1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai penggerak pembangunan pertanian
pedesaan, maka usaha
pertanian haruslah dapat tumbuh berkembang secara progresif dengan sumberdaya yang terbatas dan dalam tatanan pasar yang sangat kompetitif, sumber pertumbuhan agribisnis yang paling dapat diandalkan adalah inovasi teknologi. Inovasi teknologi sangat diperlukan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas, sehingga dapat memacu tidak hanya pertumbuhan produksi, tetapi juga dapat meningkatkan daya saing. (Suryana, 2007). Inovasi teknologi mempunyai peran yang sangat vital untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha pertanian yang dinamis, efisien dan berdaya saing tinggi. Peluang petani terhadap informasi inovasi teknologi relatif terbatas sehingga diperlukannya pemberdayaan
melalui diseminasi inovasi teknologi untuk
memberikan pemahaman kepada petani. Pemahaman suatu inovasi teknologi tentu melalui suatu tahapan proses mental dari individu petani sampai mengambil keputusan untuk mengadopsinya. Berbagai kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pertanian pedesaan di Indonesia dan secara fisik dapat dilihat perubahannya dari waktu ke waktu. Namun, kita juga tidak dapat menutup mata terhadap berbagai kemunduran yang terjadi, terutama terkait dengan adopsi inovasi teknologi dan kesejahteraan masyarakat
2
pedesaan, disamping itu
program pembangunan pertanian selama ini sangat
sentralistis dan cenderung top down, kemandirian masyarakat
rendah dan potensi
yang ada pada akhirnya menjadi tidak berkembang. Hasil evaluasi eksternal maupun internal menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi dan tingkat pemanfaatan inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian cenderung melambat, bahkan menurun. Dalam hal ini diperlukan 2 tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50 persen dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan 6 tahun sebelum 80 persen PPS mendengar inovasi teknologi
tersebut. Relatif cepat atau lambatnya adopsi inovasi teknologi tidak
terlepas dari intervensi pihak luar seperti pendampingan oleh peneliti dan penyuluh lapangan.Senjang waktu sampainya informasi dan adopsi teknologi tersebut oleh petani tentu lebih lama lagi (Badan Litbang Deptan, 2005). Segmen rantai pasok inovasi teknologi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem) merupakan
bottleneck
yang menyebabkan
lambannya penyampaian informasi dan tingginya senjang adopsi inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian. Pemberdayaan masyarakat tani melalui diseminasi hasil penelitian dan pengkajian serta
kecepatan adopsi teknologi merupakan faktor penentu dalam
mendukung laju pembangunan pertanian. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu teknologi cepat diadopsi oleh petani antara lain, waktu adopsi yang
3
dibutuhkan lebih singkat, jumlah inovasi yang diadopsi relatif banyak dalam waktu tertentu dan kombinasi antara keduanya. Hendayana (2006) mengidentifikasi beberapa aspek yang memberikan andil terhadap percepatan adopsi teknologi adalah, tidak efektifnya cara penyebaran informasi teknologi, adanya kesenjangan antara teknologi yang diintroduksikan dengan teknologi yang dibutuhkan petani dan kurangnya pelibatan penyuluh dilapangan. Selaras dengan pendapat Bunch (2001), bahwa masyarakat tani akan mengadopsi inovasi teknologi jika telah yakin bahwa inovasi itu memenuhi suatu kebutuhan yang benar-benar dirasakan. Berbagai penyebab rendahnya tingkat
adopsi inovasi teknologi oleh
masyarakat tani, baik dari dalam diri petani sendiri maupun dari luar diri petani. Penyebab rendahnya tingkat adopsi teknologi
hasil penelitian dan pengkajian
(litkaji) diduga antara lain mutu dan hasil litkaji belum sepenuhnya berdasarkan kebutuhan petani dan sistem diseminasi yang kurang efektif. Disamping itu dari diri petani sendiri kurang progresif dalam mengadopsi teknologi yang dihasilkan tersebut, hal ini disebabkan oleh faktor internal dari petani, seperti sikap petani yang kurang berani menanggung resiko akibat perubahan teknologi dan faktor eksternal dari petani seperti kurangnya dukungan infrastruktur untuk adopsi teknologi baru, serta teknologi yang dihasilkan tidak tersedia di pasar karena agen multiaplikasi teknologi belum ada (Badan Litbang Pertanian, 2005). Puspadi et al, (2002) menemukan relatif rendahnya adopsi teknologi hasil penelitian lembaga pertanian berhubungan dengan:1) hasil-hasil penelitian tidak
4
sampai kepada para petani atau hasil-hasil penelitian tersebut, sampai kepada yang bersangkutan, tetapi tidak tepat waktu, 2) hasil-hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan petani untuk memecahkan permasalahan dalam berusaha tani, 3) metodologi diseminasi hasil penelitian/pengkajian tidak sesuai dengan cara petani belajar, 4) petaninya tidak memiliki modal untuk menerapkan teknologi, 5) tidak ada insentif menarik bagi petani mengadopsi teknologi yang diintroduksi. Untuk mengoptimalkan peran teknologi dalam memacu perkembangan agribisnis yang bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat (terutama pedesaan), ada tiga langkah utama yang harus dilakukan, pertama, mengupayakan pengembangan teknologi itu sendiri, baik melalui penelitian, pengkajian maupun perbaikan penerapan di lapang. Kedua, mendiseminasikan agar teknologi tersebut sampai ke pengguna.
