HUKUM POKOK DAN HUKUM PENDUKUNG DALAM BIDANG PIDANA DAN PERDATA ISLAM Oleh Sucipto ∗ Abstrak Tujuan hidup manusia secara umum adalah demi tercapainya kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tercapainya tujuan hidup manusia tersebut meniscayakan adanya prasarat yang berupa pranata sosial kehidupan manusia. Di antara prasarat yang mesti ada itu adalah hukum. Hukum Islam adalah perangkat aturan yang memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan manusia hidup tersebut. Sebagai perangkat aturan Hukum Islam bisa dilihat dari dua kategori, yakni kategori hukum yang bersifat pokok dan kategori aturan yang bersifat pendukung. Kedua kategorisasi aturan tersebut oleh Musthafa Ahmad az-Zarqa’ dikemas dalam istilah al-ahkam al-asliyyah dan al-ahkam al-mu’ayyidah. Key words: al-ahkam al-asliyyah, al-ahkam al-mu’ayyidah, al-Muayyidat at-Ta’dibiyyah, dan al-Muayyidat al-Madaniyyah.
A. PENDAHULUAN Tujuan manusia hidup di dunia adalah tercapainya kebaikan dan kebahagiaan hidup, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat. Manusia harus melakukan upaya-upaya sistemik demi tercapainya tujuan hidup tersebut. Di sisi lain sebagai al-Hakim, Allah sangat memperhatikan terhadap tujuan hidup manusia tersebut, dan sebagai manifestasinya Allah menyampaikan seperangkat aturan yang lazim disebut dengan Hukum. Hukum –oleh ulama-ulama Ushul- didefinisikan sebagai titah Allah yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan (untuk melakukan atau meninggalkan), pilihan, ataupun wadl’i. 1 Titah Allah tersebut, sebagaimana hasil penelitian para Ulama Hukum Islam, diperuntukkan dan dibebankan kepada manusia dengan tujuan li al-mashalih, yakni terciptanya kemaslahatan kehidupan manusia, di segala tempat dan masa, kebaikan hidup di dunia sekarang ini maupun kebahagiaan hidup di akhirat kelak. Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa eksistensi Hukum Islam itu sejalan dengan cita-cita dan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya. Oleh karena itu, hanya dengan mentaati dan menjalankan aturan hukum itulah tujuan manusia hidup akan tercapai. Sebagai perangkat aturan, hukum bisa dilihat dari dua kategori, yakni kategori ketentuanketentuan yang bersifat pokok, yang oleh Musthafa Ahmad al-Zarqa’ dikemas dalam istilah alahkam al-asliyyah dan kategori ketentuan-ketentuan yang bersifat pendukung, yang diistilahkan dengan al-ahkam al-mu’ayyidah. Sebagai hukum yang bersifat pokok, al-ahkam al-asliyyah tetap dan mengikat, ia tidak bisa ditawar-tawar lagi, ia harus dijalankan dan ditaati oleh manusia. Sedangkan sebagai aturan pendukung, al-ahkam al-mu’ayyidah ia bersifat elastis, ia bisa berubah sejalan dengan berubahnya waktu, tempat, keadaan, causa final, dan lain sebagainya. B. AL-AHKAM AL-ASLIYYAH Hukum pokok merupakan dasar syari’ah yang bertujuan untuk mengatur hubungan manusia, memelihara kemaslahatan baik yang umum maupun yang khusus, menegakkan keadilan dan menolak permusuhan di antara manusia. 2 Sesuatu yang sangat penting dalam syari’at amali itu berupa tuntutan yang wajib para mukallaf untuk tunduk padanya, mengindahkan perintah dan larangannya serta tuntutan agar selalu berada dalam ketentuan-ketentuan yang digariskan padanya dalam perbuatan-perbuatan (al-a’mal) dan mu’amalat mereka yang berimplikasi
