I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik
dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai produsen gula dilihat dari sisi sumberdaya alam dan iklim karena tebu merupakan tanaman yang dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis. Kontribusi gula selain sebagai sumber pemanis dan kalori bagi masyarakat, juga merupakan salah satu sumber pendapatan bagi 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung sekitar 1.3 juta orang, sehingga pengadaan dan pengaturan harganya ditangani pemerintah (Susila, 2005). Komitmen pemerintah untuk terus mendorong pengembangan industri gula nasional menuju kemandirian, khususnya pencapaian swasembada gula, tertuang dalam Rencana Strategis Pembangunan Pertanian 2004-2015 Departemen Pertanian di mana pemerintah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2007 dengan produksi minimal 2.8 juta ton. Namun target tersebut tidak tercapai karena produksi gula tahun 2007 hanya mencapai 2.6 juta ton sehingga target swasembada mundur sampai 2015. Ada beberapa alasan pemerintah Indonesia berusaha meningkatkan hasil produksi gula dalam negeri melalui berbagai bentuk kebijakan. Alasan pertama adalah karena gula merupakan komoditi penting yang dikonsumsi baik secara langsung oleh rumahtangga maupun secara tidak langsung oleh berbagai industri makanan maupun minuman. Kedua, produksi tebu sebagai bahan mentah dari industri gula merupakan salah satu komoditas pertanian penting bagi para petani sebagai mata pencaharian dan sumber pendapatan. Ketiga, karena sebagian besar
industri pengolahan gula dikelola atau dimiliki oleh pemerintah, industri ini salah satu sumber penghasilan pemerintah yang penting. karena itu wajar bila Indonesia ingin menjadi negara swasembada gula (Siregar, 1998). Perkembangan produksi sampai tahun 2003 mengalami penurunan dengan laju sekitar 3.63 persen per tahun. Namun semenjak tahun 2004, produksi gula mulai menunjukkan peningkatan. Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif dalam meningkatkan kembali produksi gula nasional, khususnya pada tahun 2004. Tabel 1. Perkembangan Produksi, Luas Areal, dan Produktivitas Gula Indonesia Tahun 1997-2008 Produksi Gula
Luas Areal
Produktivitas
Rendemen
(Ton)
(Ha)
(Ton/Ha)
(%)
1997
2 191 986
409 441
5.35
7.83
1998
1 488 269
377 089
3.95
5.49
1999
1 493 933
342 211
4.37
6.96
2000
1 690 004
340 660
4.96
7.04
2001
1 725 467
344 441
5.01
6.85
2002
1 755 354
350 722
5.00
6.88
2003
1 631 918
335 725
4.86
7.21
2004
2 051 644
344 793
5.95
7.67
2005
2 241 782
381 786
5.87
7.12
2006
2 307 027
396 441
5.82
7.12
2007
2 623 786
427 799
6.13
7.20
2 800 946
438 957
6.38
7.20
Tahun
1)
2008
Sumber : Diolah dari Departemen Pertanian, 2008 Keterangan : 1) Bersifat sementara Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga mengalami penurunan pada tahun 1998, mencapai titik terendah yaitu 5.49 persen. Hal ini terjadi karena
menurunnya kualitas tebu akibat biaya produksi yang tinggi pada tahun tersebut. Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan dipatok minimal 7.20 persen. Beberapa faktor yang menyebabkan penurunan kinerja industri gula nasional diantaranya adalah kegagalan kebijakan pemerintah dalam merespon dinamika pasar gula dunia dan dalam negeri, inefisiensi pabrik gula, dan adanya distorsi kebijakan di pasar dunia yang tinggi melalui berbagai kebijakan subsidi dan proteksi, yang membuat pasar gula dunia menjadi terdistorsi (Susila dan Supriyono, 2006). 8000
Harga (Rp/Kg)
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000
19 80 19 81 19 82 19 83 19 84 19 85 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07
0