Ketiga, membimbing, membina dan mengawasi serta
memfasilitasi agar teknologi tersebut diterapkan secara tepat dan benar serta efektif oleh pengguna (Daniel, et. al 2011). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) sebagai sebuah lembaga penelitian pertanian melakukan segala upaya yang mungkin untuk menjamin percepatan inovasi teknologi yang telah dihasilkannya, inovasi teknologi tidak saja diketahui oleh para pengguna (beneficiaries), tetapi juga dimanfaatkan secara luas dan tepat guna. Badan Litbang Pertanian merasa turut bertanggung jawab dalam menjamin terciptanya sistem percepatan inovasi teknologi pertanian nasional yang padu padan dengan sistem agribisnis, yang merajut simpul
5
antara subsistem rantai pasok pengadaan (generating subsystem) dengan subsistem penyampaian (delivery subsyetem) atau penerimaan (receiving subsytem) inovasi pertanian nasional. Bertitik tolak dari kenyataan bahwa melambatnya kecepatan adopsi inovasi teknologi dan kelembagaan,
banyak disebabkan oleh tidak efektifnya segmen
subsitem rantai pasok, maka Badan Litbang Pertanian meluncurkan Program Rintisan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Pertanian (Prima Tani) yang mulai diluncurkan sejak
tahun 2005. Prima Tani merupakan program Badan Litbang
Pertanian untuk mempercepat penyampaian dan pengembangan inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan kepada pengguna, terutama masyarakat tani di pedesaan. Dalam operasionalnya Prima Tani merupakan integrasi tugas peneliti, penyuluh, dan stakeholder lainnya. Selain sebagai wahana diseminasi, Prima Tani juga akan digunakan sebagai wahana pengkajian partisipatif, yang berarti merupakan implementasi dari paradigma baru Badan Litbang Pertanian, yakni Penelitian untuk Pembangunan (Research for Development) dimana peranan kegiatan diseminasi diposisikan sama penting dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Diseminasi diperluas dengan melaksanakan pengembangan percontohan sistem dan usaha agribisnis berbasis teknologi inovatif dan penyediaan teknologi dasar secara terdesentralisasi sebagai inisiatif untuk merintis pemasyarakatan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian.
6
Sasaran kegiatan diseminasi juga disesuaikan, dari tersebarnya informasi kepada masyarakat pengguna teknologi menjadi tersedianya contoh kongkrit penerapan teknologi di lapangan. Menurut Mardikanto (1993),
bahwa dalam
memilih metoda diseminasi yang efektif didasari dari media yang digunakan kepada sasaran (media lisan, tercetak dan terproyeksi), hubungan penyuluh dan sasarannya (hubungan langsung dan tak langsung) dan menurut keadaan psiko sosial sasarannya (pendekatan perorangan, kelompok dan massal). Menurut Musyafak dan Ibrahim (2005), salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri. Inovasi yang akan di introduksi ke dalam Prima Tani, harus mempunyai banyak kesesuaian (daya adaptif) terhadap kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya yang ada di petani. Untuk itu, inovasi yang ditawarkan ke petani harus inovasi yang tepat guna. Strategi untuk memilih inovasi yang tepat guna adalah menggunakan kriteria-kritera sebagai berikut : inovasi dalam Prima Tani harus dirasakan sebagai kebutuhan oleh petani kebanyakan,
memberi keuntungan secara kongkrit bagi petani, mempunyai
kompatibilitas, dapat mengatasi faktor-faktor pembatas,
mendayagunakan
sumberdaya yang sudah ada, terjangkau oleh kemampuan finansial petani, sederhana tidak rumit dan mudah dicoba, dan harus mudah untuk diamati. Semakin banyak kriteria-kriteria tersebut yang dipenuhi oleh suatu inovasi, maka semakin besar peluang inovasi tersebut untuk diadopsi oleh petani.
7
Implementasi Prima Tani di di Indonesia tahun 2005 pada 22 lokasi di 14 provinsi, pada tahun 2006 ditambah 11 lokasi pada 11 provinsi, dinilai berhasil. Oleh
karena
itu,
Departemen
Pertanian
memprogramkan
pengembangan
implementasi Prima Tani menjadi 201 lokasi di semua provinsi pada tahun 2007. Implementasi Prima tani di provinsi Sumatera Barat pada tahun 2005 di 2 (dua) lokasi, pada tahun 2007 Prima Tani diimplementasikan di sepuluh lokasi yang tersebar di sembilan kabupaten dan satu kota. Pada tahun 2008-2009 Prima Tani hanya di 6 (enam) lokasi yang tersebar di lima kabupaten dan satu kota (Tabel 1.1). Tabel 1.1 Lokasi Prima Tani di Sumatera Barat No
Nagari
1. 2. 3. 4. 5.
Air Dingin Surantih Salimpaung Silago Lubuk Minturun Panampuang Kinali Lareh Nan Panjang Kotobaru Simalanggang Muaro Bodi
6. 7. 8. 9. 10.
