1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Pemidanaan merupakan bagian terpenting dalam hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana1. Sistem peradilan pidana juga tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman yang dikutip oleh Esmi Warassih membedakan unsur sistem hukum ke dalam tiga macam yaitu struktur (Legal Structure), Substansi (Legal Substance), Kultur budaya (Legal Culture)2. Sistem hukum sendiri terdiri dari substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Substansi hukum dalam hal ini yaitu seperangkat norma hukum yang dianut dan dibentuk berupa peraturan perundangan. Sedangkan struktur hukum berkaitan dengan hal penegakan hukum, yang di wujudkan melalui para aparat penegak hukum yaitu polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan advokat. Baharudin Lopa berpendapat bahwa semua kegiatan di bidang hukum perlu dijaga keterkaitan dan keterpaduannya. 3 Penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.4 Budaya hukum yaitu bagaimana kesadaran masyarakat pada hukum, apa harapanharapan masyarakat pada hukum dan pandangan hukum. Secara sempit budaya 1
Chairul Huda, 2006, “Dari Tiada Pidana, Tanpa Kesalahan menuju pada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Kencana Media Group Jakarta, h 129. 2 Esmi Warassih Puji Rahayu, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, , Suryandaru Utama, Semarang, h 29 3 Baharudin Lopa, 2001, Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, h 133 4 Barda Nawawi Arief, masalah penegakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan, jakarta, Kencana Prenada Media Group, , 2008 h 23
2
hukum Indonesia diartikan sebagai tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum Indonesia5. Dalam pengertian yang lebih luas, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya hukum masyarakat Indonesia6. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawahi empat unit pelaksana teknis, diantaranya Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Balai Pemasyarakatan (Bapas), Rumah Tahanan Negara (Rutan), Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Keempat unit tersebut memiliki tugas dan fungsi masingmasing. Khusus berkaitan dengan pelaksanaan pemidanaan dilaksanakan oleh lapas dan bapas. Di dalam tugas pelaksanaan pidana penjara dilaksanakan oleh pihak lapas. Sedangkan bapas berfungsi dalam kaitan proses pelaksanaan pembimbingan pelanggar hukum di luar lapas, baik disebut Pembebasan Bersyarat (PB), ataupun Cuti Bersyarat (CB). Hakikat pemidanaan dalam sistem pemasyarakatan
adalah
upaya
menyadarkan
narapidana
agar
menyesali
perbuatannya, mengembalikan menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum dan mejunjung tinggi nilai-nilai norma, sosial dan keagamaan sehingga tercipta kehidupan masyarakat yang aman dan tertib7. Rumah Tahanan Negara adalah unit pelaksana teknis pemasyarakatan, tempat tersangka ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
5
Lili Rasidi dan I B Wiyasa Putra, 2003, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Bandung, h 193. Ibid, h194. 7 Jokie Siahaan M.S., 2003, “Hak Asasi Manusia”, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, h 265. 6
3
di sidang pengadilan8. Di dalam rutan dilangsungkan proses pelayanan perawatan tahanan yang dilaksanakan mulai dari penerimaan sampai pengeluaran tahanan. Rutan berfungsi sebagai tempat perawatan tahanan titipan yang sedang menjalani proses peradilan atau belum menerima putusan hakim yang sah. Perawatan tahanan meliputi pendaftaran, pendataan pribadi, pengaturan pengamanan dan tata tertib, mengerjakan program perawatan fisik, mental, spiritual, memfasilitasi bantuan hukum, dan penyuluhan. Lembaga pemasyarakatan sebagai instansi terakhir dalam tata peradilan pidana di Indonesia, memiliki tugas dan fungsi pembinaan terhadap narapidana berdasarkan konsep “Sistem Pemasyarakatan”. Sejarah Istilah “Pemasyarakatan” sendiri secara resmi menggantikan istilah “Kepenjaraan” sejak 27 April 1964, melalui amanat tertulis Presiden Republik Indonesia yang deberikan pada Konferensi Dinas para pejabat Kepenjaraan (sebutan masa lampau) di Lembang, Bandung, juga dalam rangka mengadakan “retooling” dan “reshaping” dari sistem kepenjaraan, yang dianggap tidak selaras dengan adanya ide pengayoman sebagai konsepsi hukum nasional yang berkepribadian Pancasila9. Tahanan merupakan tersangka atau terdakwa yang ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti. Secara yuridis bahwa terdakwa memiliki hak sipil dan politik yang sama dengan warga di luar, terkecuali hak kemerdekaan bergerak. Dan perlu digaris bawahi bahwa 8
Yayan Madyana G, 2003, “Perawatan Tahanan Rumah Tahanan Negara”, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta. 9 Soegondo, R , 1983, “Sejarah Pemasyarakatan(Dari Kepenjaraan ke Pemasyarakatan)”, Jakarta, h 3.
4
tahanan bukanlah narapidana. Oleh sebab itu walaupun ditempatkan pada suatu tempat bersama dengan narapidana, namun tetap harus mendapat perlakuan selayaknya terdakwa yang masih belum bersalah dengan memperhatikan asas praduga tak berasalah. Tujuan pembinaan narapidana yaitu reintegrasi sosial. Pembinaan dalam sistem pemasyarakatan ini bertujuan agar narapidana setelah selesai menjalani masa pidananya di lembaga pemasyarakatan dapat menyesuaikan diri dan kembali ditengah masyarakat dan hidup secara wajar, yaitu menjalankan aturan, normanorma dan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dengan baik. Narapidana merupakan bagian dari aset bangsa dalam upaya pembangunan. Oleh karena itu narapidana perlu dibina dan dibimbing agar mereka dapat kembali menjadi manusia yang bertanggung jawab serta mandiri. Sehingga apabila ia kembali ke tengah-tengah masyarakat dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya agar dapat menjadi manusia yang berdaya guna. Dualisme tugas dan fungsi petugas Lapas Klas IIA Denpasar yaitu sebagai petugas pembinaan narapidana, dan sebagai petugas pelayanan perawatan tahanan. Satu sisi petugas lapas harus memberikan upaya paksa demi lancarnya proses pembinaan narapidana. Sisi lain petugas lapas juga harus menghilangkan upaya paksa dalam perlakuan pelayanan perawatan terhadap tahanan. Kondisi demikian akan menimbulkan kontradiksi, serta diskriminasi dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi tiap tahanan dan narapidana.
