IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI CACING INTESTINAL PADA KIJANG BANGKA (Muntiacus muntjak bancanus) DARI PENANGKARAN SATWA ZAKARIA, PANGKALPINANG, BANGKA
RANDI SYAFUTRA
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN BIOLOGI UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi dan Prevalensi Cacing Intestinal pada Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam berkas dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bangka, 16 September 2013 Randi Syafutra NIM 2030911005
ii
ABSTRACT
RANDI SYAFUTRA. Identification and Prevalence of Intestinal Worms of Bangka Muntjac’s (Muntiacus muntjak bancanus) from Zakaria’s Animal Captivity, Pangkalpinang, Bangka. Under direction of BUDI AFRIYANSYAH, NUR ANNIS HIDAYATI Zakaria’s Animal Captivity is a conservation captivity. There are 12 Bangka muntjacs in Zakaria’s Animal Captivity. Various infections and diseases are unavoidable, such as those that are caused by intestinal worms. This research aimed to determine which intestinal worms parasitize Bangka muntjacs and their prevalences through feces examination, and determine its health status. The research consisted of collection and treatment of samples, samples examination (qualitative: floatation and sedimentation method, and quantitative: Whitlock method), identification and data analysis. Qualitative examination showed that eggs of Echinococcus sp., Metagonimus sp. and Schistosoma sp. were found in Bangka muntjacs. Total egg’s prevalence of intestinal worm of Bangka muntjac was 33,3 %, with 16,6 % for male and 36,6 % for female. The highest egg prevalence was for Echinococcus sp. (83,3 %) and the lowest was for Metagonimus sp. and Schistosoma sp. (8,3 %). TEGF (Total of Eggs per Gram Feces) of Bangka muntjac was 63,63 ± 7,41, with TEGF of male was 36,89 ± 1,93 and TEGF of female was 69,98 ± 8,51. It indicates the health status of Bangka muntjacs from Zakaria’s Animal Captivity relatively healthy. Keywords:’Bangka muntjac, feces, intestinal worm, Zakaria’s Animal Captivity
iii
ABSTRAK
RANDI SYAFUTRA. Identifikasi dan Prevalensi Cacing Intestinal pada Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka. Di bawah bimbingan BUDI AFRIYANSYAH, NUR ANNIS HIDAYATI Penangkaran Satwa Zakaria merupakan penangkaran untuk konservasi satwa. Terdapat 12 ekor kijang Bangka di Penangkaran Satwa Zakaria. Berbagai infeksi dan penyakit tidak dapat dihindari, antara lain salah satunya yang disebabkan oleh cacing intestinal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang Bangka di Penangkaran Satwa Zakaria melalui pemeriksaan feses, serta mengetahui status kesehatan kijang Bangka. Penelitian ini meliputi pengambilan dan perlakuan terhadap sampel, pemeriksaan sampel (kualitatif: metode pengapungan dan sedimentasi, dan kuantitatif: metode Whitlock), identifikasi, serta analisis data. Pemeriksaan kualitatif menunjukkan adanya keberadaan dari telur cacing Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. pada kijang Bangka. Prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka adalah 33,3 %, dengan 16,6 % pada jantan dan 36,6 % pada betina. Prevalensi telur tertinggi adalah Echinococcus sp. (83,3 %) dan terendah adalah Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. (8,3 %). TTGF (Total Telur per Gram Feses) kijang Bangka adalah 63,63 ± 7,41, dengan TTGF jantan adalah 36,89 ± 1,93 dan TTGF betina adalah 69,98 ± 8,51. Hal ini menandakan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. Kata”kunci:”kijang Bangka, feses, cacing intestinal, Penangkaran Satwa Zakaria
iv
© Hak Cipta milik UBB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar UBB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin UBB
viii
IDENTIFIKASI DAN PREVALENSI CACING INTESTINAL PADA KIJANG BANGKA (Muntiacus muntjak bancanus) DARI PENANGKARAN SATWA ZAKARIA, PANGKALPINANG, BANGKA
RANDI SYAFUTRA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Jurusan Biologi
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN BIOLOGI UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG 2013
ix
Komisi penguji luar:
1.”Dr. Yulian Fakhrurrozi, S.Pd., M.Si.
(.............................................)
2.”Henny Helmi, S.Si., M.Si.
(.............................................)
Judul Skripsi
:
Identifikasi dan Prevalensi Cacing Intestinal pada Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka
Nama
:
Randi Syafutra
NIM
:
2030911005
Disetujui, Komisi Pembimbing Ketua
Anggota
Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si. NIP. 198101162012121001
Nur Annis Hidayati, S.Si., M.Sc. NP. 408307023
Diketahui, Dekan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi
Ketua Jurusan Biologi
Muntoro, S.P., M.Sc. NP. 406803017
Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si. NIP. 198101162012121001
Tanggal Ujian: 10 September 2013
Tanggal Lulus:
vii
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas bantuan, berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi dan Prevalensi Cacing Intestinal pada Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka”. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 hingga bulan Mei 2013. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Muntoro, S.P., M.Sc. selaku Dekan Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung, Bapak Budi Afriyansyah, S.Si., M.Si. dan Ibu Nur Annis Hidayati, S.Si., M.Sc. selaku Komisi Pembimbing. Penghargaan disampaikan kepada Jurusan Biologi, serta Kepala Laboratorium Biologi dan Laboratorium MIPA, Universitas Bangka Belitung yang telah memfasilitasi, mengarahkan dan membimbing penelitian ini. Ungkapan terima kasih dihanturkan kepada ayah, ibu, serta keluarga yang selalu mendukung penulis baik moril maupun materil. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bangka, 16 September 2013 Randi Syafutra
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Pangkalpinang pada tanggal 6 Mei 1992 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Ayahanda Mulkan dan Ibunda Sumarti. Penulis menempuh jenjang pendidikan berturut-turut di TK Kartini Pangkalpinang, SD Negeri 79 Pangkalpinang (sekarang menjadi SD Negeri 21 Pangkalpinang), SMP Negeri 6 Pangkalpinang dan SMA Negeri 2 Pangkalpinang. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan S1 (Strata Satu) di Jurusan Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi (FPPB), Universitas Bangka Belitung (UBB) melalui program Jalur Penelusuran Prestasi Akademik dan Bakat (JP2AB). Penulis selama perkuliahan pernah mendapatkan Beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari UBB. Selain itu, penulis selama perkuliahan juga pernah menjadi Asisten Dosen untuk Praktikum Avertebrata, Biokimia Umum, Biologi Reproduksi (Praktikum Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes RI Bangka Belitung bekerjasama dengan Laboratorium Biologi FPPB UBB), Biologi Umum, Ekologi Hewan, Fisiologi Hewan, Genetika Dasar, Kimia Anorganik, Kimia Organik, Struktur Perkembangan Hewan I dan II, Tingkah Laku Hewan dan Vertebrata. Organisasi Kemahasiswaan UBB yang pernah penulis ikuti, yaitu: Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABIO) FPPB UBB; Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FPPB UBB Periode 2009-2010; Unit Kerja Mahasiswa (UKM) Komunitas Mahasiswa Pencinta Alam dan Sosial (KOMPAS) UBB 2010; Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) IV UBB 2011; BEM UBB Periode 2011-2012; dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Keluarga Mahasiswa (KM) UBB Periode 2013-2014. Selain itu, penulis juga aktif dalam Organisasi Kepemudaan (OKP), yaitu: Dewan Pengurus Daerah (DPD) Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Pangkalpinang Periode 20132016; dan Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) Gerakan Mahasiswa Indonesia (GEMA Indonesia) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Periode 2013-2015. Pada semester 4, penulis melaksanakan Studi Lapang (SL) mengenai “Keanekaragaman Jenis Cacing Tanah (Oligochaeta) di Bukit Pading, Kabupaten Bangka Tengah”. Pada semester 5, penulis melaksanakan Praktek Lapang (PL) di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi-Badan Tenaga Nuklir Nasional (PATIR-BATAN) mengenai “Rearing dan Pemberian Pakan pada Perkawinan Nyamuk Aedes aegypti Jantan Mandul dengan Betina Normal”. Pada semester 7, penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata-Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN-PPM) UBB di Desa Jada Bahrin, Kecamatan Merawang, Kabupaten Bangka. Kemudian penulis melaksanakan Penelitian Skripsi mengenai “Identifikasi dan Prevalensi Cacing Intestinal pada Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka”.
ix
DAFTAR ISI
Halaman. DAFTAR TABEL ................................................................................................ xi. DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii. DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii. PENDAHULUAN .................................................................................................1. Latar Belakang ................................................................................................1. Tujuan Penelitian ............................................................................................2. Manfaat Penelitian ..........................................................................................2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3. Cacing Intestinal .............................................................................................3. Klasifikasi Cacing Intestinal ...........................................................................3. Profil Kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) ..................................15. Penangkaran ..................................................................................................20. METODOLOGI PENELITIAN ...........................................................................24. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................24. Objek Penelitian ............................................................................................24. Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................24. Metode Penelitian .........................................................................................25. Pengambilan dan Perlakuan terhadap Sampel Feses ..............................25. Pemeriksaan Kualitatif ...........................................................................25. Pemeriksaan Kuantitatif .........................................................................26. Identifikasi Telur, Larva dan Cacing Intestinal .....................................27. Analisis Data ..........................................................................................27. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................29. Kondisi Sampel Feses Kijang Bangka ..........................................................29. Jenis Telur Cacing Intestinal .........................................................................30. Prevalensi Telur Cacing Intestinal pada Kijang Bangka ..............................32. Tingkat Infeksi Telur Cacing Intestinal ........................................................34. Tindakan Pengendalian .................................................................................34. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................36. Kesimpulan ...................................................................................................36. Saran .............................................................................................................36. DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................37.
x
DAFTAR TABEL
Halaman. 1””’Kijang Bangka objek penelitian ....................................................................24. 2””’Standar DI dari TTGF ...................................................................................28. 3””’Jenis telur cacing intestinal yang ditemukan dari penelitian ‘dan 4””’literatur ..........................................................................................................30. 4””’Prevalensi “telur cacing intestinal dalam pemeriksaan [kualitatif 5””’dengan”metode”pengapungan .......................................................................33. 5””’TTGF kijang Bangka dalam pemeriksaan kuantitatif dengan[metode 6””’Whitlock ........................................................................................................34.
