Vol. 27 No.2
Desember 2011
DAFTAR ISI HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UKIM AMBON J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
137-150
151-168
Mawardi dan Arief Sadjiarto
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK
169-187
PSYCHO EDUCATIONAL GROUP INTERVENTION FOR ADOLESCENT: IMPROVING EMOTIONAL INTELLIGENCE
189-201
STUDI KORELASI ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN OTONOMI GURU
203-219
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH RASIO PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
221-231
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
233-244
PENDALAMAN DEMOKRASI DI ERA PEMASARAN POLITIK (Studi Kasus Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011)
245-274
Slameto
Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan
Prasetyo
Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani Yari Dwikurnaningsih
Bambang Suteng Sulasmono dan Saptono
ng o s Ko
HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UKIM AMBON J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu Program Studi S1 Bimbingan & Konseling FKIP - Universitas Kristen Satya Satya Wacana
ABSTRAK Penelitian ini melibatkan 222 orang mahasiswa sebagai sampel penelitian pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Academic Adjustment Inventory disusun Bakare, tahun 1977 untuk mengungkap tingkat penyesuaian diri mahasiswa, dan Studi dokumentasi untuk mengetahui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. Hasil analisis penelitian menemukan rxy= 0,228 p=0,001 < 0,005 berarti ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM. Dengan demikian tujuan penelitian ini tercapai. Kata kunci: Penyesuaian diri, IPK.
PENDAHULUAN Latar Belakang Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) sebagai salah satu penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan komponen mahasiswa, dosen, tujuan, kurikulum dan sarana prasarana. Mahasiswa sebagai salah satu komponen dari pendidikan tinggi akan berupaya meningkatkan kualitas belajar agar memperoleh prestasi yang optimal. Prestasi belajar dari setiap mahasiswa turut berpengaruh pada persaingan antar perguruan tinggi untuk menunjukkan kualitasnya dari sisi intelektualitas. Dengan kesadaran akan peningkatan kualitas prestasi belajar dalam era persaingan, maka pencapaian penilaian hasil belajar yang optimal merupakan keinginan dari setiap usaha belajar yang dilakukan oleh mahasiswa. 137
Berdasarkan evaluasi belajar pada Fakultas Filsafat UKIM periode II tahun ajaran 2007/2008, ditemukan IPK rata-rata bagi seluruh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM yaitu 2,21 dengan skala antara 0 sampai 4,00 (http:/ /www.dikti.go.id/evaluasi.or.id, 2008). Mengingat semakin tingginya persaingan di antara perguruan tinggi, maka capaian IPK rata-rata mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM tahun 2007/2008 tergolong cukup, namun tidak tinggi. Selain itu, standar IPK yang ditentukan bagi Fakultas Filsafat UKIM agar ouput-nya dapat diterima sebagai calon pegawai organik (vikaris) Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah 2,75, sehingga diperkirakan sebagian besar mahasiswa Fakultas Filsafat belum memenuhi ketentuan IPK 2,75. Prestasi yang dicapai oleh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dipengaruhi oleh sejumlah faktor pendukung. Zhang (2002) menyebutkan salah satu faktor yang turut memberi pengaruh adalah penyesuaian diri akademik. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik menunjuk kepada mahasiswa yang mengubah sikap, perilaku dan norma sosial agar sesuai dengan lingkungan belajar yang baru di tingkat Perguruan Tinggi. Penelitian Ross dan Hammer (2002) menemukan bahwa kebanyakan mahasiswa tidak betah pada perkuliahan tahun pertama dan tahun kedua, bahkan ada yang tidak melanjutkan perkuliahannya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi serta gaya belajar mengajar di kampus. Dokumentasi UKIM (2008) mencatat jumlah mahasiswa Fakultas Filsafat yang mengalami drop out atau berhenti kuliah sebanyak 60 orang. Jumlah mahasiswa drop out pada Fakultas Filsafat merupakan jumlah yang paling banyak, dibandingkan dengan jumlah mahasiswa drop out pada tiga fakultas lain di UKIM. Penyebab dominan mahasiswa drop out ialah, mahasiswa memutuskan berhenti kuliah atau keluar dengan sendirinya dari perguruan tinggi. Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ross & Hammer (2002), maka salah satu indikator yang mengakibatkan mahasiswa mengalami drop out adalah kurangnya kemampuan menyesuai-kan diri mahasiswa dengan lingkungan pendidikan baru yang lebih menantang. Berkaitan dengan IPK, maka muncul pertanyaan adakah hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa? Omoteso (2006) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat penyesuaian diri dengan prestasi belajar mahasiswa, sedangkan penelitian Yazedjian & Toews (2004) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK 190 mahasiswa keturunan Amerika Latin pada beberapa universitas di Amerika Serikat. Perbedaan temuan penelitian Omoteso (2006) dengan Yazedjian & Toews (2004) yang bertolak belakang perlu
138
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Vol. 27 No.1
Juni 2011
DAFTAR ISI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRESS KERJA GURU DENGAN KINERJA GURU DI SMK KRISTEN 2 KLATEN
1-14
Raditya dan J.T. Lobby Loekmono
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN SOSIAL-EMOSIONAL DAN KECEMASAN SISWA KELAS X SMA KRISTEN 1 SALATIGA
15-30
PENERAPAN PROBLEM-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN SIKAP POSITIF SISWA TERHADAP MATEMATIKA
31-43
PERBEDAAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN PEROLEHAN SERTIFIKAT PENDIDIK DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
45-56
SEXISM, SEXUAL HARASSMENT AND STRESS: Counselling and Related Interventions
57-73
PENGARUH KETERLIBATAN MAHASISWA PGSD DALAM PROSES PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI SIMULASI KOMPUTER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP GERAK DITINJAU DARI PENALARAN ABSTRAK
75-84
PENGARUH KEIKUTSERTAAN DIKLAT DAN SUPERVISI TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SEBAGAI MODERATINGNYA PADA GURU SD DI KECAMATAN BRINGIN
85-110
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KLAS IV SD RSBI KOTA SALATIGA
111-138
Sumardjono Pm, Hellena Annantya Avelia, Santi Febriana Anwar
Wahyudi
Yari Dwikurnaningsih
Portia Doroy Dacalos
Wahyu Hari Kristiyanto, Widha Sunarno, Haryono
Eko Lesmono
Slameto
Heuken SJ, Yulia Gunawan, H.E. Sinaga & A. Hadi (1988). Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hikam, A.S. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES Huntington, S.P. 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Linz, Juan & Stephan, Alfred. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation. John Hopkins University Press. Macridis, R.C. 1986. Contemporary Political Ideologies. Boston: Little, Brown and Company. Magnis Suseno, F. 1994. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _____, 1995. Mencari Sosok Demokrasi. Sebuah Telaah Filosofis; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Notohamidjojo, O. (t.th). Demokrasi Pantjasila. Salatiga: Satya Wacana. O'Donnell, G. & Philippe C. Schmitter (1993). Transisi Menuju Demokrasi. Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES. Priyono, A.E., 24 April, 2005. Demokrasi Oligarkhis Pasca Orde Baru, Tempo, hlm 68 - 69. Przeworski, Adam et al., "What Makes Democracies Endure?" Journal of Democracy, Vol 7. No. 1, 1996. ------------2000. Global Trends in Civic Education; Makalah disajikan pada Seminar for the Need for New Indonesian Civic Education; Bandung: Center for Indonesian Civic Education Ranney, A. 1982. Governing An Introduction to Political Science. New York: Holt, Rinehart and Winston. Soehino. 1980. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty Sorensen, G. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wong, Joseph, "Deepening Democracy in Taiwan". Pacific Affairs, Vol 76, No. 2, Summer 2003.
274
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
dipastikan melalui suatu penelitian ulang. Masalah Penelitian Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Adakah hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. KAJIAN SINGKAT TEORI Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Prestasi Belajar menurut Good (2000), Sukmadinata (2003), dan Winkel (2007), merupakan indikator keberhasilan individu dalam pencapaian, keahlian dan pengetahuan terhadap bidang yang dipelajari. Prestasi belajar yang dicapai peserta didik diperoleh berdasarkan pengukuran tertentu. Dalam dunia perguruan tinggi, prestasi merupakan indikator keberhasilan mahasiswa dalam usaha mencapai kemampuan tertentu dari proses perkuliahannya. Statuta UKIM (2002) mendefinisikan IPK sebagai gambaran prestasi yang dicapai oleh mahasiswa tiap semester atau secara bertahap, yang dinyatakan dalam bentuk nilai, yang dihitung dengan cara mengalikan beban Satuan Kredit Semester (SKS) tiap matakuliah dengan bobot yang diperolehnya, dibagi total SKS matakuliah yang diambil/diikutinya dalam satu tahap pendidikan. Proses penilaian hasil belajar mahasiswa di UKIM meliputi tiga domain/ranah penting yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) serta psikomotor (keterampilan). Winkel (2007) menyatakan bahwa belajar kognitif memiliki ciri khas yaitu memperoleh dan menggunakan bentukbentuk representasi yang mewakili semua objek yang dihadapi melalui pengalaman belajar. Ciri khas belajar afektif yaitu belajar menghayati nilai dari objek-objek yang dihadapi melalui perasaan, serta belajar mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Sedangkan ciri belajar motorik adalah belajar menghadapi aneka objek secara fisik. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Winkel (2007), serta definisi indeks prestasi kumulatif yang tertera dalam statuta UKIM Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
139
(2002), maka dapat dirumuskan bahwa indeks prestasi kumulatif adalah tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui pencapaian prestasi mahasiswa melalui suatu pengalaman belajar secara terstruktur dan berkesinambungan, yang meliputi penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, terhadap beberapa matakuliah yang disajikan dalam satu tahapan pendidikan, serta mengacu pada sistem penilaan akademik yang telah ditentukan. Penyesuaian Diri Penyesuaian Diri dikonsepkan Bakare (http://www. hadizaoyas. com) sebagai tindakan yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan seseorang untuk menghadapi berbagai tekanan dan konflik. Penyesuaian diri tersebut merupakan karakterisasi yang berkembang dari kenyataan pada setiap masa perkembangan manusia. Setiap orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, akan memperoleh keberhasilan dalam setiap aktivitasnya. Ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/komunitasya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008). Konsep penyesuaian diri Bakare dipengaruhi oleh teori psikososial Erikson membahas tentang kemampuan penyesuaian diri seseorang. Erikson (1989) mengkonsepkan penyesuaian diri seseorang mengacu pada skema perkembangan manusia yang dimulai dari lahir sampai usia tua, dan perkembangan manusia itu terbentuk oleh pengaruh sosial yang saling mempengaruhi dengan suatu organisme fisis dan psikologis yang sedang menjadi matang. Erikson (1989) melihat bahwa hubungan timbal-balik hanya mungkin oleh perkembangan relasi manusia dengan sesama manusia, masyarakat serta kebudayaannya. Hubungan timbal-balik antara individu secara pribadi dengan kebudayaannya, membentuk individu tersebut menjadi dewasa, bukan hanya dalam bentuk fisis dan psikis, tetapi juga dalam hubungan sosial. Berdasarkan pendapat Erikson (1989), maka penyesuaian diri dirumuskan sebagai tindakan individu untuk menyesuaikan diri dengan situasi serta lingkungan yang mengalami perubahan terus-menerus melalui cara mengatasi berbagai krisis dan konflik dalam tahap-tahap perkembangan individu, sehingga individu dapat menjadi lebih matang 140
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
pendukungnya [Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Indonesia Sejahtera (PIS)] yang dalam pemilu legislatif tahun 2009 mampu meraup sekitar 32,78 persen suara sah. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Lisa (Ed). 1999. Transition to Democracy. Columbia University Press. Arief Budiman.1996. Teori Negara. Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ben Reilly. 1999. Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia. Jakarta Beny, H. K. 1988. Dinamika Hak Hak Asasi Manusia, dalam Paul S Baut & Beny Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Betham, D & Kevin Boyle. 2000. Demokrasi 80 Tanya jawab (terj. Bern Hidayat). Yogyakarta: Penerbit Kanisius Bourchier, D & J. Legge (eds).1994. Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria. Budiardjo. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Diamond, L. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Deliar Noer. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Rajawali, Jakarta. Diamond, L. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation; terjemahan IRE; 2003.Yogyakarta: IRE Press. Feith H. 1994. Constiutional Democracy: How Well Did it Function? dalam Bourchier, D & J. Legge (eds). Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Clayton, Victoria: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University. Firmanzah. 2008. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayayasan Obor Indonesia. Heru Nugroho. 2002. Terpaan Demokrasi Global dan Pasang Surut Demokratisasi di Indonesia, dalam John Markoff. 1996. Gelombang Demokrasi Dunia. Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, terjemahan Ari Setyaningrum S.Sos. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
273
Tabel 9. Perolehan Suara Paslon di Wilayah Tambahan Kota Salatiga
dan dewasa. Dalam tindakan menyesuaikan diri, selalu ada hubungan timbal-balik antara individu dengan masyarakat serta kebudayaan setempat. METODE PENELITIAN Jenis dan Lokasi Penelitian
Sumber: Data mentah, diolah
KESIMPULAN Dari keseluruhan paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Pemilukada Kota Salatiga 2011, dinamika proses pemasaran politik belum mampu berkontribusi positif bagi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Para Paslon relatif belum menampilkan upayaupaya politik progresif yang merupakan indikasi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Ada kalanya Paslon berupaya mengemas informasi berbeda dari kenyataan, bahkan memanipulasi informasi yang diberikan kepada publik. 2. Dinamika seperti dikemukakan dalam butir 1 di atas mengindikasikan secara kuat bahwa konfigurasi pemilih masih didominasi oleh pemilih tradisional. Pendalaman demokrasi di era pemasaran politik akan berlangsung dengan baik manakala konfigurasi pemilih didominasi oleh pemilih rasional dan pemilih kritis yang lebih berorientasi pada 'policyproblem-solving'. Karena itu, edukasi publik merupakan keniscayaan, sehingga terjadi transformasi konfigurasi pemilih secara signifikan, sebagai prasyarat penting berlangsungnya konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik. 3. Paslon Yaris memperoleh dukungan mayoritas suara sah (43,09%) dalam satu kali putaran. Kemenangan ini merupakan buah dari kinerja pemasaran politik yang lebih unggul daripada Paslon lain di tengah masih kuatnya sikap pragmatis masyarakat dan dominasi konfigurasi pemilih tradisional. Kemenangan ini juga kemenangan dari koalisi partai 272
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan penelitian yang menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan garis lurus (linear) antara dua variabel atau lebih. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini dinamakan koefisien korelasi. Dalam penelitian ini, diupayakan agar dapat memastikan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Lokasi penelitian ini dilaksanakan pada Universitas Kristen Indonesia Maluku, Jalan Ot. Pattimaipauw, Ambon. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah mahasiswa yang masih aktif kuliah pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon berjumlah 498 orang mahasiswa. Penetapan ukuran sampel digunakan tabel ukuran sampel, dengan batas-batas kesalahan tertentu serta berdasarkan ukuran populasi yang ditetapkan (Sugiyono, 1999). Dengan populasi 498 orang mahasiswa tabel sampel menunjukkan ukuran sampel sebanyak 222 orang mahasiswa dengan batas kesalahan yang ditolerir sebesar 5 persen. Sampel diambil dengan random sampling yaitu mahasiswa yang ditemui ketika dilakukan pengumpulan data di kampus. Variabel dan Instrumen Penelitian Variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) dan IPK mahasiswa (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah indeks prestasi kumulatif (Y). Instrumen penyesuaian diri diadaptasi dan dimodifikasi dari Academic Adjustment Inventory (AAI) dari Bakare tahun 1977 (dalam Omoteso, 2006, yang terdiri dari 25 item pernyataan dengan dua pilihan jawaban berbeda, yaitu Ya dan Tidak. Untuk mengetahui IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM tahun 2007/2008 diperoleh dari studi dokumentasi Fakultas Filsafat UKIM tentang IPK mahasiswa periode II tahun 2007/2008. Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
141
Uji coba untuk instrumen variabel penyesuaian diri dilakukan kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berjumlah 33 orang mahasiswa. Uji validitas item menggunakan corrected item-total correlation. Kriteria tinggi rendahnya validitas butir digunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Ali (1987). Uji validitas pada 25 item inventori penyesuaian diri menunjukkan koefisien validitas terendah 0,227 dan tertinggi 0,603, yang berarti semuanya valid. Uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik Alpha Cronbach dan dikatakan reliabel jika besarnya alpha minimal α⎯> 0,70. Untuk mengkategorikan inventori dan skala memenuhi syarat reliabilitas, digunakan pedoman George dan Mallery (1995). Hasil uji reliabilitas instrumen penyesuaian diri menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,810 berarti pada kategori Baik. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Tabel 7. Perolehan Suara Paslon KO TA : S ALAT IG A NO. URUT
PESERTA PEMILUKADA SUARA
BASIS
1,304
%
SUARA
DIHATI
%
SUARA
YARIS
%
POROS SUARA
%
1
ARG O M U LY O
2
T IN G KIR
3
S IDO M U KT I
1,391
6.27
8,660
39.05
8,812
39.73
3,316
14.95
4
S IDO RE JO
1,923
6.89
9,754
34.95
12,087
43.31
4,141
14.84
5,580
5.67
37,085
37.70
42,396
43.10
13,317
13.54
962
JM L
5.35
9,146
37.55
11,226
46.09
2,679
11.00
4.02
9,525
39.79
10,271
42.90
3,181
13.29
Sumber: Data mentah, diolah
Jika peta pendukung Paslon dilihat dari segi asal perolehan suara berdasar kategori wilayah asli dan wilayah tambahan di Kota Salatiga maka diperoleh gambaran sebagai berikut. Tabel 8. Perolehan Suara Paslon di Wilayah Asli Kota Salatiga
Analisis Data Deskripsi IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Kelompok Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa Kelompok IPK 3,5 – 4 3 – 3,49 2,75 – 2,99 2,5 – 2,74 2 – 2,49 < 2
f 4 57 51 53 50 7
Persentase (%) 1,8 25,7 23 23,9 22,5 3,1
Total
222
100
Sumber: Data Primer diolah, 2009
Berdasarkan tabel 1, sebagian besar mahasiswa mempunyai IPK pada kategori 3 - 3,49 = 25,7%. Deskripsi penyesuaian diri mahasiswa dapat dilihat pada tabel 2.
142
KECAMATAN DAN KELURAHAN
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
NO. URUT
P ESER TA P EM ILUK ADA
KECAMATAN DAN KELURAHAN
BASIS SUARA
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sidorejo Lor Salatiga Dukuh Kalicacing Mangunsari Ledok Tegalrejo Gendongan Kutowinangun
DIHATI %
SUARA
YARIS
POROS
%
SUARA
%
SUARA
%
438 539 319 281 433 291 394 182 471
5.84 6,65 5,01 7,86 4,82 5,17 7,53 5,85 4,00
2,743 2,669 2,308 1,763 3,574 2,310 2,102 1,574 4,971
36,57 32,91 36,25 49,33 39,77 41, 06 40,19 50,63 42,22
2,972 3,573 2,755 1,009 3,448 2,432 1,917 996 4,228
39,63 44,06 43,28 28,23 38,37 43,23 36,65 32,04 35,91
1,347 1,328 984 521 1,531 593 817 357 2,104
17.96 16,38 15,46 14,58 17,04 10,54 15,62 11,48 17,87
3,348
5,56
24,014
39,84
23,330
38,71
9,582
15,89
Sumber: Data mentah, diolah
Tabel 8, di atas menunjukkan bahwa wilayah asli masih merupakan basis pendukung bagi Paslon nomor urut 2, walau di 4 (empat) kelurahan (Sidorejo Lor, Salatiga, Dukuh, dan Ledok) perolehan suara mereka kalah dari pasangan calon nomor urut 3, namun pasangan ini masih menang di 5 (lima) kelurahan lain (Kalicacing, Mangunsari, Tegalrejo, Gendongan dan Kutowinangun). Berbeda dengan di wilayah asli, di wilayah tambahan pasangan calon nomor 3 memenangkan mayoritas dukungan suara di hampir seluruh kelurahan yang ada. Dukungan suara bahkan mencapai lebih darin 60 persen suara yang sah di tiga kelurahan yaitu: Kelurahan Tingkir Tengah, Noborejo dan Kelurahan Kalibening. Dari 13 (tiga belas) kelurahan di wilayah tambahan yang ada, hanya ada 2 (dua) kelurahan yang mayoritas suaranya tidak diberikan ke Paslon nomor urut 3 (Kauman Kidul dan Kumpulrejo). Itupun dengan selisih perolehan suara yang amat tipis dengan Paslon nomor urut 2 sebagai pemeroleh mayoritas suara di dua kelurahan tersebut. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
271
Dukuh (80,77%) dan partisipasi terendah di Kelurahan Gendongan (71, 1%). Jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya terdapat 15.318 orang (hampir 20% pemilih), dengan jumlah tertinggi di Kelurahan Kutowinangun (3.082 orang) dan jumlah terendah di Kelurahan Gendongan (1.108 orang). Sedangkan rata-rata partisipasi masyarakat di wilayah tambahan Salatiga dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 84,93 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kelurahan Randuacir (89,17%) dan partisipasi terendah di Kelurahan Blotongan (77,09%). Jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya hanya terdapat 6.964 orang (sekitar 15% pemilih), dengan jumlah tertinggi di Kelurahan Blotongan (1.662 orang) dan jumlah terendah di Kelurahan Kalibening (190 orang). Pemetaan Pendukung Paslon Dari sisi dukungan potensial berdasar perolehan suara partai-partai pendukung Paslon dalam pemilu legislatif tahun 2009 lalu maka peta dukungan potensial masing-masing Paslon adalah sebagai berikut. Tabel 6. Peta Dukungan Potensial para Pasangan Calon Paslon
Jumlah Dukungan
Partai Pendukung
Prosentase Dukungan
4.791 3.222 1.552 4.383
13.948
15,02
DIHATI
PDI Perjuangan (PDIP) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Damai Sejahtera (PDS) Partai Golkar
15.747 7.250 2.150 8.886
34.033
36,64
YARIS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Demokrat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
POROS
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
10.709 10.842 5.637 3.257 7.595
SUARA POTENSIAL
Partai –partai Non Pendukung Pemilih 2009Tak Gunakan Hak Pilih Suara tak sah dalam Pemilu 2009 Tambahan Pemilih dalam Pemilukada 2011
BASIS
Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Total Dukungan
2.872
Total
Kategori
Skor
f
Presentase (%)
Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
20-25 15-19 10-14 5-9 0-4
45 104 58 14 1
20,3 46,9 26,1 6,3 0,4
222
100
Total
Sumber: Data Primer diolah, 2009
Tabel 2 menunjukkan frekuensi penyesuaian diri mahasiswa, sebagian besar berada pada kategori Baik = 67,2 persen. Sebelum melakukan analisis korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Sugiyono (1999) mengatakan bahwa penggunaan Pearson product moment yang merupakan statistik parametrik, jika data setiap variabel penelitian yang akan dianalisis harus mempunyai distribusi normal. Uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov, menunjukkan bahwa signifikansi (p) untuk data penyesuaian diri adalah 0,052 > 0,05, dan indeks prestasi kumulatif adalah 0,648 > 0,05, sehingga distribusi penyesuaian diri, dan IPK berdistribusi normal. Perhitungan koefisien korelasi dalam penelitian dapat menggunakan Pearson product moment karena data berdistribusi normal. Hubungan Penyesuaian Diri (X) dengan IPK (Y) disajikan dalam tabel 3. Tabel 3 Hubungan Penyesuaian Diri dengan Indeks Prestasi Kumulatif Correlations
30.445
32,78
10.467
11,27
87.893
100
2.990 21.748 8.146 1.530 124.309
27,68 100
Sumber: Data mentah, diolah
Tampak bahwa pasangan calon nomor urut 2 memiliki potensi dukungan yang lebih besar katimbang pasangan-pasangan calon lainnya. Namun demikian, hasil pemilihan menunjukkan bahwa pada akhirnya pasangan calon nomor 3 yang berhasil memperoleh dukungan terbanyak dari pemilih dalam Pemilukada kali ini. 270
Tabel 2 Deskripsi Kategori Penyesuaian Diri mahasiswa
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Penyesuaian Diri Penyesuaian Diri
IPK
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 222
Pearson Correlation
,228**
Sig. (2-tailed) N
,001 222
IPK ,228** ,001 222 1 . 222
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pada tabel 3 koefisien korelasi antara penyesuaian diri dengan IPK (rx1y)= 0,228 dengan p = 0,001. Berpedoman pada taraf signifikansi 5 persen didapatkan p = 0,001 < 0,05, maka korelasi antara penyesuaian diri Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
143
mahasiswa dengan IPK mahasiswa dinyatakan signifikan. Artinya jika skor penyesuaian diri mahasiswa meningkat, maka skor IPK mahasiswa naik dan jika skor penyesuaian diri mahasiswa menurun maka skor IPK mahasiswa juga turun karena arah hubungannya positif. Pembahasan Hasil Penelitian Temuan penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berarti semakin tinggi skor penyesuaian diri mahasiswa, pencapaian IPK mahasiswa juga semakin meningkat. Persamaan dan perbedaan temuan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh sensitifitas instrumen. Wimmer (2007) dalam diskusi tentang hasil penelitiannya mengakui bahwa sensitifitas instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat dipertimbangkan, jika temuan penelitian yang dilakukan menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan temuan penelitian sebelumnya. Bahkan, jika instrumen yang sama digunakan dalam penelitian yang berbeda, hasilnya bisa sama, tetapi juga bisa berbeda. Oleh karena itu Wimmer (2007), mengusulkan agar peneliti mampu mengembangkan instrumen penelitian yang spesifik dan sesuai dengan populasi penelitian. Sedangkan Bodenhorn, Miyazaki, Mun Ng & Zalaquet (2007), mengemukakan spesifikasi sub konsep, analisis faktor serta item-item yang digunakan dalam penelitian juga dapat menentukan arah dari hasil penelitian. Penentuan item dalam sebuah instrumen harus meliputi berbagai aspek yang menjadi permasalahan penelitian. Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Omoteso (2006) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK. Instrumen yang digunakan oleh penulis dalam penelitian kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon adalah Academic Adjustment Inventory (AAI) milik Bakare tahun 1977, yang lebih menekankan pada penyesuaian diri dalam lingkungan akademik di perguruan tinggi. Indikator empirik dalam instrumen penelitian ini adalah kemampuan mahasiswa dalam membangun kepercayaan diri dan mengelola kemampuan diri dalam menghadapi tantangan studi, menyesuaikan diri dengan situasi kelas, membangun komunikasi yang baik dengan para dosen maupun sesama mahasiswa, serta kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan. Penelitian ini menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dan IPK mahasiswa, dikarenakan instrumen yang dipakai lebih mengarah pada pengukuran kemampuan penyesuaian diri mahasiswa 144
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Tingkat Penggunaan Hak Suara Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah dapat dilihat dari seberapa banyak porsi warga yang berhak pilih menggunakan hak suaranya. Berdasarkan data yang ada dapat dikatakan tingkat partisipasi politik warga dalam Pemilukada Kota Salatiga relatif tinggi. Hal tersebut tampak dari data-data berikut. Tabel 5. Tingkat Penggunaan Hak Suara aras Kota Salatiga PROV. : JAWA TENGAH
KOTA : SALATIGA NO. URUT
PESERTA PEMILUKADA
KECAMATAN DAN KELURAHAN
BAS SUARA
1
ARGOMULYO
1,304
YARIS
DIHATI %
SUARA
TOTAL
%
SUARA
%
POROS SUARA %
SUARA
RUSAK
DPT
P MASY
JML
Golput
5.35
9,146
37.55
11,226
46.09
2,679
11.00
24,355
869
29,722
84.87
25,224
4,498
2
TINGKIR
962
4.02
9,525
39.79
10,271
42.90
3,181
13.29
23,939
930
30,912
80.45
24,869
6,043
3
SIDOMUKTI
1,391
6.27
8,660
39.05
8,812
39.73
3,316
14.95
22,179
847
27,830
82.74
23,026
4,804
4
SIDOREJO
1,923
6.89
9,754
34.95
12,087
43.31
4,141
14.84
27,905
996
35,845
80.63
28,901
6,944
JML
5,580
5.67
37,085
37.70
42,396
43.10
13,317
13.54
98,378
3,642
124,309
82.17
102,020
22,289
Sumber: Data mentah, diolah
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi masyarakat dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 82,17 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kecamatan Argomulyo (84,87%) dan partisipasi terendah di Kecamatan Tingkir (80,45%). Namun jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya, terdapat 22.289 orang, dengan jumlah tertinggi di Kecamatan Sidorejo (6.944 orang) dan jumlah terendah di Kecamatan Argomulyo (4,498 orang). Jika dilihat dari sisi asal kelurahan, tingkat partisipasi politik masyarakat di kedua jenis wilayah dalam Pemilukada kali ini juga memberi gambaran yang cukup menarik. Seperti diketahui pada awalnya Kota Salatiga hanya memiliki 9 Desa/kelurahan yang mencakup: Sidorejo Lor, Salatiga, Dukuh, Kalicacing, Mangunsari, Ledok, Tegalrejo, Kutowinangun dan Gendongan, Sejak tahun 1988 Kota Salatiga mendapat tambahan wilayah berupa 13 desa di sekitarnya (yang sekarang sudah berubah menjadi kelurahan) yaitu: Blotongan, Pulutan, Bugel, Kauman Kidul, Kecandran, Noborejo, Kumpulrejo, Randuacir, Cebongan, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Kalibening, dan Sidorejo Kidul. Gambaran partisipasi masyarakat di kedua jenis wilayah tersebut adalah sebagai berikut. Rata-rata partisipasi masyarakat di wilayah asli Salatiga dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 80,38 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kelurahan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
269
lawan), risalah proses sidang dalam MK itu menegaskan dengan jelas bahwa memang benar terjadi pass marketing dengan menggunakan isu agama dan pembagian uang. Dari seluruh proses implementasi strategi pemasaran politik para Paslon, tampak bahwa persaingan riil dalam Pemilukada ini tidak berlangsung pada semua Paslon. Paslon yang berkompetisi secara nyata sesungguhnya hanyalah Paslon Dihati dan Paslon Yaris. Dalam kompetisi ini, Paslon Yaris tampak lebih siap memeragakan pemasaran politik daripada paslon Dihati. Kesiapan itu tampak jelas dari produk yang dihasilkan dalam semua aspek pemasaran politik. Selain itu, Paslon ini mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan secara optimal kondisi para pemilih. Dalam hal ini strategi push marketing dilakukan secara cermat disesuaikan dengan karakter pemilih. Di kalangan pemilih rasional dan kritis, ia cenderung menggunakan bahasa 'sekolahan'. Sebaliknya, di kalangan pemilih tradisional, ia cenderung menggunakan bahasa yang bersifat ideologis. Hal terakhir ini tak dilakukan oleh Paslon lainnya. Hasil Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011 Pemilukada Kota Salatiga yang berlangsung pada bulan 2011 pada akhirnya menghasilkan perolehan suara bagi masing-masing Paslon sebagai berikut: Tabel 4. Perolehan Suara Paslon Pemilukada Kota Salatiga 2011 No
Nama Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota
Perolehan Suara Sah
Prosentase Suara Sah
5.580
5,67
1
H. Bambang Supriyanto, SH. MM. Ir. Hj. Adriana Susi Yudhawati, M.Pd
2
Ir. Hj. Diah Sunarsasi M. Teddy Sulistio, SE.
37.085
37,70
3
Yuliyanto, SE, MM H. Muh. Haris, SS. M.S i
42.396
43,09
4
H. Bambang Sutopo, SE Rosa Darwanti, SH, M.Si
13.317
13,54
98.378
100
Jumlah Suara Sah Sumber: Data mentah,
Hasil sebagaimana tergambar di atas memberikan gambaran menarik jika ditempatkan dalam konteks dinamika politik di Kota Salatiga. Terutama, berkenaan dengan tingkat penggunaan hak suara, serta pemetaan pendukung Paslon. 268
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pada lingkungan akademik. Penentuan item dalam instrumen dapat mengakomodir aspek-aspek penyesuaian diri pada lingkungan akademik di perguruan tinggi, sehingga hasilnya menjadi signifikan. Berdasarkan indikator empirik yang digunakan, mahasiswa yang mampu membangun kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan, mampu menyesuaikan diri dengan situasi kelas, mampu membangun komunikasi yang baik di kampus, mampu beradaptasi dengan sistem perkuliahan, akan memperoleh IPK yang tinggi. Temuan penelitian ini mempertegas pendapat Bakare (dalam Omoteso, 2006), yang mengemukakan bahwa kemampuan penyesuaian diri yang tinggi pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa secara optimal. Penelitian Ross & Hammer (2002) juga menemukan bahwa, jika mahasiswa tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegiatan akademik di perguruan tinggi, maka kemungkinan mahasiswa akan keluar dari perguruan tinggi. Bakare (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008) mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/ komunitasnya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik memiliki keterkaitan dengan pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa, karena penyesuaian diri mahasiswa memungkinkan mahasiswa untuk menemukan pola-pola studi baru yang sesuai dengan suasana akademik di perguruan tinggi, membangun kepercayaan diri serta mampu menjalin relasi yang baik di kampus. Temuan penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yazedjian & Toews (2004) kepada 190 orang mahasiswa keturunan Amerika Latin di beberapa universitas Amerika Serikat. Yazedjian & Toews (2004) menekankan responden penelitian pada mahasiswa tahun pertama. Faktor analisis dalam penelitian Yasedjian & Toews (2004) meliputi faktor pribadi (personal) dan faktor antar pribadi (interpersonal). Instrumen yang digunakan merupakan perpaduan beberapa instrumen yaitu: Short Acculturation Scale for Hispanics (SACH) milik Marín, & Otero-Sabogal tahun 1987 untuk mengukur akulturasi; Ethnic Identity Scale (EIS) dari Umaña-Taylor, Yazedjian, & Bámaca-Gómez's tahun 2004, untuk mengukur eksplorasi (exploration), resolusi (resolution) dan penegasan (affirmation); serta Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) dari Baker & Siryk tahun 1989 Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
145
digunakan untuk mengukur akademik, sosial, pribadi/emosional, dan penyesuaian kelembagaan. Mengacu pada Wimmer (2007), sensitifitas instrumen dapat menjadi perbedaan antara temuan penelitian penulis dan penelitian Yazedjian & Toews (2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. Saran Saran Teoritik Penelitian sebelumnya oleh Omoteso (2006) menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan prestasi akademik mahasiswa, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yasedjian & Toews (2004) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa. Hasil analisis kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa, berarti temuan ini sejalan dengan temuan penelitian Omoteso (2006). Temuan penelitian ini juga mempertegas konsep penyesuaian diri Bakare yang mengacu pada teori Psikososial Erikson (1989), yaitu semakin tinggi kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Saran Terapan Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa memberikan implikasi bagi mahasiswa agar dapat meningkatkan IPK, dengan cara meningkatkan kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik. Untuk mengurangi banyaknya mahasiswa drop out pada Fakultas Filsafat UKIM Ambon karena ketidakmampuan mahasiswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik perguruan tinggi, maka dosen serta pihak Fakultas Filsafat UKIM Ambon harus memberikan gambaran yang jelas tentang proses perkuliahan, berbagai ketentuan 146
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
menggunakan event atau acara-acara yang diselenggarakan, misalnya kampanye terbuka maupun kampanye tertutup serta melalui kegiatan pertunjukkan, kegiatan sosial, kegiatan olahraga, kegiatan unjuk kekuatan simbolik melalui arak-arakan, dan kegiatan-kegiatan religius. Semua Paslon melakukan berbagai kegiatan tersebut. Umumnya, mereka menggunakan kombinasi antara kampanye terbuka/tertutup dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam soal mobilisasi pendukung, menurut catatan para enumerator, Paslon Yaris cenderung lebih mampu menghadirkan masyarakat dalam kegiatan yang mereka selenggarakan. Jumlah peserta yang datang dalam kegiatan yang mereka selenggarakan umumnya lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Paslon lainnya. Lebih dari itu, para peserta yang hadir dalam kegiatan-kegiatan Yaris lebih menampakkan antusiasme untuk mengikuti kegiatan tersebut. Ini dimungkinkan karena fasilitator mampu membangun kedekatan dengan peserta kegiatan. Dalam membangun antusiasme itu, tak jarang para peserta diajak untuk menyanyikan lagu yel-yel "Yaris Pasti Menang" yang optimistik dan heroik, yang merupakan modifikasi lagu Maju Tak Gentar, demikian: Maju tak gentar, Yaris pasti menang/ Maju tak gentar Yaris pasti menang/ Maju tak gentar Yaris tak terlawan/ Maju tak gentar Yaris pasti menang/ Bergerak…bergerak… serentak… serentak menerkam menerjang terjang/ Tak gentar tak gentar/ Menyerang menyerang/ Majulah Yaris menang! Keaktifan Kandidat Dalam Menjangkau Pemilih (pass marketing) Keaktifan kandidat ini merujuk pada kegiatan para perantara (tim sukses) dalam mempengaruhi pilihan para pemilik hak suara dalam Pemilukada. Semua Paslon mempunyai anggota tim sukses yang bergiat serta berupaya mempengaruhi pilihan para pemilik hak suara. Proses ini dilakukan melalui cara-cara konvensional (dalam pertemuan-pertemuan resmi kampanye tertutup, pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat, kampanye dari mulut ke mulut, dan berbagai kegiatan lainnya) maupun cara-cara non-konvensional (membagikan barang atau uang). Sudah menjadi rahasia umum bahwa isu agama dan pembagian uang digunakan secara intensif oleh tim sukses dan atau pendukung para Paslon. Hal ini memperoleh pembenaran dalam sidang mengenai sengketa hasil Pemilukada Salatiga yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, terutama ketika mendengar keterangan para saksi. Terlepas dari siapa sesungguhnya yang melakukan pass marketing dengan menggunakan isu agama dan pembagian uang (apakah salah satu pihak untuk mendongkrak suaranya, ataukah pihak lain untuk melakukan kampanye hitam demi memojokkan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
267
mewujudkan Salatiga yang lebih sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Gerakan Salatiga Sejahtera", "Ingatkan Kami Kalau Tidak Amanah", "Tegas, Berani, Teruji". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar pelayanan publik yang cepat, memuaskan dan murah, terutama yang langsung berkaitan dengan peningkatan ekonomi rakyat. Dari penyajian semua Paslon tersebut tampak bahwa Paslon Yaris lebih siap dalam menghadapi penyajian Paslon lainnya. Paslon ini mampu mengidentifikasi sosok yang dibangun oleh Paslon lainnya dan mendefinisikan Paslon mana yang menjadi kompetitor utamanya. Dalam hal ini secara jelas Yaris melihat Paslon Basis dan Poros bukanlah kompetitor potensial. Di sisi lain, Yaris jelas-jelas menempatkan Dihati sebagai kompetitor utama. Itulah sebabnya slogan utama Dihati "Cedhak Karo Wong Cilik" misalnya, ditandingi dengan slogan "Lebih Dekat Dengan Rakyat". Sedangkan slogan Dihati "Melayani Tanpa Diskriminasi" dihadapi dengan slogan "Salatiga Rumah Kita". Dua slogan tersebut dengan jelas berusaha membangun pemahaman masyarakat bahwa Paslon Yaris memiliki ciri khas (karakter) lebih kuat daripada Paslon Dihati dalam soal kedekatannya dengan rakyat maupun komitmennya terhadap keragaman masyarakat Salatiga.
akademik yang berlaku serta pola-pola studi yang tepat bagi mahasiswa dan sesuai dengan gaya belajar di perguruan tinggi, sehingga mahasiswa mampu mencapai prestasi yang optimal di perguruan tinggi.
Partai Pengusung (party)
Bakare, C.G.M. 2008. The Psychology of Adolescence and its Implication for Guidance and Counselling in Nigerian Schools.(http://www.hadizaoyas.com/ tips17.html).
Partai pengusung menunjuk pada partai-partai yang mendukung pencalonan Paslon dalam Pemilukada. Partai-partai pengusung ini penting terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk memobilisasi warga masyarakat yang memiliki keterikatan kuat pada partai. Dilihat dari sisi ini, tampak bahwa para Paslon umumnya tidak menempatkan partai pengusung sebagai hal yang harus ditonjolkan. Dari spanduk-spanduk yang dipasang oleh para Paslon, hanya Paslon Yaris yang mencantumkan partai pengusung secara jelas (lihat gambar baliho Paslon). Itu pun tidak semua spanduk Yaris mencantumkan partai pengusung. Pemasangan spanduk yang mencantumkan partai pengusung ini dilakukan secara selektif, yaitu hanya ditempatkan di tempat-tempat yang diyakini merupakan basis partai pengusung tersebut. Boleh jadi hal ini didasarkan pada pandangan para Paslon bahwa partai pengusung tidak memiliki kaitan signifikan terhadap kemenangan mereka. Mobilisasi Pendukung (Push Marketing) Mobilisasi pendukung ini merupakan upaya Paslon untuk mendekati dan menjangkau pemilih secara langsung. Hal ini biasa dilakukan dengan 266
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Saran Penelitian Lanjutan IPK dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penyesuaian diri mahasiswa berhubungan secara signifikan dengan IPK. Sub-konsep penyesuaian diri mana yang memberi sumbangan besar terjadinya korelasi dengan IPK dapat diteliti lebih lanjut dari hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adebayo, S.O. & Ogunleye, A.J. 2008. The Psychology of Participatory Democracy and the Personality Profile of the Nigerian Politicians. Bangladesh e-Journal of Sociology 5 (1) January 2008. (http://www. bangladeshsociology.org). Ali, Mohamad. 1987. Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa. Ames, C., & Archer, J. 1988. Achievement goals in the classroom: Student's learning strategies and motivational processes. Journal of Educational Psychology 80: 260-267.
Bodenhorn, Nancy., Miyazaki, Yasuo., Mun Ng, Kok. & Zalaquet Carlos. 2007. Analysis of the Inventory of College Students' Recent Life Experiences. Multicultural Learning and Teaching 2 (2): 65-77. (http://mltonline.org). Calhoun, James F. & Acocella, Joan Ross. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Terjemahan Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press. Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I. Terjemahan Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia. George, Darren and Mallery, Paul. 1995. SPSS/PC : Step By Step. A simple quide and reference. Belmont: Wadsworth publishing co. Good, C.V.Editor. 2000. Dictionary of Education. New York: McGraw-Hill Book Co. Harder, Arlene F. 2002. The Developmental Stages of Erik Erickson. (http:// www.learningplaceonline.com/ stages-of-life.pdf).
Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
147
Omoteso, Bonke Adepeju. 2006. Influence of Selected Socio-demographic Variables on Academic Adjustment of University Students in Southwestern Nigeria. (http://www.krepublishers.com). Ross, Justin and Hammer, Nicole. 2002. College Freshmen: Adjustment and Achievement in Relation to Parenting and Identity Style. (http:// murphylibrary.uwlax.edu/digital/jur/ 2002/ross-hammer.pdf). Runyon, Ricahrd P. and Haber, Audrey. 1984. Psychologhy of Adjustment. Illionis: The Dorsey Press. Sukmadinata, S. 2003. Landasan Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 1999. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Suwarjono. 2004. Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi. (http://suwardjono.com/ upload/ perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi). Tilaar, H.A.R. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Wimmer, Christian L. 2007. Assessing Item and Scale Sensitivity to Therapeutic Change on The College Adjustment Scales: Working Toward a Counseling Center Specific Outcome Questionaire. Disertation. Brigham Young University. (http://content-dm.lib.byu.edu). Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. Yazedjian, Ani and Toews, Michelle L. 2004. Predictors of College Adjustment Among Hispanic Students. Journal of the First-Year Experience & Students in Transition 18 (2): 9-29. (http://www.sc.edu/ fye/journal/ Journal18201.pdf). Zhang, Christabel Ming. 2002. The Academic Adjustment Experiences of Undergraduate Chinese International Business Students at Victoria University. Thesis. (http://wallaby.vu.edu.au). ______, 2008. Peraturan Akademik Universitas Kristen Indonesia Maluku: Jenjang Strata Satu. Ambon: Universitas Kristen Indonesia Maluku. ______, 1999. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. (http://www.isi-dps.ac.id). ______, 2002. Statuta Universitas Kristen Indonesia Maluku. Ambon: Universitas Kristen Indonesia Maluku.
148
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
kekuatan masyarakat Salatiga untuk melakukan perubahan menuju terwujudnya masyarakat Salatiga yang lebih sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Bersatu, Berjuang, Mengawal dan Perubahan", "Saatnya Salatiga Sejahtera" , "Berjuang, Amanah, Santun, Iman, & Sejahtera" , "Saatnya Sejahtera, Bersatu, Berjuang Untuk Salatiga", "Berani Mengawal Perubahan, Cerdas, Terampil dan Cinta Damai". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar kemudahan dan kecepatan pelayanan publik kepada masyarakat, serta pemanfaatan sumberdaya yang ada di Salatiga sehingga menjadi keunggulan daerah. Sementara itu, penyajian Paslon Dihati umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini siap menjadi pemimpin Salatiga yang dekat dengan rakyat kecil dan mewujudkan kehidupan bersama yang damai dengan berusaha merawat ciri Salatiga sebagai kota yang menghargai kemajemukan. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Sehati Dengan Rakyat, Cedak Karo Wong Cilik", "Kami Cinta Damai Kami Cinta Kesatuan dan Kesatuan Salam Dihati", "Kita Jaga Kerukunan Umat Beragama Salam Dihati", "Penjaga Kemajemukan", "Mari Kita Jaga Kerukunan Umat Beragama", dan "Melayani Tanpa Diskriminasi". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah kemudahan pelayanan publik (terutama) yang diarahkan pada pemberdayaan rakyat kecil. Penyajian Paslon Yaris umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini adalah kaum muda putra daerah Salatiga yang nasionalis dan merakyat yang akan memegang teguh amanah untuk mewujudkan Salatiga sebagai rumah bersama yang lebih maju dan sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Nasionalis Merakyat", "Nasionalis Merakyat, Asli Putra Daerah", "Maju & Sejahtera" , "Muda, Bijaksana, Amanah, Ngemban Daerah", "Mas Yuli Merakyat", "Lebih Dekat Dengan Rakyat", "Salatiga Rumah Kita", "Jujur, Merakyat dan Religius". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar kepastian (tempat, waktu, kualitas) dalam pelayanan publik yang didukung oleh perangkat hukum yang baik berdasarkan survei yang terandalkan. Sedangkan penyajian Paslon Poros umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini adalah pemimpin yang tegas, berani dan amanah dalam Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
265
Berbeda dari gambaran sosok Basis dan Poros, sosok Dihati dan Yaris memberikan gambaran sebagai sosok muda dan memberikan harapan. Di sisi lain, Dihati dan Yaris memiliki latar belakang serupa yang bersifat negatif. Salah satu calon dari kedua Paslon tersebut dinilai oleh masyarakat memiliki kaitan dengan korupsi. Orang tua dari salah satu calon dari Paslon Dihati terlibat dalam kasus korupsi dan sudah diputus bersalah dan dipenjarakan. Sementara itu, salah satu calon dari Paslon Yaris diduga terlibat dalam kasus korupsi dalam proyek jalan lingkar Salatiga. Akan tetapi, Paslon Yaris terkesan lebih mampu meyakinkan publik mengenai ketidak benaran dugaan tersebut. Setidaknya, sampai dengan berlangsungnya Pemilukada, belum ada proses hukum yang jelas terhadap kasus tersebut. Sementara itu, Paslon Dihati sulit untuk melepaskan diri dari citra keterkaitan dengan korupsi karena orang tua salah satu calon dari Paslon tersebut jelas-jelas sudah divonis bersalah. Dengan demikian, Paslon Yaris relatif memiliki gambaran lebih positif daripada Paslon Dihati. Apalagi, sebagaimana tampak dalam foto-foto resmi, Paslon Yaris secara visual keduanya laki-laki dan mengenakan picis. Sementara Paslon Dihati salah satunya perempuan dan satunya lagi tidak mengenakan picis. Tampilan visual ini jelas memainkan peran penting pada pemaknaan dimensi simbolik. Terutama, manakala hal itu dikaitkan dengan polemik dalam wacana politik kontemporer mengenai pro-kontra mengenai "pemimpin perempuan" dan "pemimpin non Muslim". Terkait dengan pro-kontra itu, tampilan visual foto-foto Paslon Yaris lebih memberi efek positif di mata kebanyakan pemilih Muslim, daripada tampilan foto-foto Dihati. Apalagi bila diingat bahwa dalam Pemilukada yang pernah dilakukan di Salatiga, isu mengenai pemimpin Muslim-Non Muslim sempat mengemuka secara terang terangan di ruang-ruang publik. Isu tersebut juga mengemuka dalam perbincangan masyarakat menjelang dan selama proses Pemilukada 2011.
______, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (http://www.dikti.org/UUno20th2003Sisdiknas.html). http://www.dikti.go.id/evaluasi.or.id, 2008. http://www.hadizaoyas.com
Penyajian Kandidat (presentation) dan Harapan/Kebijakan yang Dijanjikan (policy) Penyajian kandidat pada dasarnya merupakan penyajian produk politik, yaitu Paslon yang maju dalam Pemilukada. Hal ini terutama berkaitan dengan simbol- simbol (pernak-pernik, kata-kata dalam spanduk, baliho atau jingle, dlsb) yang dimaksudkan untuk membangun dan menegaskan ciri khas Paslon tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan harapan/ janji-janji kebijakan yang akan diwujudkan manakala mereka terpilih sebagai kepala daerah. Penyajian Paslon Basis ini umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini siap menjadi pemimpin Salatiga yang menyatukan segenap potensi dan 264
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
149
Hal serupa juga terjadi pada sosok Poros. Dari sisi sosok, Paslon Poros memberikan gambaran sebagai sosok pemimpin yang tegas dan berani mengambil keputusan, namun sayang salah satu dari antara mereka sesungguhnya adalah calon yang paling sepuh (62 tahun) bila dibandingkan kandidat lainnya. Gambaran bahwa ia terlalu sepuh ini dicoba ditutupi dengan menampilkan foto-foto resmi berpenampilan jauh lebih muda. Sama halnya seperti Basis, cara demikian ini menunjukkan dimensi simbolis yang negatif, yaitu ketidakjujuran. Hal ini justru memberikan efek berupa gambaran negatif mereka di mata para pemilih.
150
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
263
semua kalangan masyarakat, terutama rakyat kecil. Karena ungkapan dihati memiliki asosiasi langsung dengan suasana kedekatan secara emosional. Sedangkan nama Yaris memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Yulianto-Muh Haris ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang sukses, yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat menuju kehidupan yang lebih makmur. Nama Yaris mengingatkan masyarakat pada jenis mobil yang cukup bagus, simbol dari keberhasilan dan kemakmuran yang didambakan oleh kebanyakan orang. Sedangkan nama Poros memberikan gambaran bahwa Paslon Bambang Soetopo-Rosa Maria Sri Darwanti ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang berada di tengah (poros), yang mengayomi semua kelompok masyarakat, memiliki kemampuan menjembatani berbagai perbedaan, sekaligus menjadi manajer yang baik yang mampu menggerakkan semua kalangan. Dari pemosisian tersebut, tampak bahwa semua Paslon berusaha menerapkan strategi bujukan (inducement strategy). Namun demikian, strategi pemosisian yang dilakukan Yaris tampak lebih fokus, lebih spesifik, dan memiliki daya-beda lebih kuat daripada pemosisian Paslon lain. Pemosisian Yaris berusaha merespons kegelisahan dan harapan utama berbagai lapisan masyarakat, yaitu kerinduan akan adanya peningkatan taraf hidup (kehidupan yang lebih makmur). Perbaikan taraf hidup kini memang merupakan isu publik yang jauh lebih seksi daripada isu-isu publik penting lainnya seperti pemihakan kepada masyarakat akar rumput /wong cilik (pemosisian Basis dan Dihati) ataupun mediasi kepentingan serta penggerak kemajuan (pemosisian Poros). Sosok Kandidat (person) Sosok kandidat mudah ditangkap dari sosok asli mereka dan fotofoto resmi yang mereka tampilkan di berbagai sudut kota. Dari sisi sosok mereka, Paslon Basis memberikan gambaran sebagai sosok pemimpin yang bijak. Salah satu dari antara mereka sesungguhnya sudah cukup berumur (58 tahun). Namun, hal ini dicoba ditutupi dengan menampilkan foto-foto resmi yang menampakkan usia sedikit lebih muda daripada penampilan aslinya. Hal ini membuat ada perbedaan antara sosok sesungguhnya dengan sosok dalam foto-foto resmi.
262
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Mawardi Program Studi S1 PGSD FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
Arief Sadjiarto Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT The purpose of this article is to explain the quality of education profile, the national standard of education, the implementation of national standard of education, the problem-mapping of the education and some thinking on how to cope the problems of education in Indonesia. The classic problem in Indonesia is the low quality of education in every stage and unit of education, especially primary and secondary education. Some policies have been made by the government in order to improve the quality of education. Those policies are related with the curriculum, students, teachers, infrastructures, financing, education management, the verification of the standard of national education, etc. The policies about the standard of national education are declared by the government as the minimum criteria of the educational system thoughout Indonesia. The functions are as the base of instructional planning, executing, and monitoring in order to create the qualified national education and also as the quality insurance instrument of the national education. Based on some findings (by BPK and Litbang Diknas), it is indicated that the standard of national education has not been well implemented. Moreover, the factors which are influential towards the implementation of the standard of national education are effectiveness, efficiency, and the double-face of the standard of education. Keywords : standard of national education, quality of education
PENDAHULUAN Permasalahan klasik pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah sebagai bekal awal melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu. Harian Kompas, 03 Maret 2011 melansir berita Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011; yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-
151
Bangsa (UNESCO) di New York, Amerika Serikat, menyatakan bahwa indeks pembangunan pendidikan (Education Development Index/EDI) adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Padahal tahun 2010 yang lalu berada pada peringkat ke65. Indonesia masih tertinggal dari Brunei yang berada di peringkat ke-34 dan Malaysia peringkat ke-65. Sedangkan harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011 memuat pernyataan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, bahwa masih ada sekitar 8 juta penduduk Indonesia yang buta huruf. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut berkaitan dengan kurikulum, kesiswaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pembiayaan, manajemen pendidikan, penentuan standar nasional pendidikan dan lain-lain. Diantaranya: a) pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi, b) pemberian bantuan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM), Bantuan Khusus Murid (BKM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Dana Bantuan Langsung (DBL), c) bantuan jaringan internet dan sarana IT melalui program Jardiknas, d) sertifikasi guru, e) program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), f) program Manajemen Mutu Terpadu (MMT), g) pembentukan lembaga independen Badan Standar Nasional Pendidikan, dan h) penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Berbagai stimulan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di atas nampaknya belum mampu meningkatkan mutu pendidikan. Temuan berbagai penelitian menunjukkan belum adanya peningkatan mutu pendidikan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan (Nurkolis,2003). Temuan berbagai penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka pemetaan komponen-komponen pendidikan yang perlu perbaiki, mengarah kepada standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. MUTU PEDIDIKAN Mengingat betapa luasnya cakupan komponen pendidikan, tidaklah mudah menyusun definisi yang memadai tentang apa itu mutu pendidikan. Ehlers (2004) menyatakan bahwa mutu atau kualitas pendidikan merupakan konsep yang multidimensi. Oleh karena itu, perbedaan cara pandang seseorang dalam mendifinisikan mutu pendidikan akan menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Peneliti UNICEF sebagaimana fungsinya sebagai badan dunia yang 152
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
Profil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar Paslon berasal dari kalangan pemerintah (eksekutif dan legislatif) dan kaum terpelajar dengan latar belakang sosial ekonomi relatif kuat. Semua Paslon memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi. Dari delapan Balon, lima diantaranya berpendidikan magister (S2) dan tiga lainnya berpendidikan sarjana (S1). Dilihat dari segi usia, sebagian besar dari mereka berasal dari generasi tua (berusia di atas 45 tahun). Dari delapan Balon, hanya dua orang yang berusia di bawah 45 tahun. Lebih lanjut, dilihat dari segi kekuatan ekonomi, sebagian besar memiliki kekayaan di atas Rp. 1 Milyar. Hanya 2 (dua) orang Balon yang memiliki kekayaan kurang dari Rp. 1 Milyar. Adapun bila dilihat dari sisi partai pengusung, tiga dari empat Paslon (Paslon 1, 2 dan 3) diusung oleh gabungan partai-partai dengan latar belakang ideologis campuran antara partai nasionalis dan partai Islam (tengah). Hanya satu Paslon (Paslon 4) yang diusung oleh koalisi partai yang semuanya berlatarbelakang ideologi nasionalis. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tidak ada daya-beda yang kuat di antara masing-masing Paslon. Karena itu, cukup menarik untuk memperhatikan dinamika pemasaran politik para Paslon. Dinamika Pemasaran Politik Para Paslon Pemosisian Kandidat (positioning) Pemosisian kandidat yang dipilih oleh keempat Paslon berbeda-beda. Hal ini tampak dalam penamaan masing-masing Paslon. Paslon nomor urut pertama menggunakan nama Basis. Paslon nomor urut kedua menggunakan nama Dihati (Diah-Teddy). Paslon nomor urut tiga menggunakan nama Yaris. Paslon nomor urut empat menggunakan nama Poros. Nama-nama tersebut pertama-tama tentu merupakan singkatan yang diambil dari gabungan dari nama diri dari masing-masing calon. Meskipun demikian, ketika gabungan nama diri itu dibuat, ia memberikan gambaran tertentu yang menjawab pertanyaan 'Paslon ingin dicitrakan sebagai apa oleh masyarakat, terutama calon pemilih?'. Jadi, nama Paslon itu memiliki efek pemosisian kandidat. Nama Basis jelas memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Bambang Supriyanto-Adriana Susi Yudhawati ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang peduli dan berpihak pada rakyat di akar rumput (grassroot). Karena istilah basis memiliki asosiasi kuat dengan masyarakat dasar atau masyarakat akar rumput. Sedangkan nama Dihati memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Diah Sunarsasi-Milhaus Teddy Sulistio ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang peka terhadap harapan dan perasaan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
261
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Anggota DPRD Salatiga Rosa Maria Delima Sri Darwanti, SH., M.Si.
