1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah Air merupakan sumber daya alam yang paling berharga, karena tanpa air, tidak mungkin terdapat kehidupan. Air tidak hanya dibutuhkan untuk kehidupan manusia, hewan dan tanaman, tetapi juga merupakan media pengangkutan, sumber energi, dan berbagai keperluan lainnya. Pada suatu saat dalam bentuk hujan lebat dan banjir, air juga dapat menjadi benda perusak, menimbulkan kerugian harta dan jiwa, serta menghanyutkan berjuta-juta ton tanah subur (Arsyad, 1989). Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km3 air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap di udara. Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Tetapi sirkulasi air ini tidak merata, karena kita melihat perbedaan besar presipitasi dari tahun ke tahun, dari musim ke musim yang berikut dan juga dari wilayah ke wilayah yang lain. Air permukaan tanah dan air tanah yang dibutuhkan untuk kehidupan dan produksi adalah air yang terapat dalam proses sirkulasi jadi jika sirkulasi ini tidak
2
merata (hal mana memang terjadi demikian), maka akan terjadi bermacam-macam kesulitan. Jika terjadi sirkulasi yang lebih, seperti banjir, maka harus diadakan pengendalian banjir. Jika terjadi sirkulasi yang kurang, maka kekurangan air ini harus ditambah dalam suatu usaha pemanfaatan air (Sosrodarsono dan Takeda, 1999). DAS Way Kandis merupakan salah satu bagian dari sistem DAS Sekampung, mencakup areal seluas 438 175,28 km2 dan 4 (empat) wilayah administratif pemerintahan daerah yaitu Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, Pesawaran, dan Kota Bandar Lampung. Setiap tahun DAS Way Kandis ini senantiasa mengalami kekeringan pada musim kemarau namun pada musim penghujan tidak luput dari kejadian banjir dengan genangan yang cukup luas. Fenomena alam yang sering tidak menentu pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan masyarakat petani dalam wilayah DAS Way Kandis kurang memanfaatkan lahan usahatani secara optimal sehingga tingkat pendapatan usahatani dan kesejahteraan keluarga petani umumnya rendah. Das Way Kandis memiliki jaringan sungai yang cukup rendah dengan tingkat kerapatan sungai sebesar 0,407 km/km2, dengan jumlah total panjang seluruh sungai 178,30 km. Sungai utama adalah Way Kandis dengan panjang sungai dari hulu hingga titik pertemuan dengan sungai Way Sekampung sepanjang 21,55 km. Anak-anak sungai Way Kandis meliputi Way Kandis Besar, Way Kandis Lunik, Way Kandis, Way Tl Bunut, Way Rilau, dan Way Limus. Bentuk DAS berdasarkan nilai faktor bentuk (SF) sebesar 0,76 yang berarti pola aliran sungai DAS Way Kandis berbentuk lateral menyerupai lingkaran (Hermawan, 1991).
3
Dengan bentuk aliran tersebut maka DAS Way Kandis mempunyai sifat banjir yang besar pada titik-titik pertemuan anak-anak sungainya. Kegiatan usahatani masyarakat yang tinggal di dalam DAS Way Kandis sebanyak 71% diantaranya memiliki lahan usahatani yang memperoleh layanan irigasi baik teknis maupun semi teknis, sedangkan sisanya sebanyak 29% hanya merupakan lahan tadah hujan. Pola pemanfaatan lahan usahatani oleh masyarakat petani umumnya disamping mengikuti anjuran pola tanam yang diberikan oleh petugas penyuluh lapangan (PPL) Cabang Dinas Pertanian kecamatan setempat, juga disesuaikan dengan kondisi iklim dan modal yang tersedia untuk usahatani yang akan dilakukan. Pada beberapa tempat, pola tanam yang dilakukan seringkali mengacu kepada prakiraan petani terhadap kondisi curah hujan selama musim tanam yang akan datang. Jika diperkirakan akan terjadi musim hujan yang cukup panjang maka petani akan menanam padi, sedangkan jika dirasakan curah hujan akan berkurang atau bahkan tidak akan turun maka petani hanya berani menanam palawija dan bahkan tidak mengolah tanah dan berusahatani pada kondisi iklim tersebut. Sebagian besar petani akan menanam jenis komoditas hortikultura sayuran seperti sawi, selada, kangkung darat, tomat, rampai, terong, kacang panjang, kacang tanah, dan cabai merah, dan ada juga petani yang menanam jenis padi ladang (gogo). Adapun luas lahan yang ditanam pada saat tidak ada hujan umumnya juga tidak sesuai dengan jumlah luas lahan yang dimiliki, dan rata-rata kecenderungan lebih kecil dari yang dimiliki. Keadaan tersebut berkaitan dengan resiko yang mungkin akan diterima oleh petani.
