I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kebutuhan pemakaian peralatan instrument tidak hanya sebagai alat ukur saja, disamping itu juga sebagai alat pengontrol. Oleh karena kedua fungsi tersebut erat kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya. Peralatan instrument yaitu alatalat yang mengukur dan mengendalikan proses variabel seperti, tekanan (pressure), suhu (temperature), ketinggian permukaan (level), dan laju aliran fluida jenis head (flow) meter.
Pengukuran yang teliti dan sistem kontrol yang tepat dalam industri proses, dapat menghasilkan harga variable fisika dan kimia dari sistem yang sesuai dengan harga perancangannya. Hal ini akan dapat menghemat biaya operasi serta perbaikan hasil produksi.
Sebagai contoh, harga temperature yang tepat dalam pemprosesan minyak mentah (crude oil) akan menghasilkan produk terbaiknya. Jika harga temperature ini digunakan untuk mengontrol aliran atau jumlah bahan bakar yang digunakan didalam proses pemanasan, maka tidak akan terjadi “overheating” pada proses tersebut sehingga jumlah bahan bakar dapat dihemat.
2
PT. Pertamina RU-III Plaju sebagai suatu perusahaan pengilangan di Indonesia yang mengolah minyak mentah menjadi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Non Bahan Bakar Minyak (NBM) merupakan salah satu industri yang menggunakan sistem kendali otomatis dalam proses produksinya Variabel-variabel yang dikendalikan pada perusahaan pengilangan PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju ini hanya 4 variabel, yaitu temperatur, level, flow dan tekanan (presure).
Vessel 207 merupakan sebuah tanki penampung cairan raw prophane yaitu bahan utama untuk membuat biji plastik pada Unit Polypropylen PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju yang menggunakan kontrol level. Apabila level pada tanki ini sudah mencapai ambang yang sudah ditentukan, maka raw prophane harus segera dialirkan ke tangki selanjutnya agar tidak terjadi luapan.
B. Tujuan
Adapun manfaat penulisan laporan kerja praktek ini adalah sebagai berikut : 1. Mengaplikasikan dan mengembangkan ilmu dan keterampilan yang diperoleh dari program strata 1 Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 2. Mahasiswa dapat mempelajari dan memahami proses pengontrolan level pada vessel 207 diUnit Purifikasi Polypropylene PT. Pertamina (Persero) RU-III.
3
3. Mahasiswa dapat menambah pengetahuan baru yang berkaitan dengan sistem kontrol yang mungkin belum diperoleh di kampus.
C. Batasan Masalah Batasan masalah pada penulisan ini adalah membahasa tentang sistem kerja alat yang digunakan dalam proses pengontrolan level pada vessel 207 di Unit Purifikasi Polypropylene PT. Pertamina (Persero) RU-III.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Instrumentasi Instrumentasi digambarkan sebagai "the art and science of measurement and control". Atau dengan kata lain instrumentasi adalah seni dan ilmu pengetahuandalam penerapan alat ukur dan sistem pengendalian pada suatu obyek untuk tujuan mengetahui harga numerik variable suatu besaran proses dan juga untuk tujuan mengendalikan besaran proses supaya berada dalam batas daerah tertentu atau pada nilai besaran yang diinginkan (set point).
Operasi
di
industri
proses
petrokimia(petrochemical)
seperti
sangat
kilang
bergantung
minyak pada
(refinery)
dan
pengukuran
dan
pengendalian besaranproses. Beberapa besaran proses yang harus diukur dan dikendalikan pada suatu industri proses, misalnya aliran (flow) di dalam pipa, tekanan (pressure) didalam sebuah vessel, suhu (temperature) di unit heat exchange, serta permukaan (level)zat cair di sebuah tangki.
Selain besaran proses di atas, beberapa besaran proses lain yang cukup penting dan kadang-kadang perlu diukur dan dikendalikan oleh karena kebutuhan specific proses, diantaranya ; hydrogen ion concentration (pH), moisture content, conductivity,density or specific gravity, combustible content of flue gas, oxygen content of fluegas, chromatographic stream composition,
5
nitrogen oxides emissions, calorimetry (BTU content) dan sebagainya. Besaran-besaran ini ada yang perlu diukur secara online dan ada juga yang hanya diukur atau dianalisa di laboratorium (Parura, 2007).
Alat instrumen yang dipakai dalam sistem pengukuran dan pengaturan secara umum terdiri dari beberapa elemen yang digabung menjadi satu sistem. Elemen-elemen tersebut adalah : 1. Primary element (sensing element). 2. Secondary element (transmitter). 3. Control element (receiver). 4. Final control element (Control valve).
Dalam sistem pengaturan ke empat elemen diatas selalu dipakai, sedangkan pada sistem pengukuran control element diganti dengan receiver berupa indikator. Susunan umum dari suatu sistem pengaturan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1 Blok Diagram Sistem Pengaturan
6
1. Element sensor (primary element) Primary element sering disebut dengan sensor yang merupakan alat yang sangat sensitif terhadap perubahan besaran fisik yang terjadi pada suatu proses di industri. Perubahan pada proses tersebut oleh sensor diubah dalam suatu perubahan sejenis maupun dalam perubahan lain yang memungkinkan secondary element mengolah data dari sensor tersebut. Data pengukuran ini dapat berupa mekanik (gerakan mekanik) atau besaran listrik (perubahan nilai kapasitansi suatu kapasitor, perubahan tahanan listrik) yang nilainya sebanding dengan nilai besaran proses yang diukur.
Contoh beberapa sensor yang digunakan pada proses industri Migas : a) Sensor temperatur Antara lain Thermometer bimetalic,Thermocouple, Resistance Temperature Detector (RTD).
b) Sensor Level Ada beberapa jenis sensor level, diantaranya adalah floater, displacer, differensial transmitter dan sistem bubbler.
c) Sensor Flow Pada prinsipnya, sensor laju aliran (flow) bekerja berdasarkan asas fluida, jika fluida melewati celah atau restreksi, maka akan terjadi penurunan tekanan.
7
d) Sensor Pressure Tekanan terjadi karena adanya gaya yang bekerja pada suatu luasan sehingga tekanan dinyatakan sebagai gaya yang bekerja pada satuan luas.
2. Secondary Element (Transmitter) Secondary element ini berfungsi mengolah perubahan fisik yang dihasilkan oleh sensor menjadi suatu penunjukkan (indicator) atau tenjadi suatu sinyal standar untuk ditransmisikan ke Receiver (Indicator dan Recorder) maupun control element (Controller). • Signal Pneumatik 3-15 psi; 0,2-1,0 kg/cm2 • Signal Elektrik 4-20 mA DC; 1-5 VDC
Secondary element secara umum disebut Transmitter, yaitu suatu alat yang mengubah besaran fisik dari sensor menjadi signal standart untuk dikirim ke alat lainnya. Terdapat dua type, yaitu ;Pneumatic Transmitter dan Electronic Transmitter (Mukhaitir, 2009).
1) Pneumatic Transmitter Cara kerja dari alat ini diperlihatkan pada gambar 2. Jika tekanan input pada meter body naik, maka pada batang torsi (torque rod) akan terjadi kenaikan torsi. Primary beam yang dihubungkan langsung ke batang torsi mengakibatkan buffle (flapper) menutup nozzle.
8
Pada nozzle terjadi tekanan balik, tekanan balik dari nozzle ini diperkuat oleh amplifier (pilot relay) dan relay output akan mengirimkan sinyal yang telah diperkuat ke receiver (receiver bellows) ataupun instrument lainnya berupa optional external devices. Dalam waktu yang sama, tekanan balik ini juga masuk ke feedback capsul. Kenaikan tekanan output dalam feedback capsul memberikan gaya feedback ke secondary beam, dan melalui span rider, gaya tersebut menekan primary beam untuk menggerakkan buffle menjauhi nozzle.
Dalam umpan balik loop tertutup akan terjadi gaya perlawanan untuk menghambat / melawan gaya akibat tekanan balik dari nozzle. Pada akhirnya tekanan sinyal output akan sebanding dengan nilai proses variabel yang diukur.
Gambar 2 Blog Diagram Pneumatic
Pneumatic transmitter terdiri dari beberapa jenis. Jenis-jenis Pneumatic Transmitter adalah sebagai berikut.
9
Differential Pressure Type Flow Tansmitter
Gambar 3 DP type Flow Transmitter
Pressure Tansmitter (Gauge Pressure)
Gambar 4 Pressure Transmitter Liquid Level Tansmitter (Gauge Pressure)
Gambar 5 Liquid Level Transmitter
10
2) Electronic Transmitter Transmitter elektronik juga mempunyai mekanisme umpan balik pada sistem keseimbangan gaya untuk mendapatkan ketelitian dan stabilitas yang tinggi.
Sistem ini menjaga tetap suatu keseimbangan gaya antara input dan output. Input sinyal atau variable proses dirubah kedalam suatu gaya melalui input transfer element, output sinyal listrik juga suatu gaya akibat dari feedback transfer element. Output akan berubah, yang disebabkan berubahnya beban, akibatnya keseimbangan dari mekanisme transmitter akan berubah.
Jika hal ini terjadi, maka system akan menjadi seimbang kembali melalui mekanisme umpan balik sebagaimana elemen detektor mendeteksi
terjadinya
kesalahan.
