I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi dalam mengembangkan kehidupan ekonomi rakyat yang bertumpu pada mekanisme ekonomi pasar seimbang diarahkan dengan prinsip persaingan sehat, memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan nilai-nilai keadilan, sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja. Dalam rangka mendukung pembangunan berkelanjutan, maka pemerintah perlu menyediakan pemodalan untuk menunjang tumbuh kembangnya sektor usaha. Dalam hal ini terdapat beberapa mekanisme pemodalan yang dikembangkan, antara lain melalui perbankan dan pasar modal. Seperti diketahui bahwa sumber pemodalan melalui sektor perbankan sudah berkembang cukup pesat, tetapi tidak diikuti oleh berkembangnya sektor pasar modal. Namun demikian, hal ini menjadi peluang pasar cukup menarik. Perkembangan pasar modal secara nyata baru terjadi di awal tahun 2000 setelah melewati krisis moneter 1998 (www.bapepam.go.id, 2008). Sumber pemodalan yang mampu disalurkan melalui pasar modal tersebut sangat membantu menggerakkan ekonomi sektor riil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh, di sektor pertanian pada saat perusahaan perkebunan PT. Astra Agro Lestari melepas Sahamnya ke publik di tahun 2003, mampu menyerap dana 1,3 Trilyun rupiah yang digunakan untuk membuka lahan perkebunan sawit seluas 73.286 Ha, sehingga mampu menyerap tenaga kerja perkebunan 8.300 orang (www.kompascyber.com, 2003). Secara tidak langsung, pasar modal Indonesia yang terus berkembang tentu menyerap tenaga kerja yang besar. Para pekerja lantai bursa seperti broker,
2
pialang Saham, analis, tenaga pemasaran dan auditor terus bertambah jumlahnya setiap tahun. Disamping petugas kebersihan dan petugas keamanan, sehingga menjadi sinyal positif bagi tumbuhnya sektor perekonomian. Berkembangnya pasar Saham tentu tidak lepas dari peran investor yang menginvestasikan
dananya
pada
instrumen-instrumen
investasi
yang
diperdagangkan di bursa, antara lain Saham, Obligasi/surat hutang dan Reksadana. Jika dibandingkan dengan Deposito, tentunya instrumen investasi tersebut menjadi lebih menarik karena menawarkan tingkat pengembalian lebih tinggi. Pada Tabel 1 disajikan perbandingan beberapa jenis investasi tersebut. Tabel 1. Perbandingan Obligasi Pemerintah, Saham, Reksadana dan Deposito Kriteria
Saham
Jatuh tempo Tidak ada Kupon bunga Tidak ada
Deposito
Reksadana
Ada Ada
Ada Tidak ada
Tidak ada Tidak ada
Dividen Potensi capital gain Jaminan Pemerintah
Ada Ada
Tidak ada Tidak ada
Tidak ada
Setlement
T+3
Perdagangan di Pasar Sekunder
Dapat
Ada (maks Rp Tidak ada 100 juta dengan syarat T + 0 (dengan T + 7 konfirmasi sebelumnya) Tidak dapat Tidak dapat
Obligasi Pemerintah Ada Ada, dan di atas tingkat bunga Deposito Tidak ada Ada Ada (tanpa batasan dan tanpa syarat) OTC (sesuai kesepakatan), Bursa (T + 2) Dapat
Keterangan : T = hari kerja; OTC= over the counter (transaksi yang dilakukan broker lewat jaringan internet atau telepon
Investasi pada Saham, Deposito maupun Reksadana memiliki karakter yang sangat berbeda. Perbedaan tersebut terletak pada jangka waktu, karena Saham dan Reksadana merupakan instrumen investasi jangka panjang, sedangkan Deposito dan produk bank lain seperti Giro dan Tabungan merupakan instrumen
3
jangka pendek. Mengingat perbedaan jangka waktu tersebut, rate of return (laju pengembalian) dari Saham, Reksadana dan Deposito, serta Tabungan dan Giro juga berbeda. Pada Gambar 1, terlihat bahwa Reksadana memiliki laju pengembalian yang lebih tinggi dibandingkan produk bank seperti Deposito dan Tabungan. Dengan kondisi tersebut, maka Reksadana sangat diminati oleh investor.