4
Pada umumnya petani skala kecil cenderung tidak akan berani menanggung resiko kegagalan yang besar akibat kondisi iklim Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai curah hujan yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif dan orografik maka intensitas curah hujan yang terjadi sangat besar. Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan perubahan ekosistem dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke tanaman semusim berakar dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah longsor. Curah hujan yang tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaaan yang akhirnya menimbulkan banjir (Nugroho, 2002) Menurut Asdak (1995), pemahaman proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan konservasi tanah dan air untuk menentukan (1) perilaku hujan dalam kaitannya dengan proses terjadinya erosi dan sedimentasi; (2) hubungan curah hujan dan air larian (run off); (3) debit puncak (peak flow) untuk keperluan merancang bangunan-bangunan banjir; (4) hubungan karakteristik suatu DAS dengan debit puncak yang terjadi di daerah tersebut, sehingga dapat diambil langkah pengendalian terhadap arus debit tersebut.
B. Tujuan Penelitian
5
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui konsentrasi curah hujan di DAS Way Kandis, mengetahui nilai periode ulang di DAS Way Kandis. C. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui nilai curah hujan bulanan, tahunan dan luasan thiessen sehingga dari nilai-nilai tersebut dapat diketahui konsentrasi hujan sehingga dapat digunakan untuk pemanfaatannya dan nilai-nilai curah hujan rancangan untuk berbagai periode ulang sehingga nantinya dapat digunakan dalam perencanaan konstruksi bangunan air di DAS Way Kandis.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Siklus Hidrologi Ilmu hidrologi berhubungan dengan keterdapatan dan pergerakan air di atas dan melalui permukaan bumi. Ilmu itu berhubungan dengan berbagai bentuk kelengasan yang ada, dan beralihnya wujud zat cair, zat padat dan bentuk gas itu di udara dan di lapisan permukaan darat. Ilmu itupun menyangkut lautan, sumbernya dan kumpulan semua air yang member hidup di planet ini (Hadiwidjoyo, 1993). Menurut Asdak (1995), hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuk (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah termasuk di dalamnya adalah penyebaran, daur dan perilakunya, fisik dan kimianya serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri. Menurut Sosrodarsono dan Takeda (1999), hidrologi adalah ilmu yang mempelajari presipitasi (precipitation), evaporasi dan transpirasi (evaporation), aliran permukaan (surface stream flow) dan air tanah (ground water). Sedangkan menurut Seyhan (1990), hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredarannya, dan agihannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksi dengan lingkungannya termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup.
7
Siklus hidrologi adalah gerakan air laut ke udara, yang kemudian jatuh ke permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi lain, dan akhirnya mengalir ke laut kembali (Soemarto, 1986). Air yang kita gunakan sehari-hari berasal dari hasil daur hidrologi yang juga melibatkan hujan. Bila terjadi hujan, air akan tertahan oleh tajuk vegetasi sebelum sampai ke permukaan tanah, sebagian akan tersimpan di permukaan tajuk dan sebagian lainnya akan jatuh ke permukaan tanah melalui sela-sela daun (throughfall) atau mengalir ke bawah melalui permukaan batang pohon (stemflow). Namun, sebagian kecil air hujan tidak akan pernah sampai ke permukaan tanah karena terevaporasi kembali ke atmosfer (interception). Air hujan yang sampai ke permukaan tanah, sebagian akan mengalami infiltrasi. Sedangkan air hujan yang tidak terinfiltrasi akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff) menuju ke sungai. Air hujan yang terinfiltrasi akan bergerak secara horizontal untuk selanjutnya pada tempat tertentu akan ke luar lagi ke permukaan tanah (subsurface flow) dan akhirnya mengalir ke sungai. Air hujan yang terinfiltrasi dapat pula bergerak vertical ke tanah yang lebih dalam menjadi bagian air tanah (groundwater) yang akhirnya mengalir ke sungai. Namun, tidak semua air infiltrasi mengalir ke sungai, melainkan sebagian tetap tinggal dalam lapisan tanah bagian atas (top soil) untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer melalui permukaan tanah (evaporation) dan melalui permukaan tajuk vegetasi (transpiration) (Asdak, 1995).