S2
55
1.694.000.000
Kristen
PKPI dan PPRN Islam 27.076.418.000 62 S1 Wiraswasta H. Bambang Soetopo, SE. 4
Anggota DPRD H. Muh Haris, SS, M.Si.
S2
45
Tidak ada data
Islam
PKS,PPP, PIS, Partai Demokrat Islam 13.017.373.142 44 S2 Anggota DPRD Yuliyanto, SE., MM. 3
Anggota DPRD Milhous Teddy Sulistio, SE
S1
42
356.353.550
Kristen
PDIP, PAN, PDS, Partai Golkar Islam 7. 801.814.145 51 S1 Wawali Ir. Diah Sunarsasi 2
Swasta Ir. Hj Adriana Susi Yudhawati, M.Pd.
S2
47
2.275.965.443
Islam
PKB, Hanura, Gerindra, PKPB Islam 693.859.735 58 PNS H. Bambang Supriyanto, SH., MM. 1
S2
Partai Pengusung Agama Kekayaan Usia Pend Pekerjaan Nama No
Tabel 3. Profil Paslon Dalam Pemilukada Kota Salatiga 2011 260
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
melindungi hak-hak anak, menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah keadaan dimana: a) Learners who are healthy and ready to participate and learn, and supported in learning by their families and communities; b) Environments that are healthy, safe, protective and gender-sensitive, and provide adequate resources and facilities; c) Content that is reflected in relevant curricula and materials for the acquisition of basic skills, especially in the areas of literacy, numeracy and skills for life; d) Processes through which trained teachers use child-centred teaching approaches in well-managed classrooms and assessment to facilitate learning and reduce disparities; e) Outcomes that encompass knowledge, skills and attitudes, and are linked to national goals for education and positive participation in society"(Adam.2000). Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan (2007) menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci pengertian mutu pendidikan, yaitu: sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/ pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements). Wicaksana, I Wayan Simri (2008) mendefinisikan mutu pendidikan sebagai pencapaian tujuan dan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh instansi pendidikan di dalam rencana strategisnya, atau kesesuaian dengan standard yang telah ditentukan. Secara luas pengertian mutu mencakup aspek sarana/prasarana, organisasi, manajemen, masukan, proses, keluaran yang dapat memuaskan pelanggan internal (pengajar, staf administrasi, pengelola lembaga pendidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat pengguna serta masyarakat yang lebih luas). Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Sedangkan Harvey (2004), menyatakan kualitas pendidikan digambarkan sebagai efektivitas pengalaman belajar yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk siswa mereka, yaitu kesesuaian dan efektivitas penilaian belajar, mengajar dan dukungan yang diberikan kesempatan untuk membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka. Sallis (1993) menyatakan: "Quality in education can be difined as that which best satisfies and exeeds customers needs and want". Senada dengan pendapat Sallis, Nurkolis (2003) dalam bukunya yang Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
153
berjudul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah karakteristik menyeluruh dari setiap komponen pendidikan yang menunjukkan kemampuannya memuaskan kebutuhan pelanggan. Komponen tersebut mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikaan meliputi bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks output mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misalnya ulangan umum,UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik dan jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang intangible seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah atau keunggulan sekolah dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti megahnya gedung dan banyaknya ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya atau yang diterima di dunia usaha. Sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah serta melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Untuk dapat memahami kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan 154
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
012.329537/210 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Kota Salatiga Tahun 2011. Sesuai dengan ketentuan tersebut, secara garis besar, proses Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan dan tahapan penyelesaian. Kegiatan persiapan ini berlangsung selama satu tahun, sejak Mei 2010 sampai dengan Mei 2011. Tahapan kegiatan pelaksanaan ini sudah dimulai sejak 20 Januari 2011 dan berakhir 15 Mei 2011. Sedangkan tahapan kegiatan penyelesaian berlangsung sejak 16 Mei 2011 dan berakhir pada Oktober 2011. Secara keseluruhan, ketiga tahapan kegiatan tersebut dapat berlangsung dengan aman dan lancar. Ini terbukti dari dapat dilaksanakannya kegiatankegiatan dalam Pemilukada sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan dan tidak adanya konflik bernuansa kekerasan antar simpatisan dan pendukung Paslon selama berlangsungnya tahapan-tahapan Pemilukada. Namun, itu tidak berarti bahwa keseluruhan tahapan berlangsung tanpa masalah. Berbagai masalah, yang ringan maupun yang dianggap serius, tetap saja muncul dan mewarnai proses Pemilukada. Masalahmasalah itu terutama berkenaan dengan tahapan kedua, yaitu pelaksanaan Pemilukada. Dari berbagai masalah yang ada, beberapa yang dianggap penting antara lain adalah soal ketidakakuratan data pemilih, proses pencalonan beberapa Balon yang dianggap tidak fair, serta dugaan adanya manipulasi dan penggelembungan suara yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pemungutan serta penghitungan suara. Masalah-masalah tersebut dianggap mencederai prinsip luber dan jurdil dalam Pemilukada dan merugikan perolehan suara Paslon tertentu. Hal ini menyebabkan Paslon yang merasa dirugikan tidak bersedia menerima hasil Pemilukada. Perselisihan mengenai hasil Pemilukada pun terjadi antara Paslon yang merasa dirugikan dengan KPUD. Paslon yang merasa dirugikan lantas mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar memeriksa dan memutus perselisihan hasil Pemilukada itu. Paslon Walikota dan Wakil Walikota Ada 4 (empat) Paslon Walikota dan Wakil Walikota yang bertarung memperebutkan suara pemilih. Sesuai dengan nomor urut resmi, mereka adalah pasangan Basis (BAmbang SuprIyanto-Susi), Dihati (DIaH sunArsasi-Teddy sulistIo), Yaris (YuliyAnto-haRIS), dan Poros (Bambang SoetoPO-ROSa). Secara ringkas, profil keempat Paslon dipaparkan pada tabel 3.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
259
Teknik Analisis Data Analisis data yang terkumpul melalui penelitian ini mencakup tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles & Huberman; 1992 :16). Melalui proses reduksi data dilakukan penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data yang diperoleh. Reduksi data ini terus berlangsung senyampang proses pengumpulan data berlangsung. Data-data direduksi melalui seleksi yang ketat, ringkasan atau uraian singkat, menggolong-golongkannya ke dalam satu pola yang lebih luas dan sejenisnya. Dengan demikian melalui proses ini terjadi penajaman, penggolongan, pembuangan data yang tidak perlu dan pengorganisasian data sehingga dapat ditarik kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan yang dibangun selama proses pengumpulan data bersifat longgar pada tahap awalnya, dan melalui proses verifikasi ditingkatkan menjadi lebih rinci dan kokoh mengakar pada data yang dikumpulkan. Verifikasi ini dilakukan untuk menjaga agar makna-makna yang di tarik atas data cukup teruji kebenaran, kekokohan dan kecocokannya. HASIL PENELITIAN Secara garis besar, hasil penelitian meliputi dua hal, yaitu proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. Proses Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011 Kegiatan Pemilukada Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 adalah pemilihan umum yang dilakukan untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota secara langsung untuk masa jabatan 2011-2016. Pemilukada ini merupakan yang ketiga kalinya dilaksanakan Pemda dan masyarakat Salatiga dalam era reformasi. Sebelumnya sudah dilaksanakan dua kali Pemilukada secara langsung, yaitu tahun 2001 dan 2006. Pemilukada tahun 2011 diikuti oleh 124.309 pemilih (laki-laki: 60.163, perempuan: 64.146). Mereka terbagi dalam 376 TPS yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argo Mulyo dan Kecamatan Tingkir. Adapun beaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan kegiatan ini kurang lebih sebesar Rp 3,8 milyar. Dana tersebut dibiayai dari APBD Kota Salatiga, dengan rincian Rp 800 juta berasal dari APBD Perubahan 2010 untuk tahap persiapan dan Rp 3 miliar dari APBD 2011 untuk tahapan penyelenggaraan. Pelaksanaan Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 didasarkan pada Surat Keputusan KPU Kota Salatiga No 01/Kpts/KPU-KOTA SLG258
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Lalu bagaimana mutu pendidikan di Indonesia? Sistem persekolahan di Indonesia sangat luas dan bervariasi. Dengan lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah, sistem ini merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (setelah China, India dan Amerika Serikat). Kondisi ini tentu saja meninbulkan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Seperti telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guruguru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Berbagai laporan global tiga tahun terakhir tentang mutu pendidikan di Indonesia seperti: Education Development Index/EDI(2011), Human Develelopment Indeks/HDI, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC.2007), Laporan United Nations Development Program (UNDP.2008), menempatkan posisi mutu pendidikan di Indonesia pada urutan bawah. Satu-satunya laporan global yang menggembirakan adalah laporan World Bank (2008) tentang angka partisipasi sekolah dasar mencapai 93 persen; tidak ketinggalan dengan negara tetangga. Pada tataran nasional, berbagai data juga mengindikasikan rendahnya mutu pendidikan. Misalnya: a) Anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7 persen, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7 persen dari total penduduk usia 7-15 tahun Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 8 juta penduduk yang buta huruf (Suara Merdeka, 27 Oktober 2011). b) Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
155
10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22-36,65 persen dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007).
Gambar 1. Grafik angka partisipasi Sekolah
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia Menurut Umaedi (2003) ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Diskusi tersebut 156
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
kata dan simbol-simbol, bukan angka-angka - penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yang berusaha mendokumentasikan peristiwa melalui sudut pandang subjek terteliti, dan lebih bersifat untuk menghasilkan hipotesis bukannya menguji hipotesis (Silverman, 2000:8). Watak kualitatif dari penelitian juga tampak dari upaya yang hendak dilakukan untuk membangun representasi-representasi berdasarkan pengetahuan yang relatif mendalam dan rinci tentang kasus tertentu (Neuman, 2003: 33) Sedangkan dilihat dari segi tujuannya penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian eksplanatoris, yang walaupun tidak berupaya menguji ramalan-ramalan teori atau prinsip namun tetap berupaya untuk mengaitkan isu-isu atau topik-topik dengan satu prinsip umum (Neuman, 2003: 29). Dalam penelitian ini prinsip umumnya adalah pola hubungan antara civil society dengan negara dalam masa transisi. Penelitian ini akan menghasilkan pernyataanpernyataan yang bersifat eksplanasi, namun pernyataan kesimpulan itu bukanlah sebuah generalisasi. Pernyataan-pernyataan itu tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku pada komunitas yang diteliti. Adapun bila dilihat dari segi cakupan studinya, penelitian ini termasuk jenis studi kasus karena peneliti hanya akan menyelidiki secara intensif satu kasus dalam satu konteks yang spesifik. Dengan demikian teori yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah teori substantif, yaitu teori yang dibangun untuk satu wilayah perhatian tertentu saja. Teori itu hendak dibangun secara induktif, yaitu membangun teori sesudah/seraya data dikumpulkan. Berbekal topik dan konsep-konsep awal yang masih agak kabur, akan dilakukan penajaman konsep dan pengembangan teori senyampang proses pengumpulan data dilakukan. Daerah Penelitian Daerah penelitian ini adalah Kota Salatiga. Pertimbangan dipilihnya Kota Salatiga sebagai daerah penelitian karena sudah sejak pemilu tahun 1999, dan Pemilukada 2001 Kota Salatiga dijadikan objek studi politik lokal oleh Program Studi S1 PPKn-FKIP-UKSW. Bisa diduga, Pemilukada tahun 2011 ini berbeda dari Pemilukada tahun 2001 karena kini rakyat memilih sendiri Walikota dan Wakilnya, bukan hanya sekadar diwakili oleh para anggota DPRD seperti tahun 2001 lalu. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi terhadap dokumen, baik yang berasal dari para kontestan, KPUD, media massa dan sumber-sumber lain yang relevan. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
257
bisa terdiri dari satu partai saja atau bisa juga koalisi beberapa partai. Kelima, Kebijakan yang Ditawarkan (Policy). Ini menunjuk kebijakan atau program yang ditawarkan oleh kandidat kepada para calon pemilih. Kebijakan atau program-program ini kebanyakan berisi tentang apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Kebijakan ini bisa dilihat dari visi dan misi kandidat dalam Pemilukada maupun gagasan-gagasan yang dilontarkan kandidat dalam berbagai kesempatan. Keenam, Mobilisasi Pendukung (Push Marketing) adalah penyampaian produk politik secara langsung kepada pemilih (tatap muka). Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan acara- acara yang diselenggarakan oleh tim sukses, misalnya melalui kegiatan hiburan (entertainment) ataupun kegiatan religius. Ketujuh, Keaktifan Kandidat dalam Menjangkau Pemilih (Pass Marketing). Ia merupakan upaya penyampaian produk politik kepada pihak perantara atau jurkam (influencer). Pass marketing dapat dilihat dari keaktifan si perantara. Dalam arti, sejauh mana para perantara itu aktif secara perorangan maupun kelompok dalam mempengaruhi para pemilih. Kesatuan dari semua unsur-unsur tersebut akhirnya mengarah pada satu maksud, yaitu mengajak pemilih agar datang ke bilik suara dan memberikan hak suara mereka untuk memilih Paslon yang dipasarkan tersebut. Patut dicatat, bahwa pemasaran politik bisa bersifat positif maupun negatif terhadap proses konsolidasi demokrasi. Ia akan bersifat positif manakala konfigurasi pemilih didominasi oleh pemilih rasional dan pemilih kritis yang berorientasi 'policy-problem-solving'. Pemilih rasional cenderung berorientasi tinggi pada policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor-faktor ideologi. Pemilih kritis cenderung memberi bobot setara antara orientasi pada policy-problem-solving dan sistem nilai para kontestan. Sebaliknya, pemasaran politik akan bersifat negatif terhadap proses konsolidasi demokrasi manakala pemilih didominasi oleh pemilih tradisional dan atau pemilih skeptis. Pemilih tradisional cenderung mengutamakan kedekatan sosial budaya, kesamaan nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih. Sedangkan pemilih skeptis cenderung melakukan pilihan secara acak dan random karena tidak percaya bahwa Pemilukada dapat membawa perbaikan yang diharapkannya (Firmanzah, 2008). METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bisa dilihat dari segi data, tujuan dan cakupan studinya. Dilihat dari segi data dominan yang hendak dicari-berupa kata256
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Di samping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement. Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap
Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
157
pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat. Siagian (2006) mengindikasikan tiga faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, yaitu efektivitas pendidikan yang masih rendah, pengelolaan pendidikan yang kurang efisien, dan standarisasi pendidikan yang belum konsisten. Pendidikan yang efektif memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat mencapai tujuan. Permasalahan efisiensi pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, pemborosan waktu kompetensi pengajar yang belum memadai. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya biaya pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, namun belum sebanding antara kontribusi yang diberikan dengan layanan yang diperoleh. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan, masalah lainnya adalah masalah wasting time. Survei lapangan, terhadap beban belajar siswa di sekolah menengah mencapai 41 jam perminggu. Persoalan standarisasi pendidikan, sebenarnya sudah ada badan independen yang menetapkan standar nasional pendidikan di Indonesia, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP telah merumuskan standar nasional pendidikan, (yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang SNP). Permasalahannya adalah bahwa semua komponen SDM pendidikan di sekolah diarahkan untuk memenuhi standar nasional tersebut, terutama bukti fisik dan teknis administratif. Dengan demikian pendidikan akan kehilangan esensinya. Proses pendidikan pada akhirnya direduksi sedemikian rupa, yang penting SNP secara legal formal terpenuhi. Persoalan ini semakin rumit ketika terjadi dualisme standar pendidikan. Dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivati bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi, dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Permasalahan mengenai UN juga dirasa kontaproduktif dengan kebijakan pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi. Selain tiga faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan seperti tersebut di atas, sebenarnya ada permasalahan khusus dalam dunia 158
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
ment strategy), strategi rasionalisasi (rationalization strategy), strategi bujukan (inducement strategy), dan strategi konfrontasi (confrontation strategy). Strategi penguatan dapat digunakan oleh kontestan yang telah mempunyai citra tertentu yang dibuktikan melalui kinerja politik selama mengemban jabatan publik tertentu. Sedangkan strategi rasionalisasi dapat digunakan oleh kontestan yang berhasil mengembangkan citra tertentu yang disukai oleh pemilih, akan tetapi kinerjanya tidak sesuai dengan citra tersebut. Sedangkan strategi bujukan dapat diterapkan oleh kandidat yang dipersepsikan memiliki citra tertentu, tapi juga memiliki kinerja atau atribut- atribut yang cocok dengan citra lainnya. Akhirnya, strategi konfrontasi dapat digunakan manakala ada kontestan yang memiliki citra tertentu dan kontestan tersebut memiliki kinerja yang tidak memuaskan menurut sudut pandang pemilih. Kedua, Sosok Kandidat (person). Sosok kandidat adalah calon yang akan dipilih. Dalam sudut pandang pemasaran politik, sosok kandidat bisa dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi simbolis, dimensi instrumental dan dimensi penampakan visual. Dimensi simbolis menggambarkan tentang prinsip- prinsip dasar kandidat (keyakinan, keterbukaan, kesetiakawanan, ketulusan, kepedulian, dll). Dimensi instrumental menggambarkan kompetensi manajerial dan kompetensi fungsional, yaitu kemampuan dalam berorganisasi dan keterampilan dalam pekerjaannya. Adapun dimensi penampakan visual menggambarkan pesona fisik sang kandidat (apakah kandidat itu cakep, cantik, kekar, gemuk, ramping, dsb). Ketiga, Penyajian Kandidat (presentation). Hal ini menunjuk pada produk politik yang akan ditampilkan dalam pemasaran politik, yaitu sang kandidat itu sendiri. Maksudnya, ia disajikan dalam hal apanya dan dengan cara bagaimana. Penyajian produk politik ini bisa dilihat dari simbol-simbol, kata-kata dalam spanduk, baliho, jingle, yel-yel, dsb yang menandakan ciri khas dari kandidat yang bersangkutan. Menurut Nursal (2004:219), penyajian ini bisa dilihat dari 4 (empat) aspek, yaitu: simbol linguistik (adalah simbol- simbol yang ada di dalam partai ataupun yang dapat merepresentasikan kandidat akan dipakai), simbol optic (permainan gambar yang menarik sehingga membantu presentasi yang akan disampaikan), simbol akustik (meliputi tentang bagaimana nada, irama dan warna bunyi ketika sebuah pesan politik disampaikan), serta simbol ruang dan waktu (menggunakan ruang atau lokasi tertentu untuk membentuk makna tertentu pula). Keempat, Partai Pengusung (Party). Ini menunjuk pada organisasi politik dimana kandidat itu berasal. Dalam Pemilukada, biasanya kandidat bisa saja tidak hanya diusung oleh salah satu partai saja. Melainkan, kandidat diusung oleh beberapa partai koalisi. Dengan demikian, partai pengusung Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
255
Tabel 2. Pemasaran Politik Jangka Pendek dan Jangka Panjang Aspek Jangka dan batas waktu Tujuan Strategi Komunikasi politik Sifat hubungan antara kandidat dan pemilih Produk politik Sifat program kerja Retensi memori kolektif Sifat kampanye
Jangka Pendek / Kampanye Pemilu Periodik dan tertentu Menggiring pemilih ke bilik suara Mobilisasi dan berburu pendukung (push marketing) Satu arah dan penekanan pada janji dan harapan politik kalau menang Pragmatis / transaksi Janji dan harapan politik; figur kandidat dan program kerja. Berorientasi pasar dan ber ubah dari pemilu ke pemilu Cenderung mudah hilang
Jelas, terukur dan dapat dirasakan langsung aktivitas fisiknya Sumber: Firmanzah, (2008:277) dikutip dengan penyesuaian.
Jangka Panjang / Kampanye Politik Jangka panjang dan terusmenerus Citra politik Membangun dan membentuk reputasi politik (pull marketing) Interaksi dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat Hubungan relasional Pengungkapan masalah dan solusi; Ideologi dan sistem nilai yang melandasi tujuan partai Relatif konsisten dengan system nilai partai Tidak mudah hilang dalam ingatan kolektif Bersifat laten, kritis dan menarik simpati masyarakat
Berdasar perbedaan tersebut, maka yang dimaksud dengan pemasaran politik dalam penelitian ini adalah terbatas pada pemasaran politik jangka pendek, yaitu pemasaran politik dalam kampanye Pemilukada. Adapun strategi dalam pemasaran politik ini, meliputi beberapa unsur kunci, terutama adalah: pemosisian kandidat (positioning), sosok kandidat (person), penyajian kandidat (presentation), partai pengusung (party), janji program atau kebijakan yang ditawarkan (policy), mobilisasi pendukung (push marketing) dan keaktifan kandidat dalam menjangkau pemilih (pass marketing). Pertama, Pemosisian kandidat (positioning). Pemosisian adalah perihal bagaimana sang kandidat memposisikan diri di masyarakat. Pemosisian kandidat merupakan upaya untuk membangun citra (image) kandidat yang akan ditanamkan di mata pemilih. Ini menjawab pertanyaan kandidat mau dicitrakan sebagai apa di mata pemilih? Citra itu bisa bermacam-macam. Misalnya, citra sebagai orang "dermawan" atau "angkuh". Itu semua dibangun melalui apa yang dikatakan ataupun diperbuat oleh sang kandidat, baik dalam kehidupan nyata mereka maupun dalam kampanye. Bisa saja citra antara kandidat yang satu dengan yang lainnya dalam satu pasangan berbeda. Yang jelas, masing-masing pasangan akan saling berkompetisi dalam membangun citra yang akan ditonjolkan kepada masyarakat. Dalam hal pemosisian, ada 4 strategi yang bisa dipilih (Newman & Shet, 1987). Keempat strategi tersebut adalah: strategi penguatan (reinforce254
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pendidikan yaitu: permasalahan sarana fisik yang belum memadai, profesionalime guru yang belum memadai, rendahnya prestasi riil siswa, pemerataan pendidikan, dan relevansi pendidikan di Indonesia. Menyikapi berbagai permasalahan pendidikan seperti telah dipaparkan di atas, pemerintah terus-menerus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. "Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu: a) Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolok ukurnya dari angka partisipasi. b) Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. c) Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional. d) Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan. e) Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infra-struktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolahsekolah. f) Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. g) Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. h) Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan. Standar Nasional Pendidikan Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi standar nasional pendidikan adalah: a) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, b) sebagai alat penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
159
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Ketentuan yuridis formal yang mengatur tentang standar nasional pendidikan adalah Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tersebut menetapkan 8 (delapan) standar pendidikan, yaitu: a). standar isi; b). standar proses; c). standar kompetensi lulusan; d). standar pendidik dan tenaga kependidikan; e). standar sarana dan prasarana; f). standar pengelolaan; g). standar pembiayaan; dan h). standar penilaian pendidikan. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Di samping itu Standar isi juga memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/ akademik. Kerangka dasar kurikulum meliputi: a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b) kewarganegaraan dan kepribadian; c) ilmu pengetahuan dan teknologi; d) estetika; dan e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur standar isi adalah: NO 1
Nomor Permen Nomor 22 tahun 2006
Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
2
Nomor 24 tahun 2006
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah
3
Nomor 14 Tahun 2007
Standar Isi Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta 160
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
langsung dalam konflik antar agama di daerah-daerah konflik semacam Maluku dan Poso. Sedang JI merupakan organisasi yang sejumlah anggotanya terlibat aksi terorisme bukan saja di Indonesia namun juga di Asia Tenggara. Dalam pelaksanaan Pemilukada berbagai partai politik cenderung membuat koalisi guna memenangkan pasangan calon kepala daerah yang mereka ajukan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah jika satu koalisi mempunyai spektrum ideologi yang cukup lebar adakah ini mencerminkan memudarnya sekat-sekat ideologis antarpartai itu, atau sebaliknya adakah koalisi yang terbentuk sama sekali tidak bersentuhan dengan ideologi, melainkan hanya koalisi pragmatis dalam rangka perebutan kekuasaan puncak eksekutif di daerah? Belajar dari berbagai kasus dalam Pemilukada tahun 2005-2006 kedekatan ideologi antarpartai pendukung Paslon bukanlah jaminan bagi keberhasilan. Yang justru dianggap penting dalam proses Pemilukada adalah kecanggihan dalam pemasaran politik (political marketing). Pemasaran Politik Dalam perpolitikan di Indonesia, pemasaran politik sebagai sebuah aktivitas formal tergolong masih baru. Ia mulai mengemuka seiring dengan terjadinya liberalisasi politik, persaingan politik yang makin keras dan merebaknya pragmatisme politik pasca orde baru. Dalam situasi politik demikian, pemasaran politik dipandang sebagai alat politik yang diperlukan, bahkan dianggap sebagai sebuah keniscayaan terutama oleh partai politik dan para kandidat. Pemasaran politik, menurut Adman Nursal (2004:23) adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Aktivitas itu merupakan strategi kampanye untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu di dalam pikiran para pemilih. Serangkaian makna politis ini pada gilirannya akan mengantarkan pemilih untuk memilih kandidat yang ada, dimulai dari pembentukan ingatan di dalam pikiran pemilih lalu menjadi orientasi pemilih dalam menentukan pilihannya. Pemasaran politik bisa berdimensi jangka pendek atau bisa pula jangka panjang. Pemasaran politik jangka pendek terjadi dalam kampanye pemilu. Sedangkan pemasaran politik jangka panjang terjadi dalam kampanye politik. Perbedaan ini penting diperhatikan, karena memiliki implikasi terhadap berbagai aspek pemasaran politik, sebagaimana digambarkan dalam tabel 2, berikut ini.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
253
PKB masih terbatas pada massa pendukung NU, dan PAN masih terbatas pada pendukung Islam, bahkan mungkin sebagian besar massa Islam Muhammadiyah. Mengenai pengaruh aliran politik terhadap perilaku politik massa, Liddle dan Mujani, (2000) berpendapat bahwa pengaruh aliran politik terhadap perilaku partisan massa tidak sebesar yang dipercaya sebelumnya. Tetapi, bukan berarti politik aliran sama sekali tak berarti dalam masyarakat politik kita. Setidaknya secara statistik, varian keagamaan punya dampak yang berarti terhadap perilaku partisan massa. Santri cenderung mendukung partai-partai Islam dibanding partai-partai nasionalis sekuler; atau santri tradisionalis cenderung mendukung PKB ketimbang PAN. Kecenderungan ini tidak dahsyat, tetapi dapat berkembang menjadi dahsyat saat pola konfrontasi elite setidaknya mengesankan polarisasi aliran ini. Konflik elite mereaktivasi dan memperkuat warisan pola sentimen pengelompokan politik lama yang ditandai tingginya partisipasi yang tidak disertai toleransi yang sepadan itu. Di samping partai politik Islam, lahir pula kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan berbasis agama. Kelompok kepentingan yang telah lama ada seperti Muhammadiyah dan NU terlibat dalam pembentukan partai baru yaitu PAN dan PKB. Di samping itu muncul kelompok-kelompok baru seperti DI/NII, Jama'ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamah (FKAWJ), dan Hizbut Tahrir (HT). Marijan (2010) menggambarkan sikap politik kelompok-kelompok Islam radikal tersebut sebagai berikut: Tabel 1. Sikap Politik Kelompok Islam Radikal Kelompok
Syariah Komprehensif
Negara Islam
Khalifah
Demokrasi
DI/NII
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Jamaah Islamiyah
Ya
Ya
Ya
Tidak
MMI
Ya
Ya
Ya
Tidak
FPI
Ya
Tidak
Tidak
Ya
FKAWJ/LJ
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Hizbut Tahrir
Ya
Ya
Ya
Tidak
Keenam organisasi di atas memang kecil massa pendukungnya, namun sangat aktif dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. FPI aktif menyuarakan penegakkan hukum Islam, terlibat dalam penggerebekan tempat-tempat maksiat, di DKI, dan tempat-tempat lainnya. FKAWJ terlibat 252
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut. NO 1
Nomor Permen Nomor 41 Tahun 2007
2 3
Nomor 1 Tahun 2008 Nomor 3 Tahun 2008
Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Standar Proses Pendidikan Khusus Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B, dan Paket C
Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Ketentuan lebih lanjut tentang standar kompetensi lulusan diatur dalam Permen berikut. NO 1
Nomor Permen Nomor 23 Tahun 2006
2
Nomor 24 tahun 2006
Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a) Kompetensi pedagogik; b) Kompetensi kepribadian; c) Kompetensi profesional; dan d) Kompetensi sosial. Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
161
yang akan menjadi guru kelas atau guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Jenis guru mata pelajaran sekurang-kurangnya mencakup guru kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta guru kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut. NO 1 2 3
Nomor Permen Nomor 12 Tahun 2007 Nomor 13 tahun 2007 Nomor 16 Tahun 2007
4 5 6 7
Nomor 24 Tahun 2008 Nomor 25 Tahun 2008 Nomor 26 Tahun 2008 Nomor 27 Tahun 2008
8 9 10
Nomor 40 Tahun 2009 Nomor 41 Tahun 2009 Nomor 43 Tahun 2009
11 12
Nomor 42 Tahun 2009 Nomor 44 Tahun 2009
13
Nomor 45 Tahun 2009
Tentang Standar pengawas Sekolah/Madrasah Standar Kepala Sekolah/Madrasah Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Standar Penguji Pada Kursus dan Pelatihan Standar Pembimbing Pada Kursus & Pelatihan Standar Tenaga Administrasi Program paket A , Paket B, dan Paket C Standar Pengelola Kursus Standar Pengelola Pendidikan pada Program Paket A, Paket B dan Paket C standar Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, tempat bermain/ berolahraga. Termasuk juga penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: a) ruang kelas, b) ruang perpustakaan, c) laboratorium IPA, d) ruang pimpinan, e) ruang guru, f) tempat beribadah, g) ruang UKS, h) jamban, i) gudang, j) ruang sirkulasi. Ketentuan lebih lanjut tentang standar sarana dan prasarana pendidikan diatur di dalam ketentuan berikut, NO
Nomor Permen
1
Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
2
Nomor 33 Tahun 2008
Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB
3
162
Nomor 40 Tahun 2008
Standar Sarana dan Prasarana untuk SMK/MAK
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
kelahirannya, dinamika politik di tubuh bangsa Indonesia sangat diwarnai oleh persaingan antara kekuatan politik yang ingin mendirikan negara Islam dan kekuatan politik yang ingin mendirikan negara kebangsaan. Berakhirnya pemerintahan Suharto di tahun 1998 menjadi titik tolak bangkit kembalinya kekuatan politik Islam, yang selama orde baru mengalami represi. Menjelang pemilu 1999, bermunculan partai politik dengan identitas Islam. Marijan (2010) misalnya, mencatat tak kurang dari 28 partai bercorak Islam, namun hanya 21 partai Islam yang dapat ikut pemilu 1999 dan kemudian menjadi 8 partai pada pemilu tahun 2004. Sama seperti pada masa lalu, partai-partai politik berlabel Islam tersebut juga tidaklah tunggal. Fealy 2001 (dalam Marijan, 2010) misalnya membedakan antara partai Islam yang masuk kategori "formalist Islamic parties" dan yang masuk kategori "pluralist Islamic parties". PPP, PBB dan PKS adalah partai partai yang masuk dalam kategori formalis, sedang PAN dan PKB masuk ke kategori pluralis. Jika PPP dan kawan-kawannya berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara, maka PKB dan PAN lebih berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam di dalam konteks negara-bangsa Indonesia yang plural. Kelompok formalis itu sendiri sebenarnya masih bisa dipilah menjadi kelompok "moderate formalist Islamic parties", semacam PPP dan "radical formalist Islamic parties" semacam PKS dan PBB. Kevin Evans (sebagaimana telah dimodifikasi oleh Pratikno, 2007) memetakan partai-partai politik dewasa ini sebagai berikut: Elitis
PDS
Sekuler/Bara
PDIP
PD GOLKAR
PKS PAN PPP
PBB
PBR
Islamis
PKB
Populis
Gambar 1. Pemetaan Parpol Berdasarkan Basis Ideologi
Tampak bahwa pemetaan Evan di atas, khususnya untuk partai-partai Islam cukup sejalan dengan kategorisasi yang dikemukakan oleh Fealy di atas. Tentang PKB dan PAN Munjani (2000) mencatat bahwa secara formal kedua partai itu lebih berorientasi kebangsaan dan berupaya mengakomodasi warga negara lintas agama. Tetapi, mereka belum berhasil. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
251
dalam proses pemilu, maka dalam full democracy seluruh upaya penyelenggaraan negara benar-benar dipusatkan untuk menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka dalam proses politik dan urusan publik, di mana penyelenggara negara benar-benar menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Mengikuti skenario Heynes itu, akankah perjalanan hidup bangsa Indonesia yang sudah berada pada tahap electoral democracy ini akan terus melaju ke tahapan full democracy? Yang jelas, Haynes mencatat bahwa paling tidak ada delapan hambatan yang dapat menghadang proses menuju full democracy yaitu: a) dominasi eksekutif yang eksesif, b) sistem sosialpolitik patrimonial baru, c) korupsi tingkat negara yang serius, d) partaipartai politik yang lemah dan tidak stabil, e) pelemahan atau kooptasi kekuatan civil society, f) pembelahan etnis/keagamaan yang serius, g) kemiskinan yang menyebar secara luas, dan h) iklim internasional yang tidak mendukung. Dari kedelapan hambatan itu, pembelahan etnis/keagamaan merupakan salah satu tantangan berat kita, di samping persoalan korupsi yang sedemikian serius. Politisasi agama merupakan ujian besar bagi upaya pendalaman demokrasi dalam momen Pemilukada. Apalagi, manakala kita ingat, bahwa pembelahan etnis/keagamaan memiliki akar sejarah panjang dalam perjalanan politik di negeri ini. Pasca orde baru, hal itu mengemuka kembali melalui apa yang biasa disebut kebangkitan politik aliran. Kebangkitan Politik Aliran Dalam sejarah perjalanan partai-partai politik negeri ini pernah tercatat satu pemetaan yang cukup akurat sebagaimana dilakukan oleh Feith dan Castle terhadap parpol yang hidup pada 20 tahun pertama negara RI. Pada waktu itu terdapat lima aliran politik utama yang berkembang yaitu (a) nasionalisme radikal, (b) tradisionalime Jawa, (c) Islam, (d) sosialisme demokratis dan (e) komunisme. Kelima aliran politik itu saling tumpang tindih, saling mempengaruhi satu sama lain, kecuali Islam dan komunis yang tidak saling memiliki garis singgung. Politik aliran semacam itu memang nyata ada dan berperan dalam praktik kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Masyumi dan NU sebagai kekuatan politik Islam merupakan 2 (dua) dari 4 (empat) partai pemeroleh suara terbesar pada pemilu tahun 1955. Masyumi pulalah, lewat tokohnya M. Natsir, yang gigih memperjuangkan prinsip penyatuan negara dengan agama dalam sidang-sidang konstituante, sidang pembentuk Undang Undang Dasar sebagai pengganti UUD S 1950, tahun 1957-1959. Perdebatan dalam sidang-sidang tersebut sekaligus menegaskan bahwa sejak awal 250
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Biaya-biaya tersebut meliputi: a. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. b. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. c. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
163
bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian ini digunakan untuk: menilai pencapaian kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Dalam rangka mengimplementasikan SNP ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM pendidikan adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar bidang pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Acuan utama SPM adalah SNP, artinya bahwa setiap daerah dapat menyusun SPM sesuai dengan karakteristik dan kapasistas daerah masing-masing dan berusaha meningkatkannya sesuai dengan SNP. Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk dipenuhi. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu 164
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
merupakan tanda berlangsungnya pendalaman demokrasi. Reformasi demikian ditandai oleh berlangsungnya perluasan tanggung jawab pemerintah (katimbang mengandalkan mekanisme pasar) dalam mendistribusikan keuntungan-keuntungan ekonomi dan mengalokasikan sumber-sumber yang langka/ terbatas. Termasuk dalam hal ini berlangsungnya perubahan kebijakan kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan. Ketiga, dimensi politik, yang merujuk pada partisipasi masyarakat dalam politik, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, pendalaman demokrasi hakikatnya merupakan upaya mempertimbangkan kembali negara sebagai arena bagi berlangsungnya perundingan dalam pembuatan keputusan (deliberative decision making). Menurut Chalmers et al (1997, dalam Wong 2003), hal ini merupakan garansi bahwa hak partisipasi politik yang dijamin oleh hukum (de jure) benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik partisipasi politik secara nyata (de facto). Jadi, singkatnya, dalam dimensi politik, pendalaman demokrasi berarti perubahan dalam proses politik dan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, tingkat pengaruh aktor di luar aparat pemerintah dalam menentukan pembaruan agenda kebijakan, serta sejauh mana pembuatan keputusan pemerintah telah diambil melalui konsensus katimbang pembebanan, itu semua mengindikasikan sejauh mana tingkat pendalaman demokrasi sekaligus kebermaknaan partisipasi dan representasi politik. Sejak jatuhnya rejim orde baru tahun 1998, Indonesia telah berkomitmen untuk menjalankan sistem pemerintahan demokrasi melalui proses demokratisasi kehidupan politik. Menurut Haynes 2001 (dalam Erb dan Sulistyanto 2010), sesudah lebih dari 13 tahun berada pada masa transisi, tampak bahwa Indonesia berhasil melewati dua dari tiga tahapan mewujudkan demokrasi, yaitu "façade democracy", dan "electoral democracy" guna menuju "full democracy". Karakteristik dari rejim façade democracy adalah bahwa walau dalam negara itu dijalankan pemilu secara regular, namun pemilu itu sendiri sangat dikendalikan oleh pihak penguasa, dan dalam rejim itu militer memainkan peran penting dalam mengendalikan "law and order", di mana hak-hak asasi manusia tidak dipandang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Karakteristik rejim electoral democracy adalah terdapatnya aturanaturan dan regulasi tentang penyelenggaraan pemilu demokratis yang benarbenar terlaksana dalam praktik kehidupan bernegara. Di samping itu dalam rejim ini terdapat pula perhatian terhadap proses penegakkan hukum. Hal yang membedakan antara electoral democracy dengan full democracy adalah jika dalam electoral democracy baru sebatas prosedur-prosedur pemilu yang benar benar menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
249
Pada tataran abstrak, menurut Roberts (1998), pendalaman demokrasi memiliki sekaligus konotasi prosedural dan substantif dalam berdemokrasi. Karena itu pendalaman demokrasi bisa dipahami sebagai proses di mana politik progresif atau politik baru menjadi bagian penting dari agenda politik utama yang dijalankan pemerintah dan masyarakat. Menurut Fung and Wright (2001) deepening democracy perlu berlangsung dari dua sisi: sisi negara dan sisi masyarakat. Dari sisi negara, deepening democracy, adalah pengembangan dua hal. Pertama, pelembagaan mekanisme (institutional design) penciptaan kepercayaan semua aktor politik di daerah yakni masyarakat sipil, masyarakat politik (partai politik) dan tentu saja negara atau state apparatuses (birokrasi, alat keamanan negara). Kedua, pengembangan penguatan kapasitas administratif-teknokrtatik yang mengiringi pelembagaan yang telah ditetapkan. Dari sisi masyarakat, deepening democracy, merujuk pada pelembagaan keterlibatan masyarakat terhadap aktivitas politik formal di tingkat local state. Dalam tataran riil, setidaknya ada tiga dimensi yang menandai berlangsungnya pendalaman demokrasi (Wong, 2003). Pertama, dimensi sosio-legal atau institusionalisasi hak-hak politik, yang merujuk pada gagasan hak asasi manusia, martabat manusia dan kesetaraan manusia. Ini meliputi antara lain perluasan kesetaraan hak suara, perluasan peluang yang sah secara hukum (ruang legal) bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul, serta perluasan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai tingkatan proses politik. Pendalaman demokrasi mengupayakan dan mengkodifikasikan secara legal penghargaan hak asasi manusia lintas kategori sosial, tanpa pandang bulu terhadap kelas sosial, agama, etnisitas, gender dan berbagai kategori sosial lainnya. Kebijakan politik dirancang sedemikian rupa untuk mencegah dan mengatasi terjadinya diskriminasi terhadap individu dan kelompok-kelompok sosial, mempromosikan penghargaan terhadap hak asasi manusia, serta menanamkan sikap yang menghargai keragaman atau kebhinekaan. Kedua, dimensi ekonomi, yang merujuk pada distribusi dan alokasi sumber-sumber yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat umumnya mengharapkan bahwa dimulainya pemerintahan demokrasi akan menghantar mereka pada terwujudnya keadilan sosial ekonomi yang lebih besar (Przeworski, 1999:10). Karena itu, adanya redistribusi ekonomi dan inovasi kebijakan sosial merupakan hal amat penting yang menandai berlangsungnya pendalaman demokrasi (Kapstein & Mandelbaum Ed, 1997; Chalmers et al., 1997; Weyland, 1996 dalam Wong 2003). Reformasi kebijakan sosial, yang memiliki dimensi ekonomi lebih umum, juga 248
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pencapaian. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Kemudian mengkomparasikan capaian tersebut (umumnya dalam persentase) dengan SNP yang berlaku secara nasional. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh: a). Pemerintah untuk pemerintahan daerah Provinsi; dan b). Gubernur sebagai representasi pemerintah di daerah untuk Kabupaten/Kota. Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas pemerintahan daerah yang belum mampu mencapai SPM. Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten/ Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Dukungan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dapat berupa fasilitas, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya. Berdasar hasil monev, pemerintah wajib memberikan penghargaan bagi pemerintahan daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan, dan memberikan sanksi kepada pemerintahan daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik. Berdasarkan mekanisme pemenuhan SPM pendidikan seperti tersebut di atas, pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun SPM pendidikan sesuai dengan kapasitas daerahnya masing-masing. Acuan utama yang digunakan untuk menyusun SPM pendidikan adalah Berkaitan dengan monitoring dan evaluasi ini, patut dikemukakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (2008) yang melakukan pemeriksaan kinerja atas Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan mengambil sampel sekolah-sekolah di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia. Pemeriksaan ini menghasilkan temuan: 1) rata-rata pencapaian SPM pendidikan dengan standar 90 persen dari standar nasional pendidikan baru mencapai angka 85,23 persen, 2) jumlah guru yang memiliki kualifikasi sesuai kompetensi baru mencapai 40,26 persen, dan 3) Sarana dan prasarana pendidikan baru mencapai 34,25 persen. Temuan BPK ini mengindikasikan bahwa layanan pendidikan yang nantinya akan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan masih sangat Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
165
memprihatinkan. Dengan demikian wajar adanya jika berbagai penelitian mutu pendidikan berskala lokal, nasional maupun internasional menempatkan Indonesia pada posisi juru kunci. Rendahnya mutu pendidikan kita, memiliki akar masalah yang kompleks ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dari sekian masalah tersebut, dapat kita identifikasi beberapa hal yang cukup signifikan. Pertama, masalah macro-oriented dalam pengelolaan. Selama ini, kebijakan, peraturan dan sarana diatur secara sentralistik oleh birokrasi di pusat. Implikasinya, banyak variabel yang diproyeksikan secara makro (di tingkat pusat) tidak bisa terealisasikan secara baik di tingkat mikro (sekolah atau kampus). Lebih-lebih adanya dualisme standar pendidikan. Di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional (SNP), di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri (SPM). Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Kedua, masyarakat sebagai stakeholder pendidikan kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan mikro. Ini menyebabkan sikap skeptis dan acuh tak acuhnya masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Asumsi yang kuat di masyarakat selama ini, pendidikan merupakan urusan pemerintah. Ketiga, pendidikan Indonesia lebih bersifat content based (berdasar isi) dibanding competence based. Keempat, kita tidak punya standarisasi pengawasan mutu pengajar. Berdasarkan informasi dari Litbang Diknas 33,81 persen guru kurang kompeten. Masalah mutu ini juga berkait erat dengan nasib pendidik dan tenaga kependidikan yang berkutat dengan kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan. Di satu sisi mereka dituntut untuk memaksimalkan peran dalam meningkatkan mutu pendidikan, di sisi lain insentif yang menjadi haknya sangat minim. PENUTUP Pada bagian pendahuluan telah dipaparkan bahwa permasalahan klasik pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya: pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi, pemberian bantuan dalam bentuk BOS, BOMM, BKM, BIS, DBL, sarana IT melalui program Jardiknas, sertifikasi guru, penerapan MBS, MMT, pembentukan 166
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan proses demokrasi dalam Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui pencapaian sejumlah tujuan antara sebagai berikut: a) Mendeskripsikan dinamika proses Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 b) Mendeskripsikan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. c) Memberikan penjelasan kritis terhadap fenomena Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dan orientasi politik warga Kota Salatiga. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, dalam bentuk: a) Memperkaya kajian politik mengenai proses pendalaman demokrasi (deepening democracy) pada tingkat lokal. b) Mendapatkan bahan kajian empirik untuk memperdalam kajian dalam perkuliahan rumpun mata kuliah Politik Kenegaraan, utamanya mata kuliah Ilmu Politik, Pendidikan Demokrasi dan Hukum Tatanegara. KAJIAN PUSTAKA Ada tiga konsep utama yang digunakan untuk membangun representasi-representasi dalam penelitian ini. Ketiga konsep itu adalah (a) pendalaman demokrasi, (b) kebangkitan politik aliran, dan (c) pemasaran politik (political marketing). Pendalaman Demokrasi Konsep mengenai pendalaman demokrasi sesungguhnya agak samar atau tidak begitu tegas perbedaannya dengan konsep demokrasi. Ini seperti halnya konsep antara terobosan demokrasi (democratic breaktrhough) dan konsolidasi demokrasi (democratic consolidation), demokrasi prosedural (procedural democracy) dan demokrasi substantif (substantive democracy), serta demokrasi terbatas (restricted democracy) dan demokrasi penuh (full democracy) (Collier & Levitski,1997). Karena itu, Wong (2003) memahami pendalaman demokrasi sebagai proses sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung sepanjang waktu. Pendalaman demokrasi tidak berakhir dalam dan pada dirinya sendiri. Di sini arah perubahan amat ditekankan. Penekanan pendalaman sebagai sebuah proses ini memberi pengertian mengenai apa yang menandai adanya pendalaman demokrasi. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
247
merupakan penanda bahwa sedang berlangsung proses demokratisasi, yaitu proses transisi menuju pemerintahan demokrasi. Namun demikian, proses demokratisasi melalui pemilu itu umumnya dipandang belum mencukupi bagi terbentuknya pemerintahan demokratis. Menurut sejumlah studi, kebanyakan negara-negara demokrasi baru, umumnya menghadapi masalah klasik berkenaan dengan kualitas demokrasi. Berbagai kajian terhadap transisi demokrasi di Asia, Amerika Latin dan Eropa Timur menunjukkan bahwa kelangsungan atau daya tahan demokrasi amat dipengaruhi oleh berlangsung atau tidaknya proses peningkatan mutu demokrasi dari konsepsi minimalis (demokrasi prosedural) menuju bentuk yang lebih substantif dari politik demokratis (demokrasi substansial) (Anderson ed, 1999; Przeworski et al, 1996; Linz & Stephan, 1996). Gejala demikian umumnya disebut sebagai proses pendalaman demokrasi (deepening democracy). Oleh karena itu proses Pemilukada pun semestinya ditempatkan dalam konteks pendalaman demokrasi. Maka, Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 juga harus sudah ditagih sosok substantif-nya ketimbang seremonialnya. Dari pengalaman beberapa kali Pemilukada di kota ini, isu sentral biasanya justru mengarah ke wacana sektarian. Dalam masa kampanye Pemilukada Kota Salatiga tahun 2001 lalu misalnya terpampang spanduk yang menyatakan 'Tujuh puluh persen penduduk Kota Salatiga adalah Muslim, maka Walikota dan Wakil Walikota haruslah Muslim' di jalan depan kantor walikota. Kini 10 tahun telah berlalu, dan Pemilukada untuk memilih Walikota dan Wakilnya pun berlangsung. Pemilukada tahun 2011 ini tentu berbeda dari Pemilukada tahun 2001. Kini rakyat memilih sendiri Walikota dan Wakilnya, bukan hanya sekadar diwakili oleh para anggota DPRD seperti tahun 2001 lalu. Apakah di era pemasaran politik sekarang ini isu sektarian masih akan dikembangkan oleh pasangan calon (Paslon) tertentu? Apakah gaungnya akan sama seperti tahun 2001 dan tahun 2006 lalu? Di tengah tumbuh suburnya wacana dan gerakan sektarian di aras nasional saat ini, akankah wacana semacam itu justru menjadi sarana efektif mendulang suara massa? Dengan latar belakang itulah penelitian tentang Pemilukada Kota Salatiga ini hendak dilakukan.
badan independen BSNP dan pemberlakuan SNP. Terkait dengan SNP, Standar Nasional Pendidikan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi standar nasional pendidikan adalah: a) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, b) sebagai alat penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pada tataran implementasi SNP, ternyata belum berjalan dengan baik. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (2008) yang melakukan pemeriksaan kinerja atas Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan mengambil sampel sekolah-sekolah di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia menghasilkan temuan: a) rata-rata pencapaian SPM pendidikan dengan standar 90 persen dari standar nasional pendidikan baru mencapai angka 85,23 persen, b) jumlah guru yang memiliki kualifikasi sesuai kompetensi baru mencapai 40,26 pesen, dan c) Sarana dan prasarana pendidikan baru mencapai 34,25 persen. Sinyalemen penyebab kurang berhasilnya implementasi SNP adalah persoalan efektivitas, efisiensi dan dualisme standar pendidikan. Khusus dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal.
Rumusan Masalah Penelitian
Ehlers, U.-D. 2007. Quality Literacy - Competencies for Quality Development in Education and e-Learning. Essen, Germany: University of Duisburg.
Dari latarbelakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "bagaimana dinamika proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dilihat dari sudut pandang konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik"
246
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
DAFTAR PUSTAKA Adam, J. 2000. Defining Quality in Education: A paper presented by UNICEF at the meeting of The International Working Group on Education. FlorenceItaly: Programme Division Education -UNICEF. Depdiknas, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS ). Depdiknas. Jakarta.
Harvey, L., 2004. Analytic Quality Glossary, Quality Research International, http:/ /www.qualityresearchinternational.com/glossary/ Nurkolis.2003.Manajemen Berbasis Sekolah:Teori, Model,dan Aplikasi. Jakarta:
Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
167
Grasindo SEAMEO-UNESCO. 2004. Adapting to Changing. SEAMEOUNESCO. Thailand.
PENDALAMAN DEMOKRASI DI ERA PEMASARAN POLITIK:
Schubert,J.G. & Prouty,D. 2005. Accelerating Paths to Quality: A Multi-Faceted Reality. Pittsburgh: American Institut for Educational Research in Collaboration with The University of Pittsburgh.
(Studi Kasus Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011)
Siagian, Harbangan. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Salatiga: Widya Sari Press
Progdi S1 PPKN FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
Sallis, Edward.1993. Total Quality Management in Education. London:Kogan Page Limited.
Saptono
Bambang Suteng Sulasmono
Progdi S1 PPKN FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
Slameto, Suroso & Mawardi.2009. Manajemen Berbasis Sekolah: Suplemen Bahan Ajar Cetak. Jakarta.Dirjen Dikti-Departemen Pendidikan Nasional. Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
ABSTRAK
……….2011. Harian Kompas, 3 Maret 2011
Penelitian ini menelaah dinamika proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dalam konteks konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik. Telaah dilakukan dengan metode kualitatifeksplanatoris. Metode ini berupaya membangun representasirepresentasi berdasarkan pengetahuan yang memadai mengenai kasus Pemilukada Salatiga Tahun 2011 dengan mengaitkannya pada prinsip umum mengenai pola hubungan negara dan civil society dalam masa transisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika proses pemasaran politik dalam Pemilukada Salatiga 2011 belum mampu berkontribusi positif bagi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Ini dimungkinkan karena konfigurasi pemilih masih didominasi oleh pemilih tradisional daripada pemilih rasional dan atau pemilih kritis yang lebih berorientasi pada 'policy-problem-solving'.