5
Dualisme tujuan dari konsep perlakuan petugas terhadap tahanan dan narapidana juga merupakan alasan penulis melakukan penelitian ini. Tujuan dari pembinaan yaitu reintegrasi sosial, sedangkan tujuan pelayanan perawatan tahanan yaitu terlaksanaya asas praduga tak bersalah. Konsep dalam pembinaan narapidana yaitu dengan sistem pemasyarakatan, sedangkan konsep dalam perawatan tahanan adalah penerapan asas praduga tak bersalah. Sebuah adagium latin ubi societas ibi yusticia memiliki makna bahwa dimana ada masyarakat dan kehidupan, maka disanalah ada hukum. Terpidana, narapidana, dan tahanan yang dikumpulkan dalam suatu tempat secara bersamasama juga pasti akan menumbuhkan budaya tersendiri dalam kehidupan kesehariannya. Seperti tragedi pembakaran Lapas Kerobokan oleh penghuni pada februari 2012, dimana hasil pertemuan antara Kapolda Bali Inspektur Jenderal Totoy Herawan Indra dengan perwakilan dari narapidana yang hasilnya antara lain mereka(napi) meminta keadilan dan tidak lagi diskriminasi. Mereka mencontohkan semisal ijin berobat. Selain itu mereka juga mengeluhkan kapasitas Lapas Kerobokan yang sudah tidak memadai. Menurut mereka(napi), kondisi lapas tidak manusiawi, karena diisi sekitar 1000 orang Narapidana yang melebihi kuota seharusnya 300 narapidana10. Kasus-kasus tersebut mempunyai nuansa terselubung dan secara kasat mata dianggap ada semacam penyimpangan hukum (deviant of law) dari fakta-fakta hukum. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya oposisi pendapat dan
10
Mulyadi, 2012, Inilah Biang Kerusuhan di Lapas Regional.kompas.com/read/2012/02/22, diakses 15 oktober 2014.
Kerobokan,
http.//www.
6
pandangan oleh para pengamat masalah hukum sebagai ajang pemicu konflik dari berbagai pihak berkepentingan (vested interest) ataupun intervensi politis dari pihak tertentu.11 Padatnya tingkat hunian lapas dan rutan menghambat pelaksanaan fungsi pelayanan perawatan dan pembinaan. Bahkan pada tataran yang lebih ekstrem, kondisi over kapasitas akan menurunkan kualitas hidup narapidana dan tahanan karena daya dukung sumber daya yang dimiliki lapas dan rutan tidak memenuhi kebutuhan hidup narapidana dan tahanan. Keadaan sanitasi dan kesehatan lingkungan lapas atau rutan yang mengalami over kapasitas tidak akan mampu mendukung secara optimal terhadap tingkat kesehatan narapidana atau tahanan. Tingkat kematian yang tinggi, sebagaimana yang terjadi pada Lapas Klas IIA Pemuda Tangerang dan Lapas Klas I Dewasa pada medio Februari hingga april 2007 yaitu sebanyak 22 orang meninggal dunia, merupakan salah satu dampak dari kurang optimalnya pelayanan kesehatan narapidanan dan tahanan pada lapas atau rutan yang mengalami over kapasitas12. Setiap manusia memiliki hak asasi yang dimiliki sejak lahir, begitu juga dengan tahanan maupun narapidana. Walaupun ada sebagian hak yang harus dibatasi dalam proses persidangan atau proses pemidanaan, namun tetap perlindungan hak-hak lainnya harus tetap dijaga. Batasan perlindungan hak bagi tahanan dan narapidana menjadi penting dalam penelitian ini, karena itu
11
Abraham H.F. Amos, 2004, Legal Opinion Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 3 12 Aman Riyadi dan Andi Rifai, 2009, Penghukuman Teori dan Aplikasi, Vetlas Publishing, Jakarta, , h 69.
7
merupakan tolak ukur dalam implementasinya. Berikut data penghuni pada Lapas Klas IIA Denpasar Kebenaran ilmiah dalam ilmu sosial dan humaniora tidak ada yang mutlak, yang ada hanyalah kebenaran relatif. Artinya kebenaran ilmiah itu hanya menurut asumsi dan konsep serta indikator yang dipergunakan untuk istilah atau variabel tertentu13.Adanya surat penahanan yang sah dari instansi yang berwenang untuk menempatkan tahanan titipan dalam Lapas Klas IIA Denpasar tentu menjadi dasar yuridis. Selama masih berstatus tahanan, maka orang tersebut masih memungkinkan untuk mendapat putusan hakim bebas demi hukum. Meskipun masih dalam tingkat banding atau kasasi, tetap statusnya tahanan. Dalam perkara pidana, jenis-jenis putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung adalah sebagai berikut14 : Putusan pemidanaan/ penghukuman (veroordeling), putusan bebas/ pembebasan (vrijspraak). Putusan Lepas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging). Istilah Pemidanaan itu sinonim dengan istilah penghukuman yakni pemberian atau penjatuhan hukuman oleh Hakim (sentence atau veroodeling15).