Kab/Kota
Thn Kegiatan
Agro ekosistem
Solok Pesisir Selatan Tanah Datar Dharmasraya Padang
2005-2007 2005-2007 2007-2008 2007-2008 2007-2009
LKDTIB LKDTIB LKDRIB LKDRIB LKDRIB
Markisa, kopi, sayuran Padi, jagung, sapi Markisa, sayuran, sapi Padi, karet, sapi Tan, hias, sayuran, sapi
Agam Pasaman Pdg . Pariaman
2007-2009 2007-2009 2007-2009
LKDTIB LKDRIB LKDRIB
Ubi jalar, jagung, sapi Sawit, jagung, sapi Padi sawah, kakao, sapi
Limapuluh Kota
2007-2009
LKDRIB
Padi sawah, jagung, sapi
Sijunjung
2007-2009
LKDRIB
Padi sawah, karet, sapi
Komoditas
Sumber: BPTP Sumatera Barat, 2010 Keterangan :
LKDRIB = Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah LKDTIB = Lahan Kering Dataran Tinggi Iklim Basah
Penentuan komoditas unggulan dari masing-masing lokasi berdasarkan pada potensi daerah dengan dua agroekosistem yaitu lahan kering dataran rendah iklim basah (LKDRIB) dan lahan kering dataran tinggi iklim basah (LKDTIB),
8
dilaksanakan melalui koordinasi dengan pemda baik di kabupaten maupun di kecamatan dan nagari. Provinsi Sumatera Barat mempunyai beberapa komoditi unggulan disektor pertanian. Untuk sektor pertanian komoditi yang diunggulkan adalah sub sektor tanaman pangan dengan komoditi strategis padi dengan areal persawahan seluas 235.824 ha, memproduksi padi mencapai dua juta ton pada tahun 2007, naik dari produksi tahun 2006 yang tercatat 1,889 juta ton, Pada tahun 2010, jumlah produksi sekitar 2,211.248 ton dengan jumlah produksi sekitar 4,8 ton per ha dari luas lahan 243.000 ha (Dipertahorti Sumbar 2010). Seluruh aspek dan tahap produksi padi sudah diteliti dan sudah ada rekomendasi teknologinya. Namun demikian bukanlah berarti bahwa tidak ada lagi persoalan terkait teknologi yang perlu ditangani dalam budidaya dan pengelolaan pascapanen padi. Persoalannya mungkin memang tidak lagi pada dimensi teknisnya, tetapi telah bergeser pada kesesuaian teknologi yang ditawarkan dengan kemampuan adopsi dari penggunanya, yang dalam konteks budidaya adalah petani. Petani punya kendala teknis, finansial, dan sosiokultural untuk mengadopsi teknologi, terutama jika dalam proses pengembangan teknologi dimaksud tidak dipertimbangkan dari awal status kemampuan adopsi petani calon penggunanya (Lakitan, 2010). Persoalan adopsi teknologi ini tentu tidak hanya untuk komoditas padi, tetapi juga untuk komoditas pangan lainnya. Kendala teknis untuk adopsi teknologi diyakini akan lebih mudah diatasi melalui kegiatan pelatihan untuk meningkatkan
9
pemahaman dan keterampilan petani, tetapi untuk kendala finansial tidak akan dapat diselesaikan dengan hanya memberikan akses bagi petani ke sumber permodalan semata. Adopsi teknologi akan menambah ongkos produksi,
walaupun petani
mampu membayar tambahan ongkos produksi (misalnya dari kredit modal kerja), namun jika tidak ada jaminan bahwa tambahan ongkos produksi akan meningkatkan keuntungan usahatani, maka wajar jika petani tetap tidak akan mengadopsi teknologi dimaksud
walaupun
dari
perspektif
penyediaan
pangan
nasional
akan
menguntungkan, karena akan meningkatkan produksi pangan. Adopsi teknologi budidaya padi di pulau Jawa baru mencapai 65-75 persen dari teknologi optimal. Tingkat adopsi teknologi terkait dengan terbatasnya kemampuan modal petani, berakibat pada kurang optimalnya dosis pupuk, penggunaan benih tanpa sertifikat, kurangnya pengayaan bahan organik tanah, rendahnya adopsi tanam jajar-legowo, dan penggunaan pestisida yang kurang tepat. Senjang adopsi teknologi berakibat pada senjang hasil antara 20-25 persen dari produktivitas optimal (Sumarno dalam Lakitan, 2010). Kegiatan Prima Tani di Sumatera Barat dengan ekosistem lahan sawah irigasi dengan
introduksi dan pengembangan teknologi spesifik lokasi yang
difokuskan pada inovasi usahatani padi sawah dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di dilaksanakan di tiga kabupaten yaitu: 1) Kabupaten Padang Pariaman, Kecamatan VII Koto Sungai Sarik, Nagari Lareh
10
Nan Panjang.Luas nagari 1430 ha, penggunaanlahan terdiri dari: sawah irigasi 240 ha (16,8%), kebun campuran (Kakao, pisang, kelapa) 851 ha (59,6%), kebun campuran (Kakao, duku, durian dan kelapa)47 ha (3,3%), kebun campuran (Kakao, rambutan, kelapa)240 ha (16,8%), dan pemukiman 51 ha (3,6%) (Kab. Padang Pariaman Dalam Angka, 2009). 2) Kabupaten Limapuluhkota, Kecamatan Payakumbuh, Nagari Koto Baru Simalanggang. Luas Nagari 945 ha dengan, memiliki lahan tegalan 479 ha, ditanami komoditas jagung, kakao dan buah-buahan (50,7%), sawah irigasi 278 ha (29,4%) dan sawah tadah hujan 128 ha (13,5%), setelah padi ditanam berbagai komoditas seperti jagung, cabe, dan sayur-sayur lainnya, pemukiman/pekarangan 60 ha (Kab. Limapuluhkota Dalam Angka, 2009). 3) Kabupaten Sijunjung, Kecamatan IV Nagari, Nagari Muaro Bodi. Luas Nagari 1168 ha, persawahan seluas 200 ha, penggunaan lahan didominasi oleh lahan untuk perkebunan (perkebunan karet, kulit manis, kopi, dann kakao) seluas 278 ha, tegalan seluas 345 ha, pemukiman seluas 165 ha, lahan kritis 180 ha dan sisanya adalah lahan yang belum diusahakan yang terdiri dari semak-semak dan padang ilalang (Kab. Sijunjung Dalam Angka, 2009). Penentuan komoditas unggulan dari masing-masing lokasi berdasarkan pada potensi daerah dan berkoordinasi antara tim Prima Tani BPTP dengan pemerintah daerah, dinas dan instansi terkait serta masyarakat tani. Menurut Tauchid (2011), pada masa era otonomi daerah ini, peran pemerintah daerah sangat besar dalam
11
upaya pemberdayaan masyarakat tani. Proses pemberdayaan terhadap masyarakat tani tersebut harus dikategorikan berdasarkan potensi wilayah dan lokalita komoditas unggulan daerah agar setiap daerah atau kawasan mampu tumbuh dan berkembang dengan komoditas unggulan sendiri-sendiri, sehingga dalam pemberdayaannya diperlukan strategi yang berbeda pula. Implementasi inovasi teknologi dilakukan melalui sistem dan usaha agribisnis.