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman. 1””’Morfologi dan anatomi anggota kelas Monogenea (Gyrodactylus) ................4. 2””’Morfologi.dan.anatomi.anggota kelas.Trematoda .........................................05. 3””’Siklus hidup salah satu jenis cacing daun (Fasciola hepatica) .......................7. 4””’Morfologi dan anatomi anggota kelas Cestoda (Echinococcus) ....................8. 5””’Siklus’hidup'dua’anggota’kelas’Cestoda’(T.’saginata’dan T.’solium) .........11. 6””’Morfologi”dan”anatomi”anggota’kelas’Adenophorea’(=Aphasmida) 6””’(Trichuris trichuria) ......................................................................................12. 7””’Morfologi”’’anggota”}kelas””Secernentea”:(=Phasmida)””(Ascaris) ........13. 8””’Siklus hidup salah satu jenis Nematoda (Trichinella sp.) .............................14. 9””’Peta”]penyebaran”;kijang”(M.”muntjak)”di”Indonesia”danlbeberapa Gamba 9””’negara”]di”Asia”Tenggara ............................................................................16. 10’’Kijang”]Bangka”;(M. m. bancanus)”di”Penangkaran”Satwa;Zakaria, 10’’Pangkalpinang, Bangka .................................................................................17. 11’’Sistem pencernaan hewan ruminansia ...........................................................19. 12’’Penangkaran Satwa Zakaria ..........................................................................22. 13’’Feses M. m. bancanus ....................................................................................29.
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman. 1
Perhitungan”nilai TTGF dari kijang Bangka ................................................41.
xiii
1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG Parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam tubuh organisme lain (inang) yang merusak jaringan, mengisap darah dan mengambil makanan inang. Keberadaan parasit ini sangat mempengaruhi kualitas dan kesehatan inang yang terinfeksi (Lim 1998 dalam Pramiati 2002). Berdasarkan habitatnya, parasit dikelompokkan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit yang hidup di permukaan luar tubuh inang, misalnya caplak dan kutu. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang, misalnya protozoa (Pramiati 2002). Cacing intestinal merupakan endoparasit yang diketahui sering menyerang kijang (Muntiacus muntjak). Salah satu diantaranya adalah serangan cacing Paramphistomum spp., Haemonchus spp., Strongyloides spp., Trichuris spp., Trichostrongylus spp., Oesophagostomum spp. dan Capillaria spp. pada kijang dari Kebun Binatang Dhaka, Kebun Binatang Chittagong dan Taman Safari Dulahazara, Bangladesh (Kanungo et al. 2010). Penelitian cacing intestinal yang menyerang kijang di Indonesia khususnya di penangkaran diketahui belum pernah dilakukan. Hal ini mengakibatkan penangkaran kijang yang ada di Indonesia menjadi kesulitan menangani masalah demikian. Oleh karena itu, penting untuk mendiagnosis kijang yang terinfeksi cacing intestinal sejak dini agar dilakukan pencegahan dan pengobatan secara berkala. Pencegahan dan pengobatan menjadi efektif dilakukan apabila diketahui secara pasti jenis cacing intestinal yang menginfeksi. Bayadhi (2012) menyatakan salah satu cara mendiagnosis keberadaan dan jenis cacing intestinal dalam tubuh hewan (dalam hal ini kijang) adalah melalui pemeriksaan feses. Penelitian mengenai identifikasi dan prevalensi cacing intestinal pada feses kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria Pangkalpinang, Bangka penting dilakukan karena jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang Bangka tersebut dapat diketahui sehingga pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan tepat. Upaya pencegahan dan pengobatan
2
yang dilakukan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesehatan kijang Bangka sehingga kelestariannya tetap terjaga. Selain itu dengan adanya penelitian ini, referensi mengenai jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang di Indonesia menjadi semakin bertambah. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui jenis dan prevalensi cacing intestinal pada kijang Bangka (M.”m.”bancanus) dari Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka melalui pemeriksaan feses, dan (2) mengetahui status kesehatan kijang Bangka. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar untuk melakukan tindakan pencegahan sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dan penyakit yang disebabkan cacing intestinal pada kijang Bangka. Selain itu, hasil penelitian juga diharapkan dapat dijadikan oleh pemerintah sebagai salah satu acuan dalam menentukan arah kebijakan konservasi kijang Bangka.
3
TINJAUAN PUSTAKA
CACING INTESTINAL Cacing intestinal adalah cacing yang menginfeksi saluran pencernaan makanan (gastrointestinal) inang. Cacing intestinal merupakan salah satu kajian dalam helmintologi, yaitu salah satu ilmu cabang dari parasitologi yang mempelajari tentang cacing (Labes et al. 2009). KLASIFIKASI CACING INTESTINAL Menurut Brusca & Brusca (2003), cacing (helminth) digolongkan menjadi tiga filum, yaitu: Platyhelminthes, Nemata dan Acanthocephala. Umardhani (2011) menyatakan kebanyakan anggota filum Platyhelminthes dan Nemata sering
menjadi
parasit
pada
hewan
maupun manusia. Untuk filum
Acanthocephala tidak dibahas karena anggotanya jarang menimbulkan masalah pada hewan domestikasi. Filum Platyhelminthes Karakteristik anggota filum Platyhelminthes, yaitu: merupakan cacing parasit atau hidup bebas; memiliki tiga lapisan tubuh (triploblastic), yaitu:”ektoderm, mesoderm dan endoderm; tidak mempunyai rongga tubuh yang sebenarnya (acoelomate); simetri bilateral berbentuk pipih; memiliki pembelahan sel awal zigot dengan pola spiral (spiral cleavage); memiliki sistem syaraf (tangga tali) berupa ganglion anterior; sistem pencernaan tidak lengkap (karena hanya memiliki mulut, faring dan usus, tanpa anus); memiliki protonephridia sebagai struktur ekskretori atau osmoregulasi; serta merupakan hewan hermaprodit dengan sistem reproduktif yang rumit (Brusca & Brusca 2003). Filum Platyhelminthes terbagi menjadi empat kelas, yaitu:”Turbellaria, Monogenea, Trematoda dan Cestoda. Anggota kelas Turbellaria bersifat bebas, sedangkan anggota kelas Monogenea, Trematoda dan Cestoda kebanyakan bersifat parasit (Brusca & Brusca 2003). Oleh karena anggota kelas Turbellaria bersifat bebas, maka kelas Turbellaria tidak dibahas.
4
Kelas Monogenea dan Trematoda Karakteristik Anggota Kelas Monogenea Karakteristik anggota kelas Monogenea, yaitu: merupakan cacing daun monogenetik (monogenetic flukes) (Gambar 1); tubuh dilindungi oleh integument; tidak memiliki oral sucker atau tereduksi; tidak memiliki acetabulum, dengan prohaptor pada bagian anterior dan opisthaptor berkait pada bagian posterior; siklus hidupnya hanya melibatkan satu inang (host); kebanyakan merupakan ektoparasit (umumnya menyerang ikan, beberapa sering ditemukan pada kura-kura, kodok atau katak, kuda nil atau cumi-cumi); beberapa juga merupakan endoparasit pada vertebrata ektotermik (Brusca & Brusca 2003). Prohaptor Mulut Faring Usus (sekum) Embrio Ovarium Testis Kait Opisthaptor Bar Gambar’1”Morfologi dan anatomi anggota kelas Monogenea (Gyrodactylus) Gambar’1”(Brusca & Brusca 2003) Klasifikasi Kelas Monogenea Menurut Brusca & Brusca (2003), kelas Monogenea diklasifikasikan dalam dua subkelas, yaitu: Monophisthocotylea dan Polyopisothocotylea. Karakteristik anggota subkelas Monophisthocotylea, yaitu: memiliki Opisthaptor tunggal sederhana, tetapi terkadang dapat terpisah oleh septa; tidak memiliki oral sucker
atau
tereduksi
(contoh:
Gyrodactylus,
Polystoma).
Sedangkan
karakteristik anggota subkelas Polyopisothocotylea, yaitu: memiliki Opisthaptor yang rumit, dengan sucker lebih dari satu (multiple suckers); tidak ada oral sucker (Contoh: Diplozoon).
5
Karakteristik Anggota Kelas Trematoda Karakteristik anggota kelas Trematoda, yaitu: merupakan cacing daun digenetik dan aspidogastrea (digenetic and aspidogastrean flukes) (Gambar 2); tubuh dilindungi oleh integument, dengan sucker tunggal atau lebih; tidak memiliki prohaptor dan opisthaptor; kebanyakan mempunyai dua atau tiga inang di sepanjang siklus hidupnya; kebanyakan juga merupakan endoparasit (Brusca & Brusca 2003). Oral sucker Cerebral ganglion
Faring
Usus (sekum) Acetabulum
Pori genital
Seminal vesicle Vitellaria (kelenjar yolk)
Uterus
Saluran sperma Ovarium
Ootype
Kanal laurer
Saluran vitelline
Seminal receptacle
Saluran ekskretori
Saluran sperma berpasangan
Anterior testis
Mulut
Kandung kemih ekskretori Gonopore Posterior testis
Suckers Pori ekskretori
Gambar’2”Morfologi dan anatomi anggota kelas Trematoda (kiri: Opisthorchis Gambar’2”(=Clonorchis) sinensis, kanan: Cotylaspis) (Brusca & Brusca 2003)
6
Klasifikasi Kelas Trematoda Menurut Brusca & Brusca (2003), kelas Trematoda diklasifikasikan ke dalam dua subkelas, yaitu: Digenea dan Aspidogastrea. Karakteristik anggota subkelas Digenea, yaitu: memiliki dua atau tiga inang di sepanjang siklus hidupnya (inang perantara pertama adalah mollusca dan inang terakhir adalah vertebrata); memiliki oral sucker dan biasanya memiliki ventral sucker (acetabulum) (contoh: Echinostoma, Fasciola, Microphallus, Opisthorchis [=Clonorchis], Sanguinicola, Schistosoma). Sedangkan karakteristik anggota subkelas Aspidogastrea, yaitu: kebanyakan hanya memiliki satu inang (mollusca) di sepanjang siklus hidupnya; memiliki ventral sucker besar yang terpisah oleh septa (contoh: Aspidogaster, Cotylaspis, Multicotyl). Menurut Umardhani (2011), subkelas Digenea dibagi ke dalam 15 suku, salah satunya adalah suku Heterophyidae dan Schistomatidae. Siklus Hidup Cacing Daun (Kelas Monogenea dan Trematoda) Siklus hidup cacing daun (Gambar 3) dimulai saat cacing dewasa bertelur di dalam habitatnya, kemudian menuju usus dan dikeluarkan bersama-sama feses. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio kemudian menetas, membebaskan mirasidium bersilia yang bergerak aktif dalam lingkungan akuatik. Dengan silianya, mirasidium tersebut pergi mencari dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh siput (sebagai inang perantara atau intermedier) yang cocok, kemudian berkembang menjadi beberapa stadium (tergantung jenis) secara aseksual. Lima sampai tujuh minggu setelah infeksi, serkaria yang menyerupai berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas, kemudian kontak dengan tumbuhan di sekitarnya membentuk metaserkaria (Bayadhi 2012; Ismail 2012). Perkembangan selanjutnya, serkaria membentuk kista pada tumbuhan atau rumput di area penggembalaan. Infeksi terjadi karena inang definitif memakan rumput yang terkontaminasi metaserkaria. Setelah termakan, metaserkaria mengalami ekskistasi membebaskan cacing muda dalam usus (intestine). Kemudian cacing muda ini bermigrasi menuju kapsul hati dan akhirnya mencapai parenkim hati. Setelah sekitar enam sampai delapan minggu, cacing muda masuk ke dalam saluran empedu dan berkembang menjadi cacing dewasa hingga memproduksi telur (Bayadhi 2012; Ismail 2012).