∗
Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung Hukum wadl’i diartikan sebagai titah Allah yang berkaitan dengan menjadikannya sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ (pencegah), sah, rusak, azimah atau rukhshah. Lebih jauh lihat Wahbah az-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh alIslami, Dar al-Fikr, Beirut, 1986, Juz I, hlm. 40. 2 Musthafa Ahmad az-Zarqa’, Al-Fiqh al-Islami fi Tsaubih al-Jadid (Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am), Dar alFikr, Beirut, 1968, Juz II, hlm. 591. 1
74
terjadinya hak di antara mereka. 3 Oleh karena itu, dalam segala perbuatan dan muamalat harus menjaga aturan syara’ dan menjunjung tinggi perintahnya, sebab diciptakannya aturan tersebut tidak lain adalah untuk kemaslahatan dan mencegah adanya kesulitan yang dihadapi oleh manusia pada umumnya dan mukallaf pada khususnya. Serta agar aturan syariat dijunjung tinggi dan dihormati, maka perlu diciptakan hukum dan peraturan yang menjamin dilaksanakannya syariat itu yang memaksa pada manusia untuk mentaatinya. Oleh karena itu, Syari’ membuat aturan bagi yang tidak mentaatinya, diciptakan kesulitan-kesulitan sebagai konskuensi dari perbuatannya yang melanggar aturan tersebut. Sebagai akibatnya tidak ada pilihan lain kecuali berjalan pada jalur yang telah ditentukan oleh Syari’. Jika tidak demikian, maka syari’at tidak mempunyai sifat memaksa yang pada gilirannya akan seperti tuntutan yang dapat dengan mudah untuk tidak ditaati. Hukum seperti ini, disyariatkan memang tidak untuk mengatur hubungan antar manusia dan menjaga kemaslahatan di antara mereka, akan tetapi hanya untuk memperkokoh hukum pokok (al-ahkam al-asliyyah) yang memang mengatur hubungan antar manusia. Hukum ini menurut istilah hukum modern disebut dengan al-ahkam al-mu’ayyidat dan terkadang disebut juga dlawamin. Ulama-ulama ahli fiqh menyebutnya dengan zawajir. 4 C. AL-AHKAM AL-MUAYYIDAT Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka definisi al-muayyidat dapat dirumuskan sebagai segala sesuatu yang disyariatkan yang berupa aturan-aturan yang membawa manusia untuk mematuhi hukum-hukum (ketentuan-ketentuan) syariat yang pokok. Sehingga dengan demikian syariat yang sempurna adalah mesti memiliki dua macam hukum, yaitu, pertama, adalah hukum pokok yang berisi aturan-aturan demi kemaslahatan, hubungan dan muamalat di antara manusia yang wajib baginya untuk memperhatikan ketentuanketentuannya dan kedua, hukum pendukung yang bertujuan untuk menjamin terlaksananya hukum pokok tersebut. 5 Sebagai contohnya adalah kebutuhan diangkatnya tentara untuk menjamin kemaslahatan suatu negara. Kemaslahatan suatu negara adalah suatu hal yang pokok, akan tetapi kemaslahatan suatu negara baru akan terjamin sesudah ada tentara. D. PEMBAGIAN AL-MUAYYIDAT Al-muayyidat asy-syar’iyyah terbagi kepada dua hal yang mendasar yang keduanya saling berlawanan dengan pertimbangan bahwa tujuan syariat itu untuk mengantarkan manusia supaya melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Kedua pembagian hal tersebut adalah almuayyidat at-targhibiyyat dan al-muayyidat at-tarhibiyyat. Al-muayyidat at-targhibiyyat