Dikutip dari buku “MEMECAH PEMBISUAN” Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan 2011
Ibu Tachrin : Hidup Menerobos Lubang–lubang Jarum
Surabaya, 1968 Matahari sedang terik saat terdengar keributan di depan sebuah rumah. Mereka meneriaki penghuninya agar segera keluar melapor. Terbungkuk-bungkuk pemilik rumah menghadap satu orang yang dipanggil oleh tiga lainnya, “Dan.” Tanpa menunggu satu katapun dari pemilik rumah, Si Komandan memerintahkan anak buahnya memeriksa ke dalam. Beberapa puluh meter dari rumah itu, terlihat seorang perempuan menyelimuti diri dengan selembar kain batik parang yang baru saja disambarnya dari jemuran tetangga. Setengah berlari ia menjauhi sumber keributan. Tadi ia sempat melihat beberapa orang berpakaian hitam-hitam itu datang ke rumah depan. Tak lama ada bisik yang menyuruhnya kabur dari pintu belakang. Ia terus berjalan cepat tanpa tahu harus ke mana. Di sela nafas yang tersengal-sengal, ingatannya menggelandang pada masa silam. *** Kesamben Blitar, 1939-1965 Dua Januari 1939, Raden Martodiharjo, Mantri Pengairan di Kesamben Blitar, dikaruniai seorang putri lagi. Bayi mungil itu melengkapi kebahagian keluarga besar Pak Mantri. Tinah, begitu Si Bayi dipanggil, menjadi anak bungsu dari tujuh bersaudara. Tinah tumbuh di rumah gedong dengan empat kamar bersama enam kakaknya; dua perempuan dan empat laki-laki. Jarak Si Bungsu dengan kakak-kakaknya yang terpaut cukup jauh, membuat dia jadi ‘putri kecil’. Bukanlah putri yang manja tapi putri yang tak bisa diam. Ia yang sangat tertarik dengan masak-memasak, menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur. Di sanalah Sang Ibu mengajarinya membuat banyak macam kue. Kakak-kakaknya menjadi pencoba kue yang setia. Jika kuenya gagal, Si Bungsu merajuk tak mau keluar kamar. Ketika musim duku tiba, perkarangan belakang rumahnya menjadi daerah jajahannya. Ia terampil memanjat pohon-pohon duku yang tumbuh berselang dengan pohon pete, kelapa, dan bayam-bayam liar itu. Buah yang dipetik tidak dimakan sendiri, tetangga di samping kanan- kiri rumah akan ikut mencicipi. Sebagai amtenaar,1 Raden adalah orang terpandang dan dihormati. Saat senggang, ia mengajak Si Bungsu naik kuda berkeliling kampung; memantau sawah penduduk. Kesamben merupakan jalur lalu lintas utama yang menghubungkan antara Blitar dengan Malang Jawa Timur. Lokasi yang strategis ini seharusnya sangat menguntungkan masyarakat tersebut untuk melakukan berbagai aktivitas. Tetapi saat itu, masyarakatnya hidup sederhana; sebagian menjadi petani, lainnya lagi menjadi pandai besi. Jadi sejak kecil Tinah sudah akrab dengan kehidupan lain di balik rumah gedongnya yang nyaman. Ini sangat mempengaruhi bagaimana kemudian ia menjalani hari-harinya. Pada usia delapan belas tahun Tinah bergabung dengan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI). Kesamben memang sedang bergairah seperti halnya wilayah lain di Indonesia. Organisasi-organisasi 1
Birokrat, pejabat di zaman Belanda.
1
kepemudaan bergiat. IPPI menyelenggarakan rupa-rupa kegiatan: kepanduan,2 lomba badminton, sepak bola, pertunjukan wayang orang, dan penggalangan dana untuk amal. Para anggotanya sering bersepeda ramai-ramai mengelilingi desa. Tinah pastinya ada dalam rombongan itu; tubuh mungil semampainya lincah di atas sepeda, rambut sepunggungnya menari-nari bertarung melawan angin. Wajah bulat telur itu tersenyum. Ia sangat menikmati hari-hari mudanya. Selain memegang ‘pasukan kurcaci’, tingkatan paling bawah dalam kepanduan di IPPI, ia juga mengajar di Taman Kanak-kanak (TK) Melati. Bergelut dengan dunia aktivis, menggiring Tinah bertemu dengan jodohnya di sana. Ia berkenalan dengan Nuryanto, pemuda 24 tahun dari Sekolah Guru Atas (SGA). Keadaan Nuryanto yang datang dari keluarga sederhana membuat banyak yang meragukan kelanjutan kisah cinta ‘putri pejabat’ dan pemuda biasa ini. Tapi di mata Tinah laki-laki sabar, pintar, dan pekerja keras itu adalah tipe yang tepat untuk mendampingi dirinya. Maka, setahun kemudian, mereka menikah. Sementara Nuryanto mengurusi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) Non Vak Sentral dan Front Pemuda Nasional, Tinah tak kalah sibuk dengan organisasinya. Mengurus Taman Kanak-kanak Melati adalah salah satu kegiatan Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), organisasi independent yang mengakomodir perempuan. Tidak sembarang orang bisa masuk Gerwani. Walaupun memperhatikan kaum bawah, jarang sekali perempuan yang berasal dari keluarga petani atau buruh yang menjadi anggotanya. Salah satu syarat bergabung dengan Gerwani adalah berusia di atas 18 tahun atau sudah menikah. Mengajar di TK Melati, sudah berusia 19 tahun dan menikah, Tinah secara otomatis menjadi bagian dari Gerwani. Gerwani, sebagai sebuah gerakan perempuan, prinsip dasar yang dipegang adalah ‘Kita Semua adalah Ibu dan Istri’. Aksi Gerwani kemudian terkait dengan soal-soal susila, anak dan pangan, dan hak-hak perempuan. Gerwani menentang pelacuran dan praktik poligami, membela korban perkosaan, juga melawan kerusakan moral akibat pengaruh budaya asing. Dalam pandangan mereka, perempuan haruslah dibantu untuk menentang kesewenang-wenangan yang terjadi atas diri mereka akibat situasi adat dan sosial. Jadi, meski Gerwani mengakui sekaligus menerima pandangan bahwa perempuan harus memenuhi pengabdian utamanya dalam perannya sebagai isteri dan ibu tetapi mereka memperkenalkan konsep ‘keibuan yang militan.’ Gambaran Gerwani tentang ibu yang militan tidak membatasinya pada pekerjaan rumah tangga tetapi meluas ke kegiatan sosial dan area politik. Simbol mereka adalah Srikandi, prajurit pejuang istri Arjuna dan bukan Subadra yang lemah lembut. Karena sering bersinggungan dengan politik, Gerwani acapkali dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). PKI memang tengah tumbuh besar. Pada Pemilu pertama di Indonesia tahun 1955, PKI menduduki peringkat ke empat. Tapi Tinah sungguh paham, Gerwani adalah organisasi yang berdiri sendiri. Memang benar banyak suami dari anggota Gerwani bergabung dengan PKI, tetapi tidak 3 menjadikan Gerwani onderbow PKI karena Gerwani punya AD/ART sendiri. Masyarakat Blitar sendiri tidak turut pusing dengan persinggungan politik itu, mereka tetap berantusias dengan kegiatan-kegiatan yang srikandi-srikandi Gerwani lakukan. Selain TK Melati, Gerwani mendirikan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) di tiap kecamatan, mengadakan arisan beras bulanan, juga mengajarkan ibu-ibu berkesenian dan membuat kue. Jenis kue yang diajarkan adalah yang ‘memasyarakat’ – yang mudah untuk dijual – sehingga perempuan juga bisa memiliki pendapatan.
2 3
Sekarang Pramuka. Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga.
