I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kubis (Brassica oleracea L.) adalah salah satu tanaman hortikultura yang banyak dibutuhkan masyarakat dan mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi, karena tanaman kubis sebagai sumber vitamin, mineral, karbohidrat, protein, dan lemak. Dalam 100 g kubis terdapat 1,3 g protein, 0,8 g serat, 47 mg vitamin C, 130 IU vitamin A, 0,15 mg thiamin, 0,16 mg pyridoxin, 0,05 mg riboplavin, 49 mg Kalsium, dan 0,4 mg besi (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 1981 cit Permadi dan Sastrosiswojo, 1993). Tanaman Brassicaceae mengandung sulfosida S-metilsistein yang dapat menurunkan kolesterol darah (Rubatszky & Yamaguchi, 1998). Faktor penghambat dalam usaha meningkatkan produksi kubis antara lain adalah gangguan hama, penyakit, dan gulma. Rendahnya kuantitas dan kualitas produksi kubis yang dihasilkan oleh petani kubis terutama disebabkan karena adanya bermacam-macam jenis serangga hama. Larva Plutella xylostella (L). (Lepidoptera: Plutellidae) dan Crocidolomia binotalis (Zell) (Lepidoptera: Pyralidae) merupakan dua jenis hama yang sangat merusak tanaman kubis, terutama pada musim kemarau (Kalshoven, 1981). Ngengat P. xylostella adalah serangga berukuran 5-9 mm. dikenal dengan nama diamondback moth atau ngengat punggung berlian, karena terdapat tanda berbentuk berlian di bagian punggung apabila sayap depan terlipat (Murray et al., 2008). Larva P. xylostella atau ulat daun kubis merupakan hama utama pada tanaman Brassicacae (Shelton & Wayman, 1990) merusak tanaman kubis yang masih muda maupun krop 1
2
kubis. Serangan larva P. xylostella mengakibatkan tanaman kubis tidak membentuk \\\\\\\\\Kehilangan hasil kubis di Malaysia oleh P. xylostella mencapai 87,5% bila tanpa insektisida (Ho, 1997). Di Segunung kehilangan hasil rata-rata sebesar 58%100% apabila tidak dikendalikan dengan insektisida (Winarto & Nazir, 2004). Kehilangan hasil kubis di Indonesia oleh P. xylostella bersama-sama dengan C. binotalis (Zell) di musim kemarau dapat mencapai 100% bila tidak digunakan insektisida (Sastrosiswojo, 1987; Elly, 1992) Pengendalian hama kubis di Indonesia masih banyak bergantung pada penggunaan insektisida. Penggunaan insektisida oleh petani kubis dataran tinggi sangat intensif, baik insektisida yang digunakan, dosis penggunaan
yang tinggi
maupun interval penyemprotan yang sangat pendek (Woodford et al., 1981; Nuryanti, 2001). Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai masalah serius, diantaranya tidak efektifnya penggunaan insektisida untuk pengendalian, menurunnya nilai toksisitas, perubahan sifat toksikologi, dan perubahan karakter genétika populasi (Syed, 1990). Beberapa kelompok insektisida kimia konvensional, seperti golongan organofosfat merupakan insektisida yang paling banyak digunakan oleh petani kubis di daerah Kopeng, kemudian diikuti karbamat dan piretroid sintetik. Penggunaan insektisida B. thuringiensis oleh petani kubis Ambarawa dalam aplikasinya dicampur dengan deltametrin, dan beberapa tahun terakhir dicampur dengan profenofos. Interval pemakaiannya juga sangat intensif, yaitu antara 3-7 hari sekali. Pada musim kemarau, populasi P. xylostella tinggi sehingga penyemprotan dilakukan 3 hari sekali, sedangkan pada musim penghujan, populasi hama rendah, dan tetesan air
3
hujan mempunyai tenaga mekanis yang mampu membunuh larva instar kedua ataupun ketiga sehingga penyemprotan dilakukan 7 hari sekali. Penggunaan insektisida yang berlebihan akan mendorong semakin meningkatnya kemampuan hama menjadi resisten terhadap golongan insektisida kimia konvensional tersebut, karena individu-individu peka akan tereliminasi oleh insektisida (Nuryanti, 2001; Lystyaningrum et al., 2003; Matsumura, 1983). Data kerugian ekonomis akibat berkembangnya populasi resisten di Indonesia belum tersedia dan sulit untuk mengestimasikan. Pimentel (1991) pernah melaporkan bahwa karena masalah resistensi dibutuhkan tambahan belanja sebanyak 