7
Gambar’3”Siklus hidup salah satu jenis cacing daun (Fasciola hepatica) Gambar’1”(Sumber:”http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/fascioliasis.htm) Kelas Cestoda Karakteristik Anggota Kelas Cestoda Karakteristik anggota kelas Cestoda, yaitu: merupakan cacing pita (Gambar 4), terkhusus merupakan endoparasit; tubuh dilindungi oleh integument; kebanyakan memiliki tubuh yang terdiri dari anterior scolex; memiliki batang leher yang pendek (short neck); memiliki strobila yang tersusun dari serangkaian segmen atau proglottid; tidak memiliki digestive tract (Brusca & Brusca 2003). Menurut Levin (1990) dalam Muhni (2011) dan Bayadhi (2012), tubuh cacing dewasa terdiri dari kepala (scolex), leher (neck) dan rantai segmen (strobila). Scolex memiliki dua sampai empat alat penghisap (sucker) dan rostellum. Rostellum merupakan penonjolan yang berada pada scolex dan dilengkapi dengan kait (hook) untuk menempel pada dinding usus inang. Tepat di belakang scolex terdapat leher pendek (short neck) dari jaringan yang tidak mengalami diferensiasi, kemudian diikuti strobila. Strobila biasanya terdiri dari segmen proglottid dimana segmen proglottid muda terletak dekat dengan neck dan segmen
8
proglottid dewasa di pertengahan strobila. Serta segmen gravid pada bagian posterior strobila. Rostellum Sucker
Scolex Neck
Proglottid Immature proglottid Cirrus sac Cirrus Pori genital Vagina Seminal receptacle Ovarium
Testis Uterus Saluran sperma sperma Vitelline Kelenjar yolk
Strobila
Telur Uterus
Gravid
Gambar’4”Morfologi dan anatomi anggota kelas Cestoda (Echinococcus) Gambar’4”(Brusca & Brusca 2003) Segmen proglottid dewasa ditandai dengan adanya perkembangan organ reproduksi jantan maupun betina secara lengkap, sedangkan segmen gravid ditandai dengan degenerasi organ reproduksi yang kemudian diganti dengan kantung-kantung yang penuh berisi telur. Telur anggota kelas Cestoda memiliki ciri adanya embrio yang memiliki enam buah kait yang disebut oncosphere. Seluruh permukaan tubuhnya berupa integument yang berguna antara lain untuk menyerap nutrisi yang berasal dari nutrisi inang. Sistem ekskretori pada Cestoda dilengkapi dengan dua saluran ekskresi di bagian lateral tubuh yang memiliki cabang pada setiap segmennya (Bayadhi 2012).
9
Klasifikasi Kelas Cestoda Menurut Brusca & Brusca (2003), kelas Cestoda diklasifikasikan ke dalam dua subkelas, yaitu: Cestodaria dan Eucestoda. Karakteristik anggota subkelas Cestodaria, yaitu: merupakan cacing pita pipih yang tidak memiliki scolex dan proglottid (tidak memiliki strobila); beberapa memiliki sucker; stadium larva awal (lycophore larva) memiliki 10 kait; endoparasit pada usus (guts) atau rongga selom (coelomic cavities) pada kartilago (cartilaginous) dan ikan bertulang primitif tertentu (certain primitive bony fishes); serta jarang ditemukan pada kura-kura; siklus hidupnya kurang diketahui (contoh: Amphilina, Gyrocotyl, Gyrometra). Sedangkan karakteristik anggota subkelas Eucestoda, yaitu: sering ditemukan dalam ukuran sangat besar (beberapa diantaranya memiliki panjang lebih dari 10 m), merupakan cacing pita yang memiliki strobila; hampir semua memiliki scolex, neck dan strobila yang berkembang baik; stadium larva awal (oncosphere atau hexacanth larva) memiliki enam kait; merupakan endoparasit pada usus (guts) dari berbagai vertebrata; kebanyakan memerlukan satu atau lebih inang perantara di sepanjang siklus hidupnya (contoh: Diphyllobothrium, Diphylidium, Hymenolepis, Moniezia, Taenia). Menurut Bayadhi (2012), subkelas Eucestoda diklasifikasikan ke dalam tiga bangsa, yaitu: Pseudophyllidea, Cyclophyllidea dan Tetraphyllidea. Karakteristik anggota bangsa Pseudophyllidea, yaitu: memiliki scolex yang umumnya dengan dua bothria atau celah dan kadang-kadang terdapat empat proboscis dengan kait; memiliki porus uterin pada permukaan proglottid yang datar, memiliki uterus dengan sacculus (kantung kecil) dan vitellaria tersebar; memiliki ova berkapsula dan oncosphere bersilia (contoh: Diphyllobothrium cordatum, Diplogonoporus grandis
dan
Ligula
intestinalis).
Untuk
karakteristik
anggota
bangsa
Cyclophyllidea, yaitu: memiliki scolex dengan empat proboscis berbentuk mangkok dan mempunyai rostellum; tidak memiliki porus uterin, memiliki proglotid gravid yang dapat terputus, memiliki ova tidak berkapsula dan oncosphere tidak bersilia (contoh: Taenia solium, Dipylidium caninum dan Hymenelepsis nana). Sedangkan karakteristik anggota bangsa Tetraphyllidea, yaitu: memiliki scolex dengan empat bothridia dan empat proboscis yang terkadang dengan kait; memiliki porus uterin yang jarang ada dan vitellaria diffus
10
yang terdapat di bagian lateral proglotid; memiliki ova tidak berkapsula dan onchosphere tidak bersilia. Anggota bangsa ini bersifat parasit pada Pisces, Amfibia dan Reptilia (contoh: Phyllobathrium dahrnii). Sedangkan
menurut
Umardhani
(2011),
bangsa
Cyclophyllidea
diklasifikasikan ke dalam tujuh suku, yaitu: Taeniidae, Anoplocephalidae, Dilepididae,
Davaineidae,
Hymenolepididae,
Mesocestoididae,
serta
Thysanosomidae. Adapun bangsa Pseudophyllidea hanya memiliki satu suku yaitu Diphyllobothriidae. Beberapa contoh anggota kelas Cestoda yang penting diantaranya, yaitu: marga Taenia dan Echinococcus dari suku Taeniidae, marga Monieza dari suku Anoplocephalidae, serta marga Diphyllobothrium dari suku Diphyllobothriidae. Siklus Hidup Cacing Pita (Kelas Cestoda) Siklus hidup Cestoda berbeda tergantung jenisnya. Salah satunya yaitu siklus hidup dari Taenia saginata dan T. solium. T. saginata dan T. solium Panjang cacing dewasa biasanya 5 m atau kurang untuk T. saginata (panjangnya dapat mencapai lebih dari 25 m) dan 2-7 m untuk T. solium. Cacing dewasa memproduksi proglottid yang kemudian menjadi gravid. Gravid lepas dari tubuh indukan dan kemudian berpindah ke anus. T. saginata dewasa biasanya dapat menghasilkan 1.000-2.000 proglottid, sedangkan T. solium dewasa dapat menghasilkan rata-rata 1.000 proglottid. Telur yang terkandung di dalam gravid dilepaskan setelah proglottid terbawa bersama feses. T. saginata dapat memproduksi telur sebanyak 100.000 lebih telur per proglottid dan T. solium dapat memproduksi telur 50.000 telur per proglottid (CDC 2011). Manusia satu-satunya inang definitif untuk kedua jenis ini. Siklus hidup T. saginata dan T. solium (Gambar 5) dimulai saat cacing dewasa melepaskan gravid yang mengandung telur. Gravid ini terbawa bersama feses dan dapat bertahan hidup sampai beberapa bulan di lingkungan alam. Sapi (inang perantara T. saginata) dan babi (inang perantara T. solium) menjadi terinfeksi karena memakan tumbuhan yang terkontaminasi gravid. Di usus inang perantara, gravid menjadi oncosphere, kemudian menetas dan menyerang
11
dinding usus dan berpindah ke otot lurik dimana mereka akan berkembang menjadi cysticerci. Cysticerci dapat bertahan hidup sampai beberapa tahun di dalam inang perantara. Manusia pun terinfeksi dikarenakan memakan daging yang terinfeksi dalam keadaan mentah atau kurang matang. Pada usus manusia, cysticerci berkembang dalam waktu lebih dari dua bulan untuk menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa tersebut dapat melekat pada usus halus dengan scolexnya dan menetap di dalam usus halus tersebut untuk beberapa tahun (CDC 2011).
