I.
PENDAHULUAN Al-Qur’an merupakan sumber acuan nilai, sikap serta perilaku umat islam. Sebagai acuan,
Al-Qur’an harus dipahami terlebih dahulu, baru kemudian diamalkan. Upaya pemahaman AlQur’an tersebut dapat dilakukan berbagai cara, melalui ilmu asbabun nuzul, munasabah, serta lainnya. Jika asbabun nuzul mengaitkan satu atau sejumlah ayat dengan konteks sejarahnya, maka fokus perhatian ilmu munasabah antar ayat dan surat bukan pada kronologi historis dari bagianbagian teks, tetapi aspek pertautan antar ayat dan surat menurut urutan teks. Bagi para mufassir, ilmu munasabah lebih penting daripada ilmu asbab nuzul. Subhi as Salih mengatakan, wajar jika penjelasan tentang munasabah didahulukan dari asbab nuzul, mengingat begitu banyak manfaat yang timbul dari ilmu munasabah. Apalagi kaidah tafsir mengatakan, ukuran dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan penyebab turunnya ayat yang bersifat khusus. Munasabah adalah ilmu yang baru dibandingkan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya. Tidak banyak mufassir yang menggunakan ilmu ini di dalam kitab tafsir mereka, karena ilmu ini dipandang sulit dan rumit. Selain itu, ilmu ini juga kurang diminati untuk dikembangkan. Seorang muslim tidak dapat menghindarkan diri dari keterikatanya dengan Al-Qur’an. Seorang muslim mempelajari Al-Qur’an tidak hanya mencari kebenaran ilmiah, tetapi juga mencari isi dan kandungan Al-Qur’an.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah Munasabah itu? 2. Apa macam dan fungsi Munasabah ? 3. Apa Urgensi Munasabah ? 4. Bagaimana cara mengetahui Munasabah ? 5. Bagaimana pandangan ulama tentang Munasabah ?
1
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Munasabah Secara etimologi, munasabah semakna dengan mushakalah dan muqarabah, yang berarti serupa dan berdekatan. Secara istilah, munasabah berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat Al-qur’an. Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam AsSuyuti, mendefinisikan munasabah itu kepada ‘ Keterkaitan ayat-ayat Al-qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat Al-qur’an antara satu dengan yang lain”.1 Berdasarkan kajian Munasabah , ayat-ayat Al-qur’an dianggap tidak terasing antara satu dari yang lain. Ia mempunyai keterkaitan, hubungan, dan keserasian. Hubungan itu terletak antara ayat dengan ayat, antara nama surah dengan isi surah, awal surah dengan akhir surah, antara kalimat-kalimat yang terdapat dalam setiap ayat, dan lain sebagainya. Tokoh yang pertama sekali melakukan kajian terhadap ilmu munasabah ini adalah Abu Bakr An-Naysaburi. Selain darinya, terdapat pula Abu ja’far bin zubair dengan karyanya” Al –Burhan fi Munasabah Tartib Suwar Al-Qur’an, Burhanudin Al-Biqa’I dengan karyanya “Nuzum Adh-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar” dan As-Suyuti dengan karyanya” Tanasuq Adh-Dhurar fi Tanasub As-Suwar “. 2. Macam – macam Munasabah Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokan munasabah dan jumlahnya, hal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Chaerudji A. Chalik (‘Ulum Al-Qur’an,2007: 110 ) munasabah dapat dilihat dari dua segi, yaitu sifat dan materinya. 1) Sifat 1
Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, Bandung:2011.hal 69
2
Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua,yaitu : Zhahir Al-irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama. Misalnya, dapat kita cermati ayat 1 dan 2 surat Al- Isra : )1 ير ُ ُ ص ِ ار ْكنَا َح ْولَهُ ِلنُ ِر َيهُ ِم ْن آ َ َياتِنَا ِإنَّه ه َُو الس َِّمي ُُ ْال َب َ صى الَّذِي َب َ س ْب َحانَ الَّذِي أَس َْرى ِب َع ْب ِد ِه لَي اًْل ِمنَ ْال َمس ِْج ِد ْال َح َر ِام ِإلَى ْال َمس ِْج ِد ْاْل َ ْق Artinya: “ Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (17: 1) َاب َو َجعَ ْلنَاهُ ُهداى ِلبَنِي إِس َْرائِي َل أ َ ََّّل تَت َّ ِخذُوا ِم ْن د ُونِي َو ِك ا )2 يًل َ سى ْال ِكت َ َوآَت َ ْينَا ُمو Artinya: “Dan Kami berikan kepada Musa Kitab (Taurat) dan Kami jadikan Kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman), "Janganlah kamu mengambil penolong selain aku.” (17: 2)
Munasabah antara kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu bahwa kedua Nabi ( Muhammad Saw dan Musa a.s diangkat oleh Allah Swt sebagai Nabi dan Rasul, dan keduanya di Isra’kan. Nabi Muhammad dari Masjid Haram ke Masjid Aqsa, sedangkan Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut ddalam keadaan ketakutan menuju Madyan. Khafiy Al- irtibath, yaitu persesuaian atau kaitan yang samar antara ayat yang satu dengan ayat lain sehingga tidak tampak adanya hubungan antar keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat / surah itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di Athafkan kepada yang lain, maupun karena yangsatu bertentangan dengan yang lain. Misalnya dapat kita lihat surah Al Baqarah ayat 189 dan 190. Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah ketika waktu haji umat islam dilarang 3