40 juta USD di Amerika Serikat. Kerugian oleh karena resistensi akan sangat dirasakan oleh berbagai komponen stakeholders. Produsen insektisida akan merasakan langsung akibat tersebut, karena jumlah penjualan insektisida berkurang, sedangkan petani akan mengeluarkan ongkos produksi yang lebih tinggi karena tambahan pemakaian insektisida lain, ataupun berkurangnya hasil karena efektifitas pengendalian yang menurun. Secara tidak langsung, publik juga akan menerima konsekuensi yang dapat berupa menurunnya harga maupun kualitas produk pertanian dan peternakan. Semakin banyak munculnya spesies hama yang resisten terhadap insektisida kimia konvensional, maka dikembangkan insektisida yang bersifat lebih selektif dan ramah lingkungan dibandingkan insektisida konvensional, yaitu emamektin benzoat. Emamektin benzoat termasuk dalam golongan avermektin. Avermektin merupakan hasil fermentasi mikroorganisme dalam tanah yaitu Streptomyces avermitilis (Clark et al., 1994). Cara kerja emamektin benzoat yaitu dengan merusak sistem kerja
4
neurotransmitter, menstimulasi ion klorida masuk ke dalam sel syaraf. Jumlah ion klorida yang masuk akan merusak sistem impuls syaraf dan menyebabkan sel syaraf kehilangan fungsi utamanya, sehingga serangga tidak dapat bergerak. Karena serangga tidak dapat bergerak, maka proses makan akan berhenti dalam waktu kurang dari 12 jam (Vijaykumar et al., 2004). Emamektin benzoat merupakan racun perut dan digunakan untuk mengendalikan Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, S. litura, Heliothis sp dan Thrips sp pada tanaman cabai, P. xylostella pada tanaman kubis, dan H. armigera (Zell.) pada tanaman tomat (Dybas at al., 1989). Penelitian tentang resistensi P.xylostella terhadap emamektin benzoat dilakukan di beberapa daerah sentra produksi kubis di Jawa Tengah, meliputi Puasan, Babrik, Kaponan, Keteb (Magelang), Plalar, Gedongsongo, Kenteng, Selo (Semarang), Gondosuli (Karanganyar), Kejajar, Kertek (Wonosobo). Daerah Puasan, Babrik, Kaponan, Keteb, Plalar menggunakan emamektin benzoat untuk mengendalikan P. xylostella dilakukan 2-3 kali seminggu bila terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, dan jika kerusakan ringan biasanya dilakukan hanya seminggu sekali. Petani kubis di daerah tersebut, menyatakan bahwa efektifitas emamektin benzoat (Proclaim 5 SG* Syngenta Indonesia) terhadap P. xylostella telah menurun dibandingkan saat insektisida tersebut pertama kali digunakan. Penggunaan emamektin benzoat yang intensif menjadi salah satu faktor penyebab timbulnya masalah besar dalam pengendalian hama kubis, P. xylostella yang salah satunya adalah timbulnya resistensi hama.
5
Resistensi merupakan salah satu fenomena evolusi akibat proses seleksi yang berlangsung selama beberapa generasi pada hama yang selalu diberi insektisida dengan bahan aktif yang sama (Untung, 2006). Tingkat resistensi tinggi biasanya ditemukan pada wilayah yang intensif menggunakan insektisida dan kondisinya terbuka (Shelton et al., 2000). Walker et al. (2012) menyatakan, bahwa di New Zealand penggunaan insektisida lambda-cyhalothrin dapat menyebabkan resistensi populasi P. xylostella sangat tinggi, yaitu sebesar 885 kali, tetapi terhadap spinosad dan indoxacarb sedikit resisten bahkan sama sekali tidak resisten dan sifat resistensinya berkurang terhadap methamidophos. Hasil penelitian Stone & Sims (1993) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kepekaan antar populasi Heliothis virescens terhadap Dipel 3,6 kali dan terhadap endotoksin 8 kali. Besarnya tingkat resistensi populasi Pseudoplusia includends di Amerika Serikat terhadap emamektin benzoat bervariasi antara 1-6,21 kali (Mascarenhas & Boethel, 1997). Kepekaan populasi P. xylostella di California terhadap emamektin benzoat antara 1–13 kali (Shelton et al., 2000). Hasil penelitian Wearing et al. (1997) menunjukkan telah terjadi peningkatan resistensi 269 kali pada Planotortrix
octo
terhadap
tebufenozida
dibanding
strain
peka.