2
Tinah ambil peran dalam semua kegiatan itu. Pagi ia mengajar di TK, sore pada hari tertentu ia mengajar di PBH berselingan dengan mengajar membuat kue. Ia mengkoordinasi arisan beras; memikul sendiri beras dari rumah peserta yang satu ke yang lain. Akhir pekan terkadang masih juga menyempatkan diri untuk berlatih gamelan di Kelurahan. Hebatnya, jika musim duku atau kelengkeng tiba, ia tetap tidak akan melewatkan kebiasaan masa kecilnya: memanjat pohon, memetik sendiri buah-buah ranum itu dan membaginya pada tetangga. Gerwani tidak berkegiatan sendiri. Untuk peringatan hari nasional atau di kegiatan kerja bakti, Gerwani sering bekerja sama dengan ibu-ibu dari Kepolisan, atau organisasi keagamaan dalam membentuk kepanitiaan. Mereka akur dan kompak. Hanya kostum yang jadi pembeda anggota Gerwani dengan yang 4 lain. Atasan biru telor asin dan kain parang klitik dasar putih jadi ciri khasnya. Kostum itu juga yang dipakai Tinah saat mengajar ibu-ibu. Kalau soal kue, ibu-ibu ini bisa mengikuti nyaris tanpa masalah. Akan tetapi, saat harus membaca atau menulis, beberapa di antara mereka sering menangis putus asa karena tak bisa menyelesaikan tugas. Akhirnya diledek oleh yang lain. Dengan sabar Tinah menenangkan murid-murid yang rata-rata usianya di atas dirinya, layaknya memperlakukan anak-anak. Selesai belajar, biasanya mereka akan mengekor Tinah, mengantarkan Bu Guru pulang. Hidup Tinah semarak. Kesemarakan itu terhenti saat Gerakan 30 September (G30S) pecah. Beratus kilometer dari Blitar, terjadi pembunuhan terhadap perwira-perwira tinggi Angkatan Darat oleh Pasukan Cakrabirawa. Partai Komunis Indonesia (PKI) disebut-sebut menjadi dalangnya. Semua yang berkaitan dengan PKI adalah kiri, adalah haram di Indonesia. Harus dibersihkan. Tidak perlu waktu lama bagi ‘gelombang pembersihan’ sampai ke Blitar. Awal Oktober, setiap orang wajib melaporkan diri ke Koramil (Komando Rayon Militer); menandatangani absen setiap pagi dan sore. Aktivitas masyarakat nyaris lumpuh. Rumah Tinah diperiksa oleh Kepolisian Blitar. Komandan polisi yang mendatangi rumah warisan yang ditinggali Tinah beserta suami, anak-anak, dan seorang kakak perempuannya itu masih berkerabat dengan Nuryanto. Ia mohon maaf atas kejadian itu, tapi ia harus melaksanakannya karena bagian dari tugas. Tinah dan suaminya hanya bisa pasrah. Entah apa yang dicari sebenarnya, Tinah tak paham. Yang jelas di rumahnya hanya ada dokumendokumen bahan ajaran miliknya dan suaminya. Dengan situasi yang simpang siur itu, nyaris mereka dituduh mau memberontak karena beberapa pasang tumbak yang ada di ruang tamu. Padahal itu sekedar pajangan, warisan dari ayah Tinah dulu. Polisi-polisi itu akhirnya berlalu tanpa membawa apaapa, atau siapa-siapa. Lalu akhirnya, pertengahan Oktober, saat sedang mengantri untuk melapor, Nuryanto ‘diambil.’ Berturutturut setelah itu, beberapa guru temannya juga ditangkap. Tinah mendengar omongan-omongan tentang pembunuhan di Blitar mulai terjadi. Ia memang tidak melihat pembunuhan itu secara langsung, tetapi ketika semakin hari orang yang menghilang terus bertambah, ia mulai membaca apa yang terjadi. Korban yang jatuh berlipat jumlahnya karena banyak yang memanfaatkan situasi. Ketidaksukaan pribadi dicampuradukan. Teriak saja, “Si Fulan PKI!!!” Maka habislah dia. Si Fulan hilang atau mati. Jika terdengar lolongan anjing bersautan mengiringi rombongan orang yang membawa celurit berbungkus kain putih, dapat dipastikan baru saja terjadi pembantaian. Ketika suaminya tidak juga kembali, Tinah tidur berpindah-pindah di rumah tetangga setiap malamnya. Sampai suatu siang, sebulan setelah penangkapan suaminya, salah seorang rekan kerjanya di TK datang.
4
Motif batik garis-garis lengkung kecil, menyimbolkan pribadi yang halus dan bijaksana.
3
“Bu, hari ini ngambil gaji di kantor.” “Ya. Nanti saya nyusul,” jawabnya. Ia tidak pergi ke sana. Setelah menitipkan anak ketiganya ke salah satu kerabatnya, dalam keadaan hamil lima bulan, ia berangkat menuju rumah kakak pertamanya di Malang membawa anak pertama dan keduanya. Ia memutuskan untuk naik kereta. Di dalam kereta ia bertemu dua orang yang tak asing. Satu adalah kawannya di Pemuda Rakyat, lainnya teman suaminya dari Pemuda Ansor. Si Pemuda Ansor bertanya, “Mau ke mana, Bu?” “Mau ke dokter, karena pendarahan,” Tinah berbohong. Ia tak ingin banyak bercakap-cakap. Matanya terpejam tapi terlalu waspada untuk tertidur. Tangannya mendekap erat dua bocah yang terlelap di samping kanannya. “Malang Lama, Malang Lama,” teriak kondektur. Teriakan itu membuat Tinah berkemas. Ia beranjak turun. Ia sadar Pemuda Ansor itu mengikuti mereka. Di antara antrian orang-orang yang akan turun, ia dan kedua anaknya berhasil menghilang dari penglihatan Si Penguntit dan keluar lewat pintu sebelah kiri. Setelah yakin Si Penguntit turun di pintu yang berlawanan, Tinah naik kembali ke kereta dibantu kawannya dari Pemuda Rakyat, lalu meneruskan perjalanan sampai Kota Malang Baru. Menjelang sore mereka sampai. Suasana lengang, tegang. Beberapa orang yang melintas menujukkan raut kewaspadaan. Perjalanan dari stasiun ke rumah kakak pertamanya tidaklah terlalu jauh, tapi Tinah memutuskan untuk menyewa becak. Begitu sampai di muka pintu, ia pingsan. Beberapa hari kemudian, rumah di depan rumah kakaknya digrebeg. Kejadian itu menciptakan atmosfer ketakutan di keluarga kakaknya. Sunyi. Radio dimatikan, tidak ada yang berbicara, semua kegiatan dilakukan dalam diam. Tak ingin menjadi beban, Tinah pamit pergi ke Surabaya. Sesampai di Surabaya, ia menuju Jetis-Ponorogo, mencari kakak iparnya. Ketemu. Di situpun ia hanya menumpang menginap beberapa hari, lalu pergi lagi. Tanpa tujuan, tanpa rencana. Tinah dan dua anaknya berhari-hari menggelandang di emperan gedung-gedung. *** Menjelang akhir suatu sore, seorang perempuan dengan daster yang tak lagi tampak jelas warnanya duduk di depan gedung Wayang Orang Pande Giling Surabaya, menatap langit jingga yang berangsur memerah kemudian gulita. Satu anaknya lelap dipelukannya, menemani calon adik yang tertidur dalam rahim sang ibu. Satu lagi anaknya sebentar ikut menatap langit kemudian berpaling pada ibunya, “Bu, nyuwun ma’em. Pundutnya bakso.” 5 *** Surabaya, Desember 1965 Demi anaknya, Tinah pergi ke toko emas untuk menjual perhiasan. Ia memang membawa hampir semua perhiasaan yang diwariskan ibunya. Gelang, giwang, kalung, liontin, dan cincin itu nantinya satu-satu terjual untuk menyambung hidup. Hari itu ia menjual kalungnya. Esoknya, 13 Desember 1965, sanenring periode kedua berlaku. Setiap uang pecahan Rp1,000; disunat menjadi Rp1;. Sang Ibu tak bisa
5
“Bu, minta makan. Ingin makan bakso.”
