I PENDAHULUAN
Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesa Penelitian dan (1.7) Waktu dan Tempat Penelitian. 1.1. Latar Belakang Penelitian Pewarna memegang peranan penting dalam meningkatkan daya tarik suatu produk pangan. Pewarna merupakan ingridient penting dalam beberapa jenis makanan seperti confectionary, dessert, snack,dan minuman ringan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak
sedang dipandang (Winarno,2004).
Sedangkan
menurut Eskin (1979) dalam Widhiana 2000, warna dapat menentukan 45 % dari keseluruhan mutu makanan. Pada mulanya, sumber warna berasal dari alam seperti binatang, sayuran dan buah-buahan. Diduga makanan mula-mula diwarnai adalah makanan yang digunakan
untuk
menghilangkan
upacara
ritual
keagamaan
yang
perasaan monoton dari makanan biasa,
dimaksudkan
untuk
kemudian akhirnya
digunakan untuk tujuan komersil dan untuk manipulasi makanan. Sejak zaman dahulu orang telah terbiasa menggunakan pewarna alami untuk makanan seperti daun suji untuk warna hijau, gula merah untuk warna coklat, kunyit untuk warna kuning dan daun jati untuk warna merah (Widhiana, 2000).
1
2
Menurut Henry (1996) dalam Dharmawan (2009) Zat warna makanan dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu zat warna alami, zat warna identik, dan zat warna sintetik. Zat warna sintetik umumnya bersifat lebih stabil, lebih cerah, dan lebih bervariasi. Sebaliknya zat pewarna alami memiliki sifat yang kurang stabil, kurang cerah, dan kurang bervariasi. Sampai saat ini penggunaan pewarna sintetis begitu pesat digunakan pada makanan (Dharmawan,2009). Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat dan trend kembali ke alam maka pewarna alami semakin diminati. Pewarna alami dapat ditemui pada berbagai jenis tanaman dan hampir tidak membahayakan kesehatan. Bagian tanaman yang memiliki pigmen dan bisa dimanfaatkan sebagai pewarna makanan adalah bagian buah, bunga, dan batang. Selain berfungsi mewarnai produk, pewarna alami ini juga berfungsi sebagai flavour, antioksidan, antimikroba, dan fungsi-fungsi
lainnya
(Winarno,2004).
Tanaman
yang
potesial dimanfaatkan
sebagai pewarna alami adalah buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.). Buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) merupakan tanaman buah dalam kelompok Raspberry, memiliki subgenus Malachobatus dan merupakan salah satu Raspberry yang banyak tersebar di hutan gunung Indonesia. Meskipun memiliki rasa yang tidak terlalu manis, namun buahnya berwarna merah
dan telah
dimanfaatkan atau dikomersialisasikan oleh masyrakat Indonesia, khusunya di daerah Cibodas, Cipanas Kabupaten Cianjur. Selain sebagai buah, jenis ini juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Valkenburg dan Bunyapraphatsara, 2002 dalam Surya ,2009). Buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) mudah
3
dibudidayakan, umur panennya singkat serta murah, tetapi tingkat konsumsinya relatif kurang. Sejauh ini buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) hanya dijual secara segar tanpa ada pengolahan terlebih dahulu, atau dijadikan sebagai substitusi dalam pembuatan selai strawberi. Peningkatan nilai guna buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) dapat dilakukan, salah satunya dengan membuat serbuk pewarna merah dari buah ini. Pada konsentrat.
