil pengamatan lapang. Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk menilai kesesuaian lahan selain menggunakan sifat-sifat fisik juga menggunakan sifat-sifat kimia seperti: 21
Tabel 1. Kualitas Lahan/ Karakteristik Lahan yang Digunakan dalam Klasifikasi Kemampuan Lahan dan Klasifikasi Kesesuaian Lahan Klasifikasi Kemampuan*) Lahan
Klasifikasi Kesesuaian **) Lahan
1 - Iklim+) - Temperatur ++) - Curah hujan 2. Lereng, ancaman erosi dan erosi yang telah terjadi - Kecuraman lereng - Kepekaan erosi - Kerusakan erosi yang terjadi 3. Kedalaman tanah 4. Tekstur tanah 5. Pemeabilitas 6. Drainase tanah 7. Faktor-faktor khusus - Batu dan kerikil - Ancaman banjir/genangan - Salinitas
1
Sumber : Keterangan
: :
*) +)
Temperatur +) - Rata-rata tahunan ++) 2. Ketersediaan air - Bulan kering - Curah hujan tahunan 3. Media perakaran - Drainase - Tekstur tanah - Kedalaman efektif - Kematangan gambut 4. Retensi hara - KTK - pH - C- organik 5. Ketersediaan hara 6. Bahaya banjir - Periode banjir - Frekuensi 7. Kegaraman - Salinitas 8. Toksisitas - Kejenuhan Al - Kedalaman pirit 9. Kemudahan pengolahan - Tekstur - Struktur - Konsistensi 10. Potensi mekanisasi - Kemiringan lahan - Batuan di permukaan 11. Bahaya erosi - Tingkat bahaya erosi.
Arsyad (2000); **) Djaenuddin et al. (1994); Kualitas lahan ++) Karakteristik lahan.
retensi hara, ketersediaan hara, kegaraman dan toksisitas.
Sifat-sifat kimia
tersebut harus berdasarkan hasil analisis tanah di laboratorium. Dipandang dari segi kemudahan dan kesederhanaan, maka proses evaluasi lahan menggunakan klasifikasi kemampuan lahan nampaknya lebih mudah dan sederhana.
22
Mengingat bahwa informasi tanah yang diperlukan untuk penilaian kemampuan lahan lebih sedikit dan sederhana, maka informasi tanah yang diperlukan juga lebih sederhana. metode pemetaan yang digunakan.
Hal ini akan berakibat kepada pemilihan Metode pemetaan yang lebih sederhana
tanpa harus melalui analisis tanah yang mahal dan memerlukan waktu dapat dipilih dalam kegiatan evaluasi lahan dengan klasifikasi kemampuan lahan.
Deskripsi Daerah Penelitian Lokasi Daerah penelitian terletak di tiga lokasi berbeda berdasarkan lembar peta Rupabumi, kesemuanya termasuk wilayah Tingkat II Kabupaten Bogor, Pro vinsi Jawa Barat.
Pemilihan tiga lokasi tersebut didasarkan kepada perbedaan relief
dan formasi geologi/litologi. Ketiga lokasi tersebut adalah: 1. Lembar Peta Cisarua (Nomor 1209-142) termasuk wilayah Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Ciawi, terletak antara 6 o 37’41” sampai 6o 44’57” garis Lintang Selatan (LS) dan antara 106 o 52’21” sampai 106o 55’55” garis Bujur Timur (BT).
Lokasi ini mempunyai relief berombak sampai bergunung,
disusun oleh batuan volkan muda dan volkan tua. 2. Lembar Peta Cigudeg (Nomor 1209-133) termasuk wilayah Kecamatan Cigudeg, Kecamatan Nanggung, Kecamatan Leuwiliang dan Ke camatan Jasinga, terletak antara 6o30’21” sampai 6o37’25” LS dan antara 106o30’07” sampai 106o37’28” BT .
Lokasi ini mempunyai relief berombak sampai
bergunung, disusun oleh batuan volkan tua dan batuan sedimen. 3. Lembar Peta Cibinong (Nomor 1209-421) termasuk wilayah Kecamatan Cibinong dan Bojong Gede, terletak antara 6 o30’00” sampai 6o 24’26” LS dan antara 106 o45’06” sampai 106o52’26” BT.
Lokasi ini mempunyai relief datar
sampai berombak, disusun oleh endapan volkan dan aluvium. Peta lokasi penelitian disajikan dalam Peta 1. 23
Lokasi Cibinong Kabupate n Bogor
Lokasi Cigudeg
Kota Bogor
Kabupaten Bogor
Lokasi Cisarua
Lokasi Penelitian
Peta 1. Peta Lokasi Penelitian 24
Geologi Lokasi Cisarua diliput oleh Peta Geologi Lembar Bogor, skala 1 : 100.000 (Effendi, Kusnama, dan Hermanto, 1998), sedangkan lokasi Cigudeg serta Cibinong selain diliput oleh peta tersebut di atas juga diliput oleh Peta Geologi Teknik Daerah Jakarta-Bogor, skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia (1970). Menurut Effendi et al. (1998) secara geologis ketiga lokasi penelitian disusun oleh empat batuan utama, yaitu : (1) Endapan permukaan; (2) Batuan sedimen; (3) Batuan Volkanik dan (4) Batuan Terobosan (intrusi). Endapan Permukaan Endapan permukaan merupakan endapan resen berumur Holosen (Kuarter muda), terdiri atas Aluvium (Qa) dan Kipas aluvium (Qav). Menurut Effendi et al (1998), Aluvium (Qa) terdiri dari liat, debu, kerikil dan kerakal terutama berupa endapan sungai. Sementara itu Direktorat Geologi Indonesia (1970) menyatakan bahwa aluvium tersebut berupa aluvium sungai dan aluvium lembah, terdiri dari liat, pasir da n kerikil serta bongkah-bongkah batuan andesitbasal. Endapan permukaan ini sebagian besar terletak di lokasi Cibinong. Kipas aluvium (Qav) terdiri dari debu, pasir, kerikil dan kerakal berasal dari batuan volkanik berumur kuarter yang diendapkan kembali sebagai kipas aluvium. Direktorat Geologi Indonesia (1970) menggolongkan kipas aluvium sebagai batuan volkanik muda berupa tufa liat, dan tufa pasir.
Selanjutnya
Effendi et al. (1998) menyatakan bahwa bahan yang menyusun kipas aluvium ini terdiri dari batuan volkanik bersifat andesitik.
Bahan ini berasal dari Gunung
Pangrango dan Gunung Salak. Kipas aluvium ini terletak di lokasi Cibinong.
Batuan Sedimen Lokasi Cigudeg secara keseluruhan mempunyai tiga formasi geologi dari batuan sedimen.
Kesemua batuan sedimen tersebut terbentuk pada zaman
tersier berumur Pliosen akhir sampai Miosen awal. Berikut uraian tiap formasi 25
geologi yang dijumpai di lokasi penelitian dimulai dari yang termuda (Pliosen akhir) sampai yang tertua (Miosen awal). Formasi Bojongmanik (Tmb) merupakan formasi yang cukup luas penyebarannya di daerah penelitian, tersusun oleh batupasir, batuapung, napal dan batugamping.
Berdasarkan susunan stratigrafinya, formasi ini ditindih
secara tidak selaras oleh Satuan Tuf dan Breksi (Tmtb). Diperkirakan fomasi ini berumur Miosen tengah (Effendi et al., 1998). Penyebarannya terdapat sebelah barat Leuwiliang dan sebelah barat Cigudeg. Formasi Batugamping (Tmbl) merupakan anggota Formasi Bojongmanik (Tmb), berupa batugamping mengandung moluska.
Satuan ini membentuk
lensa-lensa dari Formasi Bojongmanik, umurnya diperkirakan Miosen tengah (Effendi et al., 1998). Penyebarannya di Gunung Jambu Leuwiliang. Batuan Gunung Api (Volkanik) Sebagian besar lokasi Cisarua dan Cigudeg tertutup oleh batuan volkanik. Menurut Effendi et al. (1998) batuan volkanik di daerah ini dapat digolongkan ke dalam batuan volkanik muda yang berumur Holosen dan batuan volkanik tua yang berumur Pleistosen. Batuan volkanik muda terdiri atas batuan volkanik Gunung Pangrango yang menutupi lokasi penelitian Cisarua. Batuan volkanik tua terdiri dari batuan volkanik Gunung Gede (lokasi Cisarua), formasi breksi volkaniki dan formasi lava volkaniki (lokasi Cigudeg). Batuan volkanik Gunung Pangrango di lokasi Cisarua hanya terdiri dari formasi endapan lahar dan lava (Qvpo). Formasi ini merupakan formasi lebih tua dan berumur Holosen awal. Formasi paling muda (Qvpy) mengalir ke arah barat ke daerah Cicurug dan Parungkuda. Namun formasi Qvpy ini terletak di luar daerah penelitian. Formasi Qvpo menyebar dari puncak Gunung Pangrango ke arah utara berujung di Kota Bogor. Di sebelah barat berbatasan dengan formasi Qvsb dari Gunung Salak dan di sebelah timur berbatasan dengan formasi
26
volkanik tua (Qvk). Menurut Effendi et al. (1998) formasi Qvpo terdiri dari basalandesit bersusunan oligoklas-andesin, labradorit, olivin, piroksin dan hornblenda. Batuan volkanik Gunung Gede merupakan formasi volkanik tua, terdiri dari aliran lava dari Gunung Gegerbentang (Qvba) dan breksi dan lava dari Gunung Kencana dan Gunung Limo yang banyak sekali mengandung fenokris piroksen dan lava basal (Qvk). Menurut Effendi et al. (1998) kedua formasi ini berumur Pleistosen, tetapi formasi Qvba berumur sedikit lebih muda daripada formasi Qvk. Penyebarannya terdapat di lokasi Cisarua, yaitu wilayah perbukitan dan pegunungan sebelah timur daerah Puncak. Satuan volkanik tua lainnya terletak di lokasi Cigudeg.
Formasi breksi
volkanik (Qvb) berupa breksi bersusunan andesit basal. Formasi ini terdapat di lereng bagian selatan Gunung Tela memanjang ke arah timur sampai di Gunung Dongkal, Kecamatan Cigudeg dan Leuwiliang. berupa aliran lava bersusunan basal.
Formasi lava volkanik (Qvl)
Penyebarannya terpisah-pisah di
Kecamatan Cigudeg, Kecama tan Nanggung dan Leuwiliang. Formasi batuan volkanik tak terpisahkan (Qvu) terdiri dari breksi dan aliran lava bersusunan andesitik. Batuan Intrusi (terobosan) Batuan
terobosan
terjadi
akibat
celah/retakan/patahan dalam kulit bumi.
penerobosan
magma
melalui
Batuan ini berumur Miosen tengah
(Tersier) terdiri atas andesit dan basalt (Effendi et al., 1998, dan Direktorat Geologi Indonesia, 1970). batuan andesit.
Batuan ini hanya terdapat di lokasi Cigudeg berupa
Batuan ini menerobos Formasi Bojongmanik dan umurnya
diperkirakan Miosen tengah.
27
Iklim
Unsur-unsur iklim yang dikumpulkan adalah curah hujan dan temperatur udara.
Kedua unsur ini digunakan untuk penetapan rejim kelembaban tanah
dan rejim temperatur tanah dalam klasifikasi tanah. Selain itu kedua unsur iklim tersebut merupakan kualitas lahan/karakteristik lahan yang digunakan dalam klasifikasi kemampuan lahan maupun dalam klasifikasi kesesuaian lahan. Data curah hujan dikumpulkan dari enam stasiun pengamat iklim yang berada di lokasi penelitian atau daerah sekitarnya, selama 10 sampai 44 tahun pengamatan dan antara selang waktu tahun 1956 - 1999. Keadaan curah hujan rata-rata tahunan disajikan dalam Tabel 2. Data temperatur udara dikumpulkan dari stasiun pengamatan iklim Darmaga, ketinggian 250 meter di atas permukaan laut (dpl) selama 10 tahun pengamatan. Selain itu dihitung juga temperatur udara pada ketinggian 90 meter dpl dan pada ketinggian 1160 meter dpl dengan metode Braak (1929, dalam Chambers, 1978).
Temperatur tanah dihitung berdasarkan konversi dari
temperatur udara dengan rumus Newhall (1972, dalam van Wambeke, 1982), yaitu : Temperatur tanah = temperatur udara + 2,5o C Temperatur udara dan tanah disajikan dalam Tabel 3. Selisih temperatur tanah rata-rata musim panas dan musim dingin pada kedalaman 50 cm dari permukaan dihitung dengan mengalikan faktor 0,33 terhadap perbedaan ratarata musim panas dan musim dingin udara. Curah hujan rata-rata tahunan di lokasi Cisarua berkisar antara 3.972 mm sampai 4,202 mm. Di lokasi Cigudeg curah hujan rata-rata tahunan sebesar 2.950 mm, sedangkan di lokasi Cibinong bervariasi dari 2.850 sampai 3.495 mm (Tabel 2). Hasil perhitungan neraca air berdasarkan metode Donker (1986) menunjukkan bahwa di ketiga lokasi penelitian tidak mengalami defisit pada tahun-tahun normal lebih dari 3 bulan (90 hari) kumulatif. Berdasarkan kriteria 28
dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003), rejim kelembaban tanah yang demikian tergolong udik (udic), kecuali untuk tanah-tanah yang dipengaruhi oleh dangkalnya air tanah.
Tabel 2. Curah Hujan, Bulan Defisit Air di Daerah Penelitian dan Sekitarnya Variabel _____________________________________________________ Ketinggian Jumlah tahun Curah hujan Jumlah Tempat pengamatan rata-rata bulan defisit (m) (tahun) (mm/tahun) air
Lokasi
1. Ciawi 2. Cidokom 3. Gunung Mas 4. Jasinga
5. Depok 6. Cibinong
90
Lokasi Cisarua 27 30 34 Lokasi Cigudeg 30
95 125
Lokasi Cibinong 10 10
480 800 1.160
4.025 3.972 4.202
0 0 0
2.908
0
2.850 3.495
0 0
Keterangan : Pengamatan selama 44 tahun (Badan Meteorologi dan Geofisika, 1956-1999).
Berdasarkan data dari Tabel 3, temperatur udara rata-rata tahunan di ketiga tempat yang berbeda ketinggian tersebut bervariasi dari 19,5oC sampai 25,1oC.
Temperatur tanah bervariasi dari 22,0o C sampai 27,4 oC.
Keadaan
temperatur tanah secara garis besar terbagi menjadi dua golongan besar, yaitu temperatur tanah yang lebih besar dari 22oC dan temperatur tanah antara 15 o C sampai 22 oC. Temperatur tanah lebih dari 22 o C berada pada ketinggian kurang dari 1.160 meter dpl dan temperatur kurang dari 22o C berada pada ketinggian lebih dari 1.160 meter dpl.
Perbedaan temperatur antara musim panas dan
musim dingin kurang dari 6o C. Berdasarkan kriteria dalam Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003), keadaan temperatur tanah golongan pertama termasuk
29
isohipertermik dan yang kedua tergolong Isotermik.
Berdasarkan letak
ketinggiannya, maka seluruh loka si Cigudeg dan Cibinong mempunyai rejim temperatur tanah isohipertermik.
Lokasi Cisarua mempunyai dua rejim
temperatur, yaitu isohipertermik untuk daerah yang mempunyai ketinggian kurang dari 1.160 meter dpl, dan isotermik untuk daerah yang mempunyai ketinggian di atas 1.160 meter dpl.
Tabel 3. Temperatur Udara dan Tanah Rata-rata Bulanan dan Tahunan di Daerah Darmaga, Pada Ketinggian 90 Meter dpl dan Pada Ketinggian 1.160 Meter dpl
Bulan
Darmaga1) Ketinggian 90 m dpl Ketinggian 1.160 m dpl _______________ _______________ ________________ Udara Tanah3) Udara2) Tanah3) Udara 2) Tanah 3) o ………………………………… C ………………… …..……………
Januari
24,5
27,0
25,528,0 18,9
21,4
Februari
24,6
27,1
25,628,1 19,0
21,6
Maret
24,7
27,4
25,728,2 19,1
21,6
April
25,4
26,9
26,4 29,9 19,8
22,3
Mei
25,4
26,9
26,428,9 19,8
22,3
Juni
25,1
27,6
26,128,6 19,5
22,0
Juli
25,2
27,7
26,228,7 19,6
22,1
Agustus
25,1
27,6
26,128,6 19,5
22,0
September
25,2
27,7
26,228,7 19,6
22,1
Oktober
25,4
27,9
26,428,9 19,8
22,3
Nopember
25,3
27,8
26,328,8 19,7
22,2
Desember
24,9
27,4
25,92846 19,5
22,0
Rata-rata Tahunan
25,1
27,4
26,028,5 19,5
22,0
Keterangan :
1) Pengamatan selama 10 tahun (Badan Meteorologi dan Geofisika, 1986-1997). 2) Suhu udara dihitung dengan metode Braak (1929 dalam Chambers, 1978). 3) Suhu tanah dihitung dengan metode van Wambeke (1982).
30
METODE PENELITIAN
Untuk mencapai tujuan penelitian, dibuat peta unsur-unsur satuan peta tanah tingkat semi detail (skala 1 : 50.000) terdiri dari landfrom, relief dan peta tanah, menggunakan tiga metode analisis yaitu: (1). analisis citra Landsat-7 ETM, (2). analisis DEM, dan (3). perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM. Selain dengan tiga metode tersebut, juga dibuat menggunakan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM yang dilengkapi dengan pangamatan lapang. Peta ini diasumsikan sebagai peta yang paling sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan dan digunakan sebagai peta acuan dalam proses evaluasi.
Unsur-
unsur satuan peta tanah yang digunakan dalam menyusun satuan peta tanah selengkapnya mengikuti cara pemetaan tanah semi detail LREPP-II, terdiri atas : landform, relief, bahan induk dan satuan tanah (Hardjowigeno et al., 1993).
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di tiga lokasi terpisah di wilayah Daerah Tingkat II, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat berdasarkan lembar peta Rupabumi (Peta 1). Ketiga lokasi tersebut adalah: sebagian lembar Cisarua (1209-142) seluas 16.920 ha, sebagian lembar Cibinong (1209-421) seluas 17.670 ha dan sebagian lembar Cigudeg (1209-133) seluas 18.470 ha.
Pemilihan lokasi
didasarkan kepada perbedaan relief dan litologi. Analisis citra satelit Landsat-7 ETM, pembuatan dan analisis DEM serta pengolahan GIS dilaksanakan di Laboratorium Inderaja Balai Penelitian Tanah, analisis tanah di Laboratorium Puslitbang Tanah dan Agroklimat.
Waktu penelitian dari bulan Oktober 2002 –
Oktober 2003.
31
Bahan dan Peralatan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Citra Landsat-7 ETM
berbentuk digital dengan spesifikasi sebagai
berikut: Path 122, row 64 dan 65; sensor TM, tanggal 12 Maret dan 16 Juni 2000, resolusi 30 meter (TM-6, 15 meter). 2.
Peta Geologi Bersistem Indonesia skala 1 : 100.000, yaitu : (a) Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi et al., 1998); (b). Peta Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu (Turkandi et al., 1992); dan Peta Geologi Teknik daerah Bogor-Jakarta, skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1970).
3.
Peta topografi skala 1 : 25.000 (Bakosurtanal, 1998) dalam bentuk digital format Arc/Info, interval kontur 12,5 meter, meliputi lembar Cisarua (1209142), lembar Cibinong (1209-421) dan lembar Cigudeg (1209-133). Perangkat lunak yang digunakan adalah ER-Mapper Versi 6.2; Arcview
versi 3.3, dan Arc/Info versi 3.5.1.
Peralatan yang digunakan antara lain
Personal Computer dengan Processor Pentium IV, Digitizer, Plotter. Peralatan lapang antara lain : bor belgi, Munsell Soil Color Chart, pisau lapang, meteran, pH truogh, kompas, altimeter, loupe, dan GPS (Global Positioning System).
Metode
Untuk mencapai tujuan penelitian, telah dilakukan tiga tahap penelitian, yaitu : (1). Pengolahan citra Landsat-7 ETM dan pembuatan DEM; (2). Pengamatan lapang
dan interpretasi data, (3). Evaluasi Hasil.
Diagram alir
pelaksanaan penelitian disajikan dalam Gambar 2.
32
Analisis Citra Landsat-7 ETM
Peta kontur Skala 1:25.000
Citra Landsat
Pemilihan kombinasi band Analisis visual
Peta Relief
Peta Landform
Analisis spektral (Tesseled cap)
Peta geologi
Peta geologi
Peta Bahan nduk
Peta Bahan induk
DEM
DEM
Data pengamatan lapang dan analisis tanah
Data pengamatan lapang dan analisis tanah
Peta Satuan Lahan
Analisis Perpaduan Citra Landsat–7 dengan DEM
Analisis DEM
Peta Landform
Peta Relief
Peta Relief
Peta Landform
Peta Landform (Citra + DEM )
Peta Satuan Lahan
Peta Tanah Semi Detail
Peta Tanah Semi Detail
Peta Landform
Citra Landsat- 7
Pengujian
Peta Relief
Peta geologi
Peta Relief (Citra + DEM)
Data pengamatan lapang dan analisis tanah
Peta Satuan Lahan
Pengujian
Peta Tanah Semi Detail
Pengujian Rendah
Sedang
Verifikasi Lapang
Tinggi
Peta Tanah Semi Detail Terpilih
Rendah
Verifikasi Lapang
Sedang
Tinggi
Peta Tanah Semi Detail Terpilih
Gambar 2. Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian 33
Rendah
Verifikasi Lapang
Sedang
Tinggi
Peta Tanah Semi Detail Terpilih
Peta Bahan induk
Pengolahan Citra Landsat-7 ETM dan Pembuatan DEM Tahap Pra Pengolahan Citra Satelit Sebelum pelaksanaan analisis citra Landsat-7 ETM, dilakukan koreksi radiometris dan geometris citra. Koreksi radiometris bertujuan untuk mengurangi kesalahan perekaman nilai pixel yang diakibatkan oleh adanya pengaruh azimuth matahari dan kondisi atmosfer lainnya seperti kabut, aerosol dan untuk meningkatkan
ketajaman
citra.
Koreksi
geometrik
ditujukan
untuk
mentransformasi sebuah citra, sehingga memiliki skala dan sistem proyeksi yang diinginkan dan dapat dipadukan dengan peta hasil pengukuran terestris. Sistem proyeksi yang digunakan adalah Universal Transverse Mercartor (UTM) sesuai dengan sistem proyeksi yang digunakan dalam peta topografi.
Analisis Citra Landsat-7 ETM Analisis visual relief dan landform Untuk tujuan analisis visual dipilih kombinasi band 5-4-2. Kombinasi ini merupakan kombinasi yang memberikan kenampakan terbaik dilihat dari kekontrasan dan kejelasan secara visual. Delineasi satuan relief dan landform secara spasial didasarkan kepada ciri struktural dan ciri spektral. Ciri struktural yang digunakan antara lain bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, tingkat torehan, pola drainase dan asosiasi. Ciri spektral yang digunakan adalah warna-warna yang tampak dalam kombinasi band yang digunakan.
Dalam delineasi relief
dan landform secara visual, ciri struktural lebih banyak digunakan dari pada ciri spektral. Ciri spektral terutama digunakan untuk membedakan daerah-daerah pelembahan atau jalur aliran sungai yang relatif basah. Setiap poligon hasil delineasi relief diberi nama mengikuti klasifikasi relief seperti tertera dalam Tabel 4, sedangkan untuk landform mengikuti kriteria dari Marsoedi et al. (1997).
34
Tabel 4. Klasifikasi Relief dan Kelas Lereng yang Digunakan Dalam Analisis Citra Landsat-7 ETM dan DEM Simbol
Relief
Kelas Lereng … %.....
A
Datar
0-3
B
Berombak atau landai
3-8
C
Bergelombang atau agak miring
8 - 15
D
Berbukit atau miring
15 - 30
E
Bergunung atau agak curam
30 - 45
F
Bergunung atau curam
45 - 60
G
Bergunung atau sangat curam
> 60
Analisis Digital Analisis digital digunakan untuk mencari hubungan antara nilai pixel dengan satuan tanah dari tiga komponen citra di masing-masing contoh. Analisis dilakukan dengan transformasi Tesseled cap (Kauth dan Thomas, dalam Crist dan Cicone, 1984), untuk mendapatkan rangkuman data (compressed data) informasi dari 6 band (1, 2, 3, 4, 5 dan 7) menjadi 3 komponen citra. Hasilnya berupa tiga komponen citra,
yaitu indeks kecerahan (brightness), indeks
kehijauan (greeness) dan indeks kebasahan (wetness). Perangkat lunak yang digunakan adalah ER Mapper Versi 6,2. Klasifikasi nilai pixel dari ketiga indeks tersebut dilakukan secara tidak terbimbing (unsupervised).
Hasil klasifikasi
digunakan sebagai dasar dalam menentukan contoh di lapangan. Hasil analisis ini berupa hubungan antara kombinasi komponen citra dengan sifat-sifat tanah atau klasifikasi tanah di lapangan.
Perangkat lunak yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antara tiga komponen citra dengan sifat-sifat tanah atau klasifikasi tanah di lapangan adalah SPPS (Statistical Programe for Social Science) versi 12,0 (Santoso, 2003).
35
Pembuatan dan Analisis DEM
Pembuatan DEM Model elevasi digital (DEM) dibuat dari peta topografi digital skala 1 : 25.000 dengan interval kontur 12,5 meter (Bakosurtanal, 1998),
DEM yang
dibuat mempunyai resolusi 30 meter disesuaikan dengan resolusi citra Landsat-7 ETM. Data DEM yang dihasilkan dalam format Arcview (grid), kemudian dirubah ke dalam format ER Mapper (ers) untuk bahan analisis relief dan landform.
Analisis Relief dan Landform dari DEM Masukan (input) data yang digunakan untuk menyusun peta relief dari DEM adalah kelas lereng dan ketinggian tempat. Formula yang digunakan untuk mengkelaskan dan mendelineasi kelas lereng adalah formula If … then …else. Sebagai contoh apabila akan membuat kelas lereng datar (lereng < 3%) dan berombak (lereng 3-8%), maka formula yang digunakan adalah If input1 < 3 then 1 else if input1 <= 8 then 2 else null. Kelas lereng yang terbentuk adalah kelas 1 (lereng < 3%) dan kelas 2 (lereng 3– 8%). Lereng diklasifikasikan menjadi 7 kelas (Tabel 4), dan bentuk lereng diklasifikasikan menjadi : rata (nilai 0), cembung (nilai 1 sampai 3) dan cekung (-1 sampai –3). Klasifikasi ketinggian tempat ditentukan berdasarkan berbagai pertimbangan, terutama adanya faktor yang berpengaruh terhadap klasifikasi landform atau penyebaran tanahnya.
Faktor-faktor tersebut terlihat dari
penampilan DEM dalam bentuk tiga dimensi.
Faktor yang dimaksud adalah
break of slope, pola drainase dan bentukan spesifik lainnya. Berdasarkan hal tersebut dihasilkan 4 kelas ketinggian tempat, yaitu < 600 meter, 600 – 900 meter, 900 – 1.100 meter dan >1.100 meter.
36
Klasifikasi landform dari Marsoedi et al. (1997) disusun untuk pemetaan tanah semi detail (skala 1 : 50.000). Dalam klasifikasi tersebut atribut landform yang dipakai adalah : kemiringan lereng, bentuk lereng dan ketinggian tempat atau elevasi. Selain itu, litologi digunakan juga sebagai atribut tambahan. Kemiringan lereng, ketinggian tempat dan bentuk lereng diturunkan dari DEM. Peta litologi lokasi Cisarua dibuat dari peta geologi lembar Bogor, skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998) dan untuk lokasi Cigudeg serta Cibinong dibuat dari peta peta geologi teknik Jakarta-Bogor skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1970). Teknik pembuatan peta kemiringan lereng dan bentuk lereng masing-masing menggunakan filter DEM lereng (nilai 0 sampai 200%) dan filter DEM profil curvature (nilai –3 sampai 3). Dalam pembuatan peta landform secara digital, masing-masing peta atribut landform ditumpang tepatkan dan diolah secara digital menggunakan teknik klasifikasi ISODATA (Iteration Self-Organizing Data Analysis Technique) unsupervised (tak terbimbing). pengelolaan citra satelit.
Teknik ini umumnya digunakan untuk
Dalam prosedur klasifikasi landform, atribut landform
diidentikan seperti band (kanal) dari multispektral citra satelit (Irvin et al., 1997). Setiap poligon yang terbentuk akan mempunyai kelas kemiringan lereng, bentuk lereng dan ketinggian tempat tertentu serta keadaan litologinya. Penamaan satuan landform setiap poligon yang terbentuk juga memperhatikan tampilan secara tiga dimensi dan disesuaikan dengan kriteria klasifikasi landform dari Marsoedi et al. (1997).
Beberapa contoh penamaan landform berdasarkan
atribut landform yang terbentuk disajikan dalam Tabel 5. Ukuran poligon hasil klasifikasi dan delineasi landform harus memenuhi syarat ukuran minimum yaitu 0,4 cm2 (Forbes et al., 1983). Untuk skala 1 : 50.000, ukuran poligon terkecil setara dengan 10 ha. Penggabungan poligonpoligon kecil kedalam poligon lebih besar atau sama dengan 10 ha menggunakan teknik Eliminate secara bertahap dalam perangkat lunak Arc/info versi 3.5.1 37
Tabel 5. Beberapa Contoh Penamaan Landform Berdasarkan Atribut Landform yang Terbentuk Kelas lereng
Bentuk lereng
%
Ketinggian
Litologi
Pola Drainase
Sifat lain
Kelas landform
meter dpl
0-8
Cekungrata
< 900
Aluvium
Variasi
Terdapat aliran sungai yang cukup luas
Jalur aliran sungai
3-8
Rata
< 900
Tuf volkanik
Variasi
Bagian bawah dari kerucut volkanik, tidak membentuk igir
Kaki volkanik bawah
8-30
Cembung
900-1100
Tuf volkanik
Paralel
Bagian tengah dari kerucut volkanik, membentuk igir sejajar
Lungur volkanik atas
8-30
Cembung
600-900
Tuf volkanik
Paralel
Bagian bawah dari kerucut volkanik, membentuk igir sejajar
Lungur volkanik bawah
3-8
Rata
< 900
Koluvial (dari volkanik tua)
Variasi
Bagian bawah dari perbukitan atau pegunungan volkanik tua
Lereng koluvial
15 -30
Cembungrata
< 900
Volkanik tua (lava dan breksi)
Sub paralel
Bagian bawah dari pegunungan volkanik tua
Perbukitan volkanik
3-8
Cembung -rata
< 900
Batuan sedimen (batuliat, batupasir)
Variasi
Berumur tua (tersier) dan stabil
Peneplain berombak
> 30
Cembungrata
> 900
Batuan volkanik tua
Radial
Bagian atas dari bekas kerucut volkanik, cukup torehan (dissected)
Lereng volkanik tua tertoreh
3 – 8%
Rata
< 400
Tuf volkanik
Paralel
Bagian tengah dari bentukan bahan volkanik yang diendapkan menyerupai kipas
Kipas volkanik bagian tengah
38
Hasil analisis landform dan relief digunakan sebagai dasar untuk pengecekan dan penempatan contoh di lapangan.
Selain untuk tujuan
pengecekan kebenaran hasil analisis dengan keadaan sesungguhnya di lapangan, juga dimaksudkan untuk mencari hubungan antara penyebaran tanah dengan atribut landform. Pengukuran lereng dan pengamatan atribut lainnya dilakukan pada setiap kelas lereng yang terbentuk.
Setiap site tempat
pengamatan dilakukan di tiga tempat sebagai ulangan dengan jarak antara pengamatan 30 meter.
Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengani DEM Pada prinsipnya perpaduan analisis citra Landsat-7 ETM dengan DEM, dimaksudkan untuk saling melengkapi data diantara keduanya. Caranya adalah dengan menumpang tempatkan antara suatu jenis peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM dengan hasil analisis DEM.
Hasilnya berupa peta hasil analisis
Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM.
Teknik menumpang tepatkan
dua jenis peta tersebut menggunakan perangkat lunak Arcview 3.3.
Pengamatan Lapang dan Interpretasi Data
Pengamatan lapang Untuk menguji unsur-unsur satuan peta tanah hasil interpretasi dan untuk mendapatkan titik-titik pasti (reference points) yang digunakan dalam analisis dilakukan pengamatan di lapangan.
