I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan salah satu komoditas pertanian
yang memiliki peran penting yaitu sebagai makanan manusia dan ternak. Indonesia merupakan salah satu penghasil jagung dengan jumlah yang terbatas. Sejak tahun 1970, menurut Tangendjaja et al (2005) bahwa produksi jagung Indonesia diutamakan sebagai makanan manusia. Akan tetapi ketika industri unggas mulai berkembang yang disertai dengan meningkatnya produksi beras, maka pemanfaatan jagung secara bertahap sedikit bergeser ke pakan (makanan ternak). Penggunaan jagung dalam negeri untuk kebutuhan konsumsi pangan sebesar 30 persen, kebutuhan pakan sebesar 55 persen, dan sisanya digunakan untuk kebutuhan industri lainnya seperti benih (Kasryno et al, 2007). Dengan demikian, kebutuhan jagung untuk pangan merupakan tingkat konsumsi terbesar di dalam negeri.
Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional 2010-2014 (Sumber : Deptan 2009, diolah) Gambar 1 di atas merupakan proyeksi kebutuhan jagung nasional yang dilakukan oleh Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2014. Kebutuhan
1
jagung nasional diproyeksikan terus meningkat hingga tahun 2014. Jika target kebutuhan jagung dapat tercapai sebagaimana proyeksi tersebut, hal ini mengindikasikan bahwa industri jagung terutama sebagai pangan dan pakan berpotensi untuk dikembangkan (Purna dan Hamidi 2010). Berdasarkan lima tahun terakhir, permintaan jagung untuk bahan baku industri pakan, makanan, dan minuman meningkat hingga 10 - 15 persen per tahun. Dengan demikian, produksi jagung selain mempengaruhi kinerja industri pangan, juga berpengaruh terhadap industri peternakan. Dalam perekonomian nasional yaitu di subsektor tanaman pangan, jagung sebagai penyumbang terbesar kedua setelah padi. Sumbangan jagung terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus meningkat setiap tahun, sekalipun pada saat krisis ekonomi. Pada tahun 2000, kontribusi jagung dalam perekonomian nasional mencapai Rp 9,4 trilyun dan pada tahun 2003 meningkat menjadi Rp 18,2 trilyun. Kondisi demikian mengindikasikan besarnya peranan jagung dalam memacu laju pertumbuhan subsektor
tanaman
pangan
dan
perekonomian
nasional
secara
umum
(Zubachtirodin et al 2007). Pada tahun 2010 produksi jagung nasional sebesar 18.327 ribu ton dengan luas panen sebesar 4,13 juta hektar dan produktivitas jagung mencapai 44,35 kuintal per hektar. Kemudian pada tahun 2011 produksi jagung sebesar 17.643 ribu ton pipilan kering serta luas panen mencapai 3,8 juta hektar dan produktivitasnya mencapai 44,52 kuintal per hektar
(BPS, 2011). Adanya
penurunan produksi jagung sebesar 684.386 ton atau 3,7 persen dibandingkan tahun 2010, dikarenakan terjadinya penurunan luas panen jagung sebesar 266.984 hektar (6,5 persen). Penurunan produksi jagung tersebut disebabkan oleh adanya kemarau panjang di beberapa wilayah di Indonesia. Pemenuhan target akan kebutuhan jagung nasional, harus diimbangi dengan peningkatan produksi jagung nasional. Peningkatan produksi jagung dapat dilakukan dengan perluasan areal tanam maupun peningkatan produktivitas melalui perbaikan teknologi budidaya jagung. Penambahan luas tanam jagung dilakukan di seluruh wilayah terutama pada daerah sentra produksi jagung di Indonesia antara lain yaitu Provinsi Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan daerah lainnya termasuk NTB.
