I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar 5,8 juta km2. Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya akibat letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor seperti variasi iklim musiman, arus atau masa air laut yang dipengaruhi oleh massa air dari 2 samudra, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya (Dahuri, 2003). Sumberdaya pesisir merupakan salah satu kekayaan alam yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Akan tetapi pemanfaatan sumberdaya tersebut sampai saat ini kurang memperhatikan kelestariannya, akibatnya terjadi penurunan fungsi, kualitas serta keanekaragaman hayati yang ada. Hasil penelitian P2O-LIPI (data 2001) diketahui bahwa terumbu karang Indonesia dalam kondisi sangat baik hanya 6.41 %, kondisi baik 24,3 %, kondisi sedang 29,22 % dan kondisi rusak 40,14 %.
Data ini menunjukkan sebagian besar kondisi terumbu karang di
Indonesia dalam keadaan rusak. Kerusakan tersebut pada umumnya disebabkan oleh kegiatan perikanan destruktif, yaitu penggunaan bahan peledak, racun sianida, penambangan karang, pembuangan jangkar perahu dan sedimentasi. Pelaku kerusakan tidak hanya dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional, juga oleh nelayan-nelayan modern dan nelayan asing (Panjaitan, 2007). 1
Berdasarkan data LIPI berikutnya pada tahun 2012, LIPI melakukan pemantauan terhadap kondisi terumbu karang di 1133 stasiun yang tersebar di seluruh perairan Indonesia menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kondisi sangat baik 5%,
baik 27%, sedang 37%, dan buruk 31% (Anonim, 2014).
Disamping itu telah bergeser dari semula di kawasan Indonesia Barat ke kawasan Indonesia Timur. Kerusakan terumbu terparah terdapat di perairan Indonesia Timur, kerusakan sedang di perairan Indonesia Tengah, dan kerusakan ringan di perairan Indonesia Barat (Anonim, 2011a). Menurut Dewantama dkk. (2007) bahwa faktor alam yang sangat merusak ekosistem terumbu karang, dan keadaan terumbu semakin parah akibat tekanan manusia disaat pengeboman dan penggunaan potasium. Sedangkan menurut Guntur (2011) bahwa eksploitasi yang berlebihan dapat mengakibatkan sejumlah perubahan pada terumbu karang. Penangkapan jenis ikan pemakan alga yang berlebihan dapat mengakibatkan pertumbuhan alga yang tidak terkendali, dan penangkapan yang berlebihan dari jenis ikan yang berperan penting dalam ekosistem terumbu karang dapat mengakibatkan meledaknya populasi jenis lain di bagian manapun dari rantai makanan. Padahal sebagai negara kelautan potensi sumberdaya laut Indonesia untuk menyerap karbon tercatat sangat besar, total 245,6 juta ton/km2 karbon per tahun. Jumlah tersebut berasal dari ekosistem terumbu karang seluas 61 ribu km2 dengan daya serap 73,5 juta ton CO2 per tahun. Rumput laut seluas 30 ribu km2 dengan
2
daya serap 75,4 juta ton karbon dan laut terbuka 5,8 juta km2 dengan daya serap karbon 40,4 juta ton per tahun (Anonim, 2007). Provinsi Papua terletak pada koordinat 9,0º - 10,45º LS dan 130º-140º BT merupakan wilayah paling timur Indonesia yang luasnya diperkirakan 3,5 kali Pulau Jawa dan berbatasan langsung dengan Negara Papua New Guinea, serta memiliki potensi sumber daya alam yang besar, khususnya potensi sumber daya laut atau perairan. Provinsi Papua memiliki luas perairan mencapai 45.510 km² yang didalamnya mengandung berbagai jenis biota laut yang bernilai ekonomis penting. Salah satu contoh potensi sumberdaya ikan tidak kurang dari 1,5 juta ton/ tahun (1.524.800 ton/tahun) dalam potensi perikanan laut dan perikanan darat 0,25 juta ton/ tahun (268.100 ton/tahun ). Hal tersebut belum termasuk potensi lahan untuk pengembangan budidaya laut dan tambak yang diperkirakan sebesar 1.663.200 Ha ( Anonim, 2008a). Menurut Koeshendrajana (2002) bahwa sistem pengelolaan sumberdaya perairan (perikanan) dapat dikelompokkan ke dalam dua pola pengelolaan, yakni terpusat (sentralistik) dan oleh masyarakat (desentralistik). Salah satu sistem pengelolaan yang mungkin dapat diterapkan adalah dalam bentuk sistem pengelolaan secara bersama-sama atau bersifat partisipatif yang sering disebut sebagai sistem pengelolaan berbasis Co-management atau pengelolaan partisipatif. Kehidupan masyarakat di kampung-kampung pesisir dan pulau-pulau kecil sangat tergantung pada potensi laut di sekitarnya dan berkaitan dengan peningkatan jumlah penduduk. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, 3