umumnya Namun,
sediaan
pewarna
makanan
tersedia
sediaan pewarnaan dalam bentuk
dalam bentuk
konsentrat memiliki
stabilitas dan umur simpan relatif tidak lama ( Ernawati, 2010). Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk membuat sediaan pewarna dalam bentuk yang lebih stabil. Teknik Foam Mat Drying zat warna diharapkan dapat menghasilkan sediaan pewarna bubuk diharapkan memiliki stabilitas dan umur simpan relatif lebih lama dibandingkan dengan sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat. Selain itu, produk bubuk pewarna memiliki keunggulan dalam hal kemudahan penangan, transportasi, dan penyimpanan (Ernawati, 2010). Foam Mat Dyring adalah teknik pengeringan bahan berbentuk cair dan peka terhadap panas melalui teknik pembusaan dengan menambahkan zat pembusa. Pengeringan dengan bentuk busa (Foam), dapat mempercepat proses penguapan air, dan dilakukan pada suhu rendah, sehingga tidak merusak jaringan sel, dengan demikian nilai gizi dapat dipertahankan. Metode foam mat drying mampu memperluas area interface , sehingga mengurangi waktu pengeringan dan mempercepat
proses
penguapan,
pembentukan
foam
tergantung
berbagai
4
parameter,
seperti komposisi cairan,
metode
pembusaan yang digunakan,
temperatur dan lama pembusa. (Raj Kumar et. al., 2005 dalam Asiah dkk, 2012). Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dicari metode pengeringan, jenis pembusa dan suhu pengeringan yang tepat untuk pembuatan bubuk pewarna dari Buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) sehingga dapat menekan perubahan nutrisi dan warna, dan mutu bubuk pewarna dapat ditingkatkan. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan
uraian
dalam
latar
belakang
penelitian,
maka
dapat
diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh jenis pembusa terhadap karakteristik serbuk pewarna dari buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) ? 2. Bagaimana pengaruh suhu pengeringan terhadap kualitas serbuk pewarna dari buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) ? 3. Bagaimana pengaruh interaksi jenis pembusa dan suhu pengeringan terhadap kualitas serbuk pewarna dari Buah Arben (Rubus fraxinifolius Poir.) ? 1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis pembusa dan suhu pengeringan terhadap karakteristik serbuk pewarna alami dari buah arben. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan jenis pembusa dan suhu pengeringan dalam pembuatan serbuk pewarna alami dari buah arben, sehingga
5
diperoleh karakteristik yang baik dan dapat dimanfaatkan sebagai zat warna alami pada makanan. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1. Meningkatkan nilai ekonomi buah Arben serta mengangkat produk lokal agar mampu bersaing dalam dunia pangan. 2. Sebagai sumber informasi mengenai cara pembuatan pewarna alami serbuk dengan metode foam mat drying , sehingga dapat membantu permintaan pasar akan pewarna merah serbuk dengan murah. 3. Meningkatkan daya simpan pewarna merah alami buah Arben dan dapat digunakan sebagai nilai tambah dalam produk pangan yang diperoleh secara mudah. 1.5. Kerangka Pemikiran Banyak buah-buahan yang berwarna merah yang banyak mengandung pigmen merah atau antosianin.
Antosianin tergolong pigmen yang disebut
flavonoid yang umumnya larut dalam air. Warna pigmen antosianin merah, biru, violet dan biasanya dijumpai pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran (Winarno,2004). Gonnisen et al., (2008) menyatakan bahwa pengolahan tepung atau serbuk memerlukan
filler
sebagai
pengisi
dengan
tujuan
untuk
mempercepat
pengeringan, mencegah kerusakan akibat panas, melapisi komponen flavour , meningkatkan total padatan, dan memperbesar volume.
6
Foam-mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan foam atau busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok kemudian dikeringkan sampai larutan kering. Proses selanjutnya adalah penepungan untuk menghancurkan lembaranlembaran kering hasil pengeringan, selanjutnya hasil penepungan di ayak agar seragam diameternya dan penampilannya menarik (Suryanto, 2000 dalam Aprilia, 2016). Pada metode foam-mat drying perlu ditambahkan bahan pembusa untuk mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk bubuk yang remah. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), dengan adanya busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 500 C – 800 C dapat menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk hasil dari metode foam-mat drying mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan) dan bersifat remah. Jenis pembusa diantaranya adalah putih telur (albumin), poly sorbat (tween), soda kue, gliserin dan lainnya. Pembusa (foaming agent ) yang biasa digunakan adalah putih telur atau albumin dan polisorbat (tween) (Anditasari dkk,2013). Pengeringan sari wortel menggunakan metode foam-mat drying dengan penambahan 1 ml tween 80 / kg bahan menghasilkan bubuk instan yang memenuhi standar mutu bubuk instan SII 0364-80 dengan waktu pengeringan lebih cepat 90 jam dibandingkan dengan pengeringan tanpa foam. Disamping itu
7
memberikan penampakan dan rasa pada skor suka sampai sangat suka (5-6) ( Iswari, 2007). Penelitian Pembuatan Minuman Serbuk Markisa Merah (Passiflora Edulis F. Edulis Sims) (Kajian Konsentrasi Tween 80 Dan Suhu Pengeringan), diketahui bahwa nilai perlakuan terbaik serbuk markisa menurut parameter fisik dan kimia diperoleh dari perlakuan konsentrasi tween 80 1% ( Susanti dkk, 2014). Menurut Mulyani dkk (2014) dalam penelitian pembuatan bubuk sari buah markisa dengan metode foam-mat drying , diketahui bahwa hasil penelitian terbaik ditunjukkan pada bubuk sari buah markisa perlakuan konsentrasi tween 80 0,15%. Berdasarkan penelitian Aplikasi Metode Foam-Mat Drying pada Proses Pengeringan Spirulina, penambahan foam agent berupa putih telur 2,5 % dan 5 %, diketahui bahwa hasil penelitian terbaik adalah dengan penambahan 2,5 % putih telur ( Asiah dkk, 2012). Menurut Retno dkk ( 2006) , percobaan dengan variasi zat pembusa (foaming agent) didapatkan bahwa pengeringan dengan menggunakan foaming agent putih telur memberikan hasil yang paling baik jika dibandingkan dengan gliserin dan soda kue karena memiliki laju pengeringan paling cepat. Menurut Asiah dkk (2012) berdasarkan pertimbangan kualitas produk dan efisiensi proses pengeringan, suhu pengeringan relative baik untuk aplikasi foammat drying pada spirulina adalah 600 C.