Setiap
transfer
element
mempunyai karakteristik yang linear dan oleh karena itu output juga linear dan seimbang dengan sinyal input
Gambar 6 Blok Diagram Electric Transmitter
11
Seperti Pneumatic Transmitter, Electronic transmitter juga terdiri dari beberapa jenis antara lain: Differential Pressure Type Flow Tansmitter
Gambar 7 DP Type Flow Transmitter Pressure Tansmitter
Gambar 8 Gauge Pressure Transmitter Liquid Level Tansmitter
Gambar 9 Gauge Pressure Transmitter
12
Temperature Tansmitter
Gambar 10 Gauge Pressure Transmitter (Parura, 2007)
3. Control Element dan receiver
Control element atau sering disebut kontroler yaitu alat yang berfungsi melakukan pengaturan dengan jalan membandingkan besaran proses terhadap nilai yang dikehendaki. Apabila antara besaran proses dan set point terjadi ketidaksamaan maka kontroler akan melakukan koreksi dengan jalan memerintahkan final control element untuk mengatur besaran proses, sampai controler menyatakan set point.
Receiver adalah alat yang menerima signal standar dari transmitter untuk dipakai sebagai alat ukur. 1) Indikator
: menunjukkan hasil besaran proses dalam waktu tertentu.
2) Sistem Alarm : memberikan peringatan (dalam bentuk suara atau cahaya lampu.
13
3) Sistem safeguard & shutdown : menghentikan suatu proses apabila proses tersebut sudah tidak terkendali dan pada tahap yang membahayakan.
4. Final Element Control Final Element (Control Valve) ini merupakan Alat terakhir dari suatu pengaturan yang secara langsung mengontrol besaran proses agar berada pada nilai yang dikehendaki sesuai dengan perintah dari controller. Final element dalam suatu pengaturan adalah control valve yang berfungsi untuk mewujudkan sinyal keluaran controller menjadi suatu aksi yang dapat mengembalikan kondisi proses ke harga yang dikehendaki (Mukhaitir, 2010).
Control
valve
merupakan
suatu
alat
yang
berfungsi
untuk
mengendalikan aliran pada suatu proses dengan membuka atau menutup katup berdasarkan pada sinyal koantrol yang diberikan oleh pengontrol. Control valve memiliki desain yang berbeda, yaitu katup yang bukaannya diskrit (on -off) dan katup yang bukaannya analog (throttle). Control valve terdiri dari 2 bagian utama, yaitu badan katup (valve body) dan aktuator katup (valveactuator).
14
Gambar 11 Pneumatic Diaphragm Control Valve
Aksi pada control valve ada 2 jenis yaitu ATO (Air to Open) dan ATC (Air to Close). ATO atau Air to Open merupakan jenis aksi pada control valve yang akan membukaapabila diberikan udara, sama dengan kondisi reverse acting.ATO pada kondisi awalnya yaitu tertutup (normally close/NC) sehingga biasanya disebut FTC (Fail to Close) dimana apabilaterjadi kegagalan atau sistem mati, maka kondisi valve akanmenuju kondisi normalnya dengan menutup aliran. ATC atau Air to Close merupakan jenis aksi pada control valve yang akanmenutup apabila diberikan udara, sama dengan kondisi direct acting. ATC pada kondisi awalnya yaitu terbuka (normally open/NO) sehingga biasanya disebut FTO (Fail to Open) dimanaapabila terjadi kegagalan atau sistem mati, maka kondisi valveakan menuju kondisi normalnya dengan membuka aliran.Penggunaan jenis aksi pada control valve tergantung kepadaproses yang berlangsung.
15
Sizing Control Valve merupakan cara yang dibutuhkan untuk menentukan jenis control valve yang akan digunakan, terutama pada valve body. Caranya merupakan kombinasi dari teori dan eksperimen yang sudah dilakukan.
Karakteristik pada control valve berdasarkan pada posisi stem terhadap laju aliran. Terdapat 3 jenis yaitu quick-opening, linear, dan equalpercentage. Berdasarkan pada sizing, maka
dapat ditentukan
karakteristik control valve yang digunakan pada proses.
Gambar 12 Karakteristik dari control valve
Gambar 13 Penampang valve berdasarkan karakteristiknya
16
B. Sistem Kontrol Sistem kontrol yang sering dijumpai pada proses pengolahan minyak adalah sistem kontrol loop tertutup. Sistem kontrol loop tertutup merupakan sistem pengendalian yang sinyal keluarannya mempunyai pengaruh langsung pada aksi pengendaliannya. Struktur kontrol loop tertutup umpan balik ditunjukkan pada Gambar 12.
Gambar 14 Struktur Kontrol Loop Tertutup Umpan Balik
C. Konfigurasi Kontrol 1.
Single Loop
Single Loop adalah loop instrumen yang terdiri dari suatu satu transmitter, satu controller, dan sebuah final control element. Tujuannya adalah untuk mendapatkan stabilitas dari output proses yang dikontrol.
Contohnya pada vessel seperti gambar di bawah ini:
Gambar 15 Struktur Single Loop Control
17
Pada pengukuran level dilakukan oleh transmitter (LT), selnjutnya output LT dikirim ke level indicator controller (LIC) sebagai measured variable. Harga level yang dikehendaki dinyatakan sebagai set point pada kontroler LIC. Dari perbandingan kedua harga tersebut, LIC mengeluarkan sinyal output untuk mengatur bukaan control valve sehingga didapatkan level yang diinginkan.
2. Split Range Control
Pada pengontrolan dengan sistem ini hanya ada satu sinyal kontrol dan satu sinyal pengukuran. Sinyal kontrol kemudian dipecah untuk menggerakkan bagian yang berbeda tetapi memiliki efek sama terhadap variabel yang dikontrol. Jadi pada split range control menggunakan dua buah final control element yang dioperasikan oleh sebuah kontroler. Dimana setting kalibrasi dari dua buah control valve di set pada harga yang berlainan.
Gambar 16 Struktur Split Range Loop Control
Pada suatu kondisi tertentu pressure dari vessel dapat menjadi sangat tinggi dan kelebihan pressure dari vessel dapat menjadi sangat tinggi dan
18
kelebihan memberikan perbedaan kalibrasi operasi valve, valve A membukanya dengan sinyal 13-20 mA, sedangkan valve B membukanya antara sinyal 4-11 mA.
3. Cascade Control Konfigurasi cascade mempunyai dua buah loop, yaitu loop primer dan loop sekunder. Dalam control ini ada satu variabel yang dimanipulasi dengan dua variabel yang diukur. Dalam kilang, konfigurasi ini lebih dikenal dengan systemmasterslave.
Untuk contoh adalah laju aliran yang sering menjadi kontroler sekunder bagi kontroler lainnya. Loop primernya seperti temperatur, level, ataupun pressure. Penerapan di kilang adalah bagian boiler, kolom destilasi, heatexchanger dan masih banyak lagi. Di bawah ini contoh gambar loop cascade.
Gambar 17 Struktur Cascade Control Loop (Susilo, 2010)
19
D. Pengukuran Level Pemilihan metoda pengukuran level yang sesuai aplikasi, biasanya lebih sulit dibanding dengan keempat proses variabel utama kecuali flow. Seperti pada pengukuran flow, kondisi dari media yang diukur kadang-kadang mempunyai banyak efek yang kurang baik pada alat ukur, sehingga data kondisi operasi harus diketahui lebih banyak didalam pemilihan alat ukur level. Kondisi operasi yang harus diketahui adalah: 1. Level Range 2. Fluida Characteristic Temperature Pressure Specific Gravity Apakah fluida bersih atau kotor, mengandung vapors atau solids, dan lain-lain. 3. Efek korosif. 4. Apakah fluida mempunyai kecenderungan efek “coat” atau menempel pada dinding vessel atau measuring device. 5. Apakah fluida tersebut turbulent di sekitar area pengukuran.
Secara normal tidak ada kesulitan berarti didalam mengukur level fluida bersih dan nonviscous, namun untuk material “slurry” atau material dengan viscous yang berat dan solid, bagaimanapun banyak menimbulkan masalah.
Prinsip pengukuran ketinggian berdasarkan pada :
Bejana berhubungan (sight glasses)
20
Gaya apung (pelampung / float)
Displacer
Kapasitansi
Konduktansi
Bubbler system
Perambatan gelombang ultrasonic
Gaya tekan fluida
Sinar radio aktif
Pada alat pengukuran ketinggian terdapat 2 jenis pengukuran yang terjadi, yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung. Pengukuran langsung adalah pengukuran ketinggian yang menggunakan cairan yang diukur berinteraksi langsung atau digunakan dalam proses pengukuran, contohnya adalah menggunakan bejana berhubungan, gaya apung, displacer, kapasitansi dan konduktansi. Pengukuran tidak langsung adalah pengukuran ketinggian dimana fluida yang akan diukur tidak berinteraksi langsung dengan alat pengukuran, contohnya adalah bubbler system, perambatan gelombang ultrasonic, gaya tekan fluida, dan sinar radio aktif.
1.