Dalam penerapan sistem ini petani didorong untuk melakukan
usahataninya tidak hanya pada tahap on farm tetapi juga pada tahap off farm. Penerapan teknologi tepat guna spesifik lokasi dilaksanakan sesuai dengan keunggulan sumberdaya dan kondisi
sosial ekonomi
setempat
(farmer”s
circumtances), serta penumbuhan kelembagaan agribisnis yang sedang berjalan. Hal ini merupakan kunci keberhasilan keseluruhan proses sistem dan usaha agribisnis (Prawiranegara, 2010). Menurut Hadi (2003), bahwa untuk keperluan introduksi teknologi diperlukan saluran komunikasi yang paling tepat, saluran ini digunakan baik pada saat pengumpulan informasi mengenai permasalahan dan kebutuhan teknologi pada suatu wilayah, saat introduksi teknologi hasil perakitan sesuai lokasi, maupun saluran untuk memperoleh umpan balik mengenai penggunaan teknologi tersebut. Dari penjelasan tersebut, inovasi teknologi yang diterapkan dalam Prima Tani harus dijamin akan memberikan keuntungan lebih dibanding inovasi teknologi yang sudah ada. Jika hal ini terjadi, tentu petani akan mempunyai semangat untuk
12
mengadopsi. Untuk menemukan inovasi teknologi dengan kriteria ini adalah dengan membandingkan teknologi introduksi dengan teknologi yang sudah ada dan mengidentifikasi teknologi dengan biaya yang lebih rendah atau teknologi dengan produksi yang lebih tinggi. Prima Tani pada lahan sawah di lokasi penelitian ini diwujudkan dalam model laboratorium agribisnis yang dirancang, dibangun, dan dikembangkan dalam jangka waktu tiga tahun (2007-2009). Prima Tani pada intinya adalah membangun laboratorium agribisnis yang merupakan model percontohan agribisnis industrial pedesaan (AIP) berbasis sumberdaya lokal yang memadukan sistem inovasi teknologi dan kelembagaan pedesaan. Dalam model ini, Badan Litbang Pertanian tidak hanya berfungsi sebagai produsen teknologi sumber atau dasar, tetapi juga aktif dalam memfasilitasi penggandaan, penyaluran dan penerapan teknologi inovatif yang dihasilkannya. Tolok ukur suatu keberhasilan
program pembangunan pertanian dapat
dilihat dari keberlanjutan penggunaan teknologi yang diintroduksikan kepada masyarakat tani pasca pelaksanaan program. Demikian juga dengan program Prima Tani ini yang telah berakhir sejak tahun 2009, tingkat keberhasilannya bisa dilihat dari penerapan
adopsi
komponen-komponen teknologi
oleh petani pasca
pelaksanaan program. (Rogers and Shoemaker dalam Hanafi, 1981; Kenneth, 2009) menyatakan bahwa keputusan petani untuk menerima atau menolak teknologi merupakan proses yang berjalan secara gradual dan bertahap, sehingga terjadi
13
senjang adopsi yaitu jarak antara kondisi sadar adanya teknologi hingga menerapkannya secara aktual. Kecenderungan terjadinya senjang adopsi itu biasanya teridentifikasi dari lambatnya tingkat pemanfaatan inovasi teknologi. Menurut Simatupang (2004), hal itu ada hubungannya dengan segmen rantai pasok inovasi pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Mundy (2000), berpendapat bahwa secara teoritis proses adopsi dikatakan cepat jika waktu adopsi lebih pendek dari target waktu yang ditentukan, jumlah adopter relatif lebih banyak dari adopter lainnya dalam kurun waktu yang sama, dan kombinasi perpendekan waktu dengan peningkatan jumlah adopter. Percepatan adopsi tidak mengabaikan muatan adopsi sehingga tetap efektif didasari motivasi instrinsik dan ekstrinsik sekaligus (Slamet, 2000). Percepatan adopsi yang efektif ini dapat menjadi suatu strategi pencapaian sasaran (Jauch and Glueck, 1998 dalam Kemala, 2007). Dalam suatu program pembangunan pertanian terdapat sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah menerapkan paket teknologi kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani yang lama dan mengakibatkan
terjadinya
kesenjangan adopsi yang tinggi serta
menurunnya keberdayaan masyarakat tani (Kepas dalam Azwardi, 2001).
14
1.2 Rumusan Masalah Program Prima Tani yang mulai diluncurkan pada tahun 2005, dipandang sebagai langkah inisiatif Badan Litbang Pertanian untuk mengatasi masalah kebuntuan atau kelambanan dalam penerapan inovasi teknologi yang dihasilkan secara luas oleh masyarakat pertanian sekaligus memperpendek waktu yang dibutuhkan mulai dari penciptaan inovasi teknologi sampai pada penerapan oleh pengguna dan Prima Tani hanyalah tindakan pembuka atau pelopor. Program Prima Tani telah diimplementasikan di Sumatera Barat sejak tahun 2005-2007 di dua lokasi, tahun 2007-2008 pada sepuluh lokasi dan tahun 2007-2009 hanya di enam lokasi. Penerapan inovasi teknologi pertanian difokuskan pada komoditas unggulan daerah dominan yaitu komoditi padi sawah dengan pendekatan PTT pada tiga lokasi, disamping itu ada komoditas penunjang lainnya seperti kakao, karet, sapi dan lainya. Program ini telah berakhir dan telah dilakukan serah terima ke pemerintah daerah. Berbagai pemberdayaan masyarakat telah dilaksanakan di kawasan ini yang menuntun masyarakat untuk menjadi mandiri meliputi kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Sasaran pemberdayaan adalah pemerintah daerah dan instansi terkait serta