8
Menurut Fernandes et. al., (2013) suhu yang digunakan dalam proses pengeringan bubur tomat adalah 600 C dan 800 C .Menurut Wibawanto dkk (2014) serbuk bit merah yang memiliki kualitas terbaik dilihat dari aktivitas antioksidan tertinggi (84,82 %) dan warna dengan nilai a tertinggi (18,29) didapat pada perlakuan perendaman asam sitrat tanpa maltodekstrin dengan suhu pengeringan 800 C. Menurut Iswari (2005) dalam Kajian Pengolahan Bubuk Instan Wortel dengan Metode Foam-mat drying digunakan suhu pengeringan 500 C.Metode pengeringan busa mempunyai kelebihan antara lain prosesnya relatif sederhana dan murah, proses pengeringan dapat dilakukan pada suhu yang rendah yaitu sekitar 500 C-800 C sehingga warna, flavour, vitamin, dan zat gizi lain dapat dipertahankan.
Selain
itu,
produk
bubuk
yang
dihasilkan
juga
memiliki
karakteristik nutrisi dan mutu organoleptik yang baik ( Karim dan Wai, 1998; Misra, 2001 dalam Mulyani, 2014). Menurut Kandasamy et. al. (2012) pada proses pembuatan bubuk pepaya dengan ketebalan busa 4 mm menghasilkan pepaya bubuk terbaik pada suhu 600 C. Dalam penelitian pembuatan minuman serbuk markisa merah (Passiflora edulis f.edulis Sims) (kajian konsentrasi tween 80 dan suhu pengeringan) penelitian menggunakan variasi suhu pengeringan 500 C dan 700 C , hasil penelitian menunjukan bahwa nilai perlakuan terbaik serbuk markisa menurut parameter fisik dan kimia diperoleh dari perlakuan konsentrasi tween 80 1% dan suhu pengeringan 500 C ( Susanti dan Putri, 2014).
9
Menurut Purnamasari (2015) pada penelitian Pengaruh Jenis Pembusa dan Suhu Pengeringan pada Pembuatan Serbuk Pewarna Alami dari Kulit Buah Naga Merah , diperoleh produk terpilih dengan perlakuan penambahan putih telur dan suhu pengeringan 500 C dengan kandungan total antosianin (29,96 ml/L ) dengan kadar air 7,46 % dan total rendemen 37,20 %. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), pembuatan serbuk dapat dilakukan dengan teknologi tinggi dengan menggunakan alat yang canggih seperti freeze dryer dan spray dryer , namun alat ini cukup mahal dan tidak terjangkau oleh kelompok tani atau industri rumah tangga. Salah satu teknologi yang dapat menggantikan spray drying adalah teknologi foam-mat drying. Teknologi ini sederhana dan dapat diaplikasikan di tingkat industri rumah tangga. 1.6. Hipotesa Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran diatas diduga bahwa jenis pembusa, suhu pengeringan, dan interaksinya berpengaruh terhadap karakteristik serbuk pewarna dari buah arben. 1.7. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu
penelitian
yaitu
bulan
Juni 2016.
Penelitian
dilakukan
di
Laboratorium Penelitian Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Jalan Dr. Setiabudhi No. 193 Bandung.