Koordinat setiap lokasi pengamatan
ditetapkan dengan menggunakan alat GPS. Pengamatan dilakukan terhadap parameter-parameter sifat tanah, landform, relief dan bahan induk yang menjadi unsur pembentuk satuan peta.
Pengamatan dilakukan pada sekelompok pixel
terpilih untuk setiap poligon dari setiap peta hasil analisis.
39
Pengamatan tanah dilakukan bersama-sama dengan pengamatan parameter yang lainnya untuk penilaian nilai pixel citra. Hasilnya ditujukan untuk mencari hubungan antara pola penyebaran tanah dengan atribut
landform
maupun nilai pixel citra. Pengamatan tanah mengikuti jalur-jalur berdasarkan transek lereng dari pola-pola yang dijumpai dari hasil analisis DEM. Pengamatan sifat-sifat tanah dilakukan melalui pemboran atau minipit dan profil tanah. Sifat-sifat yang diamati lebih banyak ditekankan kepada sifat-sifat tanah yang dipakai untuk tujuan klasifikasi tanah dan interpretasinya untuk penggunaan lahan (fase).
Dari hasil pengamatan di lapangan diharapkan dapat
dikelompokkan klasifikasi tanah yang sama pada kategori tertentu serta dapat diketahui komposisinya di lapangan berdasarkan posisinya dalam landform. Tata cara pengamatan tanah dan lingkungannya mengikuti prosedur dan kriteria dalam Soil Survey Manual (Soil Survey Staff, 1993). diambil dari masing-masing satuan tanah
berbeda
Contoh tanah
untuk
laboratorium terutama untuk tujuan klasifikasi tanahnya.
dianalisis
di
Analisis tanah
mengacu pada Soil Survey Investigation Report No.1 (Soil Conservation Service, 1972). Tanah-tanah yang dijumpai diklasifikasikan sampai tingkat famili menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003).
Interpretasi Data Pada tahap ini peta landform dan peta relief hasil analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM pengamatan lapang.
dengan
DEM, diperbaiki
berdasarkan
data
hasil
Perbaikan meliputi perbaikan atribut landform dan relief
maupun perbaikan hasil delineasi. Peta landform dan peta relief yang sudah diperbaiki dengan data lapang dianggap sebagai peta yang paling sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan dan dalam proses evaluasi diasumsikan sebagai peta acuan. 40
Pada tahap ini dilakukan juga perbaikan klasifikasi tanah lapangan, berdasarkan hasil analisis tanah laboratorium.
Klasifikasi tanah dilakukan
berdasarkan klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) sampai kategori famili, pada setiap profil pewakil, maupun pada setiap data pemboran. Data klasifikasi tanah setiap pemboran diperlukan untuk mempelajari hubungan klasifikasi tanah dengan komponen citra hasil transformasi Tesseled cap . Untuk mempelajari hubungan kelompok/klasifikasi tanah dengan tiga komponen citra hasil transformasi tesseled cap yaitu indeks kecerahan, kehijauan dan kebasahan dilakukan dengan analisis statistik multivariat. Teknik mencari hubungan antara kelompok (klasifikasi atau sifat-sifat tanah) pada berbagai tingkat kategori klasifikasi melalui
dengan
komponen
citra
dilakukan
analisis
diskriminan menggunakan perangkat lunak SPSS, versi 12,0
(Santoso, 2003).
Ketiga komponen citra tersebut dijadikan sebagai variabel
bebas (independent variable), sedangkan kelompok/klasifikasi tanah dijadikan sebagai variabel tak bebas (dependent variable). Analisis dilakukan pada heterogen, dan homogen.
daerah yang mempunyai penggunaan lahan
Analisis pada daerah yang mempunyai penggunaan
lahan homogen hanya dilakukan di lokasi Cibinong pada penggunaan lahan: kebun singkong dan kebun bambu. Tujuan dari penggunaan analisis ini adalah : (1). Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok tanah pada kategori Famili sampai Ordo atau sifat-sifat penciri; (2).
Untuk mengetahui variabel bebas (kecerahan, kehijauan atau
kebasahan) yang paling berperan; (3). Membuat model diskriminan untuk pengelompokkan tanah-tanah yang berbeda dalam citra. Untuk melihat perbedaan komposisi satuan tanah antar satuan lahan yang dibentuk oleh landform, relief dan bahan induk dari suatu metode analisis dilakukan dengan analisis diskriminan. Komposisi satuan tanah yang terdapat dalam setiap satuan lahan dijadikan sebagai variabel bebas (independent variable), dan satuan lahan dijadikan sebagai variabel tak bebas (dependent 41
variable).
Hasil analisis ini digunakan untuk mempelajari hubungan antara
penyebaran satuan lahan dengan penyebaran dan komposisi satuan tanah dan untuk melihat faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran tanahnya.
Evaluasi Hasil Tahap ini dilakukan untuk melihat kualitas unsur-unsur pembentuk satuan peta tanah yang dihasilkan dengan metode analisis citra Landsat-7 ETM maupun perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM.
Metode Perhitungan Ketepatan Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kualitas peta adalah ketepatan satuan peta yang didasarkan kepada kemurnian satuan peta. Kemurnian satuan peta merupakan salah satu indikator ketepatan identifikasi isi satuan peta. Penilaian ketepatan satuan peta dilakukan terhadap semua peta unsur-unsur satuan peta tanah yang terdiri dari peta landform, relief dan satuan tanah untuk masing-masing metode yang digunakan. Perhitungan kemurnian peta didasarkan kepada kemurnian setiap satuan peta. Kemurnian setiap satuan peta dihitung berdasarkan persentase antara luasan isi suatu satuan peta berdasarkan keadaan sebenarnya di lapangan (acuan) dibandingkan dengan luasan isi suatu satuan peta yang ditunjukkan dalam legenda peta dari suatu metode pemetaan.
Formula yang digunakan
adalah: Kemurnian =
Luas isi suatu satuan peta hasil suatu metode Luas isi suatu satuan peta acuan
x 100%
Kriteria ketepatan peta berdasarkan kelas yang dikemukakan oleh Forbes dan Van Wambeke (1983) yang dimodifikasi, yaitu :
42
1). Ketepatan tinggi apabila mempunyai kemurnian > 85 persen. 2). Ketepatan sedang apabila mempunyai kemurnian > 50 dan < 85 persen 3). Ketepatan rendah apabila mempunyai kemurnian < 50 persen.
Metode Penilaian Karakteristik Peta Tanah
Karakteristik peta tanah merupakan salah satu penciri ketelitian dan ketepatan delineasi satuan peta. disebut tekstur meliputi
peta
Bentuk dan ukuran hasil delineasi
(Eswaran et al., 1981).
Parameter yang diukur
luasan terkecil hasil delineasi (MSD), luasan rata-rata hasil
delineasi (ASD), indeks reduksi pengecilan maksimum (IMR).
Metode
penetapan MSD, ASD dan IMR mengikuti cara yang dikemukakan dalam Eswaran et al. (1981) . Nilai MSD diperoleh dari tabel atribut semua poligon setiap peta tanah hasil suatu metode, sedangkan nilai ASD diperoleh dengan merata-ratakan seluruh ukuran poligon yang terbentuk pada setiap peta tanah. Tabel atribut setiap poligon dapat dimunculkan dalam program Arcview 3.3. Nilai IMR dihitung berdasarkan formula: ASD (cm2) Index of maximum reduction (IMR) = -----------------MSD (cm2) Kelas tekstur peta didasarkan kepada kriteria dari Eswaran et al. (1981), yaitu : 1). Sangat halus, apabila IMR < 2. 2). Halus, apabila 2 < IMR < 4. 3). Sedang, apabila 4 < IMR < 6. 4). Kasar, apabila 6 < IMR < 10. 5). Sangat kasar, apabila IMR > 10.
43
Tekstur peta menunjukkan ukuran dan distribusi hasil delineasi suatu peta.
Semakin halus tekstur suatu peta tanah menunjukkan bahwa peta
mempunyai
ukuran poligon semakin kecil atau ukuran poligon semakin
seragam.
Metode Penilaian Kualitas Peta Penilaian kualitas peta didasarkan kepada hasil pengujian ketepatan peta landform, peta lereng dan satuan tanah. Ketepatan yang paling rendah salah satu atau lebih dari ketiga unsur pembentuk satuan peta tanah merupakan faktor yang paling menentukan kualitas peta tanah. Kualitas peta dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : tinggi, sedang dan rendah. Sebagai contoh apabila ketepatan peta landform tergolong tinggi, ketepatan peta relief tergolong sedang dan ketepatan satuan tanahnya tergolong rendah maka kualitas peta tanahnya tergolong rendah. Karakteristik peta atau tekstur peta digunakan untuk mempelajari dan menganalisis penyebab baik buruknya kualitas peta yang dihasilkan dari suatu metode.
Tekstur peta akan memberikan pertimbangan apakah kualitas peta
yang rendah atau sedang hasil suatu metode masih memungkinkan untuk diperbaiki atau tidak.
Analisis Tanah di Laboratorium
Jenis analisis tanah yang dilakukan terhadap profil-profil pewakil, untuk mendukung klasifikasi tanahnya.
Untuk itu jenis-jenis analisis
setiap profil disesuaikan dengan kemungkinan klasifikasinya.
Jenis
analisis yang digunakan adalah sebagai berikut : 1.
Kemasaman tanah (pH tanah) ditetapkan dengan pH meter.
2.
Karbon organik ditetapkan dengan metode Peech, Alexander, Dean dan Reed (1947) dan Walkley (1935) dalam Soil Conservaion Service (1972).
44
3.
Kapasitas tukar kation ditetapkan dengan metode Peech et. al. (1947) yang dimodifikasi dalam Soil Conservaion Service (1972).
4.
Kalsium, magnesium, kalium dan natrium ditetapkan dengan ekstrak NH4OAc N pH 7,0.
5.
Kejenuhan basa ditetapkan dari basa-basa yang terekstraksi oleh NH4OAc N pH 7,0 dan dihitung berdasarkan hasil bagi jumlah basa-basa dengan kapasitas tukar kation.
6.
Khusus untuk tanah-tanah yang diduga mempunyai horison argilik, penetapan kejenuhan basa berdasarkan jumlah kation. Perhitungannya adalah : basa-basa dapat ditukar (ekstrak NH4 OAc N pH 7,0) dibagi dengan basa-basa dapat ditukar ditambah dengan extractable acidity . Extractable acidity didapat dari hasil ekstraksi oleh BaCl2 trietanol amine pada pH 8,2.
7.
Kadar P2O 5 ditetapkan dengan metode Bray I untuk tanah- tanah netral atau basis dan Bray II untuk tanah-tanah masam.
8.
Retensi fosfat dengan metode isothermal Langmuir.
9.
Aluminium dan hidrogen ditetapkan dengan ekstraksi KCl N kemudian dititrasi dengan HCl (Soil Conservation Service, 1972).
10.
Nitrogen total ditetapkan dengan metode Kjeldahl (Soil Conservation Service, 1972).
11.
Bahan amorf ditetapkan dengan pengukuran pH dalam larutan NaF 1N (Soil Soil Conservation Service, 1972).
12.
Fe dan Al Oksalat ditetapkan dengan ekstrak asam Oksalat (Soil Conservation Service, 1972).
13.
Ukuran besar butir ditetapkan dengan metode pipet.
14.
BD ditetapkan pada tekanan 33 kPa.
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tampilan Model Elevasi Digital (DEM) DEM yang dibuat di ketiga lokasi penelitian berasal dari peta topografi digital format Arc/Info, skala 1 : 25.000 dengan interval 12,5 m (Bakosurtanal, 1998).
Jika
dibandingkan dengan kontur pada peta topografi ,
jelas memperlihatkan keadaan relief suatu daerah. DEM yang dibuat dari peta topografi di lokasi Cisarua.
DEM
lebih
Peta 2 memperlihatkan Dari tampilan tersebut
secara visual terlihat keadaan landform, relief, pola drainase, dan tingkat torehan yang dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan pemetaan tanah. Dalam penelitian ini, dari DEM tersebut dilakukan analisis digital untuk mendapatkan peta relief dan peta landform.
Analisis dilakukan secara otomatis sehingga
diperoleh hasil yang lebih detail dan lebih cepat dibandingkan dengan cara konvensional.
Peta 2. DEM Daerah Cisarua, Skala 1 : 125.000 46
Penyusunan dan Delineasi Unsur-unsur Satuan Peta Tanah
Landform Daerah Penelitian Landform daerah penelitian Cisarua ditampilkan dalam bentuk peta yang dilengkapi dengan legenda peta. Dalam pelaksanaan analisis ini peta geologi digunakan sebagai data pendukung. Peta acuan dibuat berdasarkan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM yang dilengkapi dengan hasil pengamatan di lapangan
Lokasi Cisarua Peta 3, 4 dan 5 menyajikan Peta Landform masing-masing hasil dari analisis: citra Landsat-7 ETM, analisis DEM, dan analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM.
Uraian legenda dari masing-masing Peta
Landform disajikan dalam Tabel 6. Ketiga peta tersebut menghasilkan jumlah satuan peta maupun satuan landform yang berbeda, masing-masing sebanyak 10, 15 dan 16 satuan peta. pada
Selain itu, ketiganya menghasilkan satuan landform
kategori yang berbeda (Tabel 6).
Citra
Landsat-7 ETM mampu
menganalisis landform sampai kategori ke tiga atau ke empat, sedangkan dari DEM, dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mampu menganalisis sampai kategori ke empat.
Landform pada kategori ini sudah cukup untuk
digunakan sebagai unsur penyusun satuan peta tanah semi detail. Terdapat lima satuan landform yang tidak dapat dianalisis dari citra Landsat-7 ETM, yaitu Dataran antar perbukitan (A2.3), Lereng koluvial (A2.2.3), Kaki perbukitan (V3.3), Pegunungan volkan atas (V3.2.2) dan Aliran lahar subresen (V3.7.2).
Hal tersebut terjadi karena tidak jelasnya unsur-unsur
interpretasi yang dapat digunakan untuk membedakan satuan landform seperti warna, tekstur, pola drainase, dan tingkat torehan.
Se mentara dari DEM
terdapat dua satuan landform yang tidak dapat dianalsis yaitu: Jalur aliran (A1.5)
47
48
49
50
51
Tabel 6. Satuan Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM, Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan Peta Acuan di Lokasi Cisarua Citra Landsat- 7 ETM __________________________ No. Landform ____________________________ Grup Subgrup (1) (2) (3) (4) 1. 2. 3. 4 5. 6. 7. 8 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16. 17
A V V V V V V V V V -
A1 V1 V1 V1 V1 V3 V3 V3 V3 V3 -
Keterangan : A A1 A1.5 A2 A2.2 A2.2.3 A2.3. V V1 V1.1
A1.5 V1.1 V1.1 V1.6 V1.6 V3.1 V3.2 V3.5 V3.5 V3.5 -
V1.1.4 V1.1.5 V1.6.1 V1.6.2 V3.5.1 V3.5.2 V3.5.3 -
DEM _________________________ Landform _________________________ Grup Subgrup (1) (2) (3) (4) A A V V V V V V V V V V V V V -
= Aluvial = Lahan aluvial = Jalur aliran = Lahan aluvio- koluvial = Lahan koluvial = Lereng koluvial = Dataran antar perbukitan = Volkan = Volkan berlapis = Kerucut volkan
A2 A2 V1 V1 V1 V1 V1 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 -
Citra Landsat- 7 ETM + DEM ___________________________ Landform ___________________________ Grup Subgrup (1) (2) (3) (4)
A2.2 A2.3 V1.1 V1.1 V1.1 V1.6 V1.6 V3.1 V3.1 V3.2 V3.2 V3.3 V3.5 V3.5 V3.5 -
A2.2.3 V1.1.4 V1.1.5 V1.1.6 V1.6.1 V1.6.2 V3.1.1 V3.1.2 V3.2.1 V3.2.2 V3.5.1 V3.5.2 V3.5.3 -
A A A V V V V V V V V V V V V V -
A1 A2 A2 V1 V1 V1 V1 V1 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 -
V1.1.4 V1.1.5 V1.1.6 V1.6 V1.6.1 V1.6.2 V3 V3.1 V3.1.1 V3.1.1
= Lereng volkan tengah = Lereng volkan bawah = Kaki volkan = Lungur volkan = Lungur volkan bawah = Lungur volkan atas = Volkan tua = Perbukitan volkan = Perbukitan volkan bawah = Perbukitan volkan atas
A1.5 A2.2 A2.3 V1.1 V1.1 V1.1 V1.6 V1.6 V3.1 V3.1 V3.2 V3.2 V3.3 V3.5 V3.5 V3.5 -
A2.2.3 V1.1.4 V1.1.5 V1.1.6 V1.6.1 V1.6.2 V3.1.1 V3.1.2 V3.2.1 V3.2.2 V3.5.1 V3.5.2 V3.5.3 -
V3.2 V 3.2.1 V3.2.2 V3.3 V3.5 V3.5.1 V3.5.2 V3.5.3 V3.7 V3.7.2
52
Acuan ____________________________ Landform ____________________________ Grup Subgrup (1) (2) (3) (4) A A A V V V V V V V V V V V V V V
A1 A2 A2 V1 V1 V1 V1 V1 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3 V3
A1.5 A2.2 A2.3 V1.1 V1.1 V1.1 V1.6 V1.6 V3.1 V3.1 V3.2 V3.2 V3.3 V3.5 V3.5 V3.5 V3.7
= Pegunungan volkan = Pegunungan volkan bawah = Pegunungan volkan atas = Kaki perbukitan = Kerucut volkan tua = Lantai kepundan tua = Dinding kepundan tua = Lereng volkan tua = Aliran lahar tua = Aliran lahar subresen
A2.2.3 V1.1.4 V1.1.5 V1.1.6 V1.6.1 V1.6.2 V3.1.1 V3.1.2 V3.2.1 V3.2.2 V3.5.1 V3.5.2 V3.5.3 V3.7.2
dan Aliran lahar subresen (V3.7.2.). Dari DEM jalur aliran dan aliran lahar subresen sulit dipisahkan dengan satuan landform lainnya, karena poligon yang terbentuk yang disusun oleh keempat atribut landform (kemiringan lereng, bentuk lereng, ketinggian tempat dan litologi) tidak cukup luas untuk digambarkan dalam peta berskala 1 : 50.000.
Namun setelah dipadukan
dengan hasil analisis citra Landsat-7 ETM, hanya aliran lahar subresen saja (V3.7.2) yang tidak dapat di analisis. Berikut ini diuraikan landform yang dijumpai di lokasi Cisarua setelah dilengkapi dengan hasil pengamatan di lapangan. Ada dua grup landform yang dijumpai yaitu Grup Aluvial (A) dan Grup Volkan (V).
Grup Aluvial (A) Grup aluvial yang dijumpai terdiri dari tiga satuan landform yaitu: Jalur aliran (A1.5), Lereng koluvial (A2.2.3) dan Dataran antar perbukitan (A2.3). Jalur aliran (A1.5)
hanya dapat dianalisis dari citra Landsat-7 ETM karena
letaknya sepanjang Sungai Ciliwung Hulu dengan relief berombak, banyak dijumpai warna-warna hitam (sawah) dan warna hijau (tanaman lahan kering). Hasil pengamatan di lapangan mendapat kan bahwa sepanjang Sungai Ciliwung Hulu mempunyai jalur aliran dengan lebar antara 50 – 100 meter, dengan relief
berombak (lereng 3 – 8 persen) dan penggunaan lahannya
berupa sawah serta tanaman palawija. Jalur aliran ini terbentuk akibat aktivitas sungai, terlihat dari adanya stratifikasi bahan akibat pengendapan dari sungai yang berulang-ulang. Satuan landform Lereng koluvial (A2.2.3) tidak dapat dianalisis dari citra Landsat-7 ETM, tetapi dapat dianalisis dari DEM. Satuan ini dibedakan dari satuan landform di sekitarnya karena mempunyai relief berombak dan posisinya terletak pada bagian bawah dari perbukitan volkan. dengan bergelombang sulit dibedakan dari citra.
Antara relief berombak Hal ini disebabkan tidak
53
tampaknya perbedaan unsur-unsur interpretasi
seperti tingkat torehan dan
perbedaan vegetasi, sehingga sulit untuk membedakan antara Perbukitan volkan (V3.1) dengan Lereng koluvial (A2.2.3)
Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa satuan landform ini terletak pada lereng bawah dari perbukitan
atau
pegunungan
volkan
dan
mempunyai relief
berombak.
Penggunaan lahannya tidak menunjukkan hal yang spesifik, sebagian besar digunakan untuk tanaman pangan lahan kering, sawah belukar dan pemukiman. Dataran antar perbukitan (A2.3) merupakan lembah yang relatif sempit di antara perbukitan atau pegunungan dan mempunyai relief berombak. Satuan landform ini tampak tidak berbeda dengan daerah sekitarnya jika dilihat dari citra Landsat-7 ETM.
Penggunaan lahannya juga tidak menunjukkan perbedaan
dengan daerah sekitarnya.
Oleh karena itu hasil analisis dari citra tidak
mendapatkan satuan landform ini.
Dari DEM satuan landform ini dapat
dianalisis karena mempunyai relief berbeda dari daerah sekitarnya, yaitu mempunyai relief berombak di antara relief berbukit di sekitarnya.
Grup volkan Grup volkan yang dijumpai terdiri dari: Kerucut volkan (V1.1), Lungur volkan (V1.6), Perbukitan volkan (V3.1), Pegunungan volkan (V3.2), Kerucut volkan tua (V3.5) dan Aliran lahar sub resen (V3.7).
Kerucut volkan (V1.1)
dapat dianalisis dari citra Landsat-7 ETM karena ciri khas dari bentuknya, bertekstur kasar, mempunyai torehan-torehan tajam, pola drainase radial, dan relief berombak sampai bergunung.
Dari citra Landsat-7 ETM, kerucut volkan
ini dapat didelineasi secara tegas menjadi tiga satuan landform yaitu : Lereng volkan tengah (V1.1.4), Lereng volkan bawah (V1.1.5) dan Kaki volkan (V1.1.6), sedangkan lereng volkan atas (V1.1.3) berada di luar daerah penelitian. Adanya satuan landform Kaki volkan (V1.1.6.) dapat dianalisis dengan bantuan DEM, yaitu berdasarkan posisi, ketinggian tempat dan kemiringan lereng.
54
Hasil pengamatan lapangan didapatkan bahwa kerucut volkan ini betulbetul tersusun dari bahan volkan. dominan.
Bahan-bahan tuf dan abu volkan sangat
Bahan-bahan tersebut menunjukkan bahwa bahan diendapkan
melalui udara dan berkaitan dengan aktivitas volkanik. singkapan-singkapan
yang
dijumpai
di
lapangan
Selain itu, dari
menunjukkan
adanya
stratifikasi yang jelas, terutama dari ukurannya. Ha l ini menunjukkan bahwa aktifitas volkanik terjadi secara berulang-ulang. Subgrup landform Lungur volkan (V1.6) dapat didelineasi dari citra Landsat-7 ETM dan dibedakan menjadi dua satuan landform, yaitu Lungur volkan bawah (V1.6.1) dan Lungur volkan atas (V1.6.2).
Lungur volkan ini
tampak merupakan lungur-lungur (ridges) yang memanjang sejajar mengikuti arah lereng makro Gunung Pangrango, mempunyai pola drainase paralel, relief bergelombang dan berbukit. Lungur volkan bawah (V1.6.1) dan volkan atas (V1.6.2) dibedakan atas dasar letak ketinggiannya. Satuan Landform lainnya yang dijumpai adalah Sub grup Volkan tua (V3), terbagi menjadi Perbukitan volkan (V3.1.), Pegunungan volkan (V3.2), Kerucut volkan tua (V3.5) dan Aliran lahar volkan tua (V3.7).
Landform
Perbukitan volkan (V3,1) dan Pegunungan volkan (V3.2) tampak berbeda dengan bentuk Kerucut volkan (V1.1).
Keduanya berupa perbukitan dan
pegunungan yang memanjang tanpa adanya kikisan yang tajam seperti halnya kerucut volkan. Pola drainase berbentuk sub paralel dendritik.
Dari pola dan
kenampakannya, landform ini tampaknya terbentuk dari batuan yang relatif lebih keras daripada batuan yang menyusun kerucut volkan. Peta Geologi Lembar Bogor (Effendi et al, 1998) menunjukkan bahwa landform tersebut disusun oleh batuan yang terdiri dari bongkah-bongkah andesit, breksi dan lava. Hasil pengamatan lapang menunjukkan hasil yang serupa dengan informasi geologinya.
Bongkahan-bongkahan batuan andesit, breksi tampak
terlihat dari singkapan-singkapan yang dijumpai terutama daerah bergunung.
55
Pada daerah yang relatif dekat dengan pusat erupsi Gunung Pangrango, lapisan atasnya tertutup oleh bahan-bahan volkan muda (abu dan tuf). Pada satuan landform pegunungan volkan, ketebalan tutupan bahan volkan baru cukup tipis (tidak lebih dari 25 cm), bahkan pada lereng-lereng yang sangat terjal tutupan baru ini sudah hilang. Kerucut volkan tua (V3.5) tampak jelas dari citra maupun dari DEM, meskipun bentuk kerucutnya sudah tidak utuh dan merupakan kerucut volkan dari Gunung Gegerbentang (Effendi et al., 1998). Namun demikian lapisan atas dari kerucut ini sebagian tertutup oleh bahan-bahan yang berasal dari volkan muda Gunung Pangrango (abu dan tuf). Adanya tutupan baru ini tampak dari singkapan-singkapan yang ada di lapangan.
Kerucut volkan tua (V3.5)
menurunkan 3 satuan landform, yaitu Lantai kepundan tua (V3.5.1), Kepundan tua (V3.5.2) dan Lereng volkan tua (V3.5.3). Satuan landform kepundan tua/kawah tua (V3.5.1) cukup jelas dan dapat dianalisis dari citra Landsat-7 ETM maupun dari DEM, dicirikan oleh adanya lubang membulat dengan dinding yang sangat curam tetapi sudah terpotongpotong.
Kepundan
tersebut
merupakan
kepundan
tua
dari
Gunung
Gegerbentang. Dinding kepundan tampak sudah tererosi dan dinding bagian utara sudah runtuh mengalirkan material ke lereng bagian utara membentuk satuan landform Aliran lahar sub resen (V3.7.2).
Dari citra Landsat-7 ETM
lubang kepundan tua ini terlihat sudah ditutupi oleh vegetasi hutan yang tidak berbeda dengan daerah di sekitarnya. Mengingat sulitnya asesibilitas ke satuan landform ini disertai kelerengan yang sangat terjal, pengamatan di lapangan hanya dapat dilakukan dengan intensitas rendah. Satuan landform Lantai kepundan tua (V3.5.1) berada di bagian tengah dari kepundan tua. Dari citra Landsat-7 maupun DEM, Lantai kepundan tua (V3.5.1) dibedakan dengan satuan landform lainnya, karena mempunyai perbedaan
ketinggian, kemiringan lereng serta tingkat torehan.
Lantai
56
kepundan tua ini mempunyai relief bergelombang (lereng 8-15%), sedangkan Kepundan tua (V3.5.2) berlereng sangat terjal (lebih dari 60%). Satuan landform Lereng volkan tua (V3.5.3) merupakan bagian dari kerucut volkan tua, terletak di bagian bawah dari Kepundan tua (V3.5.2). Lereng volkan tua ini diduga merupakan bagian dari lereng volkan atas, sedangkan lereng volkan tengah dan bawah sudah tertutup oleh bahan-bahan tutupan baru dari letusan Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Semula satuan landform Aliran lahar subresen (V3.7.2) ini tidak
tampak
jelas dari citra Landsat-7 ETM maupun setelah dipadukan dengan DEM dan dianggap sebagai bagian dari Lereng volkan tengah (V1.1.4) dan Lereng volkan bawah (V1.1.3). Hasil pengamatan lapangan mendapatkan bahwa pada lereng volkan tengah dan lereng volkan bawah terdapat suatu bagian yang mempunyai kerikil, kerakal dan batu (boulder) di dalam penampang tanah. Dari singkapansingkapan yang dijumpai terlihat batu-batu berukuran besar terdapat di bagian yang lebih dalam.
Selain itu, di permukaan juga terdapat batu-batu dalam
jumlah yang bervariasi tetapi tidak merata. Hasil pengamatan lapang inilah yang menyimpulkan bahwa daerah ini merupakan aliran lahar tua dan dijadikan dasar dalam interpretasi ulang untuk memperbaiki hasil identifikasi dan delineasi. Dari pengamatan ulang yang cukup seksama terhadap citra Landsat-7 ETM, ternyata satuan landform ini memberikan gambaran yang sedikit berbeda dengan lereng volkan bagian atas. Pola drainase sedikit berbeda, yaitu agak paralel, selain itu torehan-torehan yang ada juga tidak terlalu dalam dan terjal.
Kualitas Peta Penggunaan ketiga metode analisis dan delineasi satuan landform tersebut di atas menghasilkan peta yang mempunyai perbedaan dalam jumlah dan jenis satuan landform maupun bentuk dan ukuran poligon.
Perbedaan
tersebut menunjukkan adanya perbedaan kualitas peta, oleh karena itu perlu
57
dilakukan pengujian ketepatan peta sebagai salah satu parameter kualitas peta. Tabel 7 menyajikan hasil pengujian ketepatan peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM yang didasarkan kepada kemurnian setiap satuan petanya. Tabel 7 memperlihatkan bahwa satuan landform Jalur aliran (A1.5), Pegunungan volkan atas (V3.2.2), dan Lereng volkan tua (V3.5.3) dan kepundan tua (V3.5.2) yang dihasilkan dari analisis citra Landsat-7 ETM mempunyai ketepatan yang tinggi (kemurnian > 85 persen), sedangkan Lantai kepundan tua (V3.5.1) mempunyai ketepatan sedang (kemurnian 50 – 85 persen). Hal ini berkaitan erat dengan kenampakan yang jelas dari unsur-unsur interpretasi yang terlihat dalam citra Landsat-7 ETM tersebut. Adanya lereng yang curam (daerah bergunung), tingkat torehan yang sangat jelas, serta kenampakan lainnya seperti bentuk dari lubang kepundan tua yang khas serta jalur aliran sungai sepanjang Sungai Ciliwung menyebabkan hasil analisis mempunyai ke tepatan tinggi. Satuan landform lainnya mempunyai ketepatan rendah (kemurnian < 50 persen).
Penyebabnya adalah karena tidak jelasnya unsur-unsur interpretasi
yang dapat dianalisis dari citra. Peta Landform Hasil Analisis DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM masing-masing mempunyai ketepatan rata-rata 96 dan 98 persen (Tabel 8 dan 9).
Peta yang demikian tergolong peta yang baik karena
mempunyai ketepatan lebih dari 85 persen.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa penambahan DEM dalam citra Landsat-7 ETM, membantu meningkatkan ke tepatan hasil analisis.
Adanya peningkatan ketepatan ini
sangat dimungkinkan karena adanya tambahan informasi terutama mengenai ketinggian tempat dan kemiringan lereng.
Meskipun peta landform yang
dihasilkan dari perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM cukup baik, namun masih terdapat satu satuan landform, yaitu aliran lahar sub resen (V3.7.2) belum teranalisis dengan baik.
Oleh karena itu pengecekan di lapangan perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan hasil analisis.
58
Tabel 7. Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cisarua Satuan landform hasil analisis citra Landsat-7
_ 1
2
3
4
5
6
7
Peta acuan 8 9
_ 10
11
12
13
14
15
16
17 Ketepatan ……………………………………………………………………………..% ………………………………………………………………………….
1. 100 100 2. 3. 4. 43 25 32 43 5. 2 35 31 24 8 35 6. 7. 1 6 7 46 35 1 4 46 8. 2 21 2 23 32 16 4 32 9. 1 18 2 5 30 7 9 21 2 3 30 10. 11. 12. 4 3 7 87 3 87 13. 14. 65 35 65 15. 6 86 18 86 16. 3 1 89 2 89 17. _____________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 61
Keterangan: 1. Jalur aliran (A1.5). 2. Lereng koluvial (A2.2.3). 3. Dataran antar perbukitan (A2.3). 4. Lereng volkan tengah (A1.1.4). 5. Lereng volkan bawah (A1.1.5). 6. Kaki volkan (V1.1.6). 7. Lungur volkan bawah (V1.6.1)
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Lungur volkan atas (V1.6.2). Perbukitan volkan bawah (V3.1.1). Perbukitan volkan atas (V3.1.2). Pegunungan volkan baw ah (V3.2.1). Pegunungan volkan atas (V3.2.2). Kaki perbukitan (V3.3). Lantai kepundan tua (V3.5.1).