Tahun Harga Gula Dalam Negeri
Harga Gula Dunia
Sumber : Departemen Pertanian, 2008 Gambar 1. Perkembangangan Harga Gula Dalam Negeri dan Harga Gula Dunia Tahun 1980-2007 Kebijakan distortif dilakukan oleh hampir semua negara, baik negara produsen maupun negara konsumen. Instrumen kebijakan yang digunakan sangat komprehensif mendistorsi sebagian besar industri gula dunia. Kebijakan tersebut menyangkut kontrol produksi, kredit, dukungan harga, subsidi ekspor, trade preferences, dan kebijakan distribusi. Hal ini menyebabkan terjadinya surplus jumlah pasokan yang berpengaruh pada harga gula di pasar dunia. Walaupun
pemerintah telah menerapkan berbagai macam kebijakan, harga gula di pasar dunia berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula di Indonesia, baik pada tingkat petani maupun konsumen. Peningkatan harga gula dalam negeri terutama terjadi semenjak tahun 1998 karena menurunnya produksi gula nasional yang disebabkan faktor yang saling terkait seperti penurunan areal tebu, inefisiensi ditingkat usaha tani dan ditingkat pabrik gula sehingga meningkatnya impor. Padahal pada saat itu nilai tukar rupiah sedang mengalami penurunan, serta lepasnya peran Bulog untuk tidak lagi melakukan monopoli impor sehingga harga ditentukan oleh mekanisme pasar (Departemen Pertanian, 2002). Pada era perdagangan bebas ini gula impor yang lebih bermutu dan lebih murah dapat masuk dengan mudah ke dalam negeri. Akibatnya, banyak terdapat di pasar dalam negeri gula impor yang terkadang juga disertai dengan keberadaan gula ilegal. Sementara pabrik gula lokal sulit untuk meningkatkan produksi maupun produktivitas gulanya karena mesin-mesin produksi yang dimiliki sudah tua serta rendemen relatif rendah. Selain itu, banyak petani yang tidak tertarik bertanam tebu karena faktor harga yang sangat murah. Padahal kebutuhan tebu untuk pabrik gula di Indonesia sekitar 75 persen diantaranya dipasok dari petani (Arifin, 2008). Pada sisi permintaan gula secara nasional diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat, dan pertumbuhan industri, terutama industri pengolahan makanan dan minuman yang berbahan baku gula. Data Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) menyebutkan kebutuhan gula pada tahun 2007 sebesar 4.85
juta ton, yang terdiri dari 2.70 juta ton untuk konsumsi rumahtangga, sedangkan industri besar makanan dan minuman membutuhkan 1.10 juta ton, serta untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) diperkirakan setiap tahunnya berkisar sebesar 1.05 juta ton. Tabel 2. Konsumsi Gula Rumahtangga dan Industri Tahun 2002-2007 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Konsumsi (Ton) Rumahtangga
Industri
2 537 267 2 571 017 2 604 922 2 638 780 2 664 616 2 698 859
760 000 751 880 787 790 850 000 950 000 1 100 000
Sumber : GAPMMI, 2008 Keterangan : Industri hanya mencakup industri skala sedang dan besar Konsumsi gula oleh rumahtangga dapat dibedakan menjadi konsumsi langsung dan konsumsi tidak langsung. Konsumsi gula secara langsung adalah konsumsi gula oleh rumahtangga dalam wujud gula untuk dijadikan makanan dan minuman, sedangkan konsumsi tidak langsung adalah konsumsi rumahtangga melalui makanan dan minuman yang mengandung gula yang dibuat oleh industri makanan dan minuman (Purwoto et al. 1999). Dengan asumsi rata-rata konsumsi gula sebesar 12 kg per kapita pertahun dan terus meningkat setiap tahun, dapat dihitung kebutuhan gula penduduk. Industri pengolahan makanan dan minuman yang berkembang dengan pesat membutuhkan gula putih bermutu tinggi dibandingkan konsumsi rumahtangga yaitu jenis refined sugar/double refined yang kemudian dikenal sebagai gula rafinasi. Industri gula rafinasi terus tumbuh dan pada tiga tahun terakhir penggunaan konsumsi gula rafinasi berkisar antara 800 ribu ton sampai 1.10 juta