Bejana Berhubungan Prinsip pengukuran ketinggian fluida berdasarkan bejana berhubungan atau manometer menggunakan alat yang dinamakan level gauge atau sight glasses, dimana menggunakan prinsip yang sangat sederhana dan sangat efektif karena dapat langsung memberikan tanda dalam bentuk
21
visual. Level gauge merupakan suatu pipa bening yang didalamnya berisi cairan dari proses yang diukur. Ilustrasi dari level gauge akan ditunjukkan pada gambar di bawah ini :
Gambar 18 Penempatan level gauge atau sight glass Alat pengukuran ketinggian level gauge pada umumnya dijadikan patokan awal dalam proses kalibrasi alat pengukuran ketinggian yang lainnya, karena sangat mudah dalam pembacaan dan tidak dipengaruhi factor lain seperti massa jenis cairan.
2.
Dispalcer Alat pengukuran ketinggian jenis displacer menggunakan prinsip Archimedes dengan mendeteksi ketinggian cairan berdasarkan berat dari batang yang terbenam di dalam cairan. Saat ketinggian cairan bertambah, maka pada batang akan muncul gaya buoyant sehingga berat dari batang akan makin berkurang. Semakin berkurangnya berat batang, maka ketinggian cairan akan semakin naik. Prinsip kerja alat pengukuran ini serupa dengan prinsip alat pengukuran berdasarkan gaya apung namun memiliki akurasi yang lebih baik.
22
3.
Konduktansi dan Kapasitansi Alat pengukuran ketinggian berdasarkan konduktansi digunakan untuk mengukur suatu cairan yang konduktif dan nonvolatile sehingga tidak akan muncul percikan api. Probe yang berinteraksi langsung dengan cairan di dalam tangki berjumlah 2 atau lebih, dimana akan terjadi beda tegangan yang besarnya akan bergantung pada ketinggian cairan.
Gambar 19 Penggunaan alat ukur ketinggian menggunakan (a) Konduktansi (b) kapasitansi
Alat pengukuran ketinggian menggunakan prinsip kapasitansi dapat digunakan untuk cairan yang non-konduktif dan memiliki kekentalan (viscosity / μ). Probe yang digunakan menggunakan suatu batang (inner rod)yang terbungkus oleh outer shell dan dipisahkan udara yang menjadi bahan dielektrik di antara inner rod dan outer shell. Apabila probe dimasukkan ke dalam cairan, maka probe akan teredam oleh cairan sehingga akan terjadi perubahan kapasitansi. Perubahan kapasitansi yang terjadi akan berhubungan langsung dengan ketinggian cairan. Apabila dinding dari tangki terbuat dari logam, maka dinding tangki dapat digunakan sebagai outer shell. Kelemahan dari alat pengukur ini adalah
23
harus mengetahui konstanta dielektrik dari cairan yang akan diukur, sedangkan konstanta dielektrik nilainya dapat bervariasi berdasarkan suhu sehingga diperlukan koreksi terhadap suhu.
4. Gaya tekan fluida Alat pengukuran ketinggian menggunakan prinsip gaya tekan fluida atau tekanan hidrostatis merupakan alat yang paling sering digunakan. Prinsip alat ini menggunakan kesetaraan hubungan antara tekanan dengan ketinggian cairan. Persamaan matematis yang menghubungkan keduanya yaitu :
Dimana,
Persamaan matematis tersebut menunjukkan bahwa ketinggian dari fluida dapat ditentukan berdasarkan tekanan hidrostatis yang terjadi apabila nilai berat jenis fluida tetap. Pemasangan sensor pengukuran ketinggian tipe ini biasanya langsung dihubungkan dengan transmitter, sehingga nilai besaran ketinggian yang didapat dapat dikirimkan langsung dalam sinyal elektronik.
24
5.
Bubbler System Salah satu tipe alat pengukuran ketinggian yang cukup menarik menggunakan prinsip gelembung (bubbler), karena mendapatkan hasil pengukuran ketinggian menggunakan gas yang digunakan untuk mengukur tekanan hidrostatis dari cairan di dalam tangki. Gas dipaksa untuk melewati pipa dan berujung di dalam cairan. Berat jenis dari gas dianggap tidak terlalu mempengaruhi, dibandingkan dengan berat jenis cairan. Tekanan yang dibutuhkan untuk melewatkan gas keluar dari pipa akan sama dengan tekanan hidrostatis pada cairan, dan setara dengan ketinggian cairan di dalam tangki. Keuntungan dari alat pengukuran tipe ini adalah tidak adanya kontak langsung dengan cairan yang akan diukur dibandingkan dengan alat pengukur ketinggian lainnya, terutama untuk mengukur ketinggian cairan yang bersifat korosif.
Gambar 20 Penggunaan alat ukur ketinggian dengan sistem gelembung (bubbler system)
6.
Perambatan gelombang ultrasonik Instrument pengukuran level menggunakan prinsip gelombang utrasonik dengan mengukur jarak dari pemancar gelombang ultrasonik terhadap permukaan cairan, dimana permukaan cairan akan memantulkan kembali
25
gelombang ultrasonic yang diterima oleh alat penerima gelombang. Perbedaan waktu saat gelombang dipancarkan dan saat gelombang diterima akan menghasilkan hasil pengukuran jarak antara posisi pemancar dan permukaan cairan, oleh karena itu ketinggian cairan dapat diperoleh dengan menghitung selisih dari tinggi total tabung dengan jarak antara pemancar dan permukaan cairan. Pemancar dan penerima gelombang ultrasonik merupakan transduser piezo-electric.
Gambar 21 Penggunaan alat ukur ketinggian mengunakan gelombang ultrasonik
7.
Sinar radio aktif Alat pengukur ketinggian menggunakan prinsip sinar radio aktif pada umumnya digunakan pada cairan yang bersifat korosif dan suhu yang sangat panas sehingga akan merusak sensor pengukuran lainnya. Prinsip kerjanya serupa dengan alat pengukur ketinggian ultrasonik dengan memiliki pemancar dan penerima sinar radio aktif. Kerugian dari alat pengukuran ini adalah alat pengukuran yang harganya mahal dan harus adanya penanganan terhadap bahan radio-aktif yang sangat berbahaya bagi manusia.
26
Gambar 22 Penggunaan alat ukur ketinggian menggunakan sinar radio aktif (isotop)
E. Teknologi DCS Pada dasarnya, DCS mirip dengan jaringan PC sederhana. Namun, ada beberapa perbedaan. Pertama, perangkat keras dan perangkat lunak dari DCS dibuat lebih fleksibel, yaitu mudah untuk dimodifikasi dan dikonfigurasi sehingga dapat menangani banyak sistem. Kedua, DCS yang modern dilengkapi dengan optimization, highperformance model building, dan controlsoftware (optional).
Gambar 23 Architecture Distributed Control System (Parura, 2007)
27
Selain itu, bagian dari process plants dan bagian dari elemen jaringan DCS terhubung satu sama lain melalui data highway (fieldbus).Data highway menyediakan informasi pada panel kontrol operator yang mengirimkan berbagai data baru dan mengambil data historis dari penyimpanan arsip, dan berfungsi sebagai penghubung data antara komputer kontrol
utama dan
bagian lain dari jaringan.
Pada puncak hirarki, sebuah komputer (host) supervisor diatur. Komputer host bertanggung jawab untuk melakukan banyak fungsi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Ini dapat mencakup optimasi dari pemrosesan pada horizon waktu yangbervariasi (hari, minggu, atau bulan),melaksanakan prosedur pengendalian khusus seperti plant start up atau product grade transition, dan memberikan umpan balik.
Dan peralatan biasa yang kurang canggih, digunakan untuk fungsi-fungsi tingkat rendah. Biasanya peralatan tersebut akan memperoleh data proses dari alat ukur dan mengkonversikannya ke standard units. Hasil pada tingkat ini diteruskan ke atas untuk komputer yang lebih canggih yang bertanggung jawab untuk operasi yang lebih kompleks. Komputer tingkat atas ini dapat diprogram untuk melakukan perhitungan lebih lanjut.
III. PROFIL PT. PERTAMINA (PERSERO) RU-III PLAJU
A.
Sejarah dan Perkembangan Pabrik
1.
Sejarah Perkembangan Pertamina Pada tahun 1671 di daerah Cibodas dekat Majalenka, Jawa Barat, dilakukan usaha pengeboran minyak pertama di Indonesia oleh seorang pengusahan Belanda Jean Reenik dan Reerink, tetapi usaha ini
mengalami
kegagalan.
Seorang
pengusaha
lainnya
juga
mengadakan pengoboran di telaga tiga yang bernama Aeliko Jan Zijlker, tetapi usaha ini mengalami kegagalan. Baru pada tahun 1885 berhasil ditemukan sumur minyak komersial pertama di Indonesia yaitu telaga tunggal dengan kedalaman 121 meter. Kemudian berturutturut ditemukan sumur minyak bumi di Kruka Jawa Timur tahun 1887, Ledok (Cepu) tahun 1901 Pramusian (Tarakan) tahun 1905 dan Talang Akbar 1921.