merupakan dorongan untuk melakukan sesuatu, karena memiliki implikasi positif, oleh karenanya Syari’ menekankan kepada manusia agar mempunyai gairah untuk selalu melakukan hal itu. Dalam hal ini Nabi pernah melakukannya ketika perang Hunain bahwa orang yang ikut berperang, kemudian dalam peperangan itu dapat membunuh musuhnya, maka ia berhak untuk memiliki harta rampasan perang tersebut. Di samping itu, Syari’ juga bertujuan untuk mencegah manusia untuk tidak mematuhi perintah dan larangannya, dan bagi yang melakukan hal tersebut akan diberikan sanksi yang menjamin tercegahnya perbuatan tersebut. Dorongan inilah yang disebut dengan al-muayyid attarhibi. Al-muayyid at-tarhibi ini ada dua macam, yakni yang berkaitan dengan pidana (ta’dibi) dan yang berkaitan dengan perbuatan perdata (madani, huquqi). 6 Perbuatan manusia yang berkaitan dengan pelanggaran ketentuan pidana, baginya berhak atas sanksi pidana. Seperti perbuatan manusia yang mengacaukan keamanan masyarakat. Sanksi pidana dapat berupa fisik, materi, pengurangan atau pelenyapan kemerdekaan dan sanksi moral seperti disebarluaskannya kejelekan seseorang tetapi dapat pula sanksi ganda atau lebih. Sedangkan apabila perbuatan manusia itu melanggar ketentuan perdata seperti kurangnya syarat yang telah ditetapkan Syari’ maka al-muayyid diarahkan untuk mencegah pelanggaran 3
Yang dimaksud dengan al-a’mal di sini adalah semua perbuatan yang lahir dari mukallaf yang memungkinkan timbulnya hak meskipun tidak dimaksudkan untuk memunculkannya, seperti berjalan, makan, minum, bertutur kata, naik kendaraan, dan lain sebagainya, sedangkan yang dimaksud dengan mu’amalat adalah segala perbuatan perdata yang sengaja diciptakan secara sadar untuk menimbulkan atau memutuskan hak-hak antara dua orang atau lebih, baik sepihak, seperti thalaq, waqaf, ataupun ikatan dua arah, seperti jual-beli dan syirkah, Ibid, hlm. 591-592. 4 Muayyidat disebut dengan dlawamin karena hukum itu sifatnya menjamin agar hukum pokok yang lurus itu ditaati, dan ulama fiqh menyebutnya dengan zawajir karena diciptakannya hukum itu bertujuan untuk mencegah agar syara’ dan perintah-perintahnya tidak ditinggalkan dan tidak pula diingkari. Dalam perundang-undangan Mesir disebut dengan al-jaza’ yang kemudian diadopsi oleh sistem hukum di Perancis dengan istilah sanctions. Lebih lanjut lihat, Ibid, hlm. 594. 5 Ibid, hlm. 596. 6 Ibid, hlm. 600.
75
tersebut karena syariat memandang hal tersebut sebagai sia-sia. Dari sinilah muncul teori buthlan dan cabang-cabangnya dalam hukum perdata Islam. Al-muayyid bila dihubungkan dengan teori batal dalam hukum perdata Islam ada tingkatannya, dari yang paling tinggi sampai yang terendah, yaitu: 1. Pembatalan menyeluruh, yakni apabila pelanggaran itu berkaitan dengan hal yang pokok dalam suatu peristiwa, hal ini disebut al-buthlan. 2. Pembatalan sebagian, yaitu bila pelanggaran itu terjadi pada persoalan cabang, hal ini disebut al-fasad. 3. Apabila pentasarufan harta berkaitan dengan hak yang diharamkan bagi orang lain, seperti menjual barang yang diperoleh dengan jalan ghasab. Apabila ditinjau dari syaratsyaratnya, sebenarnya telah terpenuhi, akan tetapi, karena menjadi hak orang lain transaksi seperti ini harus ditangguhkan sampai ada sikap dari pemiliknya. Apabila pemiliknya merelakan, maka sahlah jual-beli itu, tetapi bila tidak merelakan, maka menjadi bathal, inilah yang disebut at-tawaqquf. 