13
Mohammad Mahfud MD, 2012, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h 4. Hamdan, 2012, Alasan penghapus pidana teori, dan studi kasus, Refika aditama, Bandung, h 2. 15 Adi Sujatno dan Didin Sudirman, 2008, Pemasyarakatan Menjawab Tantangan Zaman, Vetlas Production, Jakarta, h 87. 14
8
Tabel 1. Data Jumlah Penghuni Lapas Klas IIA Denpasar Berdasarkan Jenis Kelamin No
Kategori
Dewasa Pria
Anak
Wanita
Pria
Wanita
Jum lah
1
Narapidana
595
79
1
-
675
2
Tahanan
195
30
4
-
229
Jumlah
790
109
5
-
904
Ket
Sumber : Buku Harian Isi Lapas, Sub Seksi Registrasi Lapas Klas IIA Denpasar, januari 2015. Data diolah oleh penulis. Berdasarkan data tersebut diatas, dapat diketahui bahwa Lapas Klas IIA Denpasar dihuni oleh Narapidana dan Tahanan, dengan jenis kelamin laki-laki, dan wanita, serta pula dihuni oleh tahanan anak atau narapidana anak Dualisme fungsi petugas lapas disinyalir akan menimbulkan permasalahan dalam Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar. Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 secara konstitusional mencerminkan prinsip menjamin, menghormati, dan melindungi hak-hak asasi manusia. Negara mengakui dan menjunjung tinggi penerapannya. Berdasarkan keselarasan dan keserasian kehidupan manusia sebagai individu-individu dan masyarakat yang bersumber dari kodratnya sebagai perseorangan dan mahkluk sosial. Pancasila sendiri, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, bukan saja merupakan norma dasar bagi kehidupan bangsa dan sumber dari segala sumber
9
hukum, tapi lebih dari itu, juga merupakan sumber dari segala sumber hak-hak asasi manusia16. Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui perlindungan hak asasi manusia sejak awal berdirinya. Dalam penjelasan umum KUHAP angka 3 disebutkan bahwa oleh karena itu undang-undang ini yang mengatur tentang hukum acara pidana nasional, wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara. Sudah seharusnyalah didalam ketentuan materi pasal ayat tercermin perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kewajiban warga negara seperti diuraikan dimuka, maupun asas yang disebutkan selanjutnya. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mengatur hakhak tersangka dan terdakwa sebenarnya sudah memadai.17 Selain itu ada beberapa peraturan yang mendukung yaitu antara lain Pasal 10 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenan of Civil and Politic Rights menegaskan bahwa penahanan yang dilakukan kepada orang yang belum dinyatakan bersalah secara sah oleh hukum (tahanan) harus tetap memperhatikan sisi manusiawi pihak tertahan sebagai seorang pribadi masyarakat yang utuh. Dualisme tugas, fungsi dan perlakuan petugas terhadap tahanan dan narapidana di dalam Lapas Klas II A Denpasar akan dapat menimbulkan kontradiksi dan atau perlakuan diskriminasi. Untuk mendapatkan penelitian yang lebih terperinci maka dalam penelitian ini, penulis menitikberatkan penelitian 16
Ramdlon Naning, S.H., 1983, Cita dan Citra Hak – Hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, h ix. 17 Bambang Waluyo, 2004, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38.
10
pada Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi Tahanan yang dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar. Dari uraian tersebut maka penulis melakukan penelitian lebih dalam tentang masalah tersebut dan penulis sajikan dalam uraian Ilmiah (Thesis) dengan Judul “Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan di Lapas Klas IIA Denpasar.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.
Bagaimana Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi Tahanan Yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ?
2.
Apa
saja
faktor
penghambat
dan
pendukung
Implementasi
Perlindungan Hak Sipil dan Politik Bagi Tahanan Yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar ?
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Mengingat luasnya permasalahan yang dapat dibahas, maka dipandang
perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas pada bab berikutnya. Penulis membatasi pembahasan permasalahan yaitu hak sipil dan hak politik tahanan yang ada di Lapas Klas IIA Denpasar. Tahanan yang dimaksud disini adalah tahanan perkara pidana, bukan tahanan politik atau tahanan lainnya. Didalam pasal 10 terdapat tiga poin penting yang menjadi objek
11
penelitian yaitu pertama perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan, kedua penempatan tahanan yang harus dipisahkan dari narapidana, ketiga tahanan anak yang harus dipisahkan dari narapidana serta segera disidangkan. Pembahasan akan juga berkaitan dengan Undang Undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. 1.4.
Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum Sejak awal renaissance, tujuan ilmu pengetahuan adalah penemuan.18 Secara Umum Penelitian ini disusun untuk dapat memperluas pengetahuan tentang ilmu hukum dan memberikan informasi yang benar dan akurat terhadap publik mengenai Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Selain itu juga agar dapat mengetahui faktor penghambat dan pendorong Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Selain itu juga sebagai bahan kajian pengembangan Ilmu Hukum itu sendiri. 1.4.2. Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan
pada apa yang dirumuskan dalam rumusan
masalah yaitu :
18
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Pustaka Pelajar, Jakarta, h 3.
12
1.
Untuk
mengetahui,
sebenarnya,
realita
mengkaji, dilapangan
dan
menganalisa
mengenai
keadaan
Implementasi
Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar 2.
Untuk mengetahui, mengkaji, menganalisa faktor penghambat implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar.
1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis Untuk meningkatkan dan mengkaji lebih dalam mengenai keadaan faktual Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Serta dapat menemukan faktor penghambat dan pendukung implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana perlindungan hak sipil dan politik bagi tahanan yang ditempatkan dalam lembaga yang notabene berfungsi sebagai tempat pembinaan narapidana. 1.5.2. Manfaat Praktis Dengan melakukan penelitian ini diharapkan agar penulis dapat menggambarkan keadaan sebenarnya Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Agar supaya hasil penelitian ini menjadi bahan atau pandangan baru
13
atau pertimbangan bagi para Petugas Lapas khususnya Lapas Klas IIA Denpasar dalam memperlakukan tahanan yang dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar, serta tetap tidak mengesampingkan kepentingan pembinaan narapidana.
1.6.
Orisinalitas Tesis Penulisan tesis dengan judul Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan
Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Sebagai bahan pembanding terhadap tesis yang pernah dilakukan sebelumnya adalah sebagai berikuti : a) Pelaksanaan Hak Asasi Manusia dalam Pembinaan Narapidana (Studi Lembaga Pemasyarakatan se-Nusakambangan dan Cilacap Jawa Tengah) (oleh Diyah Irawati, S.H , tahun 1998, Universitas Diponegoro Semarang) Rumusan Masalah : 1. Bagaimana keterkaitan antara pelaksanaan Hak Asasi Narapidana dengan Pembinaan Narapidana d Lapas-Lapas Se-Nusakambangan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan? 2. Bagaimana pelaksanaan Hak-Hak Narapidana di Lapas-Lapas SeNusakambangan? 3. Apa Kendala dan upaya yang dilakukan dalam Pelaksanaan HAM terhadap pembinaan Narapidana di Lapas-Lapas se-Nusakambangan ? b) Perlindungan Hukum Narapidana Wanita dalam Sistem Pemasyarakatan (oleh Ni Wayan Armasanthi, 2011, Universitas Udayana Bali) Rumusan Masalah :
14
1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap narapidana wanita dalam
sistem pemasyarakatan? 2. Apakah perlindungan narapidana wanita sudah sesuai dengan sistem pemasyarakatan ? c) Hak Narapidana atas Fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan dihubungkan dengan Undang-Undang Nomoer 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. (oleh Rio Mulyadi Sitorus, 2008, Universitas Padjajaran Bandung) Rumusan Masalah : 1.