B. Curah Hujan
8
Presipitasi adalah curahan atau turunnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang, mengingat bahwa di daerah tropis presipitasi hanya ditemui dalam bentuk curah hujan, maka presipitasi dalam konteks daerah tropis adalah sama dengan curah hujan. Presipitasi adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu DAS (Asdak, 1995). Presipitasi adalah nama umum dari uap yang mengkondensasi dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses hidrologi. Jumlah presipitasi selalu dinyatakan dengan dalamnya presipitasi (mm). Presipitasi atau curah hujan dibagi atas Curah hujan terpusat (Point Rainfall) dan Curah hujan daerah (Areal Rainfall). Curah hujan terpusat (Point Rainfall) adalah curah hujan yang didapat dari hasil pencatatan alat pengukur hujan atau data curah hujan yang akan diolah berupa data kasar atau data mentah yang tidak dapat langsung dipakai. Curah Hujan Daerah (Arael Rainfall) adalah curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir yaitu curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu Curah hujan daerah ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dinyatakan dalam mm. Bila dalam suatu daerah terdapat beberapa stasiun atau pos pencatat curah hujan, maka untuk mendapatkan curah hujan areal adalah dengan mengambil harga rata-ratanya (Naumar, 2004)
Menurut Harto (1993), hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan
9
(surface runoff), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater flow). Menurut Ariyoga (2009), presipitasi (hujan) merupakan salah satu komponen hidrologi yang paling penting. Hujan adalah suatu proses jatuhnya cairan (air) dari atmosfir ke permukaan bumi. Hujan merupakan salah satu komponen input dalam suatu proses dan menjadi faktor pengontrol yang mudah diamati dalam siklus hidrologi pada suatu kawasan (DAS). Peran hujan sangat menentukan proses yang akan terjadi dalam suatu kawasan dalam kerangka satu sistem hidrologi dan mempengaruhi proses yang terjadi didalamnya. Hujan digambarkan sebagai air di udara yang mencapai permukaan tanah. Hujan merupakan komponen utama dari siklus hidrologi. Hujan diperoleh dari air yang berada di atmosfer dalam wujud uap air (Suroso, 2006). Di Indonesia terdapat tiga pola curah hujan, yaitu curah hujan moonsunal, ekuatorial dan lokal. Pola curah hujan moonsunal terjadi akibat proses sirkulasi udara yang berganti arah setiap enam bulan sekali yang melintas di wilayah Indonesia, yang dikenal sebagai monsun barat dan monsun timur. Monsun barat umumnya menimbulkan banyak hujan (musim hujan), sedangkan monsun timur umumnya menyebabkan kondisi kurang hujan (musim kemarau). Untuk wilayah yang berkarakteristik pola curah hujan ini akan terlihat jelas perbedaan antara periode musim hujan dan musim kemarau. Umumnya pola ini juga bercirikan dengan satu puncak hujan maksimum pada bulan basahnya. Sedangkan daerah yang memiliki pola ekuatorial umumnya memiliki dua kali puncak hujan maksimum dalam setahunnya. Hal ini berkaitan dengan pergerakan matahari yang melintas garis ekuator sebanyak dua kali dalam setahun. Oleh karena itu,
10