Gambar’5”Siklus hidup dua anggota kelas Cestoda (T. saginata dan T. solium) Gambar’2”(Sumber:”http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Taeniasis.htm) Filum Nemata (Nematoda) Karakteristik anggota filum Nemata, yaitu: merupakan cacing tidak bersegmen
(unsegmented);
memiliki
tiga
lapisan
tubuh
(triploblastic),
yaitu:”ektoderm, mesoderm dan endoderm; memiliki rongga dalam saluran tubuh (pseudoselomate atau blastocoelomate); simetri bilateral berbentuk bulat atau bundar; tubuh dilindungi oleh kutikula berlapis (layered cuticle); memiliki organ indera sepalik unik (unique cephalic sense organs) yaitu amphids, dan beberapa memiliki organ indera kaudal (caudal sense organs) yaitu phasmids; memiliki
12
usus (guts) yang lengkap; memiliki berbagai struktur mulut yang tersusun dalam pola simetri radial; kebanyakan memiliki sistem ekskretori unik yang terdiri dari satu atau dua sel renette atau collecting tubules; tidak memiliki struktur pertukaran gas atau sirkulasi spesial; dinding tubuh hanya memiliki otot longitudinal (tidak memiliki otot circular); memiliki epidermis selular atau syncitial yang membentuk longitudinal cords yang melindungi nerve cords; memiliki dua kelamin (dioecious), jantan biasanya memiliki kait di ujung posterior; memiliki pola pembelahan sel awal zigot (cleavage) unik yaitu pola cleavage di antara radial cleavage dan spiral cleavage; mendiami laut, air tawar dan lingkungan terestrial, beberapa hidup bebas dan beberapa hidup sebagai parasit. Pada filum Nemata terdapat dua kelas yaitu Adenophorea (=Aphasmida) dan Secernentea (=Phasmida) (Brusca & Brusca 2003). Kelas Adenophorea (=Aphasmida) Karakteristik Anggota Kelas Adenophorea (=Aphasmida) Karakteristik anggota kelas Adenophorea (=Aphasmida) (Gambar 6), yaitu: memiliki kemoreseptor sepalik (cephalic chemoreceptors) yaitu amphids, tetapi tidak memiliki caudal phasmids; memiliki sistem ekskretori sederhana tanpa cuticularized duct; tidak memiliki collecting tubules; kebanyakan hidup bebas (laut, air tawar dan terestrial) dan beberapa hidup sebagai parasit; mencangkup subkelas Enoplia dan Chromadoria (contoh: Dioctophyme, Strongyloides, Trichinella, Trichuris) (Brusca & Brusca 2003). Mulut
Spicule
Retractor Ejaculatory muscle duct Vas deferens
Usus
Stichosome
Gambar’6”Morfologi dan anatomi anggota kelas Adenophorea (=Aphasmida) Gambar’6”(Trichuris trichuria)’’(Sumber:’’http://www.southampton.ac.uk/~ceb/ Gambar’6”Diagnosis/Vol5.htm)
13
Kelas Secernentea (=Phasmida) Karakteristik Anggota Kelas Secernentea (=Phasmida). Karakteristik anggota kelas Secernentea (=Phasmida) (Gambar 7), yaitu: memiliki cephalic amphids dan caudal phasmids; beberapa memiliki sistem ekskretori rumit, dengan cuticularized duct dan collecting tubules yang berkembang baik; kebanyakan merupakan parasit; mencangkup subkelas Rhabditia, Spiruria dan Diplogasteria (contoh: Anchylostoma, Ascaris, Necator, Wuchereria) (Brusca & Brusca 2003). Mulut
Mulut
Pori ekskretori Garis lateral Gonopore
Cloacal aperture
Perial setae / spicules
Ekor Ekor Anus
Gambar’7”Morfologi anggota kelas Secernentea (=Phasmida) (Ascaris) Gambar’7”(kiri: jantan, kanan: betina) (Sumber:’http://www.2classnotes.com/ Gambar’7”digital_notes_print.asp?p=Phylum_-_Nemathelminthes_or_Aschelmin thes) Siklus Hidup Nematoda Siklus hidup Nematoda (Gambar 8) secara umum dimulai saat telur yang diproduksi oleh cacing betina dewasa keluar bersama feses. Telur berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi larva 1 (L1) yang berkembang dan mengalami ekdisis (pergantian kulit kutikula (eksoskeleton)) menjadi larva 2
14
(L2). Selanjutnya L2 mengalami ekdisis menjadi larva 3 (L3), namun kutikulanya tidak dilepas setelah ekdisis sebelumnya sehingga L3 memiliki kutikula rangkap. Selanjutnya L3 disebut sebagai stadium larva infektif (Bayadhi 2012).
Gambar’8”Siklus hidup salah satu jenis Nematoda (Trichinella sp.) Gambar’8”(Sumber:”http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Trichinellosis.htm) Waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan telur menjadi larva infektif tergantung kondisi lingkungan. Apabila kondisi optimal (kelembaban tinggi (>’80’%)
dan
temperatur
hangat
(25-32’°C)),
maka
perkembangannya
membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari. Sebaliknya apabila kelembaban rendah (<’80%) dan temperatur rendah (<’20’°C), maka perkembangan tersebut memerlukan waktu yang lebih lama. Ruminansia terinfeksi Nematoda setelah menelan L3. Sejumlah L3 tertelan ketika inang merumput, selanjutnya mengalami pelepasan
kutikula
di
dalam
abomasum
atau
usus
halus.
Kelompok
15
Trichostrongylidae melakukan penetrasi ke dalam membran mukosa abomasum (Haemonchus sp. dan Trichostrongylus sp.) atau masuk ke dalam kelenjar lambung (Ostertagia sp.) dan ekdisis menjadi L4 selama 10 hingga 14 hari. Selanjutnya larva 4 (L4) ekdisis menjadi larva 5 (L5) sebagai cacing muda. Sebagian besar Trichostrongylidae mulai memproduksi telur sekitar 3 minggu setelah infeksi (Soulsby 1982; Kusumamiharja 1995 dalam Bayadhi 2012). PROFIL KIJANG BANGKA (Muntiacus muntjak bancanus) Taksonomi dan Penyebaran Boudet (2009) menyatakan taksonomi kijang Bangka adalah sebagai berikut: Kerajaan Filum Subfilum Kelas Bangsa Suku Marga Jenis Anak Jenis Nama Lokal
:””’Animalia :””’Chordata :””’Vertebrata :””’Mammalia :“”’Artiodactyla :”” Cervidae :””’Muntiacus :”’ M. muntjak (Zimmermann 1780) :”” M. m. bancanus (Lyon 1907) : ””Kijang Bangka, Muncak Bangka
Kijang sangat sulit ditemukan, terutama karena keberadaan kijang yang tidak mencolok dan adanya siklus ranggah. Saat ranggah lepas dan ranggah muda (velvet), kijang hidup soliter sehingga sulit ditemukan. Tetapi pada saat ranggah keras, kijang mudah ditemukan dalam kawanannya. Selain itu, keberadaan kijang di alam lebih sering diketahui dari suaranya yang menyerupai gonggongan atau menemukan fesesnya daripada menemukan keberadaan kijang itu sendiri (IUCN 2010 dalam Manik 2011). Secara alami kawasan penyebaran muncak di dunia meliputi sebagian Semenanjung Thai-Malaya, pulau-pulau besar di Sunda Besar (Kalimantan, Jawa, Bali dan Sumatera) dan berbagai pulau-pulau kecil (Gambar 9). Pada daerah bagian utara Thailand yang berbatasan dengan Semenanjung Malaya, M. muntjak diambil untuk ditempatkan di bagian selatan Thailand dan di bagian paling selatan Myanmar. Sementara itu, keberadaan kijang di Singapura telah punah (IUCN 2010 dalam Manik 2011).
16
M. muntjak terdiri dari 15 anak jenis yang tersebar di berbagai wilayah di belahan dunia. Anak jenis M. m. annamensis terdapat di Indochina, M. m. curvostylis di Thailand, M. m. grandicornis di Burma, M. m. peninsulae di Semenanjung Malaya dan M.’ m.’ nigripes yang disebut Black-footed atau Black-legged Muntjac berada di Vietnam dan Pulau Hainan. Kijang India (Indian muntjac) merupakan sebutan untuk tiga anak jenis, yaitu M. m. aureus yang dapat ditemukan di Semenanjung India, M. m. malabaricus di India Selatan dan Srilanka serta M. m. vaginalis di Burma sampai ke Cina bagian barat daya. Selain itu, beberapa anak jenis Indian muntjac juga tersebar di Indonesia, yaitu M.’m.’montanus yang disebut muncak gunung dimana terdapat di Pulau Sumatera, M.’m.’bancanus (Gambar 10) di Pulau Bangka dan Belitung, M.’m.’nainggolani di Pulau Bali dan Pulau Lombok, M.’m.’pleicharicus di Kalimantan Selatan, M. m. rubidus di Kalimantan Utara, M. m. robinsoni di Pulau Bintan dan M. m. muntjak yang disebut Javan muntjac tersebar di Pulau Jawa dan Sumatera Selatan (IUCN 2010 dalam Manik 2011).
Gambar’9”Peta penyebaran kijang (M. muntjak) di Indonesia dan beberapa Gambar’9”negara di Asia Tenggara (Sumber:”IUCN 2010 dalam Manik 2011)
17
Morfologi Ciri fisik kijang berupa warna lapisan kulit coklat muda kekuningan sampai coklat kehitaman dan pada punggung terdapat garis kehitaman. Daerah perut hingga leher berwarna putih, khusus leher memiliki variasi warna dari putih sampai coklat muda. Ekor kijang relatif pendek dengan moncong yang agak panjang dan berwarna kehitaman (Dubost 1971 dalam Manik 2011).
Gambar’10”Kijang Bangka (M. m. bancanus) di Penangkaran Satwa Zakaria, Gambar’10”Pangkalpinang, Bangka (Sumber:”Dokumentasi Pribadi) Kijang memiliki panjang tubuh 89-135 cm dan bobot tubuh 14-35 kg (Jackson 2002 dalam Manik 2011). Kijang jantan lebih besar bila dibandingkan dengan betina, namun bila didasarkan pada pengukuran tulang kerangka, postur tubuh kijang jantan ternyata lebih kecil dibandingkan kijang betina. Rataan panjang baris gigi maxilaris kijang betina adalah 6,03 + 0,21 mm dan kijang jantan 6,02 + 0,26 mm (Barrette 1987 dalam Manik 2011). Kijang jantan dan betina diketahui memiliki dimorfisme seksual yang lebih kecil berdasarkan ukuran tubuhnya (Pond & Alan 2005 dalam Manik 2011). Dimorfisme seksual merupakan perbedaan fisik atau tingkah laku yang berhubungan dengan jenis kelamin.