2
Provinsi NTB memiliki peluang dalam pengembangan jagung yaitu memanfaatkan lahan kering dengan luas mencapai + 1,8 juta hektar. Walaupun tingkat produksi jagung NTB masih terbilang kecil jumlahnya yaitu sebesar 308.863 ton atau 1,75 persen dari jumlah produksi jagung nasional 17.629.748 ton pipilan kering (BPS 2011). Untuk mencapai target peningkatan produksi jagung, maka kegiatan ini juga didukung melalui suatu program kegiatan pemerintah daerah guna mengembangkan komoditas unggul daerah yaitu melalui program PIJAR. Program PIJAR merupakan singkatan dari tiga komoditi unggulan NTB yaitu sapi, jagung, dan rumput laut yang pelaksanaannya dimulai sejak tahun 2010. Pengembangan jagung di NTB tersebar hampir di seluruh kabupaten dan kota. Hal ini dikarenakan jagung merupakan komoditi pangan penting ke dua setelah padi dilihat dari luas pertanaman dan jumlah produksi per tahun. Berdasarkan data BPS (2011), total produksi jagung NTB terus meningkat tiap tahunnya, yaitu sejak tahun 2006 sebesar 103.963 ton hingga tahun 2009 sebesar 308.863 ton. Walaupun terjadi penurunan produksi pada tahun 2010 namun produktivitasnya sebesar 4,04 ton/ ha dari 3,79 ton/ ha pada tahun 2009. Tabel 1 Luas panen, produktivitas, dan produksi jagung di Provinsi NTB Tahun
Luas (ha)
panen Produktivitas (ton/ha)
Produksi (ton)
Kebutuhan (ton)
2005
39.380
2,45
96.458
620
2006
40.617
2,56
103.963
500
2007
42.955
2,81
120.612
600
2008
59.078
3,32
196.263
3300
2009
81.543
3,79
308.863
2100
2010
61.593
4,04
249.005
1500
Sumber : BPS 2011
Peningkatan produksi jagung di NTB dimaksudkan untuk menjadikan NTB sebagai salah satu daerah produksi jagung nasional. Peningkatan produksi jagung belum menjamin terjadinya peningkatan pendapatan petani yang
3
proporsional. Hal ini dikarenakan pendapatan usahatani jagung tidak hanya di tentukan oleh produksi tetapi juga pada harga yang berlaku di pasar. Harga yang responsif bagi pelaku pasar akan terealisasi jika sistim pemasarannya efisien. Sifat jagung yang mudah rusak, serta letak sentra produksi yang jauh dari sentra konsumsi mengakibatkan petani cendrung menjual dengan cepat. Dilain pihak harga yang harus dibayar konsumen relatif mahal dibandingkan harga yang diterima petani sebagai produsen yang dikarenakan produk yang dibutuhkan konsumen sudah melalui suatu proses pemasaran dengan biaya yang tidak kecil. Usaha peningkatan produksi jagung perlu diimbangi dengan pemasaran jagung yang saling menguntungkan pihak-pihak yang terlibat. Pasar jagung melibatkan lembaga-lembaga perantara dalam upaya menjembatani pergerakan jagung dari produsen ke konsumen. Lembaga-lembaga perantara ini melakukan aktivitas bisnis melalui pelaksanaan fungi-fungsi pemasaran. Adanya perilaku harga di berbagai tingkat pasar pada komoditi pertanian relatif serupa (Adiyoga et al, 2001). Peningkatan harga jagung di tingkat produsen dan pedagang besar cendrung meningkat secara simultan dengan jumlah yang relatif kecil. Sebaliknya apabila terjadi penurunan harga, maka harga di tingkat produsen (petani) cenderung menurun lebih cepat dibandingkan dengan harga di tingkat pedagang besar. Perbedaan harga tersebut antara lain dapat dipengaruhi oleh jenis produk yang dihasilkan dari masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat. Baik dalam bentuk bahan baku jagung pipilan maupun bahan jadi berupa beras jagung dan tepung jagung yang pada akhirnya hal ini tentu saja berdampak pada harga jual jagung. Adanya diferensiasi produk yang dihasilkan dari bahan baku jagung menimbulkan banyak alternatif pilihan pemasaran jagung bagi petani dan lembaga pemasaran jagung. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penelitian efisiensi pemasaran jagung perlu dilakukan.