……….2011. Harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011
Kata Kunci : pendalaman demokrasi, pemilukada, pemasaran politik
Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan.2007. Kajian Kompetensi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Umaedi.2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Wicaksana, I Wayan Simri. 2008. Model Open Source dan Open Content untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Gunadarma Press. ……….2008. Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia: Laporan Bank Dunia. Jakarta: World Bank
……….2005. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pemilukada merupakan sebagian kecil dari proses demokrasi di daerah. Walaupun demikian Pemilukada tetap memiliki nilai strategis. Melalui proses ini masyarakat menentukan pemimpin daerah yang akan memberikan warna kehidupan sosio-kultural, ekonomi dan politik selama lima tahun berikutnya, paska Pemilukada. Pelaksanaan Pemilukada merupakan salah satu wujud dari komitmen untuk menjalankan sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia. Bersama dengan upaya mewujudkan kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, penggusuran militer dari arena politik praktis, pelaksanaan desentralisasi secara luas, nyata dan bertanggungjawab, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; pemilihan kepala daerah secara langsung
168
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
245
Napitupulu, Washington P. 2001. Universitas Yang Kudambakan, Unesco. Rich, 2008. Ministry of Education, Singapore
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK
Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology (3rd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Slameto Program Studi S1 Bimbingan Konseling FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini menggunakan penelitian dan pengembangan (research and development = R & D). Tujuannya adalah untuk menghasilkan model pembelajaran konstruktivisme yang cocok dengan kondisi mahasiswa PGSD dalam Mata Kuliah Statistik untuk Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Pengembangan model pembelajaran semula dirancang berdasarkan hasil kajian teori dtelaah oleh pakar teknologi pendidikan; kemudian direvisi untuk validasi lapang pada kelas mata kuliah Statistik Pendidikan. Hasil validasi yang berupa penilaian mahasiswa kemudian dianalisis faktor penentu efektivitas model. Penelitian pengembangan ini berhasil mendeskripsikan best/good practices perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa. Telah dihasilkan 5 faktor penentu Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktif. Model Pembelajaran Konstruktif dipandang relevan dengan hakikat pendidikan ke-SDan dan telah terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran Pokok Bahasan Populasi dan Sampel pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan. Oleh karena itu layak untuk dilaksanakan dalam perkuliahan PGSD. Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajaran konstruktive
LATAR BELAKANG Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan merupakan sarana dan wahana yang sangat baik di dalam pembinaan sumber daya manusia. Oleh karena itu, bidang pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif baik oleh pemerintah, keluarga, dan pengelola
244
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
169
pendidikan khususnya. Sekolah adalah tempat mengajarkan anak bahwa berpikir adalah merupakan segala aktivitas mental dalam usaha memecahkan masalah, membuat keputusan, memaknai sesuatu, pencarian jawaban dalam mendapatkan suatu makna. Sekolah adalah juga tempat seseorang untuk belajar menggunakan pikiran dengan baik, tempat pemikiran-pemikiran penting bersumber dan tempat pembiasan belajar. Pola pikiran tinggi dibentuk berdasarkan cara berpikir kritis dan kreatif. Sebagian dari orang tua dan pendidik sepakat bahwa dalam masyarakat sekarang anak-anak sangat memerlukan keahlian pola berpikir tinggi. Berpikir kreatif adalah keharusan, dalam usaha pemecahan masalah, pembuatan keputusan, sebagai pendekatan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan-penemuan keilmuan. Berpikir adalah suatu aktivitas yang bertujuan tertentu serta proses pengorganisasian yang digunakan untuk menguasai dunia. Berpikir kritis diartikan sebagai proses pencarian secara sistematikal terhadap pikiran itu sendiri. Tidak hanya sekedar merefleksi tujuan tapi lebih dari satu ujian bagaimana kita dan yang lain menemukan suatu bukti dan logis. Berpikir kritis dan kreatif diterapkan siswa untuk belajar memecahkan masalah secara sistematis dalam menghadapi tantangan, memecahkan masalah secara inovatif dan mendisain solusi yang mendasar. Anita Woolfolk (2005:323) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik sebagai "... pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami." Definisi lain tentang pendekatan konstruktivistik "... pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial dalam membangun ilmu pengetahuan" Asal kata konstruktivisme yaitu "to construct" berarti "membentuk". Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah
170
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
dahulu harus berperan sebagai model untuk menyatakan kebenaran, menghormati orang lain, menerima dan memenuhi tanggung jawab, bermain jujur, mengembalikan kepercayaan, dan menjalani kehidupan yang bermoral. Guru harus berperan sebagai model akan pentingnya keterlibatan dalam sebuah pencarian kebenaran yang akan berlangsung seumur hidup sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar tidak mudah melakukan sesuatu tindakan yang salah. Guru sebagai pendidik karakter harus mengajar murid-muridnya sebagai individu-individu yang dapat membuat keputusan berdasarkan proses dan prinsip penalaran moral. Dengan cara membantu para siswa untuk mengetahui tentang apa itu nilai-nilai, percaya pada nilai-nilai sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan nilainilai tersebut. Guru dapat memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar dan menerapkan proses penalaran moral. Pelajaran di dalam kelas dan melalui interaksi guru-murid di luar kelas harus didasarkan pada kebajikan. Integritas, kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab harus menjadi ciri khas guru dalam hubungannya dengan siswa. Dalam rangka mengem-bangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui pengembangan sikap saling percaya, memelihara saling percaya dan mengembangkan rasa hormat di antara siswa, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan percaya pada martabat yang melekat pada setiap orang, serta melaksanakan tanggung jawab sebagai guru dengan cara-cara bertanggung jawab secara moral. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar diantaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkan pendidikan karakter, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama. DAFTAR PUSTAKA Akin, Terri, dkk. 1995. Character Education in America's Schools. California : Innerchoice Publishing Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. Englewood Cliffs: Macmillan Publishing Company Kompas, Pendidikan Karakter Mendesak, edisi Sabtu, 20 Februari 2010
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
243
PENUTUP
membangun atas bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara melakukan penafsiran atau interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik dan intelektual tempat mereka hidup. Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau dosen adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan sebagai "scenario of problems", yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap isi atau materi pelajaran. Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning) dan konsep belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori belajar kognitif. Bagi para ahli konstruktivistik, belajar merupakan pemaknaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang dialami oleh individu. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses rekonstruksi pengalaman yang berlangsung secara kontinyu. Siswa membangun pengetahuan baru melalui peristiwa yang dialami setiap saat. Pemberian makna terhadap pengetahuan diperoleh melalui akumulasi makna terhadap peristiwa yang dialami. Duffy dan Cunningham dalam Jonassen (2001) mengemukakan dua hal yang menjadi esensi dari pandangan konstruktivistik dalam aktivitas pembelajaran. (1) Belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun daripada sekedar proses memperoleh pengetahuan. (2) Pembelajaran merupakan proses yang mendukung proses pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan pengetahuan.
Seorang guru yang akan mengembangkan karakter siswa harus menunjukkan bahwa integritas adalah hal yang paling berharga. Guru terlebih
Proses belajar yang berlandaskan pada teori belajar konstruktivis dilakukan dengan memfasilitasi siswa agar memperoleh pengalaman belajar
4. Kultur Sekolah yang Kondusif Kultur sekolah yang baik dan kondusif akan mendukung pertumbuhan setiap individu dalam lembaga pendidikan. Kultur sekolah merupakan jalinan relasi dan interaksi antar anggota komunitas sekolah yang melahirkan spontanitas, pembiasaan, perayaan dan tradisi yang membentuk habit perilaku yang stabil bagi tiap anggota dalam lingkungan sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat, sekolah. Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Budaya sekolah terbentuk dari jalinan relasi, interaksi dan pertukaran simbolis berbagai macam makna sebuah peristiwa, kejadian, yang terjadi dalam diri komunitas sekolah. Dalam artian tertentu, corak relasi dan interaksi antar individu itulah yang membentuk kultur sebuah sekolah. Selain peranan tiap individu, budaya sekolah juga terbentuk melalui tata peraturan, norma-norma sosial, pemahaman moral, dan etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kultur sekolah terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar individu dalam komunitas sekolah. Interaksi dan komunikasi ini membentuk tatanan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan pendidikan. Tata peraturan dan norma sosial ini dibutuhkan karena hubungan dan interaksi dalam lembaga pendidikan lebih ditentukan pada definisi peranan sesuai dengan tata peraturan yang ada. Dengan kata lain, relasi dan interaksi antar individu ini bersifat politis, yaitu ada kekuatan, kewenangan dan kekuasaan tertentu yang dimiliki oleh individu tertentu dalam bersikap dan bertindak dalam kerangka tindakan pendidikan. Karena itulah, kultur yang rusak dalam sebuah lembaga pendidikan hanya bisa dibenahi melalui perbaikan struktur, seperti tata peraturan yang berlaku, pengkondisian lingkungan sosial yang kondusif, serta, konsistensi dari setiap anggotanya untuk tetap bertindak sesuai dengan tatanan serta norma sosial yang berlaku. Jadi, struktur akan mendefinisikan pola perilaku individu, pola perilaku individu satu sama lain akan melahirkan kultur sekolah yang berlaku, dan kultur sekolah ini pada gilirannya akan memperkokoh kembali struktur sosial yang berlaku dalam lingkungan sosial pendidikan tersebut.
242
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
171
yang dapat digunakan untuk membangun makna terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari. Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk. (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu: (1) Merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) Menjelaskan fenomena yang dilihat, (3) Berpikir kritis terhadap tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) Mengatasi masalah yang sedang dihadapi Pembelajaran konstruktif telah menjadi gerakan di lingkungan pendidikan terutama di sekolah dasar melalui program MBS. Oleh karena itu Progdi S1 PGSD sebagai penghasil guru SD juga harus mempersiapkan guru yang mampu mengelola pembelajaran konstruktif. Hasil evaluasi diri Program Studi S1 PGSD menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung selama ini belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan khusus mahasiswa, oleh karena jumlah mahasiswa yang besar dan bervariasi memang memerlukan model-model pembelajaran yang lebih mampu mengakomodasi belajar mereka. Di samping itu perkembangan pesat di bidang teknologi pembelajaran, termasuk berkembangnya berbagai model pembelajaran yang kokoh bangunan teorinya, telah teruji melalui berbagai penelitian dan telah memiliki panduan pelaksanaan yang baku, belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para dosen Program Studi S1 PGSD. Pengembangan model pembelajaran konstruktif ini diharapkan akan berdampak bagi peningkatan kemampuan dosen Progdi S1 PGSD baik dalam mengelola perkuliahan, merancang dan mengujicobakan model-model pembelajaran inovatif lainya maupun dalam melakukan perbaikan perkuliahan pada umumnya. Tujuan Pengembangan Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini adalah untuk mendeskripsikan best/good practices Perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Dengan demikian tujuan dari ujicoba Model Pembelajaran Konstruktif pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan ini adalah: 1. Memperbaiki kualitas proses pembelajaran dalam Perkuliahan Statistik Pendidikan program studi PGSD dengan meng-ujicobakan Model Pembelajaran Konstruktif yang dipandang relevan dengan hakikat 172
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Hal ini berarti bahwa keluarga menjadi dasar dari pembentukan nilai-nilai yang akan dijadikan acuan dalam mengembangkan karakter, dan sekolah akan semakin memperluas wawasan anak akan nilai kehidupan yang akan memperkuat perkembangan karakter. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat luas juga sudah seharusnya mendukung nilai-nilai penting dalam kehidupan. Banyak contoh di masyarakat yang sangat kontradiktif, misalnya di rumah dan di sekolah anak diajar mengenai konsep kebersihan. Padahal di masyarakat kepedulian terhadap kebersihan sangat memprihatinkan. Di rumah dan di sekolah anak belajar mengenai kedisiplinan, tetapi di jalan raya ternyata kedisiplinan bukanlah suatu hal yang dianggap panting. Sama halnya dengan kekerasan, yang tidak ditunjukkan oleh masyarakat luas di mana toleransi, cinta damai, dan penghargaan akan kebhinekaan tidak tampak pada masyarakat yang lebih luas. 2. Lingkungan yang Nyaman dan Menyenangkan Model ini membangun lingkungan secara total agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya siswa-siswa berkarakter. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya nurani/batin anak. 3. Kurukulum dan Modul yang Berbasis Karakter Kurikulum disusun berdasarkan prinsip keterkaitan antar materi pembelajaran tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD dan SMP yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
241
3) Membantu siswa memahami orang-orang di sekitarnya. Manusia adalah mahluk individual yang bebas dalam memilih dan menentukan kehidupannya, dan sekaligus manusia adalah mahluk sosial yang ada dan hidup di antara manusia-manusia lain, dan tergantung dari manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, dalam menentukan pilihan hidupnya dan memenuhi kebutuhannya, manusia harus selalu mempertimbangkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain menjadi komponen yang sangat penting sebagai mahluk sosial. Hal ini berarti bahwa rasa hormat dan penghargaan akan keberadaan orang lain menjadi sangat penting. Demikian juga kesadaran bahwa norma-norma serta adat istiadat di mana manusia berada dan tinggal, harus dihargai dan dihormati. 4) Membimbing siswa agar mampu membuat keputusan. Dalam setiap sisi kehidupan manusia selalu dihadapkan pada pilihan untuk kemudian ia harus membuat suatu keputusan, karena membuat keputusan merupakan satu cara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Manusia juga harus menyadari bahwa keputusan yang dibuat selalu diikuti oleh konsekuensi. Membuat keputusan bukanlah suatu hal yang mudah, dan membutuhkan suatu keterampilan tersendiri. Dalam membuat keputusan, diperlukan kemampuan berpikir kreativitas serta kemampuan untuk memecahkan masalah. Ketrampilan membuat keputusan dapat dikembangkan melalui berbagai latihan. Faktor penting dalam membuat keputusan adalah informasi dan pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Dengan memperoleh informasi dan pengetahuan yang cukup, maka manusia dapat membuat keputusan dengan konsekuensi yang paling kecil dan ringan. FAKTOR PENDUKUNG PERWUJUDAN PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER 1. Kerjasama Orang tua, Sekolah dan Masyarakat Nilai-nilai kehidupan dipelajari melalui pola-pola dan kebiasan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada - di sekitar individu. Anak meniru dari orang tuanya, dan bila ia sudah sekolah anak meniru dari guru, temanteman di sekolah dan orang-orang lain yang ada di sekolah. Di lingkungan yang lebih luas masyarakat menjadi acuan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa pendidikan karakter akan lebih efektif bila dijalankan melalui proses penyadaran dan pembiasaan. Proses pembiasaan tidak hanya tercipta di keluarga, tetapi juga di sekolah dan 240
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
pendidikan ke-SD-an. 2. Menghasilkan Model Perkuliahan Berbasis Konstruktif yang terbukti efektif untuk meningkatkan hasil pembelajaran Mata Kuliah Statistik Pendidikan di program studi PGSD. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran dosen ke pikiran mahasiswa. Artinya, bahwa mahasiswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, mahasiswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak dosen. Tasker (Hamzah: 2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama, adalah peran aktif mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua, adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (Hamzah: 2008) mendukung pendapat tersebut dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif mahasiswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua, pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (Hamzah: 2008) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
173
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan mahasiswa dalam mengkonstruksi dan mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan mahasiswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh dosen. Konstruksi pengetahuan (Pribadi, B.A. 2009) merupakan proses berpikir dan menafsirkan tentang suatu peristiwa yang dialami. Setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Oleh karenanya pengetahuan yang dimiliki oleh individu merupakan pengetahuan yang bersifat unik pula. Proses belajar dalam diri individu dapat dikatakan telah terjadi apabila pengetahuan yang telah dimiliki dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman baru secara utuh, lengkap dan lebih baik daripada sebelumnya. Mahasiswa perlu mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru merupakan hal yang prinsip untuk membangun ilmu pengetahuan.Tujuan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran menurut Pribadi, B.A. (2009) adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang dipelajari. Implementasi pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan beberapa komponen penting sebagai berikut: 1. Belajar aktif (active learning) 2. Mahasiswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional. 3. Aktivitas belajar harus menarik dan menantang. 4. Mahasiswa harus dapat mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut "bridging". 5. Mahasiswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari. 6. Dosen harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan. Dalam 174
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Doronglah siswa untuk melakukan refleksi moral dengan jalan membaca, menulis dan diskusi Beri siswa kesempatan untuk merespon isu-isu moral.
Pada sisi lain, di Indonesia selama ini pendidikan karakter dilaksanakan juga melalui pendidikan kecakapan hidup atau Life Skills Education. Life skills education merupakan salah satu pendekatan dalam pendidikan yang banyak digunakan untuk membantu perkembangan anak dan remaja. Empat komponen penting dan mendasar dalam pendidikan karakter, yang tercakup di dalam life skills education adalah 1) pemahaman akan siapa aku; 2) pemahaman akan apa tujuan hidupku; 3) pemahaman akan siapa orang-orang yang ada di sekitarku; dan 4) keterampilan untuk membuat suatu keputusan melalui berpikir kritis dan pemecahan masalah. Peran guru dalam pendidikan karakter melalui life skill education tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Membantu siswa untuk memperoleh pemahaman diri. Pemahaman diri merupakan dasar dari pembentukan karakter. Pemahaman diri menyadarkan individu bahwa setiap manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dianugerahi kelebihan dan kekurangan masingmasing. Setiap manusia berbeda dari manusia yang lain. Oleh karena itu setiap manusia adalah unik. Keunikan manusia harus disyukuri, dihargai serta dihormati. Cinta kasih Tuhan YME yang tanpa syarat merupakan dasar dari penciptaan Tuhan akan manusia dan alam sekitar. Sebagai rasa hormat kepada sang pencipta, maka manusia juga harus menghormati seluruh ciptaanNya, yaitu diri sendiri, manusia lain dan alam sekitar. Dengan memahami "Siapa Aku" maka manusia menjadi lebih bisa bersikap rendah hati, tidak sombong, percaya diri, berpikir positif, peduli akan lingkungan, disiplin, menahan emosi dan mengontrol diri, serta bertanggung jawab dalam bersikap dan berperilaku. 2) Membantu siswa memahami tujuan hidupnya. Menurut Raths (dalam Seifert, 1983) salah satu cara untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang dihayati oleh siswa adalah dengan meminta siswa untuk mengekspresikan dan menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup mereka". Apa yang ingin dicapai dalam jangka waktu dekat dan apa yang ingin dicapai dalam jangka panjang? Apa yang biasanya dilakukan dalam waktu senggang? Apa kegiatanya sehari-hari? Apa yang ia suka dan tidak suka? Apa yang seringkali ia takutkan dan dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan? Pertanyaanpertanyaan tersebut membantu siswa untuk merefleksikan dan meninjau kembali apa makna kehidupan bagi dirinya. Pertanyaan tersebut juga mengajak siswa untuk merefleksikan apakah tujuan hidup yang dipilihnya Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
239
b) Menggunakan kata-kata untuk Membangun Karakter • Nyatakan pembinaan karakter dalam kalimat anjuran yang positif, seperti : "datanglah tepat waktu", "perlakukan teman lain secara adil", " lakukan yang terbaik", "jaga perkataan kamu" dll. Hindari penggunaan kata-kata negatif seperti "jangan terlambat", "jangan nakal", dan "jangan pernah ingkar janji". • Ajarkan nilai secara langsung. Gunakan kata-kata seperti layak dipercaya, hormat, tanggungjawab, peduli dsb, tuliskan dan definisikan, identifikasi perilaku yang terkait dengan nilai tersebut dan beri kesempatan siswa untuk mempraktikkan perilaku-perilaku tersebut. c) Menciptakan/Memanfaatkan Lingkungan • Bantulah siswa untuk mengenal satu sama lain, saling hormat dan peduli satu sama lain, dan mengalami perasaan sebagai bagian dari kelompok • Melalui belajar kooperatif ajari siswa untuk saling menolong satu sama lain dan bekerja sama. • Tunjukkan gambar, foto-foto orang ternama, poster-poster, dan kutipan-kutipan pendapat yang mencerminkan tujuan moral yang tinggi dan tujuan-tujuan dari kelas Anda. • Ajarkan nilai bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat. d) Mengembangkan ketrampilan Peserta Didik • Tanamkan nilai-nilai kewarganegaraan dengan melakukan rapat kelas, untuk mendiskusikan masalah yang muncul • Libatkan siswa dalam pengambilan keputusan dan berbagi tanggungjawab dalam mewujudkan kelas sebagai tempat yang positif untuk belajar Ajarkan proses pengambilan keputusan yang mendorong siswa untuk membuat pilihan sadar di antara berbagai pilihan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bukan saja dari segi keefektifan relatifnya dalam mencapai tujuan, namun juga dari sisi konsekuensi moralnya. Ajarkan ketrampilan untuk mendengar, berkomunikasi, kepedulian (assertiveness), memecahkan masalah, resolusi konflik dan mengelola penolakan atau resistensi. Beri kesempatan pada siswa untuk membuat pilihan Gunakan subyek akademik sabagai sarana untuk menguji isu-isu etis
238
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
Dalam hal ini, dosen tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai penyaji informasi. 7. Dosen harus dapat memberi bantuan berupa scafolding yang diperlukan oleh mahasiswa dalam menempuh proses belajar. Pendekatan konstruktivistik menghendaki peran dosen yang berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Dosen tidak lagi berperan sebagai seorang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar (learning experience) yang dapat membantu mahasiswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Dosen perlu melatih mahasiswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari. Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivistik dapat memberikan hasil yang optimal, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian. Newby, dkk. (Pribadi, B.A. 2009) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran yaitu sebagai berikut: 1. Berikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata. Belajar terjadi manakala mahasiswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam mengatasi suatu permasalahan. 2. Ciptakan aktivitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung melalui interaksi sosial antara dosen dan mahasiswa dalam menggali dan mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki. 3. Ciptakan model dan arahkan mahasiswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan. Dosen dan mahasiswa bekerja bersama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan. Dosen, yang pada umumnya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas/ekstensif, perlu memberi arah yang konsisten agar mahasiswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna. PENGEMBANGAN DESAIN MODEL PEMBELAJARAN Sebelum lebih jauh membahas tentang model desain sistem pembelajaran, terlebih dahulu kita perlu mengenal istilah model. Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut (Pribadi, B.A. 2009). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
175
Pola pikir dan komponen-komponen yang terdapat di dalam disain sistem pembelajaran biasanya digambarkan dalam bentuk model yang direpresentasikan dalam bentuk grafis atau flow chart. Model disain sistem pembelajaran biasanya menggambarkan langkah-langkah atau prosedur yang perlu ditempuh untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif, efisien dan menarik. Menurut Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, B.A. 2009), model desain sistem pembelajaran ini akan membantu Anda - sebagai perancang program atau kegiatan pembelajaran - dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Model disain sistem pembelajaran berperan sebagai alat konseptual, pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis, merancang, menciptakan, mengevaluasi program pembelajaran. Pada umumnya, setiap disain sistem pembelajaran memiliki keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Perbedaan juga kerap terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun demikian, model-model desain tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas. Fausner (Pribadi, B.A. 2009) berpandangan bahwa seorang perancang program pembelajaran tidak dapat menciptakan program pembelajaran yang efektif jika hanya mengenal satu model disain. Perancang program pembelajaran harus mampu memilih disain yang tepat dan sesuai dengan situasi atau setting pembelajaran yang spesifik. Untuk itu diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang model-model disain sistem pembelajaran dan cara mengimplementasikannya. Model Disain Belajar Konstruktivis sebagai model mikro, menekankan proses belajar yang dialami oleh peserta didik. Model ini disusun berdasarkan teori konstruktivisme, menurut Prawiradilaga (2009) bermanfaat untuk: 1. Membina peserta didik menjadi lebih mandiri 2. Mengembangkan daya kreativitas peserta didik karena ia harus memperlihatkan hasil belajar atau karyanya 3. Berlatih bekerja sama dengan anggota tim peserta didik. 4. Keterbatasan dari model ini menurut Prawiradilaga (2009) diantaranya: 5. Belum banyaknya penelitian terkait model ini yang mengindikasikan keefektifan model 6. Kemungkinan pengajar yang belum terbiasa akan lebih sulit untuk menerapkan model ini 7. Melatih peserta didik untuk refleksi, mandiri, dan menilai diri sendiri tidak mudah.
176
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
jawab guru pun menjadi lebih kompleks dan berat. Guru bukan hanya pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, budaya, dan moral bagi para peserta didiknya. Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui peserta didik dan seharusnya diketahui oleh peserta didik.Tugas manusiawi adalah tugastugas membantu peserta didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Jelas bahwa Guru adalah frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya, dan moral. Kesejahteraan suatu bangsa yang ditopang oleh pilar kemajuan teknologi dan ekonomi sangat bergantung pada kemajuan pendidikan karena sistem yang dibangun suatu negara tidak akan berhasil tanpa dukungan SDM yang berkualitas. Peran guru menjadi sangat esensial dalam perspektif pengembangan karakter bangsa melalui proses pendidikan yang berkualitas. Hal hal yang perlu dilakukan oleh Guru dalam proses pendidikan karakter menurut Akin dkk (1995) adalah sebagai berikut: a) Menjadi Model Perilaku bagi Peserta Didik • Perlakukan siswa dengan kasih sayang dan rasa hormat, berikan contoh yang baik. • Bagikan keyakinan-keyakinan moral Anda dengan para siswa • Ceriterakan layanan kemasyarakatan yang telah Anda lakukan • Rumuskan tujuan tujuan akademis dan moral yang jelas bagi kelas Anda • Sajikan pembelajaran yang terencana dengan baik • Mengajarlah dengan antusias • Kembalikan pekerjaan siswa sesegera mungkin • Jangan menggosip tentang siswa atau teman sekerja • Tunjukkan tenggangrasa terhadap guru lain • Dampingi siswa yang bermasalah.
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
237
Namun perlu disadari bahwa generasi unggul semacam demikian ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka sungguh memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi anakanak itu dapat tumbuh optimal sehingga menjadi lebih sehat, cerdas dan berperilaku baik. Dalam hal ini guru dan orang tua mempunyai peran yang amat penting. PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Dalam UU Guru dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sementara itu Slavin (1994) menjelaskan bahwa performa mengajar guru meliputi aspek kemampuan kognitif, keterampilan profesional dan keterampilan sosial. Sedang Borich (1990) menyebutkan bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses belajar-mengajar di kelas ditandai oleh penguasaan materi pelajaran, kemampuan penyampaian materi pelajaran, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan, antusiasme, kepedulian, dan keramahan guru terhadap siswa. WF Connell (1972) menyebut tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Oemar Hamalik, tugas dan tanggung jawab guru meliputi 11 macam, yaitu: guru harus menuntun murid-murid belajar, turut serta membina kurikulum sekolah, melakukan pembinaan terhadap diri anak (kepribadian, watak, dan jasmaniah), memberikan bimbingan kepada murid, melakukan diagnose atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar, menyelenggarakan penelitian, mengenal masyarakat dan ikut aktif di dalamnya, menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila, turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia, turut mensukseskan pembangunan, dan tanggungjawab meningkatkan professional guru. Pandangan-pandangan di atas menegaskan bahwa peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini semakin meningkat dari sekedar pengajar menjadi direktur belajar. Konsekuensinya, tugas dan tanggung 236
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
DISAIN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Disain Belajar Konstruktivis sebagai model mikro, menekankan proses belajar yang dialami oleh mahasiswa. Model ini disusun berdasarkan teori konstruktivisme. Sudah tentu mahasiswa berperan jauh lebih aktif dan menempati porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan model Kegiatan Belajar Mengajar pada umumnya (berbasis behavioristik). Kekhasan model ini (Prawiradilaga, 2009) diantaranya: 1. Model disain pembelajaran yang mengkhususkan diri pada terjadinya proses belajar dan peserta didik yang proaktif 2. Strategi belajar termasuk pengembangan belajar tim yang diterapkan secara intensif 3. Aspek refleksi dimaksudkan agar peserta didik juga berperan dalam menilai proses belajarnya. Ia harus bisa mengantisipasi masalah belajar. Selain itu, ia juga dilatih untuk mengatasi masalah belajar tadi dengan bantuan pengajar. Selanjutnya model pembelajaran berbasis konstruktivisme (Prawiradilaga, 2009) adalah seperti berikut ini. Gagnon dan Collay (Pribadi, B.A. 2009) mengemukakan sebuah disain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik. Disain yang dikemukakan terdiri atas beberapa komponen penting dalam pendekatan aliran konstruktivistik yaitu situasi, pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi dan refleksi. Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme Situasi
Apa kegunaan episode belajar yang Anda ajarkan? Bagaimana Anda mengetahui bahwa mahasiswa Anda sudah selesai dan mencapai tujuan belajarnya? dan seterusnya.
Tim
Pengelompokkan mahasiswa tergantung situasi yang Anda rancang dan materi ajar yang tersedia. a. Mahasiswa - bagaimana Anda akan mengelompokkan mereka agar mereka dapat belajar dan mencapai tujuan dengan berhasil? b. Materi-apakah Anda berharap semua mahasiswa terlibat aktif dengan semua kegiatan, bagaimana dengan pemikiran kolaboratif mereka
Penghubung (bridge)
Kegiatan apa yang akan Anda pilih sebagai penghubung antara pengetahuan prasyarat dengan pengetahuan atau kemampuan yang akan mereka pelajari?
Pertanyaan
Pertanyaan apa yang akan Anda ajukan terkait dengan elemen Desain Belajar Konstruktivis? Apa saja pertanyaan pemandu yang akan Anda ajukan untuk menjelaskan tentang situasi, pengelompokkan dan penghubung?
Pameran
Bagaimana mahasiswa akan ‘memamerkan’ hasil karya mereka sebagai bukti bahwa mereka telah mencapai pemahaman?
Refleksi
Bagaimana mahasiswa akan merefleksikan hasil belajar meraka, apa yang sudah mereka lakukan, pelajari atau apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah?
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
177
1. Situasi Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Selain itu, dalam komponen situasi juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui. 2. Pengelompokkan Komponen pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivis memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat. Pengelompokkan sangat bergantung pada situasi atau pengalaman belajar yang ingin dilalui oleh mahasiswa. Pengelompokkan dapat dilakukan secara acak (random) atau didasarkan pada kriteria tertentu (porposive). 3. Pengaitan Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru. Bentuk-bentuk kegiatan pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui pemecahan masalah atau diskusi topik-topik yang spesifik. 4. Pertanyaan Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Dengan munculnya gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, siswa dapat membangun pengetahuan di dalam dirinya. 5. Eksibisi Komponen eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman belajar. Pengetahuan seperti apa yang telah dibangun oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik? Pertanyaan seperti ini perlu dijawab untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa. 6. Refleksi Komponen ini pada dasarnya memberi kesempatan kepada dosen dan mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga memberi 178
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anakanak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Sekolah, adalah lembaga sosial kedua setelah keluarga yang mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter dan watak anak. Interaksi anak dengan guru, teman, administrator sekolah, akan memperluas pengetahuan dan wawasan anak serta penghayatan mereka mengenai nilainilai kehidupan yang penting bagi perkembangan dirinya, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Pada bab II past UU RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab". Dari apa yang tercantum dalam undang-undang tersebut dimaknai bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan lembaga sekolah tidak dapat diartikan hanya sebagai proses pengalihan pengetahuan dari keterampilan dari guru ke siswa. Lebih daripada itu, pendidikan yang dilaksanakan harus dapat rnembentuk watak atau karakter yang lebih baik dari para peserta didik, dan dengan menjadi lebih baik berarti pula bahwa ia akan menjadi lebih bermartabat. Membangun karakter anak sejak dini, sangat penting bagi orang tua dan guru, harapannya agar anak sejak dini memiliki karakter yang baik. Membangun karakter anak dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, non formal maupun informal. Pada dasarnya setiap pendidik mendambakan anak-anak yang cerdas dan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga mereka kelak akan menjadi anak-anak yang unggul dan tangguh menghadapi berbagai tantangan dimasa depan. Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
235
Informasi tersebut hanyalah sebagian dari fenomena gunung es merosotnya nilai-nilai moral dalam kehidupan para remaja kita. Tawuran pelajar, maraknya peredaran narkoba di kalangan siswa, adanya siswa yang terlibat dalam tindakan kriminal, dan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya merupakan keprihatinan kita bersama. Tidak hanya di kalangan remaja saja, secara umum bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai problem dan krisis kebangsaan yang serius. Gejala beberapa karakter negatif yang melanda bangsa ini, seperti: budaya korup, hipokrit, materialistik, lebih menyukai jalan pintas, intoleran, kekerasan, distrust (ketidakpercayaan kepada pihak lain), dan lain-lain. Berbagai permasalahan silih berganti menyita perhatian semua anak bangsa. Jika tidak segera ditangani dan diantisipasi, maka problem dan krisis itu bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini, dari karakter positif ke negatif. Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah mempraktekkannya. Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolahsekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata 234
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki. Pendekatan konstruktivistik dapat diaplikasikan pada semua jenjang dan satuan pendidikan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pendekatan konstruktivistik adalah memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk membangun pengetahuan dengan menggunakan beragam sumber belajar yang tersedia. DISAIN AWAL PRODUK: MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Desain sistem pembelajaran yang berlandaskan pendekatan konstruktivistik perlu memasukkan komponen-komponen pembelajaran yang menjadi prinsip pendekatan konstruktivistik seperti yang dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (Pribadi, B.A. 2009), yaitu situasi, pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi, dan refleksi. Berikut ini adalah disain awal yang akan dikembangkan yaitu desain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivistik (bandingkan dengan contoh Pribadi, B.A., 2010). Disain awal produk berikut ini, merupakan disain sistem pembelajaran pada mata kuliah Statistik Pendidikan bagi mahasiswa PGSD untuk Pokok Bahasan Populasi dan Sampel; materi lengkap yang terdapat pada lampiran masih perlu penyesuaian dengan aktivitas pembelajaran yang dirancang seperti pada tabel 2. Berdasarkan disain awal pembelajaran berbasis konstruktivistik di atas, para mahasiswa akan memperoleh pengalaman belajar yang dapat memungkinkan mereka membangun pengetahuan yang sedang dipelajari. Dosen perlu bertindak kreatif agar dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi mahasiswa. Hal ini merupakan kunci bagi penggunaan pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Metode, media, dan strategi pembelajaran yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik akan dipilih agar dapat mendukung mahasiswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Demikian pula halnya dengan penggunaan media pembelajaran, akan dipilih dengan cermat agar dapat mendukung mahasiswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari dan sesuai dengan aktivitas pembelajaran konstruktivistik. Sebagai contoh, penggunaan media power point yang menayangkan isi program perkuliahan perlu diikuti dengan kegiatan diskusi yang memungkinkan mahasiswa membangun pengetahuan dan keterampilan.
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
179
Media pembelajaran yang digunakan harus dapat memicu terjadinya proses berpikir mahasiswa dalam rangka membangun kompetensi. Sekalipun sudah dirancang pada perangkat pembelajaran (seperti pada materi terlampir), penetapan/pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan masih perlu direvisi sehingga benar-benar dapat melatih mahasiswa untuk mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Revisi didasarkan hasil validasi/masukan pakar. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivistik adalah penggunaan instrumen evaluasi dan penilaian hasil belajar. Beragam instrumen evaluasi hasil belajar pada dasarnya dapat digunakan dalam pendekatan pembelajaran konstruktivistik.
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER*) Yari Dwikurnaningsih Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Merosotnya nilai- nilai moral dalam kehidupan para remaja kita yang ditandai dengan tindakan-tindakan tidak terpuji, merupakan keprihatinan bersama karena bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini. Kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa mendorong para ahli pendidikan merumuskan konsepkonsep tentang pendidikan karakter dan mempraktekannya. Sekolah adalah lembaga sosial kedua setelah keluarga yang mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter dan watak anak. Peran guru dalam pendidikan karakter adalah menjadi model perilaku bagi peserta didik, menggunakan kata-kata untuk membangun karakter, menciptakan/memanfaatkan lingkungan, mengembangkan ketrampilan peserta didik dalam mengambil keputusan dan berbagi tanggung jawab serta mengembangkan karakter siswa melalui Life Skills Education. Faktor pendukung perwujudan peran guru adalah: kerjasama orang tua, sekolah dan masyarakat; lingkungan yang nyaman dan menyenangkan; kurikulum dan modul yang berbasis karakter dan kultur sekolah yang kondusif.
Tabel 2. Aktivitas Pembelajaran Tingkat Topik Mata Kuliah Pengampu Waktu No
Komponen
: : : : :
Perguruan Tinggi Populasi dan Sampel Statistik Pendidikan Slameto 90 menit Aktivitas Pembelajaran
1
Situasi (5 menit)
Tujuan dari pembelajaran ini adalah mengenalkan konsep populasi, dan sampel. Materi yang akan diajarkan meliputi konsep populasi dan sampel, metode dan teknik sampling, serta penentuan besarnya sampel.
2
Pengelompokan (5 menit)
Mahasiswa terbagi dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan maksimal 5 orang. Setiap kelompok mendapat sejumlah topik penelitian beserta keterangan singkatnya. Kelompok pertama bertugas menganalisa alasan, manfaat dan tujuan dari diadakannya penarikan sampel. Kelompok kedua menganalisa topik-topik mana saja yang memerlukan penarikan sampel dari populasi. Kelompok ketiga menganalisis teknik sampling yang paling tepat bagi topik-topik tertentu. Kelompok keempat bertugas menghitung banyaknya sampel dari sebuah populasi dalam beberapa topik penelitian. Kelompok kelima bertugas menganalisis dampak dan follow up dari penentuan sejumlah sampel tertentu dari populasi.
3
Pengaitan (10 menit)
Dosen menjelaskan secara singkat tentang langkah-langkah menarik sampel yang meliputi pencarian informasi mengenai besarnya populasi, penentuan tingkat kesalahan, menentukan proporsi sampel dari populasi, teknik sampling, dan diperolehnya sejumlah sampel dengan kriteria tertentu.
4
Pertanyaan (20 menit)
5
Eksibisi (40 menit)
Dosen mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa mengenai hal-hal berikut: 1. Apa alasan diadakannya penarikan sampel dalam penelitian? 2. Apa yang dimaksud dengan populasi? 3. Cara apa saja yang dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya sampel? 4. Bagaimana supaya sampel dapat mewakili populasi? 5. Apa cirri-ciri sampel yang baik? Kelompok diminta mengemukakan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan sesuai dengan tugas masing-masing. Pada saat pemaparan opini, kelompok lain dapat memberikan opini, mengajukan pertanyaan, dan diskusi. Setiap kelompok maju sesuai dengan sistematika materi yang telah ditetapkan.
6
Refleksi (10 menit)
Pada akhir sesi pembelajaran, guru atau instruktur meminta pendapat atau pandangan mahasiswa tentang pengetahuan yang telah diperoleh dari proses pembelajaran tentang populasi-sampel
Kata Kunci: peran guru, pendidikan karakter.
PENDAHULUAN Dalam situs resmi BKKBN terungkap berita yang mengejutkan, yaitu menurut hasil survei di 33 provinsi tahun 2008 yang dilakukan oleh salah satu lembaga, 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. Persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, Makalah disajikan pada One Day Seminar “Membangun Pendidikan yang Berkulaitas dan Berkarakter” yang diselenggarakan oleh YSK Widyawacana Surakarta, 13 November 2010. *)
180
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
233
Namun instrumen yang akan digunakan pengembang akan disusun berdasarkan kemampuan instrumen tersebut ketika mengukur hasil belajar mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Oleh karena itu, tidak cukup hanya berbentuk obyektif, tetapi juga tes uraian yang dilengkapi tes kinerja/performance. Ketiga jenis instrumen ini dipandang sesuai untuk digunakan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivistik, karena jenis tes ini bersifat sistematik, digunakan untuk melakukan evaluasi hasil belajar yang tidak dapat diukur melalui tes obyektif. Walaupun tes obyektif dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar, khususnya aspek kognitif, namun performance test sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengetahui tingkat pencapaian kemampuan mahasiswa yang bersifat nyata. Menurut Grondlund (1993), ada beberapa aspek hasil belajar yang dapat diukur secara efektif melalui penggunaan performance test yaitu: • Kemampuan dalam mengidentifikasi, misalnya menentukan bagianbagian dari suatu sistem sebagai suatu keseluruhan • Kemampuan membangun atau mengkonstruksi, yaitu keterampilan dalam menyusun komponen-komponen menjadi satu kesatuan utuh, dan • Kemampuan dalam melakukan atau mendemonstrasikan sesuatu, seperti mengoperasikan peralatan atau menerapkan proses atau prosedur. PELAKSANAAN DAN HASIL PENGEMBANGAN Berdasarkan materi ajar Penelitian Pendidikan SD 2011 unit 9 Populasi dan Sampel, pengembangan model pembelajaran konstruktivisme ini dilaksanakan pada mata kuliah statistik pendidikan untuk 1 pertemuan pada 2 kelas. Langkah -langkah yang ditempuh adalah seperti berikut ini. 1. Pendahuluan (10') Pembukaan dengan penjelasan tentang materi bahasan dan kompetensi yang akan dikuasai melalui pokok bahasan ini; serta proses perkuliahan sesi pertemuan ini. 2. Bekerja kelompok (50') Pembentukan kelompok, disepakati menggunakan kelompok yang sudah terjadi untuk kegiatan perkuliahan yang lalu sehingga ada 6 kelompok kemudian dilanjutkan dengan pengaturan tempat duduk dan peserta memasuki kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok mendalami materi tertulis yang diterimanya (seperti terlampir); Setiap kelompok diberi kebebasan menetapkan cara untuk mempelajarinya: 1 kelompok memilih membaca bersama dan membuat peta kosep 232
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
181
kemudian berdiskusi 1 kelompok memilih untuk 2 peserta membaca dalam hati (menyimak) dan dilanjutkan melaksanakan tugas seperti yang ada pada Unit Materi 2 kelompok masing-masing membagi materi menjadi 2 sesuai Sub Unit yang ada dengan membuat tanda-tanda dengan catatan kecil; kemudian mengerjakan latihan dan tes formatif 1 kelompok menyururuh 1 anggota membaca materi, anggota lainnya mencatat terus berdiskusi 1 kelompok yang terdiri dari 5 orang anggota, membagi diri menjadi 2 sub kelompok (3 anggota laki-laki membaca materi kemudian mencatat; 2 anggota perempuan membaca dan mengerjakan latihan soal). 3. Diskusi Tema setiap kelompok 1 tema (10') Apa alasan diadakannya penarikan sampel dalam penelitian? Apa yang dimaksud dengan populasi? Cara apa saja yang dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya sampel? Bagaimana supaya sampel dapat mewakili populasi? Apa ciri-ciri sampel yang baik? Apa kelebihan dan kelemahan teknik sampling yang ada pada materi? Dilanjutkan dengan pertanyaan: Apa komentar dan saran kelompok?) Terdapat 1 kelompok yang lebih cepat selesai, kemudian melanjutkan mengerjakan latihan. Namun ada juga 1 kelompok yang masih sibuk mencatat hasil oleh sekretaris. Latihan yang mereka pilih adalah menghitung sampel. 4. Presentasi/Ekzibisi hasil kerja kelompok (15') Salah satu contoh hasil kerja kelompok dalam bentuk peta konsep seperti terlampir 5. Berdasarkan hasil presentasi diajukan beberapa pertanyaan kepada dosen tentang rumus dan penggunaannya, tingkat kepercayaan, tabel Krice, nomogram dan konfirmasi penghitungan. 6. Refleksi (5') penyimpulan dan tindak lanjut (latihan dan atau tes formatif yang belum dikerjakan dengan tuntas dipakai sebagai PR 7. Pengisian lembar balikan juga di PR-kan karena waktu sudah habis. VALIDASI MODEL BERDASARKAN PENILAIAN MAHASISWA Dengan menggunakan 17 item yang dijabarkan dari model pembelajaran konstruktivisme yang dinilai oleh mahasiswa setelah akhir perkuliahan diperoleh hasil seperti berikut ini.
182
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
DAFTAR PUSTAKA Asmin. 2003. Problem Solving Matematika Realistik. Medan: Universitas Medan. Conroy J.S, Sutriyono.1998. Problem Solving Skills with Ratios, and Mathematical Perceptions of Student Enrolled in the Program D2 PGSD. Satya Widya, Vol.9 No.2, hal:89-101. Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Pusat Kurikulum. Balitbang. Dube, Lilia. Modeling Mathematical Problem Solving Behaviour. Miami : D & D American Technologies Inc. Firdaus, Ahmad. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pembelajaran Menggunakan Tugas Bentuk Super Item. Bandung. Tesis: UPI Bandung. Fitriani, Andhin Dyas. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Strategi Means-Ends Analisis (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas X-4 SMAN 24 Bandung Tahun Ajaran 2005/2006). Bandung. Skripsi: UPI Bandung. Hafriani. 2004. Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Mahasiswa Melalui Problem-Centered Learning: Penelitian Tindakan Kelas Pada Mahasiswa Jurusan Tadris Matematika IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Gelar Magister Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika. Bandung. Tesis: UPI Bandung. Pomalato, Sarson Waliyatimas Dj. 2005. Pengaruh Model Treffinger dalam Pembelajaran Matematika dalam Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Bandung. Gelar Doktor Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika. Tesis: UPI. Sutriyono. 2005. A Simple Guide for Teaching Problem Solving. Salatiga: Widya Sari. Sutriyono. 2005. Menghayati Pendidikan Matematika. Salatiga: Widya Sari. Wiji, Unggul. 2001. Analisa Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal Turunan Fungsi Trigonometri Kelas II Cawu II SMU Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2000/2002. Yogyakarta. Skripsi: Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa. Mumun Syaban. Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa. Jurnal Pendidikan dan Budaya, Vol.IX No.7 Hal.45.
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
231
Pada ilustrasi tersebut memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi proporsional. Pada ilustrasi tersebut, responden kurang cermat dalam melakukan pengerjaan yang menghasilkan jawaban salah. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam menyelesaikan soal proporsi, mahasiswa S1 Pendidikan Matematika menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-sintetik. Di antara kedua pendekatan tersebut yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa adalah pendekatan Analitik-Sisntetik (81,51%), disusul dengan sedikit pendekatan Holistik yang hanya 18,49 persen mahasiswa saja. Dalam pendekatan Analitik-Sisntetik terdapat dua strategi kognitif yang digunakan, yaitu strategi linguistik dan strategi proporsioanl. Tidak ada mahasiswa yang menggunakan strategi fungsional dalam menyelesaikan masalah proporsi tersebut. Temuan strategi yang digunakan ini berbeda dengan temuan dari Conroy dan Sutriyono (1998) yang dalam penelitiannya menemukan tiga strategi kognitif, yaitu linguistik, proporsional, dan fungsional. Dalam penelitian Conroy dan Sutriyono yang menjadi responden adalah mahasiswa D2 PGSD (Program 2 tahun untuk mendidik calon guru SD), sedangkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 Pendidikan Matematika yang tentu saja kemampuan matematikanya jauh lebih baik karena telah enam semester kuliah. Nampaknya, ada kecenderungan bahwa pendekatan Analitik-Sintetik digunakan oleh lebih banyak pada responden yang konsep-konsep dasar matematikanya sudah cukup baik. Diantara dua strategi kognitif yang digunakan, strategi proporsional lebih banyak digunakan oleh mahasiswa S1 Pendidikan Matematika dibandingkan dengan strategi linguistik. Strategi proporsional ini juga memberikan banyak jawaban benar pada mahasiswa dibandingkan mahasiswa yang menggunakan strategi linguistik. Berdasarkan hasil tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keterampilan pemecahan masalah masih cukup menjadi kendala oleh sebagian mahasiswa, meskipun mahasiswa Pendidikan Matematika sekalipun. Oleh karena itu pengembangan kurikulum harus lebih intensif untuk memasukkan keterampilan menyelesaikan masalah matematika. Pengajar di program studi Pendidikan Matematika juga perlu melatih keterampilan menyelesaikan masalah matematika yang pada akhirnya lulusan program ini dapat menghasilkan guru yang mempunyai ketrampilan dalam membimbing siswa dalam pemecahan masalah.
230
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
Tabel 3. Validasi Model Berdasarkan Penilaian Mahasiswa Pertanyaan/Indikator 1. Seberapa tinggi perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran?. 2. Seberapa jelas tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui? 3. Apakah pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat? 4. Apakah pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa? 5. Apakah pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari? 6. Apakah bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topik-topik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru? 7. Apakah pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa? 8. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, apakah mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya? 9. Apakah Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah? 10. Adakah pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi? 11. Apakah refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok? 12. Apakah refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki? 13. Apakah metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran 14. Apakah metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar? 15. Apakah metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 16. Adakah bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif dikalangan mahasiswa? 17. Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik?
Modus Jawaban ST T Sd R V V V V V V V V V V V V V V V V V
Berdasarkan hasil penilaian mahasiswa seperti tersaji dalam tabel 3 di atas, ternyata model pembelajaran konstruktivisme ini cukup valid; sebagian besar dinilai pada aras tinggi yaitu 15 indikator, terutama dengan model pembelajaran ini mahasiswa optimis akan berhasil lebih baik. Lima belas indikator yang valid pada aras tinggi adalah sebagai berikut: 1. Perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran 2. Tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui tergambar dengan jelas 3. Pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
183
3. Pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa 4. Pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari 5. Bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topik-topik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru 6. Pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa 7. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya 8. Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah 9. Pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi 10.Refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok 11.Refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki 12.Metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran 13.Metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 14.Ada bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif di kalangan mahasiswa 15.Ada optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik. Selanjutnya terdapat 1 indikator yang valid pada aras sangat tinggi adalah "pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat" Pada akhirnya terdapat 1 indikator yang valid pada aras sedang adalah "metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar" Berdasarkan hasil penilaian mahasiswa terhadap efektifitas model pembelajaran berbasis konstruktivisme seperti diuraikan di atas, kemudian dilakukan analisis faktor guna memperoleh model akhir efektivitas model berdasarkan data lapang. Hasil analisis faktor efektivitas model pembelajaran konstruktivisme ini adalah sebagai berikut.
a. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Pendekatan Holistik Soal 1. Perbandingan umur Rudi dan umur Ayah adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur Ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. R : A = 3:7 A = 7/3 R
Ilustrasi di atas memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Holistik. Responden langsung memberikan jawaban tanpa perencanaan yang matang dalam menjawab. Jawaban yang didapatkan benar, namun jawaban tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Strategi Linguistik Soal 2. Perbandingan umur Rudi dan umur Ayah adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur Ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. R :A= 3: 7 R
A
=
R Rudi
3
A Ayah
7
7R = 3 A
R=
3A = 7R
3A 7
R=
7R 3
Ilustrasi di atas memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi linguistik dalam pemecahan masalah. Responden menuliskan secara runtut soal, baru kemudian menggunakan pengetahuan matematisnya untuk menyelesaikan masalah. Seluruh responden yang mengerjakan soal di atas dengan menggunakan strategi linguistik seperti pada ilustrasi di atas mendapatkan jawaban benar. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Strategi Proporsional Soal 3. Di sebuah perguruan tinggi setiap 20 mahasiswa dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Jika "M" menyatakan banyaknya dosen pembimbing. Buatlah persamaan yang menggambarkan pernyataan tersebut. 20: 1 M: D 20 M= 1 D
1 D =20 M
* *) 20 M = D D = 20M
184
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
229
strategi linguistik dan strategi fungsional. Kebenaran Jawaban dan Pendekatan yang Digunakan Diantara jawaban responden yang menggunakan pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-Sintetik terdapat jawaban yang salah dan jawaban yang benar. Dari 18,49 persen mahasiswa yang menjawab dengan pendekatan Holistik terdapat 5,36 persen saja yang menjawab benar, dan 13,13 persen yang menjawab salah. Kesalahan yang dibuat responden pada pendekatan holistik terjadi pada ketiga soal rasio yang diberikan, sedangkan kesalahan yang terjadi pada pendekatan holistik hanya terjadi pada soal rasio 1. Dari 81,51 persen responden yang menjawab dengan menggunakan pendekatan analitik-sintetik, terdapat 56.52 persen memberikan jawaban yang benar, dan hanya 24,99 persen responden memberikan jawaban yang salah. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan analitik-sintetik memberikan jawaban benar yang lebih banyak daripada jumlah jawaban yang salah. Jika dilihat lebih dalam lagi nampaknya jumlah jawaban benar yang diperoleh melalui pendekatan analitik-sintetik tetap menyumbang jawaban benar yang banyak pada setiap soal yang diberikan.
Tabel 4. Hasil Analisis Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktivisme Faktor Indikator 1
2
3
4
Kebenaran Jawaban dan Strategi yang Digunakan Dari 81,51 persen jawaban responden yang menggunakan pendekatan analitik-sintetik, terdapat dua strategi kognitif yang digunakan, yaitu strategi linguistik dan strategi proporsional, tidak ada responden yang menggunakan strategi fungsional. Persentase jawaban responden yang menggunakan strategi linguistik sebesar 18,99 persen dan persentase ini lebih kecil dibandingkan persentase jawaban responden yang menggunakan strategi proporsional yang besarnya mencapai 81,01 persen. Dari 81,01 responden yang menjawab menggunakan strategi proporsional, terdapat 54,66 persen responden memberikan jawaban benar, dan hanya 26,35 persen responden memberikan jawaban salah. Strategi proporsional memberikan jawaban benar yang lebih banyak daripada jumlah jawaban salah. Dilihat dari persentase tersebut tampak bahwa strategi yang dominan digunakan responden adalah strategi proporsional. Namun persentase kebenaran yang didapatkan akan lebih besar pada saat responden menggunakan strategi linguistik. Berikut ini beberapa contoh pendekatan dan strategi pemecahan yang digunakan oleh responden dalam menyelesaikan masalah rasio.
228
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
5
6
1. Seberapa tinggi perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran?. 2. Apakah pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa? 3. Apakah refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok? 1. Apakah bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topiktopik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru? 2. Apakah Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah? 3. Apakah refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki? 1. Adakah pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi? 2. Apakah metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik? 3. Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik? 1. Apakah pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat? 2. Apakah pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari? 3. Adakah bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif dikalangan mahasiswa? 1. Apakah pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa? 2. Seberapa jelas tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui? 3. Apakah metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar? 4. Apakah metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 1. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, apakah mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya?
PENUTUP Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini berhasil mendeskripsikan best/ good practices Perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Telah dihasilkan 5 faktor penentu Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktif. Model Pembelajaran Konstruktif dipandang relevan dengan hakikat pendidikan ke-SD-an dan telah terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran Pokok Bahasan Populasi dan Sampel pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan. Oleh karena itu layak untuk dilaksanakan dalam perkuliahan PGSD. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
185
DAFTAR PUSTAKA Cruickshank, D.R. et.al. 2006. The Act of Teaching. New York: McGraw Hill Inc. Groundlund, N.E. 1993. How to Make Achievement Test and Assesment. Boston: Allyn and Bacon. Hamzah. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Universitas Negeri Makassar: FMIPA. Jonassen, D.H., 1996. Handbook of Research for Educational Communication and Technology. New York: Macmillan Library Reference. Prawiradilaga, D.S. 2009. Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Pribadi, B.A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Slameto, 2011. Penelitian Pendidikan SD. Jakarta: Dirjen PT Kementerian Pendidikan Nasional. Wolfolk, A. 2004. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
dan "D" menyatakan banyaknya dosen pembimbing. Buatlah persamaan yang menggambarkan pernyataan tersebut! Analisis data Analisis data dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah mengelompokkan jawaban mahasiswa ke dalam salah satu pendekatan. Tahap kedua adalah memilah pendekatan yang digunakan ke dalam salah satu strategi yang ada. Selanjutnya tahap ketiga, yaitu melihat benar salahnya jawaban responden dari masing-masing pendekatan atau strategi. Terakhir, adalah menghitung prosentase benar atau jawaban salah atas pendekatan atau strategi yang digunakan oleh responden. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pendekatan penyelesaian Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan mahasiswa dalam menyelesaikan soal rasio. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-Sintetik. Di dalam pendekatan Analitik-Sintetik, responden menggunakan tiga strategi, yaitu: strategi linguistik, proporsional, dan strategi fungsional tidak muncul dalam menyelesaikan soal-soal rasio tersebut. Rata-rata prosentase mahasiswa yang menjawab dengan menggunakan pendekatan holistik sebanyak 17,54 persen, Analitik-Sintetik sebanyak 77,19 persen, dan 5,27 persen mahasiswa tidak mengisi dari tiga soal yang diberikan. Dari tiga soal yang diberikan terdapat mahasiswa yang hanya bia menyelesaikan satu soal, dua soal, atau ketiga-tiganya. Bagaimanapun pendekatan Analitik-Sintetik tetap dominan digunakan dibandingkan dengan pendekatan holistik. Penggunaan Strategi Penyelesaian Diantara responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi yang digunakan dalam menyelesaikan soal rasio tersebut berbedabeda. Terdapat tiga strategi yang digunakan oleh responden, yaitu strategi linguistik, proporsional, dan fungsional. Sebagian besar mahasiswa menggunakan strategi proporsional, yaitu 81.01 persen. Sebagian kecil saja responden yang menggunakan strategi linguistik, yaitu sebesar 18,99 persen. Dari ketiga strategi kognitif, terdapat satu strategi yang tidak pernah digunakan oleh responden yaitu strategi fungsional. Dari tiga soal yang diberikan strategi proporsional paling dominan digunakan oleh responden dibandingkan dua strategi lainnya, yaitu
186
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
227
226 Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231 Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
4.