4. Apabila dalam pembelanjaan harta terdapat pelanggaran yang didasarkan atas keseimbangan akad yang bersifat harus di antara hak-hak orang yang mengadakan akad, al-muayyid di sini mempunyai misi untuk mengembalikan keseimbangan dengan memberikan hak untuk memilih antara melangsungkan atau membatalkannya. Ta’yid seperti ini disebut at-takhyir. 7 E. AL-MUAYYIDAT AL-TA’DIBIYAH Al-muayyidat at-ta’dibiyyah atau peraturan hukuman dalam konsepsi syariat Islam adalah hukuman untuk melarang seseorang (mukallaf) untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Syari’. Dalam ketentuannya peraturan ini terbagi menjadi dua hal yang sangat prinsip: 1. ‘Uqubah muqaddarah, yaitu bentuk-bentuk pidana yang dibatasi dan ditentukan oleh Syari’ tentang macam dan ukuran-ukurannya di dalam nas yang jelas, tentu bagi penguasa juga tidak boleh meninggalkan ijtihadnya dalam menerapannya. Oleh karena itu disebut juga ‘uqubah nasiyyah, 2. ‘Uqubah mufawwadlah, yakni bentuk-bentuk hukuman yang tidak dibatasi oleh syariat Islam baik macam maupun ukuran yang tertentu, akan tetapi diserahkan kepada penguasa. Oleh karenanya, bentuk dan ukurannya dapat berbeda-beda dengan mempertimbangkan tempat, waktu, dan pertimbangan yang lainnya. Bentuk pidana ini dalam fiqh disebut dengan ta’zir. Bagian yang pertama sebagaimana disebut di atas ada dua macam, yaitu al-hudud dan alqishash. Hudud berdasarkan ketentuan berupa hukuman jasmani dari paling ringan yaitu hukuman cambuk sampai yang terberat yaitu hukuman mati. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang berhak mendapatkan hukuman had hanya lima macam, yaitu zina, qadaf, mencuri, merampok, dan minum khamr. Empat yang pertama diatur dalam al-Qur’an, sedangkan yang terakhir dalam sunnah. Sedangkan perbuatan tersebut dapat dikenakan sanksi had manakala memenuhi persyaratan yang oleh para ulama masih diperselisihkan. Karena syarat-syarat ini hanya didasarkan atas ijtihad. Sebagai contoh dari syarat itu dalam masalah pencurian, perbuatan itu dapat dikenai sanksi potong tangan dengan syarat bahwa obyek yang dicuri adalah harta yang telah sampai pada batas nisab. Itupun harus jelas-jelas meyakinkan, sebab manakala perbuatan tersebut belum meyakinkan atau masih subhad maka tidak boleh dilaksanakan sebagaimana prinsip yang dianjurkan oleh Rasulullah. 8 Sedangkan qishash menurut pengertian syara’ didefinisikan sebagai menghukum bagi pelaku pidana pembunuhan, memotong atau melukai badan dengan yang sepadan. Tentang ketentuan qishas ini diatur dalam al-Qur’an berkaitan hanya dengan persoalan jiwa. 9 Allah berfirman: 10
7
Ibid, hlm. 601-602. As-Suyuti, Al-Jami’ ash-Shaghir, hlm. 313-314. 9 Berkenaan dengan qishas anggota badan masih diperselisihkan oleh para Ulama tentang sumber penyebutannya, apakah dalam al-Qur’an atau as-Sunnah, sebab tentang penyebutan dalam al-Qur’an mengenai qishas anggota badan berkaitan dengan cerita syari’at Allah SWT dalam Taurat. Lebih jauh lihat az-Zarqa’, ibid, hlm. 614. 10 Q.S. al-Baqarah (2) : 178-179. 8
76