ton per tahun. Selain industri pengolahan makanan dan minuman, gula rafinasi juga digunakan oleh industri farmasi/obat-obatan. Karena permintaan terhadap produk ketiga industri tersebut terus meningkat, permintaan terhadap gula rafinasi diperkirakan terus meningkat disertai tuntutan terhadap kualitas gula yang memenuhi standar kesehatan. Permintaan gula dalam negeri yang terus meningkat ini tidak dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Konsumsi gula putih memang masih menempati urutan pertama, dan permintaan terhadap gula rafinasi saat ini menunjukkan trend yang terus meningkat sekitar 7.80 persen per tahun, terutama permintaan dari sektor industri. Kecenderungan meningkatnya impor gula Indonesia menunjukkan bahwa pasar gula dalam negeri memiliki prospek yang cukup baik dimasa depan. Indonesia perlu secara cepat dan tepat mengantisipasi situasi tersebut. Bila dikaitkan dengan kewajiban yang harus dilakukan sehubungan dengan tarif bea masuk gula yang berdasarkan kesepakatan di atas harus dikurangi/dihilangkan, maka semakin rendahnya tarif impor ditambah dengan terdistorsinya perdagangan gula dunia sehingga harga gula di pasar internasional lebih rendah dari biaya produksinya, menyebabkan gula impor memasuki pasar dalam negeri. Kondisi ini membuat kinerja industri gula di Indonesian semakin menurun dan berdampak terhadap kesejahteraan petani tebu. Salah satu cara agar industri gula dalam negeri dapat bersaing adalah melalui peningkatan efisiensi dan mutu produk. Untuk memproduksi gula mutu tinggi, proses produksi yang digunakan adalah proses rafinasi dengan bahan baku gula mentah (raw sugar). Dalam keadaan standar yaitu dalam hal kualitas dari warna gula berdasarkan International Commission For Uniform Methods of Sugar
Analysis (ICUMSA), kadar abu, SO2, dan mikroba, proses rafinasi menghasilkan gula yang memenuhi syarat untuk keperluan industri. Selama ini kualifikasi gula putih yang diproduksi oleh pabrik-pabrik gula dalam negeri adalah Superieure Hoofd Suiker (SHS) melalui proses sulfitasi dan karbonatasi yang walaupun telah diupayakan peningkatan mutu gula dalam negeri tersebut, belum memenuhi syarat untuk keperluan industri makanan dan minuman karena belum memenuhi kualitas yang distandarkan oleh konsumen. Sehingga untuk memperoleh gula bermutu tinggi sistem proses yang ada saat ini harus diubah menjadi proses rafinasi sebab pasar gula dunia di masa depan akan dipengaruhi oleh produk-produk bermutu tinggi dan harga bersaing (Tjokrodirdjo et al. 1999). Sampai tahun 2008, jumlah perusahaan/pabrik yang memproduksi gula rafinasi sebanyak enam perusahaan. Keenam perusahaan ini secara total mempunyai kapasitas terpasang sekitar dua juta ton, dimana terjadi peningkatan produksi yang pesat pada tahun 2004 sebesar 395 ribu ton menjadi 1.4 juta ton pada tahun 2007 (Departemen Perindustrian, 2008). Kondisi ini menunjukkan bahwa pada tahun 2004 gula rafinasi masih perlu diimpor untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Hal inilah yang mendasari pemerintah melakukan pengembangan industri gula rafinasi. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk melindungi produsen atau industri gula nasional selalu mempunyai efek dan pada akhirnya konsumen yang harus menanggung beban kebijakan tersebut. Pengembangan industri gula rafinasi harus dalam kerangka keterkaitan pasar gula dalam negeri dan pasar gula dunia, dimana perubahan yang terjadi di pasar dunia akan mempengaruhi pasar di dalam negeri.
1.2.