15. Kepundan tua (V3.5.2) 16. Lereng volkan tua (V3.5.3). 17. Aliran lahar sub resen (V3.7.2).
59
Tabel 8. Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis DEM di Lokasi Cisarua Satuan landform hasil analisis _ DEM 1
2
3
4
5
6
7
Peta acuan 8 9
_ 10
11
12
13
14
15
16
_ 17
Ketepatan
………………………………………………………………..……………..% ……………..……………………………………………………………. 1. 2. 100 100 3. 100 100 4. 98 1 1 98 5. 5 94 1 94 6. 5 9 86 86 7. 7 93 93 8. 96 4 96 9. 100 100 10. 100 100 11. 99 1 99 12. 100 100 13. 1 92 7 92 14. 100 100 15. 3 97 97 16. 100 100 17. _____________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 96
Keterangan: 1. Jalur aliran (A1.5). 2. Lereng koluvial (A2.2.3). 3. Dataran antar perbukitan (A2.3). 4. Lereng volkan tengah (A1.1.4). 5. Lereng volkan bawah (A1.1.5). 6. Kaki volkan (V1.1.6). 7. Lungur volkan bawah (V1.6.1)
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Lungur volkan atas (V1.6.2). Perbukitan volkan bawah (V3.1.1). Perbukitan volkan atas (V3.1.2). Pegunungan volkan bawah (V3.2.1). Pegunungan volkan atas (V3.2.2). Kaki perbukitan (V3.3). Lantai kepundan tua (V3.5.1).
15. Kepundan tua (V3.5.2) 16. Lereng volkan tua (V3.5.3). 17. Aliran lahar sub resen (V3.7.2).
60
Tabel 9. Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua Satuan landform hasil analisis _ Peta acuan _ Ketecitra Landsat-7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 patan + DEM ……………………………………………………………………..…………..% …………..……………………………………………………………. 1. 100 100 2. 100 100 3. 100 100 4. 100 100 5. 99 1 99 6. 10 90 90 7. 100 100 8. 96 4 96 9. 100 100 10. 100 100 11. 99 1 99 12. 100 100 13. 1 1 91 7 91 14. 100 100 15. 100 100 16. 100 100 17. ______________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 98
Keterangan: 1. Jalur aliran (A1.5). 2. Lereng koluvial (A2.2.3). 3. Dataran antar perbukitan (A2.3). 4. Lereng volkan tengah (A1.1.4). 5. Lereng volkan bawah (A1.1.5). 6. Kaki volkan (V1.1.6). 7. Lungur volkan bawah (V1.6.1)
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Lungur volkan atas (V1.6.2). Perbukitan volkan bawah (V3.1.1). Perbukitan volkan atas (V3.1.2). Pegunungan volkan bawah (V3.2.1). Pegunungan volkan atas (V3.2.2). Kaki perbukitan (V3.3). Lantai kepundan tua (V3.5.1).
15. Kepundan tua (V3.5.2) 16. Lereng volkan tua (V3.5.3). 17. Aliran lahar sub resen (V3.7.2).
61
Lokasi Cigudeg
Peta 7, 8 dan 9 menyajikan Peta Landform masing-masing yang dihasilkan dari analisis citra Landsat-7 ETM, DEM dan perpaduan citra Landsat7 ETM dengan DEM.
Uraian legenda masing-masing peta landform yang
dihasilkan ketiga metode analisis disajikan dalam Tabel 10.
Daerah Cigudeg
dan sekitarnya terbagi menjadi 4 grup landform, yaitu : Grup Aluvial (A), Grup Karst (K), Grup Volkanik (V), Grup Tektonik dan struktural (T).
Berikut ini
diuraikan landform yang dijumpai di lokasi Cigudeg.
Grup Aluvial (A) Grup aluvial yang dijumpai terdiri dari empat satuan landform yaitu: Jalur aliran (A1.5), Teras sungai (A1.2), Lereng koluvial (A2.2.3) dan Dataran antar perbukitan (A2.3).
Jalur aliran (A1.5) tampak dalam citra sepanjang aliran
Sungai Cikaniki dan Sungai Cidurian. Dengan dominan warna merah kehitaman (kombinasi band 5-4-2) atau warna merah (transformasi tesseled cap) yang menandakan penggunaan lahan sawah serta sebagian berupa kebun palawija. Dari DEM, jalur aliran ini dapat dipisahkan karena letaknya di sepanjang ke dua
sungai
tersebut
serta
mempunyai
relief datar dan berombak.
Berdasarkan hasil pengamatan lapangan di sebagian besar jalur aliran Sungai Cikaniki tidak semuanya berupa jalur aliran, tetapi pada bagian yang letaknya agak jauh dari badan sungai lebih sesuai kalau dikategorikan sebagai teras sungai (A1.2),
karena posisinya yang lebih tinggi dari jalur aliran dan tidak
pernah terluapi jika banjir.
Berdasarkan Peta Geologi Teknik Jakarta –
Bogor (Direktorat Geologi Indonesia, 1970), batuan induk teras sungai ini terdiri dari batuliat atau batupasir dari Formasi Bojongmanik. Formasi ini kemungkinan besar sudah tertimbun oleh bahan-bahan baru yang diendapkan oleh sungai, sehingga yang menjadi bahan induknya berupa bahan aluvium.
62
63
64
65
66
Tabel 10.
Satuan Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM, Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan Peta Acuan di Lokasi Cigudeg
Citra Landsat -7 TM ________________________ No. Landform ________________________ Grup Sub grup -
Citra Landsat-7 ETM + DEM ________________________ Landform ________________________ Grup Sub grup
Acuan ___________________________ Landform ___________________________ Grup Sub - grup
1.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
A
A1
A.2
-
-
2.
A A1
A1.5 -
-
A
A1
A1.5
-
-
A
A1
A1.5
-
-
A
A1
A1.5 -
-
3.
-
-
-
-
-
A
A2
A2.2
A2.2.3
-
A
A2
A2.2
A2.2.3
-
A
A2
A2.2 A2.2.3
-
4.
-
-
-
-
-
A
A2
A2.3
-
-
A
A2
A2.3
-
-
A
A2
A2.3 -
-
5.
K K3
-
-
-
K
K3
-
-
-
K
K3
-
-
-
K
K3
-
-
-
6.
V V3
V3.1 V3.1.1
-
V
V3
V3.1
V3.1.1
-
V
V3
V3.1
V3.1.1
-
V
V3
V3.1 V3.1.1
-
7.
V V3
V3.1 V3.1.2
-
V
V3
V3.1
V3.1.2
-
V
V3
V3.1
V3.1.2
-
V
V3
V3.1 V3.1.2
-
8.
V V3
V3.2 V3.2.1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
V
V3
V3.2 V3.2.1
-
9.
V V3
V3.2 V3.2.2
-
V
V3
V3.2
V3.2.2
-
V
V3
V3.2
V3.2.2
-
V
V3
V3.2 V3.2.2
-
10.
-
-
-
-
-
V
V3
V3.3
-
-
V
V3
V3.3
-
-
V
V3
V3.3 -
-
11.
V V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.1
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.1
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.1
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.1
12.
V V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.2
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.2
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.2
V
V3
V3.5
V3.5.3
V3.5.3.2
13.
V V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.1
V
V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.1
V
V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.1
V
V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.1
14.
V V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.2
V
V3
V3.5
V3.5.4
V3.5.4.2
V
V3
V3.5
V3.5
V3.5.4.2
V
V3
V3.5
V3.5
V3.5.4.2
15.
-
-
-
-
V
V4
V4.1
-
-
V
V4
V4.1
-
-
V
V4
V4.1
-
-
16
T T2
T2.1
-
-
T
T2
T2.1
-
-
T
T2
T2.1
-
-
T
T2
T2.1
-
-
17.
T T2
T2.2
-
-
T
T2
T2.2
-
-
T
T2
T2.1
-
-
T
T2
T2.1
-
-
18.
-
-
-
-
-
T
T10
T10.1 -
-
T
T10 T10.1 -
-
-
-
-
-
-
19.
-
-
-
-
-
T
T10
T10.2 -
-
T
T10 T10.2 -
-
T
T10 T10.2 -
-
20.
T T10 T10.3 -
-
T
T10
T10.3 -
-
T
T10 T10.3 -
-
T
T10 T10.3 -
-
21.
T T12 T12.1 T12.1.1
-
T
T12
T12.1 -
-
T
T12 T12.1 -
-
T
T12 T12.1 -
-
-
-
DEM _________________________ Landform _________________________ Grup Sub grup
67
Keterangan : A A1 A1.2 A1.5 A2 A2.2.3 A2.3 K K3 V V3 V3.1.1 V3.1.2 V3.2.1
= Grup aluvial. = Subgrup lahan aluvial. = Teras sungai. = Jalur aliran. = Lahan aluvio- koluvial. = Lereng koluvial. = Dataran antar perbukitan. = Grup Karst. = Subgrup Perbukitan Karst. = Grup Volkan. = Sub grup Volkan tua. = Perbukitan volkan tidak tertoreh. = Perbukitan volkan tertoreh. = Pegunungan volkan tidak Tertoreh V3.2.2 = Pegunungan volkan tertoreh. V3.3 = Kaki perbukitan. V3.5.3.1 = Lereng volkan tua bagian bawah tidak tertoreh.
V3.5.3.2 = Lereng volkan tua bagian bawah tertoreh. V3.5.4.1 = Lereng volkan tua bagian atas tidak tertoreh. V3.5.4.2 = Lereng volkan tua bagian atas tertoreh. V4 = Sub grup Intrusi. V4.1. = Intrusi andesit. T = Grup Tektonik dan Struktural. T2 = Subgrup Meza. T2.1 = Punggung Meza. T2.2 = Gawir. T10 = Subgrup Peneplain. T10.1 = Peneplain datar. T10.2 = Peneplain berombak. T10.3 = Peneplain bergelombang. T12 = Subgrup Perbukitan dan pegunungan tektonik. T12.1.1 = Perbukitan tektonik tidak tertoreh.
Lereng koluvial (A2.2.3) terdapat pada bagian bawah dari suatu perbukitan dengan relief berombak.
Satuan landform ini dari citra Landsat-7
ETM sama sekali tidak terlihat atau sulit untuk diidentifikasi dan didelineasi. Dengan bantuan DEM, satuan landform ini cukup terlihat karena mempunyai perbedaan relief dari daerah sekitarnya.
Hasil pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa pada daerah-daerah demikian bahan yang menyusunnya terdiri dari bahan koluvium.
Seperti halnya Lereng koluvial, satuan landform
Dataran antar perbukitan (A2.3) juga tidak terlihat keberadaannya dalam citra Landsat-7 ETM, namun dengan bantuan DEM satuan landform ini dapat diindetifikasi dan didelineasi. Satuan ini meskipun ukurannya tidak terlalu luas, namun karena letaknya berada pada lereng atas dari volkan tua sehingga keberadaannya sangat kontras dibandingkan dengan daerah sekitarnya.
Karst (K) Grup
Karst
merupakan
batugamping masif (limestone).
landform
yang
didominasi
oleh
bahan
Grup karst yang ada di areal contoh Cigudeg
terdapat di sebelah utara Jembatan Sadang dan mempunyai relief berbukit. Oleh
68
karena itu pada kategori Subgrup landformnya dikategorikan sebagai Perbukitan Karst (K3).
Perbukitan karst ini muncul membentuk perbukitan tersendiri pada
daerah bergelombang dari batuan sedimen batupasir bertufa dan batuliat. Perbukitan
karst
(K3)
ini
tampak
dari
citra
Landsat-7 ETM
karena
membentuk suatu perbukitan berbentuk lensa yang berbeda dari daerah sekitarnya.
Dari DEM adanya perbukitan karst ini juga tampak meskipun
bentuknya sedikit berbeda dengan hasil analisis dari Citra Landsat-7 ETM. Perbukitan karst ini berada pada satu jalur dengan perbukitan karst di Ciampea.
Grup Volkanik (V) Landform volkanik terbentuk karena proses aktivitas volkanik atau gunung berapi.
Menurut Direktorat Geologi Indonesia (1970) dan Effendi et al. (1998)
batuan yang menyusun landform volkanik di lokasi Cigudeg terdiri dari batuan gunung api tua dan intrusi. dalam
Pada kategori subgrup landform ini termasuk ke
Landform Volkan tua (V3) dan Intrusi (V4).
Satuan landform yang
dijumpai terdiri dari Perbukitan volkan (V3.1), Pegunungan volkan (V3.2), Kaki Perbukitan (V3.3), Lereng volkan tua (V3.5). Perbukitan volkan (V3.1) merupakan bagian dari grup Volkan tua. Dari citra Landsat-7 ETM pada satuan landform ini tampak adanya torehan-torehan yang jelas. Pegunungan volkan (V3.2) dicirikan dengan adanya torehan-torehan yang lebih tajam dibandingkan dengan daerah sekitarnya yang menunjukkan perbedaan ketinggian yang cukup besar. Dari DEM daerah perbukitan volkan dicirikan oleh relief bergelombang sampai berbukit (lereng lebih dari 15 persen) dengan perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 meter. Landform Perbukitan volkan (V3.1), berdasarkan tingkat torehannya dipilah menjadi Perbukitan volkan tidak tertoreh (V3.1.1) dan Perbukitan volkan tertoreh (V3.1.2).
Untuk landform Pegunungan volkan (V3.2), satuan yang
dijumpai hanya terdiri dari satu satuan yaitu Pegunungan volkan tertoreh (V3.2.2). 69
Satuan landform lainnya yang dijumpai dari sub grup Volkan tua (V3) adalah Kaki perbukitan (V3.3).
Hasil analisis perpaduan Citra Landsat-7 ETM
dan DEM mendapatkan bahwa Kaki perbukitan ini dipisah dari Perbukitan volkan karena perbedaan posisi atau ketinggian tempat dan relief. Kaki perbukitan posisinya dalam landskap terletak pada bagian bawah dari keseluruhan Volkan tua dan mempunyai relief bergelombang (lereng 8 – 15%).
Namun satuan
landform ini dari Citra Landsat-7 ETM tidak dapat diidentifikasi dan didelineasi, karena tidak menunjukkan adanya perbedaan gambaran dari daerah sekitarnya. Hasil pengecekan di lapangan menunjukkan bahwa relief bergelombang yang dianalisis dari DEM pada kenyataannya di lapangan mempunyai relief berbukit Di lokasi Cigudeg terdapat volkan tua tetapi mempunyai bekas kerucut volkan yang cukup jelas meskipun sudah tidak utuh lagi akibat proses erosi yang cukup lama. Landform yang demikian diklasifikasikan ke dalam Lereng volkan tua (V3.5).
Berdasarkan posisi dan tingkat torehannya Lereng volkan tua ini
dipilah menjadi empat satuan landform, yaitu Lereng volkan tua bagian bawah tidak tertoreh (V3.5.3.1), Lereng volkan tua bagian bawah tertoreh (V3.5.3.2), Lereng volkan tua bagian atas tidak tertoreh (V3.5.4.1), Lereng volkan tua bagian atas tertoreh (V3.5.4.2). Di bagian barat daerah Cigudeg yang berbatasan dengan Kecamatan Jasinga terdapat Sub grup landform Intrusi andesit
(V4).
Dari citra Landsat-7
ETM maupun dari DEM satuan landform ini sulit untuk dipisahkan secara tegas, karena tidak menunjukkan bentuk yang spesifik. Adanya intrusi ini diperoleh dari keterangan Peta Geologi (Direktorat Geologi Indonesia, 1970) serta pengamatan lapang.
Oleh karena itu delineasi intrusi andesit antara hasil analisis Citra
Landsat-7 ETM maupun DEM menunjukkan bentuk yang tidak sama. Terdapat perbedaan delineasi satuan landform antara hasil analisis citra Landsat-7 ETM dengan DEM.
Dari citra terdapat beberapa poligon yang
diduga termasuk Pegunungan volkan tetapi setelah dianalisis dengan DEM dan hasil pengamatan lapang ternyata termasuk Perbukitan volkan. Demikian juga 70
untuk memisahkan antara Perbukitan volkan dan Peneplain bergelombang juga cukup sulit.
Kenampakan dari citra Landsat-7 ETM antara daerah berbukit
dengan daerah bergelombang juga tidak tegas. Oleh karena itu delineasi antara hasil analisis citra Landsat-7 ETM, analisis DEM, perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM cukup berbeda seperti yang ditampilkan dalam Peta 7, 8, dan 9. Secara umum hasil delinesai satuan landform dari citra Landsat-7 ETM lebih kasar dengan ukuran poligon yang besar-besar, sedangkan hasil delineasi dengan kedua metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM hasilnya lebih halus dengan ukuran poligon yang lebih kecil dan lebih banyak.
Grup Tektonik dan Struktural (T) Grup tektonik dan struktural di daerah Cigudeg terdiri dari Punggung Meza
(T2.1),
Gawir
(T2.2),
Peneplain
berombak
(T10.2),
Peneplain
bergelombang (T10.3), Perbukitan tektonik (T12.1) dan Pegunungan tektonik (T12.2).
Pada Grup landform Tektonik dan struktural, terdapat suatu wilayah
yang relatif tinggi akibat proses pengangkatan, dengan permukaan yang relatif mendatar (berombak sampai bergelombang), dan pada sisi-sisinya menunjukkan penurunan mendadak ke arah yang lebih rendah. Menurut klasifikasi landform dari Marsoedi et al. (1997) daerah yang demikian diklasifikasikan sebagai Meza (T2).
Bagian permukaan atau punggung dari suatu Meza dengan relief
berombak sampai bergelombang selanjutnya disebut sebagai Punggung Meza (T2.1), sedangkan bagian sisi yang menunjukkan penurunan mendadak diklasifikasikan sebagai satuan landform Gawir (T2.2). Perbukitan tektonik (T12.1) disusun oleh batuan sedimen berumur tersier, terutama dari Formasi Bojongmanik yang terdiri dari batuliat, batupasir dan batupasir bertufa (Direktorat Geologi Indonesia, 1970).
Perbukitan tektonik
(T12.1) tidak menunjukkan adanya torehan-torehan, sehingga pada kategori lebih rendah dimasukkan ke dalam Perbukitan tektonik tidak tertoreh (T12.1.1).
71
Terdapat perbedaan hasil analisis antara ketiga metode yang digunakan pada grup landform Peneplain (P). Hasil analisis citra Landsat-7 ETM , peneplain yang dijumpai hanya berupa Peneplain bergelombang (T10.3), sedangkan analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dan DEM menghasilkan Peneplain datar (T10.1), Peneplain berombak (T10.2) dan Peneplain bergelombang (T10.3). Hasil pengamatan lapang hanya diperoleh Peneplain berombak (T10.2) dan Peneplain bergelombang (T10.3) serta tidak dijumpai adanya Peneplain datar (T10.1).
Dari citra Landsat-7 ETM ternyata sulit untuk memisahkan daerah
berombak deng an bergelombang, sehingga semua daerah berombak dinyatakan sebagai daerah bergelombang. Dari hasil analisis DEM, semua daerah datar ternyata mempunyai relief berombak.
Kualitas Peta Hasil pengujian ketepatan peta untuk masing-masing satuan landform dan rata-ratanya di lokasi Cigudeg disajikan dalam Tabel 11, 12 dan 13. Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil analisis landform dari citra
Landsat-7 ETM
dan DEM masing-masing menghasilkan kemurnian rata-rata sebesar 75 persen dan 82 persen atau ketepatannya sedang ,
dan perpaduan keduanya
menghasilkan kemurnian 85 persen atau ketepatan tinggi . Dengan memadukan antara citra Landsat-7 ETM dengan DEM, maka kemurnian peta meningkat menjadi 85 persen atau berketepatan tinggi. Hasil analisis citra Landsat-7 ETM mempunyai ketepatan rata-rata sedang, dengan kemurnian 73 persen. Dari tiga belas satuan landform yang dihasilkan tujuh satuan landform mempunyai ketepatan tinggi (kemurnian > 85%), dua satuan landform mempunyai ketepatan sedang (kemurnan 50-85%) dan tiga satuan landform mempunyai ketepatan rendah (kemurnian < 50%) (Tabel 11).
Satuan-satuan landform dengan ketepatan rendah umumnya
terletak pada relief datar atau berombak atau mempunyai unsur-unsur interpretasi citra yang tidak jelas. 72
Tabel 11.
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cigudeg
No. Satuan landform hasil analisis citra Landsat-7
_ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peta acuan 10 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
_ Kete21 patan
……………………………………………………………………………………..% …………………………………………………………………………. 1. 2. 17 49 1 3 22 1 7 49 3. 4. 5. 99 1 99 6. 87 3 4 6 87 7. 2 98 98 8. 8 92 96 8. 6 94 96 10. 11. 7 1 45 2 4 5 5 1 29 45 12. 2 82 2 2 6 4 1 1 82 13. 1 1 3 91 4 91 14. 4 96 96 15. 16. 88 12 88 17. 15 1 11 21 55 18 1 55 18. 19. 20 7 8 22 1 11 10 9 32 9 21 1 34 1 1 3 60 60 ____________________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 75
Keterangan: 1. Teras sungai (A1.2). 2. Jalur aliran (A1.5). 3. Lereng koluvial (A2.2.3). 4. Dataran antar perbukitan (A2.3). 5. Perbukitan karst (K3). 6. Perbukitan volkan tidak tertoreh (V3.1.1) 7. Perbukitan volkan tertoreh (V3.1.2) 8. Pegunungan volkan tidak tertoreh (V3.2.1) 9. Pegunungan volkan tertoreh (V3.2.2).
10. Kaki perbukitan (V3.3). 11. Lereng volkan tua bagian bawah tidak tertoreh (V3.5.3.1). 12. Lereng volkan tua bagian bawah tertoreh (V3.5.3.2). 13. Lereng volkan tua bagian atas tidak tertoreh (V3.3.5.4.1). 14. Lereng volkan tua bagian atas tertoreh (V3.3.5.4.2).
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Intrusi andesit (V4.1). Punggung Meza (T2.1). Gawir (T2.2). Peneplain datar (T10.1). Peneplain berombak (T10.2). Peneplain bergelombang (T10.3). Perbukitan tektonik tidak tertoreh (T12.1.1).
73
Tabel 12.
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis DEM di Lokasi Cigudeg.
No. Satuan landform hasil analisis DEM
_ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peta acuan 10 11
12
13
14
15
16
17
18
___ 19 20
_ Kete21 patan
…………………………………………………………………………..% ………..……………………………………………………………………………. 1. 2. 42 57 1 57 3. 100 100 4. 100 100 5. 7 51 42 51 6. 95 4 1 95 7. 100 100 8. 9. 100 100 10. 48 52 52 11. 100 100 12. 100 100 13. 1 90 9 90 14. 12 88 88 15. 100 100 16. 100 100 17. 10 1 84 4 1 84 18. 0 100 0 19. 3 97 97 20 4 1 53 41 53 21 5 4 91 91 ____________________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 82
Keterangan: 1. Teras sungai (A1.2). 2. Jalur aliran (A1.5). 3. Lereng koluvial (A2.2.3). 4. Dataran antar perbukitan (A2.3). 5. Perbukitan karst (K3). 6. Perbukitan volkan tidak tertoreh (V3.1.1) 7. Perbukitan volkan tertoreh (V3.1.2) 8. Pegunungan volkan tidak tertoreh (V3.2.1) 9. Pegunungan volkan tertoreh (V3.2.2)
10. Kaki perbukitan (V3.3). 11. Lereng volkan tua bagian bawah tidak tertoreh (V3.5.3.1). 12. Lereng volkan tua bagian bawah tertoreh (V3.5.3.2). 13. Lereng volkan tua bagian atas tidak tertoreh (V3.3.5.4.1). 14. Lereng volkan tua bagian atas tertoreh (V3.3.5.4.2).
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Intrusi andesit (V4.1). Punggung Meza (T2.1). Gawir (T2.2). Peneplain datar (T10.1). Peneplain berombak (T10.2). Peneplain bergelombang (T10.3). Perbukitan tektonik tidak tertoreh (T12.1.1).
74
Tabel 13.
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg
No. Satuan landform hasil analisis citra Landsat-7 +DEM
_ 1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peta acuan 10 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
_ 21
Ketepatan
……………………………………………………………………………..% ………..……………………………………………………………………………. 1. 2. 41 58 1 7 58 3. 100 100 4. 100 100 5. 7 93 93 6. 99 1 99 7. 100 100 8. 9. 100 100 10. 52 48 48 11. 100 100 12. 100 100 13. 97 3 97 14. 2 98 98 15. 100 100 16. 100 100 17. 8 89 3 89 18. 0 100 0 19. 3 97 97 20 1 2 41 56 41 21 5 4 91 91 ____________________________________________________________________________________________________________________________________ Rata-rata 85
Keterangan: 1. Teras sungai (A1.2). 2. Jalur aliran (A1.5). 3. Lereng koluvial (A2.2.3). 4. Dataran antar perbukitan (A2.3). 5. Perbukitan karst (K3). 6. Perbukitan volkan tidak tertoreh (V3.1.1) 7. Perbukitan volkan tertoreh (V3.1.2) 8. Pegunungan volkan tidak tertoreh (V3.2.1) 9. Pegunungan volkan tertoreh (V3.2.2).
10. Kaki perbukitan (V3.3). 11. Lereng volkan tua bagian bawah tidak tertoreh (V3.5.3.1). 12. Lereng volkan tua bagian bawah tertoreh (V3.5.3.2). 13. Lereng volkan tua bagian atas tidak tertoreh (V3.3.5.4.1). 14. Lereng volkan tua bagian atas tertoreh (V3.3.5.4.2).
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Intrusi andesit (V4.1). Punggung Meza (T2.1). Gawir (T2.2). Peneplain datar (T10.1). Peneplain berombak (T10.2). Peneplain bergelombang (T10.3). Perbukitan tektonik tidak tertoreh (T12.1.1).
75
Peta hasil analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM
masing-masing mempunyai ketepatan rata-rata 82 dan 85 persen, dari
sembilan belas satuan landform yang dihasilkan, hanya satu satuan landform mempunyai ketepatan rendah atau kemurnian kurang dari 50 persen, yaitu satuan landform Peneplain datar (Tabel 12 dan 13). Hal ini disebabkan karena rendahnya ketepatan hasil analisis dari DEM untuk salah satu atribut landform tersebut, yaitu kemiringan lereng. Semua relief datar berdasarkan hasil analisis DEM pada kenyataannya di lapangan mempunyai relief berombak.
Lokasi Cibinong Peta 11, 12 dan 13 menyajikan Peta Landform masing-masing yang dihasilkan dari analisis citra Landsat-7 ETM, DEM dan perpaduan citra Landsat7 ETM dengan DEM. Uraian legenda masing-masing Peta Landform disajikan dalam Tabel 14.
Daerah Cibinong dan sekitarnya merupakan bagian dari
landform kipas aluvial (A2.1)
yang cukup luas.
Menurut Marsoedi et. al.
(1996) kipas aluvial adalah daerah endapan fluvio-koluvial berbentuk kipas yang terjadi karena aliran dari wilayah pegunungan/perbukitan melalui celah sempit di daerah pelembahan atau pinggir dataran.
Selanjutnya Effendi et al (1998)
menyebut daerah ini juga sebagai kipas aluvial. Sumber bahannya berasal dari Gunung Salak dan Gunung Pangrango. Mengingat bahwa kipas alluvial ini meliputi daerah luas di luar lokasi contoh Cibinong, maka analisisnya pun meliputi daerah di luar lokasi contoh. Dilihat dari posisinya lokasi contoh Cibinong terletak di bagian tengah kipas (A2.1.2). Meskipun demikian dari citra Landsat-7 ETM sulit untuk me misahkan secara tegas antara Kepala kipas (A2.1.1), Bagian tengah kipas (A2.1.2) dan Kaki kipas (A2.1.3).
Khusus untuk lokasi Cibinong dari hasil interpretasi citra
Landsat-7 ETM satuan landform yang dijumpai terdiri dari: Bagian tengah kipas (A2.1.2) dan Jalur aliran (A1.5), keduanya termasuk ke dalam Grup Aluvial (A
76
77
78
79
80
Tabel 14.
Satuan Landform Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM, Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan Peta Acuan di Lokasi Cibinong
Citra Landsat ________________ No. Landform ________________ Grup Sub grup
DEM __________________ Landform __________________ Grup Sub grup
1.
A
A1 A1.5 -
A
A1
2.
A
A2 A2.1 A2.1.2
A A2
A1.5
-
A2.1 A2.1.2
Citra Landsat + DEM __________________ Landform ____________________ Grup Sub grup
A
A1
A1.5
A
A2
A2.1
-
Acuan _____________________ Landform _____________________ Grup Sub grup
A
A2.1.2
A
A1
A1.5
-
A2
A2.1 A2.1.2
Keterangan : A = Grup aluvial, A1 = Subgrup lahan aluvial, A1.5 = Jalur aliran, A2.1 = kipas aluvial, A2.1.2 = bagian tengah kipas aluvial.
Satuan landform jalur aliran (A1.5) tampak dengan jelas dalam citra Landsat-7 ETM terutama dari anak-anak Sungai Ciliwung dan Cisadane, dengan warnawarna dominan merah (Kombinasi band 5-4-2 atau hasil transformasi tesseled cap) mengikuti aliran sungai. Namun untuk Sungai Ciliwung aliran
ini
sulit
membedakannya
dilakukan dengan
karena
tidak
daerah-daerah
adanya
penciri
delineasi yang
jalur dapat
sekitarnya. Sebagian besar jalur
aliran Sungai Ciliwung tertutup oleh vegetasi cukup rapat terutama kebun bambu, sama halnya dengan daerah lain di sekitarnya.
Penambahan DEM
dalam citra ternyata membantu delineasi jalur aliran Sungai Ciliwung. Dari DEM keberadaan lembah cukup jelas, karena mempunyai kemiringan lereng yang berbeda dengan posisi yang lebih rendah.
Hasil pengamatan lapang
menunjukkan bahwa Sungai Ciliwung dan anak-anak sungai lainnya mempunyai jalur aliran yang bervariasi dari 30 sampai 150 meter. Adanya stratifikasi bahan pada jalur aliran ini menunjukkan bahwa daerah ini mengalami pengendapan bahan yang berulang-ulang.
81
Satuan landform Bagian tengah kipas aluvial (A2.1.2) dicirikan oleh adanya keseragaman dalam relief, tetapi mempunyai tutupan lahan yang bervariasi.
Dilihat secara mikro (hanya lokasi contoh Cibinong) drainasenya
berpola paralel,
tetapi jika dilihat secara makro ternyata berpola dendritik.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Turkandi et al. (1992) bahwa kipas aluvial ini dicirikan oleh bagian punggung homogen mendatar. Bagian-bagian ini dipisahkan oleh jalur aliran sungai yang secara makro berpola dendritik. Dari Tabel 14 terlihat bahwa jumlah satuan landform dari ketiga peta tersebut adalah sama, yaitu jalur aliran dan bagian tengah kipas aluvial. Namun demikian satuan landform yang dihasilkan dari interpretasi citra Landsat-7 ETM mempunyai luasan yang berbeda. Sebagian jalur aliran tidak dapat didelineasi sehingga dianggap sebagai bagian dari kipas aluvial.
Kualitas Peta Salah satu parameter yang digunakan untuk menilai kualitas peta adalah ketepatan pemetaan.
Tabel 15 menyajikan hasil perhitungan ketepatan
pemetaan berdasarkan kemurnian masing-masing satuan landform. Dari Tabel 15 terlihat bahwa Peta Landform hasil analisis citra Landsat-7 ETM, maupun perpaduannya dengan DEM kemurnian 94 dan 95 persen.
mempunyai ketepatan tinggi yaitu dengan Hasil analisis DEM menghasilkan rata-rata
ketepatan sedang yaitu sebesar 81 persen. Analisis landform dari citra Landsat-7 ETM di lokasi Cibinong ternyata memberikan hasil yang baik. Perpaduannya dengan DEM hanya meningkatkan ketepatan sebesar 1 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk daerah yang mempunyai relief relatif datar, ternyata DEM tidak
banyak berperan
meningkatkan kualitas peta.
82
Tabel 15.