2. 3.
1.
P : prosentase hipotesis (Ho) dinyatakan = 0,50 q : 1 – 0,50 = 0,50 Op : perbedaan Hipotesis kerja (Ha) dengan hipotesis nol (Ho) dibagi pada tingkat kepercayaan tertentu.
ket : n : jumlah sampel P : proporsi populasi presentase kel. pertama q : proporsi sisa dalam populasi Z ½ : derajat koefisien kondensasi pada 99% dan 95% b : presentase perkiraan kemungkinan salah Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan tabel krecjle (kesalahan 5%) Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan momogram Harry King (populasi < 2000) → kesalahan s/d 15% Perhitungan jumlah sampel dengan rumus (sam pel > 100.000) ket : n : ukuran sampel yang diperlukan
Penentuan jumlah sampel dengan rumus :
Metode Sampling
Obyek : manusia, benda, hewan, tumbuhan, gejala, nilai tes, peristiwa, dll.
Teknik sampling
Teknik pengambilan data
Populasi yang tersedia (accesible population)
Populasi teoretis (teoretical population)
POPULASI & SAMPEL (bag dari populasi)
Meliputi 1. Sampling sistematis (berdasar urutan anggota populasi) 2. Sampling kuota (populasi punya ciri tertentu s/d kuota yang diinginkan diklasifikasikan dalam kelompok sampel) 3. Sampling aksidental (berdasarkan kebetulan dan langsung dari unit yang ditemui) 4. Sampling purposive (dengan pertimbangan tertentu) 5. Sampling jenuh (bila populasi kecil (<100) semua jadi sampel) 6. Snowball sampling (mula-mula kecil → memilih teman untuk jadi sampel → makin banyak)
Non Probability Sampling
Meliputi 1. Simple random sampling (langsung dilakukan pada unit sampling) 2. Proportionate stratified random sampling (pada populasi yang punya susunan bertingkat / berlapis) 3. Disproportionate stratified random sampling (pupulasi berstrata tapi kurang proporsional) 4. Cluster sampling (area sampling) (bila populasi terdiri
Probability Sampling
Alasan : * Ukuran populasi * Masalah waktu * Masalah biaya * Percobaan yang bersifat merusak * Masalah penelitian * Masalah ekonomis
Jenis penelitian dan variabel
menjadi
dibagi
Instrumen penelitian berupa masalah rasio yang jumlahnya tiga buah. Soal ini dikembangkan berdasarkan soal yang digunakan penelitian sebelumnya oleh Conroy & Sutriyono (1998). Adapun soal yang diberikan sebagai berikut: 1. Perbandingan umur Rudi dan umur ayahnya adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. 2. Gaji seorang karyawan mengalami kenaikan sebesar X. Perbandingan gaji sebelum kenaikan dan setelah mengalami kenaikan adalah 3:5. Jika gaji sebelum mengalami kenaikan adalah "B". Buatlah persamaan yang menghubungkan antara X dan B! 3. Pada sebuah perguruan tinggi, setiap 20 mahasiswa dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Jika "M" menyatakan banyaknya mahasiswa, Representative (dapat mewakili populasi secara baik)
METODE PENELITIAN
Populasi tak terbatas (Populasi tak terhingga)
Instrumen Penelitian bersifat
Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara membagikan persoalan rasio kepada mahasiswa. Soal dibagikan kepada mahasiswa di dalam kelas sebelum kuliah dimulai. Selanjutnya semua mahasiswa menyelesaikan soal-soal tersebut pada saat itu juga. Adapun bentuk instrumen berupa soal essai.
Berdasarkan banyaknya satuan analisis dalam suatu populasi
Subyek penelitian adalah mahasiswa program studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga angkatan 2007/2008 yang berjumlah 57 orang. Mahasiswa ini duduk pada semester ke-6 dan telah mengambil kuliah sekitar 100 sks.
Populasi terbatas (Populasi terhingga)
Subyek penelitian
Pengertian Sebagian / wakil populasi yang diteliti / sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendiskripsikan strategi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah rasio, yang didasarkan atas pekerjaan tertulisnya. Soal rasio dikembangkan berdasarkan soal penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Coroy & Sutriyono (1998). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah jenis strategi pemecahan masalah pada persoalan rasio atau proporsional.
Wilayah generalisasi yang terdiri dari atas obyek / subyek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.
dalam Sutriyono (2005) melihat pemecahan masalah sebagai rangkaian operasi mental yang diarahkan ke suatu tujuan.
187
Analitik-Sintetik
Pendekatan :
Strategi kognitif :
Hasil :
Lingustik
Proporsional
Persamaan benar ( I )
Fungsional
Persamaan salah
Sumber Kesalahan : (I)= kesalahan dalam urutan kata, arti kata, arti frase, arti kalimat, penggunaan variabel jika menggunakan strategi linguistik kesalahan dalam perhitungan, manipulasi aljabar hubungan ekuivalen , penggunaan variabel jika menggunakan strategi fungsional atau proporsional
Ketrampilan dalam pemecahan masalah Terdapat beberapa karakteristik masalah matematika yang baik, Karakteritik tersebut adalah solusi untuk masalah melibatkan pemahaman konsep matematika yang berbeda, masalah dapat digeneralisasi atau diperluas ke berbagai sebuah situasi, masalah cocok untuk berbagai solusi. Perlu diketahui bahwa tidak semua masalah yang baik perlu memiliki semua karakteristik tersebut. Dalam menyelesaikan masalah matematika diperlukan langkahlangkah penyelesaian. Heuristik adalah aturan praktis untuk keberhasilan penyelesaian masalah, saran-saran umum yang membantu seorang individu untuk memahami masalah lebih baik atau membuat kemajuan solusinya. Selama bertahun-tahun, beberapa rangkaian Heuristik telah dikembangkan untuk membantu siswa dalam pemecahan masalah. Satu rangkaian heuristik yang telah terbukti berhasil dengan siswa dan guru di semua tingkat pengajaran adalah membaca, menyelidiki, memilih strategi, memecahkan, memeriksa dan memperluas (Sutriyono, 2005). Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengajarkan pemecahan masalah, yaitu waktu yang digunakan untuk pemecahan masalah, perencanaan, sumber yang diperlukan, peran teknologi, dan manajemen kelas. Kelima hal ini sangat perlu diperhatikan agar tujuan pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat dicapai dengan hasil baik (Suherman dalam Kadir, 2008). Mayer 188
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
225
Presentasi masalah :
Masalah
PSYCHO EDUCATIONAL GROUP INTERVENTION FOR ADOLESCENT: IMPROVING EMOTIONAL INTELLIGENCE Salmah Mohamad Yusoff Universiti Malaysia Sarawak
Keputusan:
Tan Mei Jan
Pendekatan Holistik atau Analitik-Sintetik?
Universiti Malaysia Sarawak
ABSTRACT
Hasil:
Persamaan benar atau persamaan salah
Model analitik sintetik mengidentifikasi dari cara untuk mendapatkan hasil atau penyelesaian. Cara untuk mendapatkan hasil atau penyelesaian dianalisis ke dalam tiga strategi kognitif. Tiga strategi kognitif tersebut adalah linguistik, proporsional, dan fungsional. Dalam strategi linguistik persamaan didapatkan dari makna kata-kata dalam masalah atau dari susunan kata-kata dalam masalah. Selanjutnya dalam strategi proporsional persamaan didapatkan dari penggunaan pengetahuan perbandingan dan ukuran. Adapun strategi fungsional adalah strategi di mana persamaan yang dihasilkan oleh siswa adalah hasil dari penggunaan konsep fungsi matemaika. Pendekatan holistik banyak dilakukan oleh sebagian besar siswa yang berusaha menerapkan rumus teapi tidak kritis (Conroy& Sutriyono, 1998). Pendekaan Analisis-Sintetik dilakukan oleh siswa dengan menggunakan argumentasi yang masuk akal. Model yang kedua ini ditunjukkan sebagai berikut.
224
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
The aim of this study is to examine the effectiveness of psycho educational group on improving emotional intelligence (EI) among adolescent girls. Quasi-experimental design had been selected by researcher to investigate this study. 24 adolescent girls from Samarahan City who possess of moderate level of EI through the pre-test had been select randomly to be the sample in this study. 12 of them categorized as treatment group and participated in psycho educational group intervention, whereas another 12 of them were consider as control group and did not received any intervention. 10 modules had been developed from researchers as the treatment tools for the psycho educational group intervention. The findings indicated that respondents had significantly improved level of overall EI performance, but did not had significance improvement for the four components of EI (perception of emotion, managing own emotion, managing others' emotional and utilization of emotion) performance. For control group, the overall EI and four components of EI performance was remain and did not have significant improvement. Keyword: psycho educational group, emotional intelligence
INTRODUCTION Wilson, Rapin and Haley-Banez (2000) defines group work as "a broad professional practice involving the application of knowledge and skill in group facilitation to assist an interdependent collection of people to reach their mutual goals which may be intrapersonal, interpersonal, or work-related. The goals of the group may include the accomplishment of tasks related to work, education, personal development, personal and interpersonal problem solving, or remediation of mental and emotional disorders." For ASGW, they focus on four types of group work, which are 189
psycho educational group, counselling group, psychotherapy group, and task and work group. Variety of group work are believed to be helpful to adolescent in making a successful development and growth which related with psychological and social issues (Gladding, 2003). During this transition period from childhood to adulthood, adolescent grow up psychically and mature mentally. They struggle with various psychological and social issues such as cope with crisis in identity, extraordinary peer pressures, dramatic physical changes, impending career decision, the desire for independence and self doubt (Wasielewski, Scruggs & Scott, 1997; as cited in Gladding, 2003). From a group, adolescents have the opportunity to identify their conflicting feeling, realize that they are not unique in their struggles, honestly question those value they decided to adjust, learn to communicate with peers and adults, learn from the modelling provided by the leader, and learn how to accept what others recommend and to give of themselves in return (Corey & Corey, 2002). Through psycho educational intervention, adolescents learn the improved way of functioning. They will be exposed with new cognitive concepts, ideas and exploration of their issues. The adaptive behaviours will be explored, discussed and practices for transfer to school and home. From the healing interaction of the group experience, their self-esteem, efficacy, and emotional satisfaction will be improved (Smead, 2002; as cited in Janice & DeLucia-Waack, 2006). In this study, the psycho educational group is used by the researcher to promote adolescent girls' emotional intelligence (EI).
telah mampu menyelesaikan suatu masalah, maka seseorang itu telah memiliki suatu kemampuan baru. Kemampuan ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan oleh seseorang, maka orang tersebut akan semakin banyak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, perlu terus dilatih sehingga mampu menjalani hidup yang penuh kompleksitas permasalahan. Kemampuan untuk menghadapi permasalahan baik dalam permasalahan matematika maupun permasalahan dalam kehidupan nyata merupakan kemampuan Daya Matematis atau mathematical power (Syabani). Daya matematis didefinisikan oleh NCTM (1999) sebagai "Mathematical power includes the ability to explore, conjecture, and reason logically, to solve non-routine problems, to communicate about and through mathematics, and to connect ideas within mathematics and between mathematics and other intellectual activity". Kemampuan atau daya matematis juga meliputi pengembangan kepercayaan diri dan disposisi untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kwantitatif dan spasial dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Selanjutnya menurut The Massachusetts Mathematics Framework (dalam Department of Education, 1996), pengembangan kemampuan atau daya matematis dapat dilakukan melalui pemecahan masalah (Problem Solving) komunikasi (Communication), penalaran (reasoning) dan koneksi (connections).
OBJECTIVE OF THE STUDY
Menurut Dube (1990), terdapat dua pendekatan model perilaku pemecahan masalah, yaitu pendekatan Holistik dan pendekatan AnalitikSintetik. Pendekatan Holistik adalah pendekatan di mana persamaan yang dituliskan oleh siswa merupakan hasil dari pandangan umum dari seluruh masalah sebagai satu kesatuan integral dan juga secara eksplisit dan hatihati dalam menyusun langkah-langkah. Pendekatan Holistik merupakan model pada tingkat makroskopik yang menyoroti pentingnya keputusan yang dibuat oleh pemecah masalah pada pendekatan yang digunakan. Sedangkan pendekatan Analitik-Sintetik adalah suatu pendekatan di mana siswa memecah atau membagi masalah yang diberikan dan yang tidak diketahui, kemudian menuliskan persamaan yang sebenarnya setelah menggunakan arti kata dan alasan matematika, manipulasi aljabar, dan kalkulasi aritmatika. Model tersebut ditunjukkan berikut ini.
General Objective The general objective of this study is to assess the effectiveness of psycho educational group on improving EI among adolescent girls. Specific Objectives 1. To identify the different score of EI between pre-test and post-test for treatment group and control group after psycho educational group take place. 2. To identify the different score of four elements of EI (perception emotion, managing own emotion, managing others emotion and utilization of emotion) for Schutte-Self Report Inventory (SSRI) between pre-test and post test for treatment group and control group.
190
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Strategi pemecahan masalah
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
223
menemui banyak kesulitan. Diantara kesulitan tersebut antara lain adalah dalam merefleksikan kata-kata dan permasalahan yang dikemukakan dari data yang diberikan, di mana sifat dasar dari ketidaktahuan adalah adanya kesulitan diproses kognitif yang membatasi solusinya. Proses tersebut dipahami dari kata-kata di mana suatu masalah dikemukakan, diperlukan pemahaman untuk menterjemahkan kata-kata dari masalah tersebut ke dalam kalkulasi aljabar yang akan menghasilkan persamaan yang diinginkan (Dube, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Dube (1990), Conroy & Sutriyono (1998), mendapatkan bahwa siswa melakukan pemecahan masalah rasio dengan dua pendekatan yang berbeda. Kedua pendekatan tersebut adalah holistik dan analitik-sintetik. Selanjutnya pendekatan analisis sintetik terbagi dalam tiga strategi kognitif. Ketiga strategi kognitif tersebut adalah linguistik, proporsional, dan bahasa. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah proporsi juga dikemukakan oleh Hanifa (2005) bahwa siswa mulai mengalami kesulitan pada tahap analisis perencanaan pemecahan masalah dan semakin banyak lagi yang mengalami kesulitan pada tahap berikutnya dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Berdasarkan fakta banyaknya kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah khususnya soal proporsi serta berbagai strategi penyelesaian yang telah diketemukan, penelitian ini bertujuan menganalisa strategi pemecahan masalah yang digunakan oleh mahasiswa Pendidikan Matematika UKSW angkatan 2007/2008 dalam menyelesaikan soal proporsi atau rasio. KAJIAN PUSTAKA Masalah matematika Suatu masalah disebut matematika bilamana masalah tersebut dapat dianalisis dan pemecahannya dapat diperoleh dengan menggunakan metode atau prosedur matematika. Suatu masalah dalam matematika dapat terbentuk pernyataan yang disebut pernyataan masalah (problem statement). Masalah matematika adalah suatu situasi yang berisi pernyataan matematika yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan menggunakan metode matematika tetapi ia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk melakukannya (Kadir, 2008, Sutriyono, 2005). Kemampuan pemecahan masalah matematika Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan keterampilan generik (Dahar, 1989). Pengertian ini mengandung makna bahwa ketika seseorang 222
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
LITERATURE REVIEW Previous Studies on Psycho Educational Group The application of principle of normal human development and functioning through group based educational and developmental strategies is the root for psycho educational group approach. This group applied in the context of here-and-now interaction. The objective of psycho educational group is to promote personal and interpersonal growth and development and the prevention of future difficulties. Such group is especially provided for people who may be at risk for the development of personal or interpersonal problems or who seek improvement of personal qualities and abilities (Wilson, Rapin & Haley-Banez, 2000). Previous study showed the effectiveness of psycheducational groups for various setting, people and issues. The study of Lubin, Loris, Burt and Johnson (1998) examined the effectiveness of a 16-week trauma-focused, cognitive-behavioural group therapy, named Interactive Psycho educational Group Therapy (IPGT), in reducing primary symptoms of Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) in five groups (n=29) of multiply traumatized women diagnosed with chronic PTSD. During each session, a brief psycho educational lecture will be given and followed by an interactive discussion that directed by the therapist then a wrap-up with an educational emphasis. Subjects were given booklets and given homework at the end of each session. Besides, the therapists used a blackboard to jot down important points in the lectures. The assessments were made at 1-month intervals during treatment, at termination and at 6month follow-up by using self-report and structured interview measured of PTSD and psychiatric symptoms. The result showed those depressive symptoms and all three clusters of PTSD symptoms such as reexperiencing, avoidance and hyperarousal are significance reduced. Meanwhile, the general psychiatric and dissociative symptoms showed near-significant reduced at termination. The study of Manne, Babb, Pinover, Horwitz and Ebbert (2004) assessed the effect of a 6-week psycho educational group intervention on the distress, coping, personal growth and marital communication of wives of men diagnosed with prostate cancer. The session topics related with healthrelated and psychological information. The study found that not differences regard to wives' psychological distress, but it showed the improvement in adaptive coping and indicators of psychological growth were found. The study of the impact of psycho educational group intervention had been examined by Downing and Walker (1987) as well. The study assess the impact of psycho educational groups for adult children of alcoholics. Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
191
The secondary prevention intervention had been applied. The group provided a safe place for students to discuss their experience. Besides, the group focuses on confronting denial and educational. Films, discussion and handouts are used. The students reported that since they have a greater understanding of themselves and the disease of alcoholism, they become feel less responsible for others and more in control of their own life. Previous Studies of Relationship of Emotional Intelligence and Adolescent Harrod and Scheer (2005) studied the relationship of adolescents' EI score and their demographic characteristic (age, sex, household income, parents' level of education and location of residence). 200 youth ages 16 to 19 from Midwestern high schools participated in this study. In this study, adolescents' EI was measure with Bar-On Emotional Quotient Inventory Youth Short Version (Bar-On EQ-i: YV (S)). The study found that EI levels were positively related to females, parents' education and household income. However, they study did not show significant relationship between their EI and location of residence or age. Chan (2003) study the relationship of EI and social coping skills among gifted adolescents in Hong Kong. 259 students with ages of 12 to 16 years from Chinese University of Hong Kong participated voluntarily in this study. SSRI and Social Coping Questionnaire were used to measure the sample's EI level and their social coping skills. The study labels 6 coping strategies, which are Valuing Peer Acceptance, Involvement in Activities, Attempting Avoidance, Denying Giftedness, Prizing Conformity, and Discounting Popularity. The result showed that social skills as the most important component of EI predicting the use of strategies of Valuing Peer Acceptance and Involvement in Activities. 156 first year students with average age of 18.61 years participated in the study of Austin, Evans, Goldwater and Potter (2005) to examine the relationship of EI and exam performance. The findings supported the hypothesis that exam performance was positively and significantly related to EI score. Similar study was investigated by Parker, Creque, Harris, Majeski, Wood and Hogan (n.d.) for high school students from Canada. 667 students who ranged from 14 to 18 years old be the sample for this study. The result support that EI is a significant predictor of academic success. Academic success was found to be strongly associated with overall EI level and several EI dimensions such as interpersonal, adaptability and stress management abilities. 192
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH RASIO PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani Program Studi Pendidikan Matematika FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, bertujuan untuk mengetahui pendekatan ataupun strategi yang digunakan oleh mahasiswa S1 Pendidikan Matematika dalam menyelesaikan soal proporsi. Sebanyak 57 mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP UKSW angkatan 2007-2008 dilibatkan dalam penelitian ini. Soal pemecahan masalah tentang proporsi yang diberikan berjumlah 3 buah. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa S1 Pendidikan Matematika menggunakan pendekatan AnalitikSintetik. Disusul berikutnya adalah pendekatan holistik. Dari pendekatan Analitik-Sintetik mahasiswa menggunakan dua strategi kognitif saja, yaitu strategi linguistik dan proporsional. Diantara strategi yang digunakan, strategi proporsional adalah strategi yang memberikan paling banyak jawaban benar dibanding dengan strategi linguistik. Kata Kunci: Ratio, strategi pemecahan masalah, pendekatan pemecahan masalah matematika
PENDAHULUAN Latar belakang masalah Pembelajaran matematika saat ini masih cenderung menggunakan pendekatan konvensional yang menekankan pada keterampilan berhitung dari pada penguasaan konsep-konsep matematika. Sebagai akibatnya keterampilan berpikir pada aras tinggi seperti kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah kurang berkembang (Pomalato, 2005; Hafriani, 2004). Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematis berdasarkan aspek memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, membuat penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh (Sutriyono, 2005; Fitriani, 2002). Dalam pemecahan masalah, sering kali seseorang 221
Ciarrochi, Chan and Bajhar (2000) conducted a study about the use of the SSRI in adolescents. 131 students with the ages from 13 to 15 participated in this study. The study reported that female had a higher score of EI than males. They were identified being better at managing others' emotion and perceiving emotion but did not report being better at managing their own emotions. Besides, there are numbers of study show that EI scores among adolescents were significantly different between females and males, with females reporting higher EI levels (Brackett, Mayer & Warner, 2003; Katyal & Awasthi, 2005; Austin et al., 2005; Harrod et al., 2005). RESEARCH METHODOLOGY Research Design Quasi-experimental design had been selected by researcher to investigate this study. According to Chua Yan Piaw (2005), the quasi-experimental design had been used to replace pure experimental design because division of respondents' unable make with randomly during the respondent's selection process for the studies. Division of respondents is difficult to make because it is impossible for the respondents of control and treatment group possess of characteristics that are alike. Moreover, there are the studies which have variety independent variables that unable to be manipulate such as gender, race, age, educational level and so on. Thus, quasi-experimental design is especially suit to use in the study that focus on the natural characteristic of the respondents, with use the independent variable that unable to manipulate to be the objective of the study. Research Subjects The population for this study is the adolescent girls who have low or moderate level of EI. The population for this study is the adolescent girls who have low or moderate level of EI. The population are identified at the pre-test of the study through the used of SSRI. For screening, only adolescent girls with ages 16 or 17 and had been identified possess low or moderate level of EI will be selected as the sample for this study. The number of sample for this study is 24, which 12 of them serve as the members for control group and will not received any intervention. For the rest, they participated in treatment group and received the treatment of psycho educational group approach, which leaded by researcher.
220
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
193
Research Instrument
Ridwan, 2003. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Gramedia
Schutte Self-Report Inventory (SSRI)
Singer Clayton, Lacoe. Decomposing teacher autonomy: A Study Investigating Types of Teacher Autonomy and How Current Public School Climate Affects Teacher Autonomy. http://wwwlib.umi,com/dissetations/preview-all/ 3209987.
Schutte Self-Report Inventory (SSRI) is an 33 items, with used of five-points scale self-report instrument that was built by Schutte, Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden and Dornheim, which based on Salovey and Mayer's original model of EI (Schutte, Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden and Dornheim, 1998), with the attempt to assess characteristic or trait of EI (N. S. Schutte, J. M. Malauff & N. Bhullar, personal communication, August 9, 2007).
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Pendidikan-Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R &D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suparno Paul, at al, 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Jogjakarta: Kanisius. Wiratchai Nongklak. Reforming Process for Learning Quality Development. http:/ /www.thailearn.org/schoolreform/4023.pdf.
Statistical Data Analysis To analysis the outcome of the study, paired-sample t-test is conducted. The researcher would make the description analysis based on the statistic outcome. This test is used to compares each pre-test score and posttest score to make identification whether the changes are simply random variation or if there is a reliable, meaningful change between the two sets of measures (Fariselli, Freedman and Ghini, 2006). T-test is usually used to test hypotheses about two population means. For paired-sample t-test, it used to test whether two population means are equal, and it need to have two measurements from pairs of people or objects that are similar in some important way (Norušis, 2003). In this study, the two measurement for control and treatment group is the pre-test and posttest. Pair-sample t-test was used to test the null hypotheses that average before and after rates are equal in the population.
Yukl, G.A. 1981. Leadership in Organizations. Englewood Cliffs, NJ: Prenticehall.
RESEARCH FINDINGS 1. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving EI Hola : There is no significance difference between overall score of emotional intelligence for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho1b : There is no significance difference between overall score of emotional intelligence for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. Through the result that obtained by pair-sample t-test, the different mean score of treatment group for pre-test (M=107.33, S.D=10.254) and post-test (M=107.33. S.D=9.681) was 8.75. This result indicated that there was an obvious increase for the mean score of EI for treatment group after they receive the psycho educational group intervention. 194
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
219
Ketiga, perlu dilakukan penelitian evaluatif terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 22 dan 23, tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar SD/MI. Lewat Permen ini pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah). Hal ini mengisyaratkan perlu adanya otonomi sekolah dan otonomi guru. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberi peran bagi guru sebagai inisiator, programer, dan perencana, serta pemikir pembelajaran. Di samping KTSP hal hal yang perlu mendapatkan penelitian evaluatif adalah Manajemen Berbasis Sekolah sebagai terobosan baru desentralisasi pendidikan sampai dalam kelas. Inovasi pembelajaran seperti PAKEM apakah betul sudah diimplementasikan oleh para guru karena sudah didukung oleh sistem yang memadai. Keempat, perlu dilakukan penelitian studi kasus (case studi) pada sekolah yang sebagian besar gurunya telah menjalan tugas profesinya secara otonom agar temuan ini dapat digunakan sebagai model pengembangan otonomi guru. DAFTAR PUSTAKA Bass, B.M. 1981. Stogdill's Hands Book of Leadership. New York: The Free Press. Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatonis. Yogyakarta: Kanisius. Fielder, F.E., & Chemers, M.M. 1967. Leadership and Effective Management. Glenview, IL: Scott, Foresman and company. Gardner, J.W. 1990. On Leadership. New York. NY: The Free Press. Holec. Autonomy and Complexity. http://www.veramenezes.com/autonomy.htm. Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1996, Educational Administration: Theory, Research and Practice (5th ed.). New York: McGraw-Hill. Jean A Bruce. The Development of professional Identity. http://www.care.edu.au/ 95pap/jeanb95115. Komariah Aan, Triatna Cepi. 2006. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Raka Joni. 1984. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
For control group, the mean difference for the score for pre-test (M=114.95, S.D=10.254) and post-test (M=115.67, S.D=10.790) was 0.75, which indicated that there was a very little increased for the mean total score for EI. The result indicated that there was a significant difference between the overall score of EI at pre-test and post-test for treatment group (t=-2.779, p = 0.018) since the value p that obtained was smaller than 0.05. Therefore, the null hypothesis 1a was rejected. For control group (t =-0.307, p =0.749), the result showed that there was no significance difference because the obtain value of p was 0.749 (p >0.05), thus the null hypothesis 1b was accepted. 2. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Perception of Emotion Ho2a : There is no significance difference between score of perception of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho2b : There is no significance difference between score of perception of emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. The mean difference between pre-test (M=33.25, S.D=3.841) and post-test (M=35.67, S.D=35.67) for treatment group is 2.42 which is slightly higher than control group. The control group obtained 0.33 for mean difference between pre-test (M=34.33, S.D= 2.807) and post-test (M=34.07, S.D=4.619). The value p that treatment group (t=-1.999, p=0.071) and control group (t=2.105, p=0.749) gained from analysis were greater than 0.05. Therefore, both Null hypotheses for 2a and 2b were accepted. This result indicated that there was no significance difference between score for perception of emotion variable at pre-test and post-test for both treatment group and control group after psycho education group had been intervened. 3. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Managing Own Emotion Ho3a : There is no significance difference between score of managing own emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention.
218
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
195
Ho3b : There is no significance difference between score of managing own emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. For managing own emotion variable, the treatment group had reported be slightly increased. The value of mean difference between pre-test (M=29.17, S.D=6.103) and post-test (M=32.17, S.D=3.186) was 3.00. For control group, the mean difference for pre-test (M=32.92, S.D=3.232) and post-test (M=31.42, S.D=3.147) was 1.50, which showed that there was a slightly decrease in their managing own emotion performance. Both the null hypotheses for 3a and 3b was accepted because the obtain value of p for treatment group (t=-1.614, p=0.135) and control group (t=2.105, p=0.059) was greater than 0.05. The result evidenced that there was no significance difference between pre-test and post-test for treatment and control group on their managing own emotion performance after psychoeducation group intervention take placed. 4. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Managing Others' Emotion Ho4a : There is no significance difference between score of managing others emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho4b : There is no significance difference between score of managing others emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. Both treatment group and control group had slightly increased for their managing others' emotion after psycho educational group intervention. The mean difference of treatment group for pre-test (M=25.42, S.D=3.370) and post-test (M=37.33, S.D=3.200) was 1.912. For control group, the mean difference between pre-test (M=26.00, S.D=3.303) and post-test (M=28.17, S.D=2.657) was 2.17. Both treatment group (t=-1.817, p=0.097) and control group (t=1.847, p=0.092) gained the value of p that greater than 0.05. Thus, both null hypotheses for treatment group and control group were accepted. In others words, the results showed that after the intervention of psycho educational group, there was no significance difference between the pre-test and post-test of managing others' emotion for treatment group and control group. 196
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
g). seimbang antara kepentingan nasional dan daerah, menandakan bahwa kurikulum ini memberi peluang bagi guru untuk bebas menentukan apa yang terbaik bagi pengembangan kurikulum. Inovasi pembelajaran, manajemen berbasis sekolah, dan hal-hal lain bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tentu harus disambut dengan baik. Kebiasaan menunggu instruksi harus mulai ditinggalkan, inisiatif, kreativitas untuk mencobakan sesuatu yang baru atau melakukan eksperimen sudah saatnya dimulai. Dalam Wawasan Kependidikan Guru (Raka Joni, 1984:14) menyebutkan hakekat guru meliputi: a) agen pembaharuan, b) pemimpin dan pendukung nilai, c) fasilitator belajar, d) bertanggungjawab terhadap hasil belajar subyek didik, e) professional meningkatkan kemampuannya, f) menjunjung tinggi kode etik profesional. Untuk dapat mewujudkan hakekat seperti yang dikemukakan Raka Joni sangat diperlukan adanya guru yang otonom. Guru itu sendiri harus dapat menciptakan budaya sekolah, komitmen, gaya kepemimpinan sebagai pemimpin pembelajaran, dan iklim belajar yang berorientasi pada mutu, kebebasan/kemandirian, manusiawi, menyenangkan, inovatif, kreatif, keteladanan, kooperatif, kesetaraan dan bertanggungjawab. Kedua, Kepala Sekolah dan para pemimpin kependidikan yang lain sudah saatnya meninggalkan gaya kepemimpinan yang birokratis. Gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan transformatif akan membuahkan budaya sekolah, dan iklim organisasi yang berpengaruh pada pengembangan otonomi guru. Tumbuhnya otonomi guru perlu dukungan gaya kepemimpinan yang member pengaruh terhadap tingkah laku guru dan karyawan di sekolah. Implikasi pada Penelitian Selanjutnya Berdasarkan temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan implikasi terhadap penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti selanjutnya agar mengadakan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau riset pengembangan (research & development) mengingat penelitian mengenai otonomi guru masih belum banyak dilakukan. Melalui research & development akan dapat diungkap lebih mendalam halhal yang berkaitan dengan budaya sekolah, komitmen kepemimpinan, gaya kepemimpinan, budaya sekolah, iklim kerja, terhadap otonomi guru. Kedua, bagi para peneliti atau yang berminat dapat melakukan penelitian yang serupa (kuantitatif) untuk mengungkap variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap otonomi guru. Melalui penemuan variabel lain yang berpengaruh terhadap otonomi guru maka akan dapat digunakan sebagai kebijakan pengembangan otonomi guru secara lebih profesional.
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
217
ditukar dengan sifat tunduk dan tingkah laku grup yang selalu menyetujui (Yukl, 1981). Pemimpin-pemimpin mengumpulkan kekuasaan melalui posisi dan kepribadian. Kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan Transformasional timbul dari teori perubahan sosial (Yukl, 1981). Pemimpin Transaksional menyeimbangkan tuntutan suatu organisasi atau institusi dengan keperluan-keperluan orang-orang di dalam institusi (Gardner,1990). Kepemimpinan Transformasional berusaha untuk meningkatkan kesadaran pengikutnya dengan motivasi dan tingkat moralitas baru (Gardner,1990; Yukl, 1981). Pemimpin dan pengikutnya berbagi visi yang sama. Pemimpin Transformasional menghargai keadilan dan persamaan dan nilai-nilai yang memberikan pemberdayaan bagi pengikutnya. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil perhitungan korelasi didapat hasil bahwa antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru menghasilkan koefisien korelasi sebesar rxy = 0.724. Disimpulkan ada korelasi positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru. Dengan kata lain makin kuat skor gaya kepemimpinan, makin kuat pula skor otonomi guru. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan sebagaimana telah dipaparkan dalam penelitian ini, rekomendasi yang perlu diberikan kepada berbagai pihak di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, bagi para guru. Otonomi guru yang identik dengan profesionalisme guru adalah urusan guru itu sendiri. Perkembangan menjadi guru otonom atau professional tak dapat dipertaruhkan pada pihak lain tetapi lebih kepada diri sendiri. Melalui Undang-Undang Guru dan Dosen peluang bagi guru untuk menjadi otonom telah dibuka. Tugas utama guru adalah mengajar atau membelajarkan. Keberhasilan menjalankan tugas ini tentu tak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh guru itu sendiri. Oleh karena itu belajar adalah jalan harus dilalui, dan setiap ada peluang perubahan harus dimanfaatkan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan prinsip pengem-bangan kurikulum: a). berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, b). beragam dan terpadu, c). tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, d). relevan dengan kebutuhan kehidupan, e). menyeluruh dan berkesinambungan, f). belajar sepanjang hayat, 216
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
5. Effectiveness of Psycho educational Group on Improving Utilization of Emotion Ho5a : There is no significance difference between score of utilization of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho5b : There is no significance difference between score of utilization of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. The mean difference 1.75 between pre-test (M=19.50, S.D=2.505) and post-test (M=21.25, S.D=2.527) was obtained by the treatment group for their utilization of emotion variable, which that their performance was slightly increase after they join in psycho educational group intervention. For control group, the mean difference between pre-test (M=21.67, S.D=2.741) and post-test (M=21.42, S.D=2.968) was 0.25, which could be consider that their performance was remain without any changes. Since the value p that obtained by treatment group (t=-2.008, p=0.070) and control group (t=0.239, p=0.815) was greater than 0.05, therefore both null hypotheses for 5a and 5b was accepted. This could be concluded that there was no significance different between the performances of utilization of emotion for treatment group and control group during the pre-test and post-test. RESEARCH IMPLICATIONS The findings evidenced that psycho educational group was effective on improving the EI performance among adolescents. This is because the analysis from the data obtained showed that there was a significance difference between the score for overall EI performance at the pre-test and posttest for treatment group after they had participated in the psycho educational group intervention. For control there, there was no significance difference. The study proved that the EI of adolescent girls had been increased and developed due to the effect of psycho educational group intervention. The resulted showed that after participated in the psycho educational group intervention, the respondents of treatment group had a significance difference (t = -2.779 with p<0.05) for the overall EI performance, with the increasing of mean difference 8.75. For control group who without psycho educational group intervention, their EI performance was remain and not have a significance difference (t = -0.307 with p>0.05). Thus, it can be concluded that the improvement of EI for treatment group was due to the effect of psycho educational group intervention. Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
197
According to Mayer (2007), the emotional knowledge could be enhanced through learning. The emotional knowledge and emotional functioning could be improved through certain educational curricula that focused on emotional learning. He encourages people to taking a brief course in emotions because he believed that this will give a positive effect on a person's social functioning. Cherniss (2008), EI could be developed through many ways such as practice, ongoing encouragement and reinforcement from others, support from the boss, experiential learning, EI trainers and coaches and anticipation and preparation for setback. Lopes, Cοté and Salovey (n.d., as cited in Sala, Druskat & Mount, 2006) viewed that EI consists of four interrelated abilities, which are perceiving and expressing emotions, using emotion to facilitate thinking, understanding emotion and managing own and others' emotion. These abilities encompass a several skills such as reframing negative events and empathic listening. They stated that emotional skills, abilities and intelligence as form of expertise and could be improved through learning and experience. Mattews, Zeider & Roberts (2004) mentioned that the aptitudes, skills, attitudes and values that important for the emotional competency development could be enhanced through emotional learning. The authors presented the assumption of Mayer and Geher (1996, as cited in Mattews, Zeider & Roberts, 2004) that it is possible to educate an individuals who are poor in emotional competencies to develop and improve their emotional abilities such as better recognize their feeling, feeling expression and regulation of emotion. Although the statistical analysis of pair-sample t-test showed that there were no significance difference changes for the four EI components (perception of emotion, managing own emotion, managing others' emotion and utilization of emotion) performances for treatment group after the intervention, the descriptive data analysis through the line graph clearly showed that their performance had been slightly improve as the effect of the psycho educational group intervention. All the null hypotheses for control group had been rejected since there were no significance changes of their EI performance, including the performance for four components of EI between the pre-test and post-test. This can be concluded that without the psycho educational group intervention, the EI performance was remain without any changes. Indirectly, these findings indicated that the Module for Developing EI was able to develop EI among adolescent girls. Besides, the validity and reliability that obtained from statistical analysis for the module was high. Through the psycho educational group, the members not only gain the knowledge about EI, but also had a chance to learn about how to perceive 198
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
laku apa yang membantu perkembangan pribadi dan perkembangan pekerja. Para peneliti menilai macam-macam tingkah laku yang digunakan dalam situasi kepemimpinan untuk menggambarkan tingkah laku kepemimpinan yang efektif. Pendekatan kemungkinan pada kepemimpinan adalah pendekatan pertama yang memadukan tingkah laku kepemimpinan dengan situasi yang berubah-ubah (Bass,1990). Dalam Teori kemungkinan Fiedler (1967), pemimpin berusaha memuaskan baik kebutuhan pribadi dan kebutuhan organisasional. Fiedler menyatakan bahwa situasi mem-pengaruhi tingkah laku pemimpin dan tidak ada sifat pribadi tertentu atau tingkah laku pemimpin tertentu yang menjamin adanya ke-pemimpinan yang baik dalam semua situasi. "Seseorang mungkin menjadi pemimpin yang sangat efektif pada suatu situasi tertentu tapi tidak efektif pada situasi lainnya" (Fiedler & Chemers: 1974, p. 73). Fiedler dan Chemers (1974) mengakui bahwa situasi sering mempengaruhi bagai-mana pemimpin akan bertindak. Komponen model kemungkinan dari Fedler yaitu: cara kepemimpinan ditentukan oleh motivasi pemimpin, atmosfer grup, tugas-tugas, struktur dan kekuasaan yang menentukan control situasional dan cara pemimpin yaitu: kontrol situasi yang menentukan keefektifan suatu grup (Hoy & Miskel, 1996). Pendekatan kekuasaan dan pengaruh pada kepemimpinan dikembangkan pada akhir 1950-an. Kepemimpinan dianggap sebagai suatu istilah kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, tipe-tipe kekuasaan dan cara kekuasaan itu digunakan. Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi bawahan, rekan sejawat, atasan dan orang-orang di luar organisasi (Yukl, 1981). Dua tema yang jelas pada teori kekuasaan yaitu kekuasaan sosial dan perubahan sosial. Kekuasaan Sosial ditentukan oleh pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya dan perubahan sosial menekankan pada hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Lima dasar kekuasaan sosial yang diidentifikasi oleh Bensimon, adalah: kekuasaan yang sah, kekuasaan yang dihadiahkan, kekuasaan yang dipaksakan, dihubungkan dengan posisi kepemimpinan, sedangkan kekuasaan ahli dan kekuasaan yang diserahkan diketahui sebagai kekuasaan pribadi. Kelima dasar kekuasaan dapat digunakan oleh pemimpin-pemimpin dengan dua cara dasar (Yukl, 1981). Kekuasaan dapat digunakan untuk mendominasi dan menaklukkan bawahan atau kekuasaan mungkin digunakan untuk membantu dan meningkatkan kualitas pekerja (Yukl, 1981). Teori Perubahan sosial menjelaskan adanya hubungan yang saling melengkapi dimana pemimpin menyediakan layanan-layanan yang Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
215
entah itu pengaruh positif atau negatif. Setiap kondisi yang ada dalam berbagai area kehidupan baik dalam dunia bisnis, dunia politik, kehidupan keluarga, dan lain-lain sangat bergantung dari kepemimpinan yang ditunjukkan oleh sang pemimpin. Tantangan kepemimpinan merupakan kondisi bagaimana seorang pemimpin melakukan banyak hal yang luar biasa dalam suatu organisasi yang dipimpinnya, di dalam kondisi yang sulit sekalipun. Untuk itu diperlukan kemampuan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mereka dapat berjalan dan membimbing orang lain untuk mencapai puncak keberhasilan. Kepala sekolah adalah pemimpin yang siap membuka diri dan memberi peluang untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Sikap seperti ini harus dimiliki oleh pemimpin pendidikan karena ia mempunyai tugas sebagai penggerak organisasi melalui penanganan perubahan. Keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai simbol yang ada atau tidaknya menjadi masalah tetapi keberadaannya memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi. Keberadaan pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekolah dengan menetapkan tujuan secara utuh (firm and purposeful), mendayagunakan bawahan melalui pendekatan partisipatif (a partisipale approach), dan didasari oleh kemampuan pemimpin secara professional (the leading professional) menjadi indikator pemimpin sekolah efektif (Komariah, 2004:40). Dalam fungsi gaya kepemimpinan variabel lain yang member sumbangan dapat kita telusuri dari kajian pustaka maupun hasil hasil penelitian yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan. Yukl mengemukakan variabel yang relevan untuk memahami efektivitas kepemimpinan adalah: karakteristik pemimpin, karakteristik pengikut, karakter situasi. Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh teori sifat. Suatu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan di awal 1900-an adalah teori Sifat (Bass,1990, Yukl, 1981). Teori sifat menggunakan karakteristik fisik atau psikologis dari seorang pemimpin individu untuk mempelajari dan menerangkan cara kepemimpinan (Hoy & Miskel, 1996). Sifat-sifat pemimpin yang diperiksa selama studi-studi ini termasuk karakter fisik seorang pemimpin seperti tinggi, penampilan dan tingkat energi: karakter pribadi seperti harga diri, dominan dan kestabilan emosi; dan sifat-sifat kemampuan yang meliputi pengetahuan umum, kefasihan berbicara, keaslian dan pandangan sosial (Yukl, 1981). Pendekatan Behavioral menambah suatu dimensi baru pada kepemimpinan. Banyak usaha telah dilakukan untuk memahami tingkah 214
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
own and others' emotion and how to managing them. They had the opportunities to share their experiences and learn from each others. Benefits learn from group. As the result, their EI performance had increased because they had become more understanding own and other's emotion, and be competence to managing emotion and the way to handle the situations that related with emotional problems. As the leader of a psycho educational group, the leader more attempt to teach the members to learn about the EI skills. The guidance and encouragement from the leader are crucial because this would lead the members to be confidence solve on their emotional problems independently when out of group session. Sometimes, self-disclosures from the leader were necessary because it able to help the members be more understanding about the issues that discuss with. The limitation of the psycho educational group that intervene in this study is that one and half hours time was not enough allowed for the members to learn more. This is because the group spent a lot of time for the writing exercise, in addition the communication among members become lack. If the group take 2 hours time, it is believed that the better outcome may obtain. In short, this study proved that psycho educational group was a good approach for developing the EI among adolescent and able to improve their EI performance. RECOMMENDATIONS For future researchers, it is strongly recommend of the needs to have a follow up assessment with the treatment group in order to evaluate the long term effect of the group intervention towards their EI development. A diary as a type of written exercise is recommended to be use by future researchers. The members can bring their diary home and write out any reaction that they feel and thought towards the group to jot down any events that happens to them during the week that is relevance. The diary is periodically reading by the leader. Through the reading, the leader able to get know what is helpful in the group and be more understanding about the feeling and reacting of the members (Jacobs, Masson & Harvill, 2005). This exercise provides a rich source of information for the leader how to conduct the group in a better way and able to increase the effectiveness of the group intervention. If the future researchers would like to use the Module for Developing EI that had been used by the researcher, it is recommend that to make Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
199
some appropriate modification of the module to ensure that it is suit for the group members' population. Before using a module, a pilot test need to be conduct first to ensure that the module have a good validity and reliability. REFERENCES Austin, E. J., Evans, P., Goldwater, R. & Potter, V. 2005. A preliminary study of emotional intelligence, empathy and exam performance in first year medical students. Personality and Individual Differences. 1-11. Chan, D. W. 2003. Dimensions of emotional intelligence and their relationship with social coping among gifted adolescents in Hong Kong. Journal of Youth and Adolescence. 32 (6). 409-415. Chua Yan Piaw. 2005. Kaedah penyelidikan. Shah Alam: McGraw-Hill Education. Cherniss, C., & Goleman, D. 2008. Emotional intelligence. Learningmatters.com: For just time performance support. Retrieved on 30 April, 2008 from http:/ /learningmatters.com/index.html Ciarrochi, J., Chan, A. Y. C., Bajgar, J. 2001. Measuring emotional intelligence in adolescents. Personality and individual differences. 31 (2001), 1105-1119. Corey, M. S. & Corey, G. 2002. Groups: Process and practice (4th ed.). CA: Brooks/ Cole. Downing, N. E. & Walker, M. E. 1987. A psychoeducational groups for adult children of alcoholics. Journal of Counseling and Development. 65, 440-442. Fariselli, L., Ghini, M. & Freedman, J. (n.d.). Emotional intelligence and age. Six second: The emotional intelligence network. Retrieve September 20, 207 from http://www.6seconds.org/sei/wp-age.php Gladding, S. T. 2003. Group work: A counseling specialty (4th ed.). New Jersey: Merrill Prentice Hall. Harrod, N. R., Scheer, S. D. 2005. An exploration of adolescent emotional intelligence in relation to demographic characteristics. Adolescent. 40 (159), 503-513. Jacobs, E. E., Masson, R. L., & Harvill, R. L. 2006. Group counseling: Strategies and skills (7th ed.). Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole. Janice, L., DeLucia-Waack. 2006. Leading psychoeducational groups for children and adolescents. London: Sage Publication. Lubin, H. & Johnson, D. R. 2000. Interactive psychoeducational group therapy in the treatment of authority problems in combat-related posttraumatic stress disorder. International Journal of Group Psychotherapy. 50 (3), 277-297.
200
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Uji Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada korelasi signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru SD di Kota Salatiga. Hasil analisis dari data yang dikumpulkan ditemukan: ada hubungan yang positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru, sehingga hipotesis yang telah dirumuskan dapat diterima. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil analisis menyatakan ada hubungan positif dan sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru SD di Kota Salatiga. Dari hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa otonomi guru SD Kota Salatiga menunjukkan pada kategori cukup (49,1%). Angka ini menunjukkan bahwa posisi keotonomian guru masih berada pada tingkat yang belum memenuhi harapan. Hal ini dapat dipahami karena kehidupan guru masih ada dalam masa transisi di antara belenggu pengekangan dan pemberian kebebasan dalam menjalankan profesinya. Kebebasan pedagogik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang dalam kurun waktu lama tidak dapat dinikmati para guru dikarenakan manajemen yang sentralistik, maka keraguan, kecanggungan dan takut salah masih membayangi para guru dalam merespon desentralisasi pendidikan. Berbagai perubahan dalam dunia pendidikan seperti inovasi pembelajaran, manajemen berbasis sekolah, kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam implementasinya masih membutuhkan waktu dan perjalanan panjang. Di kalangan guru banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu bahkan tidak merasakan makna perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi, mereka masih melaksanakan kebiasaan-kebiasaan lama. Para pejabat atau pemimpin pendidikan dan guru senior pada umumnya bertahan dengan melakukan kegiatan yang sentralistis. Paradigma baru perubahan manajemen sentralistik ke manajemen desentralisasi adalah "kemerdekaan" yang harus direspon secara positif disertai kemauan untuk berubah ke arah profesionalisme. Selain itu desentralisasi pendidikan menyebabkan guru kebingungan karena mereka harus betul-betul mengoptimalkan perannya secara menyeluruh, peran yang selama ini belum pernah mereka lakukan. Dari hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa gaya kepemimpinan kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga sebagian besar menunjukkan pada angka prosentase sebesar 51,47 persen atau sebanyak 105 orang dengan kategori tinggi. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat menarik dan penting, karena seorang pemimpin akan membawa pengaruh kepada sekitarnya, Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
213
Manne, S., Babb, J., Pinover, W., Horwitz, E. & Ebbert, J. 2003. Psychoeducational group intervention for wifes of men with prostate cancer. Psycho-Oncology. 13, 37-46. Matthews, G., Zeidner, M. & Robert, R. D. 2004. Emotional intelligence: Science and myth. Retrieved on 30 April, 2008 http://books.google.com/books?id= Fy9gXBgREtQC&printsec=frontcover&dq= improve +emotion + management &source= gbs_summary_r&cad=0 Mayer, J. D. 2007. Improving emotional knowledge and social effectiveness: Retrieved on 8 April, 2008 from http://www.unh.edu/emotional_intelligence/ei% Improve/ei%20improving%20home.htm Norušis, M. J. 2003. SPSS 12.0 Statistical procedures companion. N.J: Prentice Hall. Gambar 3. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga
Analisis Korelasi Tabel 6 adalah rangkuman koefisien korelasi Spearman' rho gaya kepemimpinan dan otonomi guru SD di Kota Salatiga dengan analisis statistik melalui SPSS for Windows Version 10 yang hasilnya sebagai berikut. Tabel 6. Korelasi antara Skor Gaya Kepemimpinan dan Otonomi Guru SD di Kota Salatiga NTILES of VAR00025 Kendall ’s tau_b
NTILES of VAR00025
NTILES of VAR00045
Spearman’s rho
NTILES of VAR00025
NTILES of VAR00045
Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N
1.000 . 204 .662** .000 204 1.000 . 204 .724** .000 204
NTILES of VAR00045 .662** .000 204 1.000 . 204 .724** .000 204 1.000 . 204
Sala, F., Druskat, V. U. & Mount, G. 2006. Linking emotional intelligence and performance at work: Current research evidence with individual and groups. Retrieved on 30 April, 2008 from http://books.google.com/books?id=H1ATtJq1kC&printsec= frontcover&dq=Linking+Emotional+Intelligence+and+ Performance+at+work:+current+research&source= gbs_summary_r&cad=0 Parker, J. D. A., Creque, R., Harris, J., Majeski, S. A., Wood, L. M. & Hogan, M. J. (n.d.). Academic success in high school does emotional intelligence matter? Department of Psychology. 1-6. Schutte, N.S., Malouff, J.M., Hall, L.E., Haggerty, D.J., Cooper, J.T., Golden, C.J., & Dornheim, L. 1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177. Wilson, F. R., Rapin, L. S. & Haley-Banez, L. 2000. Association for Specialists in Group Work: Professional Standards for the Training of Group Workers. Retrieved on October 1, 2007 from http://www.asgw.org/PDF/ training_standards.pdf
Tabel 6 di atas menunjukkan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru menghasilkan koefisien korelasi sebesar r xy = 0.724 Disimpulkan ada korelasi positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru. Dengan kata lain makin kuat skor gaya kepemimpinan, makin kuat pula skor otonomi guru. 212
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
201
Gaya kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga berdasarkan jawaban yang diberikan oleh para guru dari hasil analisis frekwensi diperoleh skor minimal 34 dan skor maksimal 94, sebagai ukuran atau tingkatan Gaya Kepemimpinan bergerak antara 34 sampai 94, nilai rata-rata hitung (mean) sebesar 71.64 dan simpangan baku sebesar 12,176. Pernyataan yang berkaitan dengan Gaya Kepemimpinan terdiri dari 4 item pernyataan, jawaban dari masing-masing item pernyataan memiliki skor antara 1 - 4 dengan kategori jawaban selalu, sering, jarang, tidak pernah. Selanjutnya dari masing-masing item pernyataan dijumlahkan untuk mendapatkan akumulasi skor. Berdasarkan hasil penelitian pada Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar. Kota Salatiga memiliki skor terendah sampai tertinggi yaitu 34-94 dengan memperhatikan lebar interval (P). Rumus yang digunakan P=
(94 - 34) = 60/4 = 15 4
Untuk melihat Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga Nilai Interval
Kategori
Jumlah
Prosentase
45
22,06
82 – 97
Sangat Tinggi
66 – 81
Tinggi
105
51,47
50 – 65
Cukup
39
19,12
34 – 49
Kurang
15
7,35
204
100
Jumlah
Berdasarkan hasil analisis frekwensi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga diperoleh mean skor sebesar 143,31 sedangkan berdasarkan kategorisasi seperti terlihat pada tabel 14 di atas menunjukkan bahwa Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga sebagian besar pada interval 66 - 81, jumlah 105 responden, prosentase 51,47. Dari hasil analisis deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi tinggi. Secara lebih jelas deskripsi skor Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat divisualisasi dalam gambar 3 berikut ini. 202
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
211
yaitu 30 - 77 dengan memperhatikan lebar interval (P). Rumus yang digunakan yaitu P (77-30) = 47 = 12. =
4
4
Untuk melihat Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga Nilai Interval
Kategori
Jumlah
Prosentase
6
2,94
69 – 81
Sangat Tinggi
56 – 68
Tinggi
88
43,14
43 – 55
Cukup
101
49,51
30 – 42
Rendah
9
4,41
Jumlah
204
100
Berdasarkan hasil analisis frekwensi Otonomi Guru Sekolah Dasar kota Salatiga diperoleh mean skor sebesar 59,94 sedangkan berdasarkan kategorisasi seperti terlihat pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa Otonomi Guru Sekolah Dasar kota Salatiga sebagian besar pada interval 43 - 55, jumlah 101 responden, prosentase 49,51. Dari hasil analisis deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi cukup. Secara lebih jelas deskripsi skor Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat divisualisasi dalam gambar 2 berikut ini, Otonomi Guru
STUDI KORELASI ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN OTONOMI GURU Prasetyo Program Studi S1 PAUD FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Ini adalah penelitian korelasional tentang hubungan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dengan otonomi Guru. Populasi penelitian adalah 832 orang Guru Sekolah Dasar se Kota Salatiga, dengan sampel sebanyak 204 orang Guru SD yang tersebar di 4 (empat) Kecamatan di Kota Salatiga. Data dikumpulkan dengan angket, yang sebelum digunakan telah diujicobakan, dan diuji viliditas dan reliabilitasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi cukup; b) gaya kepmimpinan Kepala Sekolah SD Kota Salatiga dalam klasifikasi tinggi, dan c) ada korelasi positif signifikan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Otonomi Guru (koefisien korelasi sebesar rxy = 0.724). Koefisien tersebut menunjukkan bahwa semakin kuat gaya kepmimpinan Kepala sekolah, semakin kuat Otonomi Guru.