Gambar 1.
Perbandingan Instrumen Investasi berdasarkan Rate of Return dan jangka waktu investasi (Bapepam, 2008).
Perkembangan Reksadana Reksadana mulai diperkenalkan di Indonesia ketika PT. Danareksa didirikan pada tahun 1976, dimana perusahaan ini dapat menerbitkan sertifikat yang dikenal dengan Sertifikat Danareksa 1 dan II. Setiap hari, harga dari unit Danareksa diumumkan dan didengar melalui siaran radio bersamaan dengan harga sembilan bahan pokok. Hal ini berlanjut dengan berdirinya sebuah Reksadana tertutup pada tahun 1995, yaitu PT BDNI Reksadana dengan menawarkan 600 juta Saham dengan nilai satu Saham Rp 500, sehingga total dana yang terkumpul Rp 300 miliar.
4
Berdirinya Reksadana ini merupakan cikal bakal semaraknya Reksadana di Indonesia. Pendirian Reksadana terus berkembang, dimana pada tahun 1996 berdiri 25 Reksadana terbuka dan 25 Reksadana ini dikelola oleh 12 manajer investasi. Menteri Keuangan memberikan Award kepada 12 manajer investasi tersebut atas pendirian Reksadana pada tahun 1996. Total Asset Reksadana yang dikenal dengan total Nilai Aktiva Bersih (NAB) Rp 2,8 triliun. Kemudian, total nilai aktiva bersih meningkat menjadi Rp 8 triliun pada Juni 1997. Peningkatan tersebut dikarenakan Reksadana mulai dikenal dan masyarakat merasakan tingkat pengembalian yang lebih baik dibandingkan dengan instrumen lainnya (Tabel 2). Tabel 2. Perkembangan Reksadana di Indonesia Jumlah Pemegang NAB Periode Reksadana Unit (Rp juta) Penyertaan 1996 25 2.441 1997 77 20.234 1998 81 15.482 1999 81 24.127 2000 94 39.487 2001 108 51.723 2002 131 125.820 2003 186 171.712 2004 246 299.063 2005 331 251.132 2006 355 202.991 2007 408 245.222 Sumber : Bapepam, 2008 (Rekapitulasi data).
2.782.323 4.916.605 2.992.171 4.974.105 5.515.954 7.942.206 46.613.833 69.477.720 104.037.824 29.415.787 50.869.193 59.602.645
Jumlah Unit Penyertaan 2.942.232.211 6.007.373.759 3.680.892.097 4.349.952.951 5.006.049.770 7.246.205.820 41.665.523.049 60.020.745.573 84.700.701.703 21.262.143.380 38.242.502.919 41.700.904.667
Krisis keuangan yang melanda Thailand, kemudian diikuti Indonesia dan dipicu kebijakan pemerintah yang memperbesar rentang bond dollar menjadi 12% pada tanggal 14 Agustus 1997, serta tingkat bunga mengalami kenaikan, sehingga masyarakat menarik dananya dari Reksadana dan di akhir tahun 1997 total NAB turun menjadi Rp 4,9 triliun. Tingkat bunga mengalami peningkatan sampai pada level 70% dan nilai tukar Dollar terhadap Rupiah juga meningkat sampai pada
5
level Rp 15.000, sehingga masyarakat melihat adanya kesempatan investasi yang memberikan tingkat pengembalian yang lebih besar pada Deposito dan total NAB mengalami penurunan Rp 3 triliun pada akhir tahun 1998. Reksadana mengalami pertumbuhan yang normal sampai pada akhir tahun 2001 dengan total NAB sebesar Rp 8 triliun dan jumlah Reksadana sebanyak 108 Reksadana. Perkembangan Reksadana terus bertambah dengan berbagai inovasi yang dilakukan manajer investasi. Para manajer