4
membelikan anaknya bakso. Hanya mampu membeli tiwul seharga Rp25;, tanpa urap sayur atau sambel goreng pedas. Hanya tiwul. Sekepal untuk satu hari, sekepal dibagi bertiga. Olahan tepung ubi kayu itu hampir melompat keluar mulutnya, saat tiba-tiba pundaknya dicolek-colek. “Mbak, Mbak yu…,” laki-laki keturunan tionghoa berperawakan tinggi kurus memandangnya dengan sorot ragu. “Oh, ternyata benar,” sumringah wajahnya kemudian. “Ayo masuk, Mbak, jangan di luar. Kasihan anak-anak,” lanjutnya. Tinah menurut. Mengikuti ke dalam gedung tua berarsitektur Belanda dengan bentuk memanjang itu, meninggalkan halamannya yang dijejeri pohon-pohon besar. Laki-laki itu adalah teman satu kampungnya di Blitar. Anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lagi-lagi dituduh kaki PKI. Ia juga melarikan diri dan bersembunyi di gedung itu sambil tiap malam menggelar pertunjukan wayang orang. Ia memberikan kamarnya untuk ditinggali Tinah dan dua anaknya. Ia sendiri lesehan bersama pemain lain. Jadi mulailah hari-hari di bilik belakang panggung. Pertunjukan wayang orang digelar sehari sekali setiap pukul tujuh sampai sembilan malam. Tak pernah sepi penonton. Mungkin, jika ia tidak sedang mengandung, Tinah juga akan bergabung dengan para seniman itu, minimal mempraktikkan hasil latihan rutin bermain gamelan di Kelurahan dulu. Setidaknya mengurangi bayangan-bayangan yang berkelebat dalam otaknya saat malam tiba. Sering terpikir untuk menangis. “Jika menangis, orang-orang akan tahu kau ketakutan. Mereka akan membawamu. Kau mati,” batinnya berbisik. Ia tidak menangis. *** Maret 1966, ketika kandungannya semakin tua, ia memberanikan diri kembali ke Malang, ke rumah kakak pertamanya, beserta kedua anaknya. Tidak ada alasan bagi kakaknya untuk menolak adik bungsu kesayangannya itu. Untung aman. Tanggal 23 Maret 1966 Tinah melahirkan anak perempuan di sebuah Rumah Bersalin Swasta. Tidak banyak pertanyaan karena kakak sepupu Nuryanto datang dan mengaku sebagai suami Tinah. Biaya persalinan terbayar dengan uang kiriman ipar misan Nuryanto, yang kebetulan anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) Malang. Juni 1966, kakak ketiga Tinah datang berkunjung. Ia kehilangan pekerjaan sebagai Kepala Pegadaian Banyuwangi. Ia dipecat karena terbukti membantu menyembunyikan Ketua Cabang Gerwani Banyuwangi. Masih untung ia hanya kehilangan uang pensiun, bukan nyawa. Karena dari pernikahannya ia belum juga dikaruniai keturunan, ia meminta Tinah tinggal bersamanya. Hari itu juga Tinah dan tiga anaknya diboyong ke Malang Selatan. Di sana mereka membuat warung kecil-kecilan, warung yang semerbak dengan harum kue-kue buatan Tinah. Selang beberapa bulan, ibu-bapak mertua Tinah datang. Ternyata rumah mereka di Blitar habis dibakar. Mereka yang mendapat kabar bahwa Tinah ada di Malang segera menyusul. “Rumah saya?” tanyaTinah. Rumah yang diwariskan Raden Sukemi Martodiharjo pada Si Bungsu.
5
“Sempat digeledah lagi, Nduk. Tapi alhamdulillah ‘ndak diapa-apakan,” jawab ibunya. “Sekarang kosong.” Lalu Sang Ibu meminta menantunya itu ikut dengannya ke Pekuburan Margosono Malang, tempat mereka mulai menata hidup baru. Ia menyanggupi. Tapi hanya beberapa hari, ia memutuskan kembali ke tempat kakaknya. “Tapi anakmu Si Riri, tinggal sini ya. Buat nemenin kami, biar ‘ndak sepi,” pinta Bapak yang selain Nuryanto juga kehilangan anak keduanya pasca G30S. Itu hari terakhir Tinah melihat anak keduanya yang berumur tiga tahun. Selang tiga hari berikutnya ketika ia menengok ke pekuburan itu, yang tersisa hanya gubuk kosong, penghuninya entah ke mana. Tak pernah ada berita. *** Kira-kira anak keempatnya berumur lima bulan, Tinah kembali lagi ke Surabaya. Sebelumnya ia menitipkan anak pertamanya pada kakak tertua. Di Surabaya, ia bertemu salah satu kerabat jauhnya yang bekerja di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL). Iapun diajak ke rumah kerabatnya itu. Tinah ditampung di situ, seperti juga beberapa pemuda dari CGMI (Cosentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang sedang bersembunyi. Kemudian ia dicarikan pekerjaan menjahit pakaian marinir. Dua tahun ia dan anaknya hidup dari upah menjahit. Tetapi kehidupan nomaden, seperti kucing yang selalu pindah tujuh suhunan, 6 belum usai. Tak lama, kakak ipar Tinah mengajaknya pulang ke Malang. Di Malang ia bertemu lagi dengan kakak ketiganya, Kepala Pegadaian Banyuwangi yang kehilangan pensiun. Lalu dua minggu kemudian sepupu Nuryanto, 7 mahasiswa IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Malang, membawa Tinah ke rumah adiknya yang menyewa rumah di sebuah kampung di Buncitan. Tak ingin Tinah kerepotan terus membawa bayi ke sana-ke sini, kakaknya meminta Tinah untuk meninggalkan anak bungsunya itu bersama mereka sebelum pergi ke Buncitan. Rumah yang ia tinggali itu adalah rumah penumbuk padi. Jika hari ini mereka menumbuk, esoknya hasilnya dijual. Tinah ikut membantu mengayun alu dan memikul hasilnya ke pasar. Ia juga turut menanam padi di sawah. 8
“Nih, Bu’lik, dikasih satu meter panjangnya. Mau hidup, mau mati, ini punyanya Bu’lik,” ujar sepupunya memberi jatah lahan untuk Tinah tanami. Di waktu senggang, tangannya yang melepuh karena terlalu lama memegang alu, masih sanggup merenda atau menambahkan sulaman kristik pada kain perca yang dikumpulkannya. Sapu tangan percanya itu ia titipkan ke anak-anak tetangga yang bersekolah untuk dijual pada teman-temannya. Sebatas itu Tinah bergaul dengan tetangganya. Ia menjaga jarak. Orang-orang di situ hanya mengenalnya sebagai keluarga marinir, seperti juga kebanyakan orang yang tinggal di sana. Namun ia sempat mengenal seorang mantan guru yang sedang melarikan diri juga. Padanya ia menitipkan liontin warisannya untuk dijual. Simpanan uang hasil menjual kain percanya dan liontin itu dipakainya untuk pergi meninggalkan Buncitan setelah adik sepupu iparnya mencoba menjamahnya. Status Tinah yang menumpang dan ‘kesepian’ 6
Tujuh atap. Dalam budaya Sunda, dipercaya ketika kucing melahirkan, sang induk akan membawa anaknya pindah sampai tujuh rumah. 7 1999 s.d sekarang berganti nama menjadi UNM (Universitas Negeri Malang) 8 Singkatan ‘Ibu cilik’ – ibu kecil. Panggilan untuk adik perempuan ibu atau ayah.