Bagaimana pelaksanaan pemenuhan hak narapidana atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak di
lembaga
pemasyarakatan dihubungkan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan? 2.
Bagaimana tanggung jawab lembaga pemasyarakatan dengan tidak terpenuhinya hak atas fasilitas makanan dan pelayanan kesehatan yang layak bagi narapidana dihubungkan dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan?
1.7.
Landasan Teoritis Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasikan asas-asas
hukum, doktrin, dasar hukum, dan yurisprudensi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan asas-asas hukum, doktrin dan dasar hukum sebagai landasan
15
teoritis. Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum.19 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenan of Civil and Politic Rights mengatur tentang hak sipil dan hak politik yang dimiliki oleh setiap warga negara. Khusus berkaitan dengan penelitian ini yaitu pada pasal 10 ayat 1, dimana
menyatakan bahwa semua orang yang
dirampas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada umat manusia. Pasal 10 ayat 2 huruf a menyatakan bahwa para terdakwa, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari para narapidana, dan harus mendapatkan perlakuan tersendiri sesuai dengan statusnya sebagai orang-orang yang bukan narapidana. Pasal 10 ayat 2 huruf b menyatakan bahwa para terdakwa yang masih dibawah umur harus dipisahkan dari narapidana dan secepat mungkin dibawa ke sidang pengadilan. Secara umum penulis merangkum isi pasal 10 yaitu mengatur (1) perlakuan yang manusiawi terhadap tahanan, (2) penempatan bagi para tahanan yang terpisah dari narapidana, (3) perlakuan bagi tahanan anak. Pasal 10 ayat 1 mengatur hak atas pelayanan perawatan tahanan yang manusiawi. Perlakuan manusiawi disini dimaksudkan yaitu perlakuan oleh petugas pemasyarakatan dalam pemenuhan hak atas pelayanan perawatan tahanan. Aturan yang mengatur secara lengkap tentang hak atas pelayanan perawatan tahanan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
19
Marwan M. dan Jimmy, P., 2009, Kamus hukum; Dictionary of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h 56
16
Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Penelitian ini akan juga mengupas aturan tersebut sebagai kepanjangan tangan dari Pasal 10 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Pasal 10 ayat 2 a Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa para terdakwa, kecuali dalam keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari para narapidana dan harus mendapatkan perlakuan tersendiri dengan statusnya sebagai orang-orang yang bukan narapidana. Kondisi sangat khusus berarti kondisi yang tidak ideal dan dengan sangat terpaksa dilakukan pengecualian namun tetap harus memiliki dasar yang logis dan yuridis. Menurut I Made Suardhana bahwa penyatuan tempat tahanan dan narapidana dikarenakan Lapas Klas IIA Denpasar merupakan satu-satunya institusi atau lembaga yang terdapat dan memungkinkan dijadikan tempat penitipan tahanan yang sedang dalam proses peradilan wilayah hukum Denpasar dan Badung (Hasil Wawancara dengan I Made Suardana, seorang Petugas Lapas Klas IIA Denpasar pada 25 Desember 2014).
Berbeda dengan rumah tahanan dimana berfungsi dan dirancang khusus sebagai tempat perawatan tahanan. Dalam pasal 1 ayat 2 PP No. 58 tahun 1999 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab
Perawatan Tahanan menyatakan bahwa Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan dalam Rutan/Cabang Rutan. Tempat penahanan bagi tersangka atau terdakwa yang belum dinyatakan bersalah yaitu berada pada rumah tahanan
17
negara. Ketika tahanan tidak dititipkan pada institusi rutan dan bahkan dititipkan di lapas, maka hal tersebut sudah merupakan sebuah pelanggaran aturan. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tidak ideal dan terpaksa dilakukan karena ada pertimbangan khusus. Pasal 2 ayat 2 PP No. 58 tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, tugas, dan tanggung jawab perawatan Tahanan menyatakan bahwa dalam hal lembaga pemasyarakatan (lapas) tertentu ditetapkan oleh menteri sebagai rutan, maka tanggung jawab perawatan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh kepala lapas/cabang lapas. Seperti Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dimana juga berfungsi sebagai rumah tahanan. Kondisi tersebut merupakan keadaan yang tidak ideal dan penuh resiko negatif dalam pelaksanaannya. Kondisi dualisme fungsi Lapas Klas IIA Denpasar tersebut membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam. Menurut Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik pasal 10 menyebutkan bahwa tahanan harus dipisahkan dari narapidana. Kesenjangan terjadi antara kondisi yang seharusnya dilaksanakan (das sein) dengan kondisi sebenarnya (das sollen). Aturan memerintahkan tahanan dipisahkan dari narapidana (das sein) namun realitanya tahanan ditempatkan pada satu tempat bersama dengan narapidana (das sollen).. Dalam pasal 4 Undang Undang Nomor 58 tahun 1999 tentang Syaratsyarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab
18
Perawatan Tahanan dimana berbunyi Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya wajib memperhatikan perlindungan hak asasi manusia. Adanya perbedaan status tahanan dan narapidana maka perlakuan petugas juga harus berbeda sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing tahanan atau narapidana. Tahanan memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dengan narapidana. Perbedaan perlakuan petugas terhadap kedua status hukum ini dimungkinkan secara sosiologis menimbulkan kesenjangan sosial antara si tahanan dan si narapidana. Pemerintah menyatukan penempatan tahanan dan narapidana dalam satu tempat secara bersama namun tetap harus memenuhi hak atas penahanan yang manusiawi Ketika tahanan juga ditempatkan didalam Lapas Klas IIA Denpasar maka akan mempengaruhi pembinaan narapidana. Pancasila sebagai tonggak utama dalam proses pemidanaan harus juga tercermin dalam Pola Pembinaan Narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Karena secara tugas dan fungsi bahwa Lapas Klas IIA Denpasar sengaja dibangun dan didesain untuk pembinaan narapaidana. Hal tersebut diwujudkan dalam pemberian Hak-Hak Narapidana yang diberikan secara utuh, adil, dan merata. Landasan teoritis yang dipakai dalam penelitian ini antara lain yang utama dan terutama adalah pembinaan narapidana yang berdasarkan pancasila serta sistem penahanan yang manusiawi. Konsep pemasyarakatan yang lahir tahun 1964 akhirnya dapat dituangkan dalam suatu aturan perundangan yang sah dan baku pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Serta didukung oleh peraturan lainnya
19
seperti peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan seterusnya. Proses pelaksanaan pembinaan narapidana untuk tercapainya tujuan pemasyarakatan, maka unsur-unsur pokok yang sangat terkait terdiri dari Petugas Lembaga Pemasyarakatan, Narapidana, Masyarakat20. Ketiga unsur pokok tersebut diatas harus saling bersinergi untuk tercapainya tujuan cita-cita luhur pemasyarakatan. Cita-cita sistem pemasyarakatan yaitu mengembalikan kesatuan hubungan
hidup,
kehidupan,
dan
penghidupan
narapidana.