Menurut
Mascharenhas & Boethel (1997) menyatakan bahwa LC50 metoksifenozida pada Spodoptera exigua strain lapangan lebih tinggi dibanding strain laboratorium. Resistensi tidak hanya terjadi terhadap insektisida konvensional saja, tetapi juga terhadap insektisida generasi ke-3 yaitu golongan Insect Growth Regulators (IGRs) seperti agonis ekdison, hormon juvenil (JH). Hormon juvenil yang digunakan untuk
6
pengendalian serangga di Amerika Serikat adalah metropin, kinoprin, dan hidroprin, sedangkan insektisida penghambat khitin adalah diflubenzuron (Ware, 1986). Monitoring resistensi perlu dilakukan untuk mengetahui penyebab kegagalan pengendalian hama karena faktor resistensi populasi terhadap insektisida atau faktor lain (Curtis, 1985 dalam Roush dan Miller, 1986). Monitoring resistensi biasanya dilakukan secara konvensional dengan 4-5 seri konsentrasi untuk mendapatkan nilai Lethal Dose (LD) atau Lethal Concentrasion (LC), namun metode ini kurang peka terhadap peristiwa resistensi yang baru muncul (Halliday dan Burnham, 1990 dalam Marcon et al. 2000). Oleh karena itu perlu dikembangkan metode monitoring yang lebih sensitif terhadap perubahan kecil frekuensi resistensi, yaitu dengan menggunakan konsentrasi diagnostik (Halliday & Burnharm, 1990; Untung , 2004). Penentuan mekanisme resistensi populasi P. xylostella terhadap insektisida emamektin benzoat dapat dilakukan apabila resistensi populasi P. xylostella pada daerah tertentu telah terdeteksi. Penentuan mekanisme dapat dilakukan dengan analisis hambatan aktivitas asetilkolinesterase (AChE) dan aktivitas esterase oleh insektisida emamektin benzoat (Ellman et al., 1961). Resistensi akibat penggunaan insektisida dengan bahan aktif yang sama secara berlebihan tidak dapat dihindari namun dapat diperlambat, sehingga perlu diketahui karakteristik sifat resistensi P. xylostella terhadap emamektin benzoat. Pengetahuan tentang karakteristik sifat resistensi adalah penting sebagai dasar strategi pengelolaan resistensi yang akan dikembangkan untuk mengantisipasi dan memperlambat laju perkembangan resistensi (Tabashnik et al., 1992).
7
Sifat resistensi serangga terhadap insektisida dikendalikan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor genetik. Di alam, frekuensi allel individu peka lebih besar dibandingkan frekuensi alel individu resisten. Frekuensi alel homozigot resisten berkisar antara 10-2 sampai 10-13 (Georghiou & Taylor, 1986). Adanya tekanan seleksi akibat penggunaan insektisida yang terus menerus menyebabkan populasi yang pada mulanya peka berubah menjadi populasi resisten terhadap insektisida yang digunakan (Yu, 1993). Pengetahuan tentang genetika populasi serangga yang resisten terhadap insektisida akan berguna untuk memperlambat perkembangan resistensi serangga.
Mekanisme
sifat
resistensi
serangga
terhadap
insektisida
dapat
diidentifikasi menggunakan analisis genetik (Tabashnik et al., 1992). Penelitian tentang status resistensi P. xylostella terhadap emamektin benzoat akan sangat berguna dalam menentukan strategi pengelolaan P. xylostella.