umumnya wilayah yang berarakteristik ekuatorial ini cenderung berada pada daerah sekitar ekuator. Untuk pola curah hujan lokal umumnya berlawanan dengan pola curah hujan monsunal. Kondisi ini terjadi akibat posisi secara geografis dan topografi daerah setempat (Nurhayati, 2008). Secara garis besar di wilayah Indonesia terdapat tiga pola curah hujan, yaitu (Tjasyono, 2004): 1. Pola A atau Pola Monsun, dipengaruhi oleh monsun, karakteristik distribusi bulanannya berbentuk huru
V‟. Curah hujan minimum
terjadi pada bulan Juni, Juli atau bulan Agustus. Pola ini terdapat di sebelah Utara dan Selatan garis ekuator. Daerahnya meliputi Jawa, Nusa Tenggara,Kalimantan Selatan, Maluku Tenggara, Aceh serta Irian Jaya bagian Utara dan Selatan. 2. Pola B atau Pola Ekuatorial, distribusi curah hujan dengan dua maksimum yaitu sekitar bulan April dan Oktober, tidak selalu jelas perbedaannya pada distribusi curah hujan bulanannya. Pola ini terdapat di daerah ekuatorial yang meliputi daerah bagian tengah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. 3. Pola C atau Pola Lokal, dimana distribusi curah hujan bulanannya berlawanan dengan pola A. Pola ini banyak dipengaruhi oleh kondisi lokal (efek orografi). Dijumpai di daerah Sulawesi Selatan bagian Timur, Sulawesi Tengah bagian Timur, dan sekitar Ambon -Seram. C. Distribusi Curah Hujan Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah
11
yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah/daerah dan dinyatakan dalam mm. curah hujan daerah ini harus diperkirakan dari beberapa titik pengamatan curah hujan (Sosrodarsono dan Takeda, 1999) Untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi hujan di seluruh DAS, maka di seluruh daerah itu dipasang alat penakar hujan, semakin banyak akan semakin baik. Dari pencatatan hujan di tempat-tempat itu dapat diketahui distribusi hujannya. Di daerah-daerah besar keadaan demikian jarang terjadi, besarnya pun tidak sama. Oleh sebab itu, akan sulit menentukan banyaknya air hujan rata-rata daerah untuk suatu periode tertentu (Subarkah, 1980). Menurut Hermawan (1991), Cara-cara perhitungan curah hujan daerah dari pengamatan curah hujan di beberapa titik adalah sebagai berikut : 1.
Cara-cara aljabar
Cara ini adalah perhitungan rata-rata secara aljabar curah hujan di dalam dan di sekitar daerah yang bersangkutan.
(R1 + R2
n)
(2.1)
Keterangan
: : curah hujan daerah (mm)
n
: jumlah titik-titik (pos-pos) pengamatan
R1, R2, …Rn
: curah hujan di setiap titik pengamatan (mm)
Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini merupakan cara yang sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Cara ini
12
dapat digunakan bila hujan yang terjadi dalam DAS homogen dan variasi setiap tahunnya tidak terlalu besar. 2.
Cara Thiessen
Jika titik-titik pengamatan di dalam daerah itu tidak tersebar merata, maka cara perhitungan curah hujan rata-rata itu dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh tiap titik pengamatan. Curah hujan daerah dapat dihitung dengan persamaan.
(2.2)
Keterangan
: = Curah hujan daerah
R1 , R2, …Rn A1, A2, …An
= Curah hujan di tiap titik pengamatan dan n adalah jumlah titik- titik pengamatan = Bagian daerah yang mewakili tiap titik pengamatan
Gambar 1.Cara Thiessen
13
Cara Thiessen ini memberikan hasil yang lebih teliti daripada cara aljabar ratarata. Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu, dan luas tersebut merupakan faktor koreksi (weighing factor) bagi hujan di stasiun yang bersangkutan. 3.