6
dijadikan alasan untuk menggantikan posisi isterinya yang ada di luar kota setelah melahirkan. Sebuah tendangan Tinah membayar niatan perlakuan buruk itu. Tinah kembali ke Surabaya, ke rumah yang menampungnya dulu, meneruskan pekerjaan sebagai penjahit pakaian marinir. *** Surabaya, 1968 Di sinilah ia sekarang. Jadi maling jemuran. Malam turun, Tinah berjalan kembali ke rumah. Keluarga keduanya itu menyambut dengan khawatir. Semua anak-anak CGMI yang tinggal di sana telah ditangkap. Untunglah Pak Hadi, pemilik rumah, dilepaskan. Suasana kacau. Masih berkerudung batik parang curian, ia menuju dapur. Nampak busa sabun sudah hilang dari piring dan gelas-gelas yang tadi serta merta ia tinggalkan. Tinah menampung air dalam waskom, dibasuhnya piring-gelas satu persatu. Dalam batinnya pertanyaan bermunculan. Serabutan. “Kapan semuanya pulih?” “Kapan petak umpet ini berakhir?” “Dari awal Bapaknya pergi, anak-anak tak pernah tanya Bapaknya ke mana, apa mereka sudah lupa?” “Apa aku bisa kumpul sama anak-anakku lagi?” Gelas terakhir selesai dicuci. “Apa kainnya harus aku kembalikan?” Ia tersenyum pahit. Ia memperhatikan kain yang ternyata masih membungkus badannya, lalu melipatnya kemudian menyimpannya di meja ruang tamu. Pak Hadi menghampirinya, menanyakan apa yang akan dilakukannya. Tinah terdiam sebentar. “Ya nerusin jahit lagi, Mas,” jawabnya. “Jangan, sudah tidak aman di sini. Aku siapkan tiket untuk ke Jakarta. Kamu berangkat,” saran Pak Hadi. Dua hari kemudian, Tinah datang mengembalikan kain itu pada empunya, istri seorang prajurit Angkatan Laut. “Oalah.. kok yo iso? Syukur...syukur.. selamet ya. Ono manfaat banget aku ngumbah kain iku wingi...,”9 Nyonya rumah berkata sambil tertawa geli. “Terima kasih. Saya sekalian pamit, Bu. Saya sudah dibelikan tiket ke Jakarta, mohon doa,” Tinah undur diri.
9
“Lho kok bisa? Tapi syukur bisa selamat. Ada untungnya juga saya nyuci kain itu kemarin.”
7
Tinah berangkat ke Jakarta naik kereta. Di antara hiruk pikuk manusia di Stasiun Gambir Jakarta, tibatiba dua orang laki-laki tinggi besar mendatanginya. “Tinah?” salah seorang dari mereka bertanya. “Iya.” “Silakan ikut kami.” Laki-laki yang bertanya itu membawakan tas Tinah, tas yang berisi beberapa helai pakaian dan uang seadanya. Seperti kerbau dicocok hidung, Tinah menurut saja. Dia tidak tahu siapa kedua lelaki itu, bagaimana mereka bisa tahu dirinya, mau ke mana ia dibawa. Entah kenapa dia tak punya keinginan bertanya. Lelaki-lelaki ini juga tak punya basa-basi. “Yang penting anakku sudah aman. Hanya aku sendiri. Tak apa,” ia membatin. Tinah diangkut dengan mobil. Dari jendela ia bisa melihat papan-papan toko menuliskan nama daerah yang dilewati. “Ini toh Jakarta…,” ia berbisik lirih mengagumi kota tempat Monas berdiri itu. Setelah billboard JAWA MOTOR Senen Jakarta Pusat, mobil berbelok ke kanan, di depan gerbang sebuah gedung mobil berhenti. Gedung itu milik Inkopal (Induk Koperasi Angkatan Laut). Melebihi komputer dengan processor tercanggih, otak Tinah mem-browse data siapa yang mungkin ada kaitannya dengan semua ini. Ia diminta beristirahat dan makan malam, lalu kemudian ia diberi tahu kedatangan tamu. Ternyata itu Eko, putra Pak Hadi. Eko juga menjadi salah satu orang yang dicari. Ia lari ke Jakarta dan bekerja di Inkopal ini. “Oalah… Jadi Mas Hadi yang ngasih tahu Eko aku mau datang ke Jakarta. Terus, Eko minta temennya buat jemput aku…,” Tinah mencoba merangkai kejadian yang dialaminya hari ini. Ada kelegaan yang terselip. Setidaknya satu hari lagi ia lolos dari ketidakjelasan hidup. Eko lalu menawarinya pekerjaan. “Tapi nggak di sini, Bu’lik. Mungkin di Bandung. Bu’lik mau?” Demi satu kesempatan lain, Tinah pantang berkata tidak. Ia bersedia. Hanya melewatkan semalam untuk mengistirahatkan tubuh yang 14 jam terguncang kereta, esok paginya Tinah berangkat ke Bandung. Dia dibawa ke salah satu kompleks perumahan Angkatan Udara di Bandung. Tinah diajak melewati rumah yang berjejer rapi, serupa satu dengan lainnya. Mereka tiba di sebuah rumah tepat di depan sebuah warung kelontong. Ternyata pekerjaan yang dijanjikan itu adalah menjadi pembantu rumah tangga. Tuan dan nyonyanya adalah orang Jawa dan jika dirunut ternyata masih ada pertalian keluarga dengan Tinah. Saudara jauh istilahnya, dan memang pada kenyataannya: dekat di mata, jauh di hati. Ia sebenar-benarnya dianggap babu. Pukul lima pagi sudah mulai bekerja: cuci pakaian, menyapu, mengepel, memasak, menyetrika, menjual minyak tanah, dan mengurus empat anak laki-laki dan satu anak perempuan–seusia dengan anak-anak kandungnya.
8
Dari hari ke hari badan Tinah semakin susut. Baju yang dipakainya pertama kali ia datang kini terlihat kebesaran. Pipinya tirus. Pikiran yang terus melayang ke anak-anaknya membebaninya. Belum lagi majikan yang rajin memintanya mengerjakan ini itu tapi selalu alpa membayarkan gajinya. Melewati harihari Tinah masih menguatkan diri berpuasa jawa: puasa kolektif 40 hari dalam satu tahun. Suatu siang, tepat sembilan bulan bekerja di sana, Sang Nyonya melabraknya. Ia menuduh Tinah mengambil telur asin yang jadi menu makan hari itu. Segala makian dimuntahkan padanya. Tuan besar datang, makian juga yang didapat. Tidak ada pembelaan. Tinah hanya sanggup menangis. Dia diusir tanpa diberi uang sepeserpun. Beruntung, Sang Nyonya tidak tahu jika setiap malam Tinah ikut bakar kemenyan untuk mencari kode pada seorang tetangga yang menjadi karuhun.10 Langganannya adalah orang-orang Angkatan Udara. Jika nomornya tembus, ia dapat komisi. Kumpulan komisi itu jadi modalnya meninggalkan Bandung. Tujuan satu-satunya adalah kembali ke Inkopal di Jakarta. Ia bergegas menuju Stasiun Hall Bandung. Ada cegatan. Semua yang masuk peron kereta harus punya surat-surat lengkap. Sejak peristiwa 30 September ’65, setiap orang yang berpergian dari daerah satu ke yang lainnya wajib membawa surat jalan dan tanda pengenal. Tinah? Kartu Tanda Penduduk (KTP) pun tak punya. Ia keluar dari antrian peron sambil memegang perut, berlagak menahan ingin buang air besar. Berjalan ke arah toilet umum, ia kemudian memutar langkah keluar stasiun menuju terminal bus Cicaheum. Syukurlah, di sana lowong. Tinah tidak menemukan kesulitan untuk menaiki bus. Namun, benteng fisiknya ambrol. Selama perjalan ke Jakarta ia muntah-muntah, badannya lemah. Sesampainya di Jakarta, sementara waktu, Eko menitipkan Bu’liknya itu pada temannya. Badan Tinah masih lemah. Selama seminggu ia tak bisa melakukan apa-apa, karenanya ia tidak mendapatkan uang. Pakaian yang ada ia loakkan untuk mengganjal perut. Setelah sembuh, ia mencoba bekerja di konveksi. Sayang, upahnya terlalu murah. Gaji yang dibayar perminggu hanya cukup untuk makan nasi bungkus tanpa lauk sehari dua kali. Kira-kira tiga bulan kemudian, Eko datang mengajaknya pulang ke Surabaya. Rute perjalanan telah diputuskan: berangkat dari Jakarta dengan kereta, menginap di Yogja, mampir ke Kertasono Nganjuk, baru Surabaya. Di Yogya, tas berisi uang digondol copet. *** Tinah dan Eko menginap di losmen yang berlainan, Tinah di losmen dekat Stasiun, Eko di Patang Puluhan. Pukul lima pagi, mereka janji bertemu di depan losmen Tinah. Saat menunggu itu, Tinah didekati laki-laki yang mengajaknya ngobrol. Saat laki-laki sok kenal sok dekat itu berlalu, tas kecil yang semula ditumpuk dengan tas pakaian dan diletakkan membelakangi Tinah juga raib. Karena Eko juga tak membawa uang lebih, akhirnya transaksi dengan tukang loak terjadi lagi. Tinah menjual pakaiannya sekali lagi. Di Kertasono mereka mampir ke rumah famili untuk mencari bantuan. Ternyata dua hari yang lalu kepala keluarganya tiada. Dibunuh karena dituduh terlibat Gerakan 30 September. Mereka beralih ke Kediri, di sana ada kakak ke enam Tinah, seorang Kepala Seksi Pengairan Malang. Sisa uang melego baju tinggal Rp750;, Tinah tidak tahu apakah cukup untuk ongkosnya berdua sampai Kediri. Ia lalu menghampiri 11 kondektur bus dan mengeluarkan ilmu kepepet -nya: jujur.