investasi melakukan kerjasama dengan perbankan untuk menjual Reksadana, sehingga totalnya mengalami peningkatkan yang cukup tajam menjadi Rp 46,6 trillin pada akhir tahun 2002 dengan jumlah Reksadana sebanyak 131 Reksadana. Bila diperhatikan total aset Reksadana secara saksama, maka pada tahun 2002 terjadi peningkatan yang tajam dari Rp 7,9 triliun menjadi Rp 46,7 triliun. Peningkatan ini disebabkan terjadi penurunan tingkat bunga dari leve1 17,5% ke level 12%. Tingkat bunga terus mengalami penurunan membuat investor terus melakukan perubahan investasi, sehingga total NAB Reksadana mengalami peningkatan sampai Rp 104 triliun di akhir 2004. Pemerintah kembali menaikkan tingkat bunga, sehingga total NAB Reksadana mengalami penurunan sampai Rp 29 triliun. Penurunanan ini tidak terlepas juga terhadap rumor pajak dan Marked to Market harga Obligasi yang ada di Reksadana. Tetapi NAB kembali mengalami kenaikan karena penurunan tingkat bunga, sehingga NAB mencapai Rp 591 triliun. Tidak semua Reksadana mampu memberikan laju pengembalian yang tinggi, sehingga investor harus pandai dalam melakukan pilihan terhadap Reksadana yang akan memberikan keuntungan dalam jangka panjang.
6
Berdasarkan pada hal tersebut maka para akademisi dan praktisi pasar modal mencoba untuk melakukan pengukuran kinerja investasi Reksadana dan tipe-tipe portfolio lainnya yang dikelola secara profesional. Sebagaimana diketahui, dalam tahun-tahun pertama ilmu keuangan, konsentrasi para investor hanya tertuju pada pengukuran laju pengembalian suatu investasi sebagai indikasi seberapa baiknya investasi dilakukan. Pada tahun 1950-an hasil studi Markowitz (1952) dan Tobin (1958) menyediakan alat bagi para investor untuk mengukur risiko dengan menggunakan variabilitas return. Pada tahun 1960-an dan 1970-an para peneliti mengajukan beberapa alternatif pengukuran kinerja portfolio dengan berdasarkan pada Capital Asset Pricing Model (CAPM). Ukuran-ukuran baru yang ditawarkan meliputi dua faktor yang mempengaruhi kinerja, memasukkan komponen tingkat pengembalian (return) investasi dan juga tingkat risiko (risk) yang tepat. Diantara ukuran yang terkenal dan telah sangat umum digunakan dalam mengukur kinerja portfolio adalah indeks Sharpe (Sharpe, 1966), indeks Treynor (Treynor, 1965) dan Alpha Jensen (Jensen, 1968). Ukuran-ukuran kinerja tersebut secara mendasar sebenarnya mencoba untuk menentukan apakah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para profesional manajer dana telah memberikan tingkat pengembalian (return) tambahan terhadap dana yang dikelolanya dibandingkan dengan benchmark yang pasif atau portofolio yang menjadi benchmark yang tidak dikelola secara aktif. Ukuran-ukuran tradisional tersebut telah terbukti sangat berguna, namun sesungguhnya menghadapi permasalahan dalam menentukan halhal yang menjadi faktor utama dalam mengukur kinerja portofolio seperti dalam hal identifikasi benchmark yang tepat dan jika memasukkan faktor biaya-biaya.