penangkapan biota laut yang berlebihan (ikan, teripang) dan dalam segala ukuran dapat menimbulkan adanya konflik di perairan laut dan mengakibatkan populasi biota laut menurun atau langka (Holle, 2005). Menurut Fauzi dan Anna (2005) bahwa menurunnya produksi perikanan laut secara global adanya kurangnya kerjasama dalam pengelolaan di sektor perikanan. Masyarakat pesisir, seperti halnya dengan masyarakat tradisional lainnya di daratan, menggunakan pengetahuan sumberdaya alam mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, biasanya menggunakan pengetahuan tradisional sebagai guide dalam kegiatan mereka di laut. Dari pengalaman turun temurun, mereka telah dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk mendeterminasi tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Jadi mereka mengetahui dimana mereka akan menangkap ikan, jenis ikan apa yang banyak dan kapan waktunya. Pengetahuan seperti itu, memainkan peran yang penting dalam adaptasi mereka dengan lingkungan, khususnya ekosistem pesisir dan laut ( Hidayati dan Rahardjo, 1997). Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk membuat pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam agar lestari pemanfaatannya. Sistem ini dikenal luas oleh masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua, misalnya di daerah Tabla (Depapre) sistem ini disebut takayeti, di daerah Biak, Teluk Cenderawasih dan Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi (Mansoben, 2003).
4
Salah satu contoh pranata sosial yang dilakukan oleh masyarakat Teluk Tanah Merah adalah Tiyaitiki. Pengertian Tiyaitiki (Tiaitiki) adalah Pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal (Yarisetou, 2009). Sistem konservasi Tiyaitiki merupakan bentuk peran serta masyarakat lokal secara tradisional dalam menjaga kelestarian alam berdasarkan kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut telah dilakukan oleh masyarakat secara turun menurun hingga sekarang, namun belum pernah dipublikasikan secara ilmiah khususnya dengan pendekatan biologi. Oleh karena itu, Sistem konservasi Tiyaitiki dengan pendekatan biologi di perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura sangat menarik untuk diteliti dan dikaji. Penelitian tentang sistem konservasi Tiyaitiki dengan pendekatan biologi di perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura seiring dengan program pemerintah baru yaitu pembangunan di bidang kemaritiman. Kajian tentang sistem konservasi yang berbasis kearifan lokal sangat jarang dijumpai, sehingga sangat menarik mengkaji tentang sistem konservasi Tiyaitiki. Dengan mengkaji seluruh aspek akan mendapat gambaran interaksi dan adaptasi masyarakat dengan lingkungannya. Pendekatan biologi dengan meneliti kehidupan (kondisi habitat, kehadiran organisme, dan kelimpahannya) di perairan khususnya ekosistem terumbu karang, ikan karang, dan teripang di perairan yang telah dilakukan konservasi oleh masyarakat Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura merupakan salah satu cara dalam menentukan kualitas perairan. Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis dan kompleks (hubungan interaksi antar 5
organisme). Kehadiran ikan dan teripang dalam ekosistem terumbu karang merupakan bentuk interaksi yang ditunjukkan kedalam jejaring makanan. Kajian ketiganya mempunyai nilai ekonomi dan ekologi, serta mewakili suatu komunitas yang tidak bisa bergerak (karang), bergerak lambat (teripang), dan bergerak (ikan karang). B. Permasalahan Disamping faktor alami, perilaku manusia mempunyai andil yang besar dalam kerusakan terumbu karang. Ulah manusia tersebut tercermin dari penangkapan dan eksploitasi ikan dan biota laut lain secara berlebihan, penggunaan bahan kimia yang ilegal seperti bom dan racun, pencemaran yang disebabkan oleh limbah dari darat dan laut, kegiatan pariwisata dan lainnya. Namun tidak semua perilaku manusia merusak lingkungan, bahkan sebaliknya menunjukkan dampak positif yang menjaga kelestarian sumberdaya tersebut. Pengetahuan dan kebiasaan seperti ini dikenal dengan istilah kearifan lokal (local wisdom) yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat tradisional. Kearifan lokal merupakan hasil interaksi dan adaptasi masyarakat tradisional (turun temurun dari generasi ke generasi) dengan lingkungan alam sekitar. Selanjutnya pengelolaan sumberdaya alam secara berkesinambungan akan dapat dicapai dengan cara mengembangkan ilmu pengetahuan yang diprioritaskan pada penduduk lokal dan untuk memecahkan masalah yang ada dengan menciptakan teknologi yang merupakan kombinasi antara pendekatan tradisional dan ilmu pengetahuan modern (Hidayati dan Rahardjo, 1997). 6
Dalam kajian sistem konservasi Tiyaitiki dengan pendekatan biologi di perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura ini, yang menjadi permasalahan adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan pengetahuan Tiyaitiki, apakah dikategorikan sebagai suatu sistem konservasi atau merupakan kearifan lokal yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi? 2. Apakah pengetahuan Tiyaitiki ini diterapkan sesuai kaidah umum suatu sistem konservasi? Berapa besar peran serta masyarakat saat ini dalam memahami dan menerapkan pengetahuan Tiyaitiki dalam melestarikan sumberdaya alam perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura? 3. Apakah kondisi kualitas perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura saat ini masih dikategorikan baik dengan adanya penerapan pengetahuan Tiyaitiki?