10 11
‘Orang pintar.’ Terdesak
9
Pak Kondektur berbaik hati memperbolehkan mereka naik. Mereka turun di dekat pabrik rokok Gudang Garam, tak jauh dari Sungai Brantas. Karena jembatan sungainya sedang diperbaiki, mereka harus jalan kaki sampai pangkalan becak. Masalah lain muncul, Tinah tak hapal alamat lengkap rumah kakaknya. Satu-satu tukang becak diintrogasi, mencari tahu siapa yang kira-kira bisa mengantar ke ‘alamat kira-kira’ itu. Akhirnya ada seorang tukang becak yang lolos seleksi. Ia bersedia mengantarkan dengan upah Rp50; lebih mahal dua puluh rupiah dari yang seharusnya. Setelah sempat berputar-putar, mereka menemukan gambaran besar ‘alamat kira-kira’ itu. “Rumahnya yang mana, Bu’lik?” tanya Eko. “Nggg…itu…itu, yang ada motor biru,” jawab Tinah, “kayaknya…” Tembakan ngawur itu tepat sasaran. Sang kakak dan istrinya sedang makan siang. Raut mereka kaget, tidak menyangka adik bungsunya yang sedang jadi pelarian itu ada di depan rumah mereka. “Dari mana?” tanya Sang Kakak. “Dari Jakarta. Aku datang ke sini mau ngemis, Mas,” jawab Tinah lirih. “Kenapa?” “Kecopetan di Yogja. Abis-abisan.” “Ya sudah sekarang mandi terus makan dulu saja.” Setengah jam kemudian, kakaknya sudah menunggu di ruang tamu dengan setumpuk pakaian, kaca mata hitam, dan amplop. “Belum lama, orang di rumah depan ditangkep polisi,” Kakaknya bercerita. Ada jeda. “Ini ada bekal, sepuluh ribu,” Kakaknya berkata lagi sambil mengasongkan amplop putih bertepi batik merah biru. “Kamu nginepkah?” lanjutnya. “Ndak, Mas. Demi keselamatan bersama, aku dan Eko langsung ke Surabaya,” jawab Tinah. Kakaknya tidak mencegah. Setelah magrib Tinah dan Eko melanjutkan perjalanan. Empat jam kemudian mereka tiba di Surabaya. Tadinya Eko akan menitipkan bu’liknya itu di Tambak Sari, tempat kawannya, tapi Tinah menolak dan mengikuti Eko sampai rumahnya. Keesokan harinya baru ia tahu kalau bapak Eko, Pak Hadi yang baik hati mengurus dia dan anaknya juga membantu pemuda-pemuda CGMI itu sudah ditangkap. *** Setelah Soekarno tersingkir dan Soeharto tampil sebagai pimpinan tertinggi, muncul ketetapan yang melarang ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme melalui Tap MPRS/XXV/1966. Upaya pembersihan sisa-sisa aliran kiri dipertegas dengan pemberlakuan Surat Keterangan Bersih Diri dan
10
Bersih Lingkungan (SKBD/BL). Bersih diri artinya orang itu tidak terlibat langsung dengan G30S/PKI.12 Sedangkan bersih lingkungan berarti lingkungan keluarganya, seperti bapak, ibu, mertua, dan keluarga dekat tidak ada yang terlibat langsung/tidak langsung G30S. Belajar dari pengalaman di Stasiun Hall Bandung, Tinah bersiap membuat identitas. Bunuh diri jadinya jika ia terus berkeliaran tanpa surat-surat; seperti motor bodong. Karena SKBD/BL ini bermula dari KTP, maka Tinah memutar otak bagaimana caranya ia bisa mendapatkan identitas baru. Berbekal uang dari kakaknya, Tinah keluar rumah dengan menggunakan kerudung, sekedar berjaga-jaga sebagai kamuflase jika ada yang mengenalinya. Tangan Tuhan bekerja. Di saat ia tidak tahu musti bagaimana, ia bertemu seorang saudaranya. Ia perwira angkatan bersenjata, Kapten Basuki namanya. Tinah diajak ke kelurahan Buncitan Sidoarjo, tempat dulu ia pernah berpeluhpeluh menumbuk padi. Dengan posisinya yang banyak mengenal pegawai kelurahan itu, Kapten Dasuki mendapatkan nama baru untuk Tinah, yaitu ‘Pinah'. Tinah tak pernah tahu seperti apa rupa Pinah, apakah pernah hidup atau tidak. Yang jelas setelah itu, tangan pegawai kelurahan yang bekerja. Dalam KTP itu, tidak ada data yang berubah kecuali nama. Itu sudah cukup meloloskan Tinah– ehm, Pinah maksudnya – untuk mendapatkan Surat Keterangan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan. *** Nama baru. Harapan baru. Setelah mendapatkan KTP dan surat-surat lain Pinah kembali ke Jakarta dan kembali kerja di konveksi. Karena upah di konveksi tak kunjung mencukupi, ia pindah kerja lagi menjadi asisten penjahit. Tak lama, Eko menitipkannya lagi ke sahabatnya, Agus. Bapak sahabatnya itu sebelumnya bekerja di Harian Rakjat (HR).13 Setelah peristwa G30S, Harian Rakjat ditutup, dan hampir semua pegawainya jadi tertuduh yang harus dibersihkan. Termasuk bapak Agus itu. Mengetahui kisah Pinah yang serupa suaminya, Ibu Agus mengangkat Pinah sebagai anaknya. Ia kemudian tinggal di sana. Pada pertengahan 1969, Pinah ditawari bekerja di salah satu kantor logistik di Cipinang oleh seorang tetangga. Sang tetangga yang sudah menjadi pegawai negeri sipil di situ sedang membutuhkan tenaga tambahan. Dengan jalur koneksi, Pinah bisa dengan mudah bekerja di sana. Kehidupan mulai membaik. Dua setengah tahun kemudian, ada kesempatan untuk menjadi pegawai sipil tetap. Syarat utamanya adalah melampirkan ijazah pendidikan. Harapan Pinah kandas lagi. Enam tahun lalu ketika kehidupan nomadennya terpaksa dimulai, ia tak membawa selembarpun catatan-catatan pendidikannya. Toh, kalaupun ada, tak mungkin ia menyodorkan ijazah dengan nama yang berbeda dengan yang tercantum di KTPnya sekarang. Ia memilih mengundurkan diri. *** Jakarta, 1971
12
Gerakan 30 September/PKI. Istilah yang dikreasikan oleh Orde Suharto untuk menegaskan pelaku kejadian Gerakan 30 September adalah PKI. Pada pemerintahan Gus Dur (2000), huruf PKI dibuang; hanya ditulis G30S saja. 13 Merupakan corong PKI, pertama kali terbit pada 31 Januari 1951 dengan nama Suara Rakjat. HR menerbitkan edisi penghabisan pada Sabtu, 2 Oktober 1965.