seluruh masyarakat tani pada
kawasan lokasi Prima Tani. Salah satu indikator keberhasilan suatu program pertanian adalah seberapa besar penerapan inovasi teknologi yang didesiminasikan diadopsi oleh pengguna
15
(terutama petani) untuk selanjutnya diterapkan dalam kegiatan usahataninya (Hanafi, 1988). Hal ini diperkuat oleh Sumarno (2009), bahwa hasil akhir dari kegiatan pemberdayaan melalui diseminasi
teknologi adalah tingkat penerapan teknologi
yang telah didiseminasikan kepada petani. Pada pasca pelaksanaan program Prima Tani dapat dilihat kondisi tingkat adopsi teknologi komoditi padi sawah yaitu
kondisi tingkat penerapan teknologi
oleh petani dengan paket teknologi anjuran atau teknologi yang direkomendasikan. Diketahuinya tingkat adopsi teknologi akan berakibat terhadap
hasil komoditi
usahatani yang dilakukan. Diketahuinya tingkat adopsi teknologi, maka komponen teknologi yang tingkat adopsinya masih lemah dapat menjadi umpan balik dan menjadi prioritas utama pembinaan dan apabila tingkat adopsi teknologi meningkat, maka berdampak kepada hasil usahataninya dan menuju kepada peningkatan keberdayaan masyarakat tani. Hal ini terlihat pada salah satu pendekatan digunakan dalam program Prima Tani yaitu pendekatan pemberdayaan masyarakat yang menekankan perlunya penumbuhan kemandirian petani dalam memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Persoalan klasik dalam pengembangan teknologi pertanian, yakni terjadi replikasi dan duplikasi substansi yang diteliti, sehingga tidak efisien dalam pemanfaatan anggaran riset yang kenyataannya juga sangat terbatas. Selain itu, banyak pula kegiatan riset yang tidak efektif karena tidak berbasis pada realita yang dihadapi dan persoalan yang dihadapi petani dalam melaksanakan kegiatan produksi. Selanjutnya,
16
kapasitas adopsi petani hampir tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengembangan teknologi. Selain Program Prima Tani selama ini berbagai kegiatan program pembangunan pertanian telah banyak dilakukan di provinsi Sumatera Barat, seperti KUBA, SPAKU, SUTPA, GEMA PALAGUNG, INBIS, KIMBUN, Proksi Mantap, dan lainnya. Meskipun demikian, sistem agribisnis seutuhnya masih belum mampu berkembang sebagaimana yang diharapkan. Sampai sejauh ini belum adanya suatu pengukuran terhadap suatu program kegiatan yang telah dilaksanakan tersebut, sehingga kegiatan yang telah dilakukan belum terukur tingkat keberhasilannya (Mawardi, 2010). Demikian juga dengan pasca pelaksanaan program Prima Tani, sampai sejauh ini belum diketahui kondisi tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah dan nantinya akan berdampak kepada keberdayaan masyarakat tani itu sendiri. Menurut Syehabudin dalam Mudiyono (2008) pada pasca kegiatan perlu dilakukan pembinaan lanjutan, maksudnya di setiap selesai pelaksanaan kegiatan, selalu dilakukan jadwal pembinaan rutin. Sehingga pekerjaan yang telah dilaksanakan tersebut dapat diukur tingkat keberhasilannya dan tidak sia-sia, serta pelaksana program bukan hanya pandai menyelesaikan kegiatan saja, melainkan juga tanggung jawab terhadap efektivitas capaian kegiatan. Berdasarkan latar belakang dan uraian permasalahan tersebut diatas, timbul pertanyaan yang mendasar adalah apakah penerapan inovasi teknologi
yang
diintroduksikan masih berlanjut dengan cara mengukur tingkat adopsi teknologi
17
petani, faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi teknologi, tingkat keberdayaan petani dan dampak tingkat adopsi teknologi petani terhadap tingkat keberdayaan petani pelaksana program Prima Tani di Sumatera Barat, secara spesifik permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah petani pelaksana program Prima Tani? 2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor individu dan lingkungan dari petani terhadap tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah pelaksanaan program Prima Tani? 3. Bagaimana tingkat keberdayaan petani PTT padi sawah
pelaksana program
Prima Tani? 4. Bagaimana dampak tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah terhadap keberdayaan petani pelaksana program Prima Tani? 1.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah petani pelaksana program Prima Tani, maka penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis tingkat adopsi inovasi teknologi PTT padi sawah. 2. Mengetahui pengaruh faktor-faktor individu dan lingkungan petani terhadap tingkat adopsi teknologi PTT padi sawah. 3. Menganalisis tingkat keberdayaan petani. 4. Menganalisis dampak timgkat adopsi teknologi PTT padi sawah terhadap keberdayaan petani.