18
Pada kijang jantan, gigi taring atas lebih berkembang yang menonjol keluar sekitar 2 cm dari os maxillaris dan dapat diamati meskipun kijang sedang menutup mulutnya (Chapman 1997 dalam Manik 2011). Gigi taring dan ranggah kijang jantan digunakan sebagai alat pertahanan diri saat kijang tersebut berkelahi dengan kijang jantan lainnya (Dansie 1970 dalam Manik 2011). Data tentang morfologi pertumbuhan ranggah khususnya ranggah velvet pada kijang (M. m. muntjak) jantan telah dilaporkan memiliki durasi pertumbuhan antara 98-104 hari (Wahyuni et al. 2011 dalam Manik 2011). Status Konservasi Kijang Bangka (M. m. bancanus) merupakan salah satu rusa dari suku cervidae yang hidup di Indonesia. IUCN (2012) menyatakan status konservasi kijang dikategorikan dalam status least concern (LC; beresiko rendah untuk punah). Walaupun demikian, satwa ini termasuk dalam daftar satwa dilindungi seperti yang tercantum dalam Daftar Lampiran pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tanggal 27 Januari 1999 tentang Jenis-Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Sistem Pencernaan Kijang termasuk hewan ruminansia yang memiliki empat lambung dalam sistem pencernaannya (Gambar 11). Lambung kijang memiliki karakteristik yang unik dimana memperbolehkan hewan tersebut untuk mengakumulasi makanan sebanyak-banyaknya dengan segera, kemudian mengunyah dan mencernanya kemudian. Empat lambung ini diperlukan untuk memproses makanan rendah nutrisi dalam jumlah besar yang kijang makan. Kijang dapat mengisi lambungnya dalam waktu sekitar satu atau dua jam tergantung pada jenis dan kelimpahan makanan (Anonim 2012). Empat lambung kijang mirip dengan empat lambung sapi. Makanan akan masuk ke lambung pertama (rumen) yang berfungsi sebagai bagian fermentasi. Pencernaan dominan berlangsung di bagian rumen. Kijang bergantung pada milyaran mikroorganisme yang hidup di rumen tersebut untuk mencerna komponen makanan dan mengubahnya menjadi material yang dapat dimanfaatkan
19
oleh sistem pencernaan kijang tersebut. Hampir setengah energi kijang diproduksi dari absorbsi asam sepanjang dinding rumen (Anonim 2012). Setelah kijang mengisi rumen-nya dengan makanan, kijang akan berbaring untuk mengunyah cud (makanan yang telah dikunyah sebelumnya). Setelah mengunyah cud untuk sejenak, kijang akan menelan kembali cud tersebut kemudian masuk ke lambung kedua (reticulum). Fungsi utama reticulum untuk menyaring keluar substansi asing. Proses ini memerlukan waktu kurang lebih 16 jam (Anonim 2012).
Esofagus Reticulum Omasum
Abomasum
Colon
Makanan dikunyah sebanyak dua kali
Rumen Tempat terjadinya fermentasi
Usus kecil (small intestine)
Caecum
Absorbsi hasil fermentasi
Gambar’11”Sistem pencernaan hewan ruminansia (Sumber:”open.jorum.ac.uk/ Gambar’11”xmlui/bitstream/handle/123456789/922/Items/S182_4_section5.html) Material makanan kemudian melewati lambung ketiga (omasum) yang mengabsorbsi air yang banyak terkandung dalam makanan. Kemudian material makanan tersebut menuju lambung keempat (abomasum) yang memproduksi asam untuk pencernaan dan absorbsi lebih banyak lagi. Material makanan kemudian keluar menuju usus dan apapun yang tidak dicerna akan menjadi substansi buangan. Kijang akan urinasi dan defekasi sekitar 12 jam per hari (Anonim 2012).
20
Material makanan kemudian memasuki usus halus bertahap. Enzim diproduksi dan disekresi oleh pankreas dan mukosa usus halus untuk merombak lebih lanjut nutrisi makanan menjadi komponen sederhana yang diabsorbsi masuk kedalam aliran darah. Material makanan yang tidak tercerna akan keluar meninggalkan usus halus masuk kedalam usus besar. Fungsi usus besar meliputi absorpsi air dan mencerna lebih lanjut material makanan oleh mikroorganisme yang ada di usus besar tersebut (Anonim 2012). Feses Feses adalah sisa makanan yang sudah dicerna dan tidak dapat digunakan oleh tubuh untuk diserap dan digunakan sebagai energi dalam tubuh dan makanan bagi sel-sel tubuh. Biasanya feses yang normal berwarna cokelat terang sampai cokelat gelap. Menurut Bruner & Sudarth (2002), berbagai makanan dan obatobatan dapat mempengaruhi warna feses seperti: (1) protein daging menghasilkan warna cokelat gelap, (2) bayam dan sayuran menghasilkan warna hijau, (3) wortel dan bit menghasilkan warna merah kokoa atau cokelat, dan (4) barium untuk tes feses menghasilkan warna susu. Daldiyono (1997) dalam Hasibuan (2010) menyatakan karakteristik feses normal biasanya berwarna coklat hijau, kekuningan, panjang 15-39 cm pada dewasa dan bulat lonjong dengan diameter 2-4 cm. Feses keluar sekaligus secara berurutan tanpa mengejam, dengan berat sekitar 75-200 gr. Kandungan feses adalah bakteri, sisa makanan, air 70 %, sel-sel yang lepas, serat dan sisa makanan lainnya. Bau feses normal spesifik, akibat sterkobilin, indol dan skatol, serta gas lain dalam kuantitas yang besar.
PENANGKARAN Alikodra (1993) menyatakan bahwa penangkaran satwa liar adalah perkembangbiakan dan pemeliharaan satwa liar dalam keadaan terkurung oleh manusia untuk mencapai sasaran tertentu. Penangkaran adalah salah satu proses menuju domestikasi yang prinsipnya adalah pemeliharaan dan perkembangbiakan sejumlah satwa liar yang sampai batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi untuk selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran. Menurut Thohari (1987)
21
dalam Mahardika (2008), penangkaran atau budidaya dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakkan jenis satwa liar dan tumbuhan alami yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Alikodra (1993) membedakan penangkaran berdasarkan tujuannya menjadi dua jenis, yaitu:”(1) penangkaran dalam rangka budidaya dan (2) penangkaran dalam rangka konservasi. Penangkaran budidaya adalah penangkaran yang dilakukan oleh manusia dengan mengurung satwa atau hewan itu selamanya, tujuannya untuk memenuhi kebutuhan material (protein dan kulit) dan kebutuhan batin (hewan peliharaan) bagi manusia dengan mengutamakan perubahan dalam arti menciptakan ras. Penangkaran konservasi adalah penangkaran yang dilakukan oleh manusia dengan tidak mengurung satwa itu selamanya, namun suatu saat akan dikembalikan ke alam, tujuannya untuk mempertahankan keanekaragaman dan meningkatkan nilai-nilai alam dengan mengutamakan kestabilan sifat jenis dan ciri-cirinya. Menurut Thohari (1987) dalam Mahardika (2008), pertimbangan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkarkan atau dibudidayakan adalah berdasarkan kriteria sebagai berikut:”(1) suatu jenis satwa perlu ditangkarkan apabila secara alami populasinya mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah dan (2) suatu jenis satwa perlu ditangkarkan atau dibudidayakan apabila mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatannya terus bertambah bagi manusia sehingga kelestariannya terancam. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa di dalam proses penangkaran atau budidaya maka teknologi yang diperlukan mencakup aspek yang lebih luas lagi, yaitu perkandangan, pakan, reproduksi, kesehatan dan pasca panen. Teknik yang diterapkan harus mampu mempercepat proses adaptasi satwa. Dengan demikian suatu penangkaran atau budidaya satwa liar dapat dinilai berhasil apabila teknologi reproduksi jenis satwa tersebut telah dikuasai, artinya usaha penangkaran atau budidaya telah berhasil mengembangbiakkan jenis satwa yang ditangkarkan (Thohari 1987 dalam Mahardika 2008).
22
Penangkaran Satwa Zakaria, Pangkalpinang, Bangka Penangkaran kijang Bangka dan rusa sambar Malaya milik Bapak Zakaria (Gambar 12) terletak di Kecamatan Gabek, Kelurahan Gabek I, Kota Pangkalpinang, sekitar 5 km dari garis pantai dengan ketinggian daerah di bawah 100 m dpl. Kota Pangkalpinang terletak di pesisir Timur Laut Pulau Bangka dan berhadapan langsung dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan (Zunaria 2005).
Gambar’12”Penangkaran Satwa Zakaria (Sumber:”Dokumentasi Pribadi) Penangkaran Satwa Zakaria merupakan penangkaran konservasi satwa yang diprakasai sejak tahun 1971 saat ditemukan sepasang kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus) dan rusa sambar Malaya (Rusa unicolor equinus) yang berasal dari hutan di antara Desa Balunijuk dan Desa Kimak, Kecamatan Merawang Kabupaten Bangka. Sepasang kijang Bangka dan rusa sambar Malaya itu pun berkembangbiak hingga saat ini (Rahmawati 2012; Sari 2012). Penangkaran Satwa Zakaria memiliki luas ± 540 m2 yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:’penangkaran kijang Bangka seluas ± 240 m2 (panjang ± 15 m dan lebar ± 16 m) dan penangkaran rusa sambar Malaya seluas ± 300 m2 (panjang ± 20 m dan lebar ± 15 m) (Rahmawati 2012; Sari 2012). Penangkaran Satwa Zakaria di sebelah utara berbatasan dengan rumah Bapak Zakaria, di sebelah timur berbatasan rumah penduduk dengan tembok beton sebagai pembatas, di sebelah
23
barat berbatasan dengan rumah penduduk dengan tiang pancang kayu beranyam kawat sebagai pembatas dan di sebelah selatan berbatasan dengan kebun salak dengan tiang pancang kayu beranyam kawat sebagai pembatas. Kijang Bangka dan rusa sambar Malaya di Penangkaran Satwa Zakaria menggunakan sistem ranch, yaitu kijang Bangka dan rusa sambar Malaya dilepas dalam areal terbuka yang sekelilingnya dipagari. Di dalam areal penangkaran kijang Bangka terdapat pohon sawo, melinjo dan kelapa. Kijang Bangka di Penangkaran Satwa Zakaria juga hidup bersama-sama dengan ayam peliharaan Bapak Zakaria. Kijang Bangka setiap hari (pagi dan sore) diberi pakan berupa daun dan batang muda mengkirai, daun pepaya tua, sayuran, buah dan umbiumbian yang mana sebagian besar diambil dari luar penangkaran.