perang, tetapi jika umat islam diserang lebih dulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walaupun pada musim haji. 2) Materi Munasabah dari segi materinya, terbagi menjadi dua, yaitu munasabah antar ayat dan munasabah antar surah. a) Munasabah antar ayat Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi pertama di athaf-kannya ayat yang satu pada ayat yang lain, kedua tidak di athaf-kanya, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontadiksi, kelima Dipindahkanya satu pembicaraan ke pembicaraan yang lain. “ Kitab ( Al-Quran ) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, ( yaitu ) mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang kami berikankepada mereka” ( Q.S AlBaqarah: 2 dan 3 ) Munasabah antara kedua ayat tersebut adalah ayat pertama menjelaskan peranan Al-Qur’an dan hakikatnya bagi orang bertakwa, sedangkan ayat kedua menjelaskan karakteristik dari orang-orang bertakwa. Munasabah antara ayat mencakup beberapa bentuk, yaitu: Munasabah antara nama surah dan tujuan turunnya. Setiap surah mempunyai tema pembicaraanyang menonjol dan itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al baqarah (2), dan surat yusuf ( 18 ), surah An Naml ( 27 ), dan surah Al jinn ( 72 ). Seperti halnya dapat dilihat pada firman Allah ( Q.S Al-Baqarah ayat 67-71 ). “Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.’ Mereka berkata, ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?.’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya menjadi seorang dari orang-orang yang jahil.’ [67]. Mereka menjawab, ‘Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami, agar dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu?.’ Musa menjawab, ‘sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi yang tidak tua dan tidak muda; 4
pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.’ [68]. Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami apa warnanya.’ Musa menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’ [69]. Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Rabb-mu untuk kami agar Dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk.’ [70]. Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya.’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya.’ Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.”[71]. {Q,.s.al-Baqarah:67-71} Cerita yang ada pada ayat tersebut adalah tentang lembu betina ( Al baqarah ) yang selanjutnya dijadikan nama surah, yaitu Al Baqarah ( surah kedua dalam Al-Qur’an ). Cerita tersebut mengandung inti pembicaraan tentang kekuasaan Allah yang membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan surah ini berkaitan dengan kekuasaan tuhan dan keimanan pada hari kemudian, sedangkan salah satu bukti keimanan orang–orang dalam surah itu harus ditunjukan dengan sikap taat melaksanakan perintah Allah dengan ikhlas melalui rasul-Nya , yaitu Musa a.s, antara lain dengan penyembelihan sapi. Munasabah antar bagian surah Munasabah antar bagian surah ( ayat atau beberapa ayat ) sering berbentuk korelasi Al-tadhadadh ( perlawanan ) seperti terlihat pada firman Allah berikut ini :
“ Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam diatas ‘Arsy. Dia yang mengetahui apa yang masuk kedalam bumi dan 5
apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari lagit dan apa yang naik kesana. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Menglihat apa yang kamu kerjakan “. (Q.S Al-Hadid:4) Pada ayat tersebut terdapat kata “ yaliju”( masuk ) dan kata “yakhruju”( keluar ), serta kata “yanzilu” ( turun ) dan kata “ ya’ruju” (naik ) yang memiliki korelasi perlawanan.Contoh lainnya adalah kata Al-adzab dan ar-rahmah dan janji baik setelah ancaman. Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang terlihat dengan jelas umumnya mengunakan pola ta’kid ( penguatan ), tafsir ( penjelasan ), I’tiradh ( bantahan ), dan tasydid ( penegasan ). Munasabah antar ayat yang menggunakan pola ta’kid, yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Misalnya pada firman Allah pada bacaan Basmalah dan Q.S Al-fatihah 1dan 2. Ungkapan rabb al’alamin pada ayat kedua memperkuat kata Al-rahman dan Al-rahim pada ayat pertama. Munasabah antar ayat menggunakan pola tafsir apabila makna satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya, misalnya pada firman Allah Q.S Al Baqarah : 2-4. Kata “muttaqin” pada ayat di atas ditafsirkan maknanya oleh ayat ketiga dan keempat. Dengan demikian, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-hal gaib, mengerjakan shalat, menafkahkan sebagai rezeki, beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab sebelumnya. Munasabah antar ayat menggunakna pola I’tiradh apabila terdapat satu kalimat atau lebih yang tidak ada kedudukannya dalam I’rab ( struktur kalimat ), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan dengan makananya. Misalnya,pada firman Allah pada Q.S An-Nahl: 57. Kata subhanallah pada ayat di atas merupakan bentuk I’tiradh dari dua ayta yang mengantarnya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah. Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya. 6
Dalam surah Al Baqarah ayat 1 sampai 20, misalnya, Allah memulai penjelasanya tentang kebenaran dan fungsi Al-Qur’an bagi orang-orang bertakwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yaitu mukmin, kafir, dan munafik. Munasabah antara Fashilah ( pemisah ) dan isi ayat Munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya memantapkan (tamkin ) makna yang terkandung dalam ayat. Misalnya di dalam surat (Al –Naml ayat 80)
Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang. Kalimat idza wallau mudbirin merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli. Munasabah antara awal dengan akhir surah yang sama Munasabah ini arti bahwa awal suatu surah menjelaskan pokok pikiran tertentu, lalu pokok pikiran ini dikuatkan kembali di akhir surah ini. Misalnya terdapat pada surah Al Hasyr ayat 1 dan 24. “Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. “ ( Ayat 1 ) “Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”( Ayat 24 ) Munasabah ini terletak dari sisi kesamaan kondisi yaitu segala yang ada baik di langit maupun di bumi menyucikan Allah sang pencipta keduanya.
7
b) Munasabah antar surah Munasabah antar surah tidak lepas dari pandangan holistik Al Qur’an yang menyatakan Al Qur’an sebagai “satu kesatuan “ yang “bagian-bagianya strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munasabah antar surah dimulai dengan memposisikan surah Al fatihah sebagai umm Al-kitab ( induk Al Qur’an ), sehingga penempatan surah tersebut sebagai surah pembuka adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi Al-Qur’an. Penerapan munasabah antar surah bagi surah Al fatihah dengan surah seseudahnya atau bahkan keseluruhan surah dalam AlQur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini. Surah Al fatihah menjadi umm Al kitab , sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum , yang dari masalah pokok itu berkembanglah sistem ajaran islam yang sempurna melalui penjelasan ayta-ayat dalam surah-surah setelah surah Al fatihah ayat 1-3 surah Al fatihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dialah penguasa alam semesta dan hari akhir, yang penjelasan terperincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surah Al Qur’an. Salah satunya adalah surah Al Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga Al Qur’an. Ayat 5 surah Al fatihah ( ihdina Al – shirath Al mustaqim ) mendapatkan penjelasan lebih terperinci tentang apa itu “jalan yang lurus “ di permulaan surah Al Baqarah ( Alim, Lam, Mim, Dzalika Al kitabu la raiba fih, hudan li Al-Muttaqin ).Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surah Al fatihah dan teks dalam surah Al Baqarah berkesusaian ( munasabah ).
3. Fungsi Munasabah Sebagaimana asbab an-nuzul, munasabah sangat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad ‘Abdullah Darraz berkata: “Sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memerhatikan segala permasalahannya.2
2
Abdul Djalal. Ulumul Qur’an.surabaya
8
Di samping itu, para ulama’ bersepakat bahwa Al-Qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengantung bermacam-macam hukum karena sebab yang berbeda-beda, sesungguhnya memiliki ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab Nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa mewakilinya. Berdasarkan prinsip itu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika tidak ada asbab An-Nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah. Lebih jauh lagi, kegunaan mempelajari Ilmu Munsabah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan relevansi antara satu bagian dan bagian lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam Surat Al-Baqorah ayat 189.