Kata Kunci: gaya kepemimpinan, kepala sekolah, otonomi guru LATAR BELAKANG
60 50
40
30
Frequency
30 Std. Dev = 7.34 Mean = 54.9 N = 204.00
10 0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 70.0 75.0
Otonomi Guru
Gambar 2. Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga 210
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional. Sebagai pekerja profesional berdasarkan keahlian dan tuntutan tanggung jawab guru dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi siswa, kelas dan sekolahnya. Sebagai pekerja profesional guru harus dapat melepaskan diri dari campur tangan pihak lain secara berlebihan. Selama ini institusi pendidikan seperti sekolah telah menjadi bagian dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Akibatnya, sekolah dan gurunya sudah tidak punya otonomi pendidikan lagi (Buchori, 2001:8). Di era reformasi ini, sudah dicanangkan otonomi pendidikan. Pendidikan tidak lagi sentralisasi, tapi lebih desentralisasi dan otonomi. Artinya, banyak hal sudah dipercayakan untuk ditangani dan dikelola oleh daerah bukan sekolah. Implementasi reformasi pendidikan adalah melalui cara mengembalikan fungsi-fungsi Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
203
pendidikan kepala sekolah dan guru yang selama ini tidak lagi menjadi bagian sebagai milik sekolah dan guru. Kembalikan kebebasan mendidik kepada guru. Memberikan kesempatan kepada para guru untuk memikirkan dan melakukan apa yang akan dibuat untuk mengembangkan pendidikan di sekolah. Sekolah juga dituntut untuk lebih berpikir dan tidak hanya menunggu petunjuk dari atas (Suparno, Paul, 2002:20). Guru berada di depan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Perubahan dan pembaharuan harus dimulai dari dalam kelas. Desentralisasi pendidikan membuka peluang besar terjadinya perubahan pengelolaan pembelajaran guru. Desentralisasi bukan hanya untuk mengembangkan praktik manajemen sekolah, tetapi juga menjamin perbaikan kualitas belajar mengajar. Bahkan, kualitas belajar mengajar di sekolah merupakan inti pendidikan. Upaya untuk meningkatkan kwalitas belajar harus menjadi fokus perhatian desentralisasi pendidikan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Hal senada dikemukakan oleh Wiratchai: "Dalam model reformasi sekolah, proses belajar dianggap sebagai tujuan utama" (Wiratchai, Nonglak, 2000). Dalam rangka memenuhi kualitas belajar mengajar dalam konteks reformasi pendidikan melalui pemberian otonomi pendidikan teristimewa dalam pengelolaan pembelajaran di kelas diperlukan guru dengan karakteristik: otonom dan profesional.
Mengingat syarat instrumen penjaringan data harus (memenuhi) valid dan reliabel, maka penyusunan ini menggunakan prosedur atau tahap mulai dari penyusunan angket, uji coba, dan uji validitas dan reliabilitas angket. Dari prosedur ini hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: • Variabel Gaya Kepemimpinan sebanyak 28 butir dinyatakan valid 24 butir sedangkan yang tidak valid 4 butir, yaitu butir nomor 2, 19, 21, 24. • Variabel Otonomi Guru sebanyak 23 butir dinyatakan valid 19 butir, sedangkan yang tidak valid 4 butir, yaitu butir nomor 1, 9, 14, 19. Teknik Analisa Data Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif, analisis korelasi. HASIL PENELITIAN Berdasarkan data yang terkumpul melalui penelitian dengan menggunakan instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, pada bab ini disajikan temuan penelitian. Melalui temuan penelitian ini dapat diperoleh jawaban atas rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan. Temuan penelitian ini akan didahului melalui hasil analisis deskripsi yang sekaligus pemaknaan data semua variable penelitian.
PERUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan signifikan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru.
Sesuai dengan namanya hasil analisis deskriptif member gambaran atau informasi tentang data masing-masing veriabel yang dikaji. Hasil analisis deskriptif yang disajikan meliputi variabel Otonomi Guru dan Gaya Kepemimpinan. Berdasarkan data yang diperoleh melalui instrumen penelitian dapat disusun distribusi frekuensi sebagai berikut:
SIGNIFIKANSI PENELITIAN (a). Teoritis. Secara teoritis penelitian ini berupaya untuk menemukan dukungan fakta bahwa keberadaan guru sebagai komponen utama dalam manajemen pembelajaran sangat dibutuhkan adanya guru professional dan otonom. (b) Praktis, hasil penelitian diharap bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan mutu pembelajaran harus dapat memberi perhatian dan peluang bagi para guru untuk mengembangkan diri sebagai guru yang profesional dan otonom. KAJIAN TEORI Pada bagian ini secara teoritis dikaji variabel bebas dan tergantung mengenai studi: otonomi guru, gaya kepemimpinan.
204
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Otonomi Guru Otonomi guru berdasarkan jawaban yang diberikan oleh para guru dari hasil analisis frekuensi diperoleh skor minimal 30 dan skor maksimal 77, sebagai ukuran atau tingkatan otonomi guru bergerak antara 30 sampai 77, nilai rata-rata hitung (mean) sebesar 54,94 dan simpangan baku sebesar 7.34. pernyataan yang berkaitan dengan otonomi guru terdiri dari 4 item pernyataan, jawaban dari masing-masing item pernyataan memiliki skor antara 1 - 4 dengan kategori jawaban sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah. Selanjutnya dari masing-masing item pernyataan dijumlahkan untuk mendapatkan akumulasi skor. Berdasarkan hasil penelitian pada Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga memiliki skor terendah sampai tertinggi Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
209
Otonomi Guru
Tabel 2. Tabel besaran sampel N
1%
5%
10%
832
368,9816
245,4532
204,2543
Dari formulasi tersebut di atas dengan taraf kesalahan 1% = 368,9816, 5% = 245, 4532, 10% = 204,2543. Dari tabel tersebut sampel diambil 10% = 204,2543 dibulatkan = 204. Dari jumlah sampel 204 orang kemudian dibagi sesuai dengan jumlah yang tersebar dalam 4 kecamatan dihitung secara proporsional dengan menggunakan rumus
s
n N
s
Keterangan : s = jumlah sampel tiap unit (kecamatan) secara proporsi S = Jumlah seluruh sampel yang didapatkan n = jumlah masing-masing unit populasi
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut Tabel 3. Distribusi Guru SD Kota Salatiga Sebagai sampel Penelitian Jumlah Guru SD Kota Salatiga
Sampel
Tingkir
198
49
2
Argomulyo
200
49
3
Sidomukti
169
41
4
Sidorejo
265
65
832
204
No
Kecamatan
1
JUMLAH
Berdasarkan tabel tersebut jumlah sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini sebanyak 204 orang guru SD Kota Salatiga. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan adalah metode angket. Angket yang berbentuk skala penilaian ini disusun sendiri oleh penulis terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama yang memuat identitas (atribut) responden dan bagian kedua yang berisi tentang gaya kepemimpinan (terdiri dari 28 item) dan otonomi guru (terdiri dari 123 item). 208
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Salah satu definisi yang terkenal tentang otonomi adalah dari Holec (1981), di mana dinyatakan bahwa otonomi adalah kemampuan guru untuk mengambil tanggungjawab dari keinginan belajar. Shizouka menyatakan: otonomi guru adalah sebuah proses yang berkelanjutan tentang bagaimana mengajar sebagai suatu usaha terbaik dalam meningkatkan otonomi belajar bagi para murid (Shizouka: 2000). Otonomi guru dikendalikan oleh sebuah kebutuhan personal dan perkembangan profesional, seorang guru otonom mungkin mencari kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan karir mereka (Shizouka: 2000). Deskripsi Zara mengenai otonomi guru dan profesionalisme adalah sebuah gabungan interaksi setidak-tidaknya ada tiga elemen penting: pengembangan diri (keinginan untuk berubah), otonomi (memilih cara untuk berubah) dan kolaborasi (berubah melalui dukungan dan tantangan dari orang lain - sebuah kebutuhan untuk membicarakan pekerjaan) Jeans,1995). Otonomi guru tercermin dari kemandirian guru dalam mengatur dan mengurus apa yang menjadi tugasnya. Guru diharap mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum, memilih dan mengambil keputusan yang paling baik bagi anak didiknya, mengungkap berbagai gagasan kreatifnya, mengelola pembelajaran secara inovatif, mencobakan pendekatan - metode - sumber dan media pembelajaran yang baru. Singer mengemukakan model otonomi dibagi menjadi 6 (enam) sub komponen yakni: otonomi kurikulum, pedagogi, penilaian, pengembangan professional, disiplin murid, dan lingkungan ruang kelas. (Singer, 2006). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi guru adalah kemampuan untuk mengambil tanggungjawab dalam menentukan apa yang terbaik bagi murid, kelas dan sekolahnya. Guru otonom adalah guru yang professional dan hal itu tercermin dari kemandirian guru dalam mengatur dan mengurus apa yang menjadi tugasnya. Gaya Kepemimpinan Banyak buku-buku literatur yang mengulas gaya kepemimpinan. Kajian teori pada bab ini lebih banyak mengacu pada teori kepemimpinan dari Daniel Goleman. Teori yang dikembangkan oleh Goleman mencakup suatu konsep baru yaitu: primal leadership. Goleman berpendapat bahwa tugas dasar seorang pemimpin adalah memancing tumbuhnya perasaan positif dalam diri orang yang dipimpinnya. Ini akan terjadi jika seorang pemimpin menciptakan resonance-sumber sifat-sifat positif yang mampu menggerakkan orang untuk mengeluarkan upaya terbaiknya. Pada pokoknya, tugas dasar Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
205
kepemimpinan bersifat emosi. Primal leadership mensyaratkan dilibatkannya kecerdasan emosi. Kepemimpinan yang cerdas dalam hal emosi akan mendatangkan resonance, dan akibatnya mendatangkan kinerja yang baik. Terobosan-terobosan baru dalam riset mengenai otak menunjukkan mengapa suasana hati dan tindakan pemimpin berdampak besar pada orang-orang yang dipimpinnya, dan penemuan-penemuan ini memberi kerangka baru tentang kekuatan pemimpin yang cerdas secara emosi untuk menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme, serta membuat orang tetap termotivasi dan komitmen. Secara ringkas keenam gaya kepemimpinan dari Goleman itu dapat didiskripsikan sebagai berikut: (1) Gaya Visioner. Bagaimana gaya ini Dampak terhadap iklim emosi: paling positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika perubahan membutuhkan visi baru, atau ketika dibutuhkan arah yang jelas. (2) Gaya Pembimbing. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghubungkan apa yang diinginkan seseorang dengan sasaran organisasi. Dampak terhadap iklim emosi: sangat positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika membantu karyawan memperbaiki kinerjanya dengan membangun kemampuan jangka panjang. (3) Gaya Afiliatif, bagaimana gaya ini membangun resonansi:menciptakan harmoni dengan saling menghubungkan orang-orang. Dampak terhadap iklim emosi: positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika menengahi benturan dalam tim, memotivasi di saat-saat yang menekan, atau menguatkan hubungan. (4) Gaya Demokratis. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghargai masukan positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika membangun persetujuan atau kesepakatan, atau mendapat masukan yang berharga dari bawahan. (5) Gaya Penentu Kecepatan. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghadapi tantangan dan tujuan yang menarik. Dampak terhadap iklim emosi: karena seringkali dilaksanakan secara buruk, dampaknya seringkali sangat negatif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika ingin mendapatkan hasil berkualitas tinggi dari tim yang bermotivasi dan kompeten. (6) Gaya Memerintah. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menenangkan rasa takut dengan memberi arah yang jelas di dalam keadaan darurat. Dampak terhadap iklim emosi: karena seringkali disalahgunakan, dampaknya sangat negatif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika saat kritis, untuk membangkitkan perubahan arah, atau pada bawahan yang bermasalah. METODE PENELITIAN
Kepala Sekolah, dan otonomi guru. Jenis penelitian yang dipilih adalah hubungan korelasional. Berdasarkan kajian konseptual, maka rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. X
Y
Gambar 1. Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat Keterangan : X = Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Y = Otonomi Guru
Populasi dan Sampel Populasi Subyek Penelitian yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah guru SD Kota Salatiga. Populasi atau jumlah guru SD sekota Salatiga ada 832 orang. Jumlah guru tersebut tersebar dalam 4 kecamatan sebagai berikut: Kecamatan Tingkir: 198 orang, Kecamatan Argomulyo: 200 orang, Kecamatan Sidomukti: 169 orang, dan Kecamatan Sidorejo: 265 orang. Tabel 1. Jumlah dan Sebaran Guru SD Kota Salatiga Kecamatan Tingkir Argomulyo Sidomukti Sidorejo Jumlah
Jumlah 198 200 169 265 832
Sumber : Disdikpora Kota Salatiga
Sampel Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi (Ridwan, 2008: 39). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik area random sampling dengan anggapan bahwa guru SD Kota Salatiga adalah homogeny. Penentuan besaran sampel dihitung berdasarkan formulasi yang dikemukakan Isaac dan Michael seperti yang dikutip oleh Sugiyono. (Sugiyono, 2007: 126), diperoleh hasil sebagai berikut:
Disain Penelitian Penelitian ini bermaksud mengkaji hubungan antara Gaya Kepemimpinan 206
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
207
kepemimpinan bersifat emosi. Primal leadership mensyaratkan dilibatkannya kecerdasan emosi. Kepemimpinan yang cerdas dalam hal emosi akan mendatangkan resonance, dan akibatnya mendatangkan kinerja yang baik. Terobosan-terobosan baru dalam riset mengenai otak menunjukkan mengapa suasana hati dan tindakan pemimpin berdampak besar pada orang-orang yang dipimpinnya, dan penemuan-penemuan ini memberi kerangka baru tentang kekuatan pemimpin yang cerdas secara emosi untuk menginspirasi, membangkitkan gairah dan antusiasme, serta membuat orang tetap termotivasi dan komitmen. Secara ringkas keenam gaya kepemimpinan dari Goleman itu dapat didiskripsikan sebagai berikut: (1) Gaya Visioner. Bagaimana gaya ini Dampak terhadap iklim emosi: paling positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika perubahan membutuhkan visi baru, atau ketika dibutuhkan arah yang jelas. (2) Gaya Pembimbing. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghubungkan apa yang diinginkan seseorang dengan sasaran organisasi. Dampak terhadap iklim emosi: sangat positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika membantu karyawan memperbaiki kinerjanya dengan membangun kemampuan jangka panjang. (3) Gaya Afiliatif, bagaimana gaya ini membangun resonansi:menciptakan harmoni dengan saling menghubungkan orang-orang. Dampak terhadap iklim emosi: positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika menengahi benturan dalam tim, memotivasi di saat-saat yang menekan, atau menguatkan hubungan. (4) Gaya Demokratis. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghargai masukan positif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika membangun persetujuan atau kesepakatan, atau mendapat masukan yang berharga dari bawahan. (5) Gaya Penentu Kecepatan. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menghadapi tantangan dan tujuan yang menarik. Dampak terhadap iklim emosi: karena seringkali dilaksanakan secara buruk, dampaknya seringkali sangat negatif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika ingin mendapatkan hasil berkualitas tinggi dari tim yang bermotivasi dan kompeten. (6) Gaya Memerintah. Bagaimana gaya ini membangun resonansi: menenangkan rasa takut dengan memberi arah yang jelas di dalam keadaan darurat. Dampak terhadap iklim emosi: karena seringkali disalahgunakan, dampaknya sangat negatif. Kapan penggunaannya yang tepat: ketika saat kritis, untuk membangkitkan perubahan arah, atau pada bawahan yang bermasalah. METODE PENELITIAN
Kepala Sekolah, dan otonomi guru. Jenis penelitian yang dipilih adalah hubungan korelasional. Berdasarkan kajian konseptual, maka rancangan penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. X
Y
Gambar 1. Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat Keterangan : X = Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Y = Otonomi Guru
Populasi dan Sampel Populasi Subyek Penelitian yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah guru SD Kota Salatiga. Populasi atau jumlah guru SD sekota Salatiga ada 832 orang. Jumlah guru tersebut tersebar dalam 4 kecamatan sebagai berikut: Kecamatan Tingkir: 198 orang, Kecamatan Argomulyo: 200 orang, Kecamatan Sidomukti: 169 orang, dan Kecamatan Sidorejo: 265 orang. Tabel 1. Jumlah dan Sebaran Guru SD Kota Salatiga Kecamatan Tingkir Argomulyo Sidomukti Sidorejo Jumlah
Jumlah 198 200 169 265 832
Sumber : Disdikpora Kota Salatiga
Sampel Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang diambil sebagai sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi (Ridwan, 2008: 39). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik area random sampling dengan anggapan bahwa guru SD Kota Salatiga adalah homogeny. Penentuan besaran sampel dihitung berdasarkan formulasi yang dikemukakan Isaac dan Michael seperti yang dikutip oleh Sugiyono. (Sugiyono, 2007: 126), diperoleh hasil sebagai berikut:
Disain Penelitian Penelitian ini bermaksud mengkaji hubungan antara Gaya Kepemimpinan 206
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
207
Otonomi Guru
Tabel 2. Tabel besaran sampel N
1%
5%
10%
832
368,9816
245,4532
204,2543
Dari formulasi tersebut di atas dengan taraf kesalahan 1% = 368,9816, 5% = 245, 4532, 10% = 204,2543. Dari tabel tersebut sampel diambil 10% = 204,2543 dibulatkan = 204. Dari jumlah sampel 204 orang kemudian dibagi sesuai dengan jumlah yang tersebar dalam 4 kecamatan dihitung secara proporsional dengan menggunakan rumus
s
n N
s
Keterangan : s = jumlah sampel tiap unit (kecamatan) secara proporsi S = Jumlah seluruh sampel yang didapatkan n = jumlah masing-masing unit populasi
Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut Tabel 3. Distribusi Guru SD Kota Salatiga Sebagai sampel Penelitian Jumlah Guru SD Kota Salatiga
Sampel
Tingkir
198
49
2
Argomulyo
200
49
3
Sidomukti
169
41
4
Sidorejo
265
65
832
204
No
Kecamatan
1
JUMLAH
Berdasarkan tabel tersebut jumlah sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini sebanyak 204 orang guru SD Kota Salatiga. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan adalah metode angket. Angket yang berbentuk skala penilaian ini disusun sendiri oleh penulis terdiri dari dua bagian yaitu bagian pertama yang memuat identitas (atribut) responden dan bagian kedua yang berisi tentang gaya kepemimpinan (terdiri dari 28 item) dan otonomi guru (terdiri dari 123 item). 208
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Salah satu definisi yang terkenal tentang otonomi adalah dari Holec (1981), di mana dinyatakan bahwa otonomi adalah kemampuan guru untuk mengambil tanggungjawab dari keinginan belajar. Shizouka menyatakan: otonomi guru adalah sebuah proses yang berkelanjutan tentang bagaimana mengajar sebagai suatu usaha terbaik dalam meningkatkan otonomi belajar bagi para murid (Shizouka: 2000). Otonomi guru dikendalikan oleh sebuah kebutuhan personal dan perkembangan profesional, seorang guru otonom mungkin mencari kesempatan-kesempatan untuk mengembangkan karir mereka (Shizouka: 2000). Deskripsi Zara mengenai otonomi guru dan profesionalisme adalah sebuah gabungan interaksi setidak-tidaknya ada tiga elemen penting: pengembangan diri (keinginan untuk berubah), otonomi (memilih cara untuk berubah) dan kolaborasi (berubah melalui dukungan dan tantangan dari orang lain - sebuah kebutuhan untuk membicarakan pekerjaan) Jeans,1995). Otonomi guru tercermin dari kemandirian guru dalam mengatur dan mengurus apa yang menjadi tugasnya. Guru diharap mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum, memilih dan mengambil keputusan yang paling baik bagi anak didiknya, mengungkap berbagai gagasan kreatifnya, mengelola pembelajaran secara inovatif, mencobakan pendekatan - metode - sumber dan media pembelajaran yang baru. Singer mengemukakan model otonomi dibagi menjadi 6 (enam) sub komponen yakni: otonomi kurikulum, pedagogi, penilaian, pengembangan professional, disiplin murid, dan lingkungan ruang kelas. (Singer, 2006). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi guru adalah kemampuan untuk mengambil tanggungjawab dalam menentukan apa yang terbaik bagi murid, kelas dan sekolahnya. Guru otonom adalah guru yang professional dan hal itu tercermin dari kemandirian guru dalam mengatur dan mengurus apa yang menjadi tugasnya. Gaya Kepemimpinan Banyak buku-buku literatur yang mengulas gaya kepemimpinan. Kajian teori pada bab ini lebih banyak mengacu pada teori kepemimpinan dari Daniel Goleman. Teori yang dikembangkan oleh Goleman mencakup suatu konsep baru yaitu: primal leadership. Goleman berpendapat bahwa tugas dasar seorang pemimpin adalah memancing tumbuhnya perasaan positif dalam diri orang yang dipimpinnya. Ini akan terjadi jika seorang pemimpin menciptakan resonance-sumber sifat-sifat positif yang mampu menggerakkan orang untuk mengeluarkan upaya terbaiknya. Pada pokoknya, tugas dasar Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
205
pendidikan kepala sekolah dan guru yang selama ini tidak lagi menjadi bagian sebagai milik sekolah dan guru. Kembalikan kebebasan mendidik kepada guru. Memberikan kesempatan kepada para guru untuk memikirkan dan melakukan apa yang akan dibuat untuk mengembangkan pendidikan di sekolah. Sekolah juga dituntut untuk lebih berpikir dan tidak hanya menunggu petunjuk dari atas (Suparno, Paul, 2002:20). Guru berada di depan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Perubahan dan pembaharuan harus dimulai dari dalam kelas. Desentralisasi pendidikan membuka peluang besar terjadinya perubahan pengelolaan pembelajaran guru. Desentralisasi bukan hanya untuk mengembangkan praktik manajemen sekolah, tetapi juga menjamin perbaikan kualitas belajar mengajar. Bahkan, kualitas belajar mengajar di sekolah merupakan inti pendidikan. Upaya untuk meningkatkan kwalitas belajar harus menjadi fokus perhatian desentralisasi pendidikan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Hal senada dikemukakan oleh Wiratchai: "Dalam model reformasi sekolah, proses belajar dianggap sebagai tujuan utama" (Wiratchai, Nonglak, 2000). Dalam rangka memenuhi kualitas belajar mengajar dalam konteks reformasi pendidikan melalui pemberian otonomi pendidikan teristimewa dalam pengelolaan pembelajaran di kelas diperlukan guru dengan karakteristik: otonom dan profesional.
Mengingat syarat instrumen penjaringan data harus (memenuhi) valid dan reliabel, maka penyusunan ini menggunakan prosedur atau tahap mulai dari penyusunan angket, uji coba, dan uji validitas dan reliabilitas angket. Dari prosedur ini hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: • Variabel Gaya Kepemimpinan sebanyak 28 butir dinyatakan valid 24 butir sedangkan yang tidak valid 4 butir, yaitu butir nomor 2, 19, 21, 24. • Variabel Otonomi Guru sebanyak 23 butir dinyatakan valid 19 butir, sedangkan yang tidak valid 4 butir, yaitu butir nomor 1, 9, 14, 19. Teknik Analisa Data Data yang telah terkumpul dianalisis dengan analisis deskriptif, analisis korelasi. HASIL PENELITIAN Berdasarkan data yang terkumpul melalui penelitian dengan menggunakan instrumen pengumpul data yang telah ditetapkan, pada bab ini disajikan temuan penelitian. Melalui temuan penelitian ini dapat diperoleh jawaban atas rumusan masalah dan hipotesis yang diajukan. Temuan penelitian ini akan didahului melalui hasil analisis deskripsi yang sekaligus pemaknaan data semua variable penelitian.
PERUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Analisis Deskriptif
Rumusan masalah penelitian ini adalah: Apakah ada hubungan signifikan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru.
Sesuai dengan namanya hasil analisis deskriptif member gambaran atau informasi tentang data masing-masing veriabel yang dikaji. Hasil analisis deskriptif yang disajikan meliputi variabel Otonomi Guru dan Gaya Kepemimpinan. Berdasarkan data yang diperoleh melalui instrumen penelitian dapat disusun distribusi frekuensi sebagai berikut:
SIGNIFIKANSI PENELITIAN (a). Teoritis. Secara teoritis penelitian ini berupaya untuk menemukan dukungan fakta bahwa keberadaan guru sebagai komponen utama dalam manajemen pembelajaran sangat dibutuhkan adanya guru professional dan otonom. (b) Praktis, hasil penelitian diharap bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan dengan mutu pembelajaran harus dapat memberi perhatian dan peluang bagi para guru untuk mengembangkan diri sebagai guru yang profesional dan otonom. KAJIAN TEORI Pada bagian ini secara teoritis dikaji variabel bebas dan tergantung mengenai studi: otonomi guru, gaya kepemimpinan.
204
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Otonomi Guru Otonomi guru berdasarkan jawaban yang diberikan oleh para guru dari hasil analisis frekuensi diperoleh skor minimal 30 dan skor maksimal 77, sebagai ukuran atau tingkatan otonomi guru bergerak antara 30 sampai 77, nilai rata-rata hitung (mean) sebesar 54,94 dan simpangan baku sebesar 7.34. pernyataan yang berkaitan dengan otonomi guru terdiri dari 4 item pernyataan, jawaban dari masing-masing item pernyataan memiliki skor antara 1 - 4 dengan kategori jawaban sangat tinggi, tinggi, cukup, rendah. Selanjutnya dari masing-masing item pernyataan dijumlahkan untuk mendapatkan akumulasi skor. Berdasarkan hasil penelitian pada Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga memiliki skor terendah sampai tertinggi Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
209
yaitu 30 - 77 dengan memperhatikan lebar interval (P). Rumus yang digunakan yaitu P (77-30) = 47 = 12. =
4
4
Untuk melihat Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga Nilai Interval
Kategori
Jumlah
Prosentase
6
2,94
69 – 81
Sangat Tinggi
56 – 68
Tinggi
88
43,14
43 – 55
Cukup
101
49,51
30 – 42
Rendah
9
4,41
Jumlah
204
100
Berdasarkan hasil analisis frekwensi Otonomi Guru Sekolah Dasar kota Salatiga diperoleh mean skor sebesar 59,94 sedangkan berdasarkan kategorisasi seperti terlihat pada tabel 4 di atas menunjukkan bahwa Otonomi Guru Sekolah Dasar kota Salatiga sebagian besar pada interval 43 - 55, jumlah 101 responden, prosentase 49,51. Dari hasil analisis deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi cukup. Secara lebih jelas deskripsi skor Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat divisualisasi dalam gambar 2 berikut ini, Otonomi Guru
STUDI KORELASI ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN OTONOMI GURU Prasetyo Program Studi S1 PAUD FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Ini adalah penelitian korelasional tentang hubungan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dengan otonomi Guru. Populasi penelitian adalah 832 orang Guru Sekolah Dasar se Kota Salatiga, dengan sampel sebanyak 204 orang Guru SD yang tersebar di 4 (empat) Kecamatan di Kota Salatiga. Data dikumpulkan dengan angket, yang sebelum digunakan telah diujicobakan, dan diuji viliditas dan reliabilitasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa a) otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi cukup; b) gaya kepmimpinan Kepala Sekolah SD Kota Salatiga dalam klasifikasi tinggi, dan c) ada korelasi positif signifikan antara gaya kepemimpinan Kepala Sekolah dengan Otonomi Guru (koefisien korelasi sebesar rxy = 0.724). Koefisien tersebut menunjukkan bahwa semakin kuat gaya kepmimpinan Kepala sekolah, semakin kuat Otonomi Guru.
Kata Kunci: gaya kepemimpinan, kepala sekolah, otonomi guru LATAR BELAKANG
60 50
40
30
Frequency
30 Std. Dev = 7.34 Mean = 54.9 N = 204.00
10 0 30.0 35.0 40.0 45.0 50.0 55.0 60.0 65.0 70.0 75.0
Otonomi Guru
Gambar 2. Otonomi Guru Sekolah Dasar Kota Salatiga 210
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Pekerjaan guru adalah pekerjaan profesional. Sebagai pekerja profesional berdasarkan keahlian dan tuntutan tanggung jawab guru dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi siswa, kelas dan sekolahnya. Sebagai pekerja profesional guru harus dapat melepaskan diri dari campur tangan pihak lain secara berlebihan. Selama ini institusi pendidikan seperti sekolah telah menjadi bagian dari birokrasi pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan dan kepentingannya. Akibatnya, sekolah dan gurunya sudah tidak punya otonomi pendidikan lagi (Buchori, 2001:8). Di era reformasi ini, sudah dicanangkan otonomi pendidikan. Pendidikan tidak lagi sentralisasi, tapi lebih desentralisasi dan otonomi. Artinya, banyak hal sudah dipercayakan untuk ditangani dan dikelola oleh daerah bukan sekolah. Implementasi reformasi pendidikan adalah melalui cara mengembalikan fungsi-fungsi Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
203
Gaya kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga berdasarkan jawaban yang diberikan oleh para guru dari hasil analisis frekwensi diperoleh skor minimal 34 dan skor maksimal 94, sebagai ukuran atau tingkatan Gaya Kepemimpinan bergerak antara 34 sampai 94, nilai rata-rata hitung (mean) sebesar 71.64 dan simpangan baku sebesar 12,176. Pernyataan yang berkaitan dengan Gaya Kepemimpinan terdiri dari 4 item pernyataan, jawaban dari masing-masing item pernyataan memiliki skor antara 1 - 4 dengan kategori jawaban selalu, sering, jarang, tidak pernah. Selanjutnya dari masing-masing item pernyataan dijumlahkan untuk mendapatkan akumulasi skor. Berdasarkan hasil penelitian pada Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar. Kota Salatiga memiliki skor terendah sampai tertinggi yaitu 34-94 dengan memperhatikan lebar interval (P). Rumus yang digunakan P=
(94 - 34) = 60/4 = 15 4
Untuk melihat Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat dilihat pada tabel 5 Tabel 5. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga Nilai Interval
Kategori
Jumlah
Prosentase
45
22,06
82 – 97
Sangat Tinggi
66 – 81
Tinggi
105
51,47
50 – 65
Cukup
39
19,12
34 – 49
Kurang
15
7,35
204
100
Jumlah
Berdasarkan hasil analisis frekwensi Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga diperoleh mean skor sebesar 143,31 sedangkan berdasarkan kategorisasi seperti terlihat pada tabel 14 di atas menunjukkan bahwa Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga sebagian besar pada interval 66 - 81, jumlah 105 responden, prosentase 51,47. Dari hasil analisis deskriptif ini dapat disimpulkan bahwa Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dalam klasifikasi tinggi. Secara lebih jelas deskripsi skor Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga dapat divisualisasi dalam gambar 3 berikut ini. 202
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
211
Manne, S., Babb, J., Pinover, W., Horwitz, E. & Ebbert, J. 2003. Psychoeducational group intervention for wifes of men with prostate cancer. Psycho-Oncology. 13, 37-46. Matthews, G., Zeidner, M. & Robert, R. D. 2004. Emotional intelligence: Science and myth. Retrieved on 30 April, 2008 http://books.google.com/books?id= Fy9gXBgREtQC&printsec=frontcover&dq= improve +emotion + management &source= gbs_summary_r&cad=0 Mayer, J. D. 2007. Improving emotional knowledge and social effectiveness: Retrieved on 8 April, 2008 from http://www.unh.edu/emotional_intelligence/ei% Improve/ei%20improving%20home.htm Norušis, M. J. 2003. SPSS 12.0 Statistical procedures companion. N.J: Prentice Hall. Gambar 3. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga
Analisis Korelasi Tabel 6 adalah rangkuman koefisien korelasi Spearman' rho gaya kepemimpinan dan otonomi guru SD di Kota Salatiga dengan analisis statistik melalui SPSS for Windows Version 10 yang hasilnya sebagai berikut. Tabel 6. Korelasi antara Skor Gaya Kepemimpinan dan Otonomi Guru SD di Kota Salatiga NTILES of VAR00025 Kendall ’s tau_b
NTILES of VAR00025
NTILES of VAR00045
Spearman’s rho
NTILES of VAR00025
NTILES of VAR00045
Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N Correlation Coefficient Sig. (2.talled) N
1.000 . 204 .662** .000 204 1.000 . 204 .724** .000 204
NTILES of VAR00045 .662** .000 204 1.000 . 204 .724** .000 204 1.000 . 204
Sala, F., Druskat, V. U. & Mount, G. 2006. Linking emotional intelligence and performance at work: Current research evidence with individual and groups. Retrieved on 30 April, 2008 from http://books.google.com/books?id=H1ATtJq1kC&printsec= frontcover&dq=Linking+Emotional+Intelligence+and+ Performance+at+work:+current+research&source= gbs_summary_r&cad=0 Parker, J. D. A., Creque, R., Harris, J., Majeski, S. A., Wood, L. M. & Hogan, M. J. (n.d.). Academic success in high school does emotional intelligence matter? Department of Psychology. 1-6. Schutte, N.S., Malouff, J.M., Hall, L.E., Haggerty, D.J., Cooper, J.T., Golden, C.J., & Dornheim, L. 1998). Development and validation of a measure of emotional intelligence. Personality and Individual Differences, 25, 167-177. Wilson, F. R., Rapin, L. S. & Haley-Banez, L. 2000. Association for Specialists in Group Work: Professional Standards for the Training of Group Workers. Retrieved on October 1, 2007 from http://www.asgw.org/PDF/ training_standards.pdf
Tabel 6 di atas menunjukkan hubungan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru menghasilkan koefisien korelasi sebesar r xy = 0.724 Disimpulkan ada korelasi positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru. Dengan kata lain makin kuat skor gaya kepemimpinan, makin kuat pula skor otonomi guru. 212
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
201
some appropriate modification of the module to ensure that it is suit for the group members' population. Before using a module, a pilot test need to be conduct first to ensure that the module have a good validity and reliability. REFERENCES Austin, E. J., Evans, P., Goldwater, R. & Potter, V. 2005. A preliminary study of emotional intelligence, empathy and exam performance in first year medical students. Personality and Individual Differences. 1-11. Chan, D. W. 2003. Dimensions of emotional intelligence and their relationship with social coping among gifted adolescents in Hong Kong. Journal of Youth and Adolescence. 32 (6). 409-415. Chua Yan Piaw. 2005. Kaedah penyelidikan. Shah Alam: McGraw-Hill Education. Cherniss, C., & Goleman, D. 2008. Emotional intelligence. Learningmatters.com: For just time performance support. Retrieved on 30 April, 2008 from http:/ /learningmatters.com/index.html Ciarrochi, J., Chan, A. Y. C., Bajgar, J. 2001. Measuring emotional intelligence in adolescents. Personality and individual differences. 31 (2001), 1105-1119. Corey, M. S. & Corey, G. 2002. Groups: Process and practice (4th ed.). CA: Brooks/ Cole. Downing, N. E. & Walker, M. E. 1987. A psychoeducational groups for adult children of alcoholics. Journal of Counseling and Development. 65, 440-442. Fariselli, L., Ghini, M. & Freedman, J. (n.d.). Emotional intelligence and age. Six second: The emotional intelligence network. Retrieve September 20, 207 from http://www.6seconds.org/sei/wp-age.php Gladding, S. T. 2003. Group work: A counseling specialty (4th ed.). New Jersey: Merrill Prentice Hall. Harrod, N. R., Scheer, S. D. 2005. An exploration of adolescent emotional intelligence in relation to demographic characteristics. Adolescent. 40 (159), 503-513. Jacobs, E. E., Masson, R. L., & Harvill, R. L. 2006. Group counseling: Strategies and skills (7th ed.). Belmont, CA: Thomson Brooks/Cole. Janice, L., DeLucia-Waack. 2006. Leading psychoeducational groups for children and adolescents. London: Sage Publication. Lubin, H. & Johnson, D. R. 2000. Interactive psychoeducational group therapy in the treatment of authority problems in combat-related posttraumatic stress disorder. International Journal of Group Psychotherapy. 50 (3), 277-297.
200
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Uji Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada korelasi signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru SD di Kota Salatiga. Hasil analisis dari data yang dikumpulkan ditemukan: ada hubungan yang positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru, sehingga hipotesis yang telah dirumuskan dapat diterima. Pembahasan Hasil Penelitian Hasil analisis menyatakan ada hubungan positif dan sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru SD di Kota Salatiga. Dari hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa otonomi guru SD Kota Salatiga menunjukkan pada kategori cukup (49,1%). Angka ini menunjukkan bahwa posisi keotonomian guru masih berada pada tingkat yang belum memenuhi harapan. Hal ini dapat dipahami karena kehidupan guru masih ada dalam masa transisi di antara belenggu pengekangan dan pemberian kebebasan dalam menjalankan profesinya. Kebebasan pedagogik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik yang dalam kurun waktu lama tidak dapat dinikmati para guru dikarenakan manajemen yang sentralistik, maka keraguan, kecanggungan dan takut salah masih membayangi para guru dalam merespon desentralisasi pendidikan. Berbagai perubahan dalam dunia pendidikan seperti inovasi pembelajaran, manajemen berbasis sekolah, kurikulum tingkat satuan pendidikan dalam implementasinya masih membutuhkan waktu dan perjalanan panjang. Di kalangan guru banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu bahkan tidak merasakan makna perubahan dari sistem sentralisasi ke desentralisasi, mereka masih melaksanakan kebiasaan-kebiasaan lama. Para pejabat atau pemimpin pendidikan dan guru senior pada umumnya bertahan dengan melakukan kegiatan yang sentralistis. Paradigma baru perubahan manajemen sentralistik ke manajemen desentralisasi adalah "kemerdekaan" yang harus direspon secara positif disertai kemauan untuk berubah ke arah profesionalisme. Selain itu desentralisasi pendidikan menyebabkan guru kebingungan karena mereka harus betul-betul mengoptimalkan perannya secara menyeluruh, peran yang selama ini belum pernah mereka lakukan. Dari hasil analisis deskriptif ditemukan bahwa gaya kepemimpinan kepala Sekolah Dasar Kota Salatiga sebagian besar menunjukkan pada angka prosentase sebesar 51,47 persen atau sebanyak 105 orang dengan kategori tinggi. Kepemimpinan merupakan hal yang sangat menarik dan penting, karena seorang pemimpin akan membawa pengaruh kepada sekitarnya, Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
213
entah itu pengaruh positif atau negatif. Setiap kondisi yang ada dalam berbagai area kehidupan baik dalam dunia bisnis, dunia politik, kehidupan keluarga, dan lain-lain sangat bergantung dari kepemimpinan yang ditunjukkan oleh sang pemimpin. Tantangan kepemimpinan merupakan kondisi bagaimana seorang pemimpin melakukan banyak hal yang luar biasa dalam suatu organisasi yang dipimpinnya, di dalam kondisi yang sulit sekalipun. Untuk itu diperlukan kemampuan mendasar yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin agar mereka dapat berjalan dan membimbing orang lain untuk mencapai puncak keberhasilan. Kepala sekolah adalah pemimpin yang siap membuka diri dan memberi peluang untuk mengembangkan nilai-nilai kepemimpinan. Sikap seperti ini harus dimiliki oleh pemimpin pendidikan karena ia mempunyai tugas sebagai penggerak organisasi melalui penanganan perubahan. Keberadaan pemimpin bukan hanya sebagai simbol yang ada atau tidaknya menjadi masalah tetapi keberadaannya memberi dampak positif bagi perkembangan organisasi. Keberadaan pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekolah dengan menetapkan tujuan secara utuh (firm and purposeful), mendayagunakan bawahan melalui pendekatan partisipatif (a partisipale approach), dan didasari oleh kemampuan pemimpin secara professional (the leading professional) menjadi indikator pemimpin sekolah efektif (Komariah, 2004:40). Dalam fungsi gaya kepemimpinan variabel lain yang member sumbangan dapat kita telusuri dari kajian pustaka maupun hasil hasil penelitian yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan. Yukl mengemukakan variabel yang relevan untuk memahami efektivitas kepemimpinan adalah: karakteristik pemimpin, karakteristik pengikut, karakter situasi. Gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh teori sifat. Suatu pendekatan kepemimpinan yang dikembangkan di awal 1900-an adalah teori Sifat (Bass,1990, Yukl, 1981). Teori sifat menggunakan karakteristik fisik atau psikologis dari seorang pemimpin individu untuk mempelajari dan menerangkan cara kepemimpinan (Hoy & Miskel, 1996). Sifat-sifat pemimpin yang diperiksa selama studi-studi ini termasuk karakter fisik seorang pemimpin seperti tinggi, penampilan dan tingkat energi: karakter pribadi seperti harga diri, dominan dan kestabilan emosi; dan sifat-sifat kemampuan yang meliputi pengetahuan umum, kefasihan berbicara, keaslian dan pandangan sosial (Yukl, 1981). Pendekatan Behavioral menambah suatu dimensi baru pada kepemimpinan. Banyak usaha telah dilakukan untuk memahami tingkah 214
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
own and others' emotion and how to managing them. They had the opportunities to share their experiences and learn from each others. Benefits learn from group. As the result, their EI performance had increased because they had become more understanding own and other's emotion, and be competence to managing emotion and the way to handle the situations that related with emotional problems. As the leader of a psycho educational group, the leader more attempt to teach the members to learn about the EI skills. The guidance and encouragement from the leader are crucial because this would lead the members to be confidence solve on their emotional problems independently when out of group session. Sometimes, self-disclosures from the leader were necessary because it able to help the members be more understanding about the issues that discuss with. The limitation of the psycho educational group that intervene in this study is that one and half hours time was not enough allowed for the members to learn more. This is because the group spent a lot of time for the writing exercise, in addition the communication among members become lack. If the group take 2 hours time, it is believed that the better outcome may obtain. In short, this study proved that psycho educational group was a good approach for developing the EI among adolescent and able to improve their EI performance. RECOMMENDATIONS For future researchers, it is strongly recommend of the needs to have a follow up assessment with the treatment group in order to evaluate the long term effect of the group intervention towards their EI development. A diary as a type of written exercise is recommended to be use by future researchers. The members can bring their diary home and write out any reaction that they feel and thought towards the group to jot down any events that happens to them during the week that is relevance. The diary is periodically reading by the leader. Through the reading, the leader able to get know what is helpful in the group and be more understanding about the feeling and reacting of the members (Jacobs, Masson & Harvill, 2005). This exercise provides a rich source of information for the leader how to conduct the group in a better way and able to increase the effectiveness of the group intervention. If the future researchers would like to use the Module for Developing EI that had been used by the researcher, it is recommend that to make Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
199
According to Mayer (2007), the emotional knowledge could be enhanced through learning. The emotional knowledge and emotional functioning could be improved through certain educational curricula that focused on emotional learning. He encourages people to taking a brief course in emotions because he believed that this will give a positive effect on a person's social functioning. Cherniss (2008), EI could be developed through many ways such as practice, ongoing encouragement and reinforcement from others, support from the boss, experiential learning, EI trainers and coaches and anticipation and preparation for setback. Lopes, Cοté and Salovey (n.d., as cited in Sala, Druskat & Mount, 2006) viewed that EI consists of four interrelated abilities, which are perceiving and expressing emotions, using emotion to facilitate thinking, understanding emotion and managing own and others' emotion. These abilities encompass a several skills such as reframing negative events and empathic listening. They stated that emotional skills, abilities and intelligence as form of expertise and could be improved through learning and experience. Mattews, Zeider & Roberts (2004) mentioned that the aptitudes, skills, attitudes and values that important for the emotional competency development could be enhanced through emotional learning. The authors presented the assumption of Mayer and Geher (1996, as cited in Mattews, Zeider & Roberts, 2004) that it is possible to educate an individuals who are poor in emotional competencies to develop and improve their emotional abilities such as better recognize their feeling, feeling expression and regulation of emotion. Although the statistical analysis of pair-sample t-test showed that there were no significance difference changes for the four EI components (perception of emotion, managing own emotion, managing others' emotion and utilization of emotion) performances for treatment group after the intervention, the descriptive data analysis through the line graph clearly showed that their performance had been slightly improve as the effect of the psycho educational group intervention. All the null hypotheses for control group had been rejected since there were no significance changes of their EI performance, including the performance for four components of EI between the pre-test and post-test. This can be concluded that without the psycho educational group intervention, the EI performance was remain without any changes. Indirectly, these findings indicated that the Module for Developing EI was able to develop EI among adolescent girls. Besides, the validity and reliability that obtained from statistical analysis for the module was high. Through the psycho educational group, the members not only gain the knowledge about EI, but also had a chance to learn about how to perceive 198
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
laku apa yang membantu perkembangan pribadi dan perkembangan pekerja. Para peneliti menilai macam-macam tingkah laku yang digunakan dalam situasi kepemimpinan untuk menggambarkan tingkah laku kepemimpinan yang efektif. Pendekatan kemungkinan pada kepemimpinan adalah pendekatan pertama yang memadukan tingkah laku kepemimpinan dengan situasi yang berubah-ubah (Bass,1990). Dalam Teori kemungkinan Fiedler (1967), pemimpin berusaha memuaskan baik kebutuhan pribadi dan kebutuhan organisasional. Fiedler menyatakan bahwa situasi mem-pengaruhi tingkah laku pemimpin dan tidak ada sifat pribadi tertentu atau tingkah laku pemimpin tertentu yang menjamin adanya ke-pemimpinan yang baik dalam semua situasi. "Seseorang mungkin menjadi pemimpin yang sangat efektif pada suatu situasi tertentu tapi tidak efektif pada situasi lainnya" (Fiedler & Chemers: 1974, p. 73). Fiedler dan Chemers (1974) mengakui bahwa situasi sering mempengaruhi bagai-mana pemimpin akan bertindak. Komponen model kemungkinan dari Fedler yaitu: cara kepemimpinan ditentukan oleh motivasi pemimpin, atmosfer grup, tugas-tugas, struktur dan kekuasaan yang menentukan control situasional dan cara pemimpin yaitu: kontrol situasi yang menentukan keefektifan suatu grup (Hoy & Miskel, 1996). Pendekatan kekuasaan dan pengaruh pada kepemimpinan dikembangkan pada akhir 1950-an. Kepemimpinan dianggap sebagai suatu istilah kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, tipe-tipe kekuasaan dan cara kekuasaan itu digunakan. Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi bawahan, rekan sejawat, atasan dan orang-orang di luar organisasi (Yukl, 1981). Dua tema yang jelas pada teori kekuasaan yaitu kekuasaan sosial dan perubahan sosial. Kekuasaan Sosial ditentukan oleh pemimpin yang mempengaruhi pengikutnya dan perubahan sosial menekankan pada hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Lima dasar kekuasaan sosial yang diidentifikasi oleh Bensimon, adalah: kekuasaan yang sah, kekuasaan yang dihadiahkan, kekuasaan yang dipaksakan, dihubungkan dengan posisi kepemimpinan, sedangkan kekuasaan ahli dan kekuasaan yang diserahkan diketahui sebagai kekuasaan pribadi. Kelima dasar kekuasaan dapat digunakan oleh pemimpin-pemimpin dengan dua cara dasar (Yukl, 1981). Kekuasaan dapat digunakan untuk mendominasi dan menaklukkan bawahan atau kekuasaan mungkin digunakan untuk membantu dan meningkatkan kualitas pekerja (Yukl, 1981). Teori Perubahan sosial menjelaskan adanya hubungan yang saling melengkapi dimana pemimpin menyediakan layanan-layanan yang Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
215
ditukar dengan sifat tunduk dan tingkah laku grup yang selalu menyetujui (Yukl, 1981). Pemimpin-pemimpin mengumpulkan kekuasaan melalui posisi dan kepribadian. Kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan Transformasional timbul dari teori perubahan sosial (Yukl, 1981). Pemimpin Transaksional menyeimbangkan tuntutan suatu organisasi atau institusi dengan keperluan-keperluan orang-orang di dalam institusi (Gardner,1990). Kepemimpinan Transformasional berusaha untuk meningkatkan kesadaran pengikutnya dengan motivasi dan tingkat moralitas baru (Gardner,1990; Yukl, 1981). Pemimpin dan pengikutnya berbagi visi yang sama. Pemimpin Transformasional menghargai keadilan dan persamaan dan nilai-nilai yang memberikan pemberdayaan bagi pengikutnya. PENUTUP Kesimpulan Dari hasil perhitungan korelasi didapat hasil bahwa antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru menghasilkan koefisien korelasi sebesar rxy = 0.724. Disimpulkan ada korelasi positif sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan otonomi guru. Dengan kata lain makin kuat skor gaya kepemimpinan, makin kuat pula skor otonomi guru. Rekomendasi Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan sebagaimana telah dipaparkan dalam penelitian ini, rekomendasi yang perlu diberikan kepada berbagai pihak di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama, bagi para guru. Otonomi guru yang identik dengan profesionalisme guru adalah urusan guru itu sendiri. Perkembangan menjadi guru otonom atau professional tak dapat dipertaruhkan pada pihak lain tetapi lebih kepada diri sendiri. Melalui Undang-Undang Guru dan Dosen peluang bagi guru untuk menjadi otonom telah dibuka. Tugas utama guru adalah mengajar atau membelajarkan. Keberhasilan menjalankan tugas ini tentu tak dapat dilepaskan dari kegiatan belajar yang harus dilakukan oleh guru itu sendiri. Oleh karena itu belajar adalah jalan harus dilalui, dan setiap ada peluang perubahan harus dimanfaatkan. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan prinsip pengem-bangan kurikulum: a). berpusat pada potensi, perkembangan kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, b). beragam dan terpadu, c). tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, d). relevan dengan kebutuhan kehidupan, e). menyeluruh dan berkesinambungan, f). belajar sepanjang hayat, 216
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
5. Effectiveness of Psycho educational Group on Improving Utilization of Emotion Ho5a : There is no significance difference between score of utilization of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho5b : There is no significance difference between score of utilization of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. The mean difference 1.75 between pre-test (M=19.50, S.D=2.505) and post-test (M=21.25, S.D=2.527) was obtained by the treatment group for their utilization of emotion variable, which that their performance was slightly increase after they join in psycho educational group intervention. For control group, the mean difference between pre-test (M=21.67, S.D=2.741) and post-test (M=21.42, S.D=2.968) was 0.25, which could be consider that their performance was remain without any changes. Since the value p that obtained by treatment group (t=-2.008, p=0.070) and control group (t=0.239, p=0.815) was greater than 0.05, therefore both null hypotheses for 5a and 5b was accepted. This could be concluded that there was no significance different between the performances of utilization of emotion for treatment group and control group during the pre-test and post-test. RESEARCH IMPLICATIONS The findings evidenced that psycho educational group was effective on improving the EI performance among adolescents. This is because the analysis from the data obtained showed that there was a significance difference between the score for overall EI performance at the pre-test and posttest for treatment group after they had participated in the psycho educational group intervention. For control there, there was no significance difference. The study proved that the EI of adolescent girls had been increased and developed due to the effect of psycho educational group intervention. The resulted showed that after participated in the psycho educational group intervention, the respondents of treatment group had a significance difference (t = -2.779 with p<0.05) for the overall EI performance, with the increasing of mean difference 8.75. For control group who without psycho educational group intervention, their EI performance was remain and not have a significance difference (t = -0.307 with p>0.05). Thus, it can be concluded that the improvement of EI for treatment group was due to the effect of psycho educational group intervention. Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
197
Ho3b : There is no significance difference between score of managing own emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. For managing own emotion variable, the treatment group had reported be slightly increased. The value of mean difference between pre-test (M=29.17, S.D=6.103) and post-test (M=32.17, S.D=3.186) was 3.00. For control group, the mean difference for pre-test (M=32.92, S.D=3.232) and post-test (M=31.42, S.D=3.147) was 1.50, which showed that there was a slightly decrease in their managing own emotion performance. Both the null hypotheses for 3a and 3b was accepted because the obtain value of p for treatment group (t=-1.614, p=0.135) and control group (t=2.105, p=0.059) was greater than 0.05. The result evidenced that there was no significance difference between pre-test and post-test for treatment and control group on their managing own emotion performance after psychoeducation group intervention take placed. 4. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Managing Others' Emotion Ho4a : There is no significance difference between score of managing others emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho4b : There is no significance difference between score of managing others emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. Both treatment group and control group had slightly increased for their managing others' emotion after psycho educational group intervention. The mean difference of treatment group for pre-test (M=25.42, S.D=3.370) and post-test (M=37.33, S.D=3.200) was 1.912. For control group, the mean difference between pre-test (M=26.00, S.D=3.303) and post-test (M=28.17, S.D=2.657) was 2.17. Both treatment group (t=-1.817, p=0.097) and control group (t=1.847, p=0.092) gained the value of p that greater than 0.05. Thus, both null hypotheses for treatment group and control group were accepted. In others words, the results showed that after the intervention of psycho educational group, there was no significance difference between the pre-test and post-test of managing others' emotion for treatment group and control group. 196
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
g). seimbang antara kepentingan nasional dan daerah, menandakan bahwa kurikulum ini memberi peluang bagi guru untuk bebas menentukan apa yang terbaik bagi pengembangan kurikulum. Inovasi pembelajaran, manajemen berbasis sekolah, dan hal-hal lain bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan tentu harus disambut dengan baik. Kebiasaan menunggu instruksi harus mulai ditinggalkan, inisiatif, kreativitas untuk mencobakan sesuatu yang baru atau melakukan eksperimen sudah saatnya dimulai. Dalam Wawasan Kependidikan Guru (Raka Joni, 1984:14) menyebutkan hakekat guru meliputi: a) agen pembaharuan, b) pemimpin dan pendukung nilai, c) fasilitator belajar, d) bertanggungjawab terhadap hasil belajar subyek didik, e) professional meningkatkan kemampuannya, f) menjunjung tinggi kode etik profesional. Untuk dapat mewujudkan hakekat seperti yang dikemukakan Raka Joni sangat diperlukan adanya guru yang otonom. Guru itu sendiri harus dapat menciptakan budaya sekolah, komitmen, gaya kepemimpinan sebagai pemimpin pembelajaran, dan iklim belajar yang berorientasi pada mutu, kebebasan/kemandirian, manusiawi, menyenangkan, inovatif, kreatif, keteladanan, kooperatif, kesetaraan dan bertanggungjawab. Kedua, Kepala Sekolah dan para pemimpin kependidikan yang lain sudah saatnya meninggalkan gaya kepemimpinan yang birokratis. Gaya kepemimpinan yang demokratis, partisipatif, dan transformatif akan membuahkan budaya sekolah, dan iklim organisasi yang berpengaruh pada pengembangan otonomi guru. Tumbuhnya otonomi guru perlu dukungan gaya kepemimpinan yang member pengaruh terhadap tingkah laku guru dan karyawan di sekolah. Implikasi pada Penelitian Selanjutnya Berdasarkan temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan implikasi terhadap penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut. Pertama, peneliti selanjutnya agar mengadakan penelitian dengan pendekatan kualitatif atau riset pengembangan (research & development) mengingat penelitian mengenai otonomi guru masih belum banyak dilakukan. Melalui research & development akan dapat diungkap lebih mendalam halhal yang berkaitan dengan budaya sekolah, komitmen kepemimpinan, gaya kepemimpinan, budaya sekolah, iklim kerja, terhadap otonomi guru. Kedua, bagi para peneliti atau yang berminat dapat melakukan penelitian yang serupa (kuantitatif) untuk mengungkap variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap otonomi guru. Melalui penemuan variabel lain yang berpengaruh terhadap otonomi guru maka akan dapat digunakan sebagai kebijakan pengembangan otonomi guru secara lebih profesional.