24
METODOLOGI PENELITIAN
LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 hingga bulan Mei 2013. Sampel feses kijang Bangka diambil dari Penangkaran Satwa Zakaria di Kelurahan Gabek I, Kecamatan Gabek, Kota Pangkalpinang. Perlakuan, pemeriksaan dan identifikasi dilakukan di Laboratorium Biologi, Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi (FPPB), Universitas Bangka Belitung (UBB). OBJEK PENELITIAN Objek penelitian adalah feses kijang Bangka (Muntiacus muntjak bancanus Lyon 1907) (Tabel 1). Kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria berjumlah 12 ekor yang terdiri dari 2 ekor jantan dan 10 ekor betina. Kijang Bangka termuda dan tertua adalah jantan dengan umur masing-masing 3 bulan dan 2 tahun 9 bulan. Tabel’1”Kijang Bangka objek penelitan Objek Penelitian Umur Kijang 11 (K1) 2 Tahun 99 Bulan Kijang 22 (K2) 2 Tahun 66 Bulan Kijang 33 (K3) 2 Tahun 44 Bulan Kijang 44 (K4) 2 Tahun 22 Bulan Kijang 55 (K5) 1 Tahun 11 Bulan Kijang 66 (K6) 1 Tahun 99 Bulan Kijang 77 (K7) 1 Tahun 88 Bulan Kijang 88 (K8) 1 Tahun 66 Bulan Kijang 99 (K9) 1 Tahun 55 Bulan Kijang 10 (K10) 1 Tahun 11 Bulan Kijang 11 (K11) 1 Tahun 11 Bulan Kijang 12 (K12) 1 Tahun 33 Bulan Sumber: (Zakaria 17 Januari 2013, komunikasi pribadi)
Jenis Kelamin Jantan Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Jantan
ALAT DAN BAHAN PENELITIAN Alat Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: alat sentrifuse (centrifuge tool) dan tabung sentrifuse (centrifuge tube), botol sampel, counting chamber dan pipet khusus counting chamber, gelas beker (beaker glass), kaca objek (object glass) dan kaca penutup (cover glass), lemari pendingin (freezer),
25
mikroskop Olympus-FSX100, penyaring (saringan teh dengan ukuran lubang 750-900’x’600-675’µm), pipet kaca, sarung tangan, spatula, dan timbangan digital. Bahan Penelitian Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain: feses kijang Bangka, larutan gula Sheather (campuran dari 55’% gula pasir, 44’% air suling dan 1’% fenol cair) dan larutan lugol. METODE PENELITIAN Pengambilan dan Perlakuan terhadap Sampel Feses Sampel feses yang diambil adalah feses segar 12 ekor kijang Bangka yang jatuh ke tanah. Pengambilan sampel feses dilakukan sekali dalam sehari selama tiga hari berturut-turut pada pukul 08.00 WIB-10.00 WIB. Feses diamati kondisinya (bentuk dan konsistensi), kemudian disimpan dalam botol sampel serta diberi label identitas. Berat feses yang diambil ± 5 g dan disimpan dalam freezer pada suhu ± 4’°C sampai proses pemeriksaan. Sampel feses tersebut diperiksa dengan cara:’(1)’pemeriksaan kualitatif, yaitu dengan metode pengapungan (floatation) dan metode pengendapan (sedimentation), dan (2)’pemeriksaan kuantitatif, yaitu dengan menggunakan metode Whitlock (Bayadhi 2012). Pemeriksaan Kualitatif Metode Pengapungan (Floatation) Metode pengapungan (floatation) bertujuan untuk menemukan keberadaan telur
atau
cacing
Nematoda,
Schistosoma,
Dibothriocephalus
atau
Diphyllobothrium, telur berpori, Taeniidae, telur Acanthocephala atau Ascaris infertil dalam feses (Bayadhi 2012). Feses sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian dihomogenkan dengan 15 mL larutan gula Sheather. Larutan feses disaring dengan penyaring (filter) dan larutan hasil saringan tersebut (filtrat) dimasukkan ke dalam beaker glass lain, kemudian diaduk merata. Filtrat di dalam beaker glass tersebut kemudian dimasukkan ke dalam centrifuge tube sampai batas pinggir permukaan atas tabung sentrifuse. Selanjutnya centrifuge tube berisi filtrat tersebut diletakkan ke dalam centrifuge tool untuk disentrifuse dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5-10 menit.
26
Setelah selesai disentrifuse, centrifuge tube berisi filtrat tersebut ditambahkan lagi dengan larutan gula Sheather sampai terbentuk cembungan diatas centrifuge tube. Kemudian permukaan centrifuge tube ditutup dengan cover glass. Setelah ± 15 menit, cover glass tersebut diambil kemudian ditempelkan pada object glass. Selanjutnya object glass tersebut diamati di bawah mikroskop Olympus-FSX100 dalam mode pengamatan bright field dengan perbesaran objektif 10, 40 dan 45 kali. Metode Pengendapan (Sedimentation) Metode pengendapan
(sedimentation) digunakan
untuk
menemukan
keberadaan telur atau cacing Trematoda dan Cestoda dalam feses (Bayadhi 2012). Feses sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian dihomogenkan dengan 15 mL larutan gula Sheather. Larutan feses disaring dengan filter dan filtrat dimasukkan kedalam beaker glass lain, kemudian diaduk merata. Filtrat di dalam beaker glass tersebut kemudian dimasukkan ke dalam centrifuge tube sampai batas pinggir permukaan atas tabung sentrifuse. Selanjutnya centrifuge tube berisi filtrat tersebut diletakkan ke dalam centrifuge tool untuk disentrifuse dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5-10 menit. Setelah selesai disentrifuse, supernatan (cairan yang berada diatas endapan) dibuang dan endapan disisakan di dalam centrifuge tube. Selanjutnya centrifuge tube yang berisi endapan tesebut diteteskan dengan larutan lugol. Endapan yang telah ditetesi larutan lugol tersebut disedot menggunakan pipet tetes, kemudian diletakkan diatas object glass. Selanjutnya object glass tersebut diamati di bawah mikroskop Olympus-FSX100 dalam mode pengamatan bright field dengan perbesaran objektif 10, 40 dan 45 kali. Pemeriksaan Kuantitatif Metode Whitlock Metode Whitlock digunakan untuk mengetahui jenis telur atau cacing intestinal dan jumlah telur cacing intestinal per gram feses (Bayadhi 2012). Feses sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian dihomogenkan dengan 15 mL larutan gula Sheather. Larutan feses disaring dengan filter dan filtrat dimasukkan kedalam gelas beaker glass lain, kemudian diaduk merata.
27
Filtrat di dalam beaker glass tersebut kemudian dimasukkan ke dalam centrifuge tube sampai batas pinggir permukaan atas tabung sentrifuse. Selanjutnya centrifuge tube berisi filtrat tersebut diletakkan ke dalam centrifuge tool untuk disentrifuse dengan kecepatan 1.500 rpm selama 5-10 menit. setelah disentrifuse, filtrat di dalam centrifuge tube tersebut dimasukkan ke dalam counting chamber menggunakan pipet khusus counting chamber (1 buah counting chamber terbagi atas 2 kamar hitung per sampel). Selanjutnya telur cacing di counting chamber tersebut diamati dan dihitung di bawah mikroskop Olympus-FSX100 dalam mode pengamatan bright field dengan perbesaran objektif 10, 40 dan 45 kali. Identifikasi Telur, Larva dan Cacing Intestinal Telur, larva dan cacing intestinal yang ditemukan pada feses kijang Bangka diukur panjang dan lebar, kemudian dibandingkan secara morfologi telur, larva atau cacing intestinal dewasa yang terdapat pada literatur sampai tingkat marga. Analisis Data Analisis data dijabarkan secara deskriptif dari hasil identifikasi dan perhitungan telur atau hasil identifikasi larva atau cacing intestinal. Sampel feses dinyatakan positif bila ditemukan telur, larva atau cacing intestinal dewasa. Prevalensi
digunakan
dalam
analisa
data.
Dorland
(2002)
dalam
Mulyaningrum (2010) menyatakan prevalensi adalah persentase jumlah makhluk hidup (dalam hal ini kijang Bangka) dalam populasi yang menderita suatu infeksi (dalam hal ini infeksi dari cacing intestinal). Berikut rumus prevalensi (Bayadhi 2012), yaitu: Prevalensi
=
Jumlah hewan terinfeksi x 100% Jumlah populasi hewan
Jumlah telur cacing intestinal per gram feses dalam metode Whitlock dihitung dengan rumus TTGF (Total Telur per Gram Feses) (Whitlock 1948 dalam Kurniawan 2011) sebagai berikut:’
28
TTGF Keterangan: n Bf Vt Vk
= = = =
=
Jumlah telur cacing intestinal dalam 1 kamar hitung Berat feses (tinja) (g) Volume sampel total (mL) Volume kamar hitung (vk = 0.5 mL/kamar)
TTGF dengan standard error dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Sudjana 1986): Ax
=
x ± SE
→
SE
Keterangan: x̅ = TTGF SD = Standard deviation (simpangan baku) n = Jumlah sampel penelitian SE = Standard error (kesalahan baku) Ax̅ = TTGF dengan standard error
=
SD √n
Untuk menentukan tingkat infeksi telur cacing intestinal (ringan, sedang dan berat) digunakan standar DI (derajat infeksi) dari TTGF (Tabel 2). Tabel’2”Standar DI dari TTGF TTGF 001 – 199 200 – 999 >’1.000 Sumber:”(Gordon 1973)
Derajat Infeksi (DI) Ringan (Low) Sedang (Intermediate) Berat (Heavy)
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dalam pemeriksaan kualitatif ditemukan keberadaan telur cacing Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. pada kijang Bangka. Selain itu didapat juga penghitungan prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka, yaitu: 33,3 % (16,6 % pada jantan dan 36,6 % pada betina). Untuk prevalensi telur tertinggi adalah Echinococcus sp. (83,3 %) dan terendah adalah Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. (8,3 %). Penghitungan TTGF (Total Telur per Gram Feses) kijang Bangka diketahui sebesar 63,63 ± 7,41 (TTGF jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF betina sebesar 69,98 ± 8,51). TTGF kijang Bangka tersebut jika dibandingkan dengan standar DI pada Tabel 3 tergolong kedalam kategori ringan, sehingga disimpulkan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. Kondisi Sampel Feses Kijang Bangka Sampel feses kijang Bangka yang didapatkan memiliki bentuk seperti pil dan berwarna hijau kecokelatan hingga cokelat kehitaman (Gambar 12). Feses kijang Bangka yang berbentuk padat dengan konsistensi lembek menunjukkan bahwa feses tersebut dalam keadaan normal atau tidak dalam kondisi diare.
Feses
Gambar’13”Feses M. m. bancanus (Sumber:”Dokumentasi Pribadi)
30
Jenis Telur Cacing Intestinal Dari hasil identifikasi telur cacing intestinal terhadap 36 sampel feses kijang Bangka ditemukan tiga jenis telur cacing
intestinal, yaitu: Echinococcus sp.
(filum Platyhelminthes; kelas Cestoda; bangsa Cyclophyllidea; suku Taeniidae), Metagonimus sp. (filum Platyhelminthes; kelas Trematoda; subkelas Digenea; suku
Heterophyidae)
dan
Schistosoma
sp.