Rumusan Masalah Permasalahan industri gula di Indonesia masih berkisar pada kesenjangan
antara kemampuan produksi yang masih rendah dengan jumlah kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya penduduk, pertumbuhan industri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menghadapi adanya peningkatan kebutuhan gula rafinasi yang diperkirakan terus meningkat sesuai perkembangan industri makanan dan minuman, pemerintah telah berupaya melakukan restrukturisasi industri gula nasional dengan membangun pabrik gula rafinasi yang menggunakan bahan baku gula mentah untuk memperoleh gula dengan mutu tinggi serta memberikan kemudahan dalam impor bahan bakunya. Pembangunan pabrik gula rafinasi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman, bukan untuk konsumsi langsung rumahtangga. Prinsip ini mengakomodasikan kepentingan tiga komponen utama yang berkaitan yaitu konsumen (terutama untuk industri makanan dan minuman), petani dan pabrik gula rafinasi sebagai produsen, karena secara bertahap diharapkan bahan baku gula rafinasi berasal dari petani dalam negeri. Arifin (2008) mengemukakan bahwa pengembangan industri gula rafinasi dilakukan untuk memperoleh nilai tambah ekonomi serta ditujukan untuk pangsa pasar industri makanan dan minuman. Namun dalam perkembangan pasar gula rafinasi dalam negeri saat ini, beberapa penggunanya mengatakan bahwa produksi gula rafinasi belum dapat memenuhi syarat yang dibutuhkan oleh pengguna gula rafinasi. Industri pangan atau makanan dan minuman mempunyai 5 syarat yang harus dipenuhi oleh produsen gula rafinasi yang dikontrol ketat oleh aturan
pemerintah dalam hal mutu dan keamanan pangan, seperti: (1) harga harus kompetitif dengan harga dunia, (2) kualitas terjamin, (3) suplai tersedia secara kontinyu, (4) memenuhi persyaratan keamanan pangan, dan (5) mempunyai komitmen kontrak penyediaan gula rafinasi jangka panjang (Soebekty, 2005). Persyaratan ini sulit dipenuhi oleh pabrik rafinasi dalam menyediakan suplai/penawaran di dalam negeri. Hal inilah yang membuat industri makanan dan minuman memutuskan untuk mengimpor gula rafinasi demi menekan biaya produksi yang semakin mahal. Bagi konsumen tentu akan mendukung jika harga terjangkau dan kualitas terjaga. Kondisi ini menunjukkan semakin besarnya impor produk gula rafinasi maupun bahan baku pembuat gula rafinasi guna memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Pertanyaannya adalah bagaimana kondisi industri gula rafinasi di Indonesia? Sebagai gambaran dalam bentuk skema untuk memudahkan pengertian mengenai kondisi kebutuhan gula (Gambar 2) menunjukkan bahwa impor gula rafinasi tahun 2007 mencapai 1.7 juta ton termasuk untuk stok tahun 2006. Sedangkan kebutuhan industri makanan dan minuman di dalam negeri sebesar 1.1 juta ton. Dengan produksi gula rafinasi dalam negeri tahun 2007 sebesar 1.4 juta ton (maksimun kapasitas produksi 2 juta ton) seharusnya sudah over supply. Selisih produksi dan kebutuhan ini dapat mengakibatkan terjadinya rembesan gula rafinasi ke pasar ritel/pasar rumahtangga. Berdasarkan ketentuan, gula rafinasi seharusnya dipasarkan untuk industri makanan dan minuman, sedangkan gula putih untuk konsumsi langsung rumahtangga. Dengan keunggulan gula rafinasi yang lebih putih dan halus, dengan mutu yang lebih baik, serta harga yang hampir sama dengan gula putih biasa, maka gula
rafinasi dapat dengan mudah memasuki pasar konsumen langsung rumahtangga. Situasi ini mengakibatkan tekanan harga gula di pasar dalam negeri yang pada akhirnya akan menekan petani dan industri gula pada umumnya, yang kemudian berdampak pula kepada konsumen gula.