ﻳﺄَﻳﻬﺎﺍﻟﺬﻳﻦ ﺃﻣﻨﻮﺍ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺘﻠﻰ ﺍﻟﺤﺮ ﺑﺎﻟﺤﺮ ﻭﺍﻟﻌﺒﺪ ﺑﺎﻟﻌﺒﺪ ﻭﺍﻷﻧﺜﻰ ﺑﺎﻷﻧﺜﻰ ﻓﻤﻦ ﻋﻔﻰ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺃﺧﻴﻪ ﺷﺊ ﻓﺎﺗﺒﺎﻉ ﻭﻟﻜﻢ ﻓﻰ ﺍﻟﻘﺼﺎﺹ ﺣﻴﻮﺓ ﻳﺄﻭﻟﻰ.ﺑﺎﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻭﺃﺩﺍء ﺇﻟﻴﻪ ﺑﺈﺣﺴﻦ ﺫﻟﻚ ﺗﺨﻔﻴﻒ ﻣﻦ ﺭﺑﻜﻢ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﻓﻤﻦ ﺍﻋﺘﺪﻯ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻠﻪ ﻋﺬﺍﺏ ﺃﻟﻴﻢ .ﺍﻷﻟﺒﺎﺏ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺘﻘﻮﻥ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” 11 Ayat tersebut dapat difahami bahwa pensyari’atan qishash oleh Allah itu mempunyai hikmah yang sangat positif bagi kehidupan bermasyarakat atau sebagai prasyarat bagi kehidupan kemasyarakatan yang baik, karena kehidupan masyarakat yang baik tumbuh manakala telah mampu menghentikan darah yang mengalir, terjaga jiwa dan raga dari penyerangan. Oleh karena itulah, sesungguhnya dalam qishash tersimpan essensi keadilan yang sempurna. Muatan pengertian qishash sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa qishash pada garis besarnya terbagi menjadi dua, yaitu pertama, qishash terhadap jiwa yaitu qishash mati, dan kedua, qishash terhadap anggota badan yaitu dalam pidana memotong dan melukai anggota badan. Syarat-syarat pidana yang mengharuskan dilaksanakannya qishash secara umum ada tiga yaitu adanya sikap memusuhi, dilakukan dengan sengaja dan memungkinkan untuk dilaksanakan karena yang melakukan pidana memiliki anggota badan yang sama dengan orang yang menjadi korban atau dengan kata lain antara jarimah dengan qishashnya. Bila tidak terdapat syarat memusuhi maka tidak ada jarimah dan apabila diterapkan, qishash seperti membunuh orang yang disebabkan alasan yang dibenarkan oleh syara’. Dan manakala tidak disertai syarat kesengajaan maka hukumannya hanya berupa tanggung jawab materiil dan bukannya qishash. Serta manakala tidak terdapat unsur kesamaan antara jarimah dan qishas juga tidak perlu diberlakukan hukuman qishash dan hukumannya berpindah ke hukuman ta’zir yang memang tidak terdapat ketentuan yang rinci dalam nas dan hukuman materiil. 12 Sungguhpun demikian, pelaksanaan qishash bagi jarimah yang telah dimaafkan oleh ahli warisnya tidak dilaksanakan, sedang dalam masalah hudud tidak diperbolehkan. Dari sini Fuqaha mengklasifikasikan bahwa dalam qishash, hukumannya meliputi dua macam hak yang terkandung di dalamnya. Pertama, hak umum bagi syara’, yang merupakan pokok hukuman yang mempunyai tujuan sebagai tindakan preventif dan menjamin keamanan sosial, dan kedua, hak khusus yaitu hak korban yakni berupa bentuk hukuman. Hak ini kemudian berpindah dari korban kepada ahli warisnya. Pelaksanaan qishash ini sangat bergantung dari orang yang memiliki hak khusus dan manakala pemiliknya memaafkan maka qishash itu dengan sendirinya gugur. Sedangkan menurut konsepsi Ibn Rusyd dan Ibn Qudamah, setelah adanya kata maaf maka hukumannya diserahkan kepada Imam. 13 Bentuk hukuman yang diserahkan itu dalam istilah fiqh disebut dengan ta’zir. Ta’zir secara bahasa berarti melarang dan memberi pelajaran, sedangkan secara istilah ta’zir didefinisikan sebagai hukuman bagi orang yang melakukan pidana yang oleh syara’ didelegasikan kepada pendapat wali al-amri dalam menentukan bentuk dan ukurannya. 