18
1.4 Keaslian Penelitian Penelitian tentang adopsi dan inovasi pertanian serta dampaknya telah banyak
dilakukan
oleh
peneliti
dengan
mengkaji
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. Rogers dan Shoemaker (1971) mengidentifkasi variabel penting yang menentukan laju/tingkat adopsi inovasi. Satu diantara variabel adalah memahami krakteristik inovasi atau teknologi. Untuk siap diterima atau diadopsi, suatu inovasi harus memiliki 5 atribut, yaitu: keuntungan relatif, compatibel/ keselarasan, kompleksitas, triability/dapat dicoba, dan dapat diamati. Rogers dan Shoemaker, (1971) mengemukakan bahwa ada empat unsur utama dalam proses difusi inovasi, yaitu (1) sesuatu yang merupakan inovasi, (2) saluran unuk mengkomunikasikan sesuatu inovsi, (3) waktu, (4) masyarakat sasaran sebagai sistem sosial. Tambahan pada atribut dari inovasi, variabel lain yang dikemukakan Rogers (1983) tipe keputusan inovasi, sifat saluran komunikasi difusi inovasi pada beberapa tahapan proses keputusan inovasi, sifat sistem sosial, dan penyebarluasan dari usaha promosi agen perubah dalam difusi inovasi. Variabel-variabel ini mempengaruhi tingkat adopsi dari inovasi. Kajian Dimaano dan de Guzman (1963), Juliano (1967), dan Feliciano (1964, 1968) dalam Valera, dkk,1987) juga menunjukkan bahwa petani mengadopsi teknologi tertentu dalam produksi padi karena efektifitas demonstrasi atau kelebihan teknologi, teknologi mudah untuk dilakukan/diterapkan, teknologi harus mudah
19
dilihat, didemonstrasikan, dimengerti dan diikuti, ketersediaan sumberdaya yang diperlukan untuk menerapkan teknologi yang diterapkan, keselarasan teknologi dengan tujuan dan kebutuhan petani, hal-hal baru teknologi. Kajian lain juga mengenal kontribusi dari karakteristik inovasi dalan mempercepat laju adopsi seperti kepantasan inovasi terhadap kondisi lokal. komposisi tanah dan darainase, udara, suhu, dan pola curah hujan biasanya membatasi penerapan dari teknologi (Ashby, 1982; Mosher, 1978); Efisiensi teknologi pada rata-rata pendapatan petani, (Schutjer dan Van der Veen, 1977; Van uyen dan Vander Zaag, 1983 dalam Valera, dkk,1987); kesederhanaan dari teknologi, biaya rendah, laju produksi cepat, dan hasil yang tinggi adalah karakter utama yang mempengaruhi adopsi dari perkalian cepat untuk produksi kentang. Penelitian difusi melihat adopsi awal dari inovasi sebagai ciri psikologi sosial petani (Lionberger, 1960; Rogers dan Shoemaker, 1971). Kebebasan, inisiatif sendiri, kemampuan praktis, dan kemampuan pengambilan resiko ditemukan berhubungan dengan adopsi teknologi oleh petani (Barlow, dkk, 1983). Beberapa karakteristik individu ditemukan berkorelasi positif terhadap adopsi awal dari rekomendasi teknologi yaitu: (1) karakteristik individu petani, umur, pendidikan formal, latar belakang mata pencaharian, ukuran/jumlah keluarga, aspirasi keluarga, pengalaman petani dan daerah asal, (2)
penyebaran dari
pengetahuan teknis, (3) lamanya menjadi peserta, (4) banyaknya kegiatan yang
20
dilakukan secara kelompok, (5) penggunaan jam kerja untuk pemeliharaan (6) frekuensi penyuluhan, (7) motivasi mengikuti pola (Valdera, dkk, 1987) Penyuluh sebagai pembawa ide baru dan teknologi sebagian besar mempengaruhi adopsi atau penolakan inovasi. Diantara ciri-ciri atau karakteristik personal dari agen perubahan diidentifikasi oleh Rogers dan Shoemaker (1971) dalam hubungan dengan adopsi inovasi adalah: 1) kredibilitas yang merujuk pada kompetensi, dapat dipercaya, dan dinamisasi dari agen perubah, 2) hubungan homophily dengan klien, dan 3) ciri-ciri personal termasuk atribut personal seperti intelegence,
kemampuan
empati,
komitment/keikhlasan,
sumberdaya,
memperhatikan petani, kemampuan untuk berkomunikasi dengan petani, bersifat persuasif dan orientasi perkembangan. Jumlah variabel sosial ekonomi telah diidentifikasi dalam adopsi inovasi: 1) partisipasi dalam organisasi sosial (Rogers dan Shoemaker, 1971), 2) Perbedaan akses modal ( Schutjer dan Van der Veen, 1977), 3) Pendapatan tinggi (Islam dan Halim, 1976), 4) ketersediaan kredit, sejak pengenalan teknologi baru bergantung pada investasi modal keduanya biaya awal dan biaya pemeliharaan (Librero dan Mangahas, 1975; Wirasinghe, 1977),5) Ukuran/luas lahan; Beal dan Sibly (1967) dan Khan (1975), 6) manfaat dan keuntungan pada teknologinya (Rhoades, 1984); Barlow dkk (1983), 7) kebutuhan petani itu sendiri untuk berubah (Acasio, dkk, 1985). Karakteristik inovasi dikemukan Ray (1996), yaitu: 1) keuntungan relative,
21
2) kompatibilitas, 3) kompleksitas, 4) triability, 5) dapat damati, 6) predictablity. Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap tingkat adopsi dan difusi adalah umur, jumlah tanggungan keluarga, jarak tempat tinggal (Rosmiati, 2001), pendapatan usahatani, sikap, intensitas penyuluhan, pengetahuan (Kiswanto, 2001). sikap, pesan yang disampaikan ke kelompok tani, (Cece, 2003). Penelitian Azwardi (2001), menunjukkan motivasi, luas lahan, jarak lokasi, kosmopolitan, intensitas penyuluhan, ketersediaan saprodi, aktifitas kelompok mempengaruhi adopsi inovasi. Tingkat adopsi inovasi petani terhadap teknologi budidaya tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) di Kelurahan Borongloe, Kecamatan Bontomarannu, Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan(Pouet al, 2006). Hasil penelitian menyatakan tingkat adopsi inovasi petani terhadap teknologi budidaya tanaman jagung manis secara umum masih berada pada kategori kurang, disebabkan beberapa faktor yaitu: rata-rata tingkat pendidikan petani rendah, kurangnya bimbingan dari penyuluh lapangan lapangan (PPL), kurangnya modal usaha, sarana dan prasarana serta kelembagaan desa. Penelitian Yuliarmi (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi pemupukan berimbang adalah luas lahan garapan petani, biaya pupuk, harga gabah. Produksi padi sawah dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah pupuk dan tenaga kerja keluarga. Faktor pendorong bagi petani dalam menerapkan teknologi pupuk berimbang adalah produksi yang lebih tinggi dan faktor penghambat adalah tidak adanya jaminan harga yang layak.