Setelah minyak bumi ditemukan maka berdirilah kilang-kilang pengolahan minyak antara lain di Wonokromo (1890), Pangkalan Brandan (1891), Cepu (1894), Plaju dan Sungai Gerong (1920) menyusul beberapa kilang pengolahan lainnya. Usaha pengeboran dilakukan oleh maskapai perusahaan asing seperti Royal Dutch
29
Company, Shell, Stanvac, Caltex, dan lain-lain. Tetapi setelah kemerdekaan,
dilakukan
usaha-usaha
untuk
mengambil
alih
kekuasaan di bidang industri minyak dan gas bumi. Di antaranya PT. ETMSU menjadi PT. Pertamina berdasarkan perintah dari Kolonel Ibnu Sutowo tanggal 10 Desember 1957 yang kemudian tanggal tersebut dijadikan sebagai hari jadi Pertamina.
Pada tahun 1990 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang yang disebut juga dengan Undang-Undang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. Pada tahun 1991 dibentuk tiga perusahaan negara di sektor minyak dan gas bumi, yaitu: 1. PN
pertamina,
Perusahaan
Negara
Pertambangan
Minyak
Indonesia (disahkan berdasarkan PP Nomor 3/1961) perusahaan ini bermula dari perusahaan Nederlandsche
Indische Aardolie
Mattschappij (NIAM) yang didirikan pada tahun 1921. 2. Pada tanggal 1 Januari 1959 berubah menjadi PT Pertambangan Minyak Indonesia (PT permindo). Kemudian pada tahun 1965 PN ini mengambil alih semua kekayaan PT. Shell Indonesia termasuk di dalamnya Kilang Plaju, Balik Papan dan Wonokromo. 3. PN Permina, Perusahaan Negara Minyak Nasional (disahkan berdasarkan PP Nomor 198/1961) perusahaan ini merupakan peralihan nama dari PT. ETMSU. Sejak tahun 1961 PN inilah yang melakukan operasi penyediaan dan pelayanan bahan bakar minyak dalam negeri.
30
4. PN Permigan, Perusahaan Tambang Minyak Rakyat Indonesia (PT. MRI) yang berlokasi di Sumatera Utara, namanya berubahnya menjadi Permigan pada tahun 1961. Pada tanggal 6 April 1962 pemerintah Indonesia membeli semua fasilitas penyulingan dan produksi PT. Shell di Jawa Tengah. Namun karena kinerjanya yang semakin memburuk, PN ini dibubarkan pada tahun 1965 melalui SK Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi Nomor 6/M/Migas/66. Kekayaan yang dimilikinya berupa sumur minyak dan penyulingan di Cepu dijadikan pusat pendidikan dengan dibukanya Akademi Minyak dan Gas Bumi. Fasilitas pemasarannya diserahkan pada PN Pertamina sedangkan fasilitas produksi diserahkan pada PN PERMINA.
Berdasarkan PP Nomor 27/1968, maka pada tanggal 20 Agustus 1968 dibentuk Perusahaan Negara Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN Pertamina). Perusahaan ini merupakan peleburan dari PN Pertamina dan PT Pertamina.
Sebagai landasan kerja bagi PN Pertamina maka pada tanggal 15 September 1971 dibuat Undang Undang landasan kerja baru, yaitu Undang Undang Nomor 8 tahun 1971. Undang Undang menjadikan Pertamina sebagai pengelola tunggal di bidang industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Selain itu nama PN Pertamina diganti menjadi Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) pada tangggal 28 November 1983 lapangan
31
minyak Pendopo dan Lirik yang dioperasikan STANVAC, dialihkan operasinya kepada Pertamina karena habis masa kontraknya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri, Pertamina hingga saat ini telah mengoperasikan 7 Refenery Unit (RU) yang tersebar di Indonesia, yaitu: 1. RU. I
: Pangkalan, Berandan, Sumatera Utara
2. RU. II
: Dumai, Riau
3. RU. III
: Plaju Sungai Gerong, Sumatera Selatan
2.
4. RU. IV
: Cilacap, Jawa Tengah
5. RU. V
: Balikpapan, Kalimantan Timur
6. RU. VI
: Balongan, Jawa Barat
7. RU. VII
: Kasim, Papua
Sejarah Perkembangan PT. Pertamina (Persero) RU- III PT. Pertamina RU. III Plaju merupakan satu dari tujuh unit pengolahan yang dimiliki oleh PT. Pertamina. Daerah operasi PT. Pertamina RU. III ini meliputi kilang Plaju dan Sungai Gerong serta terminal Pulau Sambu dan Tanjung Uban.
Kilang minyak Plaju didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1920, kilang ini mengolah minyak mentah dari Prabumulih dan Jambi. Pada tahun 1957, kilang ini diambil oleh PT. Shell Indonesia dan pada tahun 1965 pemerintah Indonesia mengambil alih kilang Plaju dari
32
PT. Shell Indonesia. Kilang mempunyai kapasitas produksi 100 MBCD (Million Barrel Calender Day). Kilang Sungai Gerong didirikan oleh Stanvac pada tahun 1920. Kilang yang berkapasitas produk 70 MBCD ini kemudian dibeli PT. Pertamina pada tahun 1970, sekarang kapasitasnya tinggal 25 MBCD sesuai dengan unit yang masih ada.
Pada tahun 1973, kedua kilang ini mengalami proses integrasi. Kedua kilang ini disebut dengan Kilang Musi. Kilang ini di bawah pengawasan Pertamina RU. III dan bertanggung jawab dalam pengadaan BBM untuk wilayah Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung.
Sebagian besar peralatan di Kilang Plaju menggunakan teknologi lama sehingga sudah tidak efisien lagi. Normalnya umur pabrik ini adalah 20 tahun dan sampai sekarang ini, pabrik tersebut sudah beroperasi melebihi
umurnya.
Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
direncanakanlah pembuatan kilang minyak baru yang disebut Proyek Kilang Musi (PKM). Sesuai dengan kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Inpres Nomor 12 dan 13 tahun 1983 tentang penjadwalan kembali PKM, maka pelaksanaan PKM dilakukan secara bertahap. PKM tahap 1 dijalankan tahun 1982 dengan menitikberatkan pada konsevasi energi dengan tujuan untuk meningkat efisiensi unitunit proses.
33
Hal ini diwujudkan dengan melakukan revamping dan pembangunan unit baru. Upaya yang telah dilakukan pada PKM tahan I adalah sebagai berikut: 1. Revamping dapur dan beberapa peralatan CD Plaju untuk menurunkan pemakaian bahan bakar. 2. Revamping FCCU dan unit Light End Sungai Gerong. 3. Pembangunan destilasi bertekanan hampa (New Vacuum) distilation unit, NVDU di Sungai Gerong dengan kapasitas produksi 48 MBCD long residue. 4. Mengganti koil pemanas tangki. 5. Melengkapi fasilitas transfer produk antara kilang Plaju dan Sungan Gerong. 6. Memanfaatkan semaksimal mungkin.
Dengan upaya tersebut, pemakaian refinery fuel menurun dari 11,07 % menjadi TSRF/ton crude. Proyek kilang Musi Tahap I telah selesai bulan September 1986. Tahap II dari PKM dijalankan pada tahun 1991 dengan melakukan pembaruan sebagai berikut: 1. Peningkatan kapasitas produksi-produksi kilang polypropylene menjadi 45.000 ton/tahun. 2. Revamping RFCCU dan unit alkilasi. 3. Redesign siklon FCCU Sungai Gerong. 4. Modifikasi unit redistiller I/II Plaju. 5. Pemanasan Gas Turbin Generator Complex (GTCC) dan perubahan frekuensi listrik dari 60 Hz ke 50 Hz.
34
6. Pembangunan Water Treatment Unit (WTU) dan Sulphur Acid Recovery Unit (SAU). Secara umum, sejarah Pertamina RU. III dan perubahan-perubahan yang terjadi dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 1 Sejarah Perkembangan PT. Pertamina (Persero) RU-III TAHUN 1907
1933 1965 1970 1971 1972 1982 1983
1987 1988 1994
1996
SEJARAH Awal Pembangunan dan didirikannya kilang minyak di Plaju oleh Shell hingga mencapai kapasitas 110 MBCD. Kilang Sungai Gerong didirikan oleh Stanvac dengan kapasitas 70 MBCD. Kilang Plaju dengan kapastias 110 MBC dibeli dari Shell. Kilang Sungai Gerong dengan kapasitas 110 MBCD dibeli dari Shell. Kilang Sungai Gerong dengan 70 MBCD dibeli dari Stanvac. Proyek integrasi kilang Plaju dengan Kilang Sungai Gerong. Proyek Kilang Musi I (PKM I) dengan kapasitas 98 MBCD. Proyek pembangunan Kilang TA/TPA dengan kapasitas 150.000 ton/tahun beroperasi sejak tahun 1986. Proyek Energy Consevation Inprovement (ECI). Debottlenecking Kilang TA/PTA dengan kapasitas 225.000 ton/Tahun. Proyek Kilang Musi II (PKM II) yang meliputi : - Revamping kilang FCCU. - Pembangunan new Polypropylene. - Perubahan jaringan listrik 60 Hz menjadi 50 Hz di Area Sungai Gerong. Modifikasi Unit Redistiling I/II Plaju menjadi CDU.
Sumber: Pedoman BPST Angkatan XIV Pertamina, 1999, Palembang.
B.
Organisasi
35
1.
Visi, Misi dan Tata Nilai PT. Pertamina (Persero) memiliki visi, misi dan tata nilai sebagai berikut.