Pada
perkembangannya dalam praktek pembinaan berdasarkan sistem pemasyarakatan dirumuskan adanya 10 (sepuluh) Prinsip Pemasyarakatan: 1. Orang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna bagi masyarakat. 2. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara. 3. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. 4. Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk dan atau lebih jahat daripada sebelum ia masuk penjara. 5. Selama kehilangan bergerak, narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan. 6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya diperuntukkan kepada kepentingan instansi atau negara dan pemerintah sewaktu-waktu saja. 7. Bimbingan atau didikan harus berdasarkan Pancasila. 8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat. 9. Narapidana hanya dijatuhi hukuman hilang kemerdekaan. 10. Yang menjadi hambatan untuk melaksanakan Sistem Pemasyarakatan ialah warisan-warisan rumah penjara yang keberadaannya menyedihkan yang sekarang disesuaikan dengan Tugas Pemasyarakatan yang letaknya ditengah-tengah kota dengan tembok yang tinggi dan tebal 21.
20
Simanjuntak S, , 2003, “Politik dan Praktek Pemasyarakatan”, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Akademi Ilmu Pemasyarakatan, Jakarta, h 73. 21 Ibid, h 38.
20
Aturan norma tersebut diatas selalu dilakukan pengkajian untuk penyempurnaan-penyempurnaan, agar tetap dapat sesuai dengan perkembangan zaman dengan tidak keluar dari koridor pancasila. Berdasarkan Sepuluh Prinsip Pemasyarakatan maka terbentuk Program Pembinaan dalam Lapas antara lain : 1. Pembinaan Kepribadian a. Pembinaan fisik : 1) Penempatan hunian, 2) Kesehatan 3) Olahraga b. Pembinaan Psikis c. Pembinaan Mental dan Spiritual 1) Agama 2) Kepercayaan 3) Kebebasan d. Pembinaan Pendidikan 1) Umum 2) Ketrampilan e. Pembinaan Kemasyarakatan 1) Pengenalan Lingkungan 2) Asimilasi 3) Intergrasi 2. Pembinaan Kemandirian yang meliputi : a. Pembinaan Kesadaran Beragama. b. Pembinaan Kesadaran Berbangsa dan Bernegara. c. Pembinaan Kemampuan Intelektual. d. Pembinaan Kesadaran Hukum. e. Pembinaan Mengintegrasikan diri ke dalam Masyarakat 22. Adanya program pembinaan tersebut diatas, besar harapan pemerintah agar menurunya angka residivis atau pengulangan tindak kejahatan. Namun dengan adanya penempatan tahanan pada Lapas Kerobokan maka akan berpengaruh terhadap proses pembinaan. Selain itu juga akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak atas pelayanan perawatan tahanan didalamnya. Karena
22
Ibid, h 44.
21
harus dipahami bahwa tahanan belum tentu bersalah dan belum tentu dipidana penjara. Masyarakat
umum
harus
memahami
secara
luas
akan
proses
pemasyarakatan serta tujuan cita-cita luhur pemasyarakatan agar dapat terwujud rasa keadilan dan ketenangan serta perlindungan hukum. Karena bagaimanapun juga kedamaian sejati dapat terwujud apabila warga masyarakat telah merasakan baik lahir maupun bathin penerapan perlindungan hukum yang berkeadilan sosial. Begitu juga dengan ketentraman dianggap sudah ada jika warga masyarakat merasa yakin bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan hak tidak tergantung pada kekuatan fisik maupun non fisik belaka23.Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep perlindungan hukum mempunyai makna yaitu Segala daya upaya yang menjamin adanya kepastian hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.24 Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar dalam implementasinya menjadi bagian dari tugas dan fungsi pihak pemasyarakatan. Konsep pemasyarakatan tidak terlepas dari tujuan dari falsafah pancasila dimana salah satu tujuannya yaitu mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata. Hal ini selaras dengan konsep budaya bali yaitu Trihitakarana. Nama Trihitakarana diambil dari Kata Tri (tiga), Hitha (sejahtera/bahagia) dan Karanan berasal dari kata Sang Hyang Jagat Karana, nama lain Sang Hyang Widhi Wasa selaku penyebab 23
Mahjudin Dudu Dusuna, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, Bandung, Renika Aditama, h.26-27. 24 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, , Rajawali Grafindo Persada Jakarta (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), h. 23.
22
(karana) kehidupan di permukaan bumi berjalan25. Ada tiga unsur yang terkandung didalam kehidupan dan selanjutnya mesti dijadikan pegangan dalam setiap kegiatan dalam hidup. Unsur tersebut yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Alam, dan
Manusia
itu
sendiri.