Cara Garis Isohyet
Isohyet adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan yang sama pada saat yang bersamaan. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut :
(2.3)
Keterangan
: = Curah hujan daerah
R1 , R2, …Rn A1, A2, …An
= Curah hujan rata-rata pada bagian A1, A2,
…An
= Luas bagian-bagian antara garis isohyet
14
Gambar 2. Cara Ishoyet
Cara ini adalah cara yang paling teliti, tetapi membutuhkan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat guna memungkinkan untuk membuat garis-garis isohyet. Kesulitan yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambarkan garis isohyet, dan juga masuknya unsur subjektifitas dalam penggambaran isohyet. Jika titik-titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohyet ini akan terdapat kesalahan pribadi (individual error) si pembuat peta. Jadi untuk membuat peta yang baik, diperlukan pengetahuan/keahlian yang cukup
D.
Analisis Frekuensi
Analisis data hidrologi memerlukan perhitungan-perhitungan statistik, terutama yang bersifat probabilistik seperti perhitungan analisis curah hujan dan banjir. Analisis frekuensi digunakan untuk peramalan dalam arti menentukan probabilitas terjadinya suatu peristiwa dengan tujuan perencaan di masa mendatang. Namun, waktu atau saat terjadinya peristiwa itu sebenarnya tidak ditentukan. Karena datadata pengamatan umumnya pendek, maka kita tidak mungkin menentukan distribusi yang sebenarnya yang dapat digunakan bagi probabilitas hujan dan banjir. Oleh sebab itu, digunakan teoritis sebagai pendekatannya (Subarkah, 1980).
15
Cara probabilistik mengenalkan konsep probabilistik kejadian suatu besaran tertentu atau frekuensi kejadian dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, urutan kejadian diabaikan, akan tetapi yang penting adalah bahwa suatu besaran itu akan disamai atau dilampaui sekali dalam sekian tahun. Periode ulang (return period) yang dihitung tidak mempunyai pengertian periode ulang yang sebenarnya. Analisis frekuensi adalah suatu analisis data hidrologi dengan menggunakan statistika yang bertujuan untuk memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan masa ulang tertentu. Frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran disamai atau dilampaui. Sebaliknya , kala ulang (return period) diartikan sebagai waktu di mana hujan atau debit dengan satuan besaran tertentu rata-rata akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Dalam hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu ulang itu (misalnya T tahun) hanya sekali kejadian yang menyamai atau melampaui, tetapi merupakan perkiraan bahwa hujan atau debit tersebut akan disamai atau dilampaui K kalii dalam jangka panjang L tahun, dimana K/L kira-kira sama dengan 1/T (Harto 1993). Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang bersangkutan, yaitu harus seragam (homogenous), independent, dan mewakili (representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan, baik stasiun hujan atau stasiun hidrometri harus tidak pindah, DAS tidak akan berubah menjadi DAS perkotaan (urban catchment), maupun tidak ada gangguangangguan lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan independent disini berarti bahwa besaran data ekstrim tidak terjadi lebih
16
dari sekali. Syarat lain adalah bahwa data harus mewakili untuk perkiraan kejadian yang akan datang, misalnya tidak terjadi perubahan akibat tangan manusia secara besar-besaran, dibangun konstruksi yang mengganggu pengukuran, seperti bangunan sadap dan perubahan tata guna tanah (Harto, 1993). Pengamatan distribusi frekuensi digunakan untuk menduga kejadian-kejadian sebelumnya terulang kembali. Dalam analisis frekuensi tidak dipermasalahkan metode yang digunakan, tetapi yang terpenting adalah lamanya pencatatan data yang digunakan untuk analisa harus menghasilkan hasil akhir yang dapat dipercaya. Kepercayaan terhadap frekuensi akan meningkat dengan bertambah lamanya pencatatan data (Noersyachbana, 1984). Perhitungan data hujan maksimum harian rata-rata DAS harus dilakukan secara benar untuk analisis frekuensi data hujan. Dalam praktek sering kita jumpai perhitungan yang kurang pas, yaitu dengan mencari hujan maksimum harian setiap pos hujan dalam satu tahun, kemudian merata-ratakan untuk mendapatkan hujan DAS. Cara ini tidak logis karena rata-rata hujan dilakukan atas hujan masing-masing pos yang terjadi pada hari yang berlainan. Hasilnya akan jauh menyimpang dari yang seharusnya (Suripin, 2004). Dalam praktek analisis hidrologi, terdapat empat macam distribusi yang banyak digunakan dalam analisis frekuensi (Harto, 1993), yaitu Distribusi Normal Distribusi Log-Normal Distribusi Log-Pearson Type III Distribusi Gumbel