Visi “Menjadikan kilang minyak dan petrokimia nasional terkemuka di Asia Tenggara tahun 2015”.
Misi Mengelola kilang minyak dan petrokimia: -
Menghasilkan produk BBM, NBM dan petrokimia yang bermutu internasional untuk dipasarkan di dalam atau di luar negeri.
-
Berlandaskan pada etika dan prinsip-prinsip bisnis unggulan.
-
Untuk memberikan nilai tambah bagi perusahaan dan stake holder
Tata Nilai -
FOCUS Menghasilkan nilai tambah secara optimal dan kontinyu.
-
INTEGRITY Mempunyai komitmen dan program kerja untuk memajukan perusahaan.
-
VISIONARY Tumbuh dan berkembang.
-
EXCELLENCE
36
Mempunyai daya saing tinggi. -
MUTUAL RESPECT Mitra kerja yang handal dan terpercaya, berorientasi pada kepentingan pelanggan dan berwawasan lingkungan
C.
Lokasi dan Tata Letak Pabrik
PT. Pertamina (Persero) RU. III Plaju merupakan salah satu unit proses produksi dalam jajaran direktorat pengolahan yang terletak di Sumatera Selatan. RU. III Plaju ini mempunyai dua buah kilang yaitu: 1. Kilang Minyak Plaju. 2. Kilang Minyak Sungai Gerong.
Kilang minyak Plaju terletak di sebelah selatan Sungai Musi dan sebelah barat Sungai Komering, sedangkan kilang minyak Sungai Gerong terletak di persimpangan Sungai Musi dan Sungai Komering. Untuk lebih jelasnya lokasi PT. Pertamina (Persero) RU. III dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 24 Lokasi PT. Pertamina (Persero) RU. III Plaju-Sungai Gerong Tampak Atas
37
Kilang Plaju termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Plaju Kota Palembang. Sedangkan kilang Sungai Gerong termasuk dalam wilayah Kecamatan Banyuasin-I Kabupaten Banyuasin. Adapun area PT Pertamina RU III Plaju-Sungai Gerong terdiri dari kawasan-kawasan sebagai berikut.
Perkantoran Perumahan Kilang Plaju seluas 229,60 Ha.
Kilang Sugai Gerong seluas 153,90 Ha.
Pusdiklat Fire dan Safety seluas 34,95 Ha.
RDP dan Lapangan Golf Bagus Kuning seluas 51,40 Ha.
RDP Kenten seluas 21,20 Ha.
Lapangan Golf Kenten seluas 80,60 Ha.
RDP Plaju, Sungai Gerong dan 3 Iilir seluas 349,37 Ha.
Sehingga total wilayah operasi PT Pertamina RU III Plaju-Sungai Gerong seluas 921,02 Ha.
D.
Unit Proses Kilang PT. Pertamina (Persero) RU-III di desain dengan kapasitas terpasang 145,60 ribu barel perhari (MBSD). Konfigurasi proses pengolahan Kilang Musi merupakan kilang yang terintegrasi antara Kilang Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Kilang Petrokimia.
1. Kilang BBM Kilang BBM terdiri dari tiga tahapan unit proses, yaitu: a. Primary Proccess Unit Primary Proccess adalah tahapan proses pemisahan distilasi tekanan atmosferik untuk pemisahan minyak mentah (crude oil) ataupun
38
distilasi tekanan hampa untuk pemisahan Long Residu yang menghasilkan fraksi-fraksi produk BBM.
Primary proccess terdiri dari uni Crude Distiller dengan kapasitas pengolahan crude oil sebesar 145,60 MBSD dan High Vacuum Unit sebesar 53,50 MBSD.
Tabel 2 Unit-unit pada proses Primary Unit Proccess UNIT PROSES LOKASI KAPASITAS CDU II
Plaju
16,20 MBSD
CDU III
Plaju
30,00 MBSD
CDU IV
Plaju
30,00 MBSD
CDU V
Plaju
35,00 MBSD
CDU VI
Sungai Gerong
15,00 MBSD
HVU II
Sungai Gerong
53,50 MBSD
b. Secondary Proccess Secondary Proccess merupakan tahap lanjutan Primary Proccess dengan teknologi reaksi kimia (Catalytic Cracking, Polimerisasi, Isomerisasi, dan lain-lain) yang bertujuan untuk mengkonversi feedstock
menjadi
produk
yang
bernilai
tambah.
Kemudian
dilanjutkan stabilisasi untuk mendapatkan fraksi-fraksi produk BBM.
Tabel 3 Unit-unit Proses pada Secondary Proccess Unit UNIT PROSES LOKASI KAPASITAS Stabilizer CAB
Plaju
4,90 MBSD
Alkylasi
Plaju
1,80 MBSD
BB Distilling
Plaju
2,89 MBSD
C4 Polymerisasi
Plaju
2,30 MBSD
39
RFCCU
Sungai Gerong
20,50 MBSD
RFCCU (Residual Fluidize Catalytic Cracking Unit) yang berlokasi di Sungai Gerong adalah unit andalan/primadona untuk memproduksi komponen MOGAS (Motor Gasoline) tanpa timbal/HOMC yang sesuai dengan tuntutan dunia masa depan, yaitu penggunaan bahan bakar bersih lingkungan.
RFCCU Sungai Gerong merupakan lisensi ESSO-USA, di dirikan pada tahun 1956 dan mulai beroperasi pada tahun 1957 dengan kapasitas desain 14,5 MBSD.
Tabel 4 RFCCU Pasca Proyek Kilang Musi II Tahun 1994 RFCCU Pasca Proyek Kilang Musi II Tahun 1994 Technology Licence
: IFP Total France (Perancis)
Kapasitas
: 20,50 MBSD
Bahan Baku
: MVGO HVGO Long Residu
Produk
: Dry gas ( Refenery Fuel Gas) Raw Propane Propylene LPG HOMC (Unlead Gasoline) LCGO (Diesel Fuels) SLURRY OIL (Heavy Fuels)
Control System
: DSC (Distributed Control System)
40
c. Treating System and Blending Proccess Untuk mendapatkan kemurnian kualitas produk BBM, maka fraksifraksi produk BBM dari Secondary Proccess Unit melalui merichem treating
proccess
technology.
Sedangkan
untuk
memenuhi
persyaratan produk BBM dan memperoleh produk BBM yang maksimal, fraksi produk BBM yang sejenis diolah melalui blending proccess.
2. Kilang Petrokimia
Industri petrokimia saat ini bukan lagi menjadi produk samping yang dihasilkan dari proses pengolahan kilang, namun telah menjadi core bussiness, serta menjadi salah satu unit bisnis perusahaan yang strategis untuk memupuk laba. Kilang Petrokimia Refenery Unit III terdiri dari Kilang Polypropylene dan Kilang TA/PTA.
a. Kilang Polypropylene Poly propylene adalah suatu polimer yang dapat digunakan untuk pembuatan fiber dan plastik, seiring dengan meningkatnya kebutuhan polypropylene sebagai bahan baku plastik dalam negeri, dibutuhkan sebuah unit proses yang mengolah dan menghasilkan produk polypropylene.
Raw Propane polypropylene adalah salah satu produk kilang PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju yang diproduksi oleh kilang FCCU di sungai gerong. Untuk memanfaatkan dan mendapat nilai tambah
41
dari propylene dalam raw propane polypropylene tersebut dan juga untuk memenuhi kebutuhan bahan baku plastik dalam negeri, maka pada tanggal 18 juli 1973 diresmikan berdirinya kilang polypropylene yang pertama dengan kapasitas maksimal 20.000 ton/tahun. Mengingat kebutuhan bahan baku plastik yang terus meningkat dan kilang yang lama tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pada tahun 1991 dibangun kilang polypropylene baru dengan kapasitas produksi yang lebih besar yaitu 45.200 ton/tahun dan mulai beroperasi pada oktober 1993. Polytam polypropylene, diproduksi di kilang pertamina plaju diproses melalui polimerisasi gas propylene dengan modifikasi beberapa aditif yaitu antioxidant, stabilizer, lubricant, antiblock dan slipagent. Pertamina RU-III menghasilkan beberapa jenis polytam antara lain: Polytam FILM, Polytam YARN, dan Polytam INJECTION.
Secara garis besar kilang polypropylene terdiri dari empat unit besar, yaitu unit purification, unit polymerization, unit 500 dan unit silo/bagging. Selain empat unit besar, kilang polypropylene juga didukung oleh sarana penunjang yang baik dari dalam kilang, maupun dari luar kilang berupa air, udara, steam dan lain-lain yang berperan penting pada kelangsungan proses. Semua proses yang terjadi pada kilang polypropylene dikendalikan dalam suatu ruang kontrol yang dapat mengetahui proses kerja serta kerusakan yang terjadi pada area yang telah ditentukan.