1.2.
Perumusan Masalah Jagung di pasar domestik maupun pasar dunia permintaannya terus
meningkat sejalan dengan adanya pemenuhan kebutuhan jagung sebagai pangan dan bahan
4
baku industri pakan ternak, dengan demikian potensi permintaan
jagung cukup tinggi. Untuk memenui permintaan jagung tersebut, dilakukan pengembangan pada sentra produksi jagung di seluruh Indonesia yang salah satunya adalah di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Luas panen jagung di NTB pada tahun 2010 sebesar 61.593 ha dengan produksi sebesar 249.005 ton. Produktivitas jagung yaitu sebesar 4,04 ton per ha masih kecil bila dibandingkan dengan produktivitas jagung nasional sebesar 4,72 ton per ha. Selain pengembangan jagung melalui program PIJAR, pemerintah juga berharap program ini mampu mendukung pengembangan ternak di Provinsis NTB. Pengembangan jagung di NTB sebagian besar diusahakan di lahan kering dengan beberapa kendala (Cakra, 2006) antara lain teknis lapangan seperti ketersdiaan air yang terbatas jumlahnya, dan struktur tanah. Kendala lainnya adalah penerapan teknologi (rekomendasi teknologi), serta pemasaran hasil jagung. Dalam sistim pemasaran jagung dari produsen ke konsumen, pelaku yang menjembatani sistim pemasaran tersebut adalah lembaga pemasaran seperti pedagang pengumpul hingga pengecer. Keterlibatan lembaga pemasaran ini pada akhirnya mempengaruhi pembentukan harga jual jagung, yaitu pembentukan harga jagung pada satu tingkat lembaga pemasaran dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lainnya. Pembentukan harga jagung di NTB juga didasari oleh pertimbangan harga jagung yang berlaku di pasar internasional yang akhirnya berdampak pula pada harga di pasar lokal. Pola pergerakan harga di pasar internasional pada tahun 2011 (Gambar 2) terlihat belum dapat ditransmisikan dengan baik terhadap pasar lokal di NTB. Dimana harga jagung pada pasar dunia cendrung berfluktuasi jika dibandingkan dengan harga jagung di pasar lokal NTB yang cendrung stabil. Belum ditransmisikannya harga dengan baik antara pasar lokal NTB dengan pasar internasional, mengidentifikasikan sistim pemasaran yang tidak efisien. Efisiensi pemasaran menurut Sudiyono (2002) dapat dilakukan dengan pendekatan SCP (Structure, Conduct, Performance). Dalam pemasaran ini, sistim pengambilan keputusan oleh lembaga pemasaran diukur melalui jumlah penjual dan pembeli, diferensiasi produk, hambatan masuk pasar, dan konsentrasi pasar. Struktur pasar yang terbentuk akan berpengaruh pada perilaku pasar yaitu teradap
5
penjualan dan pembelian oleh lembaga pemasaran, penentuan dan pembentukan harga, serta kerjasama antar lembaga pemasaran. Interaksi antara struktur dan perilaku pasar tersebut pada akhirnya akan menentukan kinerja pasar. Indikator yang digunakan adalah marjin pemasaran, farmer share, dan integrasi pasar. Efisiensi sistim pemasaran dapat dikaji melalui efisiensi teknis (operasional) dan efisiensi harga. Efisiensi teknis (operasional) dilakukan dengan mengukur biaya pemasaran, marjin pemasaran, dan farmer share. Efisiensi harga dilakukan dengan melihat integrasi pasar pada suatu lembaga pemasaran terhadap lembaga pemasaran lainnya. Harga yang responsif bagi pelaku pasar akan terealisasi jika sistim pemasarannya efisien. Penentuan dan pembentukan harga jagung yang merupakan perilaku pasar akan dipengaruhi oleh struktur pasar yang terbentuk. Perubahan harga tersebut pada akhirnya akan menentukan kinerja pasar jagung di NTB.