Matriks Uji Ketepatan Peta Landform Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong Hasil pengamatan lapang ________________________ Jalur aliran Bagian tengah (A1.5) kipas (A2.1.2)
Satuan landform hasil analisis
Ketepatan
Metode analisis citra Landsat-7 ETM Jalur aliran (A1.5) 90 10 90 Bagian tengah kipas (A2.1.2.) 2 98 98 ________________________________________________________________ Rata-rata 94 Metode analisis DEM Jalur aliran (A1.5) 79 21 79 Bagian tengah kipas (A2.1.2.) 18 82 82 ________________________________________________________________ Rata-rata 81 Metode analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM Jalur aliran (A1.5) 91 9 91 Bagian tengah kipas (A2.1.2.) 2 98 98 ________________________________________________________________ Rata-rata 95
Relief Daerah Penelitian Relief adalah keadaan tinggi rendahnya suatu wilayah di permukaan bumi ditinjau dari segi perbedaan tinggi dan kemiringan lereng (Marsoedi et al., 1996). Pada dasarnya sulit untuk menganalisis atribut relief (kemiringan lereng dan perbedaan tinggi) secara kuantitatif dari citra Landsat-7 ETM, baik secara visual maupun digital. Citra Landsat-7 ETM tidak dapat dilihat secara stereoskopis, karena itu adanya perbedaan relief hanya dapat diperkirakan dari kenampakan bayangan, torehan, pola drainase dan lain-lain.
83
Lokasi Cisarua
Dari citra Landsat-7 ETM di lokasi Cisarua, satuan relief yang dapat dianalisis secara visual
adalah
empat satuan relief yaitu: berombak,
bergelombang, berbukit dan bergunung (Tabel 16). Penyebaran secara spasial setiap satuan relief disajikan dalam Peta 15.
Tabel 16. Satuan Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua Satuan Relief
_ Kelas Lereng Landsat-7 ETM DEM
_ Landsat-7 TM + DEM
……………………………………… % …………………………………………
Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung : Agak curam Curam
3– 8 8 – 15 15 – 30 > 30 -
Sangat curam
-
3– 8 8 – 15 15 – 30
3– 8 8 – 15 15 - 30
30 – 45 45 – 60
30 – 45 45 – 60
> 60
> 60
Relief bergunung yang terlihat dari citra merupakan bagian dari kerucut volkan bagian tengah dan pegunungan volkan. Lereng-lereng yang terjal serta perbedaan ketinggian tempat terlihat dari tekstur yang kasar serta banyaknya torehan-torehan akibat erosi.
Daerah berbukit dan bergelombang merupakan
bagian dari lereng vol kan bagian bawah. Kelerengan tampak tidak terlalu terjal dengan tekstur lebih halus serta tingkat torehan semakin berkurang. Jalur aliran sepanjang Sungai Ciliwung diinterpretasikan sebagai relief berombak. Peta relief yang diturunkan dari DEM mempunyai resolusi 30 meter, berasal dari peta kontur skala 1 : 25.000 dengan interval 12,5 meter. Hasil analisis dari DEM menghasilkan satuan relief yang lebih rinci terutama untuk satuan relief bergunung.
Satuan
relief bergunung berdasarkan kemiringan 84
lerengnya dapat dipilah menjadi daerah berlereng: agak curam (lereng 30 – 45%), curam (lereng 45 – 60%) dan sangat curam (lereng lebih dari 60 %). Peta relief hasil analisis DEM di lokasi ini disajikan dalam Peta 16. Analisis relief dari perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM menghasikan peta seperti tertera dalam Peta 17. Delineasi peta ini lebih banyak mengikuti hasil delineasi dari DEM, karena dari peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM hasil delineasi tergambar lebih kasar, sedangkan dari DEM dapat dianalisis lebih rinci. Relief berbukit mempunyai kemiringan lereng antara 15 – 30%, namun dari perbedaan ketinggian terdapat dua kelas perbedaan ketinggian yaitu: perbedaan tinggi antara 50 – 300 meter dan lebih dari 300 meter.
Namun
demikian pembagian kelas reliefnya tetap dinyatakan sebagai satuan berbukit. Dalam penyusunan satuan landform, relief berbukit yang mempunyai perbedaan tinggi lebih dari 300 meter dan terletak pada batuan volkan tua dimasukkan sebagai pegunungan volkan, sedangkan relief berbukit yang mempunyai perbedaan tinggi antara 50 – 300 meter dimasukkan ke dalam perbukitan volkan.
Kualitas Peta Hasil pengujian ketepatan masing-masing satuan relief dan rata-ratanya dari hasil analisis citra Landsat-7 ETM di lokasi Cisarua disajikan dalam Tabel 17.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil analisis relief dari citra Landsat-7
ETM saja menghasilkan ketepatan rata-rata sebesar 61 persen (Tabel 17). Ketepatan yang tinggi terdapat pada wilayah berombak dan bergunung dengan kemurnian lebih dari 90 persen dan yang lainnnya mempunyai ketepatan rendah dengan kemurnian kurang dari 50 persen.
85
86
87
88
89
Tabel 17.
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cisarua Peta Acuan
Satuan relief hasil analisis citra
_ Berom bak
Bergelombang
Berbukit
_ Bergunung
Ketepatan
……………………………..% ……………………………………… Berombak
100
-
-
-
100
Bergelombang Berbukit Bergunung
35 9 -
21 11 1
32 31 7
12 49 92
21 31 92
______________________________________________________________________ Rata-rata
61
Hasil analisis dengan DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM ketepatannya masing-masing sebe sar 75 dan 76 persen (Tabel 18 dan 19).
Tingkat ketepatan dari dua cara analisis tersebut tergolong ke dalam
ketepatan sedang (kemurnian 50 - 85 persen). Tidak optimalnya hasil analisis dari DEM diduga karena peta kontur yang kurang teliti .
Peta kontur yang
digunakan dibuat secara fotogrametri dari potret udara skala 1 : 20.000. Hasil penelitian Thompson et al. (2001) mendapatkan bahwa DEM yang dibuat dari peta kontur yang berasal dari hasil interpretasi potret udara mempunyai ketepatan yang lebih rendah daripada
DEM yang dibuat dari peta kontur
berdasarkan hasil pengukuran langsung di lapangan. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk relief ber gelombang dan berbukit, hasil analisis dari citra Landsat-7 ETM, DEM maupun perpaduan keduanya belum mampu menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. Untuk daerah berombak dan bergunung hasil analisis dari ketiga metode sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu untuk daerah bergelombang dan berbukit, pengamatan di lapangan mutlak diperlukan.
90
Tabel 18. Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis DEM di Lokasi Cisarua Peta acuan Satuan relief hasil analisis DEM
_ Berombak
BergeBerbu- Bergu- Agak lombang kit nung curam
Curam
_ Sangat curam
Kete patan
………………………………% …………………………………………. Berombak
99
1
-
-
-
-
99
Bergelombang Berbukit
-
37 5
63 17
78
-
-
37 17
-
-
-
100 -
100 -
100
Bergunung a. b. c.
Agak curam Curam Sangat curam
100 100 100
______________________________________________________________________ Rata-rata 75
Tabel 19.
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cisarua
Satuan relief hasil analisis citra+DEM
Peta acuan _ Berom - BergeBerbu- Bergubak lombang kit nung
Agak Curam curam
_ Sangat curam
Ketepatan
………………………………….….% …………………………………… Berombak 100 100 Bergelombang 37 63 37 Berbukit 21 79 21 Bergunung a. Agak curam 100 100 b. Curam 100 100 c. Sangat curam 100 100 ______________________________________________________________________ Rata-rata 76
Lokasi Cigudeg Hasil analisis citra Landsat-7 ETM, lokasi Cigudeg dapat dipilah menjadi 4 satuan relief, yaitu : (1). Berombak, (2). Bergelo mbang, (3). Berbukit, (4). Bergunung (Tabel 20). Penyebaran satuan relief secara spasial disajikan dalam Peta 19.
91
92
93
94
. 95
Tabel 20. Satuan Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg Satuan Relief
_ Kelas Lereng Landsat-7 ETM DEM
_ Landsat-7 TM + DEM
……………………………………… % …………………………………………
Datar Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung : Agak curam Curam Sangat curam
3– 8 8 – 15 15 – 30
0– 3 3– 8 8 – 15 15 – 30
0- 3 3– 8 8 – 15 15 - 30
-
30 – 45 45 – 60
30 – 45 45 – 60
-
> 60
> 60
Relief berombak terdapat di sepanjang jalur sungai utama, yaitu Sungai Cikaniki dan Sungai Cidurian.
Satuan peta ini ditandai dengan penggunaan
lahan sawah yang cukup dominan.
Kerapatan alur-alur sungai tidak terlalu
banyak, yang menandakan bahwa tingkat torehannya rendah. relief
bergelombang
Satuan peta
umumnya dicirikan oleh semakin meningkatnya tingkat
torehan dengan jumlah alur-alur sungai yang semakin rapat. berbukit, selain terlihat dari jumlah alur-alur sungai
Satuan peta relief
semakin banyak, juga
bayangan akibat adanya perbedaan tinggi yang besar juga semakin tampak.
Di
daerah bergunung, pola drainase berbentuk dendritik serta adanya kikisan yang cukup tajam memberikan indikasi tentang kemiringan lereng yang curam dan perbedaan tinggi yang cukup besar.
Selain itu pada daerah bergunung ini
sebagian vegetasinya masih berupa hutan. Hasil analisis relief dari DEM, perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM menghasilkan peta relief yang disajikan pada Peta 20 dan 21. Peta relief hasil analisis DEM,
mempunyai jumlah poligon yang lebih banyak dengan
ukuran yang relatif lebih kecil serta bentuk poligon yang berbeda dengan hasil
96
analisis citra Landsat-7 ETM.
Relief bergunung dipilah lebih rinci berdasarkan
kelas lerengnya, yaitu: lereng 30 – 45 persen, lereng 45-60 persen dan lereng lebih dari 60 persen. Relief berbukit dengan lereng 15 – 30 persen mempunyai perbedaan tinggi cukup lebar, yaitu antara 50 meter hingga lebih dari 300 meter. Dalam penentuan satuan landform, relief dengan lereng 15 - 30 persen dan perbedaan tinggi lebih dari 300 meter dimasukkan sebagai Pegunungan volkan.
Kualitas Peta Hasil uji ketepatan rata-rata peta relief di lokasi Cigudeg disajikan dalam Tabel 21, 22 dan 23. Landsat-7
ETM,
Hasilnya menunjukkan bahwa analisis relief dari citra
DEM,
maupun
perpaduan
keduanya,
mempunyai
ketepatan rata-rata masing-masing 44, 70 dan 73 persen. Ketepatan rata-rata peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM tergolong rendah, hasil analisis DEM atau perpaduannya dengan Landsat-7 ETM ketepatannnya tergolong sedang. Dari tiga cara analisis tersebut ternyata tidak ada yang mempunyai ketepatan tinggi.
Tabel 21.
Satuan relief hasil analisis citra
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM di Lokasi Cigudeg Peta acuan _
_ Kete_ Bergunung patan Berom - Berge- Berbu- Agak Curam Sangat Datar bak lombang kit curam curam ………………………………. % ………………………………………….
Datar 2 90 1 7 2 Berombak 1 25 60 5 9 25 Bergelombang 1 15 44 25 15 44 Berbukit 14 8 50 25 2 50 Bergunung a. Agak curam 1 6 26 59 8 59 b. Curam 1 3 7 55 34 34 c. Sangat curam 5 95 95 ______________________________________________________________________ Rata-rata 44
97
Satuan relief dengan ketepatan tinggi hasil analisis citra Landsat-7 ETM, hanya terdapat pada relief bergunung terutama pada lereng lebih dari 60 persen. Berdasarkan hasil analisis DEM atau perpaduannya dengan citra Landsat-7 ETM, ketepatan yang tinggi terdapat pada relief berombak dan bergunung terutama pada lereng lebih dari 45 persen (Tabel 22 dan 23).
Tabel 22.
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis DEM di Lokasi Cigudeg
Peta acuan Satuan _ _ Keterelief _ Bergunung _ patan hasil analisis Berom - Berge- Berbu- Agak Curam Sangat DEM Datar bak lombang kit curam curam ______________________________________________________________________ ………………………………… % ………………………………………. Datar Berombak
5 1
94 98
1
1 -
Bergelombang
-
6
54
31
Berbukit
-
2
1
61
Bergunung a. Agak curam
-
-
2
3
b.
Curam
-
-
-
-
c.
Sangat curam
-
-
-
-
-
-
5 98
9
-
-
54
28
8
-
61
74
21
-
74
2
98
-
98
100
100
-
______________________________________________________________________ Rata-rata 70
Uraian di atas menyimpulkan bahwa analisis citra Landsat-7 ETM di lokasi Cigudeg hanya mampu mendelineasi dan mengidentifikasi satuan relief bergunung dengan ketepatan tinggi terutama untuk daerah berlereng lebih dari 60 persen, di daerah berbukit mampu mendelineasi dan mengidentifikasi satuan relief dengan ketepatan sedang dan di daerah datar sampai bergelombang hanya mampu menghasilkan satuan relief dengan ketepatan rendah. Analisis DEM maupun perpaduannya dengan citra Landsat-7 ETM, mampu mendelineasi dan mengidentifikasi satuan relief dengan ketepatan tinggi pada daerah berombak dan bergunung terutama pada lereng lebih dari 45
98
persen.
Untuk daerah begelombang sampai berbukit hanya menghasilkan
satuan relief dengan ketepatan sedang. Satuan relief dengan ketepatan rendah terdapat pada daerah datar.
Tabel 23.
Matriks Uji Ketepatan Peta Relief Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cigudeg
Peta acuan Satuan _ _ Keterelief _ Bergunung _ patan hasil analisis Datar Berom - Berge- Berbu- Agak Curam Sangat citra + DEM bak lombang kit curam curam ______________________________________________________________________ ……………………………….…. % …………………………………….. Datar 5 94 1 5 Berombak 100 100 Bergelombang 1 67 30 2 67 Berbukit 66 34 66 Bergunung a. Agak curam 1 4 75 20 75 b. Curam 100 100 c. Sangat curam 100 100 __________________________________________________ _ ___________________ Rata-rata 73
Lokasi Cibinong Dari kenampakan citra Landsat-7 ETM, lokasi Cibinong secara umum, mempunyai relief homogen. Hasil interpretasi dari citra Landsat-7 ETM di lokasi Cibinong hanya diperoleh satu satuan relief, yaitu datar. Tidak ada unsur-unsur interpretasi yang dapat membedakan adanya satuan relief lain selain datar. Peta relief selengkapnya disajikan dalam Peta 23. Hasil analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM menurunkan 2 satuan relief yaitu: (1). Datar dengan lereng kurang dari 3 persen, (2). Berombak dengan lereng 3 – 8 persen.
Kedua peta relief tersebut
disajikan dalam Peta 24 dan Peta 25. Relief datar terdapat merata di seluruh lokasi Cibinong, sedangkan relief berombak terdapat pada jalur aliran Sungai Ciliwung dan Sungai Cikeas serta di bagian selatan daerah penelitian.
99
100
101
102
103
Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa hampir semua relief datar hasil analisis citra Landsat-7 ETM, DEM maupun perpaduan keduanya ternyata mempunyai relief berombak. Sebagian relief berombak hasil analisis DEM
atau perpaduannya dengan citra Landsat-7 ETM
kenyataannya di
lapangan termasuk bergelombang.
Kualitas Peta Hasil pengujian ketepatan peta relief di lokasi Cibinong disajikan dalam Tabel 24.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa hasil analisis relief dari citra
Landsat-7 ETM hanya menghasilkan ketepatan sebesar 16 persen, dan hasil analisis DEM menghasilkan peta dengan ketepatan 43 persen. Jika keduanya dipadukan ternyata ketepatannya relatif sama. Tabel 24.
Matriks Uji Ketepatan Satuan Relief Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM, DEM dan Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM di Lokasi Cibinong Peta acuan __________________________________ Datar Berombak Bergelombang
Satuan Relief
Ketepatan
……………………..% ………………………….. Metode analisis citra Landsat-7 ETM Datar (0-3%) Rata-rata
16
82
2
16 16
0 28 -
20 66 -
Metode analisis DEM Datar (0-3%) Berombak (3–8%) Bergelombang (8 - 15%)
20 6 -
80 66 -
Rata-rata
43 Metode perpaduan analisis citra Landsat-7 ETM + DEM
Datar (0-3%) 21 79 0 21 Berombak (3–8%) 6 66 28 66 Bergelombang (8 - 15%) ________________________________________________________________ Rata-rata 44
104
Dari uraian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa untuk daerah yang mempunyai topografi relatif datar, yaitu lokasi Cibinong hasil analisis relief dari citra Landsat-7 ETM, DEM ketepatan hasil yang rendah.
maupun perpaduan keduanya menunjukkan Oleh karena itu pengamatan lapangan mutlak
dilakukan.
Bahan Induk Daerah Penelitian Bahan induk merupakan salah satu unsur pembentuk tanah yang menentukan jenis dan sifat tanah yang terbentuk. Oleh karena itu pada masa lalu, klasifikasi dan survei tanah banyak didasarkan kepada bahan induk. Sampai saat ini bahan induk masih digunakan sebagai unsur pembentuk satuan peta tanah. Menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1994) bahan induk tanah merupakan bahan anorganik atau organik yang menghasilkan komponenkomponen tanah. Dalam penelitian ini, bahan induk tidak didelineasi dan diidentifikasi dari citra Landsat-7 ETM maupun DEM karena bahan induk merupakan bahan pembentuk tanah yang letaknya di bawah permukaan tanah.
Untuk
menganalisis penyebaran bahan induk dari citra satelit diperlukan keakhlian khusus yang lebih mendalam tentang geologi, sehingga hanya seorang geolog yang akhli dan berpengalaman
yang dapat melakukannya.
Agar tidak
menimbulkan tingkat kesalahan yang besar dalam menggambarkan penyebaran dan menetap kan jenis bahan induk, maka bahan induk ditatapkan berdasarkan kepada peta geologi dan hasil pengamatan lapang. Peta dasar yang digunakan untuk menggambarkan peta bahan induk di daerah penelitian menggunakan peta rupabumi masing-masing daerah penelitian skala 1 : 50.000 berasal dari peta rupabumi skala 1 : 25.000 (Bakosurtanal, 1998).
105
Lokasi Cisarua Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998) lokasi penelitian disusun oleh tiga formasi geologi,yaitu: (1). Formasi Qvpo berupa endapan lahar dan lava dari G. Pangrango; (2). Formasi volkan tua G. Gegerbentang (Qvba) yang terdiri dari aliran lava; (3). Formasi volkan tua dari G. Kencana dan G. Limo berupa breksi, dan lava (Peta 27). Atas dasar peta geologi dan hasil pengama tan lapang, bahan induk di lokasi ini dapat dibagi menjadi enam jenis, yaitu: (1). aluvium, (2). aluvio-koluvium, (3). tuf dan abu volkan, (4). batuan volkan tua, terdiri dari breksi gunung api dan lava, (5). kompleks tuf, abu volkan dan batuan volkan tua, dan (6) kompleks tuf, abu volkan serta lahar tua. Bahan induk aluvium dijumpai di sepanjang Sungai Ciliwung hulu dan Sungai Cibogo, terdiri dari endapan liat, pasir, kerikil dan kerakal. berombak, sebagian diteras.
Reli efnya
Dalam Peta Geologi Lembar Bogor skala 1 :
100.000 (Effendi, et al. 1998), bahan induk ini tidak tergambar dalam peta, kemungkinan luasannya terlalu sempit untuk digambarkan dalam peta skala 1 : 100.000.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahan induk di sepanjang
jalur aliran ini merupakan bahan aluvium. Dicirikan oleh adanya stratifikasi yang jelas dalam ukuran
bahan
dan
warna
yang
mengindikasikan
adanya
pengendapan berulang-ulang. Aluvio-koluvium merupakan bahan campuran antara bahan aluvium dan koluvium, yaitu berupa liat, debu dan pasir.
Terletak pada daerah peralihan
antara jalur sungai dengan perbukitan atau pegunungan, reliefnya berombak. Tuf dan abu volkan merupakan bahan induk yang cukup luas penyebarannya. Menurut Effendi et al. (1998), batuan induk yang menyusun daerah ini merupakan batuan gunung api muda dari Gunung Pangrango (formasi Qvpo), terdiri dari endapan lahar dan lava yang bersifat basaltik-andesitik, berumur Holosen awal.
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahan induk
yang membentuk tanah di daerah ini sebagian besar berupa tuf batuapung dan abu volkan
106
107
Batuan volkan tua menyebar di bagian utara dan timur daerah penelitian. Berdasarkan Peta Geologi Lembar Bogor skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998) batuan volkan tua terdiri dari for masi aliran lava dari Gunung Gegerbentang (Qvba) dan breksi serta lava yang banyak mengandung fenokris piroksen dan lava basal dari Gunung Kencana dan Gunung Limo (Qvk). tersebut berumur Pleistosen.
Kedua formasi
Dari singkapan yang dijumpai di lapangan,
bongkahan lava dari formasi Qvk tampak jelas, yaitu berupa batuan berwarna agak gelap dengan tekstur relatif halus. Sebagian batuan volkan tua dari Gunung Kencana dan Gunung Limo (Qvk), terutama yang relatif dekat dengan pusat erupsi Gunung Pangrango tertutup oleh tuf batuapung dan abu volkan dengan variasi ketebalan antara beberapa sentimeter sampai lebih dari 150 cm.
Sebagian besar formasi Qvba
yaitu lava dari Gunung Gegerbentang juga tertutup tuf batuapung dan abu volkan yang lebih tebal karena lebih dekat dengan pusat erupsi Gunung Pangrango. Wilayah batuan volkan tua yang sedikit atau tidak dipengaruhi oleh tutupan tuf batuapung dan abu volkan adalah bagian bawah dari formasi Qvk, yaitu mulai sekitar Cipayung ke bagian barat. Karena adanya pengaruh tutupan dari bahan volkan yang lebih muda, maka satuan bahan induk dari batuan volkan tua dipilah menjadi dua yaitu : (1) Batuan volkan tua dan (2) Kompleks tuf, abu volkan dan batuan volkan tua. Bahan induk lainnya adalah Kompleks tuf, abu volkan dan lahar tua. Lahar tua berasal dari runtuhan dinding kepundan bagian barat Gunung Gegerbentang.
Material dinding kepundan ini mengalir menuruni bagian lereng
ke arah barat dan berujung di dekat Sungai Ciliwung Hulu. Dari pengamatan lapang bahan induk ini banyak mengandung kerikil, kerakal dan batuan besar. Di bagian bawah, batuan besar lebih dominan daripada kerikil dann kerakal, tetapi di bagian atas tercampur dengan bahan tuf dan abu volkan. Adanya batubatuan terlihat di dekat kompleks perkantoran PT Gunung Mas, Puncak.
108
Lokasi Cigudeg Berdasarkan Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor, skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia,
1970), lokasi penelitian Cigudeg terdiri dari 6
formasi geologi, yaitu: (1). Formasi volkan tua (Qt) terdiri dari breksi dan lava gunung api; (2). Batugamping (L); (3). Batuliat (C); (4). Batupasir (Sk); (5). Batupasir bertufa (Sl) dan (6) Intrusi andesit (A).
Atas dasar peta geologi
tersebut dan Peta Geologi Lembar Bogor, skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998) dan hasil pengamatan lapangan, bahan induk di lokasi Cigudeg dapat dibagi menjadi delapan macam, yaitu: (1). aluvium, (2). aluvio-koluvium, (3). batugamping, (4). batuliat, (5). batupasir, (6), batupasir bertufa, (7). andesit, dan (8). kompleks volkan tua terdiri dari breksi gunung api dan lava. Bahan induk aluvium dijumpai di sepanjang jalur sungai utama atau teras Sungai Cikaniki dan Sungai Cidurian, tersusun dari campuran liat, debu, pasir, kerikil dan kerakal.
Pada jalur aliran, jumlah kerikil kerakal dan pasir relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan di daerah teras sungai.
Dalam Peta Geologi
Lembar Bogor, skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998) dan Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor, skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi n I donesia, 1970), bahan
induk
aluvium
ini
tidak
tergambar dalam peta.
Kemungkinan
bahan induk ini hanya terdapat di permukaan saja, dan terlalu tipis untuk ditampilkan sebagai bagian dari peta geologi. Bahan induk aluvio-koluvium terdapat pada landform Lereng koluvial, mempunyai relief berombak dan berada pada bagian bawah dari suatu perbukitan atau pegunungan.
Bahan induk aluvio-koluvium merupakan
campuran antara bahan aluvium yang diendapkan oleh sungai-sungai kecil di sekitarnya dan bahan koluvium yang berasal dari proses pengendapan bahanbahan yang dierosikan dari bagian atasnya. Posisinya lebih tinggi dari satuan bahan induk aluvium 109
110
Penyebaran batugamping berdasarkan Peta Geologi Teknik JakartaBogor skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1970), berbeda dengan kenyataan di lapangan. Penyebaran pada peta geologi ternyata lebih luas dari keadaan sebenarnya di lapangan. Menurut Direktorat Geologi Indonesia (1970) batugamping di daerah tersebut termasuk ke dalam Formasi Bojongmanik yang berumur
Miosen.
Jenisnya
termasuk
batugamping
terumbu,
banyak
mengandung moluska dan koral. Selanjutnya Effendi et al. (1998) menyatakan bahwa batugamping terumbu tersebut berwarna putih kotor, jika lapuk berwarna putih kecoklatan, masif dan padu. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, batugamping yang dijumpai berwarna putih kotor, massif, dan banyak mengandung rongga.
Sebagian perbukitan batugamping ini ditambang untuk
bahan baku kapur bakar, bahan keramik, atau untuk bahan bangunan. Bahan induk batuliat di lapangan berdampingan dengan batupasir bertufa maupun volkan tua, namun dapat dibedakan berdasarkan posisi/ketinggian tempat dan lereng/relief .
Batuliat ini berada pada posisi lebih rendah dari
batupasir bertufa maupun dari volkan tua. Menurut Direktorat Geologi Indonesia (1970) satuan batuliat tersebut merupakan bagian dari Formasi Bojongmanik yang berumur Miosen.
Pada beberapa tempat berselang seling dengan
batupasir, dan batupasir bertufa. Satuan bahan induk batupasir dijumpai terutama di bagian barat daerah penelitian.
Mempunyai relief bergelombang sampai bergunung.
Menurut
Direktorat Geologi Indonesia (1970) batupasir tersebut termasuk ke dalam formasi Bojongmanik yang berumur Miosen, berbutir kasar, dengan sisipan tufa dan tufa berpasir. Di lapangan, batupasir yang dijumpai banyak mengandung kuarsa, berwarna kelabu kehijauan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi et al. (1998) bahwa batupasir dari formasi Bojongmanik berwarna kelabu kehijauan berbutir halus sampai sedang, sebagian besar tersusun oleh kuarsa dan glukonit.
111
Batupasir
bertufa
membentuk
berombak sampai bergelombang.
punggung
mendatar
dengan relief
Bagian sisi-sisinya mengalami penurunan
yang tajam berbentuk gawir, terutama ke arah barat yaitu ke arah Sungai Cidurian dan ke arah timur atau ke arah Sungai Cikaniki.
Menurut Direktorat
Geologi Indonesia (1970) satuan batupasir bertufa tersebut termasuk ke dalam Formasi Genteng yang berumur Pliosen. Sebagian besar berbutir halus tetapi diselingi yang berbutir kasar dan banyak mengandung batuapung. Bahan induk batupasir bertufa yang dijumpai di lapangan berwarna kelabu, bertekstur sedang, pasir kuarsa terlihat jelas, massif tetapi agak lunak. Satuan bahan induk lainnya di lokasi Cigudeg adalah andesit, berupa batuan terobosan atau intrusi. Berdasarkan Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1970), batuan andesit ini tergambar sebagai bulatan kecil di sebelah barat daerah penelitian. Penyebaran kompleks volkan tua merupakan satuan bahan induk yang cukup luas penyebarannya di daerah ini. Berdasarkan Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor, skala 1 : 50.000 (irektorat Geologi Indonesia, 1970), satuan bahan induk ini terdiri dari: batuan gunungapi tua tak teruraikan, batuan gunung api tua terpropilitisasikan dan aliran lava. Namun demikian, berdasarkan hasil pengamatan di lapangan semua jenis batuan gunung api tua tersebut sulit dipisahkan, sehingga ketiga jenis batuan gunung api digabung menjadi Kompleks volkan tua terdiri dari lava, lahar dan breksi gunung api.
Lokasi Cibinong Menurut Peta Geologi Lembar Bogor skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998), lokasi penelitian Cibinong tersusun oleh endapan permukaan yang terdiri dari: (1). endapan sungai (Qa) dan (2) tuf volkan (Qav). Sementara berdasarkan Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor (Direktorat Geologi Indonesia, 1970) daerah penelitian terdiri dari : (1) Aluvium (Al) dan (2). Volkan muda (V) (Peta 29).
112
113
Endapan sungai terdiri dari lempung, pasir, kerikil. dan bongkahan batuan. Tuf volkan mempunyai morfologi kipas alluvium dengan pola drainase menjari. Bahan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran Tinggi Bogor yang berumur Plistosen Akhir atau lebih muda. Van Bemmelen (1949) mengemukakan bahwa daerah kipas aluvium di daerah Bogor merupakan endapan bahan volkanik andesitik yang berasal dari Gunung Salak dan Pangrango. Direktorat Geologi Indonesia (1970) mengemukakan bahwa bahan yang membentuk kipas aluvium tersebut adalah bahan volkan muda yang terdiri dari tufa liat, tufa pasir, konglomerat dan endapan lahar halus.
Satuan Tanah di Daerah Penelitian Klasifikasi Tanah Untuk mengetahui tanah-tanah yang ada di seluruh daerah penelitian telah dilakukan pengklasifikasian seluruh pedon yang mewakili seluruh daerah penelitian berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) sampai kategori famili. Pedon-pedon ini merupakan pedon pewakil untuk tiap metode pemetaan yang digunakan.
Klasifikasi tanah didasarkan kepada
hasil morfologi tanah di lapangan dan hasil analisis tanah di laboratorium. Beberapa pedon yang mempunyai penyebaran sempit tidak dilakukan analisis tanahnya. Sifat-sifat morfologi dan hasil analisis tanah dari masing-masing famili yang diwakili oleh pedon pewakil disajikan dalam Tabel Lampiran 1 dan 2.
Lokasi Cisarua Hasil pengklasifikasian tanah di lokasi ini diperoleh 2 Ordo (Inceptisol dan Andisol), 3 Subordo (Aquept, Udept dan Udand), 4 Great grup (Endoaquept, Epiaquept, Dystrudept dan Hapludand), 7 Subgrup (Fluvaquentic Endoaquept, Aeric Epiaquept, Oxyaquic Dystrudept, Andic Dystrudept, Typic Dystrudept, Vitric Hapludand dan Typic Hapludand) dan 11 famili tanah (Tabel 25).
114
Tabel 25.
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Taksonomi Tanah yang Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cisarua.
Ordo
Subordo
Great grup
Subgrup
Inceptisol
Aquept
Endoaquept
Fluvaquentic Endoaquept
Fluvaquentic Endoaquept, berlempung halus, campuran, isohipertermik.
Epiaquept
Aeric Epiaquept
Aeric Epiaquept, berlempung halus, campuran, isohipertemik.
Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik
Andic Dystrudept
Andic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik.
Typic Dystrudept
Typic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Vitric Hapludand
Vitric Hapludand, berabu di atas berbatu apung, haloisitik, isotermik.
Typic Hapludand
Typic Hapludan d, halus, haloisitik, isohipertermik.
Udept
Andisol
Udand
Hapludand
Famili
Typic Hapludand, berlempung halus, haloisitik, isotermik. Typic Hapludand, berlempung halus di atas fragmental, haloisitik, isotermik. Typic Hapludand, berabu di atas skeletal berlempung, haloisitik, isotermik Typic Hapludand, berabu di atas berliat, haloisitik, isohipertermik.
Kelompok pertama sampai kelima yang diwakili oleh pedon CSR-53, CSR-133, CSR-58, CSR-30, CSR-75 dan CPY-1 merupakan tanah-tanah yang masih dalam tahap mulai berkembang ditandai dengan susunan horison Ap-BgC, Ap-Bw-C atau A-Bw-C. Horison permukaannya (epipedon) tergolong okhrik, mempunyai warna matriks dengan khroma yang relatif terang (khroma > 3). Meskipun demikian ada juga tanah yang berkhroma rendah (khroma 1) tetapi disebabkan oleh kondisi
drainase
yang buruk bukan karena tingginya
kandungan bahan organik.