(filum
Platyhelminthes;
kelas Trematoda, subkelas Digenea, suku Schistomatidae) (Tabel 3). Tabel’3”Jenis telur cacing intestinal yang ditemukan dari penelitian dan literatur Gambar Telur Cacing
Gambar Cacing
Nama Jenis
Intestinal yang
Gambar Telur Cacing
Intestinal dari
Cacing Intestinal
ditemukan dari
Intestinal dari Literatur
Literatur
Penelitian 1)
2)
5)
1)
3)
6)
1)
4)
7)
Echinococcus sp.
Metagonimus sp.
Schistosoma sp.
Sumber:
1)
(Hasil identifikasi dengan mikroskop Olympus FSX-100 (Perbesaran objektif 40-45 Kali)) 2) (Blagburn 2010) 3) (Ditrich et al. 1992) 4) (CDC 2009a) 5) (CDC 2010) 6) (Saito et al. 1997) 7) (CDC 2009b)
31
Tiga jenis telur cacing intestinal (Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp.) ditemukan dalam pemeriksaan kualitatif dengan metode pengapungan (floatation). Untuk pemeriksaan kualitatif dengan metode pengendapan (sedimentation), tidak ditemukan telur atau cacing intestinal. Selain itu ditemukan juga satu jenis sporozoa, yaitu Eimeria sp. dalam pemeriksaan kualitatif dengan metode pengapungan. Namun tidak dibahas lebih lanjut karena penelitian ini terbatas pada telur cacing intestinal atau cacing intestinal saja, tidak untuk protozoa atau sporozoa. Telur cacing intestinal yang ditemukan seluruhnya dalam keadaan belum berkembang dan secara umum morfologi dari telur ini berbentuk bulat hingga oval, bewarna kuning kecokelatan dan memiliki dinding. Perbedaan antara satu jenis telur dengan yang lain didasarkan pada karakteristik morfologi yang khas serta ukurannya. Telur cacing intestinal yang ditemukan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Echinococcus sp. Telur cacing Echinococcus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk bulat tanpa opercular shoulder dan operculum, berwarna kuning kecokelatan, berdinding bergaris secara radier, serta memiliki diameter rata-rata sekitar 25-30 µm. Ciri telur cacing Echinococcus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Price 2004; Yamamoto et al. 2006; Yamaguchi 1992 dalam Jusmaldi & Wijayanti 2010; Jusmaldi & Wijayanti 2010), yaitu: telur berbentuk bulat tanpa opercular shoulder dan operculum, berwarna kuning sampai kuning kecokelatan, berdinding bergaris secara radier dengan embryophore yang tebal, serta berdiameter rata-rata sekitar 24-30 µm.
2.
Metagonimus sp. Telur cacing Metagonimus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk ovoid (bujur telur) dengan opercular shoulder dan operculum pada salah satu ujungnya, berdinding tebal, berwarna kuning kecokelatan, serta memiliki panjang 35,91 µm dan lebar 21,65 µm.
32
Ciri telur cacing Metagonimus sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Chai & Lee 1990; Ditrich et al. 1992; Saito et al. 1997; Price 2004; Uppal & Wadhwa 2005; Jusmaldi & Wijayanti 2010; Lee et al. 2012), yaitu: telur berbentuk ovoid, berdinding tebal, berwarna kuning pucat hingga cokelat terang, mempunyai opercular shoulder yang tidak menyolok dengan operculum yang menonjol pada salah satu ujung dan blunt point (titik tumpul) yang sangat kecil pada ujung lainnya, berembrio, serta memiliki panjang rata-rata sekitar 23-36 µm dan lebar rata-rata sekitar 11,5-23 µm. 3.
Schistosoma sp. Telur cacing Schistosoma sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka berbentuk memanjang (panjang sekitar 192,16 µm dan lebar sekitar 46,47 µm) dengan tonjolan seperti spine pada salah satu ujungnya, berwarna kuning kecokelatan, serta berdinding tembus sinar. Ciri telur cacing Schistosoma sp. yang ditemukan pada sampel feses kijang Bangka tersebut berciri sama dengan apa yang dinyatakan literatur (Price 2004; Jusmaldi & Wijayanti 2010), yaitu: telur berwarna cokelat kekuningan, berdinding tembus sinar, terdapat tonjolan seperti spine yang mencolok pada salah satu ujungnya, serta memiliki panjang rata-rata sekitar 70-232 µm dan lebar rata-rata sekitar 45-90 µm.
Prevalensi Telur Cacing Intestinal pada Kijang Bangka Berdasarkan data Tabel 4 diketahui prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka sebesar 33,3 % dengan prevalensi telur cacing intestinal pada kijang Bangka jantan sebesar 16,6 % dan prevalensi telur cacing intestinal pada kijang Bangka betina sebesar 36,6 %. Selain itu diketahui prevalensi telur cacing Echinococcus sp. merupakan yang tertinggi (83,3 %), sedangkan prevalensi telur cacing Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. merupakan yang terendah (8,3 %). Perbedaan tingkat prevalensi telur cacing ini kemungkinan disebabkan oleh penyebaran dan jumlah populasi hospes / inang perantara berupa jenis siput di lokasi penelitian dan tercemarnya sumber pakan oleh telur cacing intestinal, mengingat sumber pakan pada lokasi penelitian ini sebagian besar diambil dari
33
luar penangkaran. Namun dalam penelitian ini pengamatan hospes perantara dan sumber pakan tidak dilakukan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jusmaldi & Wijayanti (2010) dalam penelitiannya tentang prevalensi infeksi telur cacing gastrointestinal pada penangkaran rusa sambar di Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Tabel’4”Prevalensi telur cacing intestinal dalam pemeriksaan kualitatif dengan Tabel’4”metode pengapungan Kijang Bangka (Jantan+Betina) Metode Jenis Telur (n=12) Pemeriksaan Cacing Intestinal Individu Prevalensi Individu Prevalensi Individu Prevalensi Positif (%) Positif (%) Positif (%) Echinococcus sp. 1/2 50 9/10 90 10/12 83,3 Metode Metagonimus sp. 0/2 50 1/10 10 1/12 8,3 Pengapungan Schistosoma sp. 0/2 50 1/10 10 1/12 8,3 (Floatation) Total Keseluruhan 1/6 16,6 11/30 36,6 12/36 33,3 Kijang Bangka Jantan (n= 2)
Kijang Bangka Betina (n=10)
Tingginya prevalensi telur cacing Echinococcus sp., serta rendahnya prevalensi telur cacing Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. pada kijang Bangka kemungkinan besar juga disebabkan oleh faktor tingkat kekebalan inang. Echinococcus sp. diduga memiliki kemampuan menghindari pertahanan tubuh kijang Bangka yang lebih baik dibandingkan dengan Metagonimus sp. dan Scistosoma sp., sehingga perkembangannya jauh lebih baik. Kemampuan Echinococcus sp. menghindari pertahanan tubuh kijang Bangka ini kemungkinan besar dikarenakan ketebalan cangkang telur Echinococcus sp. yang cukup kuat dan resisten untuk menahan serangan sel darah putih kijang Bangka. Sebaliknya untuk ketebalan cangkang telur Metagonimus sp. dan Scistosoma sp. kemungkinan besar belum cukup kuat dan resisten untuk menahan seranganserangan sel darah putih kijang Bangka, sehingga perkembangannya jauh lebih buruk dibandingkan perkembangan Echinococcus sp. Hal yang sama dinyatakan oleh Soulsby (1982) bahwa pada umumnya infeksi cacing intestinal berjalan kronis diakibatkan oleh lemahnya pertahanan alamiah dan kemampuan cacing intestinal untuk mengelak dari pertahanan spesifik inang definitif.
34
Tingkat Infeksi Telur Cacing Intestinal Berdasarkan data Tabel 5 diketahui TTGF kijang Bangka sebesar 63,63 ± 7,41 dengan TTGF kijang Bangka jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF kijang Bangka betina sebesar 69,98 ± 8,51. TTGF kijang Bangka tersebut jika dibandingkan dengan standar DI pada Tabel 2 tergolong kedalam kategori ringan, sehingga disimpulkan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. Tabel’5”TTGF kijang Bangka dalam pemeriksaan kuantitatif dengan Tabel’5”metode Whitlock (perhitungan nilai TTGF disajikan dalam Lampiran 1) Kijang Bangka TTGF Jenis Telur Jumlah (x ± S ) Jenis Kelamin Cacing Parasit Intestinal (Ekor) (Telur/Gram Feses) Echinococcus sp. 110,67 ± 5,81 Metagonimus sp. 0 ± 0 Jantan 2 Schistosoma sp. 0 ± 0 Rata-Rata Keseluruhan 36,89 ± 1,93 Echinococcus sp. 206,40 ± 25,00 Metagonimus sp. 0,27 ± 0,27 Betina 10 Schistosoma sp. 0,27 ± 0,27 Rata-Rata Keseluruhan 68,98 ± 8,51 Echinococcus sp. 190,44 ± 21,80 Metagonimus sp. 0,22 ± 0,22 Jantan dan betina 12 Schistosoma sp. 0,22 ± 0,22 Rata-Rata Keseluruhan 63,63 ± 7,41 Tindakan Pengendalian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa kijang Bangka di Penangkaran Zakaria masih terpelihara dengan baik. Hal ini menandakan sistem pemeliharaan di penangkaran tersebut tergolong ke dalam kategori baik. Walaupun demikian, tindakan pengendalian perlu dilakukan untuk mengendalikan infeksi dan penyakit yang disebabkan cacing intestinal pada kijang Bangka di kemudian hari. Pengendalian infeksi dan penyakit cacing intestinal merupakan salah satu usaha untuk mengoptimalkan pemeliharaan hewan penangkaran (dalam hal ini kijang Bangka). Menurut Infovet (2008), cara yang dapat dilakukan agar penangkaran terhindar dari infeksi dan penyakit cacing intestinal adalah dengan melakukan pencegahan, yaitu: memberikan obat cacing intestinal (antelmintik)
35
berspektrum luas secara berkala sesuai dengan dosis pencegahan, melakukan sanitasi areal penangkaran dan peralatan penangkaran, menjaga kepadatan areal penangkaran, memberikan ransum dengan kandungan mineral dan protein yang cukup untuk hewan penangkaran, serta mencegah areal penangkaran menjadi becek dan berlumpur. Selain pencegahan, pengobatan pada hewan penangkaran yang telah terserang infeksi dan penyakit cacing intestinal juga harus dilakukan dengan cara memberikan antelmintik sesuai dengan jenis cacing intestinal dan dosis pengobatan. Selain itu, pemberian antelmintik sebaiknya dilakukan secara serempak dalam satu areal penangkaran yang terserang.