22
Penelitian Sumarno dkk (2009,) tentang Senjang Adopsi Teknologi dan Senjang Hasil Padi Sawah. Meneliti tentang senjang adopsi teknologi padi sawah dan senjang hasil di empat sentral produksi padi sawah di Jawa Barat. Evaluasi Tingkat Adopsi Teknologi Pakan Ternak Ruminansia Pasca Pelatihan di Wilayah P3TIP Kabupaten Magelang (Andiani dan Haryanto, 2010), penelitian menunjukkan bahwa umur, pendidikan, jumlah ternak, lama beternak, luas lahan, pendapatan dan aktifitas di kelompok secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat adopsi peternak, variabel yang diduga berpengaruh terhadap tingkat adopsi yaitu variabel pendidikan dan aktivitas kelompok, sedangkan variabel yang dominan berpengaruh terhadap tingkat adopsi adalah variabel pendidikan. Penelitian
Preferensi Petani terhadap Inovasi Pertanian dan Metode
Pembelajaran pada Agroekosistem Lahan Kering Kasus di Kabupaten Lombok Timur.Membahas kemajuan teknologi informasi menyebabkan perubahan sistem nilai, tingkat pengetahuan, sikap, perilaku usaha tani yang bermuara pada perubahan kebutuhan para petani. Preferensi para petani terhadap teknologi bukan hanya teknologi untuk meningkatkan produktivitas, juga teknologi yang sesuai dengan latar belakang sosial ekonominya seperti teknologi rendah input. Preferensi petani terhadap cara belajar yang dapat menyentuh domain afektif dan emosi yaitu cara belajar yang mengalami langsung (Puspadi et al, 2011). Penelitian Herianto (2005), tentang faktor-faktor dominan dalam adopsi pada sistem usaha tani pisang daun yang intensif di lahan miring dataran tinggi desa
23
Kemang, Jawa Barat, menjelaskan adopsi melalui penggunaan data plot dan data rumah tangga. Peranan karakteristik rumah tangga petani dalam adopsi inovasi sistem usahatani pisang daun di lahan miring dengan berbagai ukuran adopsi.Penelitian Adopsi teknologi dan efisiensi usahatani kelapa sawit pola PIR di Sumatera Barat (Wahyono, 1998). Penelitian oleh Mundy (1992) hanya mengkaji model keterkaitan antara penelitian-penyuluhan. Dampak penerapan teknologi juga telah dikaji oleh banyak peneliti, Penelitian Mundy (2000), diperlukan 2 tahun sebelum teknologi baru yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian diketahui oleh 50% dari Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), dan 6 tahun sebelum 80% PPS mendengar teknologi baru tersebut. Santoso, dkk (2006) melihat dampak penerapan teknologi pengelolaan tanaman padi secara terpadu terhadap produktivitas, pendapatan usahatani padi dan nilai komersialnya. Tingkat adopsi petani terhadap inovasi yang diintroduksi dipengaruhi oleh persepsi terhadap terhadap sifat-sifat inovasi (kompatibel, kompleksitas, keuntungan relatif, dan triabilitas),
pengalaman Kelompok Tani,
kemudahan mendapat modal usaha dan pemasaran hasil, tetapi tidak semua faktor tersebut berpengaruh kuat terhadap adopsi setiap inovasi. (Kushartini, dkk. 2005). Penelitian
Hendayana (2011), tentang desain model percepatan adopsi
inovasi teknologi unggulan Badan Litbang Pertanian. Model percepatan adopsi inovasi teknologi pertanian dapat dirancang secara diagramatik dan ekonometrik. Secara diagramatik, model dibangun dengan merujuk pada pola
komunikasi
24
penyebaran infotek yang mengakomodasi karakteristik pengguna dan
usahatani
yang dilakukan pengguna. Secara ekonometrik, ada 5 dari 10 koefisien peubah dalam percepatan adopsi yang berpengaruh nyata.Dua diantaranya berpengaruh negatif (umur petani dan alur adopsi) dan tiga lainnya berpengaruh positif yaitu basis pendidikan formal. Penelitian Pola Jaringan Komunikasi pada Kelompok Tani dalam Adopsi Inovasi Teknologi Pengolahan Kelapa Terpadu (Herlambang, 2005).Sikap dan Perilaku Petani Terhadap Adopsi Teknologi Pertanian (Geli Bulu, 2010).Kenyataan bahwa sikap petani terhadap suatu inovasi teknologi dipengaruhi oleh faktor internal individu (karakteristik kepribadian individu) dan faktor internal (faktor-faktor di luar diri individu).Akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi sikap dan keputusan petani terhadap suatu inovasi adalah faktor-faktor eksternal.Faktor-faktor eksternal meliputi norma-norma, kebiasaan, komunikasi sosial, interaksi sosial, dan belajar sosial individu petani dalam sistem sosial. Proses belajar sosial yang sering dilakukan petani dalam menjaring informasi inovasi teknologi baru bersifat pembelajaran observasional. Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat tani yang telah dilakukan antara lain Firmansyah (2010), meneliti tentang tingkat keberdayaan masyarakat dalam program pemberdayaan masyarakat di Kota Banjarmasin dan Kabupaten Tanah Laut. Hasil penelitian menyatakan faktor dinamika kelompok dan fasilitator
25
atau pendamping program pemberdayaan sangat menentukan tingkat keberdayaan masyarakat sasaran program. Pengkajian Prima Tani terdahulu antara lain hasil penelitian Musyafak dan Ibrahim (2005), tentang strategi percepatan adopsi dan difusi inovasi pertanian mendukung
Prima Tani menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
percepatan adopsi adalah sifat dari inovasi itu sendiri dan strategi yang tepat untuk memilih inovasi teknologi. Prawiranegara (2010), menelitipengaruh media komunikasi terhadap pemberdayaan petani pada program Prima Tani lahan sawah irigasi di Kabupaten Karawang.Penelitian tentang persepsi petani terhadap media komunikasi, proses pemberdayaan petani, korelasi antara karakteristik bahasa dan kesesuaian isi materi dengan kemandirian intelektual dan partisipasi petani, karakteristik media gelar teknologi dan karakteristik media personal penyuluh. Analisis starategi pemberdayaan petani dalam Prima Tani lahan sawah irigasi sipare-pare (Daniel, dkk, 2006), bahwa proses pemberdayaan yang berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya petani adalah pelatihan, magang dan pembelajaran lapang. Sementara kegiatan diskusi dan konsultasi serta penyebaran media cetak dan terproyeksi kurang diminati. Pengkajian dinamika indikator pembangunan pedesaan di wilayah pengembangan Prima Tani (Sudana, 2006) menyatakan bahwa dalam mengevaluasi dinamika pembangunan di wilayah perdesaan dapat dilihat dari dua indikator utama, yaitu 1) indikator produksi yang mencakup perkembangan produktivitas, teknologi