Sumber: Diadaptasi dari GAPMMI, 2008 Gambar 2. Skema Kebutuhan Gula Tahun 2007
Masalah lain yang dihadapi oleh industri gula rafinasi ini adalah harga gula rafinasi impor jauh lebih murah dari harga yang diproduksi di dalam negeri sehingga produk gula rafinasi banyak yang memasuki pasar ritel/rumahtangga. Seharusnya gula rafinasi produk dalam negeri lebih murah karena dalam memperoleh bahan baku gula mentah banyak memperoleh kemudahan impor serta untuk investasi baru dalam industri gula rafinasi pemerintah menerapkan
kebijakan bea masuk 5 persen selama dua tahun pertama yang diatur dalam SK Menteri Keuangan No.135/KMK.05/2000. Jadi seharusnya harga gula rafinasi lokal lebih murah dari impor. Pertanyaannya adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi permintaan dan penawaran gula rafinasi? Gula merupakan komoditas yang memiliki tingkat regulasi tinggi setelah beras, mengharuskan kepastian pemenuhan kebutuhannya dimasa depan. Hal ini menimbulkan banyak masalah dalam bentuk kebijakan yang adil bagi semua pihak agar tidak terjadi konflik kepentingan antara petani, indusri gula, dan konsumen. Kebijakan pemerintah dalam pergulaan bertujuan untuk melindungi gula petani yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik gula dalam negeri berstatus BUMN yang hanya mampu memproduksi gula putih juga untuk menjaga kestabilan harga bagi konsumen umum. Departemen Pertanian (2003) membatasi impor gula dalam bentuk: gula putih (white sugar) untuk konsumsi rumahtangga, gula rafinasi (refined sugar) untuk industri, dan gula mentah (raw sugar) untuk diolah di pabrik gula untuk bahan baku gula rafinasi. Industri gula rafinasi termasuk juga industri makanan dan minuman memperoleh banyak kemudahan dalam hal impor bahan baku gula mentah dan gula rafinasi. Tarif bea masuk gula mentah yang dikenakan saat ini sebesar Rp 550/kg, sedangkan industri makanan dan minuman saat mengimpor gula putih (rafinasi) dikenakan bea masuk oleh pemerintah sebesar Rp 700/kg. Ketentuan mengenai Tataniaga Impor Gula diatur dengan adanya SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 643/MPP/Kep/9/2002. Kebijakan pemerintah membatasi ruang gerak pasar hanya terbatas pada industri makanan dan minuman serta farmasi, sementara perusahaan terus
melakukan peningkatan produksi riil, ditambah semakin besarnya impor yang dilakukan menunjukkan sempitnya volume penjualan gula rafinasi yang dapat dimasuki produsen dalam negeri. Diberlakukannya berbagai kebijakan, salah satunya berupa tarif dan pembatasan impor untuk melindungi industri gula dalam negeri dari persaingan dengan gula impor sudah seharusnya memberikan insentif untuk melakukan peningkatan kinerja dan efisiensi, namun berbagai kemudahan ini tidak bisa selamanya diterapkan sesuai dengan liberalisasi perdagangan dunia sehingga secara bertahap harus dikurangi.
Pertanyaannya adalah bagaimana
dampak penerapan kebijakan perdagangan pada industri gula? Berdasarkan pada permasalahan pergulaan di atas menarik untuk dikaji dampak dari berbagai kebijakan perdagangan terhadap industri gula rafinasi Indonesia. Pemahaman mengenai kondisi penawaran dan permintaan bermanfaat untuk mengkaji kembali kebijakan yang akan diterapkan selanjutnya dalam industri gula, khususnya gula rafinasi.
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, penelitian ini bertujuan:
1.
Mengkaji kondisi industri gula rafinasi di Indonesia.
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan gula, khususnya gula rafinasi.
3.
Menganalisis dampak dari penerapan kebijakan pemerintah terhadap keragaan industri gula. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai pihak
baik akademisi sebagai bahan kajian untuk pengembangan penelitian lanjutan
yang sejenis, maupun untuk pengambil kebijakan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan dan alokasi dana bagi investasi pada industri gula nasional serta perencanaan pembangunan bagi pemerintah.
1.4.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1.
Penelitian difokuskan pada pendugaan respon penawaran dan permintaan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhinya. Respon tersebut merupakan cerminan perilaku produsen dan konsumen gula.
2.
Data statistik yang dipakai adalah tahun 1980-2007.
3.
Penggunaan istilah gula pada penelitian ini mengacu pada jenis gula putih yang berasal dari tebu dengan kualitas seperti gula hasil produksi pabrik gula di dalam negeri. Sedangkan gula rafinasi adalah jenis gula yang berasal dari gula mentah, dimana dalam penelitian ini tidak membedakan jenis gula rafinasi refined sugar atau double refined sugar.
4.
Gula rafinasi banyak digunakan oleh sektor industri makanan, minuman dan farmasi/obat-obatan, tetapi sesuai data dan informasi yang tersedia, dalam penelitian ini data penggunaan gula rafinasi diperoleh dari data industri makanan dan minuman saja yang merupakan industri besar dan sedang.
5.
Pada dasarnya gula putih dan gula rafinasi tidak jauh berbeda, hanya yang membedakannya adalah warna serta kualitas saja, keduanya adalah jenis gula pasir putih, maka dalam persamaan total impor dan total permintaan gula merupakan penjumlahan impor dan permintaan gula dan gula rafinasi.