B. Permasalahan Perlakuan insektisida yang terus menerus mengakibatkan terbunuhnya individuindividu peka dan akhirnya akan didominasi oleh individu-individu yang resisten. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka permasalahannya adalah: 1. Apakah yang menyebabkan populasi P. xylostella di daerah Puasan, Babrik, Kaponan, Keteb dan Plalar yang terpapar emamektin benzoat dalam waktu tertentu toksisitasnya menjadi kurang efektif dibandingkan populasi yang tidak terpapar oleh insektisida tersebut ?
8
2. Apakah yang menyebabkan populasi P. xylostella di daerah yang terpapar ataupun yang tidak terpapar eemamektin benzoat tingkat kepekaannya berbeda ? 3. Apakah metode pengujian hayati yang sering digunakan selama ini untuk monitoring resistensi populasi P. xylostella terhadap emamektin benzoat dapat mendeteksi perubahan kecil frequensi individu resisten ? 4. Apakah populasi P. xylostella yang telah menurun tingkat kepekaanya melibatkan proses lain yang berkaitan dengan emamektin benzoat yang masuk ke dalam tubuh serangga ? 5. Apakah ada faktor genetis pada populasi P. xylostella yang tingkat kepekaannya telah menurun, sehingga perkembangannya sangat cepat di lapangan dan kurang efektif dikendalikan dengan emamektin benzoat ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan secara umum adalah mengetahui status resistensi populasi P. xylostella terhadap aplikasi emamektin benzoate yang terus menerus sehingga toksisitas insektisida tersebut sudah tidak atau kurang efektif lagi untuk pengendalian dibandingkan toksisitas sebelumnya, sedangkan penelitian ini secara khusus dilakukan dengan tujuan: 1. Mengetahui tingkat kepekaan populasi P. xylostella di daerah yang terpapar ataupun yang tidak terpapar dengan emamektin benzoat, mengingat bahwa ttingkat kepekaan populasi di daerah yang terpapar, toksisitas insektisida tersebut tidak efektif lagi dibandingkan daerah yang tidak terpapar dengan insektisida tersebut.
9
2. Mengetahui faktor yang menyebabkan perbedaan tingkat kepekaan populasi P. xylostella baik yang terpapar ataupun yang tidak terpapar ememamektin benzoat 3. Mengetahui metode penetapan konsentrasi diagnostik yang dapat mendeteksi perubahan kecil populasi resisten terhadap emamektin benzoat. 4. Mengetahui mekanisme terjadinya resistensi yang menyebabkan populasi P. xylostella menjadi resisten terhadap emamektin benzoat. 5. Mengetahui pewarisan sifat resistensi populasi P. xylostella terhadap emamektin benzoat, dan jumlah gen pengendali resistensi
D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang status resistensi P. xylostella terhadap emamektin benzoat pada tanaman kubis di Indonesia, terutama metode monitoring resistensi dengan penetapan konsentrasi diagnostik, mekanisme resistensi, dan pewarisan sifat resistensi P. xylostella terhadap emamektin benzoat sampai saat ini belum banyak diteliti. Oleh karena itu penelitian ini akan sangat berguna dalam pengelolaannya.
E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat antara lain : 1. Memberikan landasan ilmiah bahwa aplikasi emamektin benzoat dengan dosis dan frekuensi aplikasi yang lebih tinggi dari dosis anjuran akan meningkatkan potensi serangga P. xylostella untuk berkembang menjadi populasi resisten.
10
2. Memahami perbedaan frekuensi penggunaan emamektin benzoat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan perbedaan kepekaan populasi P, xylostella untuk menentukan standart aplikasi 3. Monitoring resistensi P. xylostella terhadap emamektin benzoat dengan penetapan konsentrasi diagnostik lebih cepat untuk mendeteksi frekuensi resistensi rendah atau peristiwa resistensi yang baru muncul, selain itu serangga uji yang diperlukan lebih sedikit, waktu lebih singkat dan dapat digunakan untuk bioassay populasi dalam jumlah yang besar, metode ini cepat dan sederhana untuk mendeteksi resistensi pada wilayah geografis yang berbeda. 4. Mengetahui mekanisme resistensi P. xylostella untuk digunakan sebagai landasan kebijakan pengendalian lain dalam pengendalian hama 5. Memahami pewarisan sifat resistensi populasi P. xylostella terhadap emamektin benzoat, sehingga dapat dilakukan strategi pengendalian yang dapat menghambat perkembangan resistensi.