Mengetahui atau persambungan atau hubungan antara bagian Al-Qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
Dapat diketahui mutu dan tingkat ke-balaghah-an bahasa Al-Qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau ayat dengan kalimat atau ayat yang lain.
4. Urgensi Munasabah Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surah merupakan urutan – urutan taukify. Keseluruhan teks dalam Al Qur’an merupakan kesatuan struktural yang bagian – bagiannya saling baerkaitan. Tentu untuk melakukan pembacaan holistik pembaca Al Qur’an tersebut membutuhkan metodelogi dan pendekatan yang memadai. Untuk itu perlu dipikirkan metode dan pendekatan dalam ilmu munasabah. Ilmu munasabah Al Qur’an sangat penting dikuasai dalam menafsirkanya. Dimana ia sangat membantu muffasir dalam memahami dan mengeluarkan isi kandungan Al Qur’an.Memahami
Al
Qur’an
dengan
bantuan
ilmu
munasabah
dapat
berarti
menginstinbatkan makna ayat sesuai dengan konteksnya.Tanpa memperhatikan aspek munasabah, mungkin akan terjadi pemahaman di luar konteks ayat atau bahkan kekeliruan
9
dalam memahaminya, karena pada dasarnya Al Qur’an merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Baik antar ayat maupun antar surat, Ayat Al Qur’an sendiri banyak bercereti mengenai umat
umat terdahulu, baik
peristiwa – peristiwa yang dialaminya maupun kewajiban – kewajiban yang pernah dibebankan pula pada mereka. Jadi, jika suatu ayat dipelajari tanpa melihat hubungan dengan ayat lainya, maka dimungkinkan akan terjadi penetapan hukum yang pada dasarnya hanya dibebankan pada umat- umat sebelum Nabi Muhammada SAW.
5. Cara mengetahui munasabah Para ulama menjelaskan bahwa pengetahuan tentang munasabah bersifat ijtihadi. Artinya, pengetahuan tentangnya ditetapkan berdasarkan ijtihad karena tidak ditemukan riwayat, baik dari Nabi maupun para sahabatnya. Oleh karena itu, tidak ada keharusan mencari munasabah pada setiap ayat. Alasannya, Al-Qur’an diturunkan secara berangsurangsur mengikuti berbagai kejadian dan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, terkadang seorang musafir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri. Dalam hal ini, Syekh ‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam berkata: “Munasabah adalah sebuah ilmu yang baik, tetapi kaitan antar kalam mensyaratkan adanya kesatuan dan keterkaitan bagian awal dengan bagian akhirnya.3 Dengan demikian, apabila terjadi pada berbagai sebab yang berbeda, keterkaitan salah satunya dangan lainnya tidak menjadi syarat. Orang yang mengaitkan tersebut berarti mengada-adakan apa yang tidak dikuasainya. Kalaupun itu terjadi, ia mengaitkannya hanya dengan ikatan-ikatan lemah yang pembicaraan yang baik saja pasti terhindar darinya, apalagi kalam yang terbaik. Untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam Al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. As-Suyuthi menjelaskan ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah ini, yaitu: Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungan atau tidak. 3
Khadar M Yusuf. Studi Alquran. Jakarta: 2009
10
Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
6. Pandangan ulama tentang Munasabah Dalam menyikapi munasabah, para ulama terbagi ke dalam dua golongan. Pertama, golongan
yang
tertarik
dengan munasabah,
bahkan
sebagian
dari
mereka