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
217
Ketiga, perlu dilakukan penelitian evaluatif terhadap Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permen) No. 22 dan 23, tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan Untuk Satuan Pendidikan Dasar SD/MI. Lewat Permen ini pemerintah telah menyerahkan sepenuhnya kewenangan untuk menyusun kurikulum pada masing-masing unit pendidikan (sekolah). Hal ini mengisyaratkan perlu adanya otonomi sekolah dan otonomi guru. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberi peran bagi guru sebagai inisiator, programer, dan perencana, serta pemikir pembelajaran. Di samping KTSP hal hal yang perlu mendapatkan penelitian evaluatif adalah Manajemen Berbasis Sekolah sebagai terobosan baru desentralisasi pendidikan sampai dalam kelas. Inovasi pembelajaran seperti PAKEM apakah betul sudah diimplementasikan oleh para guru karena sudah didukung oleh sistem yang memadai. Keempat, perlu dilakukan penelitian studi kasus (case studi) pada sekolah yang sebagian besar gurunya telah menjalan tugas profesinya secara otonom agar temuan ini dapat digunakan sebagai model pengembangan otonomi guru. DAFTAR PUSTAKA Bass, B.M. 1981. Stogdill's Hands Book of Leadership. New York: The Free Press. Buchori, Mochtar. 2001. Pendidikan Antisipatonis. Yogyakarta: Kanisius. Fielder, F.E., & Chemers, M.M. 1967. Leadership and Effective Management. Glenview, IL: Scott, Foresman and company. Gardner, J.W. 1990. On Leadership. New York. NY: The Free Press. Holec. Autonomy and Complexity. http://www.veramenezes.com/autonomy.htm. Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1996, Educational Administration: Theory, Research and Practice (5th ed.). New York: McGraw-Hill. Jean A Bruce. The Development of professional Identity. http://www.care.edu.au/ 95pap/jeanb95115. Komariah Aan, Triatna Cepi. 2006. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. Raka Joni. 1984. Wawasan Kependidikan Guru. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
For control group, the mean difference for the score for pre-test (M=114.95, S.D=10.254) and post-test (M=115.67, S.D=10.790) was 0.75, which indicated that there was a very little increased for the mean total score for EI. The result indicated that there was a significant difference between the overall score of EI at pre-test and post-test for treatment group (t=-2.779, p = 0.018) since the value p that obtained was smaller than 0.05. Therefore, the null hypothesis 1a was rejected. For control group (t =-0.307, p =0.749), the result showed that there was no significance difference because the obtain value of p was 0.749 (p >0.05), thus the null hypothesis 1b was accepted. 2. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Perception of Emotion Ho2a : There is no significance difference between score of perception of emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho2b : There is no significance difference between score of perception of emotion variable for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. The mean difference between pre-test (M=33.25, S.D=3.841) and post-test (M=35.67, S.D=35.67) for treatment group is 2.42 which is slightly higher than control group. The control group obtained 0.33 for mean difference between pre-test (M=34.33, S.D= 2.807) and post-test (M=34.07, S.D=4.619). The value p that treatment group (t=-1.999, p=0.071) and control group (t=2.105, p=0.749) gained from analysis were greater than 0.05. Therefore, both Null hypotheses for 2a and 2b were accepted. This result indicated that there was no significance difference between score for perception of emotion variable at pre-test and post-test for both treatment group and control group after psycho education group had been intervened. 3. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving Managing Own Emotion Ho3a : There is no significance difference between score of managing own emotion variable for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention.
218
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
195
Research Instrument
Ridwan, 2003. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Gramedia
Schutte Self-Report Inventory (SSRI)
Singer Clayton, Lacoe. Decomposing teacher autonomy: A Study Investigating Types of Teacher Autonomy and How Current Public School Climate Affects Teacher Autonomy. http://wwwlib.umi,com/dissetations/preview-all/ 3209987.
Schutte Self-Report Inventory (SSRI) is an 33 items, with used of five-points scale self-report instrument that was built by Schutte, Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden and Dornheim, which based on Salovey and Mayer's original model of EI (Schutte, Malouff, Hall, Haggerty, Cooper, Golden and Dornheim, 1998), with the attempt to assess characteristic or trait of EI (N. S. Schutte, J. M. Malauff & N. Bhullar, personal communication, August 9, 2007).
Sugiyono, 2007. Metode Penelitian Pendidikan-Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R &D. Bandung: Penerbit Alfabeta. Suparno Paul, at al, 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi. Jogjakarta: Kanisius. Wiratchai Nongklak. Reforming Process for Learning Quality Development. http:/ /www.thailearn.org/schoolreform/4023.pdf.
Statistical Data Analysis To analysis the outcome of the study, paired-sample t-test is conducted. The researcher would make the description analysis based on the statistic outcome. This test is used to compares each pre-test score and posttest score to make identification whether the changes are simply random variation or if there is a reliable, meaningful change between the two sets of measures (Fariselli, Freedman and Ghini, 2006). T-test is usually used to test hypotheses about two population means. For paired-sample t-test, it used to test whether two population means are equal, and it need to have two measurements from pairs of people or objects that are similar in some important way (Norušis, 2003). In this study, the two measurement for control and treatment group is the pre-test and posttest. Pair-sample t-test was used to test the null hypotheses that average before and after rates are equal in the population.
Yukl, G.A. 1981. Leadership in Organizations. Englewood Cliffs, NJ: Prenticehall.
RESEARCH FINDINGS 1. Effectiveness of Psycho educational Group Intervention on Improving EI Hola : There is no significance difference between overall score of emotional intelligence for pre-test and post-test of treatment group after psycho educational group intervention. Ho1b : There is no significance difference between overall score of emotional intelligence for pre-test and post-test of control group after psycho educational group intervention. Through the result that obtained by pair-sample t-test, the different mean score of treatment group for pre-test (M=107.33, S.D=10.254) and post-test (M=107.33. S.D=9.681) was 8.75. This result indicated that there was an obvious increase for the mean score of EI for treatment group after they receive the psycho educational group intervention. 194
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Studi Korelasi Antara Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Otonomi Guru (Prasetyo)
219
Ciarrochi, Chan and Bajhar (2000) conducted a study about the use of the SSRI in adolescents. 131 students with the ages from 13 to 15 participated in this study. The study reported that female had a higher score of EI than males. They were identified being better at managing others' emotion and perceiving emotion but did not report being better at managing their own emotions. Besides, there are numbers of study show that EI scores among adolescents were significantly different between females and males, with females reporting higher EI levels (Brackett, Mayer & Warner, 2003; Katyal & Awasthi, 2005; Austin et al., 2005; Harrod et al., 2005). RESEARCH METHODOLOGY Research Design Quasi-experimental design had been selected by researcher to investigate this study. According to Chua Yan Piaw (2005), the quasi-experimental design had been used to replace pure experimental design because division of respondents' unable make with randomly during the respondent's selection process for the studies. Division of respondents is difficult to make because it is impossible for the respondents of control and treatment group possess of characteristics that are alike. Moreover, there are the studies which have variety independent variables that unable to be manipulate such as gender, race, age, educational level and so on. Thus, quasi-experimental design is especially suit to use in the study that focus on the natural characteristic of the respondents, with use the independent variable that unable to manipulate to be the objective of the study. Research Subjects The population for this study is the adolescent girls who have low or moderate level of EI. The population for this study is the adolescent girls who have low or moderate level of EI. The population are identified at the pre-test of the study through the used of SSRI. For screening, only adolescent girls with ages 16 or 17 and had been identified possess low or moderate level of EI will be selected as the sample for this study. The number of sample for this study is 24, which 12 of them serve as the members for control group and will not received any intervention. For the rest, they participated in treatment group and received the treatment of psycho educational group approach, which leaded by researcher.
220
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 203-219
Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
193
The secondary prevention intervention had been applied. The group provided a safe place for students to discuss their experience. Besides, the group focuses on confronting denial and educational. Films, discussion and handouts are used. The students reported that since they have a greater understanding of themselves and the disease of alcoholism, they become feel less responsible for others and more in control of their own life. Previous Studies of Relationship of Emotional Intelligence and Adolescent Harrod and Scheer (2005) studied the relationship of adolescents' EI score and their demographic characteristic (age, sex, household income, parents' level of education and location of residence). 200 youth ages 16 to 19 from Midwestern high schools participated in this study. In this study, adolescents' EI was measure with Bar-On Emotional Quotient Inventory Youth Short Version (Bar-On EQ-i: YV (S)). The study found that EI levels were positively related to females, parents' education and household income. However, they study did not show significant relationship between their EI and location of residence or age. Chan (2003) study the relationship of EI and social coping skills among gifted adolescents in Hong Kong. 259 students with ages of 12 to 16 years from Chinese University of Hong Kong participated voluntarily in this study. SSRI and Social Coping Questionnaire were used to measure the sample's EI level and their social coping skills. The study labels 6 coping strategies, which are Valuing Peer Acceptance, Involvement in Activities, Attempting Avoidance, Denying Giftedness, Prizing Conformity, and Discounting Popularity. The result showed that social skills as the most important component of EI predicting the use of strategies of Valuing Peer Acceptance and Involvement in Activities. 156 first year students with average age of 18.61 years participated in the study of Austin, Evans, Goldwater and Potter (2005) to examine the relationship of EI and exam performance. The findings supported the hypothesis that exam performance was positively and significantly related to EI score. Similar study was investigated by Parker, Creque, Harris, Majeski, Wood and Hogan (n.d.) for high school students from Canada. 667 students who ranged from 14 to 18 years old be the sample for this study. The result support that EI is a significant predictor of academic success. Academic success was found to be strongly associated with overall EI level and several EI dimensions such as interpersonal, adaptability and stress management abilities. 192
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH RASIO PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani Program Studi Pendidikan Matematika FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, bertujuan untuk mengetahui pendekatan ataupun strategi yang digunakan oleh mahasiswa S1 Pendidikan Matematika dalam menyelesaikan soal proporsi. Sebanyak 57 mahasiswa Pendidikan Matematika FKIP UKSW angkatan 2007-2008 dilibatkan dalam penelitian ini. Soal pemecahan masalah tentang proporsi yang diberikan berjumlah 3 buah. Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa S1 Pendidikan Matematika menggunakan pendekatan AnalitikSintetik. Disusul berikutnya adalah pendekatan holistik. Dari pendekatan Analitik-Sintetik mahasiswa menggunakan dua strategi kognitif saja, yaitu strategi linguistik dan proporsional. Diantara strategi yang digunakan, strategi proporsional adalah strategi yang memberikan paling banyak jawaban benar dibanding dengan strategi linguistik. Kata Kunci: Ratio, strategi pemecahan masalah, pendekatan pemecahan masalah matematika
PENDAHULUAN Latar belakang masalah Pembelajaran matematika saat ini masih cenderung menggunakan pendekatan konvensional yang menekankan pada keterampilan berhitung dari pada penguasaan konsep-konsep matematika. Sebagai akibatnya keterampilan berpikir pada aras tinggi seperti kemampuan kreatif matematik dan kemampuan pemecahan masalah kurang berkembang (Pomalato, 2005; Hafriani, 2004). Kemampuan pemecahan masalah matematis adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematis berdasarkan aspek memahami masalah, membuat rencana penyelesaian, membuat penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh (Sutriyono, 2005; Fitriani, 2002). Dalam pemecahan masalah, sering kali seseorang 221
menemui banyak kesulitan. Diantara kesulitan tersebut antara lain adalah dalam merefleksikan kata-kata dan permasalahan yang dikemukakan dari data yang diberikan, di mana sifat dasar dari ketidaktahuan adalah adanya kesulitan diproses kognitif yang membatasi solusinya. Proses tersebut dipahami dari kata-kata di mana suatu masalah dikemukakan, diperlukan pemahaman untuk menterjemahkan kata-kata dari masalah tersebut ke dalam kalkulasi aljabar yang akan menghasilkan persamaan yang diinginkan (Dube, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Dube (1990), Conroy & Sutriyono (1998), mendapatkan bahwa siswa melakukan pemecahan masalah rasio dengan dua pendekatan yang berbeda. Kedua pendekatan tersebut adalah holistik dan analitik-sintetik. Selanjutnya pendekatan analisis sintetik terbagi dalam tiga strategi kognitif. Ketiga strategi kognitif tersebut adalah linguistik, proporsional, dan bahasa. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah proporsi juga dikemukakan oleh Hanifa (2005) bahwa siswa mulai mengalami kesulitan pada tahap analisis perencanaan pemecahan masalah dan semakin banyak lagi yang mengalami kesulitan pada tahap berikutnya dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Berdasarkan fakta banyaknya kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah khususnya soal proporsi serta berbagai strategi penyelesaian yang telah diketemukan, penelitian ini bertujuan menganalisa strategi pemecahan masalah yang digunakan oleh mahasiswa Pendidikan Matematika UKSW angkatan 2007/2008 dalam menyelesaikan soal proporsi atau rasio. KAJIAN PUSTAKA Masalah matematika Suatu masalah disebut matematika bilamana masalah tersebut dapat dianalisis dan pemecahannya dapat diperoleh dengan menggunakan metode atau prosedur matematika. Suatu masalah dalam matematika dapat terbentuk pernyataan yang disebut pernyataan masalah (problem statement). Masalah matematika adalah suatu situasi yang berisi pernyataan matematika yang mengarahkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan dengan menggunakan metode matematika tetapi ia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk melakukannya (Kadir, 2008, Sutriyono, 2005). Kemampuan pemecahan masalah matematika Pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan keterampilan generik (Dahar, 1989). Pengertian ini mengandung makna bahwa ketika seseorang 222
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
LITERATURE REVIEW Previous Studies on Psycho Educational Group The application of principle of normal human development and functioning through group based educational and developmental strategies is the root for psycho educational group approach. This group applied in the context of here-and-now interaction. The objective of psycho educational group is to promote personal and interpersonal growth and development and the prevention of future difficulties. Such group is especially provided for people who may be at risk for the development of personal or interpersonal problems or who seek improvement of personal qualities and abilities (Wilson, Rapin & Haley-Banez, 2000). Previous study showed the effectiveness of psycheducational groups for various setting, people and issues. The study of Lubin, Loris, Burt and Johnson (1998) examined the effectiveness of a 16-week trauma-focused, cognitive-behavioural group therapy, named Interactive Psycho educational Group Therapy (IPGT), in reducing primary symptoms of Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) in five groups (n=29) of multiply traumatized women diagnosed with chronic PTSD. During each session, a brief psycho educational lecture will be given and followed by an interactive discussion that directed by the therapist then a wrap-up with an educational emphasis. Subjects were given booklets and given homework at the end of each session. Besides, the therapists used a blackboard to jot down important points in the lectures. The assessments were made at 1-month intervals during treatment, at termination and at 6month follow-up by using self-report and structured interview measured of PTSD and psychiatric symptoms. The result showed those depressive symptoms and all three clusters of PTSD symptoms such as reexperiencing, avoidance and hyperarousal are significance reduced. Meanwhile, the general psychiatric and dissociative symptoms showed near-significant reduced at termination. The study of Manne, Babb, Pinover, Horwitz and Ebbert (2004) assessed the effect of a 6-week psycho educational group intervention on the distress, coping, personal growth and marital communication of wives of men diagnosed with prostate cancer. The session topics related with healthrelated and psychological information. The study found that not differences regard to wives' psychological distress, but it showed the improvement in adaptive coping and indicators of psychological growth were found. The study of the impact of psycho educational group intervention had been examined by Downing and Walker (1987) as well. The study assess the impact of psycho educational groups for adult children of alcoholics. Psycho Educational Group Intervention for Adolescent (Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan)
191
psycho educational group, counselling group, psychotherapy group, and task and work group. Variety of group work are believed to be helpful to adolescent in making a successful development and growth which related with psychological and social issues (Gladding, 2003). During this transition period from childhood to adulthood, adolescent grow up psychically and mature mentally. They struggle with various psychological and social issues such as cope with crisis in identity, extraordinary peer pressures, dramatic physical changes, impending career decision, the desire for independence and self doubt (Wasielewski, Scruggs & Scott, 1997; as cited in Gladding, 2003). From a group, adolescents have the opportunity to identify their conflicting feeling, realize that they are not unique in their struggles, honestly question those value they decided to adjust, learn to communicate with peers and adults, learn from the modelling provided by the leader, and learn how to accept what others recommend and to give of themselves in return (Corey & Corey, 2002). Through psycho educational intervention, adolescents learn the improved way of functioning. They will be exposed with new cognitive concepts, ideas and exploration of their issues. The adaptive behaviours will be explored, discussed and practices for transfer to school and home. From the healing interaction of the group experience, their self-esteem, efficacy, and emotional satisfaction will be improved (Smead, 2002; as cited in Janice & DeLucia-Waack, 2006). In this study, the psycho educational group is used by the researcher to promote adolescent girls' emotional intelligence (EI).
telah mampu menyelesaikan suatu masalah, maka seseorang itu telah memiliki suatu kemampuan baru. Kemampuan ini dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan oleh seseorang, maka orang tersebut akan semakin banyak memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, perlu terus dilatih sehingga mampu menjalani hidup yang penuh kompleksitas permasalahan. Kemampuan untuk menghadapi permasalahan baik dalam permasalahan matematika maupun permasalahan dalam kehidupan nyata merupakan kemampuan Daya Matematis atau mathematical power (Syabani). Daya matematis didefinisikan oleh NCTM (1999) sebagai "Mathematical power includes the ability to explore, conjecture, and reason logically, to solve non-routine problems, to communicate about and through mathematics, and to connect ideas within mathematics and between mathematics and other intellectual activity". Kemampuan atau daya matematis juga meliputi pengembangan kepercayaan diri dan disposisi untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kwantitatif dan spasial dalam menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan. Selanjutnya menurut The Massachusetts Mathematics Framework (dalam Department of Education, 1996), pengembangan kemampuan atau daya matematis dapat dilakukan melalui pemecahan masalah (Problem Solving) komunikasi (Communication), penalaran (reasoning) dan koneksi (connections).
OBJECTIVE OF THE STUDY
Menurut Dube (1990), terdapat dua pendekatan model perilaku pemecahan masalah, yaitu pendekatan Holistik dan pendekatan AnalitikSintetik. Pendekatan Holistik adalah pendekatan di mana persamaan yang dituliskan oleh siswa merupakan hasil dari pandangan umum dari seluruh masalah sebagai satu kesatuan integral dan juga secara eksplisit dan hatihati dalam menyusun langkah-langkah. Pendekatan Holistik merupakan model pada tingkat makroskopik yang menyoroti pentingnya keputusan yang dibuat oleh pemecah masalah pada pendekatan yang digunakan. Sedangkan pendekatan Analitik-Sintetik adalah suatu pendekatan di mana siswa memecah atau membagi masalah yang diberikan dan yang tidak diketahui, kemudian menuliskan persamaan yang sebenarnya setelah menggunakan arti kata dan alasan matematika, manipulasi aljabar, dan kalkulasi aritmatika. Model tersebut ditunjukkan berikut ini.
General Objective The general objective of this study is to assess the effectiveness of psycho educational group on improving EI among adolescent girls. Specific Objectives 1. To identify the different score of EI between pre-test and post-test for treatment group and control group after psycho educational group take place. 2. To identify the different score of four elements of EI (perception emotion, managing own emotion, managing others emotion and utilization of emotion) for Schutte-Self Report Inventory (SSRI) between pre-test and post test for treatment group and control group.
190
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 189-201
Strategi pemecahan masalah
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
223
Presentasi masalah :
Masalah
PSYCHO EDUCATIONAL GROUP INTERVENTION FOR ADOLESCENT: IMPROVING EMOTIONAL INTELLIGENCE Salmah Mohamad Yusoff Universiti Malaysia Sarawak
Keputusan:
Tan Mei Jan
Pendekatan Holistik atau Analitik-Sintetik?
Universiti Malaysia Sarawak
ABSTRACT
Hasil:
Persamaan benar atau persamaan salah
Model analitik sintetik mengidentifikasi dari cara untuk mendapatkan hasil atau penyelesaian. Cara untuk mendapatkan hasil atau penyelesaian dianalisis ke dalam tiga strategi kognitif. Tiga strategi kognitif tersebut adalah linguistik, proporsional, dan fungsional. Dalam strategi linguistik persamaan didapatkan dari makna kata-kata dalam masalah atau dari susunan kata-kata dalam masalah. Selanjutnya dalam strategi proporsional persamaan didapatkan dari penggunaan pengetahuan perbandingan dan ukuran. Adapun strategi fungsional adalah strategi di mana persamaan yang dihasilkan oleh siswa adalah hasil dari penggunaan konsep fungsi matemaika. Pendekatan holistik banyak dilakukan oleh sebagian besar siswa yang berusaha menerapkan rumus teapi tidak kritis (Conroy& Sutriyono, 1998). Pendekaan Analisis-Sintetik dilakukan oleh siswa dengan menggunakan argumentasi yang masuk akal. Model yang kedua ini ditunjukkan sebagai berikut.
224
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
The aim of this study is to examine the effectiveness of psycho educational group on improving emotional intelligence (EI) among adolescent girls. Quasi-experimental design had been selected by researcher to investigate this study. 24 adolescent girls from Samarahan City who possess of moderate level of EI through the pre-test had been select randomly to be the sample in this study. 12 of them categorized as treatment group and participated in psycho educational group intervention, whereas another 12 of them were consider as control group and did not received any intervention. 10 modules had been developed from researchers as the treatment tools for the psycho educational group intervention. The findings indicated that respondents had significantly improved level of overall EI performance, but did not had significance improvement for the four components of EI (perception of emotion, managing own emotion, managing others' emotional and utilization of emotion) performance. For control group, the overall EI and four components of EI performance was remain and did not have significant improvement. Keyword: psycho educational group, emotional intelligence
INTRODUCTION Wilson, Rapin and Haley-Banez (2000) defines group work as "a broad professional practice involving the application of knowledge and skill in group facilitation to assist an interdependent collection of people to reach their mutual goals which may be intrapersonal, interpersonal, or work-related. The goals of the group may include the accomplishment of tasks related to work, education, personal development, personal and interpersonal problem solving, or remediation of mental and emotional disorders." For ASGW, they focus on four types of group work, which are 189
Analitik-Sintetik
Pendekatan :
Strategi kognitif :
Hasil :
Lingustik
Proporsional
Persamaan benar ( I )
Fungsional
Persamaan salah
Sumber Kesalahan : (I)= kesalahan dalam urutan kata, arti kata, arti frase, arti kalimat, penggunaan variabel jika menggunakan strategi linguistik kesalahan dalam perhitungan, manipulasi aljabar hubungan ekuivalen , penggunaan variabel jika menggunakan strategi fungsional atau proporsional
Ketrampilan dalam pemecahan masalah Terdapat beberapa karakteristik masalah matematika yang baik, Karakteritik tersebut adalah solusi untuk masalah melibatkan pemahaman konsep matematika yang berbeda, masalah dapat digeneralisasi atau diperluas ke berbagai sebuah situasi, masalah cocok untuk berbagai solusi. Perlu diketahui bahwa tidak semua masalah yang baik perlu memiliki semua karakteristik tersebut. Dalam menyelesaikan masalah matematika diperlukan langkahlangkah penyelesaian. Heuristik adalah aturan praktis untuk keberhasilan penyelesaian masalah, saran-saran umum yang membantu seorang individu untuk memahami masalah lebih baik atau membuat kemajuan solusinya. Selama bertahun-tahun, beberapa rangkaian Heuristik telah dikembangkan untuk membantu siswa dalam pemecahan masalah. Satu rangkaian heuristik yang telah terbukti berhasil dengan siswa dan guru di semua tingkat pengajaran adalah membaca, menyelidiki, memilih strategi, memecahkan, memeriksa dan memperluas (Sutriyono, 2005). Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengajarkan pemecahan masalah, yaitu waktu yang digunakan untuk pemecahan masalah, perencanaan, sumber yang diperlukan, peran teknologi, dan manajemen kelas. Kelima hal ini sangat perlu diperhatikan agar tujuan pembelajaran dengan pemecahan masalah dapat dicapai dengan hasil baik (Suherman dalam Kadir, 2008). Mayer 188
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
225
226 Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231 Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
4.
2. 3.
1.
P : prosentase hipotesis (Ho) dinyatakan = 0,50 q : 1 – 0,50 = 0,50 Op : perbedaan Hipotesis kerja (Ha) dengan hipotesis nol (Ho) dibagi pada tingkat kepercayaan tertentu.
ket : n : jumlah sampel P : proporsi populasi presentase kel. pertama q : proporsi sisa dalam populasi Z ½ : derajat koefisien kondensasi pada 99% dan 95% b : presentase perkiraan kemungkinan salah Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan tabel krecjle (kesalahan 5%) Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan momogram Harry King (populasi < 2000) → kesalahan s/d 15% Perhitungan jumlah sampel dengan rumus (sam pel > 100.000) ket : n : ukuran sampel yang diperlukan
Penentuan jumlah sampel dengan rumus :
Metode Sampling
Obyek : manusia, benda, hewan, tumbuhan, gejala, nilai tes, peristiwa, dll.
Teknik sampling
Teknik pengambilan data
Populasi yang tersedia (accesible population)
Populasi teoretis (teoretical population)
POPULASI & SAMPEL (bag dari populasi)
Meliputi 1. Sampling sistematis (berdasar urutan anggota populasi) 2. Sampling kuota (populasi punya ciri tertentu s/d kuota yang diinginkan diklasifikasikan dalam kelompok sampel) 3. Sampling aksidental (berdasarkan kebetulan dan langsung dari unit yang ditemui) 4. Sampling purposive (dengan pertimbangan tertentu) 5. Sampling jenuh (bila populasi kecil (<100) semua jadi sampel) 6. Snowball sampling (mula-mula kecil → memilih teman untuk jadi sampel → makin banyak)
Non Probability Sampling
Meliputi 1. Simple random sampling (langsung dilakukan pada unit sampling) 2. Proportionate stratified random sampling (pada populasi yang punya susunan bertingkat / berlapis) 3. Disproportionate stratified random sampling (pupulasi berstrata tapi kurang proporsional) 4. Cluster sampling (area sampling) (bila populasi terdiri
Probability Sampling
Alasan : * Ukuran populasi * Masalah waktu * Masalah biaya * Percobaan yang bersifat merusak * Masalah penelitian * Masalah ekonomis
Jenis penelitian dan variabel
menjadi
dibagi
Instrumen penelitian berupa masalah rasio yang jumlahnya tiga buah. Soal ini dikembangkan berdasarkan soal yang digunakan penelitian sebelumnya oleh Conroy & Sutriyono (1998). Adapun soal yang diberikan sebagai berikut: 1. Perbandingan umur Rudi dan umur ayahnya adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. 2. Gaji seorang karyawan mengalami kenaikan sebesar X. Perbandingan gaji sebelum kenaikan dan setelah mengalami kenaikan adalah 3:5. Jika gaji sebelum mengalami kenaikan adalah "B". Buatlah persamaan yang menghubungkan antara X dan B! 3. Pada sebuah perguruan tinggi, setiap 20 mahasiswa dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Jika "M" menyatakan banyaknya mahasiswa, Representative (dapat mewakili populasi secara baik)
METODE PENELITIAN
Populasi tak terbatas (Populasi tak terhingga)
Instrumen Penelitian bersifat
Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara membagikan persoalan rasio kepada mahasiswa. Soal dibagikan kepada mahasiswa di dalam kelas sebelum kuliah dimulai. Selanjutnya semua mahasiswa menyelesaikan soal-soal tersebut pada saat itu juga. Adapun bentuk instrumen berupa soal essai.
Berdasarkan banyaknya satuan analisis dalam suatu populasi
Subyek penelitian adalah mahasiswa program studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga angkatan 2007/2008 yang berjumlah 57 orang. Mahasiswa ini duduk pada semester ke-6 dan telah mengambil kuliah sekitar 100 sks.
Populasi terbatas (Populasi terhingga)
Subyek penelitian
Pengertian Sebagian / wakil populasi yang diteliti / sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang kesimpulannya akan diberlakukan untuk populasi
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendiskripsikan strategi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah rasio, yang didasarkan atas pekerjaan tertulisnya. Soal rasio dikembangkan berdasarkan soal penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Coroy & Sutriyono (1998). Adapun variabel dalam penelitian ini adalah jenis strategi pemecahan masalah pada persoalan rasio atau proporsional.
Wilayah generalisasi yang terdiri dari atas obyek / subyek yang memiliki kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya.
dalam Sutriyono (2005) melihat pemecahan masalah sebagai rangkaian operasi mental yang diarahkan ke suatu tujuan.
187
DAFTAR PUSTAKA Cruickshank, D.R. et.al. 2006. The Act of Teaching. New York: McGraw Hill Inc. Groundlund, N.E. 1993. How to Make Achievement Test and Assesment. Boston: Allyn and Bacon. Hamzah. 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Universitas Negeri Makassar: FMIPA. Jonassen, D.H., 1996. Handbook of Research for Educational Communication and Technology. New York: Macmillan Library Reference. Prawiradilaga, D.S. 2009. Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Pribadi, B.A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Dian Rakyat. Slameto, 2011. Penelitian Pendidikan SD. Jakarta: Dirjen PT Kementerian Pendidikan Nasional. Wolfolk, A. 2004. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
dan "D" menyatakan banyaknya dosen pembimbing. Buatlah persamaan yang menggambarkan pernyataan tersebut! Analisis data Analisis data dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah mengelompokkan jawaban mahasiswa ke dalam salah satu pendekatan. Tahap kedua adalah memilah pendekatan yang digunakan ke dalam salah satu strategi yang ada. Selanjutnya tahap ketiga, yaitu melihat benar salahnya jawaban responden dari masing-masing pendekatan atau strategi. Terakhir, adalah menghitung prosentase benar atau jawaban salah atas pendekatan atau strategi yang digunakan oleh responden. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pendekatan penyelesaian Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua pendekatan yang digunakan mahasiswa dalam menyelesaikan soal rasio. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-Sintetik. Di dalam pendekatan Analitik-Sintetik, responden menggunakan tiga strategi, yaitu: strategi linguistik, proporsional, dan strategi fungsional tidak muncul dalam menyelesaikan soal-soal rasio tersebut. Rata-rata prosentase mahasiswa yang menjawab dengan menggunakan pendekatan holistik sebanyak 17,54 persen, Analitik-Sintetik sebanyak 77,19 persen, dan 5,27 persen mahasiswa tidak mengisi dari tiga soal yang diberikan. Dari tiga soal yang diberikan terdapat mahasiswa yang hanya bia menyelesaikan satu soal, dua soal, atau ketiga-tiganya. Bagaimanapun pendekatan Analitik-Sintetik tetap dominan digunakan dibandingkan dengan pendekatan holistik. Penggunaan Strategi Penyelesaian Diantara responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi yang digunakan dalam menyelesaikan soal rasio tersebut berbedabeda. Terdapat tiga strategi yang digunakan oleh responden, yaitu strategi linguistik, proporsional, dan fungsional. Sebagian besar mahasiswa menggunakan strategi proporsional, yaitu 81.01 persen. Sebagian kecil saja responden yang menggunakan strategi linguistik, yaitu sebesar 18,99 persen. Dari ketiga strategi kognitif, terdapat satu strategi yang tidak pernah digunakan oleh responden yaitu strategi fungsional. Dari tiga soal yang diberikan strategi proporsional paling dominan digunakan oleh responden dibandingkan dua strategi lainnya, yaitu
186
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
227
strategi linguistik dan strategi fungsional. Kebenaran Jawaban dan Pendekatan yang Digunakan Diantara jawaban responden yang menggunakan pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-Sintetik terdapat jawaban yang salah dan jawaban yang benar. Dari 18,49 persen mahasiswa yang menjawab dengan pendekatan Holistik terdapat 5,36 persen saja yang menjawab benar, dan 13,13 persen yang menjawab salah. Kesalahan yang dibuat responden pada pendekatan holistik terjadi pada ketiga soal rasio yang diberikan, sedangkan kesalahan yang terjadi pada pendekatan holistik hanya terjadi pada soal rasio 1. Dari 81,51 persen responden yang menjawab dengan menggunakan pendekatan analitik-sintetik, terdapat 56.52 persen memberikan jawaban yang benar, dan hanya 24,99 persen responden memberikan jawaban yang salah. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan analitik-sintetik memberikan jawaban benar yang lebih banyak daripada jumlah jawaban yang salah. Jika dilihat lebih dalam lagi nampaknya jumlah jawaban benar yang diperoleh melalui pendekatan analitik-sintetik tetap menyumbang jawaban benar yang banyak pada setiap soal yang diberikan.
Tabel 4. Hasil Analisis Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktivisme Faktor Indikator 1
2
3
4
Kebenaran Jawaban dan Strategi yang Digunakan Dari 81,51 persen jawaban responden yang menggunakan pendekatan analitik-sintetik, terdapat dua strategi kognitif yang digunakan, yaitu strategi linguistik dan strategi proporsional, tidak ada responden yang menggunakan strategi fungsional. Persentase jawaban responden yang menggunakan strategi linguistik sebesar 18,99 persen dan persentase ini lebih kecil dibandingkan persentase jawaban responden yang menggunakan strategi proporsional yang besarnya mencapai 81,01 persen. Dari 81,01 responden yang menjawab menggunakan strategi proporsional, terdapat 54,66 persen responden memberikan jawaban benar, dan hanya 26,35 persen responden memberikan jawaban salah. Strategi proporsional memberikan jawaban benar yang lebih banyak daripada jumlah jawaban salah. Dilihat dari persentase tersebut tampak bahwa strategi yang dominan digunakan responden adalah strategi proporsional. Namun persentase kebenaran yang didapatkan akan lebih besar pada saat responden menggunakan strategi linguistik. Berikut ini beberapa contoh pendekatan dan strategi pemecahan yang digunakan oleh responden dalam menyelesaikan masalah rasio.
228
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
5
6
1. Seberapa tinggi perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran?. 2. Apakah pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa? 3. Apakah refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok? 1. Apakah bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topiktopik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru? 2. Apakah Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah? 3. Apakah refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki? 1. Adakah pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi? 2. Apakah metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik? 3. Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik? 1. Apakah pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat? 2. Apakah pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari? 3. Adakah bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif dikalangan mahasiswa? 1. Apakah pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa? 2. Seberapa jelas tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui? 3. Apakah metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar? 4. Apakah metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 1. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, apakah mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya?
PENUTUP Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini berhasil mendeskripsikan best/ good practices Perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Telah dihasilkan 5 faktor penentu Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktif. Model Pembelajaran Konstruktif dipandang relevan dengan hakikat pendidikan ke-SD-an dan telah terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran Pokok Bahasan Populasi dan Sampel pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan. Oleh karena itu layak untuk dilaksanakan dalam perkuliahan PGSD. Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
185
3. Pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa 4. Pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari 5. Bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topik-topik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru 6. Pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa 7. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya 8. Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah 9. Pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi 10.Refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok 11.Refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki 12.Metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran 13.Metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 14.Ada bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif di kalangan mahasiswa 15.Ada optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik. Selanjutnya terdapat 1 indikator yang valid pada aras sangat tinggi adalah "pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat" Pada akhirnya terdapat 1 indikator yang valid pada aras sedang adalah "metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar" Berdasarkan hasil penilaian mahasiswa terhadap efektifitas model pembelajaran berbasis konstruktivisme seperti diuraikan di atas, kemudian dilakukan analisis faktor guna memperoleh model akhir efektivitas model berdasarkan data lapang. Hasil analisis faktor efektivitas model pembelajaran konstruktivisme ini adalah sebagai berikut.
a. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Pendekatan Holistik Soal 1. Perbandingan umur Rudi dan umur Ayah adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur Ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. R : A = 3:7 A = 7/3 R
Ilustrasi di atas memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Holistik. Responden langsung memberikan jawaban tanpa perencanaan yang matang dalam menjawab. Jawaban yang didapatkan benar, namun jawaban tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Strategi Linguistik Soal 2. Perbandingan umur Rudi dan umur Ayah adalah 3:7. Jika umur Rudi "R" dan umur Ayah "A", buatlah model matematika yang menyatakan A dalam R. R :A= 3: 7 R
A
=
R Rudi
3
A Ayah
7
7R = 3 A
R=
3A = 7R
3A 7
R=
7R 3
Ilustrasi di atas memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi linguistik dalam pemecahan masalah. Responden menuliskan secara runtut soal, baru kemudian menggunakan pengetahuan matematisnya untuk menyelesaikan masalah. Seluruh responden yang mengerjakan soal di atas dengan menggunakan strategi linguistik seperti pada ilustrasi di atas mendapatkan jawaban benar. Pemecahan Masalah dengan Menggunakan Strategi Proporsional Soal 3. Di sebuah perguruan tinggi setiap 20 mahasiswa dibimbing oleh satu dosen pembimbing. Jika "M" menyatakan banyaknya dosen pembimbing. Buatlah persamaan yang menggambarkan pernyataan tersebut. 20: 1 M: D 20 M= 1 D
1 D =20 M
* *) 20 M = D D = 20M
184
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
229
Pada ilustrasi tersebut memaparkan jawaban responden yang menggunakan pendekatan Analitik-Sintetik, strategi proporsional. Pada ilustrasi tersebut, responden kurang cermat dalam melakukan pengerjaan yang menghasilkan jawaban salah. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam menyelesaikan soal proporsi, mahasiswa S1 Pendidikan Matematika menggunakan dua pendekatan. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan Holistik dan pendekatan Analitik-sintetik. Di antara kedua pendekatan tersebut yang paling banyak digunakan oleh mahasiswa adalah pendekatan Analitik-Sisntetik (81,51%), disusul dengan sedikit pendekatan Holistik yang hanya 18,49 persen mahasiswa saja. Dalam pendekatan Analitik-Sisntetik terdapat dua strategi kognitif yang digunakan, yaitu strategi linguistik dan strategi proporsioanl. Tidak ada mahasiswa yang menggunakan strategi fungsional dalam menyelesaikan masalah proporsi tersebut. Temuan strategi yang digunakan ini berbeda dengan temuan dari Conroy dan Sutriyono (1998) yang dalam penelitiannya menemukan tiga strategi kognitif, yaitu linguistik, proporsional, dan fungsional. Dalam penelitian Conroy dan Sutriyono yang menjadi responden adalah mahasiswa D2 PGSD (Program 2 tahun untuk mendidik calon guru SD), sedangkan dalam penelitian ini adalah mahasiswa S1 Pendidikan Matematika yang tentu saja kemampuan matematikanya jauh lebih baik karena telah enam semester kuliah. Nampaknya, ada kecenderungan bahwa pendekatan Analitik-Sintetik digunakan oleh lebih banyak pada responden yang konsep-konsep dasar matematikanya sudah cukup baik. Diantara dua strategi kognitif yang digunakan, strategi proporsional lebih banyak digunakan oleh mahasiswa S1 Pendidikan Matematika dibandingkan dengan strategi linguistik. Strategi proporsional ini juga memberikan banyak jawaban benar pada mahasiswa dibandingkan mahasiswa yang menggunakan strategi linguistik. Berdasarkan hasil tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu keterampilan pemecahan masalah masih cukup menjadi kendala oleh sebagian mahasiswa, meskipun mahasiswa Pendidikan Matematika sekalipun. Oleh karena itu pengembangan kurikulum harus lebih intensif untuk memasukkan keterampilan menyelesaikan masalah matematika. Pengajar di program studi Pendidikan Matematika juga perlu melatih keterampilan menyelesaikan masalah matematika yang pada akhirnya lulusan program ini dapat menghasilkan guru yang mempunyai ketrampilan dalam membimbing siswa dalam pemecahan masalah.
230
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
Tabel 3. Validasi Model Berdasarkan Penilaian Mahasiswa Pertanyaan/Indikator 1. Seberapa tinggi perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran?. 2. Seberapa jelas tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui? 3. Apakah pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat? 4. Apakah pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa? 5. Apakah pengaitan yang dilakukan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru atau akan dipelajari? 6. Apakah bentuk-bentuk kegiatan pengaitan, misalnya melalui diskusi topik-topik yang spesifik relevan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru? 7. Apakah pertanyaan yang diajukan memunculkan gagasan-gagasan asli dari mahasiswa? 8. Berdasarkan gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, apakah mahasiswa dapat membangun pengetahuan yang baru di dalam dirinya? 9. Apakah Komponen eksibisi (presentasi mahasiswa) memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti kuliah? 10. Adakah pengetahuan baru telah dibangun oleh mahasiswa setelah/ dengan menjawab pertanyaan/topik diskusi? 11. Apakah refleksi dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kelompok? 12. Apakah refleksi juga memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki? 13. Apakah metode ini mampu menumbuhkan partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran 14. Apakah metode ini mampu menumbuhkan keceriaan dan antusisme mahasiswa dalam belajar? 15. Apakah metode ini mampu menghasilkan pesan yang menarik? 16. Adakah bukti pelaksanakan pembelajaran yang memungkinkan tumbuhnya kebiasaan positif dikalangan mahasiswa? 17. Adakah optimisme mahasiswa akan berhasil lebih baik?
Modus Jawaban ST T Sd R V V V V V V V V V V V V V V V V V
Berdasarkan hasil penilaian mahasiswa seperti tersaji dalam tabel 3 di atas, ternyata model pembelajaran konstruktivisme ini cukup valid; sebagian besar dinilai pada aras tinggi yaitu 15 indikator, terutama dengan model pembelajaran ini mahasiswa optimis akan berhasil lebih baik. Lima belas indikator yang valid pada aras tinggi adalah sebagai berikut: 1. Perkuliahan ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran 2. Tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui tergambar dengan jelas 3. Pengelompokkan yang dilakukan relevan dengan pengalaman belajar mahasiswa Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
183
kemudian berdiskusi 1 kelompok memilih untuk 2 peserta membaca dalam hati (menyimak) dan dilanjutkan melaksanakan tugas seperti yang ada pada Unit Materi 2 kelompok masing-masing membagi materi menjadi 2 sesuai Sub Unit yang ada dengan membuat tanda-tanda dengan catatan kecil; kemudian mengerjakan latihan dan tes formatif 1 kelompok menyururuh 1 anggota membaca materi, anggota lainnya mencatat terus berdiskusi 1 kelompok yang terdiri dari 5 orang anggota, membagi diri menjadi 2 sub kelompok (3 anggota laki-laki membaca materi kemudian mencatat; 2 anggota perempuan membaca dan mengerjakan latihan soal). 3. Diskusi Tema setiap kelompok 1 tema (10') Apa alasan diadakannya penarikan sampel dalam penelitian? Apa yang dimaksud dengan populasi? Cara apa saja yang dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya sampel? Bagaimana supaya sampel dapat mewakili populasi? Apa ciri-ciri sampel yang baik? Apa kelebihan dan kelemahan teknik sampling yang ada pada materi? Dilanjutkan dengan pertanyaan: Apa komentar dan saran kelompok?) Terdapat 1 kelompok yang lebih cepat selesai, kemudian melanjutkan mengerjakan latihan. Namun ada juga 1 kelompok yang masih sibuk mencatat hasil oleh sekretaris. Latihan yang mereka pilih adalah menghitung sampel. 4. Presentasi/Ekzibisi hasil kerja kelompok (15') Salah satu contoh hasil kerja kelompok dalam bentuk peta konsep seperti terlampir 5. Berdasarkan hasil presentasi diajukan beberapa pertanyaan kepada dosen tentang rumus dan penggunaannya, tingkat kepercayaan, tabel Krice, nomogram dan konfirmasi penghitungan. 6. Refleksi (5') penyimpulan dan tindak lanjut (latihan dan atau tes formatif yang belum dikerjakan dengan tuntas dipakai sebagai PR 7. Pengisian lembar balikan juga di PR-kan karena waktu sudah habis. VALIDASI MODEL BERDASARKAN PENILAIAN MAHASISWA Dengan menggunakan 17 item yang dijabarkan dari model pembelajaran konstruktivisme yang dinilai oleh mahasiswa setelah akhir perkuliahan diperoleh hasil seperti berikut ini.
182
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
DAFTAR PUSTAKA Asmin. 2003. Problem Solving Matematika Realistik. Medan: Universitas Medan. Conroy J.S, Sutriyono.1998. Problem Solving Skills with Ratios, and Mathematical Perceptions of Student Enrolled in the Program D2 PGSD. Satya Widya, Vol.9 No.2, hal:89-101. Dahar, R.W. 1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Pusat Kurikulum. Balitbang. Dube, Lilia. Modeling Mathematical Problem Solving Behaviour. Miami : D & D American Technologies Inc. Firdaus, Ahmad. 2004. Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Melalui Pembelajaran Menggunakan Tugas Bentuk Super Item. Bandung. Tesis: UPI Bandung. Fitriani, Andhin Dyas. 2005. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Melalui Strategi Means-Ends Analisis (Penelitian Tindakan Kelas terhadap Siswa Kelas X-4 SMAN 24 Bandung Tahun Ajaran 2005/2006). Bandung. Skripsi: UPI Bandung. Hafriani. 2004. Pengembangan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Mahasiswa Melalui Problem-Centered Learning: Penelitian Tindakan Kelas Pada Mahasiswa Jurusan Tadris Matematika IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Gelar Magister Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika. Bandung. Tesis: UPI Bandung. Pomalato, Sarson Waliyatimas Dj. 2005. Pengaruh Model Treffinger dalam Pembelajaran Matematika dalam Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Bandung. Gelar Doktor Pendidikan Jurusan Pendidikan Matematika. Tesis: UPI. Sutriyono. 2005. A Simple Guide for Teaching Problem Solving. Salatiga: Widya Sari. Sutriyono. 2005. Menghayati Pendidikan Matematika. Salatiga: Widya Sari. Wiji, Unggul. 2001. Analisa Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal-Soal Turunan Fungsi Trigonometri Kelas II Cawu II SMU Taman Madya Jetis Yogyakarta Tahun Ajaran 2000/2002. Yogyakarta. Skripsi: Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa. Mumun Syaban. Menumbuhkembangkan Daya Matematis Siswa. Jurnal Pendidikan dan Budaya, Vol.IX No.7 Hal.45.
Strategi Pemecahan Masalah Rasio (Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani)
231
Namun instrumen yang akan digunakan pengembang akan disusun berdasarkan kemampuan instrumen tersebut ketika mengukur hasil belajar mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. Oleh karena itu, tidak cukup hanya berbentuk obyektif, tetapi juga tes uraian yang dilengkapi tes kinerja/performance. Ketiga jenis instrumen ini dipandang sesuai untuk digunakan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivistik, karena jenis tes ini bersifat sistematik, digunakan untuk melakukan evaluasi hasil belajar yang tidak dapat diukur melalui tes obyektif. Walaupun tes obyektif dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan atau hasil belajar, khususnya aspek kognitif, namun performance test sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengetahui tingkat pencapaian kemampuan mahasiswa yang bersifat nyata. Menurut Grondlund (1993), ada beberapa aspek hasil belajar yang dapat diukur secara efektif melalui penggunaan performance test yaitu: • Kemampuan dalam mengidentifikasi, misalnya menentukan bagianbagian dari suatu sistem sebagai suatu keseluruhan • Kemampuan membangun atau mengkonstruksi, yaitu keterampilan dalam menyusun komponen-komponen menjadi satu kesatuan utuh, dan • Kemampuan dalam melakukan atau mendemonstrasikan sesuatu, seperti mengoperasikan peralatan atau menerapkan proses atau prosedur. PELAKSANAAN DAN HASIL PENGEMBANGAN Berdasarkan materi ajar Penelitian Pendidikan SD 2011 unit 9 Populasi dan Sampel, pengembangan model pembelajaran konstruktivisme ini dilaksanakan pada mata kuliah statistik pendidikan untuk 1 pertemuan pada 2 kelas. Langkah -langkah yang ditempuh adalah seperti berikut ini. 1. Pendahuluan (10') Pembukaan dengan penjelasan tentang materi bahasan dan kompetensi yang akan dikuasai melalui pokok bahasan ini; serta proses perkuliahan sesi pertemuan ini. 2. Bekerja kelompok (50') Pembentukan kelompok, disepakati menggunakan kelompok yang sudah terjadi untuk kegiatan perkuliahan yang lalu sehingga ada 6 kelompok kemudian dilanjutkan dengan pengaturan tempat duduk dan peserta memasuki kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok mendalami materi tertulis yang diterimanya (seperti terlampir); Setiap kelompok diberi kebebasan menetapkan cara untuk mempelajarinya: 1 kelompok memilih membaca bersama dan membuat peta kosep 232
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 221-231
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
181
Media pembelajaran yang digunakan harus dapat memicu terjadinya proses berpikir mahasiswa dalam rangka membangun kompetensi. Sekalipun sudah dirancang pada perangkat pembelajaran (seperti pada materi terlampir), penetapan/pemilihan strategi pembelajaran yang akan digunakan masih perlu direvisi sehingga benar-benar dapat melatih mahasiswa untuk mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan yang sedang dipelajari. Revisi didasarkan hasil validasi/masukan pakar. Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pendekatan pembelajaran konstruktivistik adalah penggunaan instrumen evaluasi dan penilaian hasil belajar. Beragam instrumen evaluasi hasil belajar pada dasarnya dapat digunakan dalam pendekatan pembelajaran konstruktivistik.
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER*) Yari Dwikurnaningsih Program Studi S1 Bimbingan dan Konseling FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Merosotnya nilai- nilai moral dalam kehidupan para remaja kita yang ditandai dengan tindakan-tindakan tidak terpuji, merupakan keprihatinan bersama karena bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini. Kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa mendorong para ahli pendidikan merumuskan konsepkonsep tentang pendidikan karakter dan mempraktekannya. Sekolah adalah lembaga sosial kedua setelah keluarga yang mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter dan watak anak. Peran guru dalam pendidikan karakter adalah menjadi model perilaku bagi peserta didik, menggunakan kata-kata untuk membangun karakter, menciptakan/memanfaatkan lingkungan, mengembangkan ketrampilan peserta didik dalam mengambil keputusan dan berbagi tanggung jawab serta mengembangkan karakter siswa melalui Life Skills Education. Faktor pendukung perwujudan peran guru adalah: kerjasama orang tua, sekolah dan masyarakat; lingkungan yang nyaman dan menyenangkan; kurikulum dan modul yang berbasis karakter dan kultur sekolah yang kondusif.
Tabel 2. Aktivitas Pembelajaran Tingkat Topik Mata Kuliah Pengampu Waktu No
Komponen
: : : : :
Perguruan Tinggi Populasi dan Sampel Statistik Pendidikan Slameto 90 menit Aktivitas Pembelajaran
1
Situasi (5 menit)
Tujuan dari pembelajaran ini adalah mengenalkan konsep populasi, dan sampel. Materi yang akan diajarkan meliputi konsep populasi dan sampel, metode dan teknik sampling, serta penentuan besarnya sampel.
2
Pengelompokan (5 menit)
Mahasiswa terbagi dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan maksimal 5 orang. Setiap kelompok mendapat sejumlah topik penelitian beserta keterangan singkatnya. Kelompok pertama bertugas menganalisa alasan, manfaat dan tujuan dari diadakannya penarikan sampel. Kelompok kedua menganalisa topik-topik mana saja yang memerlukan penarikan sampel dari populasi. Kelompok ketiga menganalisis teknik sampling yang paling tepat bagi topik-topik tertentu. Kelompok keempat bertugas menghitung banyaknya sampel dari sebuah populasi dalam beberapa topik penelitian. Kelompok kelima bertugas menganalisis dampak dan follow up dari penentuan sejumlah sampel tertentu dari populasi.
3
Pengaitan (10 menit)
Dosen menjelaskan secara singkat tentang langkah-langkah menarik sampel yang meliputi pencarian informasi mengenai besarnya populasi, penentuan tingkat kesalahan, menentukan proporsi sampel dari populasi, teknik sampling, dan diperolehnya sejumlah sampel dengan kriteria tertentu.
4
Pertanyaan (20 menit)
5
Eksibisi (40 menit)
Dosen mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa mengenai hal-hal berikut: 1. Apa alasan diadakannya penarikan sampel dalam penelitian? 2. Apa yang dimaksud dengan populasi? 3. Cara apa saja yang dapat dipergunakan untuk menentukan besarnya sampel? 4. Bagaimana supaya sampel dapat mewakili populasi? 5. Apa cirri-ciri sampel yang baik? Kelompok diminta mengemukakan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan sesuai dengan tugas masing-masing. Pada saat pemaparan opini, kelompok lain dapat memberikan opini, mengajukan pertanyaan, dan diskusi. Setiap kelompok maju sesuai dengan sistematika materi yang telah ditetapkan.
6
Refleksi (10 menit)
Pada akhir sesi pembelajaran, guru atau instruktur meminta pendapat atau pandangan mahasiswa tentang pengetahuan yang telah diperoleh dari proses pembelajaran tentang populasi-sampel
Kata Kunci: peran guru, pendidikan karakter.
PENDAHULUAN Dalam situs resmi BKKBN terungkap berita yang mengejutkan, yaitu menurut hasil survei di 33 provinsi tahun 2008 yang dilakukan oleh salah satu lembaga, 63 persen remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. Persentasi remaja yang melakukan hubungan seksual pra nikah tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahuntahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar, Makalah disajikan pada One Day Seminar “Membangun Pendidikan yang Berkulaitas dan Berkarakter” yang diselenggarakan oleh YSK Widyawacana Surakarta, 13 November 2010. *)
180
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
233
Informasi tersebut hanyalah sebagian dari fenomena gunung es merosotnya nilai-nilai moral dalam kehidupan para remaja kita. Tawuran pelajar, maraknya peredaran narkoba di kalangan siswa, adanya siswa yang terlibat dalam tindakan kriminal, dan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya merupakan keprihatinan kita bersama. Tidak hanya di kalangan remaja saja, secara umum bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai problem dan krisis kebangsaan yang serius. Gejala beberapa karakter negatif yang melanda bangsa ini, seperti: budaya korup, hipokrit, materialistik, lebih menyukai jalan pintas, intoleran, kekerasan, distrust (ketidakpercayaan kepada pihak lain), dan lain-lain. Berbagai permasalahan silih berganti menyita perhatian semua anak bangsa. Jika tidak segera ditangani dan diantisipasi, maka problem dan krisis itu bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini, dari karakter positif ke negatif. Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah mempraktekkannya. Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership. Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukkan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolahsekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor risiko yang disebutkan ternyata 234
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
kesempatan kepada mahasiswa untuk berpikir tentang aplikasi dari pengetahuan yang telah mereka miliki. Pendekatan konstruktivistik dapat diaplikasikan pada semua jenjang dan satuan pendidikan. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam menerapkan pendekatan konstruktivistik adalah memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk membangun pengetahuan dengan menggunakan beragam sumber belajar yang tersedia. DISAIN AWAL PRODUK: MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Desain sistem pembelajaran yang berlandaskan pendekatan konstruktivistik perlu memasukkan komponen-komponen pembelajaran yang menjadi prinsip pendekatan konstruktivistik seperti yang dikemukakan oleh Gagnon dan Collay (Pribadi, B.A. 2009), yaitu situasi, pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi, dan refleksi. Berikut ini adalah disain awal yang akan dikembangkan yaitu desain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan pembelajaran konstruktivistik (bandingkan dengan contoh Pribadi, B.A., 2010). Disain awal produk berikut ini, merupakan disain sistem pembelajaran pada mata kuliah Statistik Pendidikan bagi mahasiswa PGSD untuk Pokok Bahasan Populasi dan Sampel; materi lengkap yang terdapat pada lampiran masih perlu penyesuaian dengan aktivitas pembelajaran yang dirancang seperti pada tabel 2. Berdasarkan disain awal pembelajaran berbasis konstruktivistik di atas, para mahasiswa akan memperoleh pengalaman belajar yang dapat memungkinkan mereka membangun pengetahuan yang sedang dipelajari. Dosen perlu bertindak kreatif agar dapat menciptakan pengalaman belajar yang bermakna bagi mahasiswa. Hal ini merupakan kunci bagi penggunaan pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Metode, media, dan strategi pembelajaran yang digunakan dalam aktivitas pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik akan dipilih agar dapat mendukung mahasiswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Demikian pula halnya dengan penggunaan media pembelajaran, akan dipilih dengan cermat agar dapat mendukung mahasiswa dalam membangun pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari dan sesuai dengan aktivitas pembelajaran konstruktivistik. Sebagai contoh, penggunaan media power point yang menayangkan isi program perkuliahan perlu diikuti dengan kegiatan diskusi yang memungkinkan mahasiswa membangun pengetahuan dan keterampilan.