Seperti
proses
pemasyarakatan
yang
tetap
mengedepankan pembinaan kesadaran beragama, dan pembinaan kesadaran kepribadian, namun kurang adanya Pembinaan kesadaran Lingkungan. Komponen-komponen sistem peradilan pidana berawal dari proses penyidikan oleh pihak kepolisian. Pola pemeriksaan yang diperlukan bagi POLRI adalah pola pemeriksaan yang scientcetific investigation yang tentunya menghindari segala bentuk intimidasi, ancaman, kekerasan fisik, maupun psikologi. Kesatuan sistem yang dimaksud adalah criminal justice system sebagaimana dikemukakan oleh Remington dan Ohlin bahwa pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap tingkah laku sosial. 26 Sedangkan penegakan hukum sendiri merupakan upaya dari penegak hukum untuk memulihkan kembali keamanan dan ketertiban masyarakat yang sempat terganggu sehingga tercipta kepastian hukum.27 Hak asasi manusia adalah hak seorang manusia yang sangat asasi yang tidak bisa diintervensi oleh manusia diluar dirinya atau oleh kelompok atau oleh 25
Mertha Sutedja, I Wayan, 1998, Penjara Bukan Cara, Denpasar, h 87. Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporet, Prada Media Group, Jakarta, h 2. 27 Teguh Sulistia dan Aria Zurnetti, 2011, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 36. 26
23
lembaga-lembaga manapun untuk meniadakanannya 28. Pada dasarnya hak asasi manusia telah ada sejak seorang manusia masih berada dalam kandungan ibunya, hingga lahir dan sepanjang hidupnya, hingga suatu saat meninggal. Dalam hal pemidanaan terhadap pelanggar hukum, maka negara berhak melindungi atas hakhak asasi pelanggar hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan dengan tujuan untuk : a. b. c.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya 29.
Pembatasan pemberian hak asasi manusia bagi pelanggar hukum yaitu hanya kebebasan bergerak atau hilang kemerdekaan, seperti tertuang pada pasal 5 huruf f Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Undang Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Civil dan Political Right dikuatkan dengan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 1999 tentang Syarat dan Cara Pelaksanaan tugas wewenang, dan tanggung jawab perawatan tahanan menjadi salah satu dasar dalam implementasi perlindungan hak atas sistem penahanan yang manusiawi bagi tahanan yang dititipkan pada Lapas Klas IIA Denpasar.
28
Bazar A. Harahap, dan Nawangsih Sutardi, 2006, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, Jakarta, h 6 29 Abdussalam, HR, dan Sitompul, DPM, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, h 3
24
Dalam pembahasan dan analisa permasalahan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan teori antara lain : 1.
Teori Hak Asasi Manusia Teori Hak Asasi Manusia merupakan bagian dari aliran hukum
alam. Ham adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan. Hakhak sipil dianggap sebagai hak-hak alami. Thomas Jefferson menulis bahwa orang bebas(mengklaim) hak-hak mereka sebagai berasal dari hukum alam, dan bukan sebagai karunia hakim utama mereka 30.Dalam hal ini tahanan merupakan suatu sebutan bagi para pelanggar hukum yang masih dalam proses persidangan dan belum dinyatakan bersalah. Mereka ditahan berdasarkan surat penahanan dari pihak berwenang. Alasan penahanan yaitu untuk memudahkan proses persidangan. Dan juga agar si tahanan tidak dapat berkeliaran untuk menghilangkan barang bukti. Namun tetap tidak menghilangkan asas praduga tak bersalah. Dengan demikian hak tahanan yang dibatasi dalam tempat penahanan yaitu hanya hak bebas. Hak-hak manusia memiliki pengertian yang sangat luas, baik yang bersangkut paut dengan berlakunya maupun konotasinya. Hak-hak manusia menunjukkan pada hal hal yang memperoleh pengakuan secara internasional atau juga difahami sebagai hal-hal yang dibela dan
30
Anissa Faricha, 2013, Hak Sipil sebagai Pelindung Kebebasan Fundamental Individu, www.lbhyogyakarta.org/2013/04/hak-sipil-sebagai-pelindung-kebebasan-fundamental-individu, diakses 12 januari 2015.
25
dipertahankan secara internasional. Lebih-lebih manusia juga menjadi layu besar dalam teori praktek hubungan internasional31. 2.
Teori Perlindungan Hukum Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan di lain pihak.32 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 33 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggotaanggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Menurut
Satjipto
Raharjo,
Perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.34 Menurut Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat
31
Yohanes Usfunan, 2011, Ham Politik Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Udayana University Press, Bali, h 177. 32 Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h 53. 33 Ibid, h 69 34 Ibid, h 54
26
sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprensif.35 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan.36 Selama ini pengaturan perlindungan korban belum menampakkan pola yang jelas, dalam hukum pidana positif yang berlaku pada saat ini perlindungan korban lebih banyak merupakan “perlindungan abstrak” atau “perlindungan tidak langsung”. Artinya berbagai rumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini pada hakekatnya telah ada perlindungan in abstracto secara langsung terhadap kepentingan hukum dan hak asasi korban.37 Perlindungan secara tidak langsung dalam peraturan hukum positif tersebut belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal. Karena realitas di Indonesia menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan. 3.
35
Teori Sistem Hukum
Pjillipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, h 2 36 Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk Produk Masyarakat Lokal Dalam Prespektif Hak Kekayaan Intelektual, Universitas Brawijaya, Malang,, h 18. 37 Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan Pidana, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, Vol.I/No.I, h 16-17
27
Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) dari Lawrence M.Friedman yang pada intinya adalah menyatakan bahwa suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) komponen yaitu : a. Substansi Hukum (Legal Substance) “The substance id composed of substantive rules and rules about how instittutions should behave.”
38
(Substansi tersusun
dari peraturan-peraturan dan ketentuan menhenai bagaimana institusi-institusi harus berperilaku / bertindak. Dalam hali ini dimaksud sebagai substansi hukum adalah aturan perundangan yang digunakan sebagai dasar dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. b. Struktur Hukum (Legal Structure) “Structure, to be sure, is one basic and obvious element of the legal system...... The structure of a system is its skeletal framework , it is the elements shape, the institutional body of the system.” (struktur adalah satu dasar dan merupakan unsur nyata dari sistem hukum. Struktur dalam sebuah sistem adalah kerangka permanen, atau unsur tubuh lembaga dalam sistem hukum). Dalam hal ini yang dimaksud dengan struktur hukum adalah institusi penegak hukum sebagai salah satu unsur nyata dalam suatu sistem hukum, termasuk juga lembaga yang turut melaksanakan aturan-aturan hukum. 38
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York, h 14.