36
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN 1. Pemeriksaan kualitatif menunjukkan adanya keberadaan dari telur cacing Echinococcus sp., Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. pada kijang Bangka. 2. Prevalensi total telur cacing intestinal pada kijang Bangka adalah 33,3 % dengan 16,6 % pada jantan dan 36,6 % pada betina. Prevalensi telur tertinggi adalah Echinococcus sp. (83,3 %) dan terendah adalah Metagonimus sp. dan Schistosoma sp. (8,3 %). 3. TTGF kijang Bangka sebesar 63,63 ± 7,41 dengan TTGF kijang Bangka jantan sebesar 36,89 ± 1,93 dan TTGF kijang Bangka betina sebesar 69,98 ± 8,51. Hal ini menandakan status kesehatan kijang Bangka dari Penangkaran Satwa Zakaria tergolong sehat. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap kijang Bangka pada tempat yang berbeda di Pulau Bangka untuk menambah data infeksi dan penyakit yang disebabkan cacing intestinal pada kijang Bangka. 2. Perlu dilakukan penelitian mengenai parasit-parasit lain seperti ektoparasit yang menginfeksi kijang Bangka. 3. Tindakan pengendalian perlu dilakukan apabila terjadi infeksi dan penyakit yang disebabkan cacing intestinal pada kijang Bangka di kemudian hari.
37
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS. 1993. Pengelolaan Satwa Liar. Jilid II. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2012. Deer Digestive System. [terhubung berkala]. http://www.nyantleroutdoors.com/deer-digestive-system.html [28 Januari 2013]. Bayadhi A. 2012. Identifikasi Cacing Parasit pada Siamang (Symphalangus syndactylus) di Kebun Binatang Bandung [skripsi]. Bandung: Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. Blagburn B. 2010. Diagnostic Manual: Internal Parasites of Dogs and Cats. Novartis Animal Health US, Inc. Boudet C. 2009. Banka Muntjac. [terhubung berkala]. http://www.planetmammiferes.org/drupal/en/node/39?indice=Muntiacus+muntjak+bancanus [18 November 2012]. Bruner, Sudarth. 2002. Bedah Medis Keperawatan. Jakarta: EGC. Brusca RC, Brusca GJ. 2003. Invertebrates. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates, Inc. Publishers. [CDC]”’Center”for”Disease”Control”and”Prevention. 2009a. Intestinal Parasites: Comparative Morphology, Trematode Eggs Found in Stool Specimens of Humans. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/frames/ morphologytables/body_morph_figure5.htm [28 Maret 2013]. [CDC]”’Centers”for”Disease”Control”and”Prevention. 2009b. Schistosomiasis. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/SZ/Schistosomiasis/body_Schistosomiasis_il7.htm [28 Januari 2013]. [CDC]”’Centers”for”Disease”Control”and”Prevention. 2010. Echinococcocis. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/AF/Echinococcosis/body_Echinococcosis_il5.htm [28 Januari 2013]. [CDC]”’Centers”for”Disease”Control”and”Prevention. 2011. Taeniasis. [terhubung berkala]. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Taeniasis.htm [28 Januari 2013]. Chai JY, SH Lee. 1990. Intestinal Trematodes of Humans in Korea: Metagonimus, Heterophyids and Echinostomes. Korean J of Parasitol 28: 103-122. Ditrich O, M Giboda, T Scholz, SA Beer. 1992. Comparative Morphology of Eggs of Haplorchiinae (Trematoda: Heterophyidae) and Some Other Medically Important Heterophyid and Opisthorchiid Flukes. Folia Parasitol 39: 123-132. Gordon HM. 1973. Epidemiolog of Helminthiasis Course for Veteran on Parasitology and Epidemiology. Australia: University of Sydney.
38
Hasibuan WE. 2010. Perilaku Masyarakat Terhadap Diare di Puskesmas Teladan Medan [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Infovet. 2008. Cacingan dan Pengobatannya. [terhubung berkala]. http://www.majalahinfovet.com/2008/07/cacingan-dan-pengobatannya.html [20 Mei 2013]. Ismail M. 2012. Identifikasi Cacing Parasit pada Tinja Orangutan (Pongo pygmaeus) di Kebun Binatang Tamansari Bandung [skripsi]. Bandung: Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pendidikan Indonesia. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 2012. Muntiacus muntjak. [terhubung berkala]. http://www.iucnredlist.org/ details/42190/0 [18 November 2012]. Jusmaldi, A Wijayanti. 2010. Prevalensi dan Jenis Telur Cacing Gastrointestinal pada Rusa Sambar (Cervus unicolor) di Penangkaran Rusa Desa Api-Api Kabupaten Penajam Paser Utara. Bioprospek 7 (2): 77-85. Kanungo S, Das A, Das GM, Shakif-ul-Azam. 2010. Prevalance of gastrointestinal helminthiasis in Captive Deer of Bangladesh. Wayamba J of Animal Sci 1: 42-45. Kurniawan MC. 2011. Inventarisasi Cacing Saluran Pencernaan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi Stressman, 1924) dan Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus Gmelin, 1788) di Habitat Eks-Situ [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Labes EM, D Hegglin, F Grimm, W Nurcahyo, MW Harrison, ML Bastian, P Deplazes. 2009. Intestinal Parasites of Endangered Orangutan (Pongo pygmeus) in Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. Switzerland: Institute of Parasitology, University of Zurich. Lee JJ, BK Jung, H Lim, MY Lee, SY Choi, EH Shin, JY Chai. 2012. Comparative Morphology of Minute Intestinal Fluke Eggs that Can Occur in Human Stools in Republic of Korea. Korean J Parasitol 50 (3): 207-213. Mahardika Y. 2008. Pemilihan Pakan dan Aktivitas Makan Owa Jantan (Hylobates moloch) pada Siang Hari di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa, Gadog-Ciawi [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Manik LEM. 2011. Anatomi Organ Reproduksi Muncak (Muntiacus muntjak muntjak) Jantan pada Tahap Ranggah Keras [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Insitut Pertanian Bogor. Muhni. 2011. Pola Defekasi dan Kajian Jenis Telur Cacing pada Tinja Landak Jawa (Hystrix javanica) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Mulyaningrum P. 2010. Prevalensi Penyakit Invaginasi pada Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan Rumah Sakit Dokter Pirngadi Medan Periode 2006-2009 [skripsi]. Medan: Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
39
Pramiati I. 2002. Cacing Ektoparasit pada Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) di Daerah Banten [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Price DL. 2004. Helminth Key. [terhubung berkala]. http://health.usf.edu/ publichealth/gh/parasitology/sem/helminthkey.htm [28 Maret 2013]. Rahmawati S. 2012. Aktivitas Harian dan Makan Kijang (Muntiacus muntjak Zimm.) di Penangkaran Satwa Zakaria Pangkalpinang [skripsi]. Pangkalpinang: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Saito S, JY Chai, KH Kim, SH Lee, HJ Rim. 1997. Metagonimus miyatai sp. nov. (Digenea: Heterophyidae), a New Intestinal Trematode Transmitted by Freshwater Fishes in Japan and Korea. Korean J of Parasitol 35 (4): 223-232. Sari MM. 2012. Aktivitas Harian dan Makan Rusa Sambar (Cervus unicolor Kerr.) di Penangkaran Satwa Zakaria Pangkalpinang [skripsi]. Pangkalpinang: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi, Universitas Bangka Belitung. Soulsby. 1982. Helmints, Artropods and Protozoa of Domesticated Animal. 7th Edition. London: Bailliere and Tindol. Sudjana. 1986. Metode Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito. Umardhani T. 2011. Cacing Parasitik pada Unta Punuk Satu (Camelus dromedarius) di Taman Rekreasi Margasatwa Serulingmas Banjarnegara Jawa Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Uppal B, V Wadhwa. 2005. Rare Case of Metagonimus yokogawai. Indian J of Med Microbiol 23 (1): 61-62. Yamamoto N, Y Morishima, M Kon, M Yamaguchi, S Tanno, M Koyama, N Maeno, H Azuma, H Mizusawa, H Kimura, H Sugiyama, K Arakawa, M Kawanaka. 2006. The First Reported Case of a Dog Infected with Echinococcus multilocularis in Saitama Prefecture, Japan. Jpn J Infect Dis 59: 351-352. Zunaria. 2005. Morfologi dan Keanekaragaman Genetik Rusa Sambar (Cervus unicolor), Studi Kasus di Penangkaran Rusa Sambar “Zakaria” Pangkalpinang, Bangka [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1"Perhitungan nilai TTGF dari kijang Bangka
Sampel Feses Kijang Bangka Jenis Kelamin K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 Total Jumlah Rata-Rata Mean Rata-Rata Standard Deviation Rata-Rata Standard Error
Jantan Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Jantan
Jumlah
Mean
Standard Deviation
Standard Error
664,00 744,00 704,00 688,00 624,00 704,00 640,00 640,00 712,00 736,00 0,00 0,00 6856,00
221,33 248,00 234,67 229,33 208,00 234,67 213,33 213,33 237,33 245,33 0,00 0,00
20,13 28,84 60,04 48,22 57,69 60,04 12,22 37,81 68,04 60,04 0,00 0,00
11,62 16,65 34,67 27,84 33,31 34,67 7,06 21,83 39,28 34,67 0,00 0,00
37,76 21,80
Jantan Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Jantan
Jenis Telur Cacing Parasit Intestinal Metagonimus sp. Nilai Ulangan (TTGF) 1 2 3 0,00 0,00 0,00 8,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Jumlah
Mean
Standard Deviation
Standard Error
0,00 8,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,00
0,00 2,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 4,62 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 2,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,22 0,38 0,22
Sampel Feses Kijang Bangka Jenis Kelamin K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 Total Jumlah Rata-Rata Mean Rata-Rata Standard Deviation Rata-Rata Standard Error
Nilai Ulangan (TTGF) 1 2 3 200,00 240,00 224,00 240,00 224,00 280,00 200,00 200,00 304,00 224,00 184,00 280,00 160,00 192,00 272,00 200,00 200,00 304,00 224,00 200,00 216,00 184,00 256,00 200,00 160,00 264,00 288,00 176,00 280,00 280,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
190,44
Sampel Feses Kijang Bangka Jenis Kelamin K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 Total Jumlah Rata-Rata Mean Rata-Rata Standard Deviation Rata-Rata Standard Error
Jenis Telur Cacing Parasit Intestinal Echinococcus sp.
Jantan Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Betina Jantan
Jenis Telur Cacing Parasit Intestinal Schistosoma sp. Nilai Ulangan (TTGF) 1 2 3 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Jumlah
Mean
Standard Deviation
Standard Error
0,00 0,00 0,00 8,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,00
0,00 0,00 0,00 2,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 4,62 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,00 0,00 0,00 2,67 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
0,22 0,38 0,22