7
Jika diamati perkembangan industri keuangan saat ini, pengukuran dan pembandingan kinerja portofolio yang dikelola secara profesional seperti Reksadana, telah menjadi isu yang sangat penting bagi para manajer dan investor. Hal demikian telah memberikan tekanan yang besar akan pentingnya suatu ukuran kredibel dalam upaya untuk mengukur dan memeringkatkan kinerja portofolio yang dikelola tersebut. Dengan demikian, evaluasi kinerja Reksadana dapat digunakan sebagai landasan bagi keputusan investasi investor atau menjadi benchmark bagi posisi kinerja Reksadana yang satu dengan yang lainnya. Jika ditelaah lebih lanjut, perkembangan Reksadana di Indonesia memiliki tren meningkat, baik dilihat dari jumlah Reksadana yang ada, jumlah investor, jumlah unit/Saham yang beredar dan NAB. Sebagai informasi, Reksadana sebagai bentuk portofolio yang dikelola secara profesional dan populer, serta diminati oleh masyarakat, sehingga penting untuk dilakukan studi tentang kinerja Reksadana di Indonesia. Ukuran kinerja Reksadana yang biasa digunakan atau disebut sebagai ukuran tradisional terkait dengan validitas, terutama dalam hal asumsi dasar CAPM. Selain itu, faktor yang diikutsertakan dalam ukuran tradisional hanya mencakup tingkat risiko (risk) dan tingkat pengembalian (return), maka masuk akal jika faktor-faktor lain juga dilibatkan, misalnya faktor biaya transaksi dan biaya informasi. Salah satu ukuran yang telah dikembangkan oleh para peneliti untuk mengatasi hal tersebut adalah ukuran dengan menggunakan data envelopement analysis (DEA) yang secara mendasar berusaha untuk mengukur tingkat efisiensi Reksadana. Sejak diperkenalkannya pertama kali oleh Charnes, Cooper dan Rhodes pada tahun 1978, para peneliti dalam sejumlah bidang secara cepat menerima metode
8
tersebut dengan melihat keunggulan dan kemudahan metodologi yang digunakan (Greogoriou, 2003). DEA merupakan metodologi non-parametrik yang didasarkan pada linear programming dan digunakan untuk menganalisis fungsi produksi melalui suatu pemetaan frontier produksi (Andersen and Petersen, 1993). DEA telah banyak digunakan untuk dalam berbagai bidang dimana metode ini berakar dari bidang manajemen operasi yang digunakan untuk memberikan ukuran relatif efisiensi (Andersen and Petersen, 1993). DEA tidak membutuhkan model teoritik seperti CAPM atau model Arbitrage Pricing Theory (APT) sebagai benchmark dan mengukur kinerja relatif suatu Reksadana terhadap Reksadana yang optimal atau paling efisien dalam contoh. DEA memperbolehkan hubungan antara multiple inputs dan outputs yang digambarkan dalam kombinasi paling efisien dari input untuk menghasilkan output tertentu dan dapat dapat digunakan dalam menaksir kinerja relatif setiap unit yang membuat keputusan untuk mempengaruhi kinerja atau efisiensi. Pembuat keputusan biasanya disebut sebagai decision making units (DMU). DEA dapat digunakan untuk membantu investor dan manajer dalam proses pembuatan keputusan. Input dan output dapat memiliki unit ukuran yang sama tanpa membutuhkan a priori tradeoff antara keduanya (Rouse, 1995). Secara mendasar, DEA membangun suatu efficient frontrier yang terdiri dari kombinasi liniar Reksadana yang efisien dari contoh yang digunakan dan menentukan penyimpangan dari efficient frontier, yang merepresentasikan ketidakefisienan kinerja. Penyimpangan dari efficient frontier menunjukkan ketidakefisienan manajerial atau lainnya yang merupakan fungsi dari kegagalan untuk meminimalisasi input dan atau memaksimalkan output.
9
Menurut Reichheld and Teal (1996), DEA merupakan teknik yang superior jika dibandingkan dengan teknik lain seperti regresi, karena yang diukur oleh DEA adalah kinerja relatif bukan kinerja rataan dan tidak dipengaruhi oleh permasalahan multikolinieritas yang berhubungan dengan model-model regresi berganda. Dengan menggunakan DEA dapat dilakukan pemeringkatan suatu set Reksadana dari yang paling efesien hingga paling tidak efisien dan menentukan bagaimana kinerja Reksadana terhadap basis relatifnya. Hal ini dapat memberikan informasi Reksadana mana yang paling baik jika dibandingkan dengan kelompok yang digunakan. Hal lainnya, DEA dapat memberikan informasi faktor-faktor apakah yang menyebabkan ketidakefisienan Reksadana. Dengan demikian, hal tersebut dapat digunakan oleh manajer Reksadana untuk memperbaiki ketidakefisienan Reksadana atau berusaha untuk menandingi Reksadana yang efisien, sehingga Reksadana yang dimaksud menjadi efisien. Data yang diperoleh menurut tingkat profitabilitas maupun efisiensi dari Reksadana tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan, baik bagi investor maupun pengelola Reksadana. Bagi investor dapat menjadi landasan dalam menentukan prioritas investasinya sedangkan pengelola Reksadana mampu menentukan strategi terbaik dalam hal pemasaran produknya, karena dengan strategi pemasaran yang jitu, suatu produk investasi yang ditawarkan dapat menarik perhatian investor lebih banyak.