14 Ta’zir ini diberlakukan terhadap segala macam perilaku pidana dan semua perbuatan yang dilarang, yang diharuskan untuk dicegah dan perlu diberi pelajaran, tetapi tidak mengharuskan dikenakan had atau qishash. Pandangan syari’at Islam bahwa perbuatan pidana yang mengharuskan dikenakannya ta’zir itu tidak terbatas. Bisa jadi ditemukan suatu kasus yang memang sebelumnya sudah ada dan bisa jadi muncul bentuk dan modus operandi baru. Oleh karenanya, Syari’at Islam menyerahkannya kepada wali al-amri untuk menentukan jenis dan ukuran hukuman yang akan diterapkan kepada pelakunya yang biasanya memungkinkan untuk berbeda-beda dengan pertimbangan-pertimbangan wilayah, waktu, kepribadian serta tingkat pendidikan masyarakat. Karena memang dalam kenyataannya ada orang yang cukup diberi peringatan, akan tetapi ada orang yang tidak cukup kalau tidak diberi hukuman yang berat. Oleh karenanya, yang demikian ini memang harus diserahkan kepada hakim dalam memutuskan suatu perkara. Dan sangat dimungkinkan bagi seorang hakim akan memutuskan dengan putusan yang berbeda-beda meskipun kasusnya sama. Namun demikian, para ulama fiqh telah mencoba untuk ikut memberikan pertimbanganpertimbangan dalam menentukan bentuk dan ukuran pada sebagian ta’zir itu. Ini dilakukan sekedar untuk memberikan jalan atau setidaknya teladan bagi para hakim dan wali al-amri. Hal ini sama sekali tidak dimaksudkan sebagai intervensi atau memberi pengaruh, mengingat karena P1F
P
P12F
P13F
P
P14F
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, C.V. Al-Waah, Semarang, 1995, hlm. 43-44. Ibn Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid, Dar al-Fikr, Beirut, 1986, Juz II, hlm. 331-342. 13 Ibid, hlm. 338; Ibn Qudamah, Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, Juz IX, hlm. 468. 14 Ibn Qudamah, Ibid, hlm. 347. 12
77
essensinya syari’at telah menyerahkan kekuasaan ini kepada hakim atau wali al-amri berdasarkan kemaslahatan zaman. 15 F. AL-MUAYYIDAT AL-MADANIYYAH Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa al-muayyidat al-madaniyyah yang berfungsi untuk mengatur persoalan muamalat dalam syari’at muncul empat macam bentuk, al-buthlan, alfasad, at-tawaquf, dan at-takhyir. 1. Al-Buthlan Al-Buthlan secara etimologi berarti jatuhnya sesuatu karena rusak, di tempat lain kata ini merupakan lawan dari kata al-haq, sebagaimana tersebut dalam surat al-A’raf (7): 138. Kata ini secara istilah telah dipakai oleh fuqaha dengan makna baru yaitu dengan arti tidak sahnya suatu perbuatan menurut syara’. 16 Arti istilahi ini sesuai dengan arti yang ada dalam perundang-undangan negara asing. 17 Sedangkan arti yang dipilih oleh az-Zarqa’ adalah tidak diperbolehkannya untuk bertasarruf menurut pandangan Syari’. 18 Dan bathalnya sesuatu itu dapat saja terjadi baik pada ucapan yang biasa disebut dengan bathalnya akad ataupun pada perbuatan. Bathalnya sesuatu itu sangat mungkin dapat digeneralisir sebabnya, pada satu sebab tingkah laku atau tindakan yang melanggar aturan syara’. Oleh karena itu, di sini sangat jelas bahwa bathal dalam persoalan perdata merupakan muayyid yang menjamin terhadap hukum-hukum syari’ah yang pokok, sehingga dari sini Fuqaha mengartikan sebuah aqad yang bathal dengan suatu akad yang tidak disyari’atkan. 