11
Ada yang bilang, memiliki tetangga yang baik itu anugrah. Pinah tidak meragukannya. Di Blitar dulu, tetangganyalah yang membantu menghabiskan duku dan kelengkeng yang tak henti berbuah. Ketika malam-malam mencekam saat operasi pembersihan dimulai, pada tetangganya Pinah minta perlindungan. Di Surabaya ia pernah ‘diselamatkan’ jemuran tetangganya. Sekarang di Jakarta, ia bisa masuk ke instansi Pemerintah karena rekomendasi tetangganya. Satu lagi, ia berkenalan kembali dengan cinta atas comblang tetangganya. *** Pasca G30S, keanekaragaman Indonesia bertambah dengan lahirnya golongan-golongan baru di masyarakat. Orang-orang yang ditangkapi atas alasan terkait komunisme dibagi menjadi tiga golongan. Golongan A adalah orang-orang yang merencanakan, membantu merencanakan, atau mengetahui adanya G30S tapi tidak melapor pada yang berwajib. Masuk kategori ini pula pelaku dan orang yang ikut serta dalam kegiatan G30S itu. Mereka inilah yang kemudian diadili oleh Mahkamah Militer Luar Biasa atau Pengadilan Negeri di berbagai tempat di Indonesia. Kemudian ada lagi golongan B yang terdiri dari orang-orang yang menyetujui G30S dan atau menghambat usaha yang berwajib dalam menumpasnya. Pengurus PKI dan lembaga-lembaga yang dianggap underbow PKI juga masuk kategori ini. Sedangkan golongan C adalah mereka yang pernah terlibat peristiwa Madiun 1948 (C1), anggota bekas ormas pendukung PKI (C2), dan C3: para simpatisan PKI lainnya (termasuk orang yang kakeknya, neneknya, orang tuanya, anaknya, atau Oom,Tante, dan saudaranya pernah terkait PKI). *** Tachrin adalah seorang guru juga penggiat di Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN), dan kemudian menjadi ‘lulusan’ Penjara Salemba dan Tangerang dengan predikat golongan C. Status pernikahannya juga turut berubah karena ketika di penjara, isterinya minta cerai. Ia bebas dengan status membujang lagi. Beruntung Si Bujang tak lama menganggur, karena ia mendapat pekerjaan sebagai supir seorang pimpinan redaksi sebuah koran. Lalu melalui tetangga, ia mengenal Pinah yang ternyata anak angkat teman baiknya. Setelah beberapa lama, ia memutuskan meminangnya. “Kamu nggak trauma nikah lagi sama, yang katanya orang, antek PKI?” Tachrin bertanya sesaat setelah pinangannya diterima. “Nggak. Aku malah nggak kepikiran apa-apa. Aku nggak ngerasa salah. Aku ngerti betul suamiku dulu nggak salah, Mas juga toh?” Pinah balas bertanya. Acara lamar-melamar memang mulus, tapi prosesi nikahnya yang ribet. Calon pengantin ini tidak direstui Pak RT, Pak RWpun menolak memberi izin. Akhirnya, mengandalkan dukungan saudara yang menjabat RT di lain kampung, mereka mendatangi Lurah untuk mohon restu. Restu didapat setelah bukti hitam di atas putih dibuat bahwa Lurah tidak bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada Tachrin dan Pinah. Pinah mendapatkan nama ketiganya saat itu: Bu Tachrin. Hidup keduanya baru saja dimulai. *** Jakarta, 14 Januari 1974 Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, mendarat di Bandar Udara Halim Perdana Kusuma untuk mengawali lawatan empat hari kerjanya di Indonesia.
12
Sehari kemudian, ribuan mahasiswa pawai unjuk rasa dari kampus Universitas Indonesia di Jalan Salemba ke Universitas Trisaksi di kawasan Grogol, Jakarta. Aksi ini merupakan puncak demonstrasi kaum muda sejak pertengahan 1973 yang juga menuntut pembubaran dua lembaga ekstra konstitusional, yaitu Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) serta Asisten presiden (Aspri), mengkritik korupsi di Pertamina, dan memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah. Namun, pada siang harinya, tiba-tiba Proyek Senen, pabrik Coca Cola, show room Toyota Astra, dan sejumlah tempat di Jakarta dibakar, dirusak, serta dijarah massa. Malari, Malapetaka lima belas Januari 1974, meletus. Ada beberapa teori sebab akibat yang muncul. Ada yang memandang Malari hanya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Teori lain adalah adanya perseteruan dalam militer, rivalitas dua jendral: Soemitro dan Ali Moertopo. Karena peristiwa itu, setidaknya 11 orang tewas, 300-an terluka, 775 orang ditahan, ratusan mobil mendadak jadi bangkai besi gosong. Lebih dari seratus bangunan rusak parah dan 160 kilo emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. *** Malari juga membuat keluarga baru Tachrin kena panas dingin, macam orang kena malaria, ketika koran majikannya dibredel. Koran yang dikenal kritis, anti korupsi, anti penyelewengan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat bawah ini ditutup untuk selama-lamanya, menyisakan pengangguran besar-besaran karyawannya. Malam Malari pecah, suaminya tidak pulang. Bu Tachrin yang tidak tahu menahu kondisi di luar sana menunggu-nunggu. Biasanya suaminya pulang membawa koran-koran yang tidak laku. Bu Tachrin menyimpannya di kolong lemari berkaki. Jika sudah terkumpul banyak, diikatnya, lalu dijual. Namun sejak malam itu, Bu Tachrin harus kehilangan kegiatannya mengoleksi koran bekas. Dibantu oleh seorang kawan Pak Tachrin mulai mencari pekerjaan baru. Ironisnya, Pak Tachrin kehilangan pekerjaan karena peristiwa sentimen terhadap Jepang, tapi kemudian ia mendapat pekerjaan baru di perusahaan multinasional Jepang. Ya, seperti Charles Darwin katakan dalam Teori Evolusi, “Yang bisa bertahan hidup adalah yang mampu beradaptasi.” Kecakapan dalam berbahasa Inggris dan hafal wilayah Jakarta membuatnya diterima menjadi supir direktur utama produsen kaca terbesar di Asia Tenggara, yang kemudian membukakan peluang bagi Pak Tachrin untuk menjadi pegawai administrasi di perusahan kaca itu. Ia membawa keluarga barunya merangkak menuju hidup yang lebih layak. Beberapa kali mereka berpindah mengontrak rumah, sampai akhirnya mereka tinggal bersama orang tua Pak Tachrin. Istrinya membantu perekonomian keluarga dengan nyambi-nyambi terima jahitan dan membuat kue. Walaupun begitu, perjalanan mereka masih saja terandung-sandung. Setiap usai gajian, kakak Pak Tachrin datang meminta jatah sebagai balas jasa karena dialah yang sering besuk Pak Tachrin ketika di penjara. Koramil yang tahu Pak Tachrin sudah bekerjapun ikut meminta setoran. Seringnya Pak Tachrin dipanggil melapor saat hari kerja. Hal itu membuat Bu Tachrin terpaksa datang ke kantor suaminya untuk memintakan izin. Setiap meminta izin, alasannya cuma satu, “Ada saudara yang meninggal, Pak.” Hari ini kakak paman ibunya yang tiada, kali lain ibu kakak pamannya yang wafat.