42
1) Unit Purification Seksi ini berfungsi untuk memurnika raw propane propylene yang berasal dari FCCU sungai gerong, karena masih banyak mengandung beberapa senyawa hidrokarbon yang lebih ringan dan impurities sehingga dihasilkan treated propene propylene. Feed tersebut distilasikan untuk pemisahan antara propene dan propylene. Propane yang telah dipisahkan kemudian dikembalikan ke FCCU sebagai bahan campuran LPG, sedangkan propylene yang telah tinggi kemurniannya (>99,6% wt) kemudian dikirim ke unit 00 yang selanjutnya akan dikirim ke seksi polymerisasi sebagai feed. a) Seksi Penyediaan Hidrogen dan Nitrogen Seksi ini bertugas menyediakan kebutuhan hidrogen yang diperlukan untuk reaksi polymerisasi yang terjadi di reaktor dan yang tak kalah pentingnya adalah, seksi penyediaan nitrogen
yang menghasilkan
nitrogen
dengan
tekanan
5kg/cm2g, untuk keperluan sealing peralatan yang bergerak, media transfer powder polypropylene (pluff), flushing peralatan sebelum digunakan dan untuk test pressure peralatan.
b) Seksi Impurities Removal Fungsi dari seksi ini adalah menyiapkan propylene untuk keperluan reaksi di seksi polymerisasi. Pada seksi impurities removal ini, impurities yang masih terkandung di dalam
43
propylene hasil dari unit propylene seperti: H2O, COS danarsin yang dapat mengganggu proses polymerisasi, oleh karena itu perlu dihilangkan atau dikurangi agar sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan.
c) Seksi Persiapan Katalis Seksi ini bertugas mempersiapkan katalis yang akan direaksikan di reaktor. Ada tiga tipe katalis yang dipergunakan dalam proses ini yaitu MC-katalis sebagai katalis utama, ATkatalis sebagai Co katalis dan OF-katalis sebagai katalis adjuvan.
2) Seksi Polymerisasi Pada seksi ini dilakukan reaksi polymerisasi yang terbagi atas dua sistem reaksi, yaitu reaksi polymerisasi fase cair yang berlangsung di reaktor I dan reaksi fase gas yang berlangsung di reaktor II. Hasil polimerisasi yang berupa tepung ditransfer ke recycle gas separator menggunakan powder discharge system. Pada recycle gas separator ini gas propylene yang tidak bereaksi dan terbawa oleh tepung polymer dipisahkan, kemudian dikembalikan ke reaktor II dengan menggunakan kompresor.
3) Unit 500 Unit 500 memiliki raung kendali yang mengatur segala proses produksi polypropylane dengan sistem DCS ( Distributed Control System) dengan tipe : PCS C300.
44
a) Seksi Pengeringan Seksi ini bertugas memisahkan pelarut dan sisa katalis yang berikut di dalam tepung polymer dengan menggunakan nitrogen panas dan streaming kering, kemudian pelarut dan sisa katalis tesebut dikeluarkan menuju flare dan vent.
b) Unit Pelletizing Pada seksi ini powder propylene yang ditransfer dari unit 00 dengan menggunakan blower K-2501 dicampur dengan sejumlah stabilizer dengan resep tertentu yang sesuai untuk jenis
produk
polypropylane
polypropylane dan
stabilizer
yang
dihasilkan.
tersebut
diaduk
Powder dengan
menggunakan mixer hingga homogen. Setelah powder dan stabilizer tersebut tercampur, proses selanjutnya adalah pentransferan ke pelletezing sistem melalui pellet hopper TK2503. Campuran tersebut dipanaskan hingga menjadi resin dengan menggunakan steanm 40 kg/cm2 dan kemudian dipotong menjadi pellet dengan menggunakan cuttrer pada pelletizer dilengkapi dengan cooling water sistem yang berfungsi sebagai pendingin sekaligus pembawa pellet menuju pengering pellet.
4) Unit Silo / Bagging Pada seksi ini, pellet yang telah dihasilkan dari seksi pelletizing akan ditrasnfer dan ditampung sementara ke silo. Hal ini bertujuan
45
untuk proses selanjutnya (Blending) apabila terdapat kualitas produk yang kurang memenuhi persyaratan ( off specc). Denga adanya proses blending, produk pellet yang kurang memenuhi persyaratan ( off specc) diharapkan dapat menjadi memenuhi persyaratan (on specc).
Pellet hasil dari seksi pelletizing dikirim ke tangki/silo dengan menggunakan pellet transfer blower. Untuk mendapatkan hasil yang homogen pellet tersebut diblending dan selanjutnya diperiksa oleh laboratium,apabila hasilnya memnuhi spesifikasi diberi No Lot . Setelah diberi No lot, pellet tersebut ditransfer ke bagging tang untuk dikantongi, setiap kantong 25 kg dan disusun setiap 40 kantong satu pellet ( 1 ton), menjadi produk yang siap dipasarkan.
a) Kilang TA/PTA Kilang TA/PTA dibangun pada tahun 1983 dengan kapasitas produksi 150.000 ton PTA (Purified Terephtalic Acid) per tahun. Kemudian pada tahun 1990 dilakukan debottlenecking, yaitu dengan meningkatkan kapasitas kilang menjadi 225.000 ton PTA per tahun. Bahan baku kilang TA/PTA adalah Paraxylene yang didatangkan dari Kilang Paraxylene Cilacap. Produk yang dihasilkan Kilang TA/PTA adalah PTA powder yang digunakan untuk membuat serat sintetis polyster sebagai bahan baku industri tekstil.
46
E.
Produksi dan Distribusi Secara historis, Kilang Musi dibangun dengan tinjauan aspek raw material oriented atau pendekatan aspek bisnis dalam memperoleh bahan baku. Kilang BBM khususnya di daerah Sumetera bagian selatan. Sebagai pasokan utama, crude oil disalurkan melalui pipa dari lapangan di sekitar wilayah Sumatera Selatan melalui kapal. Proses distribusi crude oil dari lapangan melalui pipa sebesar ± 70%, sedangkan yang melalui kapal tanker adalah sebesar ± 30%.
Produk-produk yang dihasilkan Kilang RU III Plaju terbagi ke dalam kelompok-kelompok sebagai berikut.
Produk BBM Produk BBM dihasilkan Kilang RU III Plaju adalah premium, avgas, kerosen, solar, industrial diesel oil dan industrial fuel oil (minyak bahan bakar industri).
Produk non BBM Kilang RU III Plaju juga menghasilkan produk-produk non BBM yang terdiri dari LPG (Liquified Petroleum Gas), Naptha dan LSWR.
Produk Khusus Selain produk-produk BBM dan non BBM, Pertamina RU III Plaju juga tengah menghasilkan produk-produk khusus dari bahan baku minyak, yaitu Hydrocarbon Aerosol dan Musicool, Solvent, Pertamax serta Solar Plus.
47
Distribusi produk BBM dan non BBM untuk mencukupi pasar Sumetera bagian Selatan, termasuk Lampung, Jambi, Bengkulu dan Pulau Bangka-Belitung. Distribusi produk ke sebagian pulau Jawa meliputi: Jakarta, Surabaya, dan Gresik. Distribusi produk BBM juga disalurkan ke wilayah Pontianak (Kalimantan Barata), Ujung Pandang (Sulawesi Selatan) dan Bali.
Produk Petrokimia Polytam, produk yang berupa biji plastik didistribusikan ke Palembang, Medan, Lampung, Jakarta dan Surabaya untuk memenuhi bahan baku industri pabrik-pabrik plastik peralatan rumah tangga dan lain sebagainya. Produk petrokimia lainnya yaitu powder sebagai bahan baku industri tekstik polyster, didistribusikan ke Jakarta dan diekspor ke India dan China.
F.
Orientasi Lapangan
1.
Facility Engineering Section Facility Engineering Section merupakan salah satu bagian dari Engineering & Development di PT. Pertamina (Persero) RU-III PlajuSungai Gerong yang bertugas melakukan kajian berupa solusi engineering terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan kejadian di lapangan. Kajian ini dapat berupa evaluasi, inovasi dan rekomendasi perubahan terhadap konstruksi unit kilang, penggunaan alat-alat baru, deteksi kerusakan perangkat di lapangan dan kajian-kajian lainnya yang dilakukan untuk memastikan unit berjalan dengan baik. Ada beberapa
48
divisi terkait dengan Facility Engineering di
PT. Pertamina (Persero)
Pertamina RU-III Plaju-Sungai Gerong, yaitu:
Seksi Instrument Technology Expert Seksi Instrument Technology Expert mengurus hal-hal yang berkaitan dengan instrumentasi di lapangan, baik itu sensor, sistem kontrol, ruang kendali, transmitter dan instrumen-instrumen lain di lapangan.
Seksi Electrical Technology Expert Seksi Electrical Technology Expert mengurus hal-hal berkenaan dengan kelistrikan arus kuar, distribusi listrik ke seluruh wilayah PT. Pertamina (Persero) RU-III, menaikkan dan menurunkan tegangan dan hubungan listrik arus kuat lainnya.
Seksi Rotating Technology Expert Seksi Rotating Technoloy Expert mengurus hal-hal yang berkaitan dengan peralatan yang berputar dalam operasinya, seperti pompa, motor, kompresor dan turbin.
SeksiMechanical Technology Expert Seksi Mechanical Equipment Technology Expert mengurus hal-hal yang berkenaan dengan perpipaan.
49
Seksi Management of Change Leader Seksi Management of Change Leader mengurus semua hal yang berkaitan dengan perubahan yang terjadi di Plant PT. Pertamina (Persero) RU-III.
Facility Engineering Section memiliki struktur organisasi sebagai berikut.