2. Al-Fasad Al-Fasad secara etimologi berarti berubahnya sesuatu dari keadaan yang sehat dan keluarnya sesuatu itu dari keadilan. Kata ini merupakan lawan kata dari al-salah. Kemudian kata ini secara bahasa dipergunakan untuk semua hal yang keluar dari peraturan yang benar seperti zalim, fitnah dan sebagainya. Kemudian setelah berkembangnya ijtihad dalam bidang fiqh, kata ini dipakai dalam bentuk istilah. Ulama Hanafiyyah mempergunakannya untuk mengungkapkan hal yang di dalamnya terdapat suatu akad yang rusak pada sebagian cabangnya yang dengan kerusakan itu mendudukkan derajat perkara itu di antara sah dan batal. Ia tidak digolongkan pada batal karena batal itu berkaitan dengan intinya sedangkan fasad itu hanya pada sebagian cabangnya. 19 Teori fasad ini dimunculkan oleh ulama-ulama Hanafiyyah yang memang berbeda dengan ijtihad-ijtihad yang lain. Menurut jumhur, suatu akad itu hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu sah atau bathal. Hanafiyyah memandang lain dengan argumentasi bahwa pelanggaran ada yang berkaitan dengan sesuatu yang pokok, tetapi ada juga yang berkaitan hanya dengan sebagian cabangnya saja. Sebab terjadinya perbedaan terletak pada pengaruh larangan syara’ pada pembelanjaan sesuatu yang mempunyai wujud i’tibari. Ulama Hanabillah memandang bahwa pengaruh nahi bila dilakukan itu bathal secara mutlak. Sebagaimana larangan alQur’an tentang praktek riba. Mereka juga menganggap bathal suatu akad yang dibarengi dengan syarat yang dilarang. Az-Zarqa memandang bahwa bathal itu lebih luas daripada fasad, karena bathal itu meliputi segala macam tasarruf baik ucapan, tindakan, hal-hal yang berkaitan dengan akad atau bukan, sedangkan fasad itu cakupannya lebih sempit. Ini sesuai dengan pandangan ulama Hanafiyyah. Akan tetapi perbedaan antara batal dan fasad tidak berlaku pada ibadah seperti shalat dan puasa. Dalam masalah ibadah memang antara batal dan fasad mempunyai pengertian yang sama. Definisi yang disampaikan Ulama Hanafiyyah, oleh az-Zarqa’ dipandang kurang memberikan pengertian yang menyeluruh karena mereka hanya mengungkapkan dari sisi sebabnya saja. Sedangkan solusi yang ditawarkan untuk mendefinisikan fasid itu ialah kerusakan dalam suatu akad yang bertentangan dengan peraturan syari’ah dari sisi cabangnya secara sempurna yang menjadikan akad tersebut bisa menjadi batal. Fasad dapat terjadi karena adanya sebab. Sebab dalam persoalan ini terbagi menjadi dua, yakni sebab yang umum dan sebab yang khusus. Sebab umum menurut Ulama Hanafiyyah meliputi tiga hal: 1. Al-jahalah (ketidaktahuan) 2. Al-gharar (penipuan) 3. Al-ikrah (paksaan)
15
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, 1979, hlm. 213. Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, Beirut, 1973, Juz I, hlm. 292-296. 17 As-Sanhuri, Al-Mujiz fi al-Iltizamat, Dar al-Qalam, t.t., hlm. 164. 18 Az-Zarqa’, ...., hlm.643. 19 Ibid, hlm. 673. 16
78