mengembangkannya. Kedua, golongan yang tidak tertarik dan menganggap munasabah tidak perlu dikaji. Golongan pertama diwakili oleh Abu Bakar al-Nisabury, Fakhrudin al-Razi, Jalaluddin al-Suyuthiy, ibn al-Arabiy , Izzuddin ibn Abdis Salam, dan yang lainnya.Salah satu bentuk perhatian Abu Bakar al-Nisabury adalah dengan selalu mempertanyakan alasan urutan ayat dan surat dalam al-Quran; mengapa ayat ini diletakan setelah ayat ini atau mengapa surat ini disimpan sebelum surat yang ini. Ia sering mengkritik ketidak tahuan para ulama Bagdad terhadap alasan urutan ayat dan surat tersebut. Fakhrudin al-Razi seorang ulama yang sangat peduli terhadap munasabah, baik munasabah antar ayat atau antar surat. Ia pernah memberikan apresiasi terhadap surat al-Baqarah dengan mengatakan bahwa “barang siapa yang menghayati dan merenungkan bagian-bagian dari susunan dan keindahan urutan surat ini, maka pasti ia akan mengetahui bahwa al-Quran itu merupakan mukjizat lantaran kefasihan lafal-lafalnya dan ketinggian mutu maknamaknanya.” Jalaluddin al-Suyuthiy, salah seorang pengarang Tafsir Jalalain, mengatakan bahwa: Ilmu munasabah adalah ilmu yang mulia, sedikit sekali para ahli tafsir yang menaruh perhatian pada ilmu tersebut. Hal ini disebabkan karena sangat halusnya ilmu tersebut. Orang yang paling sering mengungkap kannya adalah Imam Fakhruddin. Ia mengatakan dalam tafsirnya, banyak sekali bagian-bagian halus dari al-Quran yang tersimpan dalam susunan ayat dan hubungan-hubungannya. Ibn al-Arabiy menjadi pendukung munasabah karena menghubungkan munasabah dengan kedalaman makna al-Quran dari sisi sastra dan keindahan bahasa. Sehingga ia pernah menegaskan bahwa “hubungan ayat-ayat al-Quran satu sama lain, seperti kita yang satu, tersusun rapi maknanya dan teratur bentuk katanya, merupakan ilmu yang 11
hebat, tidak ada yang menemukannya kecuali orang-orang yang alim yang dapat menguraikan hubungan itu dalam surat al-Baqarah.” Izzuddin ibn Abdis Salam mengakui adanya munasabah dalam al-Quran, namun ia melarang para mufasir mencari munasabah bagi setiap ayat, karena al-Quran turun secara berangsur-angsur berdasarkan peristiwa yang terjadi. Baginya, kadangkala seorang mufasir dapat menemukan hubungan antara ayat dan ada kalanya ia tidak dapat menemukannya. Oleh karena itu tidak perlu memaksakan mencari korelasi ayat, bagi ayat-ayat yang tidak ditemukan korelasinya. Golongan ulama yang menolak adanya munasabah dalam al-Quran diwakili oleh Ma’ruf Dualibi. Ia paling keras menentang menggunakan munasabah untuk menafsirkan ayat-ayat dan surat-surat dalam al-Quran. Ia mengatakan, ‘maka termasuk usaha yang tidak perlu dilakukan adalah mencar-cari hubungan di antara ayat-ayat dan surat-surat alQuran.’ Karena menurutnya, “al-Quran dalam berbagai ayat yang ditampilkannya hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat prinsip (mabd’a) dan norma umum (kaidah) saja. Dengan demikian tidaklah pada tempatnya bila orang bersikeras dan memaksakan diri mencari korelasi (tanasub) antara ayat-ayat dan surat-surat yang bersifat tafshil.”Mahmud Syaltut seorang ulama kontemporer, kurang setuju dengan analisis munasabah dan menolak menjadikan munasabah sebagai bagian dari ilmu-ilmu al-Quran. Ia tidak setuju dengan mufasir yang menggunakan munasabah untuk menafsirkan al-Quran. IV
KESIMPULAN Ilmu munasabah adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk mengetahui hubungan makna maupun arti Al-Quran dari kalimat, ayat dan surah yang berhubungan dengan awal maupun akhir surah. Ilmu munasabah di perluhkan guna untuk menghindari pemahaman makna dalam Al-Quran yang tidak sesuai dengan apa yang di maksud atau tujuan dari turunya ayat tersebut. Sehingga perluh pemahaman khusus untuk mengetahui kandungan ayat, kalimat maupun surat tersebut. Di dalam Al-Quran terdapat banyak sekali kata-kata amaupun kalimat yang terlihat ringan di baca akan tetepi memiliki nilai yang tinggi dari segi diksi yang indah, sehingga apabila orang awam yang membaca akan menimbulkan prespektif yang berbeda saat memaknai isi Al-Quran yang ia baca tanda di dasari ilmu munasabah.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal.2008. Ulumul Qur’an.Surabaya:Dunia Ilmu Acep Hermawan.2011.Ulumul Qur’an.Bandung : Remaja Rosdakarya Khadar M Yusuf.2009. Studi Alquran. Jakarta: Amzah
13