Civil Technology Expert Seksi sipil mengurusi hal-hal berkenaan dengan pondasi sebagai dudukan peralatan instrument, shelter sebagai pelindung, rak pipa serta fasilitas platform untuk mendukung pekerjaan operasional serta maintenance atau perawatan.
Manager Engineering and Development Facility Engineering Section Head
Rotating Technology Expert
Mechanical Technology Expert
Electrical Technology Expert
Instrument Technology Expert
Management of Change Leader
Civil Technology Expert
Gambar 25 Struktur Organisasi Facility Engineering Section
50
IV.
A.
METODE KERJA PRAKTIK
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Praktik kerja lapangan ini dilakukan di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit III yang beralamatkan Jl. Beringin No.1 Komperta Plaju, Sumatera Selatan pada tanggal 24 Januari sampai 23 Februari 2012.
B.
Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit III untuk mengontrol level raw propane pada vessel 207 supaya senantiasa terjaga tinggi permukaan cairannya yaitu sebagai berikut : 1.
Raw Propane
2.
Vessel 207
3.
Level Transmitter dengan tag number 212
4.
Flow Transmitter dengan tag number 201
5.
Diapraghm Valve
6.
Pipa
7.
Distributed Control System (DCS) dengan tipe Ep PKS Eksperion Honeywell
51
C.
Metode Penyusunan Laporan
Metode yang digunakan dalam penyusunan laporan kerja praktik ini antara lain:
1. Observasi Melakukan tinjauan langsung kelapangan tentang Sistem Pengontrolan Level pada Vessel 207 di Unit Purifikasi Polypropylene PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju.
2. Wawancara Melakukan wawancara langsung dengan para teknisi atau instruktur di PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju.
3. Referensi Berdasarkan buku – buku serta data – data yang terdapat di PT. Pertamina (Persero) RU-III Plaju serta jurnal dan artikel yang diakses melalui internet.
52
V. PEMBAHASAN
A. Gambaran umum proses pada unit purifikasi Polypropylene Unit purifikasi pada Polypropylene merupakan unit yang berfungsi untuk memisahkan feed stock Raw Propane Propylene menjadi Propane dan Propylen yang berasal dari FCCU. Setelah terpisah, propane akan dikirim kembali ke FCCU sedangkan Propylene akan dimurnikan hingga mencapai 99,6 % wt. Kemudian propylene yang murni ini akan disimpan di tanki produk sebelum diproses di unit polimerisasi sehingga menjadi biji plastik.
Vessel 207 merupakan tanki yang berfungsi sebagai buffer storage tank atau tanki penyimpanan distribusi raw propane propylene yang berasal dari Column 205 setelah melalui proses pemanasan (dryer) pada unit dryer. Tujuan dari pemanasan ini adalah agar purities yang terdapat pada propane propylene dapat dihilangkan.Setelah itu propane propylene tersebut dipompakan ke column 320 (gambar deskripsi dari Vessel 207 ini dapat dilihat pada lampiran).
B.
Pengontrolan Level pada Vessel 207 di Unit Purifikasi Polypropylene
Vessel 207 berfungsi sebagai tanki penyimpanan sementara raw propane propylene yg berasal dari Column 205. Ketika volume raw propane hampir memenuhi volume vessel 207, maka transmitter LT 212 akan mengirimkan
53
sinyal ke FC 201 untuk membuka valve yang ada di column 201. Kemudian, raw propane pada vessel 207 akan mengalir ke column 201, sehingga level raw propane pada vessel 207 senantiasa terjaga. Beginilah pengontrolan level pada vessel 207.
Sistem pengotrolan level pada vessel 207 terdiri dari beberapa alat instrumentasi yang digabung dalam satu sistem. Setiap alat tersebut memiliki fungsi dan peran tertentu. Agar lebih mempermudah pemahaman kontrol level pada vessel 207, peralatan instrumentasi tersebut dibagi menjadi beberapa kategori seperti pada tabel berikut.
Tabel 5 Elemen instrumentasi pada vessel 207 No 1 2
Elemen Sistem Kontrol Primary Element Secondary Element
3
Control Element
4
Final Element
1.
Primer Sekunder
Perangkat Differential Pressure Level Transmitter& Transmitter Level Control (DCS) Flow Control (DCS) Control Valve
Flow
Transmitter Transmitter berfungsi sebagai alat untuk penghasil keluaran dari pengukuran dan perantara penghubung antara Head Level meter yang ada dilapangan dengan ruang DCS (Distribution Control System). Pada vessel 207 transmitter bertindak sebagai primary dan secondary element.
Pada sistem kontrol level V-207, transmitter yang digunakan ada 2 buah, yaitu LT-212 dan FT-201. Kedua transmitter tersebut akan
54
dipasang secara cascade yaitu keluaran LC-212 akan menjadi set point pada FC-201
a) Transmitter LT-212 Transmitter LT-212 merupakan transmitter pressure type level instruments dan juga tergolong transmitter elektrik. Media transmisi datanya sudah menggunakan kabel dan data yang ditransmisikan dalam arus listrik. Transmitter ini menggunakan sistem dua kabel transmisi, dimana kabel tersebut berfungsi sebagai pengiriman sinyal dan sebagai sumber tenaga.
Gambar 26 Differential pressure type level transmitter Untuk lebih lengkapnya akan di tampilkan data dari transmitter LT212.
Tabel 6 Differential Pressure Type Level Intruments ITEM NO :7 QUANTITY :1 TAG NO : 22-LT-212 SERVICE OR LOCATION : C3=/C3 LIQUID TYPE :E–T METER RANGE : 2700 mm PRIMARY ELEMENT Type : PL
55
Design Design Kg/cm2G : 28,4 50 Press Temp ºC Body : C.S Element (Diaphragm) : 316 ss Flange : 316 ss TRANSMITTER Diff. Pressure : 1345 mmH2O Elevation Supressions : Yes Yes Output Signal : 4 – 20 mA ACCESSORIES 3 Valve Manifold : Yes Seal Put : Yes OPERATION CONDITION Fluid : C3=/C3 2 Pressure kg/cm G : 12,0 Temperatur : 0,497 P &ID : No. D-22-1225-104 Tampak dari data di atas bahwa range pengukuran liquid pada vessel 207 adalah 0 - 1345 mmH2O atau 0 - 1,345 mH2O. Nilai range inilah yang dikontrol agar liquid tidak lebih atau kurang dari range.
Gambar 27 Rentang ukur pada Vessel-207
Prinsip kerja dari transmitter ini yaitu menghitung selisih tekanan dari high dan low tapping yang berasal dari vessel 207.
56
Gambar 28 Posisi high pressure dan low pressure pada Vessel-207
Tekanan high berasal dari tekanan hidrostatik liquid dan atmosphere sedangkan tekanan low hanya berasal dari tekanan atmosphere. Jika dibuat ke dalam persamaan matematis akan menjadi:
dp = H – L = (Phidrostatik + Patmosphere) – (Patmosphere) = (Phidrostatik) Maka dari persamaan tersebut dapat diketahui hanya tekanan hidrostatik saja yang bekerja pada transmitter differensial pressure tersebut.
Selanjutnya tekanan tersebut akan menekan strain-gauge maka akan terjadi
deformasi
(perubahan
panjang)
yang
menyebabkan
terjadinya perubahan nilai hambatan listrik dan terjadi perubahan nilai tegangan dan arus listrik pada alat. Nilai standar keluaran arus listrik dari transmitter berkisar 4 – 20 mA.
57
Gambar 28 Prinsip pengukuran differential transmitter elektrik Kemudian sinyal arus tersebut di tranmisikan ke control level yang berada di DCS. Agar level setara dengan sinyal listrik (DCS hanya membaca sinyal arus 4 – 20 mA), maka perlu adanya penyetaraan nilai range. Berikut ini ditampilkan contoh tabel penyetaraan antara level dan sinyal listrik. Tabel 7 Penyetaraan antara laju fluida dan sinyal listrik. Laju Aliran (mmH2O) 269 535 807 1076 1345
Arus (mA) 4 8 12 16 20
b) Transmitter FT-201 Transmitter FT-201 merupakan transmitter differential pressure type flow. Transmitter ini juga termasuk transmitter elektrik.Berikut data lengkap mengenai FT-201. Tabel 8 Differrential Pressure Type Flow Element ITEM NO QUANTITY TAG NO SERVICE OR LOCATION
:4 :1 : 22-FT-201 : C3=/C3 FEED TO C-201
58
:E–T : 0 – 11 ton/hari PRIMARY ELEMENT Type : OF – F Design Design Kg/cm2G : 32,5 Press Temp ºC Connection Size :3 Rating : 300 RF-SM MAT’L Flow Element : 316ss Holder :TRANSMITTER Type : PL Diff. Pressure : 2005 mmH2O MAT’L Body : C.S Element (Diaphragm) : 316ss Other Wetted Parts : 316ss TYPE METER RANGE
55
ACCESSORIES 3 Valve Manifold : Yes Seal Put/Seal Liquid :OPERATION CONDITION Fluid : Propane-Propylene Flow Rate Max (ton/hr) :Flow Rate Normal (ton/hr) : 8,28 2 Pressure kg/cm G : 27,7 Temperatur : 30 P &ID : No. D-22-1225-103A Jika Transmitter LT-212 menggunakan diaphragm sebagai sensor tekanan, maka pada FT-201 sebagai sensornya sensornya adalah Orifice. Orifice adalah penghalang berbentuk lingkaran yang memiliki lubang pada bagian tengahnya. Sehingga tekanan fluida antara sebelum dan setelah penghalang berbeda. Perubahan tekanan inilah yang kelak menjadi input pada FT-201. Besar atau kecilnya lubang pada orifice akan mempengaruhi tekanan yang melaluinya.