28
c. Budaya Hukum (Legal Culture) “Legal culture refers, to those parts of general culture, customs, opinion, ways of doing and thinking, that bend social forces toward or away from the law and in particular ways. (Budaya hukum merupakan bagian dari budaya pada umumnya, yang dapat berupa adat istiadat, pandangan, cara berfikir dan tingkah laku yang dapat membentuk suatu kekuatan sosial yang bergerak mendekati hukum dengan cara – cara tertentu). Dalam hal ini dimaksud dengan budaya hukum adalah perilaku masyarakat dalam memandang hukum untuk dipatuhi serta ditaati. Ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut dapatdigunakan untuk mengkaji efektifitas penerapan suatu sanksi dalam suatu aturan hukum. Kata efektif berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ada efeknya (akibat pengaruhnya, kesannya, manjur atau mujarab, dapat membawa hasil atau berhasil guna, mulai berlaku). 39 Efektifitas pemidanaan diartikan sebagai tingkat tercapainya tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pemidanaan itu tercapai.40 Meneliti efektifitas hukum pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum.. Efektifitas dalam konteks dengan hukum diartikan bahwa hukum itu benar-benar hidup dan berlaku, baik secara yuridis, sosiologis, dan
39
Naniek Suparni, 1996, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, h 59. 40 Ibid.
29
filosofis.41 Orang mengatakan bahwwa kaidah hukum berlaku secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut.42 Efektif atau tidaknya aturan hukum secara umum, juga tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya,
sosialisasinya,
proses
penegakan
hukumnya
yang
mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum interprestasi dan konstruksi) dan penerapannya terhadap suatu kasus kongkret.43 4.
Teori Bekerjanya Hukum Sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau
perilaku yang pantas. Hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu sehingga sesuai sikap yang pantas. Efektifitas penegakan hukum amat berkaitan dengan efektifitas hukum. Agar hukum itu efektif, maka diperlukan aparat penegak hukum untuk menegakan sanksi tertentu. Teori Bekerjanya Hukum yang dekemukakan oleh Robert B.Siedman yang dimuat dalam bukunya yang berjudul The State, Law and Development. Pada intinya teori berlakunya
41
Ibid. Bruggink, J.J.JAL., ahli bahasa Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Hukum, Cetakan Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h 149. 43 Ahmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum ( Legal Theory), dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Cetakan Keempat, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h 378. 42
30
hukum dikemukakan oleh Robert B. Siedmean dijabarkan dalam 4 proposisi yaitu : a.
b.
c.
We can meet that objection, however, by substituting for the judge the processes of government concerned with implementation, that is, with inducing desired activity (the bureaucracy, the police, state coorporation and so fort. (Kita bisa mencapai tujuan tersebut dengan cara menggantikan peran hakim. Proses-proses dari implementasi yang menjadi perhatian pemerintah yaitu dengan mendorong aktifitas yang menjadi tujuan Implementasi (birokrasi, polisi, perusahaan pemerintah dan semua yang dapat dijadikan benteng) Broaden the concept of the norm addressed to the role – occupant to include exhortation or other sort of prescripton, indicated by a wavy line. I indicate the role addressed to the role occupant by a straight line. I indicate the exhortation by wavy line. (Memperluas cakupan konsep aturan/norma kepada warga negara dilakukan dengan memasukkan nasihat maupun deskripsi lain yang ditandai dengan suatu garis yang bergelombang. Saya menegaskan aturan dengan garis yang tegas dan garis yang bergelombang ditujukan untuk semua warga). Any law, once passed, changes from the day of passage, either by format amendment, or by the way the bureaucracy acts. It changes because the arena of choice changes. Feedback constotutes the most important explanation of these changes. Citizens exprss their reactions to a particular law or programme to law makers or to bereaucrats, who in turn communicate to lawmakers. In addition, various sorts of formal and informal monitoring deveces teach lawmakers and bereaucrats about the rule’s relative success this affecting decisions about the law. (Setiap aturan, sekali saja terlewati perubahan dari saat dilanggar, baik berdasarkan amandemen, ataupun karena perilaku birokrat. Aturan berubah seiring dengan ruang lingkup hukum itu sendiri. Yang paling penting adalah adanya penjelasan dari konstitusi dasar perubahan tersebut. Warga Negara memberikan reaksi mereka terhadap aturan tertentu ataupun program tertentu kepada pembuat aturan ataupun para birokrat, yang akan diteruskan / dikomunikasikan dengan para pembuat aturan/hukum tersebut. Sebagai tambahan, berbagai macam perangkat monitor secara formal maupun informal, memberikan pelajaran bagi para pembuat atuaran dan para birokrat tentang kesuksesan pelaksanaan aturan itu sendiri secara relatif, yang akan mepengaruhi keputusab yang akan diambil terkait aturan itu sendiri).
31
d.
The categories law makers and judge mus be replaced by law making processes adn law implementing processess 44. (Kategori para pembuat aturan dan hakim, seharusnya digantikan dengan proses pembuatan aturan dan proses implementasi aturan) Robert B. Seidman juga menjelaskan mengenai perilaku
pemegang peran dalam menghadapi peraturan yang ditujukan kepada mereka oleh pembuat hukum. Hal ini juga dapat dijadikan indikator dalam pengkajian pengimplementasian hukum. “law as a divice to structure choice expresses at once law’s usual marginality in influencing behaviour, and its importance as the principal instrument that government has to influensce behaviour45. (Hukum sebagai alat untuk struktur pilihan mengekspresikan sekaligus hukum marginalitas biasa dalam mempengaruhi perilaku) 5.
Teori Penegakan Hukum Menurut
Soerjono
Soekanto
adalah
ada
5
faktor
yang
mempengaruhi efektif tidaknya keberlakuan suatu hukum yaitu : a.
Faktor hukumnya sendiri;
b.
Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum; c.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d.