115
Horison bawah permukaan diidentifikasi sebagai horison kambik. utamanya adalah belum adanya iluviasi liat yang jelas.
Ciri
Sifat-sifat morfologi di
lapangan menunjukkan adanya bentuk struktur gumpal agak bersudut dengan tingkat perkembangan lemah dan konsistensi teguh (lembab). Iluviasi liat belum terlihat jelas, namun sudah menunjukkan adanya proses alterasi yang ditandai dengan adanya bentukan struktur dan adanya karatan. Tanah yang mempunyai sifat-sifat demikian pada kategori Ordo diklasifikasikan sebagai Inceptisol. Mulai permukaan tanah sampai kedalaman 50 cm atau lebih, warna tanah bervariasi dari kelabu (khroma 1) hingga coklat kuat (khroma 3 atau 4). Untuk tanah-tanah yang mempunyai warna dengan khroma 1 sampai kedalaman 50 cm atau lebih digolongkan ke dalam sub ordo Aquept (Pedon CSR-53 dan CSR-133).
Tanah-tanah yang berwarna relatif terang (khroma > 2) atau
berkhroma 1 tetapi tidak mencapai kedalaman 50 cm diklasifikasikan ke dalam sub ordo Udept. Pedon CSR-53 mempunyai khroma rendah (khroma 1) mulai dari permukaan tanah sampai kedalaman 120 cm tanpa adanya lapisan dengan khroma tinggi.
Sifat demikian menandakan bahwa kondisi akuik dari tanah ini
tergolong endosaturation. Berdasarkan sifat-sifat tersebut maka pedon CSR-53 pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Endoaquept.
Selain itu
pedon ini menunjukkan adanya suatu stratifikasi dalam tekstur tanah (Lampiran 1).
Adanya stratifikasi dalam tekstur biasanya diikuti dengan stratifikasi dalam
kandungan bahan organaik. Dengan demikian tanah ini diduga mempunyai sifat fluventic. Berdasarkan sifat tersebut maka pada kategori subgrup tanah ini diklasifikasikan ke dalam Fluvaquentic Endoaquept. Subgrup Fluvaquentic Endoaquept pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir berlempung halus, mineral liatnya yang diduga dari KTK liat tergolong campuran dan rejim temperaturnya tergolong isohipertermik. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, maka famili tanahnya adalah Fluvaquentic Endoaquept, berlempung halus, campuran, isohipertermik.
116
Pedon CSR-133 mempunyai warna kelabu dengan khroma 1, tetapi terdapat suatu lapisan yang tidak jenuh air yang batas atasnya berada di atas 200 cm di bawah lapisan jenuh air. Kondisi ini menandakan bahwa tanah ini berada pada kondisi
episaturation.
Aquept yang mempunyai kondisi
episaturation pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Epiaquept. Pada kedalaman antara permukaan tanah sampai 75 cm terdapat suatu lapisan berwarna hue 10YR dan berkhroma lebih dari 2 (pedon CSR-133). Epiaquept yang demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Aeric Epiaquept. Subgrup ini pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir berlempung halus, mineral liatnya yang diduga dari KTK liatnya termasuk campuran, dan rejim temperaturnya isohipertermik.
Berdasarkan sifat-sifat
tersebut maka klasifikasinya pada tingkat famili adalah Aeric Epiaquept, berlempung halus, campuran, isohipertermik. Semua sub ordo Udept mempunyai kejenuhan basa (dengan NH4 OAc) pada seluruh lapisan sebesar kurang dari 60 persen, tidak mempunyai duripan, fragipan maupun horison sulfurik. Oleh karena itu tanah-tanah ini pada kategori great group digolongkan ke dalam Dystrudept.
Tanah-tanah yang tergolong
Dystrudept sebagian digunakan untuk sawah tadah hujan, satu sampai dua kali setahun (pedon CSR-75). Dengan demikian tanah ini minimal selama 20 hari berturut-turut berada dalam keadaan jenuh air.
Pada kategori subgrup
diklasifikasikan ke dalam Oxyaquic Dystrudept. Dystrudept yang diwakili oleh pedon CSR-58 mempunyai lapisan atas dengan ketebalan 50 cm, bobot isi kurang dari 1,0 g/cm3 pada retensi 33 kPa dan jumlah persentase Al ditambah ½ Fe antara 1,0 – 2,0 persen. Dystrudept yang bersifat demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Andic Dystrudept
dan Dystrudept lainnya
(pedon CPY-1) yang mempunyai solum tebal dan tidak termasuk dalam subgrup lainnya diklasifikasikan ke dalam Typic Dystrudept.
117
Subgrup Oxyaquic Dystrudept dan Andic Dystrudept kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir sangat halus dan Typic Dystrudept mempunyai ukuran besar butir halus, mineral liat diduga dari KTK liatnya tergolong campuran dan rejim temperatur isohipertermik. Pada kategori famili masing-masing diklasifikasikan ke dalam Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik; Andic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik dan Typic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik. Kelompok tanah ketujuh sampai kesebelas diwakili oleh pedon CSR-30 , CSR-32, CSR 67, CSR-70 dan CSR- 122. Tanah ini pada lapisan atas (horison A) dan lapisan bawah (horison B) mempunyai: kandungan bahan organik kurang dari 25 persen, bobot isi kurang dari 0,90 g/cm3 , retensi fosfat lebih dari 85 persen dan jumlah persentase Al + ½ Fe lebih dari 2,0 persen (Tabel Lampiran 2). Tanah yang mempunyai sifat demikian memiliki sifat andik.
Sifat andik dari
tanah-tanah tersebut mempunyai ketebalan lebih dari 60 persen dari ketebalan solumnya.
Sifat tersebut memenuhi syarat untuk diklasifikasikan Ordo Andisol.
Selain itu tanah ini mempunyai rejim kelembaban udik, sehingga pada kategori sub ordo diklasifikasikan ke dalam Udand. Sub ordo Udand ini tidak mempunyai: horison plasik, duripan, epipedon melanik dan sifat hidrik. Dengan demikian pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Hapludand. Hapludand yang diwakili oleh pedon CSR-67 pada kedalaman 49 –98 cm mempunyai lapisan yang tersusun oleh batu apung (30 – 60 persen volume). Diduga lapisan ini mempunyai retensi air yang rendah. Hapludand yang memiliki sifat demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Vitric Hapludand. Hapludand lainnya diklasifikasikan ke dalam Typic Hapludand. Berdasarkan KTK liat pada horison B semua pedon pewakil Hapludand mempunyai KTK liat antara 34,7 – 47,7 cmol/kg liat, serta hasil penelitian Subardja dan Buurman (1980), mineral liatnya didominasi oleh mineral liat haloisit.
Dengan demikian penamaan mineral liatnya untuk kategori famili
termasuk haloisitik.
118
Subgrup Vitric Hapludand menurunkan satu famili yaitu Vitric Hapludand, berabu (ashy) di atas berbatu apung, haloisitik, isotermik. Sementara Typic Hapludand menurunkan tiga famili yaitu : (1). Typic Hapludand, halus, haloisitik, isohipertermik (pedon CSR-68).
(2) Typic Hapludand berlempung halus,
haloisitik, isotermik (pedon CSR-13); (3) Typic Hapludand, berabu di atas skeletal berlempung, haloisitik, isotermik (pedon CSR-122); (4) Typic Hapludand, berabu di atas berliat, haloisitik, isotermik (pedon CSR-70).
Lokasi Cigudeg Berdasarkan sifat-sifat morfologi dan hasil analisis tanah di laboratorium diperoleh 14 famili
tanah menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil
Survey Staff, 2003). Hasil pengklasifikasian selengkapnya disajikan dalam Tabel 26. Sifat-sifat morfologi dan hasil analisis tanah dari masing-masing famili yang diwakili oleh pedon pewakil disajikan dalam Tabel Lampiran 1 dan 2. Kelompok pertama sampai kedelapan yang diwakili oleh pedon CGD-21, 55, 58, 59, 84, 105, 106 dan 109
merupakan tanah-tanah yang masih muda
ditandai dengan susunan horison Ap-Bwg-C, Ap-Bw-C atau A-Bw-C. Horison penciri permukan (epipedon) tergolong okhrik dan mempunyai warna matriks dengan khroma yang relatif terang (khroma > 3). Meskipun demikian ada juga tanah yang berkhroma rendah (khroma 1) tetapi disebabkan oleh kondisi drainase yang buruk bukan karena tingginya kandungan bahan organik. Horison bawah permukaan diidentifikasi sebagai horison kambik.
Ciri
utamanya adalah belum adanya iluviasi liat yang jelas. Sifat-sifat morfologi di lapangan menunjukkan adanya bentuk struktur gumpal agak bersudut dengan tingkat perkembangan lemah dan konsistensi teguh (lembab). Iluviasi liat belum terlihat jelas, namun sudah menunjukkan adanya proses alterasi yang ditandai dengan adanya bentukan struktur tanah atau adanya karatan. Tanah-tanah yang mempunyai sifat-sifat demikian pada kategori Ordo diklasifikasikan sebagai
119
Inceptisol.
Inceptisol ini mulai permukaan tanah sampai 50 cm atau lebih,
mempunyai warna tanah bervariasi dari kelabu (khroma 1) hingga coklat kuat (khroma 3 atau 4). Untuk tanah-tanah yang mempunyai warna dengan khroma 1 sampai kedalaman 50 cm atau lebih digolongkan ke dalam sub ordo Aquept (Pedon CGD-21, CGD 58 dan CGD-59).
Tanah-tanah yang berwarna relatif
terang (khroma > 2) atau berkhroma 1 tetapi tidak mencapai kedalaman 50 cm diklasifikasikan ke dalam sub ordo Udept. Tabel 26. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Taksonomi Tanah yang Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cigudeg. Ordo
Subordo
Great grup
Subgrup
Inceptisol
Aquept
Endoaquept
Fluvaquentic Endoaquept
Famili Fluvaquentic Endoaquept, halus, campuran, isohipertermik. Fluvaquentic Endoaquept, berlempung di atas fragmental, campuran, isohipertermik.
Udept
Epiaquept
Aeric Epiaquept
Aeric Epiaquept, halus, campuran, isohipertemik.
Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Andic Dystrudept
Andic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Typic Dystrudept
Typic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Typic Eutrutrudep
Typic Eutrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Eutrudept
Typic Eutrudept, berliat skeletal, montmorilonitik, isohipertermik. Ultisol
Oxisol
Udult
Udox
Hapludult
Typic Hapludult
Typic Hapludult, halus, kaolinitik, isohipertermik.
Aquic Hapludult
AquicHapludult, halus, kaolinitik, isohipertermik.
Kandiudult
Typic Kandiudult
Typic Kandiudult, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Hapludox
Rhodic Hapludox
Rhodic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Typic Hapludox
Typic Hapludox, halus, kaolinitik, isohipertermik.
120
Pedon CGD-21 dan CGD-59 mempunyai khroma rendah (khroma 1) mulai dari permukaan tanah sampai kedalaman 120 cm atau kontak litik tanpa adanya lapisan dengan khroma tinggi.
Sifat demikian menandakan bahwa
kondisi akuik dari tanah ini tergolong endosaturation.
Berdasarkan sifat-sifat
tersebut maka pedon CGD-21 dan CGD-59 pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Endoaquept. Selain itu pedon ini menunjukkan adanya suatu stratifikasi dalam tekstur dan kandungan bahan organik, yang menandakan adanya sifat fluventic. Berdasarkan sifat tersebut maka pada kategori subgrup tanah ini diklasifikasikan ke dalam Fluvaquentic Endoaquept. Pedon CGD-21 pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir halus, mineral liatnya yang diduga dari nilai KTK liatnya tergolong campuran dan rejim temperaturnya tergolong isohipertermik. Berdasarkan sifatsifat tersebut, maka famili tanahnya adalah Fluvaquentic Endoaquept, halus, campuran, isohiperter mik.
Pedon CGD-59 di lapisan atas (0 – 45 cm)
mempunyai ukuran besar butir berlempung halus dan di lapisan bawah mempunyai ukuran besar butir fragmental (Tabel Lampiran 1), mineral liatnya diduga tergolong campuran dan temperatur tanahnya tergolong isohipertermik. Atas dasar sifat-sifat tersebut maka, pada kategori famili pedon tersebut termasuk Fluvaquentic Endoaquept, berlempung di atas fragmental, campuran, isohipertermik. Pedon CGD-58 mempunyai warna kelabu dengan khroma 1, tetapi terdapat suatu lapisan yang tidak jenuh air yang batas atasnya berada di atas 200 cm di bawah lapisan jenuh air. Kondisi ini menandakan bahwa tanah ini berada pada kondisi
episaturation.
Aquept yang mempunyai kondisi
episaturation pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Epiaquept. Pedon ini pada kedalaman antara permukaan tanah sampai 75 cm mempunyai suatu lapisan berwarna hue 7,5YR dan berkhroma lebih dari 2. Epiaquept yang demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Aeric Epiaquept.
121
Subgrup Aeric Epiaquept pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir halus, mineral liatnya yang diduga dari KTK liatnya tergolong campuran, dan rejim temperaturnya isohipertermik.
Berdasarkan sifat-sifat
tersebut maka klasifikasinya pada tingkat famili adalah Aeric Epiaquept, halus, campuran, isohipertermik. Semua sub ordo Udept tidak mempunyai duripan, fragipan maupun horison sulfurik. Udept yang diwakili oleh pedon CGD-55, CGD 84, dan CGD105 seluruh lapisannya mempunyai kejenuhan basa kurang dari 60 persen. Tanah-tanah demikian pada kategori great group digolongkan ke dalam Dystrudept.
Tanah-tanah yang diwakili oleh pedon CGD-106 dan CGD 109
seluruh horisonnya mempunyai kejenuhan basa lebih dari 60 persen.
Tanah
yang demikian digolongkan ke dalam Eutrudept. Dystrudept yang diwakili oleh pedon CGD-55 mempunyai sifat andic, dicirikan dengan bobot isi kurang dari 1,0 g/cm3 dan jumlah persentase Al + ½ Fe (ekstrak amonium oksalat) lebih dari 1,0%. Tanah demkian pada kategori subgrup digolongkan sebagai Andic Dystrudept.
Pedon CGD-84 digunakan
untuk sawah tadah hujan, satu sampai dua kali setahun, sehingga tanah ini selama lebih dari 20 hari berturut-turut berada dalam keadaan jenuh air. Oleh karena itu pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Oxyaquic Dystrudept. Tanah lainnya yang diwakili oleh pedon CGD-105, digolongkan sebagai Typic Dystrudept. Ketiga pedon tersebut di atas mempunyai ukuran besar butir halus, mineral liat yang diduga dari KTK liatnya tergolong campuran dan rejim temperatur tanah isohipertermik.
Pada kategori famili pedon CGD-55
diklasifikasikan sebagai Andic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik. Pedon CGD-84 diklasifikasikan sebagai Oxyaquic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik.
Pedon CGD-105 diklasifikasikan sebagai
Typic Dystrudept,
halus, kaolinitik, isohipertermik.
122
Tanah-tanah yang tergolong Eutrudept semuanya berada pada daerah perbukitan kapur (batugamping). Kedua pedon tersebut (pedon CGD-106 dan CGD-109) mempunyai solum tebal dan tidak termasuk dalam subgrup lainnya, sehingga
diklasifikasikan ke dalam Typic Eutrudept.
Typic Eutrudept yang
diwakili oleh pedon CGD-106 pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir halus, mineral liat yang diduga dari KTK liatnya tergolong campuran dan rejim temperatur isohipertermik, sehingga klasifikasinya pada kategori famili adalah Typic Eutrudept, halus, campuran, isohipertermik. Typic Eutrudept yang diwakili oleh pedon CGD-109 pada kedalaman 25 – 100 cm mempunyai ukuran besar butir berliat skeletal, mineral liat yang diduga dari KTK liatnya serta adanya rekahan-rekahan yang cukup lebar tergolong montmorilonit dan rejim temperatur isohipertermik.
Pada kategori famili diklasifikasikan ke
dalam Typic Eutrudept, berliat skeletal, montmorilonitik, isohipertermik. Kelompok tanah kedua diwakili oleh pedon CGD-15, CGD-23 dam CGD50. Pedon-pedon tersebut mempunyai epipedon okhrik, dan horison argilik yang mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) kurang dari 35 persen. Tetapi pedon CGD-15 mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) kurang dari 16 cmol/kg liat dan KTK efektif kurang dari 12 cmol/kg liat. Horison yang demikian digolongkan sebagai horison kandik.
Tanah-tanah yang mempunyai horison
argilik atau kandik yang mempunyai kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) kurang dari 35 persen serta tidak mempunyai fragipan pada kategori Ordo diklasifikasikan sebagai Ultisol. Tanah ini mempunyai rejim kelembaban tanah udik, sehingga pada kategori Sub ordo diklasifikasikan sebagai Udult.
Pada
kategori Great grup pedon CGD-15 digolongkan sebagai Kandiudult, sedangkan CGD-23 dan CGD 50 sebagai Hapludult.
Pedon CGD-15 dan CGD-23 tidak
mempunyai sifat-sifat lain dan hanya memenuhi syarat jika masing-masing diklasifikasikan pada kategori subgrup sebagai Typic Kandiudult dan Typic Hapludult.
Pedon CGD-50 pada lapisan atas mempunyai sifat aquic yang
ditandai dengan warna-warna matriks berkhroma kurang dari 1, sehingga pada 123
kategori subgrup digolongkan sebagai Aquic Hapludult.
Pedon CGD-15 dan
CGD-23 masing-masing mempunyai ukuran besar butir sangat halus dan halus, mineral liat yang diduga dari KTK liatnya tergolong kaolinit dan rejim temperatur tanahnya isohipertermik.
Pada kategori famili pedon CGD-15 diklasifikasikan
sebagai Typic Kandiudult, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik, dan pedon CGD-23
diklasifikasikan
sebagai
Typic
Hapludult,
halus,
kaolinitik,
isohipertermik. Kelompok tanah ketiga yang diwakili oleh pedon CGD-14 dan CGB- 68 merupakan kelompok tanah yang sudah berkembang lanjut.
Tanah ini
umumnya sangat dalam (lebih dari 150 cm), mempunyai horison bawah permukaan dengan sifat-sifat: bertekstur liat berat, berstruktur gumpal sampai butir, konsistensi gembur, tidak mempunyai struktur batuan pada seluruh penampang, batas horison baur atau berangsur, mempunyai KTK kurang dari 16 cmol/kg liat. Tanah-tanah yang demikian mempunyai horison penciri oksik dan pada kategori Ordo diklasifikasikan ke dalam Oxisol.
Rejim kelembaban
tanahnya tergolong udik, sehingga pada kategori sub ordo diklasifikasikan sebagai Udox.
Udox yang tidak mempunyai horison sombrik, kejenuhan
basanya kurang dari 35 persen dan tidak mempunyai horison kandik, maka pada kategori great grup diklasifikasikan ke dalam Hapludox.
Pedon CGD-14 pada
seluruh horisonnya sampai kedalaman 100 cm mempunyai warna merah dengan hue 2,5YR dan value 3 atau 4 (lembab). Atas dasar sifat-sifat tersebut maka pada kategori subgrup pedon CGD-14 diklasifikasikan ke dalam Rhodic Hapludox.
Rhodic Hapludox ini mempunyai ukuran besar butir sangat halus,
mineral liat yang diduga dari KTK liat tergolong kaolinitik dan rejim temperaturnya isohipertermik, sehingga pada kategori famili diklasifikasikan ke dalam Rhodic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Pedon CGD-68 tidak
memenuhi syarat untuk diklasifikasikan ke dalam subgrup lain selain dari Typic Hapludox.
Klasifikasinya pada kategori famili adalah Typic Hapludox, halus,
kaolinitik, isohipertermik. 124
Lokasi Cibinong Berdasarkan pengelompokan sifat morfologi di lapangan yang ditunjang oleh hasil analisis di laboratorium, tanah-tanah yang dijumpai di daerah lokasi Cibinong dikelompokkan ke dalam 7 famili menurut sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003).
Hasil pengklasifikasian selengkapnya
disajikan dalam Tabel 27. Sifat-sifat morfologi dan hasil analisis laboratorium dari masing-masing kelompok yang diwakili oleh pedon pewakil disajikan dalam Tabel Lampiran 1 dan 2.
Tabel 27.
Klasifikasi Tanah Berdasarkan Taksonomi Tanah yang Digunakan Sebagai Satuan Tanah pada Peta Tanah Semi Detail di Lokasi Cibinong.
Ordo
Subordo
Inceptisol
Aquept
Udept
Oxisol
Udox
Great grup
Subgrup
Famili
Endoaquept
Typic Endoaquept
Typic Endoaquept, sangat halus, campuran, isohipertermik.
Epiaquept
Aeric Epiaquept
Aeric Epiaquept, sangat halus, campuran, isohipertermik.
Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept
Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Oxic Dystrudept
Oxic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Typic Dystrudept
Typic Dystrudept, berlempung halus, campuran, isohipertermik
Aquic Hapludox
Aquic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Rhodic Hapludox
Rhodic Hapludox, sangat kaolinitik, isohipertermik
Hapludox
halus,
Dilihat dari susunan horisonnya, tanah-tanah di lokasi Cibinong terdiri dari tanah-tanah yang berada pada tahap mulai berkembang dengan susunan horison Ap-Bwg-C atau Ap-Bw-C dan tanah-tanah yang sudah berada pada tahap lanjut dengan susunan horison Ap-Box-Bw-C. Epipedon yang dijumpai
125
berwarna relatif terang (khroma > 3), atau berkhroma rendah (khroma 1) pada tanah-tanah yang berdrainase buruk.
Epipedon ini diidentifikasi sebagai
epipedon okhrik. Horison bawah permukaan diidentifikasi sebagai horison kambik dan horison oksik. Horison kambik dicirikan oleh belum adanya iluviasi liat yang jelas, dengan tidak dijumpainya selaput liat.
Horison ini mempunyai struktur
gumpal dengan tingkat perkembangan lemah sampai sedang, mempunyai konsistensi teguh (lembab) kadang-kadang karatan.
Sifat-sifat tersebut
menunjukkan sudah terjadinya proses alterasi fisik, transformasi kimia atau pemindahan bahan.
Tanah-tanah yang mempunyai horison kambik ini pada
kategori ordo diklasifikasikan ke dalam Inceptisol (pedon CBN-1, 21, 33, 68 dan 80). Horison oksik dicirikan oleh ketebalan lebih dari 30 cm (40 – 60 cm), tekstur liat, struktur gumpal sampai butir, konsistensi gembur, mineral mudah lapuk sangat sedikit (kurang dari 10 persen), tidak terdapat struktur batuan pada seluruh penampang, batas horison baur dan kapasitas tukar kation (KTK) kurang dari 16 cmol per kilogram liat. Tanah yang mempunyai horison oksik ini pada kategori ordo diklasifikasikan ke dalam Oxisol (pedon CBN-21 dan CBN-44). Tanah-tanah di lokasi Cibinong ini mempunyai dua rejim kelembaban, yaitu: akuik dan udik. Menurut Soil Survey Staff (2003) rejim kelembaban akuik adalah suatu rejim reduksi dalam tanah yang sama sekali bebas dari oksigen terlarut karena tanah jenuh air.
Rejim kelembaban akuik di lokasi Cibinong
dicirikan oleh warna-warna tanah berkhroma rendah (khroma 1). Menurut Soil Survey Staff (2003) rejim kelembaban udik adalah suatu rejim kelembaban yang dicirikan keadaan penampang kontrol kelembaban tanah tidak kering selama 90 hari kumulatif pada tahun-tahun normal. Rejim kelembaban tanah udik untuk lokasi Cibinong diprediksi dari curah hujan. Berdasarkan data curah hujan dari stasiun Cibinong dan Bogor (Tabel 4), bulan-bulan basah (curah hujan lebih dari 200 mm/bulan) terjadi lebih dari 9 bulan berturut-turut.
Dengan demikian
126
diperkirakan tanah pada penampang kontrol kelembaban, tidak akan kering selama 90 hari kumulatif.
Ordo Inceptisol yang mempunyai rejim kelembaban
akuik pada kategori sub ordo diklasfikasikan ke dalam Aquept (pedon CBN-33 dan CBN-68), dan yang mempunyai rejim kelembaban udik diklasifikasikan ke dalam Udept (pedon CBN-1, 10 dan 80).
Ordo Oxisol yang mempunyai
kelembaban udik pada kategori sub ordo diklasifikasikan ke dalam Udox (pedon CBN-44). Sub ordo Aquept mempunyai dua kondisi akuik yaitu endosaturation dan episaturation.
Aquept yang mempunyai kondisi endosturation mempunyai
warna tanah kelabu (khroma 1) pada seluruh penampang tanpa diselingi oleh warna berkroma tinggi. Tana h-tanah demikian selanjutnya pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Endoaquept (pedon CBN-33). Aquept yang mempunyai kondisi episaturation mempunyai warna berkhroma 1, tetapi di bawah kedalaman 50 cm tanah berwarna kuning atau merah kekuningan (khroma >3).
Tanah-tanah demikian pada kategori great group selanjutnya
diklasifikasikan ke dalam Epiaquept (pedon CBN-68). Endoaquept ini tidak mempunyai kontak litik di antara kedalaman 50 cm dari permukaan tanah, tidak mempunyai horison sulfurik maupun bahan sulfidik, tidak mempunyai sifat vertik dan tidak mempunyai sifat andik. Endoaquept yang demikian pada kategori subgrup digolongkan ke dalam Typic Endoaquept. Typic Endoaquept ini pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir sangat halus, mineral liat diduga campuran dan rejim temperatur tanah isohipertermik, sehingga klasifikasinya pada kategori famili tergolong Typic Endoaquept, sangat halus, campuran, isohipertermik (pedon CBN-33). Great group Epiaquept mempunyai warna penampan g tidak seluruhnya berkhroma rendah, tetapi terdapat warna-warna karatan besi dengan hue 7,5YR serta berkroma tinggi (>3), bahkan pada kedalaman lebih dari 70 cm masih didominasi oleh warna-warna kuning sampai coklat (hue 10YR khroma > 3).
127
Epiaquept demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Aeric Epiaquept. Pada kedalaman antara 25 – 100 cm tanah ini mempunyai ukuran besar butir sangat halus, mineral liat diduga kaolinitik dan rejim temperatur isohipertermik.
Atas dasar sifat-sifat tersebut maka pada kategori famili
diklasifikasikan ke dalam Aeric Epiaquept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik (pedon CBN-21). Semua lapisan tanah dari sub ordo Udept mempunyai kejenuhan basa (ekstrak NH4 OAc, N, pH 7,0) kurang dari 60 persen, mencirikan sifat dystric. Udept yang bersifat dystric ini pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Dystrudept.
Adanya karatan-karatan mangan dan besi dalam
penampang menunjukkan akibat proses penggenangan dalam penyawahan. Dystrudept yang bersifat demikian diklasifikasikan ke dalam subgrup Oxyaquic Dystrudept (pedon CBN-80).
Dystrudept lainnya mempunyai KTK (ekstrak
NH4OAc, N, pH 7,0) kurang dari 24 cmol per kilogram liat pada seluruh penampan gnya. Oleh karena itu pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Oxic Dystrudept (pedon CBN-1).
Dystrudept lainnya tidak memenuhi syarat
untuk diklasifikasikan ke dalam subgrup lain selain Typic Dystrudept (pedon CBN-10). Oxic Dytrudept dan Oxyaquic Dystrudept pada kedalaman 25 sampai 100 cm mempunyai ukuran besar butir sangat halus, mineral liat diduga dari KTK liatnya
tergolong
kaolinitik
dan
rejim
temperatur
tanah
isohipertermik.
Klasifikasinya pada kategori famili adalah Oxic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik dan Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Subgrup Typic Dystrudept mempunyai ukuran besar butir
berlempung halus, mineral liat campuran dan rejim temperatur isohipertermik, sehingga klasifikasinya
pada
kategori
famili
adalah
Typic
Dystrudept,
berlempung halus, campuran, isohipertermik.
128
Tanah sub ordo Udox tidak mempunyai horison sombrik, tidak mempunyai horison kandik, mempunyai kejenuhan basa (ekstrak NH4 OAc, N, pH 7,0) pada seluruh atau sebagian penampangnya kurang dari 35 persen dan mempunyai KTK efektif lebih dari 1,50 cmol per kilogram liat serta pH (KCl 1N) kurang dari 5,0. Udox yang demikian pada kategori great group diklasifikasikan ke dalam Hapludox.
Hapludox yang diwakili oleh pedon CBN-44 pada
kedalaman antara 25 sampai 100 cm didominasi oleh warna merah (hue 2,5YR dan value lembab lebih dari 3).
Selain itu Hapludox ini tidak menunjukkan
adanya kondisi akuik, solum sangat dalam (lebih dari 150 cm), tidak mempunyai plintit, mempunyai kandungan bahan organik kurang dari 16 kg/m3 , dan tidak menunjukkan adanya suatu lapisan yang bersifat andik.
Hapludox yang
demikian pada kategori subgrup diklasifikasikan ke dalam Rhodic Hapludox. Hapludox yang diwakili oleh pedon CBN-21, mulai dari permukaan sampai kedalaman 45 cm mempunyai warna khroma 1 dan mengalami kondisi akuik selama mengalami penyawahan. Tanah ini diklasifikasikan sebagai Aquic Hapludox. Sifat penciri famili yang dijumpai pada Rhodic Hapludox dan Aquic Hapludox adalah ukuran besar butir sangat halus, mineral liat kaolinitik dan rejim temperatur isohipertermik. Dengan demikian klasifikasinya pada kategori famili adalah Rhodic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik dan Aquic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik.
Satuan Peta Tanah Delineasi satuan peta tanah didasarkan kepada unsur landform, relief dan bahan induk yang dihasilkan oleh masing-masing metode analisis.
Hasil
pengamatan di lapangan mendapatkan bahwa setiap satuan peta yang terbentuk oleh ketiga unsur tersebut ternyata diisi oleh satuan tanah yang berbeda atau diisi oleh beberapa satuan tanah yang mempunyai komposisi yang berbeda.
129
Pola ini terjadi hampir di setiap satuan peta yang dihasilkan oleh ketiga metode analisis yang digunakan. Perbedaannya adalah satuan peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM di lokasi Cisarua dan Cigudeg mempunyai jumlah satuan tanah (tingkat famili) yang lebih banyak dari pada metode analisis lainnya. Karena adanya pola hubungan yang jelas antara unsur landform, relief dan bahan induk dengan penyebaran satuan tanah, maka pola ini dapat dijadikan dasar ekstrapolasi penyebaran tanah dari suatu tempat ke tempat lain. Dengan dapat diekstrapolasinya penyebaran tanah berdasarkan hubungan tersebut di atas, maka jumlah pengamatan dapat dikurangi pada setiap metode yang digunakan. Setiap satuan peta tanah terdiri dari beberapa satuan tanah pada tingkat kategori tertentu dengan komposisi tertentu pula.
Tabel 28 menyajikan kisaran
jumlah satuan tanah berdasarkan tingkat kategori klasifikasi untuk masingmasing metode. Menurut Van Wambeke dan Forbes (1986) setiap satuan peta yang baik harus disusun oleh satuan tanah paling banyak 3 buah. Berdasarkan hal tersebut maka satuan tanah yang paling baik digunakan untuk peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM di lokasi Cisarua dan Cigudeg adalah pada kategori great grup, sedangkan di lokasi Cibinong satuan tanah terbaik adalah pada kategori famili.
Untuk peta tanah hasil analisis DEM, perpaduan citra
Landsat-7 ETM dengan DEM, kategori klasifikasi yang dapat digunakan di ketiga lokasi penelitian adalah adalah tingkat famili. Hasil tersebut di atas memberi petunjuk bahwa tingkat kategori klasifikasi yang digunakan tergantung dari metode pemetaan yang digunakan dan karakteristik wilayahnya.
Untuk daerah yang sangat heterogen, baik dalam
landform, relief, bahan induk dan tanah, maka penggunaan metode analisis citra Landsat-7 ETM harus menggunakan klasifikasi tanah pada tingkat great group. Namun demikian, klasifikasi pada kategori ini hanya sesuai digunakan untuk 130
pemetaan tingkat tinjau.