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
179
1. Situasi Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran. Selain itu, dalam komponen situasi juga tergambar tugas-tugas yang perlu diselesaikan oleh mahasiswa agar mereka memiliki makna dari pengalaman belajar yang telah dilalui. 2. Pengelompokkan Komponen pengelompokkan dalam aktivitas pembelajaran berbasis pendekatan konstruktivis memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan interaksi dengan sejawat. Pengelompokkan sangat bergantung pada situasi atau pengalaman belajar yang ingin dilalui oleh mahasiswa. Pengelompokkan dapat dilakukan secara acak (random) atau didasarkan pada kriteria tertentu (porposive). 3. Pengaitan Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki mahasiswa dengan pengetahuan yang baru. Bentuk-bentuk kegiatan pengaitan sangat bervariasi, misalnya melalui pemecahan masalah atau diskusi topik-topik yang spesifik. 4. Pertanyaan Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam aktivitas pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli yang merupakan inti dari pendekatan pembelajaran konstruktivistik. Dengan munculnya gagasan-gagasan yang bersifat orisinal, siswa dapat membangun pengetahuan di dalam dirinya. 5. Eksibisi Komponen eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk dapat menunjukkan hasil belajar setelah mengikuti suatu pengalaman belajar. Pengetahuan seperti apa yang telah dibangun oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik? Pertanyaan seperti ini perlu dijawab untuk mengetahui hasil belajar mahasiswa. 6. Refleksi Komponen ini pada dasarnya memberi kesempatan kepada dosen dan mahasiswa untuk berpikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah mereka tempuh baik personal maupun kolektif. Refleksi juga memberi 178
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anakanak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Sekolah, adalah lembaga sosial kedua setelah keluarga yang mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter dan watak anak. Interaksi anak dengan guru, teman, administrator sekolah, akan memperluas pengetahuan dan wawasan anak serta penghayatan mereka mengenai nilainilai kehidupan yang penting bagi perkembangan dirinya, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Pada bab II past UU RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa "pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab". Dari apa yang tercantum dalam undang-undang tersebut dimaknai bahwa proses pendidikan yang dilaksanakan lembaga sekolah tidak dapat diartikan hanya sebagai proses pengalihan pengetahuan dari keterampilan dari guru ke siswa. Lebih daripada itu, pendidikan yang dilaksanakan harus dapat rnembentuk watak atau karakter yang lebih baik dari para peserta didik, dan dengan menjadi lebih baik berarti pula bahwa ia akan menjadi lebih bermartabat. Membangun karakter anak sejak dini, sangat penting bagi orang tua dan guru, harapannya agar anak sejak dini memiliki karakter yang baik. Membangun karakter anak dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal, non formal maupun informal. Pada dasarnya setiap pendidik mendambakan anak-anak yang cerdas dan berperilaku baik dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga mereka kelak akan menjadi anak-anak yang unggul dan tangguh menghadapi berbagai tantangan dimasa depan. Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
235
Namun perlu disadari bahwa generasi unggul semacam demikian ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya. Mereka sungguh memerlukan lingkungan subur yang sengaja diciptakan untuk itu, yang memungkinkan potensi anakanak itu dapat tumbuh optimal sehingga menjadi lebih sehat, cerdas dan berperilaku baik. Dalam hal ini guru dan orang tua mempunyai peran yang amat penting. PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Guru atau pendidik memiliki tanggung jawab besar dalam menghasilkan generasi yang berkarakter, berbudaya, dan bermoral. Guru merupakan teladan bagi siswa dan memiliki peran yang sangat besar dalam pembentukan karakter siswa. Dalam UU Guru dan Dosen, UU no 14 tahun 2005, guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sementara itu Slavin (1994) menjelaskan bahwa performa mengajar guru meliputi aspek kemampuan kognitif, keterampilan profesional dan keterampilan sosial. Sedang Borich (1990) menyebutkan bahwa perilaku mengajar guru yang baik dalam proses belajar-mengajar di kelas ditandai oleh penguasaan materi pelajaran, kemampuan penyampaian materi pelajaran, keterampilan pengelolaan kelas, kedisiplinan, antusiasme, kepedulian, dan keramahan guru terhadap siswa. WF Connell (1972) menyebut tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Oemar Hamalik, tugas dan tanggung jawab guru meliputi 11 macam, yaitu: guru harus menuntun murid-murid belajar, turut serta membina kurikulum sekolah, melakukan pembinaan terhadap diri anak (kepribadian, watak, dan jasmaniah), memberikan bimbingan kepada murid, melakukan diagnose atas kesulitan-kesulitan belajar dan mengadakan penilaian atas kemajuan belajar, menyelenggarakan penelitian, mengenal masyarakat dan ikut aktif di dalamnya, menghayati, mengamalkan, dan mengamankan Pancasila, turut serta membantu terciptanya kesatuan dan persatuan bangsa dan perdamaian dunia, turut mensukseskan pembangunan, dan tanggungjawab meningkatkan professional guru. Pandangan-pandangan di atas menegaskan bahwa peran guru dalam dunia pendidikan modern sekarang ini semakin meningkat dari sekedar pengajar menjadi direktur belajar. Konsekuensinya, tugas dan tanggung 236
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
DISAIN MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Disain Belajar Konstruktivis sebagai model mikro, menekankan proses belajar yang dialami oleh mahasiswa. Model ini disusun berdasarkan teori konstruktivisme. Sudah tentu mahasiswa berperan jauh lebih aktif dan menempati porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan model Kegiatan Belajar Mengajar pada umumnya (berbasis behavioristik). Kekhasan model ini (Prawiradilaga, 2009) diantaranya: 1. Model disain pembelajaran yang mengkhususkan diri pada terjadinya proses belajar dan peserta didik yang proaktif 2. Strategi belajar termasuk pengembangan belajar tim yang diterapkan secara intensif 3. Aspek refleksi dimaksudkan agar peserta didik juga berperan dalam menilai proses belajarnya. Ia harus bisa mengantisipasi masalah belajar. Selain itu, ia juga dilatih untuk mengatasi masalah belajar tadi dengan bantuan pengajar. Selanjutnya model pembelajaran berbasis konstruktivisme (Prawiradilaga, 2009) adalah seperti berikut ini. Gagnon dan Collay (Pribadi, B.A. 2009) mengemukakan sebuah disain sistem pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivistik. Disain yang dikemukakan terdiri atas beberapa komponen penting dalam pendekatan aliran konstruktivistik yaitu situasi, pengelompokkan, pengaitan, pertanyaan, eksibisi dan refleksi. Tabel 1. Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivisme Situasi
Apa kegunaan episode belajar yang Anda ajarkan? Bagaimana Anda mengetahui bahwa mahasiswa Anda sudah selesai dan mencapai tujuan belajarnya? dan seterusnya.
Tim
Pengelompokkan mahasiswa tergantung situasi yang Anda rancang dan materi ajar yang tersedia. a. Mahasiswa - bagaimana Anda akan mengelompokkan mereka agar mereka dapat belajar dan mencapai tujuan dengan berhasil? b. Materi-apakah Anda berharap semua mahasiswa terlibat aktif dengan semua kegiatan, bagaimana dengan pemikiran kolaboratif mereka
Penghubung (bridge)
Kegiatan apa yang akan Anda pilih sebagai penghubung antara pengetahuan prasyarat dengan pengetahuan atau kemampuan yang akan mereka pelajari?
Pertanyaan
Pertanyaan apa yang akan Anda ajukan terkait dengan elemen Desain Belajar Konstruktivis? Apa saja pertanyaan pemandu yang akan Anda ajukan untuk menjelaskan tentang situasi, pengelompokkan dan penghubung?
Pameran
Bagaimana mahasiswa akan ‘memamerkan’ hasil karya mereka sebagai bukti bahwa mereka telah mencapai pemahaman?
Refleksi
Bagaimana mahasiswa akan merefleksikan hasil belajar meraka, apa yang sudah mereka lakukan, pelajari atau apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah?
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
177
Pola pikir dan komponen-komponen yang terdapat di dalam disain sistem pembelajaran biasanya digambarkan dalam bentuk model yang direpresentasikan dalam bentuk grafis atau flow chart. Model disain sistem pembelajaran biasanya menggambarkan langkah-langkah atau prosedur yang perlu ditempuh untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang efektif, efisien dan menarik. Menurut Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, B.A. 2009), model desain sistem pembelajaran ini akan membantu Anda - sebagai perancang program atau kegiatan pembelajaran - dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan efisien. Model disain sistem pembelajaran berperan sebagai alat konseptual, pengelolaan, komunikasi untuk menganalisis, merancang, menciptakan, mengevaluasi program pembelajaran. Pada umumnya, setiap disain sistem pembelajaran memiliki keunikan dan perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Perbedaan juga kerap terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun demikian, model-model desain tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang program pembelajaran yang berkualitas. Fausner (Pribadi, B.A. 2009) berpandangan bahwa seorang perancang program pembelajaran tidak dapat menciptakan program pembelajaran yang efektif jika hanya mengenal satu model disain. Perancang program pembelajaran harus mampu memilih disain yang tepat dan sesuai dengan situasi atau setting pembelajaran yang spesifik. Untuk itu diperlukan adanya pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang model-model disain sistem pembelajaran dan cara mengimplementasikannya. Model Disain Belajar Konstruktivis sebagai model mikro, menekankan proses belajar yang dialami oleh peserta didik. Model ini disusun berdasarkan teori konstruktivisme, menurut Prawiradilaga (2009) bermanfaat untuk: 1. Membina peserta didik menjadi lebih mandiri 2. Mengembangkan daya kreativitas peserta didik karena ia harus memperlihatkan hasil belajar atau karyanya 3. Berlatih bekerja sama dengan anggota tim peserta didik. 4. Keterbatasan dari model ini menurut Prawiradilaga (2009) diantaranya: 5. Belum banyaknya penelitian terkait model ini yang mengindikasikan keefektifan model 6. Kemungkinan pengajar yang belum terbiasa akan lebih sulit untuk menerapkan model ini 7. Melatih peserta didik untuk refleksi, mandiri, dan menilai diri sendiri tidak mudah.
176
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
jawab guru pun menjadi lebih kompleks dan berat. Guru bukan hanya pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik karakter, budaya, dan moral bagi para peserta didiknya. Daoed Yoesoef (1980) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui peserta didik dan seharusnya diketahui oleh peserta didik.Tugas manusiawi adalah tugastugas membantu peserta didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal. Jelas bahwa Guru adalah frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan karakter, budaya, dan moral. Kesejahteraan suatu bangsa yang ditopang oleh pilar kemajuan teknologi dan ekonomi sangat bergantung pada kemajuan pendidikan karena sistem yang dibangun suatu negara tidak akan berhasil tanpa dukungan SDM yang berkualitas. Peran guru menjadi sangat esensial dalam perspektif pengembangan karakter bangsa melalui proses pendidikan yang berkualitas. Hal hal yang perlu dilakukan oleh Guru dalam proses pendidikan karakter menurut Akin dkk (1995) adalah sebagai berikut: a) Menjadi Model Perilaku bagi Peserta Didik • Perlakukan siswa dengan kasih sayang dan rasa hormat, berikan contoh yang baik. • Bagikan keyakinan-keyakinan moral Anda dengan para siswa • Ceriterakan layanan kemasyarakatan yang telah Anda lakukan • Rumuskan tujuan tujuan akademis dan moral yang jelas bagi kelas Anda • Sajikan pembelajaran yang terencana dengan baik • Mengajarlah dengan antusias • Kembalikan pekerjaan siswa sesegera mungkin • Jangan menggosip tentang siswa atau teman sekerja • Tunjukkan tenggangrasa terhadap guru lain • Dampingi siswa yang bermasalah.
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
237
b) Menggunakan kata-kata untuk Membangun Karakter • Nyatakan pembinaan karakter dalam kalimat anjuran yang positif, seperti : "datanglah tepat waktu", "perlakukan teman lain secara adil", " lakukan yang terbaik", "jaga perkataan kamu" dll. Hindari penggunaan kata-kata negatif seperti "jangan terlambat", "jangan nakal", dan "jangan pernah ingkar janji". • Ajarkan nilai secara langsung. Gunakan kata-kata seperti layak dipercaya, hormat, tanggungjawab, peduli dsb, tuliskan dan definisikan, identifikasi perilaku yang terkait dengan nilai tersebut dan beri kesempatan siswa untuk mempraktikkan perilaku-perilaku tersebut. c) Menciptakan/Memanfaatkan Lingkungan • Bantulah siswa untuk mengenal satu sama lain, saling hormat dan peduli satu sama lain, dan mengalami perasaan sebagai bagian dari kelompok • Melalui belajar kooperatif ajari siswa untuk saling menolong satu sama lain dan bekerja sama. • Tunjukkan gambar, foto-foto orang ternama, poster-poster, dan kutipan-kutipan pendapat yang mencerminkan tujuan moral yang tinggi dan tujuan-tujuan dari kelas Anda. • Ajarkan nilai bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat. d) Mengembangkan ketrampilan Peserta Didik • Tanamkan nilai-nilai kewarganegaraan dengan melakukan rapat kelas, untuk mendiskusikan masalah yang muncul • Libatkan siswa dalam pengambilan keputusan dan berbagi tanggungjawab dalam mewujudkan kelas sebagai tempat yang positif untuk belajar Ajarkan proses pengambilan keputusan yang mendorong siswa untuk membuat pilihan sadar di antara berbagai pilihan yang telah dipertimbangkan masak-masak, bukan saja dari segi keefektifan relatifnya dalam mencapai tujuan, namun juga dari sisi konsekuensi moralnya. Ajarkan ketrampilan untuk mendengar, berkomunikasi, kepedulian (assertiveness), memecahkan masalah, resolusi konflik dan mengelola penolakan atau resistensi. Beri kesempatan pada siswa untuk membuat pilihan Gunakan subyek akademik sabagai sarana untuk menguji isu-isu etis
238
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
Dalam hal ini, dosen tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai penyaji informasi. 7. Dosen harus dapat memberi bantuan berupa scafolding yang diperlukan oleh mahasiswa dalam menempuh proses belajar. Pendekatan konstruktivistik menghendaki peran dosen yang berbeda dengan yang selama ini berlangsung. Dosen tidak lagi berperan sebagai seorang yang menyiapkan diri untuk melakukan presentasi pengetahuan di depan kelas, tetapi merancang dan menciptakan pengalaman-pengalaman belajar (learning experience) yang dapat membantu mahasiswa memberi makna terhadap konsep-konsep dan ilmu pengetahuan yang sedang dipelajari. Dosen perlu melatih mahasiswa agar mampu mengaitkan, membuat rasional, dan memaknai konsep-konsep yang dipelajari. Agar kegiatan pembelajaran yang dilandasi oleh pendekatan konstruktivistik dapat memberikan hasil yang optimal, ada beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian. Newby, dkk. (Pribadi, B.A. 2009) mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran yaitu sebagai berikut: 1. Berikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan belajar dalam konteks nyata. Belajar terjadi manakala mahasiswa menerapkan pengetahuan yang dipelajari dalam mengatasi suatu permasalahan. 2. Ciptakan aktivitas belajar kelompok. Belajar merupakan sebuah proses yang berlangsung melalui interaksi sosial antara dosen dan mahasiswa dalam menggali dan mengaplikasikan kombinasi pengetahuan yang telah mereka miliki. 3. Ciptakan model dan arahkan mahasiswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan. Dosen dan mahasiswa bekerja bersama untuk mencari solusi terhadap suatu permasalahan. Dosen, yang pada umumnya memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas/ekstensif, perlu memberi arah yang konsisten agar mahasiswa dapat memperoleh pengalaman belajar yang bermakna. PENGEMBANGAN DESAIN MODEL PEMBELAJARAN Sebelum lebih jauh membahas tentang model desain sistem pembelajaran, terlebih dahulu kita perlu mengenal istilah model. Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut (Pribadi, B.A. 2009). Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
175
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berpikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan mahasiswa dalam mengkonstruksi dan mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan mahasiswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh dosen. Konstruksi pengetahuan (Pribadi, B.A. 2009) merupakan proses berpikir dan menafsirkan tentang suatu peristiwa yang dialami. Setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Oleh karenanya pengetahuan yang dimiliki oleh individu merupakan pengetahuan yang bersifat unik pula. Proses belajar dalam diri individu dapat dikatakan telah terjadi apabila pengetahuan yang telah dimiliki dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman baru secara utuh, lengkap dan lebih baik daripada sebelumnya. Mahasiswa perlu mengaitkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru. Mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru merupakan hal yang prinsip untuk membangun ilmu pengetahuan.Tujuan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran menurut Pribadi, B.A. (2009) adalah agar mahasiswa memiliki kemampuan dalam menemukan, memahami, dan menggunakan informasi atau pengetahuan yang dipelajari. Implementasi pendekatan konstruktivistik dalam kegiatan pembelajaran perlu memperhatikan beberapa komponen penting sebagai berikut: 1. Belajar aktif (active learning) 2. Mahasiswa terlibat dalam aktivitas pembelajaran yang bersifat otentik dan situasional. 3. Aktivitas belajar harus menarik dan menantang. 4. Mahasiswa harus dapat mengaitkan informasi baru dengan informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut "bridging". 5. Mahasiswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang sedang dipelajari. 6. Dosen harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator yang dapat membantu mahasiswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan. Dalam 174
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Doronglah siswa untuk melakukan refleksi moral dengan jalan membaca, menulis dan diskusi Beri siswa kesempatan untuk merespon isu-isu moral.
Pada sisi lain, di Indonesia selama ini pendidikan karakter dilaksanakan juga melalui pendidikan kecakapan hidup atau Life Skills Education. Life skills education merupakan salah satu pendekatan dalam pendidikan yang banyak digunakan untuk membantu perkembangan anak dan remaja. Empat komponen penting dan mendasar dalam pendidikan karakter, yang tercakup di dalam life skills education adalah 1) pemahaman akan siapa aku; 2) pemahaman akan apa tujuan hidupku; 3) pemahaman akan siapa orang-orang yang ada di sekitarku; dan 4) keterampilan untuk membuat suatu keputusan melalui berpikir kritis dan pemecahan masalah. Peran guru dalam pendidikan karakter melalui life skill education tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Membantu siswa untuk memperoleh pemahaman diri. Pemahaman diri merupakan dasar dari pembentukan karakter. Pemahaman diri menyadarkan individu bahwa setiap manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan dianugerahi kelebihan dan kekurangan masingmasing. Setiap manusia berbeda dari manusia yang lain. Oleh karena itu setiap manusia adalah unik. Keunikan manusia harus disyukuri, dihargai serta dihormati. Cinta kasih Tuhan YME yang tanpa syarat merupakan dasar dari penciptaan Tuhan akan manusia dan alam sekitar. Sebagai rasa hormat kepada sang pencipta, maka manusia juga harus menghormati seluruh ciptaanNya, yaitu diri sendiri, manusia lain dan alam sekitar. Dengan memahami "Siapa Aku" maka manusia menjadi lebih bisa bersikap rendah hati, tidak sombong, percaya diri, berpikir positif, peduli akan lingkungan, disiplin, menahan emosi dan mengontrol diri, serta bertanggung jawab dalam bersikap dan berperilaku. 2) Membantu siswa memahami tujuan hidupnya. Menurut Raths (dalam Seifert, 1983) salah satu cara untuk mengidentifikasi nilai-nilai yang dihayati oleh siswa adalah dengan meminta siswa untuk mengekspresikan dan menjawab pertanyaan "apa tujuan hidup mereka". Apa yang ingin dicapai dalam jangka waktu dekat dan apa yang ingin dicapai dalam jangka panjang? Apa yang biasanya dilakukan dalam waktu senggang? Apa kegiatanya sehari-hari? Apa yang ia suka dan tidak suka? Apa yang seringkali ia takutkan dan dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan? Pertanyaanpertanyaan tersebut membantu siswa untuk merefleksikan dan meninjau kembali apa makna kehidupan bagi dirinya. Pertanyaan tersebut juga mengajak siswa untuk merefleksikan apakah tujuan hidup yang dipilihnya Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
239
3) Membantu siswa memahami orang-orang di sekitarnya. Manusia adalah mahluk individual yang bebas dalam memilih dan menentukan kehidupannya, dan sekaligus manusia adalah mahluk sosial yang ada dan hidup di antara manusia-manusia lain, dan tergantung dari manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, dalam menentukan pilihan hidupnya dan memenuhi kebutuhannya, manusia harus selalu mempertimbangkan orang-orang yang ada di sekitarnya. Kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain menjadi komponen yang sangat penting sebagai mahluk sosial. Hal ini berarti bahwa rasa hormat dan penghargaan akan keberadaan orang lain menjadi sangat penting. Demikian juga kesadaran bahwa norma-norma serta adat istiadat di mana manusia berada dan tinggal, harus dihargai dan dihormati. 4) Membimbing siswa agar mampu membuat keputusan. Dalam setiap sisi kehidupan manusia selalu dihadapkan pada pilihan untuk kemudian ia harus membuat suatu keputusan, karena membuat keputusan merupakan satu cara untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Manusia juga harus menyadari bahwa keputusan yang dibuat selalu diikuti oleh konsekuensi. Membuat keputusan bukanlah suatu hal yang mudah, dan membutuhkan suatu keterampilan tersendiri. Dalam membuat keputusan, diperlukan kemampuan berpikir kreativitas serta kemampuan untuk memecahkan masalah. Ketrampilan membuat keputusan dapat dikembangkan melalui berbagai latihan. Faktor penting dalam membuat keputusan adalah informasi dan pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Dengan memperoleh informasi dan pengetahuan yang cukup, maka manusia dapat membuat keputusan dengan konsekuensi yang paling kecil dan ringan. FAKTOR PENDUKUNG PERWUJUDAN PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER 1. Kerjasama Orang tua, Sekolah dan Masyarakat Nilai-nilai kehidupan dipelajari melalui pola-pola dan kebiasan yang dilakukan oleh orang-orang yang ada - di sekitar individu. Anak meniru dari orang tuanya, dan bila ia sudah sekolah anak meniru dari guru, temanteman di sekolah dan orang-orang lain yang ada di sekolah. Di lingkungan yang lebih luas masyarakat menjadi acuan dalam bersikap dan berperilaku. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa pendidikan karakter akan lebih efektif bila dijalankan melalui proses penyadaran dan pembiasaan. Proses pembiasaan tidak hanya tercipta di keluarga, tetapi juga di sekolah dan 240
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
pendidikan ke-SD-an. 2. Menghasilkan Model Perkuliahan Berbasis Konstruktif yang terbukti efektif untuk meningkatkan hasil pembelajaran Mata Kuliah Statistik Pendidikan di program studi PGSD. PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISTIK Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran dosen ke pikiran mahasiswa. Artinya, bahwa mahasiswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, mahasiswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak dosen. Tasker (Hamzah: 2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama, adalah peran aktif mahasiswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua, adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga, adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (Hamzah: 2008) mendukung pendapat tersebut dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif mahasiswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak. Kedua, pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (Hamzah: 2008) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
173
yang dapat digunakan untuk membangun makna terhadap pengetahuan yang sedang dipelajari. Gagnon dan Collay dalam Cruickshank dkk. (2006) berpendapat bahwa siswa belajar dan membangun pengetahuan manakala dia terlibat aktif dalam kegiatan belajar. Contoh aktivitas pembelajaran yang menandai siswa melakukan konstruksi pengetahuan terdiri atas beberapa bentuk kegiatan, yaitu: (1) Merumuskan pertanyaan secara kolaboratif, (2) Menjelaskan fenomena yang dilihat, (3) Berpikir kritis terhadap tentang isu-isu yang bersifat kompleks, dan (4) Mengatasi masalah yang sedang dihadapi Pembelajaran konstruktif telah menjadi gerakan di lingkungan pendidikan terutama di sekolah dasar melalui program MBS. Oleh karena itu Progdi S1 PGSD sebagai penghasil guru SD juga harus mempersiapkan guru yang mampu mengelola pembelajaran konstruktif. Hasil evaluasi diri Program Studi S1 PGSD menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung selama ini belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan khusus mahasiswa, oleh karena jumlah mahasiswa yang besar dan bervariasi memang memerlukan model-model pembelajaran yang lebih mampu mengakomodasi belajar mereka. Di samping itu perkembangan pesat di bidang teknologi pembelajaran, termasuk berkembangnya berbagai model pembelajaran yang kokoh bangunan teorinya, telah teruji melalui berbagai penelitian dan telah memiliki panduan pelaksanaan yang baku, belum dapat dimanfaatkan secara optimal oleh para dosen Program Studi S1 PGSD. Pengembangan model pembelajaran konstruktif ini diharapkan akan berdampak bagi peningkatan kemampuan dosen Progdi S1 PGSD baik dalam mengelola perkuliahan, merancang dan mengujicobakan model-model pembelajaran inovatif lainya maupun dalam melakukan perbaikan perkuliahan pada umumnya. Tujuan Pengembangan Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini adalah untuk mendeskripsikan best/good practices Perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Dengan demikian tujuan dari ujicoba Model Pembelajaran Konstruktif pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan ini adalah: 1. Memperbaiki kualitas proses pembelajaran dalam Perkuliahan Statistik Pendidikan program studi PGSD dengan meng-ujicobakan Model Pembelajaran Konstruktif yang dipandang relevan dengan hakikat 172
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
Hal ini berarti bahwa keluarga menjadi dasar dari pembentukan nilai-nilai yang akan dijadikan acuan dalam mengembangkan karakter, dan sekolah akan semakin memperluas wawasan anak akan nilai kehidupan yang akan memperkuat perkembangan karakter. Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat luas juga sudah seharusnya mendukung nilai-nilai penting dalam kehidupan. Banyak contoh di masyarakat yang sangat kontradiktif, misalnya di rumah dan di sekolah anak diajar mengenai konsep kebersihan. Padahal di masyarakat kepedulian terhadap kebersihan sangat memprihatinkan. Di rumah dan di sekolah anak belajar mengenai kedisiplinan, tetapi di jalan raya ternyata kedisiplinan bukanlah suatu hal yang dianggap panting. Sama halnya dengan kekerasan, yang tidak ditunjukkan oleh masyarakat luas di mana toleransi, cinta damai, dan penghargaan akan kebhinekaan tidak tampak pada masyarakat yang lebih luas. 2. Lingkungan yang Nyaman dan Menyenangkan Model ini membangun lingkungan secara total agar tercipta lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya siswa-siswa berkarakter. Lingkungan yang nyaman dan menyenangkan adalah mutlak diciptakan agar karakter anak dapat dibentuk. Hal ini erat kaitannya dengan pembentukan emosi positif anak, dan selanjutnya dapat mendukung proses pembentukan empati, cinta, dan akhirnya nurani/batin anak. 3. Kurukulum dan Modul yang Berbasis Karakter Kurikulum disusun berdasarkan prinsip keterkaitan antar materi pembelajaran tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD dan SMP yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah. Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
241
PENUTUP
membangun atas bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah membangun atau mengkonstruksi pengetahuan baru dengan cara melakukan penafsiran atau interprestasi baru terhadap lingkungan sosial, budaya, fisik dan intelektual tempat mereka hidup. Belajar dalam pandangan ahli konstruktivis terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh individu. Berdasarkan pandangan ini, tugas seorang guru atau dosen adalah menciptakan lingkungan belajar yang sering diistilahkan sebagai "scenario of problems", yang mencerminkan adanya pengalaman belajar yang otentik atau nyata dan dapat diaplikasikan dalam sebuah situasi yang sesungguhnya. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan konstruktivistik dalam pembelajaran adalah untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa terhadap isi atau materi pelajaran. Konstruktivisme memiliki keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning) dan konsep belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada dalam konteks teori belajar kognitif. Bagi para ahli konstruktivistik, belajar merupakan pemaknaan terhadap peristiwa atau pengalaman yang dialami oleh individu. Pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses rekonstruksi pengalaman yang berlangsung secara kontinyu. Siswa membangun pengetahuan baru melalui peristiwa yang dialami setiap saat. Pemberian makna terhadap pengetahuan diperoleh melalui akumulasi makna terhadap peristiwa yang dialami. Duffy dan Cunningham dalam Jonassen (2001) mengemukakan dua hal yang menjadi esensi dari pandangan konstruktivistik dalam aktivitas pembelajaran. (1) Belajar lebih diartikan sebagai proses aktif membangun daripada sekedar proses memperoleh pengetahuan. (2) Pembelajaran merupakan proses yang mendukung proses pembangunan pengetahuan daripada hanya sekedar mengkomunikasikan pengetahuan.
Seorang guru yang akan mengembangkan karakter siswa harus menunjukkan bahwa integritas adalah hal yang paling berharga. Guru terlebih
Proses belajar yang berlandaskan pada teori belajar konstruktivis dilakukan dengan memfasilitasi siswa agar memperoleh pengalaman belajar
4. Kultur Sekolah yang Kondusif Kultur sekolah yang baik dan kondusif akan mendukung pertumbuhan setiap individu dalam lembaga pendidikan. Kultur sekolah merupakan jalinan relasi dan interaksi antar anggota komunitas sekolah yang melahirkan spontanitas, pembiasaan, perayaan dan tradisi yang membentuk habit perilaku yang stabil bagi tiap anggota dalam lingkungan sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah tempat peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan sesamanya, pegawai administrasi dengan sesamanya, dan antar anggota kelompok masyarakat, sekolah. Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Budaya sekolah terbentuk dari jalinan relasi, interaksi dan pertukaran simbolis berbagai macam makna sebuah peristiwa, kejadian, yang terjadi dalam diri komunitas sekolah. Dalam artian tertentu, corak relasi dan interaksi antar individu itulah yang membentuk kultur sebuah sekolah. Selain peranan tiap individu, budaya sekolah juga terbentuk melalui tata peraturan, norma-norma sosial, pemahaman moral, dan etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kultur sekolah terbentuk dari interaksi dan komunikasi antar individu dalam komunitas sekolah. Interaksi dan komunikasi ini membentuk tatanan dan norma sosial yang berlaku dalam lingkungan pendidikan. Tata peraturan dan norma sosial ini dibutuhkan karena hubungan dan interaksi dalam lembaga pendidikan lebih ditentukan pada definisi peranan sesuai dengan tata peraturan yang ada. Dengan kata lain, relasi dan interaksi antar individu ini bersifat politis, yaitu ada kekuatan, kewenangan dan kekuasaan tertentu yang dimiliki oleh individu tertentu dalam bersikap dan bertindak dalam kerangka tindakan pendidikan. Karena itulah, kultur yang rusak dalam sebuah lembaga pendidikan hanya bisa dibenahi melalui perbaikan struktur, seperti tata peraturan yang berlaku, pengkondisian lingkungan sosial yang kondusif, serta, konsistensi dari setiap anggotanya untuk tetap bertindak sesuai dengan tatanan serta norma sosial yang berlaku. Jadi, struktur akan mendefinisikan pola perilaku individu, pola perilaku individu satu sama lain akan melahirkan kultur sekolah yang berlaku, dan kultur sekolah ini pada gilirannya akan memperkokoh kembali struktur sosial yang berlaku dalam lingkungan sosial pendidikan tersebut.
242
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
Pengembangan Model Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik (Slameto)
171
pendidikan khususnya. Sekolah adalah tempat mengajarkan anak bahwa berpikir adalah merupakan segala aktivitas mental dalam usaha memecahkan masalah, membuat keputusan, memaknai sesuatu, pencarian jawaban dalam mendapatkan suatu makna. Sekolah adalah juga tempat seseorang untuk belajar menggunakan pikiran dengan baik, tempat pemikiran-pemikiran penting bersumber dan tempat pembiasan belajar. Pola pikiran tinggi dibentuk berdasarkan cara berpikir kritis dan kreatif. Sebagian dari orang tua dan pendidik sepakat bahwa dalam masyarakat sekarang anak-anak sangat memerlukan keahlian pola berpikir tinggi. Berpikir kreatif adalah keharusan, dalam usaha pemecahan masalah, pembuatan keputusan, sebagai pendekatan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan-penemuan keilmuan. Berpikir adalah suatu aktivitas yang bertujuan tertentu serta proses pengorganisasian yang digunakan untuk menguasai dunia. Berpikir kritis diartikan sebagai proses pencarian secara sistematikal terhadap pikiran itu sendiri. Tidak hanya sekedar merefleksi tujuan tapi lebih dari satu ujian bagaimana kita dan yang lain menemukan suatu bukti dan logis. Berpikir kritis dan kreatif diterapkan siswa untuk belajar memecahkan masalah secara sistematis dalam menghadapi tantangan, memecahkan masalah secara inovatif dan mendisain solusi yang mendasar. Anita Woolfolk (2005:323) mengemukakan definisi pendekatan konstruktivistik sebagai "... pembelajaran yang menekankan pada peran aktif siswa dalam membangun pemahaman dan memberi makna terhadap informasi dan peristiwa yang dialami." Definisi lain tentang pendekatan konstruktivistik "... pendekatan konstruktivistik merujuk kepada asumsi bahwa manusia mengembangkan dirinya dengan cara melibatkan diri baik dalam kegiatan secara personal maupun sosial dalam membangun ilmu pengetahuan" Asal kata konstruktivisme yaitu "to construct" berarti "membentuk". Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukan diri kita sendiri. Dengan kata lain, kita akan memiliki pengetahuan apabila kita terlibat aktif dalam proses penemuan pengetahuan dan pembentukannya dalam diri kita. Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan merupakan perolehan individu melalui keterlibatan aktif dalam menempuh proses belajar. Hasil dari proses belajar merupakan kombinasi antara pengetahuan baru dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Individu dapat dikatakan telah menempuh proses belajar apabila ia telah
170
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:169-187
dahulu harus berperan sebagai model untuk menyatakan kebenaran, menghormati orang lain, menerima dan memenuhi tanggung jawab, bermain jujur, mengembalikan kepercayaan, dan menjalani kehidupan yang bermoral. Guru harus berperan sebagai model akan pentingnya keterlibatan dalam sebuah pencarian kebenaran yang akan berlangsung seumur hidup sehingga dapat melakukan sesuatu yang benar tidak mudah melakukan sesuatu tindakan yang salah. Guru sebagai pendidik karakter harus mengajar murid-muridnya sebagai individu-individu yang dapat membuat keputusan berdasarkan proses dan prinsip penalaran moral. Dengan cara membantu para siswa untuk mengetahui tentang apa itu nilai-nilai, percaya pada nilai-nilai sebagai bagian integral dari kehidupannya, dan menjalani kehidupannya sesuai dengan nilainilai tersebut. Guru dapat memainkan peran penting dalam membantu siswa belajar dan menerapkan proses penalaran moral. Pelajaran di dalam kelas dan melalui interaksi guru-murid di luar kelas harus didasarkan pada kebajikan. Integritas, kejujuran, kepercayaan, keadilan, rasa hormat, dan tanggung jawab harus menjadi ciri khas guru dalam hubungannya dengan siswa. Dalam rangka mengem-bangkan karakter siswa dapat dilakukan melalui pengembangan sikap saling percaya, memelihara saling percaya dan mengembangkan rasa hormat di antara siswa, memperlakukan orang lain dengan penuh hormat dan percaya pada martabat yang melekat pada setiap orang, serta melaksanakan tanggung jawab sebagai guru dengan cara-cara bertanggung jawab secara moral. Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar diantaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis. Semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkan pendidikan karakter, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama. DAFTAR PUSTAKA Akin, Terri, dkk. 1995. Character Education in America's Schools. California : Innerchoice Publishing Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. Englewood Cliffs: Macmillan Publishing Company Kompas, Pendidikan Karakter Mendesak, edisi Sabtu, 20 Februari 2010
Peran Guru Dalam Pendidikan Karakter (Yari Dwikurnaningsih)
243
Napitupulu, Washington P. 2001. Universitas Yang Kudambakan, Unesco. Rich, 2008. Ministry of Education, Singapore
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK
Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology (3rd ed.). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall Inc.
Slameto Program Studi S1 Bimbingan Konseling FKIP-Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktif ini menggunakan penelitian dan pengembangan (research and development = R & D). Tujuannya adalah untuk menghasilkan model pembelajaran konstruktivisme yang cocok dengan kondisi mahasiswa PGSD dalam Mata Kuliah Statistik untuk Pokok Bahasan Populasi dan Sampel. Pengembangan model pembelajaran semula dirancang berdasarkan hasil kajian teori dtelaah oleh pakar teknologi pendidikan; kemudian direvisi untuk validasi lapang pada kelas mata kuliah Statistik Pendidikan. Hasil validasi yang berupa penilaian mahasiswa kemudian dianalisis faktor penentu efektivitas model. Penelitian pengembangan ini berhasil mendeskripsikan best/good practices perkuliahan Statistik Pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar mahasiswa. Telah dihasilkan 5 faktor penentu Efektivitas Model Pembelajaran Konstruktif. Model Pembelajaran Konstruktif dipandang relevan dengan hakikat pendidikan ke-SDan dan telah terbukti efektif untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran Pokok Bahasan Populasi dan Sampel pada Mata Kuliah Statistik Pendidikan. Oleh karena itu layak untuk dilaksanakan dalam perkuliahan PGSD. Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajaran konstruktive
LATAR BELAKANG Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan di bidang pendidikan merupakan sarana dan wahana yang sangat baik di dalam pembinaan sumber daya manusia. Oleh karena itu, bidang pendidikan perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara intensif baik oleh pemerintah, keluarga, dan pengelola
244
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 233-244
169
Grasindo SEAMEO-UNESCO. 2004. Adapting to Changing. SEAMEOUNESCO. Thailand.
PENDALAMAN DEMOKRASI DI ERA PEMASARAN POLITIK:
Schubert,J.G. & Prouty,D. 2005. Accelerating Paths to Quality: A Multi-Faceted Reality. Pittsburgh: American Institut for Educational Research in Collaboration with The University of Pittsburgh.
(Studi Kasus Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011)
Siagian, Harbangan. 2006. Manajemen Berbasis Sekolah. Salatiga: Widya Sari Press
Progdi S1 PPKN FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
Sallis, Edward.1993. Total Quality Management in Education. London:Kogan Page Limited.
Saptono
Bambang Suteng Sulasmono
Progdi S1 PPKN FKIP- Universitas Kristen Satya Wacana
Slameto, Suroso & Mawardi.2009. Manajemen Berbasis Sekolah: Suplemen Bahan Ajar Cetak. Jakarta.Dirjen Dikti-Departemen Pendidikan Nasional. Pidarta, Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
ABSTRAK
……….2011. Harian Kompas, 3 Maret 2011
Penelitian ini menelaah dinamika proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dalam konteks konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik. Telaah dilakukan dengan metode kualitatifeksplanatoris. Metode ini berupaya membangun representasirepresentasi berdasarkan pengetahuan yang memadai mengenai kasus Pemilukada Salatiga Tahun 2011 dengan mengaitkannya pada prinsip umum mengenai pola hubungan negara dan civil society dalam masa transisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika proses pemasaran politik dalam Pemilukada Salatiga 2011 belum mampu berkontribusi positif bagi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Ini dimungkinkan karena konfigurasi pemilih masih didominasi oleh pemilih tradisional daripada pemilih rasional dan atau pemilih kritis yang lebih berorientasi pada 'policy-problem-solving'.
……….2011. Harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011
Kata Kunci : pendalaman demokrasi, pemilukada, pemasaran politik
Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan.2007. Kajian Kompetensi Guru dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Umaedi.2003. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Sebuah pendekatan baru dalam pengelolaan sekolah untuk peningkatan mutu. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Wicaksana, I Wayan Simri. 2008. Model Open Source dan Open Content untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jakarta: Gunadarma Press. ……….2008. Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia: Laporan Bank Dunia. Jakarta: World Bank
……….2005. Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pemilukada merupakan sebagian kecil dari proses demokrasi di daerah. Walaupun demikian Pemilukada tetap memiliki nilai strategis. Melalui proses ini masyarakat menentukan pemimpin daerah yang akan memberikan warna kehidupan sosio-kultural, ekonomi dan politik selama lima tahun berikutnya, paska Pemilukada. Pelaksanaan Pemilukada merupakan salah satu wujud dari komitmen untuk menjalankan sistem pemerintahan demokrasi di Indonesia. Bersama dengan upaya mewujudkan kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, penggusuran militer dari arena politik praktis, pelaksanaan desentralisasi secara luas, nyata dan bertanggungjawab, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung; pemilihan kepala daerah secara langsung
168
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
245
merupakan penanda bahwa sedang berlangsung proses demokratisasi, yaitu proses transisi menuju pemerintahan demokrasi. Namun demikian, proses demokratisasi melalui pemilu itu umumnya dipandang belum mencukupi bagi terbentuknya pemerintahan demokratis. Menurut sejumlah studi, kebanyakan negara-negara demokrasi baru, umumnya menghadapi masalah klasik berkenaan dengan kualitas demokrasi. Berbagai kajian terhadap transisi demokrasi di Asia, Amerika Latin dan Eropa Timur menunjukkan bahwa kelangsungan atau daya tahan demokrasi amat dipengaruhi oleh berlangsung atau tidaknya proses peningkatan mutu demokrasi dari konsepsi minimalis (demokrasi prosedural) menuju bentuk yang lebih substantif dari politik demokratis (demokrasi substansial) (Anderson ed, 1999; Przeworski et al, 1996; Linz & Stephan, 1996). Gejala demikian umumnya disebut sebagai proses pendalaman demokrasi (deepening democracy). Oleh karena itu proses Pemilukada pun semestinya ditempatkan dalam konteks pendalaman demokrasi. Maka, Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 juga harus sudah ditagih sosok substantif-nya ketimbang seremonialnya. Dari pengalaman beberapa kali Pemilukada di kota ini, isu sentral biasanya justru mengarah ke wacana sektarian. Dalam masa kampanye Pemilukada Kota Salatiga tahun 2001 lalu misalnya terpampang spanduk yang menyatakan 'Tujuh puluh persen penduduk Kota Salatiga adalah Muslim, maka Walikota dan Wakil Walikota haruslah Muslim' di jalan depan kantor walikota. Kini 10 tahun telah berlalu, dan Pemilukada untuk memilih Walikota dan Wakilnya pun berlangsung. Pemilukada tahun 2011 ini tentu berbeda dari Pemilukada tahun 2001. Kini rakyat memilih sendiri Walikota dan Wakilnya, bukan hanya sekadar diwakili oleh para anggota DPRD seperti tahun 2001 lalu. Apakah di era pemasaran politik sekarang ini isu sektarian masih akan dikembangkan oleh pasangan calon (Paslon) tertentu? Apakah gaungnya akan sama seperti tahun 2001 dan tahun 2006 lalu? Di tengah tumbuh suburnya wacana dan gerakan sektarian di aras nasional saat ini, akankah wacana semacam itu justru menjadi sarana efektif mendulang suara massa? Dengan latar belakang itulah penelitian tentang Pemilukada Kota Salatiga ini hendak dilakukan.
badan independen BSNP dan pemberlakuan SNP. Terkait dengan SNP, Standar Nasional Pendidikan ini ditetapkan oleh pemerintah sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi standar nasional pendidikan adalah: a) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, b) sebagai alat penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pada tataran implementasi SNP, ternyata belum berjalan dengan baik. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (2008) yang melakukan pemeriksaan kinerja atas Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan mengambil sampel sekolah-sekolah di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia menghasilkan temuan: a) rata-rata pencapaian SPM pendidikan dengan standar 90 persen dari standar nasional pendidikan baru mencapai angka 85,23 persen, b) jumlah guru yang memiliki kualifikasi sesuai kompetensi baru mencapai 40,26 pesen, dan c) Sarana dan prasarana pendidikan baru mencapai 34,25 persen. Sinyalemen penyebab kurang berhasilnya implementasi SNP adalah persoalan efektivitas, efisiensi dan dualisme standar pendidikan. Khusus dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal.
Rumusan Masalah Penelitian
Ehlers, U.-D. 2007. Quality Literacy - Competencies for Quality Development in Education and e-Learning. Essen, Germany: University of Duisburg.
Dari latarbelakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "bagaimana dinamika proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dilihat dari sudut pandang konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik"
246
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
DAFTAR PUSTAKA Adam, J. 2000. Defining Quality in Education: A paper presented by UNICEF at the meeting of The International Working Group on Education. FlorenceItaly: Programme Division Education -UNICEF. Depdiknas, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS ). Depdiknas. Jakarta.