C. Tujuan Penelitian Sistem konservasi Tiyaitiki
dengan pendekatan biologi di perairan Teluk
Tanah Merah, Depapre, Jayapura bertujuan untuk : 1. Mengkaji tentang pengetahuan Tiyaitiki sebagai kearifan lokal dan kaidah sistem konservasi pada umumnya. 2. Mengkaji peranserta masyarakat sekitar perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura dalam penerapan sistem konservasi Tiyaitiki . 3. Mengkaji status kondisi kualitas perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura dari hasil penerapan sistem konservasi Tiyaitiki. 7
D. Keaslian Penelitian Sistem konservasi Tiyaitiki perlu diketahui dan dipublikasikan. Beberapa contoh penelitian yang berhubungan dengan kearifan lokal dan ekologi pesisir yang diperoleh dalam penelusuran pustaka sebagai bukti keaslian penelitian ini pada Tabel 1. Tabel 1. Daftar penelitian terdahulu tentang kearifan lokal dan ekologi pesisir No.
Judul
Thn
Lokasi
Tujuan
Peneliti
Jenis penelitian
SASI, Kearifan Tradisional Pemanfaatan Sumber Daya Alam Laut di Aru Tenggara, Maluku Kearifan lokal: Relevansi dan manfaat untuk COREMAP
1995
Maluku
Mengetahui sistem pemanfaatan Sumber daya laut
Ketut Sarjana Putra
Penelitian WWF
1997
Sulsel, Sulut, Maluku, Papua, NTB, NTT
Deny Hidayati Yulfita Rahardjo
Hibah PEP-LIPI
3.
Sasisen di Biak Numfor : eksistensi dan dinamikanya
1997
Biak Papua
Identifikasi dan inventarisasi pengetahuan kearifan lokal serta kelembagaan tradisional dalam mengelola sumberdaya laut Mengkaji Eksistensi dan dinamika Sasisen
Herry Yogaswara La Pona
Hibah PEPLIPI
4.
Peran Sasi sebagai Model Pengelolaan Sumberdaya Pulau-pulau Kecil di Kabupaten Maluku Tenggara Barat Komposisi Kelimpahan Fitoplankton di Kawasan Konservasi Tiyaitiki Kampung Tablasupa Distrik Depapre Jayapura Pelestarian Lingkungan Pesisir dan Laut Berbasis Konsep Tiaitiki Dalam Pembangunan Daerah (Studi Pada Komunitas Kampung; Senamai, Tablanusu dan Tablasupa Di Pesisir Teluk Tanah Merah Kabupaten JayapuraPapua)
2007
Maluku
Mengetahui model pengelolaan sumberdaya kelautan
Ellias Lamerburu
Tesis
2007
Tablasupa Papua
Mengetahui komposisi dan kelimpahan fitoplankton
Puguh Sujarta dan Henderite L Ohee
Hibah Penelitian DIKTI
2008
Senamai, Tablanusu dan Tablasupa
Mengkaji konsep tiaitiki untuk dijadikan sebagai salah satu model kegiatan melindungi sumber daya di wilayah pesisir dan laut
Wiklif Yarisetou
Disertasi
1.
2.
5.
6.
8
E. Manfaat Penelitian Penelitian sistem konservasi Tiyaitiki dengan pendekatan biologi di perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura bermanfaat untuk: a. Memberikan informasi tentang sistem konservasi Tiyaitiki di perairan Teluk Tanah Merah, Depapre, Jayapura yang dinilai secara ilmiah merupakan suatu kearifan lokal atau kaidah sistem konservasi pada umumnya. b. Memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa sistem konservasi Tiyaitiki dapat digunakan sebagai salah satu model kegiatan konservasi yang berbasis kearifan lokal. c. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang status kondisi kualitas perairan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura pada saat ini dari penerapan sistem konservasi Tiyaitiki.
9