Untuk metode analsis DEM, maupun perpaduan citra
Landsat-7 ETM dengan DEM, uraian tersebut memberi gambaran bahwa klasifikasi pada kategori famili sudah cukup sesuai untuk pemetaan tanah tingkat semi detail.
Hal ini memberi pengertian bahwa untuk pemetaan tingkat semi
detail, klasifikasi tanah yang digunakan cukup sampai tingkat famili, tidak perlu sampai kategori seri.
Tabel 28. Kisaran Jumlah Satuan Tanah (Tingkat Famili, Subgroup, Great Grup) pada Setiap Metode yang Digunakan Metode analisis
Famili
Subgroup
Great Grup
Lokasi Cisarua Citra Landsat-7 ETM
1– 5
1– 4
1– 2
DEM
1– 3
1– 2
1– 2
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM
1– 3
1– 2
1– 2
Acuan
1– 3
1– 2
1– 2
Lokasi Cigudeg Citra Landsat-7 ETM
1– 5
1– 4
1– 2
DEM
1– 3
1– 2
1– 2
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM
1– 3
1– 2
1– 2
Acuan
1– 3
1– 2
1– 2
Lokasi Cibinong Citra Landsat-7 ETM
1– 3
1– 3
1– 2
DEM
1– 3
1– 3
1– 2
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM
1– 3
1– 3
1– 2
Acuan
1– 3
1– 3
1– 2
131
Hubungan Tanah dengan Indeks Kecerahan, Kehijauan dan Kebasahan
Untuk mempelajari hubungan sifat-sifat tanah dengan nilai pixel citra Landsat-7 ETM secara digital, dilakukan analisis hubungan citra Landsat-7 ETM dengan sifat-sifat tanah yang digunakan sebagai pembeda taksa dalam klasifikasi taksonomi tanah.
Komponen citra yang digunakan merupakan
kombinasi dari 3 komponen citra, yaitu kecerahan (brightness), kebasahan (wetness) dan kehijauan (greeness). Ketiga komponen citra dijadikan sebagai variabel bebas, sedangkan sifat-sifat tanah dijadikan sebagai variabel tak bebas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada perbedaan sifat tanah yang berhubungan dengan hasil pengelompokan indeks kecerahan, kehijauan dan kebasahan, dan dicirikan oleh nilai signifikasi kurang dari 0,05.
Hubungan
antara sifat tanah dengan indeks kecerahan, kehijauan dan kebasahan dinyatakan dalam fungsi diskriminan. Hasil penilaian kelayakan fungsi diskriminan menunjukkan bahwa data yang dikelompokkan dengan benar di daerah Cisarua bervariasi dari 25,8% sampai 92,7%, di daerah Cigudeg bervariasi dari 23,3% sampai 94,4% dan di daerah Cibinong bervariasi dari 58,9% sampai 94,6% (Tabel 29).
Persentase
terkecil dihasilkan dari pengelompokan sifat-sifat tanah yang dijadikan pembeda famili (ukuran besar butir, mineralogi liat dan suhu tanah)
dan yang terbesar
pada pengelompokan aquic/non aquic (Sub order Aquept dan Non Aquept). Indeks kecerahan mengekspresikan sifat-sifat tanah seperti tekstur dan bahan organik (Crist dan Cicone, 1984). Di daerah penelitian indeks kecerahan ini diharapkan dapat mengekspresikan perbedaan tanah yang mempunyai kandungan bahan organik tinggi (bersifat andik) dengan tanah lainnya yang mempunyai kandungan bahan organik rendah (non andik). Namun sifat-sifat tersebut tidak terditeksi dengan baik dalam citra dan hanya mempunyai tingkat kebenaran 75,0 persen (Tabel 29). Hal ini disebabkan karena hampir semua daerah penelitian tertutup oleh vegetasi yang sangat beragam.
132
Tabel 29.
Persentase Rata-rata Tingkat Kebenaran Hasil Pemisahan Berdasarkan Sifat-Sifati Tanah di Ketiga Daerah Penelitian
Sifat tanah/ Pembeda taksa
Persentase tingkat kebenaran % Lokasi Cisarua
Aquic/Non aquic (Pembeda Sub Ordo) Sifat Andic/Non Andic (Pembeda Ordo)
92,7
Endosaturation/Episaturation/Non Aquic (Pembeda Great Grup) Fluvaquentic/Aeric/Oxyaquic/Vitric/ Andik/Typic (Pembeda Subgroup) Ukuran butir/mineral liat/suhu tanah (Pembeda Famili)
66,0
75,0
42,3 25,8
Lokasi Cigudeg Aquic/Non aquic (Pembeda Sub Ordo)
94,4
Horison Oksik/Argilik/Kambik (Pembeda Ordo) Endosaturation/Episaturation/Non Aquic (Pembeda Great Grup) Aeric/Oxyaquic/Vitric/ Andik/Rhodic/Typic (Pembeda Subgroup) Ukuran butir/mineral liat/suhu tanah (Pembeda Famili)
64,5 47,6 42,3 23,3
Lokasi Cibinong Aquic/Non aquic (Pembeda Sub Ordo)
94,6
Horison Oksik/Kambik (Perbeda Ordo) Endosaturation/Episaturation/Non Aquic (Pembeda Great Grup)
68,8
Fluvaquentic/Aeric/Oxyaquic/Vitric/ Andik/Rhodic/Typic (Pembe da Subgroup) Ukuran butir/mineral liat/suhu tanah (Pembeda Famili)
58,9
59,8
58,9
133
Menurut Crist dan Cicone (1984) indeks kehijauan memperlihatkan korelasi dengan jenis vegetasi, penutupan tajuk, indeks luas daun, dan jumlah biomas segar.
Indeks kehijauan ini diharapkan secara tidak langsung dapat
mencerminkan sifat-sifat tanah yang dijadikan pembeda klasifikasi tanah. Namun karena sangat beragamnya vegetasi di daerah penelitian
baik jenis
maupun umur, maka indeks kehijauan juga tidak berhubungan dengan sifat-sifat tanah baik langsung maupun tidak langsung. Indeks kebasahan mencerminkan kelembaban tanah dan kelembaban vegetasi yang ada di atasnya.
Indeks
kebasahan ini cukup jelas berhubungan dengan tingkat kelembaban tanah. Dari Tabel 29 terlihat bahwa tanah yang tergolong Subordo Aquept/Non Aquept mempunyai tingkat kebenaran yang tinggi di ketiga lokasi penelitian. Dari hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa di lokasi Cisarua sifatsifat tanah yang dapat digunakan sebagai pembeda famili hanya 25,8% dari 164 data yang diolah termasuk ke dalam famili yang benar, sisanya dikelompokkan ke dalam famili yang lain. Untuk aquic/ non aquic data tersebut memberikan arti bahwa 92,7% dari 164 data yang diolah telah termasuk ke dalam kelas yang benar, sisanya dikelompokkan ke dalam kelas yang lain. Di daerah Cigudeg, untuk sifat-sifat yang dapat dijadikan pembeda kategori famili hanya 23,3% dari 123 data yang diolah dimasukkan ke dalam famili yang benar. Pada kelompok aquic/non aquic menunjukkan bahwa dari 123 data yang diolah sebanyak 94,4% dimasukan ke dalam kelompok yang benar.
Di daerah
Cibinong, sifat-sifat tanah yang dpat digunakan untuk pembeda kategori famili hanya 58,9% dari 129 data yang diolah dimasukkan ke dalam famili yang benar dan pada kelompok aquic/non aquic dari 129 data yang diolah sebanyak 94,6% dimasukkan ke dalam kelompok yang benar. Dengan mengambil acuan untuk pemetaan tanah, bahwa ketepatan satuan peta umumnya harus 85% atau lebih.
Maka pengelompokan pada
kategori subgrup sampai Ordo tergolong berkualitas sedang sampai rendah, sehingga hasil pengelompokan pada kategori tersebut tidak sesuai digunakan 134
untuk pemetaan tanah. Pengelompokan berdasarkan perbedaan aquic dan non aquic dinilai berkualitas tinggi, karena mempunyai rata-rata lebih dari 85% (Tabel 29).
Hasil tersebut di atas memberikan gambaran bahwa untuk daerah
Cisarua, Cigudeg dan Cibinong hubungan antara kategori dalam klasifikasi tanah dengan komponen citra Landsat-7 ETM, tidak dapat digunakan sebagai dasar dalam delineasi satuan tanah. Se mentara adanya sifat aquic (Aquept) yang diakibatkan oleh pengaruh air, berhubungan erat dengan komponen citra Landsat-7 ETM dan dapat digunakan sebagai dasar pemetaan tanah. Hubungan hasil pengelompokan antara sifat aquic (Aquept atau aquic subgrup) dan non aquic (Udept, Udands, Udult dan Udox) dengan variabel bebas (kecerahan, kehijauan dan kebasahan) ditampilkan dalam bentuk dua model fungsi diskriminan dari gabungan ketiga lokasi tersebut adalah sebagai berikut: Z1 = -17,713 - 0,032* B + 0,030*G + 0,186*W Z2 = -1,207 – 0,024*B + 0,094*G - 0,087*W Keterangan: Z = fungsi diskriminan, B = komponen kecerahan, G = komponen kehijauan, W = komponen kebasahan
Model fungsi diskriminan tersebut digunakan sebagai formula dalam analisis citra untuk mengelompokkan tanah yang bersifat aquic dan non aquic.
Nilai Z1 >
1,533 dan Z2 > 15,063 merupakan kelompok tanah bersifat aquic dan nilai Z1 < 1,533 dan Z2 < 15,063 merupakan kelompok tanah bersifat non aquic. Peta hasil analisis untuk masing-masing lokasi disajikan dalam Peta 30, 31 dan 32. Uraian tersebut di atas adalah analisis yang dilakukan pada berbagai keadaan tutupan lahan atau penggunaan lahan yang sangat heterogen. Pada beberapa tempat yang mempunyai penggunaan lahan yang homogen, ternyata hasilnya berbeda dengan keadaan jika penggunaan lahannya heterogen. Keadaan yang demikian dijumpai pada penggunaan lahan kebun singkong dan kebun bambu di daerah Cibinong.
135
136
137
138
Pada penggunaan lahan singkong di daerah Cibinong, terdapat tiga subgrup tanah, yaitu : Oxyaquic Dystrudept, Oxic Dystrudept dan Rhodic Hapludox.
Diagram pencar hubungan antara komponen kecerahan dan
komponen kebasahan untuk masing-masing subgrup tanah pada kebun singkong disajikan dalam Gambar 3. Hasil analisis statistik menunjukkan antara Oxyaquic Dystrudept dengan Oxic Dsytrudept maupun Rhodic Hapludox menunjukkan perbedaan yang nyata baik koefisien arah maupun konstantanya. Hal ini menunjukkan bahwa subgrup Oxyaquic Dystrudept pada citra berbeda nyata dengan Oxic Dystrudept
maupun Rhodic Hapludox. Namun demikian
koefisien determinasinya sebagian besar kurang dari 0,5 (Tabel 30).
Tabel 30.
Persamaan Regresi dan Koefisien Korelasi Antara Komponen Kecerahan dan Kebasahan pada Kebun Singkong dan Kebun Bambu di Daerah Cibinong
Tanah (Subgrup)
Persamaan regresi
Koefisien Korelasi
Koefisien determinasi
Kebun singkong Oxyquic Dystrudept
Y = -0,1098X + 110,85
r = 0,62
R 2 = 0,3818
Oxic Dystrudept/Rhodic
Y = -0,2073X + 119,66
r = 0,75
R 2 = 0,5603
Hapludox Kebun bambu Typic Dystrudept
Y = -0,236X + 126,33
r = 0,59
R 2 = 0,3443
Oxic Dystrudept/Rhodic Hapludox
Y = -0,2221X + 121,31
r = 0,35
R 2 = 0,1243
Keterangan : Y = komponen kebasahan; X = komponen kecerahan
Diagram pencar masing-masing subgrup tanah pada kebun bambu disajikan dalam Gambar 4. Pada vegetasi kebun bambu di daerah Cibinong terdapat tiga subgrup tanah, yaitu Typic Dystrudept, Oxic Dystrudept dan Rhodic
139
Hapludox. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa koefisen arah antara dua kelompok tanah tersebut tidak berbeda nyata.
Konstanta regresi subgrup Typic
Dystrudept berbeda nyata dengan Oxic Dystrudept maupun Rhodic Hapludox (Tabel 30).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa subgrup Oxyaquic
Dystrudept memberikan kenampakan yang berbeda nyata
dengan Oxic
Dystrudept maupun Rhodic Hapludox.
102
y = -0,1098x + 110,85
100
R2 = 0,3818
Kebasahan
98 Oxyaq.Dystrudept Oxic Dystrudepts
96
y = -0,2073x + 119,66
Linear (Oxyaq.Dystrudept)
2
R = 0,5603
Linear (Oxic Dystrudepts)
94
92
90 90
100
110
120
130
140
Kecerahan
Gambar 3. Diagram Pencar Subgrup Oxic Dystrudept/Rhodic Hapludox dan Oxyaquic Dystrudept pada Kebun Singkong Berdasarkan Kombinasi Komponen Kecerahan dan Kebasahan di Daerah Cibinong
106 y = -0,236x + 126,33 R2 = 0,3443
104
Kebasahan
102
Oxic Dystrudept/Hapludox
100
Typic Dystrudept 98 96
Linear (Typic Dystrudept)
94
Linear (Oxic Dystrudept/Hapludox)
92 y = -0,2221x + 121,31 R2 = 0,1243
90 88 100
110
120
130
140
Kecerahan
Gambar 4. Diagram Pencar Subgrup Oxic Dystrudept/Rhodic Hapludox dan Typic Dystrudept pada Kebun Bambu Berdasarkan Kombinasi Komponen Kecerahan dan Kebasahan di Daerah Cibinong
140
Hasil-hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa citra Landsat-7 ETM secara digital dapat digunakan untuk membantu pemetaan tanah pada dua keadaan tutupan lahan.
Pertama, jika penggunaan lahannya heterogen baik
jenis maupun umur, maka analisis citra Landsat-7 ETM secara digital mampu digunakan untuk membedakan tanah pada kategori ordo dan sub ordo, terutama antara tanah yang bersifat aquic dan non aquic.
Kedua, jika penggunaan
lahannya homogen, analisis citra Landsat-7 ETM secara digital mampu digunakan untuk membedakan tanah pada kategori sub grup terutama antara Oxyaquic Dystrudept dengan Oxic Dystrudept atau Rhodhic Hapludox.
Peta Tanah Semi Detail Salah satu hal yang penting dalam pembuatan suatu peta tanah adalah penentuan unsur-unsur satuan peta dalam menyusun legenda peta tanah. Jenis unsur yang digunakan tergantung dari tujuan pemetaan tanah.
Seperti telah
dikemukakan di muka, dalam penelitian ini unsur-unsur satuan peta tanah yang digunakan mengikuti cara pemetaan tanah yang dilakukan dalam pelaksanaan Proyek LREP-II dengan sedikit modifikasi. Dalam penelitian ini, satuan tanah yang digunakan adalah sistem klasifikasi Taksonomi Tanah pada kategori famili, sedangkan dalam Proyek LREP-II digunakan klasifikasi tanah sampai kategori seri. Unsur-unsur satuan peta tanahnya adalah: satuan tanah, landform, relief, dan bahan induk. Peta tanah yang dibuat di ketiga lokasi penelitian masing-masing menggunakan metode analisis citra Landsat-7 ETM, metode analisis DEM dan metode analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM . Delineasi setiap satuan peta tanah mengikuti hasil delineasi landform, relief atau bahan induk dari masing-masing metode analisis yang digunakan.
Identifikasi satuan tanah
didasarkan kepada hasil pengamatan langsung di lapangan.
Untuk tujuan
evaluasi hasil, dibuat juga peta tanah yang semua unsur-unsur satuan petanya
141
sudah diperbaiki dan dilengkapi dengan hasil pengamatan lapang (peta tanah acuan).
Peta tanah acuan untuk ketiga lokasi penelitian disajikan dalam Peta
36, 40, dan 44.
Lokasi Cisarua
Peta tanah semi detail di lokasi Cisarua hasil tiga metode analisis disajikan dalam Peta 33, 34 dan 35. Peta tanah semi detail hasil analisis citra Landsat-7 ETM mempunyai 12 satuan peta tanah (Tabel Lampiran 4). Setiap satuan peta tanah terdiri dari satu sampai tiga satuan tanah pada kategori famili, bentuk satuan peta tanah berupa konsosiasi, asosiasi dan kompleks. Peta tanah semi detail hasil analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mempunyai satuan peta masing-masing sebanyak 28 dan 31 satuan peta, yang berbentuk konsosiasi, asosiasi dan kompleks. Legenda peta tanah keduanya disajikan dalam Tabel Lampiran 5 dan 6. Jumlah satuan peta hasil metode analisis citra Landsat-7 ETM, lebih sedikit dibandingkan dengan kedua metode lainnya. Hal ini disebabkan karena citra Landsat-7 ETM hanya mampu mengidentifikasi dan mendelineasi satuan landform dan relief sebagai unsur pembentuk satuan peta dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan hasil analisis DEM. DEM atau perpaduannya dengan citra mampu mengidentifikasi dan mendelineasi landform dan relief lebih rinci dan detail sehingga menghasilkan jumlah satuan peta lebih banyak.
Ketepatan peta Pengujian terhadap ketepatan satuan tanah yang dihasilkan dengan ketiga metode analisis disajikan dalam Tabel Lampiran 8.
Dari tabel tersebut
terlihat bahwa metode analisis citra Landsat-7 ETM mempunyai kemurnian ratarata 82 persen atau ketepatan sedang. analisis
perpaduan
Metode analisis DEM dan metode
citra Landsat-7 ETM
dengan
DEM
masing-masing
142
143
144
145
146
mempunyai kemurnian rata-rata 97 dan 99 persen atau ketepatan tinggi.
Hasil
ini menunjukkan bahwa metode analisis DEM atau metode analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM sangat berguna dalam membantu delineasi satuan peta tanah semi detail dibandingkan dengan hanya menggunakan metode analisis citra Landsat-7 ETM saja .
Rendahnya kemurnian satuan
tanah pada peta hasil analisis citra Landsat-7 ETM, juga disebabkan karena penggunaan klasifikasi tanah pada kategori famili dinilai kurang tepat. Seperti telah diuraikan sebelumnya satuan tanah yang tepat untuk peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM adalah pada kategori great grup. Ketepatan relatif rendah pada peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM terutama terdapat pada satuan peta 3, 5, 6 dan 7.
Keempat satuan peta
tersebut terletak pada landform perbukitan volkan, lungur volkan bawah, lungur volkan atas dan lereng volkan tengah. tergolong
Andisol
yang
Pada SPT 5, 6 dan 7,
mempunyai sangat bervariasi
tanahnya
dalam tekstur
tanahnya. Andisol di daerah ini terdiri dari 6 famili yang dibedakan atas ukuran besar butir atau tekstur tanahnya.
Penyebaran dari masing-masing famili
tersebut di lapangan relatif sempit. Padahal satuan peta yang dihasilkan oleh analisis citra Landsat-7 ETM berukuran kasar, sehingga sering mencakup tanah lain yang seharusnya bukan di dalam satuan peta tersebut.
Lokasi Cigudeg Peta tanah semi detail di lokasi Cigudeg hasil tiga metode analisis disajikan dalam Peta 37, 38 dan 39. Peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM mempunyai 23 satuan peta tanah (Tabel Lampiran 9). Peta tanah hasil analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mempunyai satuan peta masing-masing sebanyak 37 dan 44 satuan peta. Legenda peta tanah keduanya disajikan dalam Tabel Lampiran 10 dan 11. Setiap satuan peta tanah terdiri dari satu sampai tiga satuan tanah pada kategori famili, bentuk satuan peta tanah berupa konsosiasi, asosiasi atau kompleks.
147
148
149
150
151
Di daerah Cigudeg, jumlah satuan peta hasil metode analisis citra Landsat-7 ETM lebih sedikit dibandingkan dengan kedua metode lainnya. Jumlah satuan peta hasil analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mempunyai jumlah satuan peta paling banyak. Hal ini disebabkan karena perpaduan keduanya mampu mengidentifikasi dan mendelineasi satuan landform dan relief sebagai unsur pembentuk
satuan
peta
lebih rinci
dibandingkan dengan hasil analisis DEM atau citra Landsat-7 ETM secara sendiri-sendiri.
Ketepatan peta Pengujian ketepatan satuan tanah setiap SPT dan rata-ratanya yang dihasilkan dengan ketiga metode analisis disajikan dalam Tabel Lampiran 13. Metode analisis citra Landsat-7 TM menghasilkan peta dengan ketepatan satuan tanah tergolong sedang atau ke murnian 84 persen, sedangkan metode analisis DEM dan perpaduannya dengan citra Landsat-7 ETM menghasilkan peta dengan kemurnian satuan tanah lebih dari 85 persen atau ketepatan tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa metode analisis DEM dan perpaduan DEM dengan citra Landsat-7 ETM memberikan hasil yang baik dalam menggambarkan penyebaran satuan tanah. Seperti halnya di lokasi Cisarua, rendahnya ketepatan satuan tanah di lokasi ini juga karena penggunaan klasifikasi pada kategori yang kurang tepat. Tampaknya untuk peta tanah yang dihasilkan dengan citra Landsat-7 ETM, penggunaan klasifikasi tanah yang paling tepat adalah pada kategori great grup. Ketepatan relatif rendah pada peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM dijumpai pada SPT 16 dan 17 (Landfor m Gawir) serta SPT 22 dan 23 (Landform Perbukitan tektonik). Kedua landform ini mempunyai satuan tanah yang berbeda dengan landform daerah sekitarnya.
Karena hasil analisis citra
152
Landsat-7 ETM untuk kedua landform tersebut banyak mencakup landform lainnya yang mempunyai satuan tanah yang berbeda, mengakibatkan kemurnian menjadi lebih rendah dibandingkan dengan landform lainnya. Ketepatan satuan tanah yang paling rendah hasil analisis DEM adalah pada SPT 6 (sebagian Landform perbukitan karst) dengan kemurnian 51 persen. Rendahnya ketepatan ini karena landform hasil analisis DEM mencakup landform peneplain bergelombang yang mempunyai satuan tanah berbeda dengan satuan tanah pada landform karst.
Lokasi Cibinong
Peta tanah semi detail di lokasi Cibinong hasil tiga metode analisis disajikan dalam Peta 41, 42 dan 43. Peta tanah semi detail hasil analisis citra Landsat-7 ETM, mempunyai 4 satuan peta tanah (Tabel Lampiran 14), bentuk satuan petanya berupa asosiasi dan kompleks. Peta tanah semi detail hasil analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM masing-masing mempunyai 5 dan 6 satuan peta tanah (Tabel Lampiran 15 dan 16). Bentuk satuan petanya berupa konsosiasi, asosiasi dan kompleks. Dari ketiga metode tersebut terlihat bahwa metode analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mampu mendelineasi satuan peta lebih rinci darpada hanya menggunakan citra Landsat-7 ETM atau DEM secara sendirisendiri. Hasil analisis DEM mampu memisahkan wilayah bergelombang yang mempunyai komposisi satuan tanah yang berbeda dengan yang lainnya, sedangkan citra Landsat-7 ETM tidak mampu memisahkan antara wilayah berombak dengan wilayah bergelombang. Di lain pihak, citra Landsat-7 ETM mampu memisahkan wilayah basah yang ditempati oleh tanah-tanah yang berisfat aquic. Daerah ini tidak dapat dipisahkan dengan analisis DEM.
153
154
155
156
157
Ketepatan peta Pengujian terhadap ketepatan satuan tanah yang dihasilkan dengan ketiga metode analisis disajikan dalam Tabel Lampiran 18.
Metode analisis
citra Landsat-7 ETM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM menghasilkan
satuan
tanah
dengan
ketepatan
tinggi,
mempunyai kemurnian 91 dan 93 persen (Tabel Lampiran 18).
masing-masing Metode analisis
DEM menghasilkan satuan tanah dengan ketepatan sedang atau kemurnian 83 persen (Tabel Lampiran 18).
Uraian di atas menunjukkan bahwa metode citra
Landsat-7 ETM dan metode analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM
mampu mendelineasi satuan peta yang menghasilkan satuan tanah
dengan ketepatan tinggi.
Karakteristik Peta Tanah Karakteristik peta merupakan salah satu penciri ketepatan dan ketelitian hasil delineasi suatu peta.
Parameter yang digunakan dalam menilai
karakteristik peta berupa luasan terkecil hasil delineasi atau minimum size delineation (MSD), luasan rata-rata hasil delineasi atau average size delineation (ASD), indeks pengecilan maksimum peta atau index maximum reduction (IMR). Peta tanah hasil analisis tiga metode di tiga lokasi penelitian masingmasing mempunyai nilai MSD lebih dari 0,40 cm2 (Tabel 31). Menurut Eswaran et al. (1981) MSD yang digunakan dalam pemetaan tanah adalah ¼ x ¼ inch2 atau 1/16 inch2 atau 0,403 cm2.
Berdasarkan hal tersebut maka ukuran satuan
peta yang tergambar dalam peta hasil tiga metode analisis di tiga lokasi penelitian tidak terlalu kecil, sehingga masih terlihat untuk dibaca dan dapat digunakan untuk meletakkan simbol-simbol peta.
158
Tabel 31.
Karakteristik Peta Tanah Hasil Tiga Metode Analisis di Lokasi Cisarua, Cigudeg dan Cibinong, skala 1 : 50.000.
Parameter
Cisarua
Cigudeg
MSD (cm2) ASD (cm2 )
Citra Landsat-7 ETM 1,21 3,5 51,61 24,65
IMR
11,31
Cibinong
0,46 14,24
8,25
6,04
DEM 2
MSD (cm ) ASD (cm2 )
0,41 4,23
0,41 3,37
0,41 11,08
IMR
3,25
2,90
5,26
Citra Landsat-7 ETM + DEM 2
MSD (cm ) ASD (cm2 )
0,41 4,63
0,41 3,37
0,46 12,03
IMR
3,40
2,90
5,48
Peta tanah bertekstur sangat kasar dihasilkan dari analisis citra Landsat-7 ETM di Cisarua dengan nilai IMR 11,31. Peta yang bertekstur kasar dihasilkan dari analisis citra Landsat-7 ETM di lokasi Cigudeg dan Cibinong dengan nilai IMR 8,25 dan 6,04. Peta tanah bertekstur sedang dihasilkan dari analisis DEM dan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM di lokasi Cibinong dengan nilai IMR masing-masing 5,26 dan 5,48 (Tabel 31). Peta-peta yang bertekstur kasar atau sangat kasar, mempunyai rata-rata ukuran poligon relatif besar-besar dan berukuran tidak seragam. Peta yang mempunyai tekstur halus dihasilkan dari analisis DEM atau perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM di lokasi Cisarua dan Cigudeg, dengan IMR berkisar dari 2,90 sampai 3,40 (Tabel 31). Peta yang bertekstur halus menunjukkan bahwa poligon hasil delineasi mempunyai ukuran yang relatif seragam.
159
Kualitas Peta Tanah Hasil penilaian kualitas peta tanah berdasarkan penilaian ketepatan masing-masing unsur pembentuknya disajikan dalam Tabel 32.
Penilaian
kualitas peta tanah ditentukan oleh ketepatan unsur satuan peta yang paling rendah.
Jika salah satu unsur peta tanah mempunyai ketepatan rendah, maka
kualitas peta tanah diklasifikasikan rendah.
Klasifikasi kualitas peta yang
digunakan yaitu: rendah, sedang dan tinggi. Setiap peta yang dinilai, dipilah menjadi dua yaitu: daerah pegunungan dan daerah bukan pegunungan. Di daerah pegunungan lokasi Cisarua, analisis citra Landsat-7 ETM, menghasilkan peta tanah berkualitas tinggi dan di lokasi Cigudeg berkualitas sedang.
Analisis DEM maupun perpaduannya dengan citra Landsat-7 ETM
baik di lokasi Cisarua maupun Cigudeg menghasilkan peta tanah berkualitas tinggi. Di daerah bukan pegunungan lokasi Cisarua, analisis citra Landsat-7 ETM
menghasilkan peta tanah berkualitas sedang.
Sementara di lokasi
Cigudeg dan Cibinong analisis citra Landsat-7 ETM menghasilkan peta berkualitas rendah, karena salah satu unsur satuan peta, yaitu relief mempunyai ketepatan yang rendah (Tabel 32). Peta tanah hasil analisis DEM di lokasi Cisarua yang bukan pegunungan tergolong berkualitas sedang, tetapi di lokasi Cigudeg dan Cibinong tergolong berkualitas rendah disebabkan karena ketepatan unsur relief tergolong rendah (Tabel 32).
Analisis perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM di lokasi
Cisarua dan Cigudeg yang bukan daerah pegunungan menghasilkan peta tanah berkualitas sedang, tetapi di lokasi Cibinong menghasilkan peta tanah berkualitas rendah. Hasil tersebut di atas menunjukkan bahwa dari ketiga hasil analisis tersebut, unsur relief merupakan unsur yang menjadi pembatas utama yang
160
menentukan hasil penilaian kualitas peta tanah, terutama pada daerah yang bukan pegunungan. Dari ketiga metode analisis yang digunakan, peta tanah di lokasi Cibinong semuanya berkualitas rendah.
Tabel 32.
Hasil Penilaian Kualitas Peta Tanah di Tiga Daerah Penelitian
Lokasi
_ _______ Ketepatan ____ _ Kualitas Landform Relief Tanah peta ________________________________________________________________ Analisis Citra Landsat-7 ETM Daerah Pegunungan Cisarua Tinggi Cigudeg Tinggi
Tinggi Sedang
Tinggi Tinggi
Tinggi Sedang
Daerah Bukan Cisarua Cigudeg Cibinong
Sedang Rendah Rendah
Sedang Sedang Tinggi
Sedang Rendah Rendah
Tinggi Tinggi
Tinggi Tinggi
Pegunungan Sedang Sedang Tinggi
Analisis DEM Daerah Pegunungan Cisarua Tinggi Cigudeg Tinggi
Tinggi Tinggi
Daerah Bukan Pegunungan Cisarua Sedang Sedang Tinggi Sedang Cigudeg Sedang Rendah Tinggi Rendah Cibinong Sedang Rendah Sedang Rendah Analisis Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM Daerah Pegunungan Cisarua Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Cigudeg Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Daerah Bukan Cisarua Cigudeg Cibinong
Pegunungan Tinggi Tinggi Tinggi
Sedang Sedang Rendah
Tinggi Tinggi Tinggi
Sedang Sedang Rendah
161
Secara
keseluruhan
terdapat
hubungan
antara
pola
landform, relief, bahan induk dengan penyebaran tanahnya.
penyebaran
Unsur landform
tampaknya cukup banyak berpengaruh terhadap tanah dari pada unsur relief. Dari Tabel 32 terlihat bahwa apabila hasil analisis landform mempunyai ketepatan tinggi, maka selalu diikuti oleh tingginya ketepatan satuan tanah. Namun demikian terdapat juga pada landform berbeda ternyata diisi oleh tanah yang sama. Di lokasi Cisarua, terdapat bentukan landform volkanik tua, tetapi tanah yang terbentuk berasal dari tutupan baru dari bahan volkanik muda. Hal lain yang terlihat dari peta tanah di ketiga lokasi menunjukkan bahwa pola penyebaran bahan induk dan ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap pola penyebaran tanahnya pada berbagai kategori klasifikasi.
Andisol
di Cisarua berkembang dari volkan muda pada ketinggian lebih dari 900 meter di atas permukaan laut, sedangkan Incepti sol berkembang dari bahan volkan tua atau volkan muda, pada ketinggian kurang dari 900 meter di atas permukaan laut. Di Cigudeg, Oxisol berkembang dari bahan induk batupasir bertufa, tetapi Ultisol berkembang dari batuliat atau batupasir.
Di lokasi Cibinong yang
mempunyai bahan induk relatif seragam, penyebaran tanah lebih sulit dihubungkan dengan penyebaran bahan induknya.
Dari pengamatan di
lapangan
pada
menunjukkan
bahwa
Oxisol
berkembang
daerah
yang
mempunyai lereng cembung, sedangkan Inceptisol berada pada lereng lurus atas rata. Hal ini menunjukkan bahwa pola penyebaran tanah di ketiga lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh ketiga unsur pembentuk satuan peta tanah lainnya (landform, relief dan bahan induk), namun pengaruhnya dapat secara sendiri-sendiri atau secara bersama -sama.