59
Gambar 29 Orifice Plates
2.
Tranduser FY-201 Converter adalah suatu alat yang berfungsi untuk mengubah suatu besaran sinyal pengukuran menjadi sinyal yang dapat dikirim. Contohnya adalah I/P converter, P/I converter, ADC, dan DAC. Converter dapat disebut juga transduser, karena mengubah suatu bentuk besaran ke bentuk besaran lainnya, namun transduser pada umumnya sudah tertempel langsung pada sensor atau menjadi bagian dari sensor tersebut. Pada PID (piping and Istrument diagram) biasanya tranduser diberi simbol FY. Tranduser pada control level vessel 207 memiliki tag number FY-201.
Tranduser yang digunakan pada sistem kontrol level pada Vessel 207 adalaha I/P Tranduser tipe exploisen-proof yang biasanya dipasang di lapangan. Tranduser ini mengubah arus listrik (4–20 mA) yang berasal dari DCS (flow control) menjadi sinyal tekanan pneumatic (3–15 psig atau 0,2-1 kg/cm2) yang kemudian ditransmisikan ke Control Valve. Pengatur tranduser ini ialah flow control FC-201 yang berada di DCS.
60
Gambar 30 I/P Converter Explosion-proof type
3.
Control Valve 201 Didalam sistem pengendalian suatu proses industri, salah satu elemen sistem kontrol yang sangat penting adalah final control element (control valve). Pentingnya menggunakan ukuran control valve yang benar harus merupakan penekanan didalam desain suatu sistem kontrol agar tujuan pengendalian suatu proses dapat terpenuhi.
Dilihat dari segi operasinya valve yang over size akan memberikan fungsi control yang tidak baik dan dapat menyebabkan ketidak stabilan system. Suatu controller yang mahal, sensitive dan akurat akan menjadi tidak berarti jika control valve tidak dapat mengoreksi aliran secara benar untuk menjaga titik control.
Control valve 201 yang digunakan pada vessel 207 adalah diaphragma valve
dengan
aktuatornya
pneumatic.
Aktuator
pneumatik
menggunakan tekanan udara untuk menggerakkan diafragma yang lunak dalam menjalankan mekanisme valve. Tekanan udara yang dibutuhkan berdasarkan dari pengontrol pneumatik, atau berasal dari
61
converter I/P yang mengubah sinyal elektrik menjadi sinyal pneumatic (4-20 mA menjadi 3-15 psi).
Diaphragma valve termasuk jenis valve analog yang bukaan valvenya memberikan berbagai posisi yang sangat akurat, seperti bukaan 0%, 25%, 50%, 75% dan 100%. Bukaan ini disesuaikan dengan sinyal pneumatic yang berasal dari DCS.
Tabel 9 Konversi Pneumatic menjadi bukaan valve Sinyal Pneumatic (psi) 3 6 9 12 15
Bukaan Valve (%) 0 25 50 75 100
Gambar 31 Mekanisme Kerja Actuator Pneumatic
4.
Distributed Control System (DCS) DCS adalah suatu sistem pengontrol digital yang berbasis komputer yang digunakan untuk mengatur suatu sistem proses yang memiliki banyak masukan dan keluaran dan menggunakan sistem kontrol yang rumit maupun konvensional. Sistem pengontrol DCS mengendalikan
62
berbagai sistem proses secara terdistribusi, sehingga proses pengawasan dapat dilakukan dari ruangan yang jauh dari lapangan sehingga keamanan akan lebih terjaga dan dapat mengawasi seluruh proses yang berlangsung di lapangan atau pabrik.
Tipe DCS yang digunakan pada yang digunakan pada polypropylene sekarang adalah tipe Ep PKS Eksperion Honeywell. DCS ini sudah berbasis sistem operasi windows. DCS inilah yang berperan sebagai kontroller pada sistem instrumentasi pada vessel 207 ataupun lainnya.
C.
Analisis Sistem Pengontrolan Cascade Pada Vessel 207
Cascade Gambar 32 Diagram P&ID loop cascade control level dan Flow Vessel-207 Loop primer adalah pada pengontrolan level, sedangkan loop sekunder adalah pada loop pengontrolan laju aliran (flow). Secara instrumentasi terdapat dua transmitter yang digunakan pada sistem kontrol cascade yaitu level transmitter LT-212 dan flow transmitter FT-201. Level transmitter LT-212
63
terhubung secara kontinyu dengan level control LC-212 yang berada di DCS. Jadi perubahan level selalu terpantau dari DCS. Begitu pun dengan flow transmitter FT-201, transmitter ini akan mengirimkan sinyal mengenai laju aliran ke flow control LC-201.
Pada diagram di atas proses aliran sinyal dimulai dari level transmitter LT212. Ketika level transmitter LT-212 yang sudah
mendeteksi adanya
kenaikan level (proses value) yang melebihi set point yang sudah ditetapkan, maka level control LC-212 akan mengirimkan sinyal kepada FC-212 yang berisi perintah untuk segera membuka valve hingga set point terpenuhi. Perintah ini (keluaran dari FC-212) kelak akan menjadi set point pada flow control FC-201. Kemudian FC-201 akan mengirimkan sinyal elektrik ke tranduser untuk di ubah menjadi sinyal pneumatik yang akan diteruskan ke control valve 201. Setelah itu control valve akan terbuka hingga level berada pada nilai set point. Flow transmitter secara kontinyu mengirimkan sinyal mengenai laju aliran ke FC-212.
Nilai level yang telah diatur oleh DCS untuk LC212 adalah:
PV
= 45,95 %
(Level Proccess Value)
SV
= 45,95 %
(Level Set Value)
MV
= 1,9 Ton/Day
(Flow Measured Value)
PV merupakan nilai proses level yang dikontrol, dapat berubah-ubah agar mendapat nilai yang diset. Jika nilai ini belum mencapai nilai yang telah ditetapkan, valve akan tetap terbuka pipa sehingga nilai level akan mencapai nilai yang telah diatur. Pada Vessel 207 PV bekerja mempertahankan set
64
point, alarm untuk set point di antara 15-80% atau akan mengalami gangguan jika nilai PV diluar daripada nilai alarm.
Selain PV ada besaran lain yang menentukan proses pengendalian yaitu SV (Set Value) dan MV (Measured Value). SV merupakan sebuah nilai konstan yang mengatur agar sistem kontrol mengatur nilai variabel sehingga mencapai nilai dari set value (nilai yang diinginkan dilapangan).
MV merupakan indikator dari pengontrolan level yang dibuat dari nilai level sebelumnya. Nilai level ini berubah jika valve tertutup setelah mendapat nilai level maksimal dari set value.
VI. PENUTUP
A.
Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut. 1.
Pengontrolan level pada vessel 207 menggunakan sistem kontrol cascade dengan level control sebagai loop primer dan flow control sebagai loop sekunder.
2.
Perangkat instrument yang digunakan pada sistem kontrol level pada vessel 207 adalah level transmitter LT-212, flow transmitter
FT-201,
Transduser I/P, Pneumatic Valve dan DCS tipe EP PKS Eksperion HoneyWell. 3.
Penerapan pengendalian cascade dapat merugikan apabila elemen proses di primary loop lebih cepat dari elemen proses pada secondary loop, karena sistem akan cederung berosilasi akibat timbulnya interaksi antara primary loop dan secondary loop.
4.
Sistem pengendalian cascade hanya dapat diterapkan pada proses dengan elemen primer yang jauh lebih lambat dari elemen secondarynya.
66
B.
Saran 1. Adanya penggantian alat-alat instrument yang sudah tidak layak pakai karena tidak dapat lagi beroperasi sebagaimana mestinya. 2. Adanya pembaruan pada diagram P & ID karena diagram yang ada sudah cukup lama.
DAFTAR PUSTAKA
Considine, D.M. 1987. Process Instrument and Control Handbook. Singapore: Mc.Graw Hill Book International. Flow Calculation. 2000. Palembang: Perpustakaan Pertamina UP-III Howard S, Bean. 1971. Fluid Meter, Their Theory and Aplication. America: The American Society of Mecanical Enginering. Mukhaitir, Ahmad Shafi. 2010. Analisa Sistem Kontrol pada Vessel 11V2 di Foc PT Pertamina (Persero) Refinery Unit Iv Cilacap. Laporan Hasil Kerja Praktik. Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang. Orifice Metering of Natural Gas. 1990. Third Edition. America: American Gas Association Institute & American Petroelum Association Institue. Samuel, Parura. 2007. Instrumentasi dan Proses Kontrol. Balongan :Diklat BPST XVII. Susilo, Tri Bagus. 2010. Analisis Cascade Control pada Low Control dan Level Control di Bagian 11v2 foc 1. Laporan Hasil Kerja Praktik. Program Studi Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.