Faktor masyarakat, yaitu lingkungan diman hukum itu berlaku atau
diterapkan; 44
Robert B. Siedmen, 1978, The State, Law, and Development, St. Martin’s Press, New York, h 74-75, lihat juga Prasetyo, Budi, 2014, Implementasi Tugas dan Wewenang Penyidik terhadap perlindungan Penyu Hijau (Studi kasus di direktorat Kepolisian Perairan Daerah Bali), (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, h 51 45 Ibid, h74
32
e.
Faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta, dan rasa yang
didsasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.46 Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektifitas penegakan hukum. Secara teroritis, kewenangan bersuber dari peraturan perundang undangan tersebut diperoleh dengan tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.47 Menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).48
46 47
Op.Cit., Soerjono Soekanto I, h.8. Ridwan H.R. , 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h
100 -102. 48
Arifin Firmansyah, dkk, 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KHRN), Jakarta, h 16.
33
1.8.
Kerangka Berpikir
34
1.9.
Metode Penelitian 1.9.1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan Penelitian Hukum Empiris. Dimana merupakan penelitian yang mengkaji Implementasi Perlindungan Hak Sipil dan Politik bagi Tahanan yang dititipkan di Lapas Klas IIA Denpasar dikaitkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant of Civil and Politic Rights. Suatu penelitian yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das solen dan das sein yaitu kesenjangan antara teori atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan realita pelaksanaanya dilapangan, kesenjangan antara keadaan teoritis dengan fakta hukum, dan atau adanya situasi ketidaktahuan yang dikaji untuk pemenuhan kepuasan akademik49. 1.9.2. Sifat Penelitian Penelitian hukum empiris ini merupakan penelitian yang bersifat Deskriptif. Penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antar suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat50.karena lebih kepada mencari data faktual keadaan sebenarnya mengenai keberlakuan hukum dalam peri kehidupan komunitas tahanan dan narapidana, serta dalam hal pemenuhan
49
Program Pascasarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar Bali, 11 April 2013 h 52 50 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 25
35
Perlindungan Hak Sipil dan Politik khususnya bagi Tahanan yang dititipkan pada Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. 1.9.3. Data dan Sumber Data Data yang akan dicari antara lain : a. Data Primer : berupa hasil data yang bersumber dari Responden dalam hal ini tahanan dan petugas Lapas Klas IIA Denpasar, dan informan lainnya. Sampel tahanan berjumlah 30 persen dari jumlah tahanan, dan sampel petugas berjumlah 30 persen dari jumlah petugas yang bersinggungan langsung dengan tahanan. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan obyek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, Skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundangan51 Data sekunder dibagi menjadi tiga yaitu : 1. Bahan hukum primer Merupakan bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan perundangan terkait obyek penelitian antara lain : a. Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945. b. Undang Undang RI No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) c. Undang Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
51
Ali Zainudin, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h 106
36
d.
Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan.
e.
Undang Undang RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
f.
Undang Undang RI No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
2. Bahan hukum Sekunder yaitu bahan penelitian hukum yang memberikan penjelasan mengenai bagan hukum primer. Sebagai bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku – buku hukum termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal – jurnal hukum52. Bahan hukum sekunder dapat juga diambil dari artikel dari internet. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder yang berasal dari kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia. 1.9.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam Penelitian ini Penulis akan mengumpulkan data melalui : a. Teknik Studi Dokumen
52
Peter Mahmud Masduki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h 155.
37
Melalui aturan-aturan serta literatur buku-buku sehingga penulis dapat menentukan kondisi ideal dalam pemenuhan hak tahanan, terkait perlindungan Hak Asasi Manusi bagi Tahanan. b. Teknik Observasi/Pengamatan Untuk mendapatkan informasi yang valid maka penulis hendak mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap Tahanan dalam kehidupannya bermasyarakat dengan Narapidana, Terpidana, dan Petugas Lapas Sendiri c. Teknik Wawancara (interview) Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian ilmu hukum dalam aspek empiris 53. Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang informan atau seorang autoritas (seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah)54. Wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah wawancara terbuka (face to face) untuk memperoleh informasi langsung dari narasumber. Informan yang akan diwawancarai oleh penulis antara lain Tahanan dan Petugas Lapas. 1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian Penentuan Sampel menjadi penting karena sampel harus dapat mewakili keadaan keseluruhan populasi yang hendak diteliti. Populasi adalah keseluruhan atau himpunan obyek dengan ciri yang sama. 53 54
Program Pascasarjana Universitas Udayana, Op Cit, h 61. Gorys Keraf, 1993, Komposisi Cetakan ke 9, Nusa Indahj, Flores, NTT, h 161.
38
Populasi dapat berupa himpunan orang, benda (hidup atau mati), kejadian, kasus-kasus, waktu atau tempat, dengan sifat atau ciri yang sama55. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, yang menentukan seberapa besar keberlakuan generalisasi hasil penelitian56. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau objek penelitian. Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dianggap mewakili populasi. Dalam penentuan Sampel Penelitian, penulis menentukan menggunakan teknik
Probability
Sampling/Random
pada
Sampling.
Teknik
ini
didasarkan
teori
probabilitas yaitu bahwa semua elemen atau setiap unit atau individu dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Penentuan teknik ini didasarkan data awal yang telah penulis dapat dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Denpasar. Cara yang digunakan dalam penggunaan teknik ini yaitu cara Simple Random Sampling/ teknik random sampling sederhana yaitu : dengan cara lotere (fishbowl). Dari jumlah populasi tahanan 229 orang, maka akan diambil 30 % dari jumlah tersebut. Kemudian akan diacak berdasarkan nama. Dari tiga puluh persen tersebut penulis mendapatkan 77 orang tahanan yang dipilih acak untuk dijadikan sampel.
55
Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 118 56 Ibid, h118
39
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh baik berupa data primer, data sekunder kemudian diolah dengan menggunakan analisis deskriptif
kualitatif.
Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis57. Setelah diolah kemudian data dikaitkan dengan teori hukum , asas, dan pendapat para pakar hukum agar dapat memperoleh kesimpulan yang jelas dan dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian guna menjawab rumusan permasalahan. Dengan analisis deskriptif kualitatif diharapkan penulis dapat menggambarkan secara luas dan jelas tentang hasil pengamatan terhadap populasi yang hendak di teliti.
57
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar Bali, h 76