Sedangkan selain sebab yang tiga itu termasuk sebab khusus. 3. At-Tawaqquf At-Tawaqquf berarti menunda suatu transaksi karena terdapat hal-hal yang menghalangi suatu transaksi itu dilanjutkan. Hal-hal yang dapat menghalangi suatu transaksi untuk bisa berlangsung karena ada keterkaitan dengan salah satu pihak yang mengganjal. Sebagaimana contoh yang telah disebutkan di atas, seseorang yang akan menjual barang, sedangkan barang itu diperoleh dari jalan ghasab, maka transaksi jual beli itu tertahan sampai barang itu menjadi jelas statusnya. Salah satu syarat suatu barang dapat diperjualbelikan manakala suatu barang itu statusnya milik sempurna. Terhadap barang yang diperoleh dengan ghasab itu harus diupayakan kejelasannya. Apabila orang yang barangnya dighasabi itu telah merelakannya maka transaksi jual beli itu dibatalkan. Hal ini dilakukan oleh syari’at untuk menjaga kepentingan orang lain yaitu dengan memelihara kemaslahatan dalam masyarakat. 4. At-Takhyir At-Takhyir berarti suatu hak yang diberikan syara’ untuk memiliki suatu transaksi itu akan dilanjutkan atau tidak. Diberikannnya hak ini kepada setiap orang yang akan melakukan transaksi agar di kemudian hari tidak dikecewakan. Karena dalam suatu transaksi sebagaimana diatur dalam Islam harus bersifat mutualisme, artinya saling menguntungkan di antara pihak-pihak yang saling melakukan transaksi. Tujuan lain dari diberikannya hak ini juga untuk menghindari keterpaksaan, karena dengan keterpaksaan yang terdapat dalam transaksi dapat menimbulkan batalnya suatu transaksi. G. PENUTUP/KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Hukum pada prinsipnya bertujuan untuk mengatur hubungan antar manusia, memelihara kemaslahatan baik yang umum maupun yang khusus, menegakkan keadilan serta menolak permusuhan di antara manusia. Namun tujuan hukum yang mulia itu tidak dapat terwujud manakala tidak adanya peraturan yang menjamin tegaknya tujuan itu. Hukum yang menjamin tegaknya tujuan hukum itu disebut dengan al-ahkam al-muayyidat, sedangkan hukum yang dijamin itu itulah hukum pokok yang menurut Musthafa az-Zarqa’ disebut alahkam al-asliyyah. 2. Al-Ahkam al-Muayyidat terbagi menjadi dua, yakni yang berkaitan dengan persoalan pidana (al-Muayyidat at-Ta’dibiyyah) dan yang berkaitan dengan masalah perdata (al-Muayyidat al-Madaniyyah). 3. Al-Muayyidat at-Ta’dibiyyah meliputi hukuman yang telah diatur oleh nas (berupa al-hudud dan al-qishash) dan hukuman untuk menentukan jenis dan kadarnya diserahkan kepada wali al-amri atau biasa disebut dengan at-Ta’zir. 4. Sedangkan untuk tegaknya hak-hak yang berkaitan dengan perdata, maka al-muayyidat almadaniyyah muncul dengan konsep al-buthlan, al-fasid, at-tawaqquf, dan at-takhyir.
79
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, 1979. As-Sanhuri, Al-Mujiz fi al-Iltizamat, Dar al-Qalam, t.t.. As-Suyuti, Al-Jami’ ash-Shaghir, hlm. 313-314. Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Fikr, Beirut, 1973, Juz I. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, C.V. Al-Waah, Semarang, 1995. Ibn Qudamah, Al-Mughni, Dar al-Fikr, Beirut, 1984, Juz IX. Ibn Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid, Dar al-Fikr, Beirut, 1986, Juz II. Musthafa Ahmad az-Zarqa’, Al-Fiqh al-Islami fi Tsaubih al-Jadid (Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am), Dar al-Fikr, Beirut, 1968, Juz II. Wahbah az-Zuhailiy, Ushul al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikr, Beirut, 1986, Juz I.
80