162
Interpretasi Peta Peta tanah hasil suatu pemetaan perlu diinterpretasikan untuk tujuan penggunaan tertentu agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna dengan mudah melalui proses evaluasi lahan (kesesuaian lahan atau kemampuan lahan). Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara menginterpretasi kualitas/karakteristik lahan untuk penggunaan lahan tertentu. karakteristik/kualitas
Oleh karena itu
kelengkapan data
lahan dalam suatu peta tanah merupakan hal yang
menentukan keberhasilan interpretasi peta.
Tabel 33 menyajikan ringkasan
sistem evaluasi lahan yang dapat digunakan pada setiap peta tanah yang dihasilkan oleh suatu metode pemetaan tanah.
Tabel 33. Sistem Evaluasi Lahan yang Dapat Digunakan pada Setiap Tanah yang Dihasilkan oleh Suatu Metode Analisis Sistem Evaluasi Lahan
Peta
_ Peta Tanah Hasil Metode Analisis _ Citra Landsat DEM Citra + DEM
Daerah Pegunungan (Lokasi Cisarua dan Cigudeg) Kemampuan Lahan
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kesesuaian Lahan
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Daerah Bukan Pegunungan (Lokasi Cisarua dan Cigudeg) Kemampuan Lahan Kesesuaian Lahan
Kelas/Subkelas -
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Daerah Dataran (Lokasi Cibinong) Kemampuan Lahan
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kesesuaian Lahan
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
Kelas/Subkelas
163
Interpretasi Peta Hasil Analisis Citra Landsat-7 ETM Seperti telah dibahas sebelummnya bahwa peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM hanya berkualitas tinggi untuk daerah pegunungan.
Untuk
daerah pegunungan data dasar dari peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM cukup memadai untuk digunakan dalam penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan.
Peta tanah di daerah ini
menyediakan data tanah dan sifat lingkungan lainnya seperti: kedalaman tanah, tekstur, permeabilitas, drainase dan lereng. Data tersebut mampu disediakan dalam peta tanah, karena kategori yang digunakan dalam klasifikasi dilakukan sampai kategori famili, sedangkan peta lereng diperoleh dari informasi relief yang merupakan salah satu unsur penyusun satuan peta tanah.
Data iklim
diperoleh dari data sekunder, antara lain berupa data curah hujan dan suhu udara. Di daerah bukan pegunungan (Cisarua dan Cigudeg) peta tanah yang dihasilkan menyediakan data relief dan tanah yang kurang akurat. Informasi besaran lereng yang disediakan dalam peta tanah pada kenyataan sebenarnya di lapangan umumnya lebih lebar dan sering mencakup kelas lereng di atasnya. Selain itu, satuan tanah yang paling baik digunakan adalah great grup.
Untuk
penilaian klasifikasi kemampuan lahan, data tanah pada kategori great grup ini cukup memadai, tetapi untuk penilaian kesesuaian lahan informasi yang disediakan tidak memadai.
Dengan demikian peta tanah hasil analisis citra
Landsat-7 ETM di daerah bukan pegunungan hanya dapat diiinterpretasi untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan sampai kategori subkelas.
Namun
demikian setiap satu satuan peta dapat terdiri dari dua kelas atau subkelas (kompleks atau asosiasi).
164
Untuk lokasi Cibinong
peta tanah yang dihasilkan menyediakan data
relief kurang akurat, sehingga perlu dibuat penilaian kesesuaian lahan satu tingkat lebih rendah, namun untuk data tanah cukup memadai untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan sampai kategori subkelas. Disimpulkan bahwa peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM untuk lokasi Cibinong dapat digunakan untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan sampai kategori subkelas.
Interpretasi Peta Hasil Analisis DEM Peta tanah hasil analisis DEM ternyata hanya berkualitas tinggi untuk daerah pegunungan, tetapi berkualitas rendah sampai sedang di daerah bukan pegunungan.
Untuk daerah pegunungan, peta tanah yang dihasilkan dapat
diinterpretasikan untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun untuk klasifikasi kesesuaian lahan. Data relief, tanah dan lingkungannya yang tersedia dari peta tanah cukup memadai untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan, paling tidak sampai subkelas. Peta tanah hasil analisis DEM di daerah bukan pegunungan sebagian besar bermasalah dengan keakuratan data relief. Informasi data relief dari peta tanah hasil analisis DEM sebagian besar satu kelas lebih rendah dari keadaan sebenarnya di lapangan. dalam
penilaian
Dengan diketahui pola yang jelas dari peta ini maka,
klasifikasi
kemampuan
atau
kesesuaian
lahan
harus
direndahkan satu kelas. Sedangkan data tanah, ketersediaanya cukup memadai untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan, karena tingkat klasifikasi tanah yang digunakan sampai kategori famili.
165
Interpretasi Peta Hasil Analisis Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM Peta tanah hasil perpaduan citra Landsat-7 ETM
dengan DEM
menghasilkan peta tanah berkualitas tinggi di daerah pegunungan (lokasi Cisarua dan Cigudeg). Karena peta tanah yang dihasilkan berkualitas tinggi, maka data dari peta ini dapat dilpakai dengan memadai untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan, sampai kategori subkelas. Untuk daerah bukan pegunungan, evaluasi lahan dapat dilakukan melalui penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan namun kelaskelas relief harus dikoreksi dulu atau dalam penilaian klasifikasi lahan diturunkan satu tingkat lebih rendah.
Data tanah yang tersedia cukup memadai untuk
penilaian kemampuan lahan, maupun penailaian klasifikasi kesesuaian lahan sampai kategori subgroup.
Efisiensi Metode Pemetaan Tanah
Selain kualitas peta, salah satu pertimbangan dalam memilih metode pemetaan tanah adalah efisiensi waktu dan biaya. Penilaian efisiensi dinilai berdasarkan efisiensi relatif (ER), yaitu perbandingan antara nilai suatu komponen metode konvensional dengan nilai komponen suatu metode yang dipilih (Jaya, 2005).
Efisiensi Waktu Pekerjaan Lamanya pekerjaan lapangan ditentukan oleh intensitas pengamatan dan skala peta. Semakin detail pengamatan semakin lama pekerjaan di lapangan, sehingga semakin besar biaya yang diperlukan per satuan luas (Beckett, 1968).
166
Waktu pekerjaan pemetaan adalah jumlah seluruh waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan termasuk pekerjaan lapangan sebagai komponen utama. Efisiensi relatif (ER) waktu untuk melaksanakan pekerjaan di ketiga lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 34 .
Tabel 34. Nilai Efisien Relatif (ER) Waktu Pekerjaan Pemetaan Tanah di Tiga Lokasi Penelitian Metode Analisis
Waktu bulan
Konvensional
Nilai ER
Persentase %
12
-
-
Citra Landsat-7 ETM
7
1,7
58
DEM
7
1,7
58
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM
7,5
1,6
63
8
1,5
67
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan Pengamatan Lapangan
Dari Tabel 34 terlihat bahwa waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan pemetaan tanah dengan metode analisis citra Landsat-7 ETM dan DEM 58 persen lebih efisien daripada metode konvensional, atau waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan pemetaan tanah dengan metode konvensional 1,7 kali lebih lama daripada dengan metode analisis citra Landsat-7 ETM atau DEM. Metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan yang dilengkapi dengan pangamatan lapang yang cukup, hanya memerlukan waktu 63 dan 67 persen daripada metode konvensional.
167
Efisiensi Biaya Dari segi biaya pemetaan, ternyata metode citra Landsat-7 ETM hanya memerlukan biaya 38 persen dari biaya dengan metode konvensional. Demikian juga halnya metode yang lainnya lebih efisien dari pada dengan motode konvensional (Tabel 35).
Tabel 35. Nilai Efisien Relatif (ER) Biaya Pekerjaan Pemetaan Tanah di Tiga Lokasi Penelitian Metode Analisis
Biaya/Ha Rupiah
Nilai ER
Persentase %
Konvensional
6.000
-
Citra Landsat-7 ETM
2.250
2,7
38
DEM
2.100
2,9
35
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM
2.500
2,4
42
3.100
1,9
52
Perpaduan Citra Landsat-7 ETM dengan DEM dan Pengamatan Lapangan
-
Dilihat dari segi kualitas peta tanah yang dihasilkan dan efisiensi biaya, metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM merupakan metode yang paling menguntungkan, karena selain kualitas peta tanah yang dihasilkan cukup baik, juga mempunyai efisiensi biaya cukup tinggi dengan ER 2,4.
Metode
analisis citra Landsat-7 ETM meskipun merupakan metode yang paling efisien dalam waktu dan biaya, tetapi dari segi kualitas masih lebih rendah daripada dengan metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM.
168
Pembahasan Umum
Salah satu cara untuk mendapatkan peta tanah semi detail yang berkualitas baik tetapi efisien dalam waktu dan biaya, diperlukan pemilihan metode pemetaan yang tepat. Dari tiga metode pemetaan yang dicoba untuk mendelineasi atau mengidetifikasi unsur-unsur satuan peta tanah, masingmasing metode mempunyai kekurangan dan kelebihan. Metode analisis visual Citra Landsat-7 ETM dapat menghasilkan peta tanah berkualitas tinggi di di daerah pegunungan (lokasi Cisarua dan Cigudeg), berkualitas sedang di daerah bukan pegunungan (lokasi Cisarua), serta berkualitas rendah di daerah bukan pegunungan dan dataran (lokasi Cigudeg dan Cibinong).
Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa metode pemetaan tanah semi detail menggunakan bantuan citra Landsat-7 ETM dapat dipakai untuk membanrtu pemetaan tanah semi detail di daerah bergunung. Hasil analisis citra Landsat-7 ETM
secara digital menggunakan
transformasi Tesseled cap di daerah yang bervegatasi heterogen, dapat dipakai untuk membedakan antara tanah yang bersifat aquic dengan non aquic (Sub ordo).
Untuk daerah yang bervegetasi seragam, hasil klasifikasi citra
berhubungan erat penyebaran tanah Oxyaquic Dystrudept dengan Oxic Dystrudept atau Rhodic Hapludox.
Analisis secara visual dan digital dapat
digunakan untuk saling melengkapi dalam delineasi satuan tanah. Penggunaan DEM untuk membantu delineasi satuan peta tanah menghasilkan peta tanah berkualitas tinggi
di daerah pegunungan (lokasi
Cisarua dan Cigudeg). Metode analisis DEM di daerah bukan pegunungan juga mempunyai kelemahan yang cukup menonjol dalam identifikasi relief, tetapi hasil delineasinya mempunyai tekstur yang sama dengan peta acuan. Kelebihan ini sangat menguntungkan karena hasil delineasi masih bisa dimanfaatkan untuk batas satuan peta, meskipun kemurniannya/ketepatannya rendah.
Ketepatan
yang rendah dapat diperbaiki dengan pengamatan langsung di lapangan.
169
Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM cukup berarti memberikan hasil yang lebih baik terutama di daerah bukan pegunungan yaitu di lokasi Cigudeg dan Cibinong.
Meskipun hasil analisis dari metode ini belum mampu
untuk menghasilkan peta berkualitas baik, tetapi perpaduan antara keduanya dapat saling melengkapi. Peta-peta yang dihasilkan perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mempunyai ketepatan yang tinggi dalam mengidentifikasi landform, tetapi mempunyai ketepatan rendah dalam mengidentifikasi relief. Tekstur petanya tergolong sedang. Secara keseluruhan metode yang dapat digunakan untuk setiap kondisi wilayah ternyata memerlukan pengamatan lapangan. Di daerah pegunungan, pengamatan lapangan cukup hanya ditujukan untuk identifikasi satuan tanah yang mengisi setiap satuan peta yang dihasilkan dari analisis metode yang digunakan, sedangkan di daerah bukan pegunungan pengamatan lapangan selain untuk mengidentifikasi satuan tanah juga untuk tujuan memperbaiki hasil identifikasi landform dan relief. Metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM merupakan metode paling baik, meskipun pada daerah bukan pegunungan masih tetap memerlukan pengamatan lapangan.
Yang menjadi pertanyaan apakah metode ini lebih
efisien dari pada metode konvensional?. Berdasarkan nilai ER (Efisiensi relatif) waktu dan biaya seperti yang disajikan dalam Tabel 34 dan 35 menunjukkan bahwa metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM yang dilengkapi dengan pengamatan lapangan jauh lebih efisien daripada metode konvensional. Dengan demikian baik secara kualitas, efisiensi waktu, dan biaya metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM merupakan metode yang layak untuk dipilih.
Metode pemetaan tanah terpilih yang dapat digunakan untuk
pemetaan tanah semi detail berdasarkan urutan kualitas peta yang dihasilkan di setiap karakteristik wilayah penelitian disajikan dalam Tabel 36.
170
Tabel 36. Metode Analisis Terpilih untuk Pemetaan Tanah Semi Detail Berdasarkan Urutan Kualitas Peta Tanah di Setiap Karakteristik Wilayah Lokasi Penelitian Karakteristik Wilayah
_ Citra Landsat
Metode Analisis DEM
_
Daerah pegunungan, relief dan bahan induk homogen (Cisarua)
+
+
+
Daerah pegunungan, relief homogen, bahan induk heterogen (Cigudeg)
+
+
+
Daerah bukan pegunungan, relief heterogen, bahan induk homogen (Cisarua)
-
+/-
+/-
Daerah bukan pegunungan, relief dan bahan induk homogen (Cibinong)
-
-
+/-
Daerah bukan pegunungan, relief dan bahan induk heterogen (Cigudeg)
-
-
+/-
Citra + DEM
Keterangan : + = terpilih, +/- = terpilih dengan perbaikan, - = tidak terpilih Uraian di atas mengungkapkan bahwa penggunaan citra Landsat-7 ETM untuk membantu pemetaan tanah semi detail masih keterbatasan
terutama
jika
digunakan
di
daerah
memiliki
bukan
banyak
pegunungan.
Keterbatasan tersebut terutama kurang rincinya informasi mengenai keadaan relief dan landform yang akan dijadikan salah satu unsur satuan peta tanah. Hal tersebut juga sangat menyulitkan dalam mempelajari pola-pola penyebaran tanah pada kategori famili dengan landform hasil analisis citra. Peta tanah yang dihasilkan dengan metode analisis citra Landsat-7 ETM bertekstur kasar sampai sangat kasar dan mempunyai ASD besar (Tabel 31) dengan ketepatan rendah.
Hal ini menandakan bahwa skala peta yang
digunakan terlalu besar. Berdasarkan nilai IMR yang bervariasi dari 6,04 -11,31, maka skala peta yang cocok adalah bervariasi dari 1 : 300.000 – 1 : 550.000 atau skala tinjau.
171
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa klasifikasi tanah yang digunakan dalam peta semi detail hasil metode analisis citra Landsat-7 ETM sebaiknya pada kategori great group. Jika tetap digunakan pada kategori famili, maka pada setiap satuan peta akan terdiri dari banyak satuan tanah, sehingga akan menyulitkan dalam interpretasinya untuk penggunaan tertentu. Data sifat tanah pada kategori ini masih memungkinkan dapat digunakan untuk interprertasi klasifikasi kemampuan lahan, karena dalam klasifikasi kemampuan lahan data tanah yang digunakan sebagai karakteristik/kualitas lahan tidak terlalu rinci. Tetapi untuk klasifikasi kesesuaian lahan data tanah pada kategori great group terlalu kasar. Peta tanah semi detail hasil metode analisis lainnya menunjukkan bahwa kategori klasifikasi tanah yang dapat digunakan cukup sampai famili, tidak perlu sampai kategori seri seperti yang dilakukan dalam proyek LREP-II.
Setiap
satuan peta yang terbentuk terdiri dari satu sampai tiga famili tanah, jika mengguna kan kategori seri maka setiap satuan peta akan terdiri tiga seri tanah atau lebih.
Hal ini akan menyulitkan dalam interpretasinya untuk penggunaan
tertentu. Data sifat tanah setiap famili sudah cukup rinci digunakan sebagai karakteristik/kualitas lahan untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan maupun klasifikasi kesesuaian lahan.
Seri tanah menyajikan data yang cukup rinci dan
dalam kisaran yang sempit.
Seringkali data yang rinci ini tidak semuanya
digunakan sebagai karakteristik/kualitas lahan, bahkan data yang sudah disusun dalam kisaran sempitpun terpaksa digabung lagi menjadi kisaran yang lebih lebar, karena kriteria dalam klasifikasi kemampuan lahan atau dalam kesesuaian lahan menghendaki kisaran yang tidak terlalu sempit seperti dalam seri a t nah. Atas dasar tersebut di atas, maka dalam pemetaan tanah semi detail, skala 1 : 50.000, klasifikasi Taksonomi Tanah yang digunakan adalah kategori famili.
172
Peta tanah hasil analisis citra Landsat-7 ETM, DEM dan perpaduan keduanya mempunyai kualitas yang berbeda-beda.
Hal ini akan memberikan
pengaruh pada proses evaluasi lahan, terutama menyangkut ketersediaan dan kerincian data sifat-sifat tanah yang ada dalam peta tersebut. analisis citra Landsat-7 ETM
Peta tanah hasil
untuk daerah bukan pegunungan mempunyai
satuan tanah dalam kategori great group.
Pada kategori ini, data sifat tanah
hanya dapat diinterpretasikan untuk penilaian klasifikasi kemampuan lahan, sedangkan untuk klasifikasi kesesuaian lahan data tanahnya kurang rinci. Sedangkan untuk peta tanah hasil metode lainnya dapat diinterpretasikan untuk penilaian kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan sampai ketegori sebkelas, karena klasifikasi tanah yang digunakannya adalah famili. Unsur landform, relief dan bahan induk sampai saat ini sering digunakan sebagai unsur satuan peta tanah.
Digunakannnya ketiga unsur tersebut karena
ketiganya merupakan unsur yang menentukan penyebaran satuan tanahnya. Batas ketiganya diharapkan mempunyai keberimpitan yang tinggi dengan batas tanah.
Hasil pemetaan tanah di ketiga lokasi yang mempunyai karakteristik
landform, relief dan bahan induk berbeda menunjukkan bahwa penyebaran satuan landform, relief atau bahan induk tidak selalu berhubungan dengan penyebaran satuan tanah pada kategori famili, tetapi setiap satuan peta yang dibentuk oleh ketiga unsur satuan peta seringkali mempunyai kompisisi satuan tanah yang bebeda. Uraian di atas mengungkapkan bahwa unsur landform, relief dan bahan induk mempengaruhi penyebaran tanahnya secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dengan demikian unsur landform, relief dan bahan induk masih relevan digunakan sebagai unsur satuan peta tanah di ketiga lokasi penelitian.
Terdapat satu unsur lain yang menentukan penyebaran
tanahnya, yaitu ketinggian tempat.
Sifat andik, baik antara Andisol dengan
Inceptisol di lokasi Cisarua dan Andic Dystrudept dengan Oxic atau Typic Dystrudept di lokasi Cigudeg dipengaruhi oleh ketinggian tempat.
173
Salah satu unsur satuan peta tanah yang digunakan dalam pemetaan ini adalah bahan induk.
Dalam pemetaan ini penyebaran bahan induk tidak
dianalisis dari citra Landsat-7 ETM maupun dari DEM. Penyebaran bahan induk lokasi Cigudeg dan Cibinong dibuat dari Peta Geologi Teknik Jakarta-Bogor, skala 1 : 50.000 (Direktorat Geologi Indonesia, 1972) dan lokasi Cisarua dibuat dari Peta Geologi Lembar Bogor, skala 1 : 100.000 (Effendi et al., 1998). Untuk menganalisis bahan induk atau litologi yang detail dari citra satelit secara baik harus pada daerah yang terbuka.
Hasil penelitian Ye sou et al. (1993)
mendapatkan bahwa hasil penetapan jenis batuan (litologi) yang baik dari citra satelit hanya diperoleh pada daerah terbuka, tutupan vegetasi sangat menyulitkan dalam mengidetifikasi jenis batuan. Atas dasar tersebut dan untuk memperoleh hasil
yang
baik
dalam
menetapkan
bahan
induk,
maka
penetapannya didasarkan kepada peta geologi, sedangkan penyebarannya sedikit diperbaiki dan disesuaikan dengan peta dasar yang digunakan. Tujuan utama dari pemetaan tanah adalah memperoleh rekomendasi penggunaan lahan melalui proses evaluasi lahan.
Proses evaluasi lahan
dilakukan melalui penilaian klasifikasi kemampuan lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan.
Salah satu parameter penting yang digunakan sebagai
faktor pembatas dalam klasifikasi kemampuan lahan adalah lereng permukaan dan beberapa sifat fisik tanah seperti kedalaman tanah, tekstur tanah dan drainase.
Dengan demikian, asalkan sifat-sifat tersebut informasinya betul,
meskipun nama klasifikasi tanahnya salah, maka klasifikasi kemampuan tanah yang dihasilkan juga akan betul, setidak-tidaknya sampai kategori kelas.
Tetapi
untuk klasifikasi kesesuaian lahan, klasifikasi tanahnya harus betul karena parameter yang digunakan juga melibatkan sifat-sifat kimia tanah. Efisiensi waktu dan biaya akan menjadi bahan pertimbangan dalam memilih metode yang digunakan.
Oleh karena itu dalam penelitian ini selain
masalah kualitas peta tanah itu sendiri, juga dihitung efisiensi relatif (ER) waktu dan biaya metode yang digunakan terhadap metode konvensional. Metode 174
analisis citra Landsat-7 ETM meskipun mempunyai kualitas yang bervariasi dari rendah sampai tinggi untuk semua kondisi lahan, tetapi mempunyai efisiensi relatif (ER) biaya 2,7 artinya metode konvensional 2,7 kali lebih mahal daripada metode an alisis citra Landsat-7 ETM. Metode analisis DEM mempunyai nilai ER biaya sebesar 2,9 merupakan metode yang paling murah, tetapi metode ini tidak sesuai digunakan untuk daerah dataran.
Waktu yang diperlukan oleh metode
analisis citra Landsat-7 ETM dan DEM
hanya 58 persen dari waktu yang
digunakan untuk pemetaan konvensional. Metode perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM yang dilengkapi dengan pengamatan lapangan yang cukup memadai menghasilkan kualitas peta tanah terbaik dengan nilai ER biaya 1,5. Metode ini sangat baik digunakan untuk daerah dataran maupun pegunungan dengan vegetasi yang sangat beragam. Citra Landsat-7 ETM, merupakan citra yang banyak digunakan dalam inventarisasi sumberdaya alam, karena cara perolehannya relatif mudah dan tergolong murah. Namun demikian satelit ini mulai banyak mengalami gangguan teknis sehingga kualitas citra yang dihasilkannya semakin berkurang. sekarangi generasi lanjutan dari Landsat ini, tidak terlalu jelas. diperlukan alternatif citra satelit pengganti.
Sampai Untuk itu
Menurut Hanggono (1999) citra
satelit lain yang dapat digunakan untuk membantu inventarisasi sumberdaya alam termasuk pemetaan tanah antara lain SPOT-4, SPOT 5, IKONOS-2. SPOT-4 mempunyai resolusi 10 - 20 meter sehingga dapat dipakai untuk membantu pemetaan semi detail dengan skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000. SPOT-5 mempunyai resolusi 3 – 10 meter dan skala yang dapat digunakan adalah 1 : 10.000 sampai skala 1 : 25.000 (pemetaan detail sampai semi detail). IKONOS-2 mempunyai resolusi 1 – 4 meter dan skala yang dapat digunakan adalah 1 : 2.500 sampai 1 : 10.000 (pemetaan ultra detail sampai detail).
175
KESIMPULAN
1.
Citra Landsat-7 ETM secara visual mampu digunakan untuk mendelineasi dan mengidentifikasi satuan landform dengan kualitas sedang sampai tinggi. Untuk mendelineasi dan identifikasi relief menghasilkan peta berkualitas sedang sampai tinggi di daerah pegunungan (lokasi Cisarua dan Cigudeg) dan di daerah bukan pegunungan (lokasi Cisarua), tetapi berkualitas rendah di daerah bukan pegunungan (lokasi Cigudeg) dan daerah dataran (lokasi Cibinong), Hasil analisis citra Landsat-7 ETM mampu mendelineasi satuan tanah dengan kualitas sedang sampai tinggi.
2.
Analisis digital citra Landsat-7 ETM menggunakan transformasi Tesseled cap mampu digunakan untuk membedakan tanah yang bersifat aquic dan non aquic (tingkat Sub Ordo).
Untuk daerah yang bervegetasi homogen,
hasil transformasi tersebut mampu membedakan tanah yang tergolong Oxyaquic Dystrudept dengan Oxic Dystrudept atau Rhodic Hapludox (tingkat Subgroup).
Hasil analisis visual dan digital dapat digunakan untuk saling
melengkapi dalam membantu pemetaan tanah semi detail. 3.
Citra Landsat-7 ETM secara visual dapat digunakan untuk membantu delineasi satuan peta tanah semi detail dengan kualitas tinggi di daerah pegunungan. Sedangkan di daerah lainnya hanya menghasilkan peta tanah semi detail berkualitas sedang dan rendah.
4.
Digital elevation model (DEM) dapat digunakan untuk membantu delineasi satuan peta tanah semi detail dengan baik, di daerah bergunung dengan bahan induk homogen maupun heterogen. Pada daerah yang demikian, DEM dapat mengidentifikasi landform dan relief dengan dengan baik. Di daerah bukan pegunungan dengan bahan induk homogen, DEM dapat digunakan untuk delineasi satuan peta tanah dengan perbaikan hasil analisis landform dan relief berdasarkan hasil pengamatan lapangan.
Identifikasi
satuan tanah harus didasarkan kepada hasil pengamatan lapangan.
176
5.
Perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM mampu digunakan untuk membantu delineasi satuan peta tanah di daerah bergunung dengan berbagai bahan induk. Tetapi di daerah bukan bergunung identifikasi landform dan relief harus diperbaiki berdasarkan hasil pengamatan di lapangan.
6. Metode yang paling baik digunakan untuk membantu pemetaan tanah semi detail adalah perpaduan citra Landsat-7 ETM dengan DEM. Hasil identifikasi landform dan relief metode ini harus diperbaiki berdasarkan pengamatan di lapangan, terutama untuk daerah bukan bergunung. Pengamatan lapangan terutama ditujukan untuk memperbaiki hasil identifikasi landform, relief dan klasifikasi tanah. 7.
Keuntungan penggunaan perpaduan citra Landsat-7 ETM dan DEM sebagai alat bantu pemetaan tanah semi detail disertai dengan pengamatan lapang yang cukup adalah: (a).
Menghasilkan kualitas peta yang baik karena: dapat mendelineasi satuan peta dengan benar, dapat membantu klasifikasi landform. relief dan tanah dengan baik dan dapat diinterpretasi untuk penggunaan lahan.
(b)
Dapat mengurangi waktu pekerjaan lapangan, sehingga lebih cepat dan murah.
8.
Secara umum klasifikasi tanah yang dapat digunakan untuk pemetaan tanah semi detail adalah sampai kategori famili, tidak perlu sampai seri seperti yang digunakan dalam LREPP-II. Sedangkan untuk peta tanah tanah semi detail hasil analisis Landsat-7 ETM cukup sampai kategori great group.
9.
Peta tanah hasil metode citra Landsat-7 ETM di daerah pegunungan mampu diinterpretasi untuk klasifikasi kemampuan lahan maupun kesesuaian lahan sampai kategori subkelas. Tetapi untuk da erah bukan pegunungan hanya dapat diinterpretasi untuk klasifikasi kemampuan lahan saja.
177
10. Unsur landform, relief dan bahan induk masih dapat digunakan sebagai unsur-unsur satuan peta tanah semi detail.
Ketiga unsur tersebut baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama sangat menentukan penyebaran tanahnya. 11. Metode citra Landsat-7 ETM mempunyai efisiensi waktu sebesar 58 persen dan efisiensi biaya 38 persen dibandingkan dengan metode konvensional. Metode DEM mempunyai efisiensi waktu 58 persen dan efisiensi biaya 35 persen. Perpaduan keduanya masing-masing mempunyai efisiensi 63 persen dan 42 persen. Jika perpaduan keduanya dilengkapi dengan pengamatan lapangan yang cukup efisiensinya menjadi 52 persen dan 67 persen.
178
DAFTAR PUSTAKA
Agbu, P.A., D.J. Fehrenbacher, and I.J. Jansen. 1990. Soil property relationship with SPOT satellite digital data in East Central Illinois. Soil Sci. Scoc. Am. J. 54:807-812. Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Cetakan Ketiga. IPB Press, Bogor. Badan Meteorologi dan Geofisika. 1956-1997. Kumpulan data iklim. Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Bakosurtanal. 1998. Peta Rupabumi digital seluruh Kabupaten Bogor, skala 1 : 25.000. Bakosurtanal. Beckett, P.H.T. 1968. Methods and scale of land resources surveys, in relation to precision and cost. In. Stewart G.A (eds). Land Evaluation Papers of CSIRO Symposium Organized in Cooperation with Unesco. Mc Millan of Australia. Campbell, J.B. 1978. Spasial variation of sand contents of pH within single contiguous delineations of two soil mapping units. Soil Sci. Soc. Am. J. 42: 460-464. Chambers, R. E. 1978. Klimatologi Pertanian Dasar. Bagian Klimatologi Pertanian. Departemen Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Chatterejee, R.S., J. Roy and K.A. Battacharya. 1996. Mapping geological features of the Jharia coalfield from Landsat-5 TM data. Int J. Remote Sensing 17 (16):3257-3270. Chittleborough, D. J. 1978. Soil variability within land system and land unit at Monarto South Australia. Austr. J. Soil Res. 16 : 137-155. Crist, E.P. and R.C. Cicone. 1984. A physically-based transformation of thematic mapper data-the TM Tesseled cap. IEEE Trans. Geosci. Rem. Sens. GE-22:256-263. de Bruin, S. and A. Stein. 1998. Soil-landscape modelling using fuzzy c-means clustering of attribute data derived from Digital Elevation Model (DEM). Geoderma 83:17-33. Dent, D. and A. Young. 1981. Soil Survey and Land Evaluation. George Allen and Unwin, London. Deri, H.J., Marsoedi DS, dan Wahyunto. 1988. Kegunaan citra landsat menunjang hasil interpretasi landform dalam pemetaan sekitar Negeri Batin, Kotabumi Lampung Utara. Prosiding Pertemuan Teknis Hasil Penelitian Tanah. Cipayung, Feb. 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Hal 47-60.
179
Dessaunettes, J.R. 1977. Catalogue of Landforms for Indonesia. Paper No. 13. AGL/TF/INS/44. FAO/SRI. Bogor. Direktorat Geologi Indonesia. 1970. Peta Geologi Teknik Daerah Jakarta. Skala 1 : 50.000. Departemen Pertambangan.
Working Bogor-
Djaenuddin, U.D., Basuni, S. Hardjowigeno, H. Subagjo, M. Sukardi, Ismangun, Marsoedi Ds, N. Suharta, L. Hakim, Widagdo, J. Dai, V. Suwandi, S. Bachri dan E. R. Jordens. 1994. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Laporan Teknis No.7, Versi 1. Proyek LREP II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dobos, E., E. Micheli, M.F. Braumgardner, L. Biehl and T. Helt. 2000. Use of combine digital elevation model and satellite radiometric data for regional soil mapping. Geoderma 97:367-391. Donker, H.N.W. 1986. A Computer Programme to Calculate Water Balance. ITC, Enschede, The Netherland. Edmonds, W.J., J. C. Baker and T.W. Simpson. 1985. Variance and scale influences on classifying and interpretting soil map units. Soil Sci.Soc.Am. J. 49:957-961. Effendi, A.C., Kusnama, dan B. Hermanto. 1998. Peta Geologi Lembar Bogor, Jawa, Skala 1 : 100.000. Edisi kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Eswaran, H., T.R. Forbes, and M.C. Laker. 1981. Soil parameter and clasification. In Soil Resources Inventories and Development Planning. Proceeding of Workshops at Cornell University 1977-1978. Technical Monograph No. 1. Soil Management Support Services, Washington D.C. pp:351-366. Fagbami, A. 1986. Remote sensing options for soil survey in developing countries. ITC Journal. 1986-1. FAO. 1974. Soil Map of the World. FAO, Rome. FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soil Bulletin 32, FAO, Rome. Forbes. T., D. Rossiter and A. Van Wambeke. 1983. Guidelines for Evaluating the Adequacy of Soil Resources Inventories. Soil Management Support Services. Technical Monograph No. 4. Franklin, S.E. 1987. Terrain analysis for digital patterns in geomorphometry and Landsat MSS spectral response. Photogram. Eng. Remote Sensing. 53:59-65. Goossens, R. and E. Van Ranst. 1998. The use of remote sensing to map gypsiferous soils in Ismailia Province (Egypt). Geoderma 87:47-56.