26
usahatani,
insentif
produksi,
2)
indikator
kesejahteraan
yang
mencakup:
perkembangan struktur pendapatan, struktur pengeluaran pangan, tingkat ketahanan pangan keluarga, daya beli rumah tangga, dan perkembangan nilai tukar petani. Strategi dan Implementasi Kegiatan Prima Tani tahun 2007 di Sumatera Barat (BPTP Sumbar, 2006), beberapa strategi yang diterapkan antara lain peningkatan kualitas da kuantitas SDM pelaksana program Prima Tani, penerapan inovasi teknologi sesuai dengan karakteristik lokasi, koordinasi dengan pemda dan pemanfaatan tenaga kebun percobaan. Penelitian Pendampingan dan Koordinasi Pelaksanaan Program Prima Tani (Sudaryanto, 2008), penelitian tentang penyempurnaan dan aplikasi rancang bangun agro industrial pedesaan dalam rangka menumbuhkembangkan kelembagaan AIP Agribisnis Industrial Pedesaan), diperolehnya informasi dan permasalahan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi pelaksanaan Prima Tani di Propinsi DI Yogjakarta, Sulut dan NTB, perbaikan tahapan kegiatan implementasi Prima Tani ditingkat lapangan dan diperolehnya berbagai bentuk analisis sosial ekonomi dan kelembagaan agribisnis industrial pedesaan dilokasi Prima Tani. Penelitian Hermanto (2007) mengenai rancangan kelembagaan tani dalam implementasi Prima Tani di Sumatera Selatan. Membahas tentang beberapa bentuk kelembagaan yang perlu ditumbuh-kembangkan dalam Prima Tani antara lain kelembagaan keuangan mikro pedesaan, Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), kelembagaan klinik agribisnis, kelembagaan kemitraan.
27
Penelitian Gesang (2007), Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Komunikasi Partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap model usahatani terpadu dalam pelaksanaan Prima Tani. Survey Prima Tani sebagai langkah awal pengembangan sistem dan usaha agribisnis industrial (Simatupang, 2007). Efektivitas Komunikasi Partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani di Kecamatan Sungai Kakap Kabupaten Pontianak (Cahyanto, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani terbukti efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap petani terhadap model usahatani terpadu dalam pelaksanaan Prima Tani. Karakteristik individu petani mempunyai hubungan nyata dengan komunikasi partisipatif dalam pelaksanaan Prima Tani untuk beberapa peubah antara lain: usia berhubungan nyata dengan perencanaan program. Pendidikan non formal berhubungan sangat nyata dengan penumbuhan ide, berhubungan sangat nyata dengan perencanaan program, berhubungan nyata dengan pelaksanaan program. Penelitian Wijayanti (2009), Peranan Prima Tani terhadap Tingkat Penerapan Teknologi Pertanian pada Petani Padi Sawah di Desa Suliliran Baru Kecamatan Pasir Belengkong Kabupaten Paser. Tingkat peranan kegiatan Prima Tani berada dalam kategori berperan dan tingkat penerapan teknologi padi sawah pola PTT berada dalam kategori berperan dan tingkat penerapan teknologi padi
28
sawah pola PTT berada dalam kategori tinggi serta peranan Prima Tani terhadap penerapan teknologi padi sawah pola PTT sangat erat. Penelitian Wiranti (2009), tentang Koordinasi pada Proses Perencanaan Prima Tani dalam Mendukung Pembangunan Daerah di Desa Hargobinangun, Kec. Pakem Kabupaten Sleman. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa belum dapat dilaksanakannya koordinasi pada tahapan perencanaan Prima Tani di desa Hargobinangun secara optimal karena dipengaruhi oleh faktor-faktor komunikasi, formalisasi, kesadaran akan pentingnya koordinasi, kesepakatan dan komitmen serta insentif koordinasi. Penelitian Wibowo
(2011), Analisis Tingkat Partisipasi Petani dalam
Kegiatan Prima Tani Lahan Sawah Intensif di Kabupaten Grobogan. Bahasan penelitian partisipasi petani, dimana perkembangan partisipasi petani dipengaruhi oleh faktor internal petani (status sosial ekonomi petani) dan faktor eksternal petani (lingkungan ekonomi dan lingkungan sosial). Keaslian penelitian ini dapat dilihat dari obyek kajiannya. Pada beberapa kajian tersebut diatas belum ada yang mengkaji tentang dampak tingkat adopsi teknologi padi sawah terhadap keberdayaan petani pelaksana program Prima Tani di Provinsi Sumatera Barat. Secara spesifik keaslian penelitian ini adalah dari lokasi penelitian pada daerah pelaksana program Prima Tani, permasalahan, kondisi sosial budaya, tingkat adopsi teknologi serta tingkat keberdayaan masyarakat tani dengan
29
indikator kemandirian petani dalam berusahatani serta komoditi unggulan daerah padi sawah dengan pendekatan Pengelolaan Tanaman secara Terpadu (PTT). 1.5 Kegunaan Penelitian 1. Secara teoritis untuk memperluas wawasan berfikir khasanah ilmu penyuluhan terutama yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat tani melalui diseminasi inovasi teknologi pertanian . 2. Secara praktis dapat diterapkan dan dikembangkan sebagai acuan pada pelaksanaan penyuluhan melalui diseminasi inovasi teknologi di Provinsi Sumatera Barat. 3. Secara implikatif sebagai bahan pertimbangan bagi para penentu kebijakan dalam membuat
perencanaan,
menganalisa
pembangunan pertanian dimasa datang.
dan
mengantisipasi
permasalahan