13
Koramil bernego dengan Pak Tachrin tentang jumlah setoran. Negosiasi yang berat sebelah sebenarnya. Intinya setiap bulan Pak Tachrin harus menyetor uang 7500 rupiah. Kemudian Bu Tacrin ikut dipanggil untuk memberikan ‘persetujuan.’ 14
“Pak, “ Bu Tachrin berbicara dengan bahasa Jawa kromo inggil pada Letnan Satu yang memanggilnya, “suami saya gajinya dua puluh ribu sebulan. Kalau sekarang musti setor tujuh ribu lima ratus, apa dengan sisanya kami bisa hidup? Kalau ini terjadi sama Bapak, Bapak mau gimana?” “Saya undang Bapak ke rumah. Lihat sajalah kondisi hidup kami seperti apa,” Bu Tachrin mengakhiri diplomasinya sambil membetulkan kain lurik yang dipakai untuk menggendong anak bungsunya. Dua hari kemudian, Letnan Satu itu benar-benar datang ke rumah Tachrin. Ia menengok sendiri hidup yang dijalani suami-istri Tachrin dan enam anaknya. Delapan orang itu hidup berdesakan di rumah berlantai tanah dengan pintu depan tidak bisa tertutup rapat karena engselnya hanya diikat kawat. Letnan Satu pulang tanpa komentar. Sejak saat itu, permintaan nyetor duit berakhir. Hal ini berlaku hanya untuk keluarga Tachrin saja tentunya. *** Kemarau berganti hujan, kemarau, hujan lagi, lalu kemarau lagi. Kehidupan tertata perlahan, tapi masih ada mosaik-mosaik yang tercecer. Dengan kekuatan keyakinan bahwa Tuhan selalu melindunginya, ruh ibunya selalu mendampinginya, dan ia tidak pernah melakukan kesalahan, Bu Tachrin mulai mengumpulkan mosaik-mosaik hidupnya itu untuk menyusun hidup keduanya. Mosaik pertama, Srikandi. Bu Tachrin kembali mengulang peran perempuan prajuritnya dengan menjadi sukarelawan di Katedral Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga, Jakarta Pusat. Katedral ini memang menawarkan pelayanan sosial bagi orang-orang kurang mampu terutama yang pernah menjadi korban konflik, termasuk para mantan tahanan politik (eks-Tapol) peristiwa G30S. Pengakses layanan bisa meminjam uang untuk modal usaha atau meminta dicarikan pekerjaan. Sayangnya untuk para eks-Tapol, pekerjaan yang ditawarkan hanya berkisar antara buruh bangunan atau kuli panggul saja. Mengajar atau kegiatan lain yang berinteraksi langsung dengan banyak orang menjadi profesi yang nyaris mustahil bagi mereka. Bu Tachrin dipercaya mengurusi simpan pinjam dan mengajar pembuatan kue-kue merakyat. Kelas pembuatan kue dibagi ke dalam beberapa wilayah. Bu Tachrin berkeliling mengajar dari Santo Markus Cililitan dan Santo Markus Klendrer di Jakarta Timur, sampai di Kesusteran Sunter di Jakarta Pusat. Loyang datar-bulat-bongkar pasang, mangkuk besar-sedang-kecil, timbangan, cetakan-cetakan kue berbagai ukuran, spatula, pengocok telur berbentuk balon pegas, celemek kain, dan tetek bengek perlengkapan pembuatan kue ia masukan dalam satu tas besar. Tubuh Bu Tachrin yang tergolong mungil, tingginya hanya sekitar 150 cm, nampak sedikit tenggelam saat membawanya. Maka, jika jadwal mengajarnya jatuh di hari libur, Pak Tachrin akan menawarkan diri menjadi asisten dadakan, menemani istrinya mengajar. 15
Atas bantuan Bu Tachrin itu, katedral yang bekerja sama dengan CCF (Christian Children’s Fund), memberikan beasiswa pendidikan sampai dengan Sekolah Menengah Atas untuk anak pertama Tachrin.
14
Bahasa Jawa yang paling halus. CCF adalah lembaga kemanusiaan dan pemerhati anak internasional, non-profit, non-sektarian, dan non-diskriminatif yang mengabdi bagi kesejahteraan anak. Kantor pusat CCF berada di Richmond, Virginia, USA. CCF telah berkarya di Indonesia sejak tahun 1973. Setiap tahun CCF di Indonesia membantu sekitar 34.000 anak dari keluarga kurang mampu, tanpa membedakan ras/suku, golongan, dan agama melalui Pusat-pusat Pelayanan Sosial yang dikelola oleh mitra kerja CCF. 15
14
Mosaik kedua, anak-anak Nuryanto. Dari pernikahan pertamanya, Bu Tachrin memperoleh empat anak. Namun, tidak ada satu orangpun yang saat ini bersamanya. Akhirnya, suatu hari anak sulungnya dari Pak Nur datang. Dulu Bu Tachrin menitipkannya pada kakak tertuanya sebelum pergi ke Surabaya. Kira-kira usianya empat belas tahun saat datang ke Jakarta khusus mencari ibunya. Pertanyaan yang keluar pertama kali dari bocah laki-laki itu adalah, “Kata temenku Gerwani itu pelacur, ibu juga pelacur?” Pertanyaan bocah hasil cuci otak Orde Baru. *** Rezim Orde Baru punya versi sendiri tentang Gerwani. Kira-kira begini: “Pada malam pembunuhan jendral-jendral, Gerwani menebar pesta seks liar. Perilaku yang tak patut itu dilakukan sambil menembang lagu Genjer-genjer.” Lagu Genjer-genjer menjelma jadi lagu paling legendaris setelah Indonesia Raya. Jika Indonesia Raya mendapatkan kedudukan tertinggi sebagai lagu kebangsaan, maka Genjer-Genjer dilabeli haram dinyanyikan. Pada awalnya, tahun 1942, Muhammad Arief, seorang seniman asal Banyuwangi menciptakan lagu ini karena terinspirasi kreativitas masyarakat yang kelaparan di masa pendudukan Jepang. Mereka menyulap gulma menjadi lauk teman nasi. Tumbuhan kaya serat ini diolah jadi tumisan atau direbus lalu disiram saus kacang manis-pedas.
Bu Tachrinpun menyenangi lagu ini. Ia sering menyenandungkan lagu sederhana yang menggambarkan kerukunan sepasang suami istri yang sedang memetik daun genjer-genjer untuk dijadikan hidangan makan di rumah itu untuk meninabobokan anak-anak dalam buaiannya.
Gendjer-gendjer neng ledokan pating keleler (Gendjer-gendjer ada di Emake thole teka-teka mbubuti gendjer (Ibunya anak-anak datang Oleh satenong mungkur sedot sing tolah-tolih (Setelah dapat sebakul, langsung balik Gendjer-gendjer saiki wis (Gendjer-gendjer sekarang sudah dibawa pulang) Gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar (Gendjer-gendjer pagi-pagi dibawa ke pasar) Didjejer-djejer diunting pada didasar (Ditata berjajar, Emake djebeng tuku gendjer wadahi etas (Emaknya beli genjer dimasukkan dalam tas) Gendjer-gendjer saiki arep diolah (Gendjer-gendjer sekarang akan dimasak) Gendjer-gendjer mlebu kendil wedange umob (Gendjer-gendjer masuk Setengah mateng dientas digawe iwak (Setengah matang Sega sa piring sambel penjel ndok ngamben (Nasi sepiring sambal Gendjer-gendjer dipangan (Gendjer-gendjer dimakan temannya nasi)
lahan
berhamparan)
mencabuti tidak
gendjer)
tengok-tengok digawa
diikat,
belanga ditiriskan pecel
15
lagi) mulih
dijajakan)
airnya
masak)
dijadikan diambil musuhe
lauk) dari
cobek) sega
Lalu seiring dengan perkembangan waktu, Muhammad Arief bergabung dengan Lekra. Genjer-Genjer yang hits pada tahun ‘60an menjadi sangat lekat dengan Lekra dan ideologi kekirian. Ketika pada akhirnya terjadi ‘pembersihan’ pasca G30S, lagu ini jadi salah satu yang dibersihkan. Alasan pertama karena produk orang-orang komunis. Kedua, setelah G30S terjadi, Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) memplesetkan ‘Genjer-genjer’ menjadi ‘Jenderal-jenderal.’ Maka semakin sahihlah fatwa untuk mengharamkan lagu ini. Jendral- jendral nyang ibukota pating keleler (Jendral-jendral berkeliaran Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral (Perempuan-perempuan Gerwani Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh (Dapet satu truk, langsung Jendral Jendral saiki wes dicekeli (Jendral-jendral sekarang sudah dipegangi) Jendral Jendral isuk-isuk pada disiksa (Pagi-pagi jendral-jendral Dijejer ditaleni dan dipelosoro (Dibariskan, diikat, Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo (Perempuan-perempuan Gerwani Jendral Jendral maju terus dipateni (Jendral-jendral melawan lalu dibunuh)