17
Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data debit sungai terbukti sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga distribusi lainnya. Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat stastistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengandung kesalahan overestimated
undersetimated
keduanya tidak diingini. Dengan demikian, jelas bahwa pengambilan distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan analisis tertentu (Harto, 1993). Menurut Subarkah (1980), untuk hujan dan banjir banyak digunakan distribusi Gumbel dan distribusi Log-Pearson III. Untuk hujan harian atau hujan tiap jam, biasanya digunakan distribusi Log-Normal, Gumbel, Log-Pearson. Penentuan hujan rencana meliputi : a. Parameter sebaran frekuensi Parameter dengan komponen yang perlu dicari adalah standar deviasi ( ), koefisien variasi (Cv), koefisien skewness(Cs), dan koefisien kurtosis (Ck). Persamaan yang digunakan adalah :
Standar deviasi ( ) =
Koefisien variasi (Cv) =
................................................(2.9)
(2.10)
18
Koefisien skewness (Cs) =
(2.11)
Koefisien kurtosis (Ck) =
(2.12)
Keterangan : X = Curah hujan harian maksimum (mm) = Curah hujan rata-rata (mm) n
= jumlah tahun data hujan
b. Pemilihan jenis sebaran frekuensi hujan Pemilihan jenis sebaran frekuensi disesuaikan dengan nilai parameter yang didapatkan. Sebaran Normal : digunakan jika Cs = 0 dan Ck = 3 Sebaran Log Normal 2 : digunakan jika nilai Cs = 3Cv atau Cs(lnX) = 0 dan Ck(lnX) = 3 Sebaran Pearson III : digunakan jika Cs > 0 dan Ck = 1,5 Cs2 + 3 Sebaran Log Pearson III : digunakan jika Cs(lnX) > 0 dan Ck(lnX) = 1,5(Cs(lnX)2)+3 Sebaran Gumbel : digunakan jika Cs = 1,4 dan Ck = 5,4 E. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirnya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.
19
Menurut Sulistiorini (1999), daerah aliran sungai (watershed catchment area, river basin, drainage basin) merupakan sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografi yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan curah hujan yang jatuh diatasnya ke sungai utama dan kemudian mengalir ke danau atau ke laut. Menurut Asdak (1995), daerah aliran sungai atau DAS adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah itu akan ditampung oleh punggung-punggung gunung tersebut dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama. Dari definisi diatas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam pendefenisian DAS pemahaman akan konsep daur hidrologi sangat diperlukan terutama untuk melihat masukan berupa curah hujan yang selanjutnya didistribusikan melalui beberapa cara. Konsep daur hidrologi DAS mrnjelaskan bahwa air hujan langsung sampai ke permukaan tanah untuk kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi, yang kemudian akan mengalir ke sungai sebagai debit aliran.
20
Ditinjau dari segi hidrologi, sungai mempunyai fungsi utama menampung curah hujan dan mengalirkannya sampai ke laut. Daerah dimana sungai memperoleh air merupakan daerah air tangkapan hujan yang biasanya disebut daerah aliran hujan (DAS). Dengan demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu unit kesatuan wilayah tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan mengumpul ke sungai menjadi aliran sungai. Garis batas antara DAS ialah punggung permukaan bumi yang dapat memisahkan dan membagi air hujan menjadi aliran permukaan ke masing-masing DAS. Garis batas tersebut ditentukan berdasarkan perubahan kontur dari peta topografi, sedangkan luas DAS dapat diukur dengan alat planimeter. Setiap DAS besar merupakan gabungan dari beberapa DAS sedang/sub DAS dan sub DAS adalah gabungan dari Sub DAS kecil-kecil (Soewarno, 1991).