1.2. Perumusan Masalah Model-model penilaian profitabilitas Reksadana tradisional memiliki beberapa keterbatasan utama dalam aplikasinya, diantaranya penggunaan peubah
10
proksi atau benchmark dari portofolio pasar teoritis yang tidak tepat, pengukuran profitabilitas Reksadana lebih untuk periode jangka panjang daripada jangka pendek, validitas teori CAPM dan adanya Reksadana yang memiliki profitabilitas secara persisten dalam jangka panjang. Selain itu, penilaian profitabilitas Reksadana hanya mengikutsertakan satu ukuran risiko atau mengasumsikan fungsi hubungan tertentu untuk berbagai macam ukuran Reksadana. Diantara ukuran-ukuran profitabilitas tradisional, tidak jelas mana yang merepresentasikan ukuran profitabilitas yang terbaik, sehingga belum ada konsensus selama ini, maka masing-masing ukuran tersebut dikatakan sahih dalam beberapa asumsi, tetapi juga diungguli oleh indikator lain dalam konteks berbeda, atau untuk investor berbeda. Model penilaian profitabilitas didasarkan pada metode parametrik seperti penilaian dengan analisis regresi yang mengaproksimasi efisiensi relatif terhadap profitabilitas rataan. Selain itu, analisis regresi tidak mampu mengidentifikasi tiap-tiap Reksadana, selain apakah titik yang diamati berada di atas atau di bawah nilai regresi dan hasil-hasil yang diperoleh dari analisis regresi tidak dapat memberikan masukan kepada manajer investasi tentang suatu pengetahuan bagaimana meningkatkan profitabilitasnya. Hal lain yang utama dalam studi profitabilitas Reksadana adalah ukuran profitabilitas tradisional hanya mempertimbangkan komponen risk-return, tidak mempertimbangkan komponen lainnya, seperti biaya-biaya yang dibutuhkan oleh suatu kegiatan investasi di Reksadana dan bahkan sesungguhnya keseluruhan return investasi dipengaruhi oleh biaya-biaya tersebut. Hal inilah yang mendorong diperlukannnya suatu ukuran yang dapat memperhitungkan pengaruh dari biaya-
11
biaya tersebut. Secara teori, kelemahan itu dapat ditutup dengan melakukan perhitungan efisiensi dari pengelolaan Reksadana yang dimaksud. Dengan menghitung efisiensi, diperoleh suatu ukuran komprehensif dalam menduga Reksadana apa yang menghasilkan keuntungan jangka panjang. Namun demikian perbedaan karakter dari masing-masin Reksadana perlu diidentifikasi. Tidak semua Reksadana dapat memperoleh perlakuan yang sama, artinya dalam mengukur tingkat profitabilitas dan efisiensinya harus didasarkan pada patokan dari jenis investasi yang diambil. Mengingat pertumbuhan Reksadana di Indonesia yang begitu cepat, maka diperlukan pengujian tingkat profitabilitas dan efisien pada jenis Reksadana yang paling diminati untuk dijadikan benchmark.
Gambar 2. Grafik persentase kepemilikan Reksadana di Indonesia pada tahun 2006 dan 2008 (Bapepam, 2008). Berdasarkan Gambar 2, terlihat grafik persentase kepemilikan Reksadana pendapatan tetap di Indonesia pada tahun 2006 dan tahun 2008 berturut-turut 47% dan 41%. Dapat disimpulkan bahwa Reksadana yang paling diminati di Indonesia sepanjang tahun 2006 - 2008 adalah Reksadana pendapatan tetap (Fixed Income Fund). Dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang telah diuraikan sebelumnya, maka timbul pertanyaan :
12
1.