di
ibu menculik
balik
semua
kota para
tidak
) jendral)
tengok-tengok
lagi)
semua
disiksa)
dan
disiksa)
ikut
menyiksa
)
*** Bu Tachrin tak bisa menjawab. Hatinya terlalu sakit. Ia hanya bisa mengelus-ngelus kepala anaknya. Pengalaman dengan anak sulungnya itu membuat Bu Tachrin menutup rapat-rapat masa lalunya kepada anak-anaknya, baik itu anak-anak Nuryanto atau Pak Tachrin. Cukuplah mereka mengenal ibunya seperti para tetangga mereka mengenalnya sebagai pembuat kue, tidak lebih. Namun, Tuhan punya cerita sendiri. Kesempatan baik untuk berkumpul dengan ‘anak-anak jilid 1’ datang ketika anak ketiganya menikah di Malang. Bu Tachrin bertemu kembali dengan Si Anak Hilang, yang dulu raib di perkebunan Margosono Malang saat berumur tiga tahun. Ternyata waktu itu kakek-neneknya membawanya ke keluarga Nuryanto. Ia tinggal di sana sampai akhirnya menikah dengan seorang tentara Angkatan Darat mantan pelarian ’65. Menantu Bu Tachrin mengenali mertuanya karena ternyata mereka pernah tinggal di satu kecamatan di Blitar. Artinya mereka tahu sama tahu tentang status masing-masing sebagai pelarian ‘65. Selain itu, ‘Nak Menantu ini juga pernah dinas di Pamekasan dan sering bertemu kakak Bu Tachrin yang jadi Kepala Pengairan di sana. Setelah pertemuan itu, putra-putri ‘jilid 1’ Bu Tachrin mulai mendapat cerita sejarah perjalan ibunya, walaupun tidak utuh. *** Tebet, Januari 2011 Di ruangan 5x5 meter dengan tembok hijau, kuning, pink berselang-selang, Bu Tachrin berbagi tempat dengan empat anak-anaknya yang sedang menonton drama Korea dari layar LCD 27’. Ruang itu
16
memang jadi ruang serba guna: ruang tamu, ruang makan, ruang tivi, bengkel kerja, dan tempat menyimpan semua-mua kerajinan tangan dan kue-kue pesanan. Saat adzan magrib dari Mesjid Besar menggema, Bu Tachrin baru saja menyelesaikan satu lagi rangkaian anggrek yang dibuat dari sedotan putih besar. Dirapikannya gunting dan pekakas lain dalam kotak plastik agar Satrio, cucu terkecilnya tidak bisa menggapainya. Di balik kaca mata bingkai coklat yang sedikit menyamarkan gelayut-gelayut kulit menua, ia memperhatikan Satrio lalu lalang sambil membawa mainannya, mulut mungilnya sibuk mengunyah nasi yang baru saja disuapkan ibunya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, anak-anaknya membangun rumah dua tingkat ini untuk orang tua mereka. Walau prosesnya mencicil, putra-putrinya benar-benar membangun rumah itu dalam arti sesungguhnya: mengaduk semen, mengangkat batu bata, membuat pondasi, nembok, sampai mengecat. Bu Tachrin paham, anak-anaknya mewarisi semangat dan kerja keras orang tuanya. Bu Tachrin jadi ingat percakapan dengan salah seorang putrinya bertahun lalu... “Ibu, kenapa diam saja waktu kita disebut gembel? Mustinya ngomong apa kek.. Bela diri gitu,” protes putrinya saat salah seorang tetangga kaya mereka menjuluki keluarga Tachrin gembel. “Lho ya emang kenyataan gembel kok... Kenapa, marah? Kita sama dia memang gap-nya terlalu jauh. Tapi lihat saja, suatu saat dia bakal butuh kita.” Keadilan kehidupan berjalan dengan cara yang unik. Bahkan agar seseorang berlabel kaya harus ada orang yang dicap tak punya. Putrinya baru mengerti itu ketika suatu hari orang yang pernah menghina mereka datang meminta tolong untuk mempersiapkan acara lamaran putranya. Ternyata, jumawa yang dibangun Si Kaya itu luntur. Sejak saat itu, anak-anaknya terdidik untuk jadi orang-orang yang berdiri di atas kaki sendiri, menegakkan kepala tapi tetap menjaga kejujuran dan santun hati. Bu Tachrin bersyukur di tengah zaman yang berantakan seperti sekarang, anak-anaknya bisa menjadi manusia utuh. Mereka bisa mengenyam pendidikan yang layak sampai tingkat sarjana, bekerja, lalu berkeluarga. Kehidupan mereka tidak gemerlap tapi juga tak kekurangan. Bu Tachrin sendiri masih melekatkan prinsip srikandi dalam dirinya. Walaupun usianya sudah kepala tujuh, ia masih aktif – sangat aktif malah – untuk berkegiatan. Selain mengurusi katering dan pesanan kue-kue bersama putri sulungnya dari Pak Tachrin, ia masih membuat bunga-bunga plastik dari segala jenis sedotan. Ia akan membawanya saat menghadiri pameran-pameran. Ia juga rutin mengunjungi kawan-kawannya di Panti Jompo Waluya Sejati yang didirikan Ribka Tiptaning. Sebagian besar penghuninya adalah eks-Tapol. Saat-saat berkumpul itu adalah waktu para perempuan yang disisihkan sejarah ini mengenang masa lalu. Bu Tachrin sering mengingatkan agar mereka jangan terlalu larut, “Sudah... Kalau terus dipikirin, disesali, malah jadi penyakit. Bikin cepet mati!” Bukan hal yang mudah memang untuk membuat lupa apa yang mereka alami. Pun bagi Bu Tachrin. Terkadang saat malam, film hitam putih perjalanan yang dilaluinya berputar tanpa diminta. Teringat pula bertapa ia dulu menangispun tak mampu. Saat ini, saat ia yakin ia sudah ikhlas, malah ada desakan dalam dadanya yang membuat air matanya meleleh. Berhasil tidak menjadi gila bukan sekedar keajaiban tapi juga kerja keras. Maka dari itu Bu Tachrin berusaha menjaga kewarasan hasil kerja kerasnya itu dengan tetap produktif. Ia mulai menuliskan kisahnya dulu, ia bercita-cita punya biografi hidupnya sendiri. Dokter yang membantunya memulihkan kesehatannya setelah didiagnosis kena diabetes pernah berkata, “Biografi bukan hanya buat orang terkenal, bukan?” Ia harap tulisan itu bisa dihadiahkan kepada anak – cucunya. Ia ingin mereka mengakrabi kakekneneknya secara utuh sambil belajar melihat bagaimana rupa negeri yang mereka tinggali sekarang dari sisi yang mungkin mereka belum tahu.
17
Gayung bersambut, seorang kawan lamanya, Putu Oka Sukanta, menawarkannya terlibat dalam sebuah program penulisan kisah-kisah ’65. Kisah dari beragam pelaku sejarah ’65. Baginya, itu langkah nyata pemulihan nama baik yang sudah lama dijanjikan Pemerintah demi Pemerintah tapi tidak kunjung terwujud. Ya, Bu Tachrin sering mengutarakan dalam forum-forum diskusi tentang Hak Asasi Manusia dan Peristiwa ‘65 bahwa kompensansi pelurusan fakta pada dunia, bahwa mereka – korban ‘65’ – bukanlah penjahat, lebih berarti dibandingkan kompensansi materi. “Lagipula,” tegasnya “dari mana Negara punya duit untuk membayarnya?” *** Format getar telepon genggam beradu dengan benda keras mencipta suara berirama. Putri pertamanya menyodorkan telepon itu padanya. “Halo?” “Halo, Bu Tachrin?” “Iya, iya. Dengan siapa ya?” “Ini Puti, Ibu.” “Iya ya, Mbak Puti..” “Ibu, luangkan waktu ya 10 Februari nanti. Ada acara launching film Pak Putu di Goethe Haus. Masih lama sih, tapi saya booking Ibu nih dari sekarang, abis Ibu kan sibuk banget. Kalau Ibu bisa nanti tolong bantu jaga stand buku sama film ya.” “Ya, ya 10 Februari . Ya, nanti dicatat.” “Ok, nanti saya kabari lagi. Eh, saya kangen bolu kukus gula jawa buatan Ibu. Kalau pas lagi bikin, Ibu bawa ya? Pesenan khusus lho...” “Iya, iya, 10 Februari, Guethe, jagain stand film, terus bolu kukus gula jawa. Apa lagi, ‘Nduk?” “Heee.. ‘ndak itu saja. Makasih banyak. Sampai ketemu, Bu Tachrin.” Klik. ***
Pewawancara dan penulis transkrip : Puti Yassmina, Amangku Bhumi Penulis feature : Ibu Tachrin, Puti Yassmina, Amangku Bhumi
18