180
Haack, B, and S. Jampoler. 1994. Agricultural classification comparisons using Landsat Thematic Mapper data. ITC Journal 1994:113-118. Hammer, R.D., F.J. Young, N.C. Wallenhaupt, T.L. Barney and T.W. Haithcoate. 1995. Slope class maps from soil survey and digital elevation models. Soil Sci. Soc. Am. J. 59:509-519. Hanggono, A. 1999. Penggunaan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam inventarisasi dan monitoring ketersediaan sumberdaya lahan. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Lido Bogor, 6-8 Desember 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 95-128. Hardjowigeno, S, Marsoedi Ds, dan Ismangun. 1993. Satuan Peta Tanah dan Legenda Peta Tanah. Technical Report No.3, Versi 1. Proyek LREP II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Hidayat, A dan S.W.P. Darul. 1991. Klasifikasi satuan lahan dan penggunnannya untuk pertanian. Pr osiding Ekspose Hasil Penelitian Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan (LREPP Part I), Sumatera Bagian Utara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 71-87. Hikmatullah, Wahyunto, H.J. Deri dan A. Hidayat. 1991. Hubungan tanahlandscape di daerah Aceh Timur, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan (LREPP Part I), Sumatera Bagian Utara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 235-244. Hikmatullah dan H.D. Herry. 1993. Pengaruh posisi pedon pada satu segmen landscape satuan lahan terhadap beberapa sifat tanah di Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat Bidang Karakterisasi dan Evaluasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 83-94. Institut Pertanian Bogor. 1976. Laporan Survei Kapabilitas Tanah dan Agricultural Plan Daerah Calon Lokasi Transmigrasi Rimbo Bujang-Teluk Kuali, Jambi. Institut Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. 1983. Laporan Survei Tanah Daerah Pasang Surut Gasing Puntian, Sumatera Selatan. Departemen Ilmu-ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Irvin, B.J., S.W. Ventura, and B.K. Slater. 1997. Fuzzy and isodata classification of landform elements from digital terrain in Pleasant Valley, Winconsin. Geoderma 77:137-154.
181
Jaya, I.N.S. 2005. Teknik menditeksi lahan longsor menggunakan citra SPOT multiwaktu: Studi kasus di Teradomari, Tochio dan Shidata Mura, Nigata, Jepang. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol XI, No.1. Januari-Juni 2005. King, D., H. Bourennane, M. Isambert and J. J. Macaire. 1999. Relationship of the presence of a non-calcareous clay-loam horizon to DEM attributes in gently sloping area. Geoderma 89: 95-111. Lark, R.M. 1999. Soil-landform relationships at within-field scales: an investigation using continous classification. Geoderma 92:141-165. Lee, K.S., G.B. Lee, and E.J. Tayler. 1988a. Determination of soil characteristics from thematic mapper data of a cropped organic-inorganic soil landscape. Soil Sci.Soc.Am. J. 52:1100-1104. Lee, K.S., G.B. Lee, and E.J. Tayler. 1988b. Thematic mapper and digital elevation modeling of soil characteristics in hilly terrain. Soil Sci.Soc.Am. J. 52:1104-1107. Marsoedi, D.S. 1981. The use of landsat multispektral scanner for reconnaissance land resources inventory in Southeast Sulawesi. FAO/CSR, Bogor. Marsoedi, D. S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul S.W.P., S. Hardjowigeno dan E.R. Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi Landform. Technical Report No.5, Versi 3. Proyek LREP II. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Mc Cormack, D.E. and L.P. Wilding. 1969. Variation of soil properties within mapping units of soils with contrasting substrata in Nortwestern Ohio. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 33:587-593. Moore, I.D., P.E. Gessler, G. A. Nielsen and G.A. Peterson. 1993. Soil atribute prediction using terrain analysis. Soil Sci. Soc. Am. J. 57:443-452. Mulder, M.A. , and G.F. Epema. 1986. The thematic mapper: a new tool for soil mapping in arid areas. ITC Journal 1986-1:24-29. Notohadiprawiro, T. 1992. Quality control of soil survey. Prosiding Pertemuan Teknis Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong, 29-31 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 1–28. Odeh, I.O.A., A.B. Mc Bratney, and D.J. Chittleborough. 1994. Spasial prediction of soil properties from landform attributes derived from digital elevation model. Geoderma 63:197-214. Prasetyo, B.H. dan D. Subardja. 1998. Hubungan antara landform, litologi dan tanah di DAS Citarum Bawah, Jawa Barat. Jurnal Tanah dan Iklim. No. 16/1998: 34-42. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Terms of Reference. Survai Kapabilitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
182
Rachim, D.A. 1989. Evaluasi ketelitian pemetaan tanah detil dan keragaman spasial tanah pada dua satuan peta di daerah Bogor. Thesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rossiter, D. G. 1994. Geographical Information System. Lecture Notes: Land Evaluation. Cornell University, College of Agriculture and Life Science, Department of Soil, Crop and Atmospheric Science. pp 1 : 25. Santoso, S. 2003. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Siswanto, A.B., D.K.G. Purwantomo, S. Ritung dan I.P.G. Widjaja-Adhi. Analisis citra landsat multi temporal untuk identifikasi daerah genangan pada lahan rawa lebak di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia Tahun 1998. Buku I. HITI Komda Jawa Timur. Hal:202-210. Soekardi, M., N. Suharta dan S. Ritung. 1989. Macam-macam peta tanah dan kegunaannya. Informasi Penelitian Tanah, Air, Pupuk dan Lahan. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Soepraptohardjo, M. 1961. Sistem klasifikasi tanah tanah di Balai Penyelidikan Tanah. Kongres Nasional Ilmu Tanah I, Bogor. Soil Conservation Service. 1972. Soil Survey Laboratory Methods and Procedures for Collecting Soil Samples. Soil Survey Investigation Report No.1. Soil Conserv. Service.USDA, Washington D.C. Soil Conservation Service. 1983. National Soils Handbook (430-VI-NSH). U.S. Government Printing Office. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. Soil Conserv. Service. USDA Handbook No. 436. US Government Printing Office, Washington D.C. Soil Survey Staff. 1993. Washington D.C.
Soil Survey Manual.
USDA Handbook No. 18,
Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. Ninth Edition. Natural Resources Conservation Service. United States Dapartment of Agricultural. Staf Peneliti Pusat Penelitian Tanah. 1983. Jenis dan Macam Tana h di Indonesia untuk Keperluan Survai dan Pemetaan Tanah Daerah Transmigrasi. Lampiran Terms of Reference. Survai Kapabilitas Tanah. Pusat Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Stoner, E. R., and M.F. Braumgardner. 1981. Characteristic variations in reflectance of surface soils. Soil Sci. Soc. Am.J. 45:1161-1165. Subardja and P. Buurman. 1880. A toposequence of Latosols on volcanic rocks in the Bogor-Jakarta area. In Red Soils in Indonesia. Soil Research Institute, Bogor, p:25-48.
183
Sudihardjo, A.M., H. Suwardjo dan H.J. Deri. 1991. Penyebaran tanah dalam satuan lahan pada tingkat jenis (great group) di Propinsi Riau, lembar Rengat dan Siak Sri Inderapura. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Proyek Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Lahan (LREPP Part I), Sumatera Bagian Utara. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 261-269. Suhardjo, H. dan H. Suwardjo. 1992. Survei dan pemetaan tanah daerah transmigrasi. Prosiding Pertemuan Teknis Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong, 29-31 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 93–109. Suharta, N. dan H. Subagjo. 2000. Status bank data tanah nasional. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Cisarua 9-11 Februari 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal 15-29. Sukarman. 1990. Keragaman tanah pada satuan peta tanah detil hasil pemetaan dengan tiga cara delineasi pada suatu wilayah di daerah Cimulang Bogor. Thesis Magister Sains. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sukarman, H. Suhardjo dan D. Djaenuddin. 1999. Karakterik tanah berbahan induk batuan andesit yang tertutup abu volkan dan batuapung di Gunung Kimangbuleng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurnal Tanah dan Iklim. No. 17/1999: 14-26. Suryanto, W.J., S. Soekodarmodjo dan Sutikno. 1989. Analisis densitas citra SPOT untuk pemetaan tanah: studi kasus di daerah Gunung Kidul Bagian Utara. Pembert. Penel. Tanah dan Pupuk 8: 48-56. Suryanto, W.J., Wahyunto, S. R. Murdiyati dan Rb. Sunyoto. 1999. Identifikasi nilai pantulan dan warna tanaman padi sawah pada citra Landsat Thematic Mapper band 5,4,2 untuk menyusun kunci interpretasi. Jurnal Tanah dan Iklim. No.17/1999: 48-55/. Sutanto. 1992. Peranan teknik penginderaan jauh untuk survei tanah. Prosiding Pertemuan Teknis Pembakuan Sistem Klasifikasi dan Metode Survei Tanah. Cibinong, 29-31 Agustus 1988. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal :55-64. Swain, P. H. and S. M. Davis. 1978. Remote Sensing: The Quantitatif Approach. Mc Graw-Hill, New York USA. Thompson, D.R., and K.E. Henderson. 1984. Detecting soils under cultural vegetation using digital Landsat Thematic Mapper Data. Soil Sci. Soc. Am. J. 48:1316-1319. Thompson, J.A., J.C. Bell, C.A. Buttler. 2001. Digital elevation model resolution: effects on terrain attribute calculation and quantitative soil-landscape modeling. Geoderma 100:67-89.
184
Turkandi, T., Sidarta, D.A. Agustiyanto, dan M.M. Purbohadiwidjoyo. 1992. Peta Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, Jawa, Skala 1 : 100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Van Bemmelen, R. W. 1949. The Geology of Indonesia Vol I-A. Martinus Niyhoff, The Hague, 732 p Van Wambeke, A. 1982. Calculated Soil Moisture and Temperature Regimes of Africa. SSMS-AID, New York. Van Wambeke, A. and T. Forbes. 1986. Guidelines for Using Soil Taxonomy in The Names of Soil Map Units. Soil Management Support Services. Technical Monograph No. 10. Wahyunto, Marsoedi D.S. dan D. Djaenudin. 1988. Identifikasi sistem fisiografi dan landform melalui citra landsat di daerah Sesayap-Sembakung, Kalimantan Timur. Prosiding Pertemuan Teknis Hasil Penelitian Tanah. Cipayung, Feb. 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor. Hal 17-29. Weismiller, R.A., I.D. Persinger, and O.L. Montgomery. 1977. Soil inventory from digital analysis of satellite scanner and topographic data. Soil Sci.Soc.Am. J. 41:1166-1170. Yesou, H., Y. Besnus, and J. Rolet. 1993. Extraction of spectral information for Landsat TM data and merger with SPOT panchromatic imagneryacontribution to study of geological structure. ISPRS Journal of Photogrametry and Remote Sensing 45(5):23-36.
185
DAFTAR SINGKATAN
ASD
: Average size delineation
CCT
: Computer compatible tape
CBN
: Cibinong
CGD
: Cigudeg
CSR
: Cisarua
DAS
: Daerah aliran sungai
DEM
: Digital elevation model
ER
: Earth Resource
ETM
: Enhance Thematic Mapper
GPS
: Global positioning system
IMR
: Index of maximum reduction
ISODATA : Iteration self-organizing data analysis technique. KB
: Kejenuhan basa
KTK
: Kapasitas tukar kation
LREPP
: Land resources evaluation planning project
MSD
: Minimun size delineation
MSS
: Multispectral scanner
NOAA
: National oceanic and atmospheric administration
OIF
: Optimum index factor
RGB
: Red Green Blue
SPOT
: System probatoire d’observation de la terre
SPSS
: Statistic al Programe for Social Science
SPT
: Satuan peta tanah
UTM
: Universal Transverse Mercartor
158
LAMPIRAN-LAMPIRAN
187
Tabel Lampiran 1. Sifat-sifat Morfologi Profil Pewakil Daerah Penelitian. Horison
Kedalaman cm
Warna
Tekstur Struktur
Konsistensi
Batas horison
pH Keterangan
Lokasi Cisarua Pedon Apg Bg1 Bg2 Bg3
CSR-53 (Fluvaquentic Endoaquept, berlempung halus, campuran, isohipertermik) 0-25 2,5Y 4/2 SiC m t,ss,sp jelas, rata 5,0 karat Fe 25-55 2,5Y 4/1 CL m t,s,p baur, rata 5,0 55-90 2,5Y 4/1 SiCL s,p baur, rata 5,0 lunak 90-120 2,5Y 4/1 CL s,p . 5,0 -
Pedon Apg Bg Bw1 Bw2
CSR-133 (Aeric Epiaquept, berlempung halus, campuran, isohipertermik) 0-20 10YR 5/1 SiL m t,ss.sp jelas, rata 5,3 20-46 10YR 5/1 SiL m t,s.p jelas, rata 5,4 46-77 10YR 5/3 SiL sb, 1, f f,s,p baur, rata 6,2 77-120 10YR 5/4 SiC sb, 1, f f,s,p 6,1
Pedon CSR-75 (Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik) Apg 0-25 10YR 3/1 C m t,s.p jelas, rata 5,5 Bw1 25-48 7,5YR 5/4 C sb, 1, t t,s.p jelas, rata 5,2 Bw2 49-71 7,5YR 4/4 C sb, 1, f f,s,p baur, rata 5,2 Bw3 71-104 7,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p baur, rata5,2 Bw4 104-135 7,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p 5,1
karat Fe karat Fe karat Mn karat Mn karat Fe karat Fe/Mn karat Mn karat Mn karat Mn
Pedon CSR-58 (Andic Dystrudept, sangat halus, campuran, isohipertermik) A 0-19/23 7,5YR 3/3 C g, 2, m f,s,sp baur, berombak 5,2 Bw1 19/23-50 7,5YR 3/4 C sb,1,f f,ss,sp baur, rata 5,1 Bw2 50-77 7,5YR 4/4 C sb,1,f f,s.sp baur, rata 5,4 Bw3 77-102 7,5YR 4/4 C sb,1,f t,s,p baur, rata 5,4 Bw4 102-128 7,5YR 4/6 C sb,1,f t,s,p baur, rata 4,9 Bw5 128-150 7,5YR 4/6 C sb,1,f t,s,p 4,7
-
Pedon CPY-1 (Typic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik) A 0-15 5YR 3/3 SiCL sb, 2, m f,s,sp jelas, rata Bw1 15-44 7,5YR 5/4 SiC sb,2,f f,ssp baur, rata Bw2 44-73 7,5YR 5/4 SiCL sb,2,f f,s.sp baur, rata Bw3 73-108 7,5YR 5/6 SiCL sb,2,f t,s,sp baur, rata Bw4 108-125 7,5YR 5/6 SiCL sb,1,f t,s,sp baur, rata Bw5 125-150 7,5YR 5/6 SiCL sb,1,f t,s,sp -
-
5,2 5,4 5,3 5,3 5,4 5.3
Pedon Ap Bw1 Bw2 BC 2Bw1 2Bw2
CSR-67 (Vitric Hapludand, berabu diatas berbatu apung, haloisitik, isotermik) 0-23 10YR 4/4 C g,1,f vf,so,po baur, rata 5,0 23-49 10YR 4/4 CL g, 1, f v,so,po berangsur, rata 5,2 49-82 10YR 4/6 SiL g, 1, f v,so,po jelas, rata 5,3 bt.apung 82-98 10YR 4/6 SL l vf,so,po jelas,rata 5,8 (60%) 98-121 10YR 4/4 SiL sb, 1, f t,ss,sp baur, rata 5.8 (10%) 121-165 10YR 4/6 SiCL sb, 1, f t,ss,sp 5,7 -
Pedon Apg Bw1 Bw2 Bw3 Bw4 Bw5
CSR-68 (Typic Hapludand, halus, haloisitik, isohipertermik) 0-16 10YR 3/1 C masive t,s,p jelas, rata 16-35 10YR 3/6 C sb, 1, f t,s,p berangsur, rata 35-54 7,5YR 4/4 C sb, 1, f t,s,p jelas, rata 54-76 7,5YR 4/4 SiCL sb, 3, f vt,s,p jelas,rata 76-110 7,5YR 4/6 C sb, 1, f t,s,p baur, rata 110-145 7,5YR 4/6 C s,p -
5,5 6,1 karat Fe 6,4 karat Fe 6.3 karat Mn 6.2 6,0 sedikit lapukan
188
Tabel Lampiran 1 (Lanjutan) Horison
Kedalaman cm
Warna
Tekstur Struktur
Konsistensi
Batas horison
pH
Pedon CSR-70 (Typic Hapludand, berlempung halus, haloisitik, isohipertermik) Ap 0-24 7,5YR 4/3 CL g,1, f vf,ss,sp baur, rata 5,0 Bw1 24-42 10YR 5/4 CL g, 1, f f,ss,sp baur, rata 5,0 Bw2 42-66/70 10YR 5/6 CL g, 1, f f,ss,sp baur, berombak 5,3 Bw3 66/70-80/85 7,5YR 4/4 CL g, 1, f f,ss,sp jelas,berombak 5,3 Bw4 80/85-110 7,5YR 4/6 CL g, 1, f f,ss,sp baur, rata 5,7 2Bw1 110-135 10YR 4/6 SiCL sb,1,f t,s,p 6,0 Pedon A Bw1 Bw2 BC1 BC2
Keterangan
ringan ringan ringan ringan -
CSR-30 (Typic Hapludand, berlempung halus di atas fragmental, haloisitik, isotermik ) 0-9 10YR 4/3 CL sb, 2, m t,ss,sp jelas, rata 5,0 9-21 7,5YR 5/4 CL sb, 2, ,m f,ss,sp berangsur, rata 5,0 21-39 7,5YR 5/6 CL sb, 1, f f,ss,sp baur, rata 5,0 39-61 7,5YR 5/6 CL sb, 1, f f,ss,sp jelas, rata 5,5 berbatu (30%) 61-75 7,5YR5/6 L sb, 1, f f,ss,sp 5,3 berbatu (60%)
Pedon Ap Bw1 Bw2 BC
CSR -122 (Typic Hapludand, berabu di atas skeletal berlempung, haloisitik, isotermik) 0-30 10YR 3/3 SiL g, 1, f f,ss,sp jelas, rata 5,5 ringan 30-55 7,5YR 3/4 CL sb, 1, f f, ss, sp baur, rata 5,3 kerikil (5%) 55-70 7,5YR 3/4 L sb, 1, f f, ss, sp baur, rata 5,4 kerikil (15%) 70-90 7,5YR ¾ L masiv 5,3 kerikil, batu (45%) Pedon CSR -32 (Typic Hapludand, berabu di atas berliat, haloisitik, isotermik) A 0-17 10YR 4/4 SL g, 2, m f, ss, sp baur, rata 5,6 ringan Bw1 17-42 10YR 4/4 SL g, 2, m f,ss,sp jelas, rata 5,2 ringan Bw2 42-81 7,5YR 4/6 CL sb, 1,m f,ss,sp baur, rata 5,2 ringan 2Bw1 81-102 7,5YR 5/6 SiC sb, 1, m f,ss,sp baur, rata 5,2 kerikil 5% 2Bw2 102-145 7,5YR 5/8 SiC sb, 1, m f,ss,sp baur, rata6,0 BC 145-160 7,5YR 5/5 SiC sb,1,f f,ss,sp 6,0 sedikit lapuk bahan induk Lokasi Cigudeg Pedon Ap Bwg1 Bwg2 Bwg3 BC
CGD-21 (Fluvaquentic Endoaquept, halus, campuran, isohipertermik) 0-20 2,5Y 5/1 SiCL masive t,s,p berangsur, rata 5,5 20-46 2,5Y 5/1 SiC masive t,s,p berangsur, rata 5,3 46-63 2,5Y 5/1 SiCL sb,1,f t,s,p berangsur, rata 5,0 63-97 5Y 4/1 SiC s,p 5,1 97-120 5Y 4/1 C ss,sp 5,0 5G5/1
karat karat karat karat -
Fe Fe Fe Fe
Pedon CGD-59 (Fluvaquentic Endoaquept, berlempung di atas fragmental, campuran, isohipertermik) Ap 0-15 5Y 5/1 SiCL masive t,ss,sp berangsur, rata 5,5 karat Fe Bwg 15-45 5Y 5/1 SiC masive t,s,p jelas,rata 6,0 karat Fe Cr > 45 5Y 5/1 SCl f,ss,sp berbatu (>60%)
189
Tabel Lampiran 1 (Lanjutan) Horison
Kedalaman cm
Warna
Tekstur Struktur
Konsistensi
Batas horison
Pedon CGD-58 (Aeric Epiaquept, halus, campuran, isohipertermik) Ap 0-25 2,5Y 5/1 SiC masive t,ss,sp jelas, rata Bwg1 25-48 2,5Y 4/1 C masive t,s,p jelas, rata Bwg2 48-72 5Y 5/1 C sb,1,m t,s,p baur, rata Bw1 72-104 7,5YR 4/4 SiC sb,2,m t,s,p baur, rata Bw2 104-135 7,5YR 4/4 SiC sb,2,m t,s,p Pedon CGD-84 (Oxyaquic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik) Ap 0-15 10YR 4/4 C masive t,s,p jelas, rata, Bwg1 15-30 Bw1 30-55 Bw2 55-86 Bw3 86-120
5Y 5/1 10YR 4/2 7,5YR 4/4 10YR 4/3
C C C C
sb, 2, m sb, 2, m sb, 2, m sb, 2, m
t,s,p t,s,p t,s,p t,s,p
jelas, rata jelas, rata berangsur,rata -
Pedon CGD-55 (Andic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik] Ap 0-15 10YR 4/3 C g, 1, f f,s,p berangsur, rata Bw1 15-41 7,5YR 3/4 C sb,2,f f,s,p baur, rata Bw2 41-65 7,5YR 4/6 C sb,2,f f,s,p baur, rata Bw3 65-94 7,5YR 4/6 C sb,2,f f,s,p baur, rata Bw4 94-122 7,5YR 5/6 C sb,2,f f,s,p baur, rata Bw5 122-150 7,5YR 5/6 C sb,2,f f,s,p baur, rata BC 150-175 7,5YR5/8 C sb,1,f t,s,p 10YR 7/4
pH Keterangan
5,5 5,2 5,5 5,8 6,5
5,5 campuran 5Y5/1 5,7 karatan Fe 6,0 karatan Fe 6,0 karatan Fe/Mn 6,2 -
4,3 4,5 4,5 4,4 4,3 4,4 4,5
agak ringan sedikit lapuan batuan
lapukan 2,5Y 7/6 lapukan 2,5Y 7/4
Pedon Ap Bw1 Bw2 Bw3 BC
CGD-105 (Typic Dystrudept, halus, campuran, isohipertermik) 0-10 10YR 3/2 SiC sb, 1, f t,s,p berangsur, rata 10-23 7,5YR 5/4 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 23-44 7,5YR 5/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 44-63 7,5YR 5/6 C sb, 1, m t,s ,p jelas, rata 63-88 5YR 5/4-5/6 C sb, 1, m t,s,p jelas, rata
4,1 4,0 4,0 4,1 4,2
C
88-120 2,5YR 5/8
4,3
Pedon Ap Bw1 Bw2 BC
CGD-106 (Typic Eutrudept, halus, campuran, isohipertermik) 0-15 10YR 4/3 C sb, 2, m t,s,p jelas, rata 15-31 10YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 31-74 10YR 5/6 C sb, 2, m t,s,p jelas, rata 74-98 10YR 5/6 C sb, 1, m t,s,p berangsur, rata
C
98-115 10YR 7/2
C
sb, 1, m
SiCL sb,1,f
t,s,p
f,s,sp
-
-
karatan Fe karatan Fe karatan Fe karatan Fe,Mn karatan Fe,Mn
6,5 6,7 6,9 7,1 7/6 7,6
lapukan 2,5Y lapukan 2,5Y 7/6 (banyak)
190
Tabel Lampiran 1 (Lanjutan) Horison
Keda- Warna Tekstur Struktur KonsisBatas laman tensi horison cm Pedon CGD-23 (Typic Hapludult, halus, kaolinitik, isohipertermik) Ap 0-25 10YR 4/4 SiC sb, 2, f f,s,p berangsur, rata Bt1 25-47 10YR 5/4 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata Bt2 47-70 10YR 5/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata BC1 70-106 10YR 5/4 SiC sb, 1, m t,s,p berangsur, rata BC2 106-145 2,5Y 5/3 SiC sb, 1, f t,s,p 10YR 4/6 Pedon A Bw1 Bw2 BC R
pH Keterangan
4,5 4,5 4,5 4,5 4,5
pasir kuarsa pasir kuarsa pasir kuarsa sedikit kerikil
CGD-109 (Typic Eutrudept, berliat skeletal, montmorilonitik, isohipertermik) 0-21 10YR 5/4 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 8,0 batu (40%) 21-55 10YR 4/3 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 8,0 batu (50%) 31-94 10YR 4/4 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata 8,0 batu (60%) 94-121 10YR 6/6 C sb, 1, m f,s,p jelas, rata 8,0 batu (70%) 2,5Y 7/6 > 121 batu kapur
Pedon CGD-50 (Aquic Hapludult, halus, kaolinitik, isohipertermik) Apg 0-20 2,5Y 5/1 C masive t,s,p nyata, rata Btg 20-46 2,5Y 4/1 C sb, 2, m vt,s,p berangsur, rata Bt1 46-65 10YR 4/3 C sb, 2, m vt,s,p berangsur, rata Bt2 65-79 10YR 4/6 C sb, 2, m vt,s,p berangsur, rata Bw 79-105 7,5YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata BC 105-150 7,5YR 4/6 C t,s,p -
5,5 6,0 6,0 5,5 5,5 5,0
karatan Fe karatan Fekaratan Fe/Mn karatan Fe/Mn sedkit lapukan bahan induk
Pedon CGD-15 (Typic Kandiudult, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik) Ap 0-10 10YR 5/4 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata Bt1 10-34 10YR 5/4 C sb, 2, m vt,s,p berangsur, rata Bt2 34-56 10YR 5/6 C sb, 2, m vt,s,p berangsur, rata Bw1 56-78 7,5YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata Bw2 78-102 7,5YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p berangsur, rata BC 102-140 7,5YR 4/6 C sb, 1, f t,s,p -
4,3 4,2 4,2 4,1 4,1 4,0
lapukan bahan induk
Pedon CGD-14 (Rhodic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik] Ap 0-22 2,5YR 3/4 C sb, 1, f f,s,p berangsur, rata Bw1 22-41 2,5YR 3/4 C sb, 1, f f,s,p baur, rata Box 41-60 2,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p baur, rata Box 60-84 2,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p baur, rata Bw2 84-122 2,5YR 4/6 C sb, 2, f f,s,p baur, rata Bw3 122-150 2,5YR 4/6 C sb, 2, f t,s,p -
4,0 4,1 4,1 4,2 4,2 4,2
-
Pedon CGD-68 (Typic Hapludox, halus, kaolinitik, isohipertermik] Ap 0-21 7,5YR 3/3 C sb, 1, f f,s,p berangsur, Bw1 21-47 7,5YR 3/4 C sb, 1, f f,s,p berangsur, Box 47-80 7,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p baur, rata Box 80-115 7,5YR 4/6 C sb, 1, f f,s,p berangsur, BC1 115-130 5YR 4/4 C sb, 1, f t,s,p berangsur,
4,5 4.5 4,5 4,5 4,5
lapukan bahan induk 7,5YR6/3 lapukan Bahan Induk 7,5YR6/3
BC2 130-160 5YR 4/4
C
sb, 1, f
t,s,p
-
rata rata rata rata
4,5
191
Tabel Lampiran 1 (Lanjutan) Horison
Kedalaman cm
Warna
Tekstur Struktur
Konsistensi
Batas horison
pH Keterangan
Lokasi Cibinong Pedon Apg Bg1 Bg2 Bg3
CBN-33 (Fluvaquentic Endoaquept, sangat halus, campuran, isohipertermik) 0-30 5Y 4/1 C s,p 5,3 unripe 30-51 5Y 4/1 C s,p 5,5 51-84 5Y 4/1 C s,p 5,6 84-120 5Y 4/1 C s,p . 5,7 -
Pedon Ap Bg Bw1 Bw2
CBN-68 (Aeric Epiaquept, sangat halus, campuran, isohipertermik) 0-28 10YR4/2 C sb, 1, f t,s.p jelas, rata 28-50 10YR 4/2 C sb, 1,f t,s.p jelas, rata 50-87 10YR 6/2 C sb, 1, f t,s,p jelas, rata 87-120 10YR 6/4 C sb, 1, f t,s,p -
Pedon A Bw1 Bw2 Bw3
CBN-10 (Typic Dystrudept, berlempung halus, campuran, isohipertermik) 0-25 7,5YR 3/2 SiCL sb, 1, f f,ss.sp jelas, rata 5,5 kerikil 25-43 7,5YR 3/4 SiCL sb, 1,f f,ss, sp jelas, rata 5,4 (5%) 43-81 7,5YR 3/4 CL sb, 1, f t,s,p jelas, rata 6,0 81-120 10YR 4/3 L sb, 1, f t,s,p 6,2
Pedon Ap Bw1 Bw2 Bw3 Bw4
CBN-80 (Oxyaquic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik) 0-35 7,5YR 4/4 C sb, 2, m f,s,p jelas, rata, 5,0 35-49 5YR 4/4 C sb, 2, m t,s,p jelas, rata 4,9 49-65 5YR 4/4 C sb, 2, m t,s,p jelas, rata 5,1 65-88 5YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p baur,rata 5,1 88-120 5YR 4/6 C sb, 2, m t,s,p 5,0
karatan Mn karatan Mn karatan Mn -
Pedon Ap Bw1 Bw2 Bw3 Bw4
CBN-1 (Oxic Dystrudept, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik) 0-30 5YR 3/3 C sb, 2, m f,s,p jelas, rata, 30-51 5YR 4/3 C sb, 2, m t,s,p baur, rata 51-69 5YR 3/4 C sb, 2, m t,s,p baur, rata 69-85 2,5YR 4/4 C sb, 2, m t,s,p baur,rata 85-120 2,5YR 4/4 C sb, 2, m t,s,p -
4,6 4,8 5,1 5,2 5,2
-
Pedon Apg Box1 Box2 Box3 Box4
CBN-21 (Aquic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik) 0-20 5Y 4/1 C m t,s,p jelas, rata 20-45 5Y 2,5/1 C m t,s.p jelas, rata 45-79 10YR 4/4 C sb, 1, f f,s,p baur, rata 79-120 10YR 4/4 C sb, 1, f f,s,p 120-150 10YR 4/4 C s,p -
4,6 4,8 5,1 5,2 5,2
karat Fe karat Fe karat Mn karat Mn karat Mn
4,9 4,7 4,5 4,4 4,6 4,8
-
Pedon CBN-44 (Rhodic Hapludox, sangat halus, kaolinitik, isohipertermik] Ap 0-18 2,5YR 3/4 C sb, 2, f t,s,p baur, rata Bw1 18-46 2,5YR 4/5 C sb, 2, f f,s,p baur, rata Box1 46-78 2,5YR 4/6 C sb, 2, f f,s,p baur, rata Bw2 78-105 2,5YR 4/6 C sb, 2, f f,s,p baur, rata Bw3 105-134 2,5YR 4/4 C sb, 2, f f,s,p baur, rata Box2 134-166 2,5YR 4/4 C sb, 2, f t,s,p -
6,0 5,0 5,0 5,0
karat Fe karat Fe karat Mn karat Mn
192
Keterangan : Tekstur :
hC = liat berat C = liat SiC = liat berdebu CL = lempung berliat Struktur : sb = gumpal agak bersudut g = butir 1 = lemah 2 = cukup Konsistensi : f = gembur vf = sangat gembur t = teguh vt = sangat teguh s = lekat ss = agak lekat
SiCL = lempung liat berdebu GrSL = lempung berpasir berkerikil L = lempung f = halus m = sedang l = lepas ss p sp po m
= agak lekat = plastis = agak plsatis = tidak plastis = masive, pejal
193