Reksadana pendapatan tetap apakah yang mampu menghasilkan tingkat return tinggi dengan risiko sesuai dan tetap menguntungkan dalam jangka panjang ? Namun jika hasil pengukuran tersebut telah diperoleh, tetap akan membingungkan investor maupun pengelola Reksadana, karena pengukuran tingkat profitabilitas dan efisiensi adalah dua ukuran berbeda. Profitabilitas lebih
ditujukan
menghasilkan
untuk
mengukur
keuntungan,
sejauhmana
sedangkan
efisiensi
Reksadana adalah
tersebut
sejauhmana
pengelolaan Reksadana tersebut mampu mereduksi biaya-biaya yang tidak diperlukan sehingga dapat berjalan dengan baik dan efisien. Jika kedua hal tersebut dikombinasikan, maka diperoleh Reksadana superior, sehingga pertanyaannya sebagai berikut : 2.
Apakah
dapat
dilakukan
sebuah
penggabungan
hasil
perhitungan
profitabilitas maupun efisiensi Reksadana pendapatan tetap di Indonesia, sehingga diperoleh peringkat Reksadana terbaik ? Apabila pertanyaan tersebut dapat dijawab, tentunya hasil ini sangat membantu investor agar tidak kebingungan dalam menentukan Reksadana pendapatan tetap apa yang layak untuk diinvestasikan. Sedangkan bagi pengelola Reksadana menjadi ukuran kesuksesan dalam mengelola produknya. Namun demikian, hal ini tidak dapat menjadi jaminan kesuksesan dari segi pemasarannya. Kesalahan yang umum dilakukan adalah ketidaktepatan dalam membidik calon konsumen. Reksadana
adalah
produk
yang
unik
dan
berpotensi
dalam
menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari Deposito yang ditawarkan
13
bank. Tetapi tidak semua calon investor mengetahui hal ini. Kurangnya informasi dan kekhawatiran investor terhadap risiko yang ditanggung telah menjadi persoalan yang harus dihadapi pengelola Reksadana. Hal tersebut dapat disiasati dengan menerapkan strategi pemasaran yang tepat, sehingga pertanyaan yang harus dijawab adalah : 3.
Apakah dapat disusun suatu strategi pemasaran yang tepat bagi Reksadana pendapatan tetap yang memiliki prospek ekonomi di masa depan berdasarkan data profitabilitas dan efisiensinya ?
Berdasarkan ketiga pertanyaan tersebut, maka tesis ini dilatarbelakangi oleh minat terhadap produk pasar modal terutama Reksadana dan mencoba menggabungkan konsep manajemen pemasaran dengan perhitungan keuangan, serta hal lainnya sebagai sumber informasi yang berguna bagi investor dalam membuat keputusan investasi dan perumusan strategi pemasaran terbaik bagi para pengelola Reksadana.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan tiga pertanyaan utama yang diajukan untuk memberikan alternatif metode pengukuran kinerja yang berhubungan dengan tingkat profitabilitas dan efisiensi Reksadana pendapatan tetap di Indonesia menjadi sumber informasi bagi investor maupun bagi pengelola Reksadana untuk menetapkan strategi pemasaran yang terbaik bagi produk investasinya. Dari hal tersebut dapat disusun tujuan penelitian berikut : 1. Mengidentifikasi
Reksadana
Pendapatan
Tetap
yang
paling
menguntungkan di Indonesia pada periode 2006-2008 dari sisi
14
profitabilitas dengan menggunakan Metode Sharpe, Treynor, Jensen dan efisiensinya dengan Metode DEA. 2. Melakukan analisa penggabungan hasil perhitungan profitabilitas dan efisiensi untuk menentukan peringkat Reksadana pendapatan tetap terbaik di Indonesia. 3. Menyusun strategi pemasaran produk Reksadana pendapatan tetap, terutama yang memiliki prospek ekonomi bagi investor.