Gambar 2 Harga Jagung dunia dan Provinsi NTB (Sumber : Kemendagri 2012 dan Disperindag Provinsi NTB 2012) Fluktuasi harga yang terjadi, akan berpengaruh pada keputusan dan kemampuan dari lembaga pemasaran jagung yang terlibat dalam merespon adanya perubahan harga. Penentuan dan pembentukan harga yang terjadi
6
berkaitan dengan perilaku pasar yang dipengaruhi oleh bagaimana struktur pasar jagung yang terbentuk di Provinsi NTB. Perubahan harga pada masing-masing lembaga pemasaran yang terbentuk tersebut pada akhirnya akan menentukan kinerja pasar jagung di NTB. Selain itu, adanya penerapan suatu strategi dalam pemasaran yang melihat kebutuhan pasar dari sisi bauran pemasaran dapat berpengaruh pada penentuan dan pembentukan harga jagung. Namun, seberapa besar bauran pemasaran tersebut dapat merespon pemasaran jagung yang efisien, akan diketahui melalui analisis strategi pasar. Jenis produk yang dominan dipasarkan berupa jagung kering pipil sedangkan bentuk olahan lainnya berupa beras jagung dan tepung jagung diproduksi dalam skala kecil tergantung pada permintaan. Adanya perbedaan produk yang dihasilkan oleh lembaga pemasaran akan berpengaruh juga pada pembentukan harga jual yang pada akhirnya membentuk margin pemasaran yang berbeda pula di masing-masing lembaga pemasaran. Tingginya harga di tingkat konsumen dengan harga yang diterima oleh petani yang lebih rendah berpengaruh pada minat petani dalam memproduksi jagung, sehingga berpengaruh pula pada produksi jagung di NTB. Oleh karena itu, pemasaran menurut Sudiyono (2002); dan Asmarantaka (2009) akan efisien bila kegiatan tersebut pada akhirnya dapat memberikan balas jasa yang sesuai pada semua pihak yang terlibat hingga ke konsumen akhir. Dengan kata lain, jika terjadi efisiensi pemasaran maka kepuasan akan tercipta dari sisi produsen, lembaga pemasaran maupun konsumen. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan analisis efisiensi pemasaran jagung di provinsi NTB. Adapun permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana struktur dan perilaku pasar pada pemasaran jagung di NTB? 2. Bagaimana kinerja pasar pada pemasaran jagung di NTB ? 3. Strategi pemasaran bagaimanakah yang diterapkan pada lembaga pemasaran jagung untuk meningkatkan efisiensi pemasaran?
7
1.3.
Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur pasar dan perilaku pasar yang terbentuk pada pemasaran jagung di NTB. 2. Menganalisis kinerja pasar yang ada pada pemasaran jagung di NTB ? 3. Mengidentifikasi strategi pemasaran jagung pada lembaga pemasaran jagung di NTB.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Memberikan informasi kepada petani dan lembaga pemasaran mengenai alternatif pola pemasaran jagung yang efisien dan mampu mengantisipasi perubahan harga jagung yang terjadi di Provinsi NTB. 2. Memberikan informasi dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan pengembangan jagung dan sistim pemasarannya yang efisien guna meningkatkan ketahanan pangan nasional.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini mencakup :
•
Produk jagung yang diteliti yaitu produksi jagung dalam bentuk kering panen hingga kering pipil.
•
Pada tingkat lembaga pemasaran, penelitian ini mengkaji seluruh lembaga pemasaran jagung yang terlibat, berdasarkan alur pemasarannya.
8