Harvey, L., 2004. Analytic Quality Glossary, Quality Research International, http:/ /www.qualityresearchinternational.com/glossary/ Nurkolis.2003.Manajemen Berbasis Sekolah:Teori, Model,dan Aplikasi. Jakarta:
Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
167
memprihatinkan. Dengan demikian wajar adanya jika berbagai penelitian mutu pendidikan berskala lokal, nasional maupun internasional menempatkan Indonesia pada posisi juru kunci. Rendahnya mutu pendidikan kita, memiliki akar masalah yang kompleks ibarat benang kusut yang sulit terurai. Dari sekian masalah tersebut, dapat kita identifikasi beberapa hal yang cukup signifikan. Pertama, masalah macro-oriented dalam pengelolaan. Selama ini, kebijakan, peraturan dan sarana diatur secara sentralistik oleh birokrasi di pusat. Implikasinya, banyak variabel yang diproyeksikan secara makro (di tingkat pusat) tidak bisa terealisasikan secara baik di tingkat mikro (sekolah atau kampus). Lebih-lebih adanya dualisme standar pendidikan. Di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional (SNP), di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri (SPM). Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivasi bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Kedua, masyarakat sebagai stakeholder pendidikan kurang terlibat dalam pembuatan kebijakan mikro. Ini menyebabkan sikap skeptis dan acuh tak acuhnya masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Asumsi yang kuat di masyarakat selama ini, pendidikan merupakan urusan pemerintah. Ketiga, pendidikan Indonesia lebih bersifat content based (berdasar isi) dibanding competence based. Keempat, kita tidak punya standarisasi pengawasan mutu pengajar. Berdasarkan informasi dari Litbang Diknas 33,81 persen guru kurang kompeten. Masalah mutu ini juga berkait erat dengan nasib pendidik dan tenaga kependidikan yang berkutat dengan kondisi ekonomi mereka yang pas-pasan. Di satu sisi mereka dituntut untuk memaksimalkan peran dalam meningkatkan mutu pendidikan, di sisi lain insentif yang menjadi haknya sangat minim. PENUTUP Pada bagian pendahuluan telah dipaparkan bahwa permasalahan klasik pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya: pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi, pemberian bantuan dalam bentuk BOS, BOMM, BKM, BIS, DBL, sarana IT melalui program Jardiknas, sertifikasi guru, penerapan MBS, MMT, pembentukan 166
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan proses demokrasi dalam Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui pencapaian sejumlah tujuan antara sebagai berikut: a) Mendeskripsikan dinamika proses Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 b) Mendeskripsikan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. c) Memberikan penjelasan kritis terhadap fenomena Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 dan orientasi politik warga Kota Salatiga. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberi manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan, dalam bentuk: a) Memperkaya kajian politik mengenai proses pendalaman demokrasi (deepening democracy) pada tingkat lokal. b) Mendapatkan bahan kajian empirik untuk memperdalam kajian dalam perkuliahan rumpun mata kuliah Politik Kenegaraan, utamanya mata kuliah Ilmu Politik, Pendidikan Demokrasi dan Hukum Tatanegara. KAJIAN PUSTAKA Ada tiga konsep utama yang digunakan untuk membangun representasi-representasi dalam penelitian ini. Ketiga konsep itu adalah (a) pendalaman demokrasi, (b) kebangkitan politik aliran, dan (c) pemasaran politik (political marketing). Pendalaman Demokrasi Konsep mengenai pendalaman demokrasi sesungguhnya agak samar atau tidak begitu tegas perbedaannya dengan konsep demokrasi. Ini seperti halnya konsep antara terobosan demokrasi (democratic breaktrhough) dan konsolidasi demokrasi (democratic consolidation), demokrasi prosedural (procedural democracy) dan demokrasi substantif (substantive democracy), serta demokrasi terbatas (restricted democracy) dan demokrasi penuh (full democracy) (Collier & Levitski,1997). Karena itu, Wong (2003) memahami pendalaman demokrasi sebagai proses sosial, ekonomi dan politik yang berlangsung sepanjang waktu. Pendalaman demokrasi tidak berakhir dalam dan pada dirinya sendiri. Di sini arah perubahan amat ditekankan. Penekanan pendalaman sebagai sebuah proses ini memberi pengertian mengenai apa yang menandai adanya pendalaman demokrasi. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
247
Pada tataran abstrak, menurut Roberts (1998), pendalaman demokrasi memiliki sekaligus konotasi prosedural dan substantif dalam berdemokrasi. Karena itu pendalaman demokrasi bisa dipahami sebagai proses di mana politik progresif atau politik baru menjadi bagian penting dari agenda politik utama yang dijalankan pemerintah dan masyarakat. Menurut Fung and Wright (2001) deepening democracy perlu berlangsung dari dua sisi: sisi negara dan sisi masyarakat. Dari sisi negara, deepening democracy, adalah pengembangan dua hal. Pertama, pelembagaan mekanisme (institutional design) penciptaan kepercayaan semua aktor politik di daerah yakni masyarakat sipil, masyarakat politik (partai politik) dan tentu saja negara atau state apparatuses (birokrasi, alat keamanan negara). Kedua, pengembangan penguatan kapasitas administratif-teknokrtatik yang mengiringi pelembagaan yang telah ditetapkan. Dari sisi masyarakat, deepening democracy, merujuk pada pelembagaan keterlibatan masyarakat terhadap aktivitas politik formal di tingkat local state. Dalam tataran riil, setidaknya ada tiga dimensi yang menandai berlangsungnya pendalaman demokrasi (Wong, 2003). Pertama, dimensi sosio-legal atau institusionalisasi hak-hak politik, yang merujuk pada gagasan hak asasi manusia, martabat manusia dan kesetaraan manusia. Ini meliputi antara lain perluasan kesetaraan hak suara, perluasan peluang yang sah secara hukum (ruang legal) bagi masyarakat untuk berserikat dan berkumpul, serta perluasan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai tingkatan proses politik. Pendalaman demokrasi mengupayakan dan mengkodifikasikan secara legal penghargaan hak asasi manusia lintas kategori sosial, tanpa pandang bulu terhadap kelas sosial, agama, etnisitas, gender dan berbagai kategori sosial lainnya. Kebijakan politik dirancang sedemikian rupa untuk mencegah dan mengatasi terjadinya diskriminasi terhadap individu dan kelompok-kelompok sosial, mempromosikan penghargaan terhadap hak asasi manusia, serta menanamkan sikap yang menghargai keragaman atau kebhinekaan. Kedua, dimensi ekonomi, yang merujuk pada distribusi dan alokasi sumber-sumber yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat umumnya mengharapkan bahwa dimulainya pemerintahan demokrasi akan menghantar mereka pada terwujudnya keadilan sosial ekonomi yang lebih besar (Przeworski, 1999:10). Karena itu, adanya redistribusi ekonomi dan inovasi kebijakan sosial merupakan hal amat penting yang menandai berlangsungnya pendalaman demokrasi (Kapstein & Mandelbaum Ed, 1997; Chalmers et al., 1997; Weyland, 1996 dalam Wong 2003). Reformasi kebijakan sosial, yang memiliki dimensi ekonomi lebih umum, juga 248
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pencapaian. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Pemerintah melaksanakan monitoring dan evaluasi atas penerapan SPM oleh Pemerintahan Daerah dalam rangka menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat. Kemudian mengkomparasikan capaian tersebut (umumnya dalam persentase) dengan SNP yang berlaku secara nasional. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh: a). Pemerintah untuk pemerintahan daerah Provinsi; dan b). Gubernur sebagai representasi pemerintah di daerah untuk Kabupaten/Kota. Pemerintah wajib mendukung pengembangan kapasitas pemerintahan daerah yang belum mampu mencapai SPM. Pemerintah dapat melimpahkan tanggungjawab pengembangan kapasitas pemerintahan daerah Kabupaten/ Kota yang belum mampu mencapai SPM kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah di daerah. Dukungan pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dapat berupa fasilitas, pemberian orientasi umum, petunjuk teknis, bimbingan teknis, pendidikan dan pelatihan atau bantuan teknis lainnya. Berdasar hasil monev, pemerintah wajib memberikan penghargaan bagi pemerintahan daerah yang berhasil mencapai SPM dengan baik dalam batas waktu yang ditetapkan, dan memberikan sanksi kepada pemerintahan daerah yang tidak berhasil mencapai SPM dengan baik. Berdasarkan mekanisme pemenuhan SPM pendidikan seperti tersebut di atas, pemerintah daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota menyusun SPM pendidikan sesuai dengan kapasitas daerahnya masing-masing. Acuan utama yang digunakan untuk menyusun SPM pendidikan adalah Berkaitan dengan monitoring dan evaluasi ini, patut dikemukakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (2008) yang melakukan pemeriksaan kinerja atas Program Wajib Belajar 9 Tahun dan Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan mengambil sampel sekolah-sekolah di 14 Kabupaten/Kota di Indonesia. Pemeriksaan ini menghasilkan temuan: 1) rata-rata pencapaian SPM pendidikan dengan standar 90 persen dari standar nasional pendidikan baru mencapai angka 85,23 persen, 2) jumlah guru yang memiliki kualifikasi sesuai kompetensi baru mencapai 40,26 persen, dan 3) Sarana dan prasarana pendidikan baru mencapai 34,25 persen. Temuan BPK ini mengindikasikan bahwa layanan pendidikan yang nantinya akan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan masih sangat Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
165
bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian ini digunakan untuk: menilai pencapaian kompetensi peserta didik; bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan dilakukan melalui: pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik. Penilaian hasil belajar oleh pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Dalam rangka mengimplementasikan SNP ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM pendidikan adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar bidang pendidikan yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Acuan utama SPM adalah SNP, artinya bahwa setiap daerah dapat menyusun SPM sesuai dengan karakteristik dan kapasistas daerah masing-masing dan berusaha meningkatkannya sesuai dengan SNP. Indikator pencapaian SPM pendidikan adalah prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi, yaitu berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan pendidikan di sekolah. Sedangkan pengertian pelayanan dasar adalah pelayanan pendidikan bagi siswa yang mutlak untuk dipenuhi. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu 164
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
merupakan tanda berlangsungnya pendalaman demokrasi. Reformasi demikian ditandai oleh berlangsungnya perluasan tanggung jawab pemerintah (katimbang mengandalkan mekanisme pasar) dalam mendistribusikan keuntungan-keuntungan ekonomi dan mengalokasikan sumber-sumber yang langka/ terbatas. Termasuk dalam hal ini berlangsungnya perubahan kebijakan kesejahteraan sosial dan pelestarian lingkungan. Ketiga, dimensi politik, yang merujuk pada partisipasi masyarakat dalam politik, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, pendalaman demokrasi hakikatnya merupakan upaya mempertimbangkan kembali negara sebagai arena bagi berlangsungnya perundingan dalam pembuatan keputusan (deliberative decision making). Menurut Chalmers et al (1997, dalam Wong 2003), hal ini merupakan garansi bahwa hak partisipasi politik yang dijamin oleh hukum (de jure) benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik partisipasi politik secara nyata (de facto). Jadi, singkatnya, dalam dimensi politik, pendalaman demokrasi berarti perubahan dalam proses politik dan pembuatan kebijakan. Dalam hal ini, tingkat pengaruh aktor di luar aparat pemerintah dalam menentukan pembaruan agenda kebijakan, serta sejauh mana pembuatan keputusan pemerintah telah diambil melalui konsensus katimbang pembebanan, itu semua mengindikasikan sejauh mana tingkat pendalaman demokrasi sekaligus kebermaknaan partisipasi dan representasi politik. Sejak jatuhnya rejim orde baru tahun 1998, Indonesia telah berkomitmen untuk menjalankan sistem pemerintahan demokrasi melalui proses demokratisasi kehidupan politik. Menurut Haynes 2001 (dalam Erb dan Sulistyanto 2010), sesudah lebih dari 13 tahun berada pada masa transisi, tampak bahwa Indonesia berhasil melewati dua dari tiga tahapan mewujudkan demokrasi, yaitu "façade democracy", dan "electoral democracy" guna menuju "full democracy". Karakteristik dari rejim façade democracy adalah bahwa walau dalam negara itu dijalankan pemilu secara regular, namun pemilu itu sendiri sangat dikendalikan oleh pihak penguasa, dan dalam rejim itu militer memainkan peran penting dalam mengendalikan "law and order", di mana hak-hak asasi manusia tidak dipandang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Karakteristik rejim electoral democracy adalah terdapatnya aturanaturan dan regulasi tentang penyelenggaraan pemilu demokratis yang benarbenar terlaksana dalam praktik kehidupan bernegara. Di samping itu dalam rejim ini terdapat pula perhatian terhadap proses penegakkan hukum. Hal yang membedakan antara electoral democracy dengan full democracy adalah jika dalam electoral democracy baru sebatas prosedur-prosedur pemilu yang benar benar menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
249
dalam proses pemilu, maka dalam full democracy seluruh upaya penyelenggaraan negara benar-benar dipusatkan untuk menjamin hak-hak individu dan partisipasi mereka dalam proses politik dan urusan publik, di mana penyelenggara negara benar-benar menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan negara yang partisipatif, transparan dan akuntabel. Mengikuti skenario Heynes itu, akankah perjalanan hidup bangsa Indonesia yang sudah berada pada tahap electoral democracy ini akan terus melaju ke tahapan full democracy? Yang jelas, Haynes mencatat bahwa paling tidak ada delapan hambatan yang dapat menghadang proses menuju full democracy yaitu: a) dominasi eksekutif yang eksesif, b) sistem sosialpolitik patrimonial baru, c) korupsi tingkat negara yang serius, d) partaipartai politik yang lemah dan tidak stabil, e) pelemahan atau kooptasi kekuatan civil society, f) pembelahan etnis/keagamaan yang serius, g) kemiskinan yang menyebar secara luas, dan h) iklim internasional yang tidak mendukung. Dari kedelapan hambatan itu, pembelahan etnis/keagamaan merupakan salah satu tantangan berat kita, di samping persoalan korupsi yang sedemikian serius. Politisasi agama merupakan ujian besar bagi upaya pendalaman demokrasi dalam momen Pemilukada. Apalagi, manakala kita ingat, bahwa pembelahan etnis/keagamaan memiliki akar sejarah panjang dalam perjalanan politik di negeri ini. Pasca orde baru, hal itu mengemuka kembali melalui apa yang biasa disebut kebangkitan politik aliran. Kebangkitan Politik Aliran Dalam sejarah perjalanan partai-partai politik negeri ini pernah tercatat satu pemetaan yang cukup akurat sebagaimana dilakukan oleh Feith dan Castle terhadap parpol yang hidup pada 20 tahun pertama negara RI. Pada waktu itu terdapat lima aliran politik utama yang berkembang yaitu (a) nasionalisme radikal, (b) tradisionalime Jawa, (c) Islam, (d) sosialisme demokratis dan (e) komunisme. Kelima aliran politik itu saling tumpang tindih, saling mempengaruhi satu sama lain, kecuali Islam dan komunis yang tidak saling memiliki garis singgung. Politik aliran semacam itu memang nyata ada dan berperan dalam praktik kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Masyumi dan NU sebagai kekuatan politik Islam merupakan 2 (dua) dari 4 (empat) partai pemeroleh suara terbesar pada pemilu tahun 1955. Masyumi pulalah, lewat tokohnya M. Natsir, yang gigih memperjuangkan prinsip penyatuan negara dengan agama dalam sidang-sidang konstituante, sidang pembentuk Undang Undang Dasar sebagai pengganti UUD S 1950, tahun 1957-1959. Perdebatan dalam sidang-sidang tersebut sekaligus menegaskan bahwa sejak awal 250
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun. Biaya-biaya tersebut meliputi: a. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. b. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. c. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen Nomor 69 Tahun 2009 tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
163
yang akan menjadi guru kelas atau guru mata pelajaran yang penugasannya ditetapkan oleh masing-masing satuan pendidikan sesuai dengan keperluan. Jenis guru mata pelajaran sekurang-kurangnya mencakup guru kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta guru kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut. NO 1 2 3
Nomor Permen Nomor 12 Tahun 2007 Nomor 13 tahun 2007 Nomor 16 Tahun 2007
4 5 6 7
Nomor 24 Tahun 2008 Nomor 25 Tahun 2008 Nomor 26 Tahun 2008 Nomor 27 Tahun 2008
8 9 10
Nomor 40 Tahun 2009 Nomor 41 Tahun 2009 Nomor 43 Tahun 2009
11 12
Nomor 42 Tahun 2009 Nomor 44 Tahun 2009
13
Nomor 45 Tahun 2009
Tentang Standar pengawas Sekolah/Madrasah Standar Kepala Sekolah/Madrasah Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru Standar Tenaga Administrasi Sekolah/Madrasah Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah/Madrasah Standar Tenaga Laboratorium Sekolah/Madrasah Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor Standar Penguji Pada Kursus dan Pelatihan Standar Pembimbing Pada Kursus & Pelatihan Standar Tenaga Administrasi Program paket A , Paket B, dan Paket C Standar Pengelola Kursus Standar Pengelola Pendidikan pada Program Paket A, Paket B dan Paket C standar Teknisi Sumber Belajar Pada Kursus dan Pelatihan
Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan kriteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, tempat bermain/ berolahraga. Termasuk juga penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Sebuah SD/MI sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai berikut: a) ruang kelas, b) ruang perpustakaan, c) laboratorium IPA, d) ruang pimpinan, e) ruang guru, f) tempat beribadah, g) ruang UKS, h) jamban, i) gudang, j) ruang sirkulasi. Ketentuan lebih lanjut tentang standar sarana dan prasarana pendidikan diatur di dalam ketentuan berikut, NO
Nomor Permen
1
Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA
2
Nomor 33 Tahun 2008
Standar Sarana dan Prasarana untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB
3
162
Nomor 40 Tahun 2008
Standar Sarana dan Prasarana untuk SMK/MAK
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
kelahirannya, dinamika politik di tubuh bangsa Indonesia sangat diwarnai oleh persaingan antara kekuatan politik yang ingin mendirikan negara Islam dan kekuatan politik yang ingin mendirikan negara kebangsaan. Berakhirnya pemerintahan Suharto di tahun 1998 menjadi titik tolak bangkit kembalinya kekuatan politik Islam, yang selama orde baru mengalami represi. Menjelang pemilu 1999, bermunculan partai politik dengan identitas Islam. Marijan (2010) misalnya, mencatat tak kurang dari 28 partai bercorak Islam, namun hanya 21 partai Islam yang dapat ikut pemilu 1999 dan kemudian menjadi 8 partai pada pemilu tahun 2004. Sama seperti pada masa lalu, partai-partai politik berlabel Islam tersebut juga tidaklah tunggal. Fealy 2001 (dalam Marijan, 2010) misalnya membedakan antara partai Islam yang masuk kategori "formalist Islamic parties" dan yang masuk kategori "pluralist Islamic parties". PPP, PBB dan PKS adalah partai partai yang masuk dalam kategori formalis, sedang PAN dan PKB masuk ke kategori pluralis. Jika PPP dan kawan-kawannya berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam ke dalam perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan negara, maka PKB dan PAN lebih berusaha memperjuangkan nilai-nilai Islam di dalam konteks negara-bangsa Indonesia yang plural. Kelompok formalis itu sendiri sebenarnya masih bisa dipilah menjadi kelompok "moderate formalist Islamic parties", semacam PPP dan "radical formalist Islamic parties" semacam PKS dan PBB. Kevin Evans (sebagaimana telah dimodifikasi oleh Pratikno, 2007) memetakan partai-partai politik dewasa ini sebagai berikut: Elitis
PDS
Sekuler/Bara
PDIP
PD GOLKAR
PKS PAN PPP
PBB
PBR
Islamis
PKB
Populis
Gambar 1. Pemetaan Parpol Berdasarkan Basis Ideologi
Tampak bahwa pemetaan Evan di atas, khususnya untuk partai-partai Islam cukup sejalan dengan kategorisasi yang dikemukakan oleh Fealy di atas. Tentang PKB dan PAN Munjani (2000) mencatat bahwa secara formal kedua partai itu lebih berorientasi kebangsaan dan berupaya mengakomodasi warga negara lintas agama. Tetapi, mereka belum berhasil. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
251
PKB masih terbatas pada massa pendukung NU, dan PAN masih terbatas pada pendukung Islam, bahkan mungkin sebagian besar massa Islam Muhammadiyah. Mengenai pengaruh aliran politik terhadap perilaku politik massa, Liddle dan Mujani, (2000) berpendapat bahwa pengaruh aliran politik terhadap perilaku partisan massa tidak sebesar yang dipercaya sebelumnya. Tetapi, bukan berarti politik aliran sama sekali tak berarti dalam masyarakat politik kita. Setidaknya secara statistik, varian keagamaan punya dampak yang berarti terhadap perilaku partisan massa. Santri cenderung mendukung partai-partai Islam dibanding partai-partai nasionalis sekuler; atau santri tradisionalis cenderung mendukung PKB ketimbang PAN. Kecenderungan ini tidak dahsyat, tetapi dapat berkembang menjadi dahsyat saat pola konfrontasi elite setidaknya mengesankan polarisasi aliran ini. Konflik elite mereaktivasi dan memperkuat warisan pola sentimen pengelompokan politik lama yang ditandai tingginya partisipasi yang tidak disertai toleransi yang sepadan itu. Di samping partai politik Islam, lahir pula kelompok-kelompok kepentingan dan kelompok penekan berbasis agama. Kelompok kepentingan yang telah lama ada seperti Muhammadiyah dan NU terlibat dalam pembentukan partai baru yaitu PAN dan PKB. Di samping itu muncul kelompok-kelompok baru seperti DI/NII, Jama'ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Forum Komunikasi Ahlu Sunnah wal Jamah (FKAWJ), dan Hizbut Tahrir (HT). Marijan (2010) menggambarkan sikap politik kelompok-kelompok Islam radikal tersebut sebagai berikut: Tabel 1. Sikap Politik Kelompok Islam Radikal Kelompok
Syariah Komprehensif
Negara Islam
Khalifah
Demokrasi
DI/NII
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Jamaah Islamiyah
Ya
Ya
Ya
Tidak
MMI
Ya
Ya
Ya
Tidak
FPI
Ya
Tidak
Tidak
Ya
FKAWJ/LJ
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Hizbut Tahrir
Ya
Ya
Ya
Tidak
Keenam organisasi di atas memang kecil massa pendukungnya, namun sangat aktif dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. FPI aktif menyuarakan penegakkan hukum Islam, terlibat dalam penggerebekan tempat-tempat maksiat, di DKI, dan tempat-tempat lainnya. FKAWJ terlibat 252
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar. Ketentuan operasional tentang proses pelaksanaan pembelajaran diatur di dalam Permen berikut. NO 1
Nomor Permen Nomor 41 Tahun 2007
2 3
Nomor 1 Tahun 2008 Nomor 3 Tahun 2008
Tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Standar Proses Pendidikan Khusus Standar Proses Pendidikan Kesetaraan Program Paket A, Paket B, dan Paket C
Standar Kompetensi Lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan. Ketentuan lebih lanjut tentang standar kompetensi lulusan diatur dalam Permen berikut. NO 1
Nomor Permen Nomor 23 Tahun 2006
2
Nomor 24 tahun 2006
Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah
Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a) Kompetensi pedagogik; b) Kompetensi kepribadian; c) Kompetensi profesional; dan d) Kompetensi sosial. Pendidik pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
161
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Ketentuan yuridis formal yang mengatur tentang standar nasional pendidikan adalah Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 Peraturan Pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tersebut menetapkan 8 (delapan) standar pendidikan, yaitu: a). standar isi; b). standar proses; c). standar kompetensi lulusan; d). standar pendidik dan tenaga kependidikan; e). standar sarana dan prasarana; f). standar pengelolaan; g). standar pembiayaan; dan h). standar penilaian pendidikan. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam kriteria kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Di samping itu Standar isi juga memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/ akademik. Kerangka dasar kurikulum meliputi: a) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; b) kewarganegaraan dan kepribadian; c) ilmu pengetahuan dan teknologi; d) estetika; dan e) kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur standar isi adalah: NO 1
Nomor Permen Nomor 22 tahun 2006
Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah
2
Nomor 24 tahun 2006
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang standar Isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah
3
Nomor 14 Tahun 2007
Standar Isi Program Paket A, Program Paket B, dan Program Paket C
Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta 160
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
langsung dalam konflik antar agama di daerah-daerah konflik semacam Maluku dan Poso. Sedang JI merupakan organisasi yang sejumlah anggotanya terlibat aksi terorisme bukan saja di Indonesia namun juga di Asia Tenggara. Dalam pelaksanaan Pemilukada berbagai partai politik cenderung membuat koalisi guna memenangkan pasangan calon kepala daerah yang mereka ajukan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah jika satu koalisi mempunyai spektrum ideologi yang cukup lebar adakah ini mencerminkan memudarnya sekat-sekat ideologis antarpartai itu, atau sebaliknya adakah koalisi yang terbentuk sama sekali tidak bersentuhan dengan ideologi, melainkan hanya koalisi pragmatis dalam rangka perebutan kekuasaan puncak eksekutif di daerah? Belajar dari berbagai kasus dalam Pemilukada tahun 2005-2006 kedekatan ideologi antarpartai pendukung Paslon bukanlah jaminan bagi keberhasilan. Yang justru dianggap penting dalam proses Pemilukada adalah kecanggihan dalam pemasaran politik (political marketing). Pemasaran Politik Dalam perpolitikan di Indonesia, pemasaran politik sebagai sebuah aktivitas formal tergolong masih baru. Ia mulai mengemuka seiring dengan terjadinya liberalisasi politik, persaingan politik yang makin keras dan merebaknya pragmatisme politik pasca orde baru. Dalam situasi politik demikian, pemasaran politik dipandang sebagai alat politik yang diperlukan, bahkan dianggap sebagai sebuah keniscayaan terutama oleh partai politik dan para kandidat. Pemasaran politik, menurut Adman Nursal (2004:23) adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih. Aktivitas itu merupakan strategi kampanye untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu di dalam pikiran para pemilih. Serangkaian makna politis ini pada gilirannya akan mengantarkan pemilih untuk memilih kandidat yang ada, dimulai dari pembentukan ingatan di dalam pikiran pemilih lalu menjadi orientasi pemilih dalam menentukan pilihannya. Pemasaran politik bisa berdimensi jangka pendek atau bisa pula jangka panjang. Pemasaran politik jangka pendek terjadi dalam kampanye pemilu. Sedangkan pemasaran politik jangka panjang terjadi dalam kampanye politik. Perbedaan ini penting diperhatikan, karena memiliki implikasi terhadap berbagai aspek pemasaran politik, sebagaimana digambarkan dalam tabel 2, berikut ini.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
253
Tabel 2. Pemasaran Politik Jangka Pendek dan Jangka Panjang Aspek Jangka dan batas waktu Tujuan Strategi Komunikasi politik Sifat hubungan antara kandidat dan pemilih Produk politik Sifat program kerja Retensi memori kolektif Sifat kampanye
Jangka Pendek / Kampanye Pemilu Periodik dan tertentu Menggiring pemilih ke bilik suara Mobilisasi dan berburu pendukung (push marketing) Satu arah dan penekanan pada janji dan harapan politik kalau menang Pragmatis / transaksi Janji dan harapan politik; figur kandidat dan program kerja. Berorientasi pasar dan ber ubah dari pemilu ke pemilu Cenderung mudah hilang
Jelas, terukur dan dapat dirasakan langsung aktivitas fisiknya Sumber: Firmanzah, (2008:277) dikutip dengan penyesuaian.
Jangka Panjang / Kampanye Politik Jangka panjang dan terusmenerus Citra politik Membangun dan membentuk reputasi politik (pull marketing) Interaksi dan mencari pemahaman beserta solusi yang dihadapi masyarakat Hubungan relasional Pengungkapan masalah dan solusi; Ideologi dan sistem nilai yang melandasi tujuan partai Relatif konsisten dengan system nilai partai Tidak mudah hilang dalam ingatan kolektif Bersifat laten, kritis dan menarik simpati masyarakat
Berdasar perbedaan tersebut, maka yang dimaksud dengan pemasaran politik dalam penelitian ini adalah terbatas pada pemasaran politik jangka pendek, yaitu pemasaran politik dalam kampanye Pemilukada. Adapun strategi dalam pemasaran politik ini, meliputi beberapa unsur kunci, terutama adalah: pemosisian kandidat (positioning), sosok kandidat (person), penyajian kandidat (presentation), partai pengusung (party), janji program atau kebijakan yang ditawarkan (policy), mobilisasi pendukung (push marketing) dan keaktifan kandidat dalam menjangkau pemilih (pass marketing). Pertama, Pemosisian kandidat (positioning). Pemosisian adalah perihal bagaimana sang kandidat memposisikan diri di masyarakat. Pemosisian kandidat merupakan upaya untuk membangun citra (image) kandidat yang akan ditanamkan di mata pemilih. Ini menjawab pertanyaan kandidat mau dicitrakan sebagai apa di mata pemilih? Citra itu bisa bermacam-macam. Misalnya, citra sebagai orang "dermawan" atau "angkuh". Itu semua dibangun melalui apa yang dikatakan ataupun diperbuat oleh sang kandidat, baik dalam kehidupan nyata mereka maupun dalam kampanye. Bisa saja citra antara kandidat yang satu dengan yang lainnya dalam satu pasangan berbeda. Yang jelas, masing-masing pasangan akan saling berkompetisi dalam membangun citra yang akan ditonjolkan kepada masyarakat. Dalam hal pemosisian, ada 4 strategi yang bisa dipilih (Newman & Shet, 1987). Keempat strategi tersebut adalah: strategi penguatan (reinforce254
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pendidikan yaitu: permasalahan sarana fisik yang belum memadai, profesionalime guru yang belum memadai, rendahnya prestasi riil siswa, pemerataan pendidikan, dan relevansi pendidikan di Indonesia. Menyikapi berbagai permasalahan pendidikan seperti telah dipaparkan di atas, pemerintah terus-menerus melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. "Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007). Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu: a) Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolok ukurnya dari angka partisipasi. b) Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender. c) Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional. d) Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan. e) Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infra-struktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolahsekolah. f) Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. g) Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan. h) Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan. Standar Nasional Pendidikan Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Fungsi standar nasional pendidikan adalah: a) sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu, b) sebagai alat penjaminan mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
159
pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat. Siagian (2006) mengindikasikan tiga faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia, yaitu efektivitas pendidikan yang masih rendah, pengelolaan pendidikan yang kurang efisien, dan standarisasi pendidikan yang belum konsisten. Pendidikan yang efektif memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat mencapai tujuan. Permasalahan efisiensi pendidikan di Indonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, pemborosan waktu kompetensi pengajar yang belum memadai. Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya biaya pendidikan di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, namun belum sebanding antara kontribusi yang diberikan dengan layanan yang diperoleh. Selain masalah mahalnya biaya pendidikan, masalah lainnya adalah masalah wasting time. Survei lapangan, terhadap beban belajar siswa di sekolah menengah mencapai 41 jam perminggu. Persoalan standarisasi pendidikan, sebenarnya sudah ada badan independen yang menetapkan standar nasional pendidikan di Indonesia, yaitu Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP telah merumuskan standar nasional pendidikan, (yang kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No.19 Tahun 2005 tentang SNP). Permasalahannya adalah bahwa semua komponen SDM pendidikan di sekolah diarahkan untuk memenuhi standar nasional tersebut, terutama bukti fisik dan teknis administratif. Dengan demikian pendidikan akan kehilangan esensinya. Proses pendidikan pada akhirnya direduksi sedemikian rupa, yang penting SNP secara legal formal terpenuhi. Persoalan ini semakin rumit ketika terjadi dualisme standar pendidikan. Dualisme standar pendidikan ini, di satu sisi ada tuntutan standar yang berlaku secara nasional, di sisi lain daerah boleh menetapkan standarnya sendiri. Rupanya sikap permisif inilah yang menumbuhkan demotivati bagi pelaksana pendidikan di lapangan. Seyogyanya pemerintah menetapkan satu standar saja, seraya membenahi, memfasilitasi, dan mendorong perkembangan pendidikan di daerah-daerah yang dianggap masih tertinggal. Permasalahan mengenai UN juga dirasa kontaproduktif dengan kebijakan pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi. Selain tiga faktor utama penyebab rendahnya mutu pendidikan seperti tersebut di atas, sebenarnya ada permasalahan khusus dalam dunia 158
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
ment strategy), strategi rasionalisasi (rationalization strategy), strategi bujukan (inducement strategy), dan strategi konfrontasi (confrontation strategy). Strategi penguatan dapat digunakan oleh kontestan yang telah mempunyai citra tertentu yang dibuktikan melalui kinerja politik selama mengemban jabatan publik tertentu. Sedangkan strategi rasionalisasi dapat digunakan oleh kontestan yang berhasil mengembangkan citra tertentu yang disukai oleh pemilih, akan tetapi kinerjanya tidak sesuai dengan citra tersebut. Sedangkan strategi bujukan dapat diterapkan oleh kandidat yang dipersepsikan memiliki citra tertentu, tapi juga memiliki kinerja atau atribut- atribut yang cocok dengan citra lainnya. Akhirnya, strategi konfrontasi dapat digunakan manakala ada kontestan yang memiliki citra tertentu dan kontestan tersebut memiliki kinerja yang tidak memuaskan menurut sudut pandang pemilih. Kedua, Sosok Kandidat (person). Sosok kandidat adalah calon yang akan dipilih. Dalam sudut pandang pemasaran politik, sosok kandidat bisa dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi simbolis, dimensi instrumental dan dimensi penampakan visual. Dimensi simbolis menggambarkan tentang prinsip- prinsip dasar kandidat (keyakinan, keterbukaan, kesetiakawanan, ketulusan, kepedulian, dll). Dimensi instrumental menggambarkan kompetensi manajerial dan kompetensi fungsional, yaitu kemampuan dalam berorganisasi dan keterampilan dalam pekerjaannya. Adapun dimensi penampakan visual menggambarkan pesona fisik sang kandidat (apakah kandidat itu cakep, cantik, kekar, gemuk, ramping, dsb). Ketiga, Penyajian Kandidat (presentation). Hal ini menunjuk pada produk politik yang akan ditampilkan dalam pemasaran politik, yaitu sang kandidat itu sendiri. Maksudnya, ia disajikan dalam hal apanya dan dengan cara bagaimana. Penyajian produk politik ini bisa dilihat dari simbol-simbol, kata-kata dalam spanduk, baliho, jingle, yel-yel, dsb yang menandakan ciri khas dari kandidat yang bersangkutan. Menurut Nursal (2004:219), penyajian ini bisa dilihat dari 4 (empat) aspek, yaitu: simbol linguistik (adalah simbol- simbol yang ada di dalam partai ataupun yang dapat merepresentasikan kandidat akan dipakai), simbol optic (permainan gambar yang menarik sehingga membantu presentasi yang akan disampaikan), simbol akustik (meliputi tentang bagaimana nada, irama dan warna bunyi ketika sebuah pesan politik disampaikan), serta simbol ruang dan waktu (menggunakan ruang atau lokasi tertentu untuk membentuk makna tertentu pula). Keempat, Partai Pengusung (Party). Ini menunjuk pada organisasi politik dimana kandidat itu berasal. Dalam Pemilukada, biasanya kandidat bisa saja tidak hanya diusung oleh salah satu partai saja. Melainkan, kandidat diusung oleh beberapa partai koalisi. Dengan demikian, partai pengusung Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
255
bisa terdiri dari satu partai saja atau bisa juga koalisi beberapa partai. Kelima, Kebijakan yang Ditawarkan (Policy). Ini menunjuk kebijakan atau program yang ditawarkan oleh kandidat kepada para calon pemilih. Kebijakan atau program-program ini kebanyakan berisi tentang apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat. Kebijakan ini bisa dilihat dari visi dan misi kandidat dalam Pemilukada maupun gagasan-gagasan yang dilontarkan kandidat dalam berbagai kesempatan. Keenam, Mobilisasi Pendukung (Push Marketing) adalah penyampaian produk politik secara langsung kepada pemilih (tatap muka). Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan acara- acara yang diselenggarakan oleh tim sukses, misalnya melalui kegiatan hiburan (entertainment) ataupun kegiatan religius. Ketujuh, Keaktifan Kandidat dalam Menjangkau Pemilih (Pass Marketing). Ia merupakan upaya penyampaian produk politik kepada pihak perantara atau jurkam (influencer). Pass marketing dapat dilihat dari keaktifan si perantara. Dalam arti, sejauh mana para perantara itu aktif secara perorangan maupun kelompok dalam mempengaruhi para pemilih. Kesatuan dari semua unsur-unsur tersebut akhirnya mengarah pada satu maksud, yaitu mengajak pemilih agar datang ke bilik suara dan memberikan hak suara mereka untuk memilih Paslon yang dipasarkan tersebut. Patut dicatat, bahwa pemasaran politik bisa bersifat positif maupun negatif terhadap proses konsolidasi demokrasi. Ia akan bersifat positif manakala konfigurasi pemilih didominasi oleh pemilih rasional dan pemilih kritis yang berorientasi 'policy-problem-solving'. Pemilih rasional cenderung berorientasi tinggi pada policy-problem-solving dan berorientasi rendah untuk faktor-faktor ideologi. Pemilih kritis cenderung memberi bobot setara antara orientasi pada policy-problem-solving dan sistem nilai para kontestan. Sebaliknya, pemasaran politik akan bersifat negatif terhadap proses konsolidasi demokrasi manakala pemilih didominasi oleh pemilih tradisional dan atau pemilih skeptis. Pemilih tradisional cenderung mengutamakan kedekatan sosial budaya, kesamaan nilai, asal-usul, paham dan agama sebagai ukuran untuk memilih. Sedangkan pemilih skeptis cenderung melakukan pilihan secara acak dan random karena tidak percaya bahwa Pemilukada dapat membawa perbaikan yang diharapkannya (Firmanzah, 2008). METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini bisa dilihat dari segi data, tujuan dan cakupan studinya. Dilihat dari segi data dominan yang hendak dicari-berupa kata256
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Di samping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement. Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melalui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program-program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap
Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
157
10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22-36,65 persen dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007).
Gambar 1. Grafik angka partisipasi Sekolah
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia Menurut Umaedi (2003) ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Diskusi tersebut 156
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
kata dan simbol-simbol, bukan angka-angka - penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yang berusaha mendokumentasikan peristiwa melalui sudut pandang subjek terteliti, dan lebih bersifat untuk menghasilkan hipotesis bukannya menguji hipotesis (Silverman, 2000:8). Watak kualitatif dari penelitian juga tampak dari upaya yang hendak dilakukan untuk membangun representasi-representasi berdasarkan pengetahuan yang relatif mendalam dan rinci tentang kasus tertentu (Neuman, 2003: 33) Sedangkan dilihat dari segi tujuannya penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian eksplanatoris, yang walaupun tidak berupaya menguji ramalan-ramalan teori atau prinsip namun tetap berupaya untuk mengaitkan isu-isu atau topik-topik dengan satu prinsip umum (Neuman, 2003: 29). Dalam penelitian ini prinsip umumnya adalah pola hubungan antara civil society dengan negara dalam masa transisi. Penelitian ini akan menghasilkan pernyataanpernyataan yang bersifat eksplanasi, namun pernyataan kesimpulan itu bukanlah sebuah generalisasi. Pernyataan-pernyataan itu tidak berlaku umum, tetapi hanya berlaku pada komunitas yang diteliti. Adapun bila dilihat dari segi cakupan studinya, penelitian ini termasuk jenis studi kasus karena peneliti hanya akan menyelidiki secara intensif satu kasus dalam satu konteks yang spesifik. Dengan demikian teori yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah teori substantif, yaitu teori yang dibangun untuk satu wilayah perhatian tertentu saja. Teori itu hendak dibangun secara induktif, yaitu membangun teori sesudah/seraya data dikumpulkan. Berbekal topik dan konsep-konsep awal yang masih agak kabur, akan dilakukan penajaman konsep dan pengembangan teori senyampang proses pengumpulan data dilakukan. Daerah Penelitian Daerah penelitian ini adalah Kota Salatiga. Pertimbangan dipilihnya Kota Salatiga sebagai daerah penelitian karena sudah sejak pemilu tahun 1999, dan Pemilukada 2001 Kota Salatiga dijadikan objek studi politik lokal oleh Program Studi S1 PPKn-FKIP-UKSW. Bisa diduga, Pemilukada tahun 2011 ini berbeda dari Pemilukada tahun 2001 karena kini rakyat memilih sendiri Walikota dan Wakilnya, bukan hanya sekadar diwakili oleh para anggota DPRD seperti tahun 2001 lalu. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan studi terhadap dokumen, baik yang berasal dari para kontestan, KPUD, media massa dan sumber-sumber lain yang relevan. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
257
Teknik Analisis Data Analisis data yang terkumpul melalui penelitian ini mencakup tiga alur kegiatan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles & Huberman; 1992 :16). Melalui proses reduksi data dilakukan penyederhanaan, pengabstrakkan dan transformasi data yang diperoleh. Reduksi data ini terus berlangsung senyampang proses pengumpulan data berlangsung. Data-data direduksi melalui seleksi yang ketat, ringkasan atau uraian singkat, menggolong-golongkannya ke dalam satu pola yang lebih luas dan sejenisnya. Dengan demikian melalui proses ini terjadi penajaman, penggolongan, pembuangan data yang tidak perlu dan pengorganisasian data sehingga dapat ditarik kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan yang dibangun selama proses pengumpulan data bersifat longgar pada tahap awalnya, dan melalui proses verifikasi ditingkatkan menjadi lebih rinci dan kokoh mengakar pada data yang dikumpulkan. Verifikasi ini dilakukan untuk menjaga agar makna-makna yang di tarik atas data cukup teruji kebenaran, kekokohan dan kecocokannya. HASIL PENELITIAN Secara garis besar, hasil penelitian meliputi dua hal, yaitu proses dan hasil Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011. Proses Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011 Kegiatan Pemilukada Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 adalah pemilihan umum yang dilakukan untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota secara langsung untuk masa jabatan 2011-2016. Pemilukada ini merupakan yang ketiga kalinya dilaksanakan Pemda dan masyarakat Salatiga dalam era reformasi. Sebelumnya sudah dilaksanakan dua kali Pemilukada secara langsung, yaitu tahun 2001 dan 2006. Pemilukada tahun 2011 diikuti oleh 124.309 pemilih (laki-laki: 60.163, perempuan: 64.146). Mereka terbagi dalam 376 TPS yang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argo Mulyo dan Kecamatan Tingkir. Adapun beaya yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan kegiatan ini kurang lebih sebesar Rp 3,8 milyar. Dana tersebut dibiayai dari APBD Kota Salatiga, dengan rincian Rp 800 juta berasal dari APBD Perubahan 2010 untuk tahap persiapan dan Rp 3 miliar dari APBD 2011 untuk tahapan penyelenggaraan. Pelaksanaan Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 didasarkan pada Surat Keputusan KPU Kota Salatiga No 01/Kpts/KPU-KOTA SLG258
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ada juga yang melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Lalu bagaimana mutu pendidikan di Indonesia? Sistem persekolahan di Indonesia sangat luas dan bervariasi. Dengan lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah, sistem ini merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (setelah China, India dan Amerika Serikat). Kondisi ini tentu saja meninbulkan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Seperti telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guruguru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun. Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Berbagai laporan global tiga tahun terakhir tentang mutu pendidikan di Indonesia seperti: Education Development Index/EDI(2011), Human Develelopment Indeks/HDI, survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC.2007), Laporan United Nations Development Program (UNDP.2008), menempatkan posisi mutu pendidikan di Indonesia pada urutan bawah. Satu-satunya laporan global yang menggembirakan adalah laporan World Bank (2008) tentang angka partisipasi sekolah dasar mencapai 93 persen; tidak ketinggalan dengan negara tetangga. Pada tataran nasional, berbagai data juga mengindikasikan rendahnya mutu pendidikan. Misalnya: a) Anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7 persen, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7 persen dari total penduduk usia 7-15 tahun Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 8 juta penduduk yang buta huruf (Suara Merdeka, 27 Oktober 2011). b) Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
155
berjudul Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah karakteristik menyeluruh dari setiap komponen pendidikan yang menunjukkan kemampuannya memuaskan kebutuhan pelanggan. Komponen tersebut mencakup input, proses, dan output pendidikan. Input pendidikaan meliputi bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstrakurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks output mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu. Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil tes kemampuan akademis (misalnya ulangan umum,UN). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik dan jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang intangible seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb. Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Dalam pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah atau keunggulan sekolah dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti megahnya gedung dan banyaknya ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya atau yang diterima di dunia usaha. Sekolah itu bermutu atau unggul dengan hanya melihat fisik sekolah, dan banyaknya ekstrakurikuler yang ada di sekolah serta melihat banyaknya tamatan yang diterima di jenjang sekolah yang lebih tinggi, atau yang diterima di dunia usaha. Untuk dapat memahami kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan hasil. Banyak masyarakat yang mengatakan sekolah itu bermutu atau unggul dengan 154
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
012.329537/210 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Kota Salatiga Tahun 2011. Sesuai dengan ketentuan tersebut, secara garis besar, proses Pemilukada Kota Salatiga tahun 2011 terdiri atas tiga tahapan, yaitu tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan dan tahapan penyelesaian. Kegiatan persiapan ini berlangsung selama satu tahun, sejak Mei 2010 sampai dengan Mei 2011. Tahapan kegiatan pelaksanaan ini sudah dimulai sejak 20 Januari 2011 dan berakhir 15 Mei 2011. Sedangkan tahapan kegiatan penyelesaian berlangsung sejak 16 Mei 2011 dan berakhir pada Oktober 2011. Secara keseluruhan, ketiga tahapan kegiatan tersebut dapat berlangsung dengan aman dan lancar. Ini terbukti dari dapat dilaksanakannya kegiatankegiatan dalam Pemilukada sesuai dengan agenda yang telah dijadwalkan dan tidak adanya konflik bernuansa kekerasan antar simpatisan dan pendukung Paslon selama berlangsungnya tahapan-tahapan Pemilukada. Namun, itu tidak berarti bahwa keseluruhan tahapan berlangsung tanpa masalah. Berbagai masalah, yang ringan maupun yang dianggap serius, tetap saja muncul dan mewarnai proses Pemilukada. Masalahmasalah itu terutama berkenaan dengan tahapan kedua, yaitu pelaksanaan Pemilukada. Dari berbagai masalah yang ada, beberapa yang dianggap penting antara lain adalah soal ketidakakuratan data pemilih, proses pencalonan beberapa Balon yang dianggap tidak fair, serta dugaan adanya manipulasi dan penggelembungan suara yang terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif dalam proses pemungutan serta penghitungan suara. Masalah-masalah tersebut dianggap mencederai prinsip luber dan jurdil dalam Pemilukada dan merugikan perolehan suara Paslon tertentu. Hal ini menyebabkan Paslon yang merasa dirugikan tidak bersedia menerima hasil Pemilukada. Perselisihan mengenai hasil Pemilukada pun terjadi antara Paslon yang merasa dirugikan dengan KPUD. Paslon yang merasa dirugikan lantas mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar memeriksa dan memutus perselisihan hasil Pemilukada itu. Paslon Walikota dan Wakil Walikota Ada 4 (empat) Paslon Walikota dan Wakil Walikota yang bertarung memperebutkan suara pemilih. Sesuai dengan nomor urut resmi, mereka adalah pasangan Basis (BAmbang SuprIyanto-Susi), Dihati (DIaH sunArsasi-Teddy sulistIo), Yaris (YuliyAnto-haRIS), dan Poros (Bambang SoetoPO-ROSa). Secara ringkas, profil keempat Paslon dipaparkan pada tabel 3.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
259
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Anggota DPRD Salatiga Rosa Maria Delima Sri Darwanti, SH., M.Si.
S2
55
1.694.000.000
Kristen
PKPI dan PPRN Islam 27.076.418.000 62 S1 Wiraswasta H. Bambang Soetopo, SE. 4
Anggota DPRD H. Muh Haris, SS, M.Si.
S2
45
Tidak ada data
Islam
PKS,PPP, PIS, Partai Demokrat Islam 13.017.373.142 44 S2 Anggota DPRD Yuliyanto, SE., MM. 3
Anggota DPRD Milhous Teddy Sulistio, SE
S1
42
356.353.550
Kristen
PDIP, PAN, PDS, Partai Golkar Islam 7. 801.814.145 51 S1 Wawali Ir. Diah Sunarsasi 2
Swasta Ir. Hj Adriana Susi Yudhawati, M.Pd.
S2
47
2.275.965.443
Islam
PKB, Hanura, Gerindra, PKPB Islam 693.859.735 58 PNS H. Bambang Supriyanto, SH., MM. 1
S2
Partai Pengusung Agama Kekayaan Usia Pend Pekerjaan Nama No
Tabel 3. Profil Paslon Dalam Pemilukada Kota Salatiga 2011 260
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
melindungi hak-hak anak, menyatakan bahwa mutu pendidikan adalah keadaan dimana: a) Learners who are healthy and ready to participate and learn, and supported in learning by their families and communities; b) Environments that are healthy, safe, protective and gender-sensitive, and provide adequate resources and facilities; c) Content that is reflected in relevant curricula and materials for the acquisition of basic skills, especially in the areas of literacy, numeracy and skills for life; d) Processes through which trained teachers use child-centred teaching approaches in well-managed classrooms and assessment to facilitate learning and reduce disparities; e) Outcomes that encompass knowledge, skills and attitudes, and are linked to national goals for education and positive participation in society"(Adam.2000). Tim Staf Ahli Mendiknas Bidang Mutu Pendidikan (2007) menyatakan bahwa ada beberapa kata kunci pengertian mutu pendidikan, yaitu: sesuai standar (fitness to standard), sesuai penggunaan pasar/ pelanggan (fitness to use), sesuai perkembangan kebutuhan (fitness to latent requirements), dan sesuai lingkungan global (fitness to global environmental requirements). Wicaksana, I Wayan Simri (2008) mendefinisikan mutu pendidikan sebagai pencapaian tujuan dan kompetensi lulusan yang telah ditetapkan oleh instansi pendidikan di dalam rencana strategisnya, atau kesesuaian dengan standard yang telah ditentukan. Secara luas pengertian mutu mencakup aspek sarana/prasarana, organisasi, manajemen, masukan, proses, keluaran yang dapat memuaskan pelanggan internal (pengajar, staf administrasi, pengelola lembaga pendidikan) serta pelanggan eksternal (peserta didik, orang tua, masyarakat pengguna serta masyarakat yang lebih luas). Menurut Achmad (1993), mutu pendidikan di sekolah diartikan sebagai kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku. Sedangkan Harvey (2004), menyatakan kualitas pendidikan digambarkan sebagai efektivitas pengalaman belajar yang disediakan oleh lembaga pendidikan untuk siswa mereka, yaitu kesesuaian dan efektivitas penilaian belajar, mengajar dan dukungan yang diberikan kesempatan untuk membantu siswa mencapai tujuan belajar mereka. Sallis (1993) menyatakan: "Quality in education can be difined as that which best satisfies and exeeds customers needs and want". Senada dengan pendapat Sallis, Nurkolis (2003) dalam bukunya yang Standar Nasional Pendidikan dan Mutu Pendidikan di Indonesia (Mawardi & Arief Sadjiarto)
153
Bangsa (UNESCO) di New York, Amerika Serikat, menyatakan bahwa indeks pembangunan pendidikan (Education Development Index/EDI) adalah 0,934. Nilai ini menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Padahal tahun 2010 yang lalu berada pada peringkat ke65. Indonesia masih tertinggal dari Brunei yang berada di peringkat ke-34 dan Malaysia peringkat ke-65. Sedangkan harian Suara Merdeka, 27 Oktober 2011 memuat pernyataan Menteri Pendidikan Nasional M. Nuh, bahwa masih ada sekitar 8 juta penduduk Indonesia yang buta huruf. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Kebijakan-kebijakan tersebut berkaitan dengan kurikulum, kesiswaan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pembiayaan, manajemen pendidikan, penentuan standar nasional pendidikan dan lain-lain. Diantaranya: a) pemberlakukan kurikulum berbasis kompetensi, b) pemberian bantuan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM), Bantuan Khusus Murid (BKM), Proyek Bantuan lmbal Swadaya (BIS), Dana Bantuan Langsung (DBL), c) bantuan jaringan internet dan sarana IT melalui program Jardiknas, d) sertifikasi guru, e) program Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), f) program Manajemen Mutu Terpadu (MMT), g) pembentukan lembaga independen Badan Standar Nasional Pendidikan, dan h) penetapan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Berbagai stimulan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di atas nampaknya belum mampu meningkatkan mutu pendidikan. Temuan berbagai penelitian menunjukkan belum adanya peningkatan mutu pendidikan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan (Nurkolis,2003). Temuan berbagai penelitian ini sangat bermanfaat dalam rangka pemetaan komponen-komponen pendidikan yang perlu perbaiki, mengarah kepada standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. MUTU PEDIDIKAN Mengingat betapa luasnya cakupan komponen pendidikan, tidaklah mudah menyusun definisi yang memadai tentang apa itu mutu pendidikan. Ehlers (2004) menyatakan bahwa mutu atau kualitas pendidikan merupakan konsep yang multidimensi. Oleh karena itu, perbedaan cara pandang seseorang dalam mendifinisikan mutu pendidikan akan menghasilkan rumusan yang berbeda pula. Peneliti UNICEF sebagaimana fungsinya sebagai badan dunia yang 152
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:151-168
Profil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar Paslon berasal dari kalangan pemerintah (eksekutif dan legislatif) dan kaum terpelajar dengan latar belakang sosial ekonomi relatif kuat. Semua Paslon memiliki latar belakang pendidikan cukup tinggi. Dari delapan Balon, lima diantaranya berpendidikan magister (S2) dan tiga lainnya berpendidikan sarjana (S1). Dilihat dari segi usia, sebagian besar dari mereka berasal dari generasi tua (berusia di atas 45 tahun). Dari delapan Balon, hanya dua orang yang berusia di bawah 45 tahun. Lebih lanjut, dilihat dari segi kekuatan ekonomi, sebagian besar memiliki kekayaan di atas Rp. 1 Milyar. Hanya 2 (dua) orang Balon yang memiliki kekayaan kurang dari Rp. 1 Milyar. Adapun bila dilihat dari sisi partai pengusung, tiga dari empat Paslon (Paslon 1, 2 dan 3) diusung oleh gabungan partai-partai dengan latar belakang ideologis campuran antara partai nasionalis dan partai Islam (tengah). Hanya satu Paslon (Paslon 4) yang diusung oleh koalisi partai yang semuanya berlatarbelakang ideologi nasionalis. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tidak ada daya-beda yang kuat di antara masing-masing Paslon. Karena itu, cukup menarik untuk memperhatikan dinamika pemasaran politik para Paslon. Dinamika Pemasaran Politik Para Paslon Pemosisian Kandidat (positioning) Pemosisian kandidat yang dipilih oleh keempat Paslon berbeda-beda. Hal ini tampak dalam penamaan masing-masing Paslon. Paslon nomor urut pertama menggunakan nama Basis. Paslon nomor urut kedua menggunakan nama Dihati (Diah-Teddy). Paslon nomor urut tiga menggunakan nama Yaris. Paslon nomor urut empat menggunakan nama Poros. Nama-nama tersebut pertama-tama tentu merupakan singkatan yang diambil dari gabungan dari nama diri dari masing-masing calon. Meskipun demikian, ketika gabungan nama diri itu dibuat, ia memberikan gambaran tertentu yang menjawab pertanyaan 'Paslon ingin dicitrakan sebagai apa oleh masyarakat, terutama calon pemilih?'. Jadi, nama Paslon itu memiliki efek pemosisian kandidat. Nama Basis jelas memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Bambang Supriyanto-Adriana Susi Yudhawati ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang peduli dan berpihak pada rakyat di akar rumput (grassroot). Karena istilah basis memiliki asosiasi kuat dengan masyarakat dasar atau masyarakat akar rumput. Sedangkan nama Dihati memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Diah Sunarsasi-Milhaus Teddy Sulistio ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang peka terhadap harapan dan perasaan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
261
semua kalangan masyarakat, terutama rakyat kecil. Karena ungkapan dihati memiliki asosiasi langsung dengan suasana kedekatan secara emosional. Sedangkan nama Yaris memberikan gambaran pemosisian bahwa Paslon Yulianto-Muh Haris ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang sukses, yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat menuju kehidupan yang lebih makmur. Nama Yaris mengingatkan masyarakat pada jenis mobil yang cukup bagus, simbol dari keberhasilan dan kemakmuran yang didambakan oleh kebanyakan orang. Sedangkan nama Poros memberikan gambaran bahwa Paslon Bambang Soetopo-Rosa Maria Sri Darwanti ingin dicitrakan sebagai sosok pemimpin yang berada di tengah (poros), yang mengayomi semua kelompok masyarakat, memiliki kemampuan menjembatani berbagai perbedaan, sekaligus menjadi manajer yang baik yang mampu menggerakkan semua kalangan. Dari pemosisian tersebut, tampak bahwa semua Paslon berusaha menerapkan strategi bujukan (inducement strategy). Namun demikian, strategi pemosisian yang dilakukan Yaris tampak lebih fokus, lebih spesifik, dan memiliki daya-beda lebih kuat daripada pemosisian Paslon lain. Pemosisian Yaris berusaha merespons kegelisahan dan harapan utama berbagai lapisan masyarakat, yaitu kerinduan akan adanya peningkatan taraf hidup (kehidupan yang lebih makmur). Perbaikan taraf hidup kini memang merupakan isu publik yang jauh lebih seksi daripada isu-isu publik penting lainnya seperti pemihakan kepada masyarakat akar rumput /wong cilik (pemosisian Basis dan Dihati) ataupun mediasi kepentingan serta penggerak kemajuan (pemosisian Poros). Sosok Kandidat (person) Sosok kandidat mudah ditangkap dari sosok asli mereka dan fotofoto resmi yang mereka tampilkan di berbagai sudut kota. Dari sisi sosok mereka, Paslon Basis memberikan gambaran sebagai sosok pemimpin yang bijak. Salah satu dari antara mereka sesungguhnya sudah cukup berumur (58 tahun). Namun, hal ini dicoba ditutupi dengan menampilkan foto-foto resmi yang menampakkan usia sedikit lebih muda daripada penampilan aslinya. Hal ini membuat ada perbedaan antara sosok sesungguhnya dengan sosok dalam foto-foto resmi.
262
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Mawardi Program Studi S1 PGSD FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
Arief Sadjiarto Program Studi S1 Pendidikan Ekonomi FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRACT The purpose of this article is to explain the quality of education profile, the national standard of education, the implementation of national standard of education, the problem-mapping of the education and some thinking on how to cope the problems of education in Indonesia. The classic problem in Indonesia is the low quality of education in every stage and unit of education, especially primary and secondary education. Some policies have been made by the government in order to improve the quality of education. Those policies are related with the curriculum, students, teachers, infrastructures, financing, education management, the verification of the standard of national education, etc. The policies about the standard of national education are declared by the government as the minimum criteria of the educational system thoughout Indonesia. The functions are as the base of instructional planning, executing, and monitoring in order to create the qualified national education and also as the quality insurance instrument of the national education. Based on some findings (by BPK and Litbang Diknas), it is indicated that the standard of national education has not been well implemented. Moreover, the factors which are influential towards the implementation of the standard of national education are effectiveness, efficiency, and the double-face of the standard of education. Keywords : standard of national education, quality of education
PENDAHULUAN Permasalahan klasik pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan jenis satuan pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah sebagai bekal awal melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu. Harian Kompas, 03 Maret 2011 melansir berita Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011; yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-
151
Hal serupa juga terjadi pada sosok Poros. Dari sisi sosok, Paslon Poros memberikan gambaran sebagai sosok pemimpin yang tegas dan berani mengambil keputusan, namun sayang salah satu dari antara mereka sesungguhnya adalah calon yang paling sepuh (62 tahun) bila dibandingkan kandidat lainnya. Gambaran bahwa ia terlalu sepuh ini dicoba ditutupi dengan menampilkan foto-foto resmi berpenampilan jauh lebih muda. Sama halnya seperti Basis, cara demikian ini menunjukkan dimensi simbolis yang negatif, yaitu ketidakjujuran. Hal ini justru memberikan efek berupa gambaran negatif mereka di mata para pemilih.
150
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
263
Berbeda dari gambaran sosok Basis dan Poros, sosok Dihati dan Yaris memberikan gambaran sebagai sosok muda dan memberikan harapan. Di sisi lain, Dihati dan Yaris memiliki latar belakang serupa yang bersifat negatif. Salah satu calon dari kedua Paslon tersebut dinilai oleh masyarakat memiliki kaitan dengan korupsi. Orang tua dari salah satu calon dari Paslon Dihati terlibat dalam kasus korupsi dan sudah diputus bersalah dan dipenjarakan. Sementara itu, salah satu calon dari Paslon Yaris diduga terlibat dalam kasus korupsi dalam proyek jalan lingkar Salatiga. Akan tetapi, Paslon Yaris terkesan lebih mampu meyakinkan publik mengenai ketidak benaran dugaan tersebut. Setidaknya, sampai dengan berlangsungnya Pemilukada, belum ada proses hukum yang jelas terhadap kasus tersebut. Sementara itu, Paslon Dihati sulit untuk melepaskan diri dari citra keterkaitan dengan korupsi karena orang tua salah satu calon dari Paslon tersebut jelas-jelas sudah divonis bersalah. Dengan demikian, Paslon Yaris relatif memiliki gambaran lebih positif daripada Paslon Dihati. Apalagi, sebagaimana tampak dalam foto-foto resmi, Paslon Yaris secara visual keduanya laki-laki dan mengenakan picis. Sementara Paslon Dihati salah satunya perempuan dan satunya lagi tidak mengenakan picis. Tampilan visual ini jelas memainkan peran penting pada pemaknaan dimensi simbolik. Terutama, manakala hal itu dikaitkan dengan polemik dalam wacana politik kontemporer mengenai pro-kontra mengenai "pemimpin perempuan" dan "pemimpin non Muslim". Terkait dengan pro-kontra itu, tampilan visual foto-foto Paslon Yaris lebih memberi efek positif di mata kebanyakan pemilih Muslim, daripada tampilan foto-foto Dihati. Apalagi bila diingat bahwa dalam Pemilukada yang pernah dilakukan di Salatiga, isu mengenai pemimpin Muslim-Non Muslim sempat mengemuka secara terang terangan di ruang-ruang publik. Isu tersebut juga mengemuka dalam perbincangan masyarakat menjelang dan selama proses Pemilukada 2011.
______, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. (http://www.dikti.org/UUno20th2003Sisdiknas.html). http://www.dikti.go.id/evaluasi.or.id, 2008. http://www.hadizaoyas.com
Penyajian Kandidat (presentation) dan Harapan/Kebijakan yang Dijanjikan (policy) Penyajian kandidat pada dasarnya merupakan penyajian produk politik, yaitu Paslon yang maju dalam Pemilukada. Hal ini terutama berkaitan dengan simbol- simbol (pernak-pernik, kata-kata dalam spanduk, baliho atau jingle, dlsb) yang dimaksudkan untuk membangun dan menegaskan ciri khas Paslon tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan harapan/ janji-janji kebijakan yang akan diwujudkan manakala mereka terpilih sebagai kepala daerah. Penyajian Paslon Basis ini umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini siap menjadi pemimpin Salatiga yang menyatukan segenap potensi dan 264
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
149
Omoteso, Bonke Adepeju. 2006. Influence of Selected Socio-demographic Variables on Academic Adjustment of University Students in Southwestern Nigeria. (http://www.krepublishers.com). Ross, Justin and Hammer, Nicole. 2002. College Freshmen: Adjustment and Achievement in Relation to Parenting and Identity Style. (http:// murphylibrary.uwlax.edu/digital/jur/ 2002/ross-hammer.pdf). Runyon, Ricahrd P. and Haber, Audrey. 1984. Psychologhy of Adjustment. Illionis: The Dorsey Press. Sukmadinata, S. 2003. Landasan Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sugiyono. 1999. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Suwarjono. 2004. Perilaku Belajar di Perguruan Tinggi. (http://suwardjono.com/ upload/ perilaku-belajar-di-perguruan-tinggi). Tilaar, H.A.R. 2006. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Wimmer, Christian L. 2007. Assessing Item and Scale Sensitivity to Therapeutic Change on The College Adjustment Scales: Working Toward a Counseling Center Specific Outcome Questionaire. Disertation. Brigham Young University. (http://content-dm.lib.byu.edu). Winkel, W.S. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi. Yazedjian, Ani and Toews, Michelle L. 2004. Predictors of College Adjustment Among Hispanic Students. Journal of the First-Year Experience & Students in Transition 18 (2): 9-29. (http://www.sc.edu/ fye/journal/ Journal18201.pdf). Zhang, Christabel Ming. 2002. The Academic Adjustment Experiences of Undergraduate Chinese International Business Students at Victoria University. Thesis. (http://wallaby.vu.edu.au). ______, 2008. Peraturan Akademik Universitas Kristen Indonesia Maluku: Jenjang Strata Satu. Ambon: Universitas Kristen Indonesia Maluku. ______, 1999. Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi. (http://www.isi-dps.ac.id). ______, 2002. Statuta Universitas Kristen Indonesia Maluku. Ambon: Universitas Kristen Indonesia Maluku.
148
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
kekuatan masyarakat Salatiga untuk melakukan perubahan menuju terwujudnya masyarakat Salatiga yang lebih sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Bersatu, Berjuang, Mengawal dan Perubahan", "Saatnya Salatiga Sejahtera" , "Berjuang, Amanah, Santun, Iman, & Sejahtera" , "Saatnya Sejahtera, Bersatu, Berjuang Untuk Salatiga", "Berani Mengawal Perubahan, Cerdas, Terampil dan Cinta Damai". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar kemudahan dan kecepatan pelayanan publik kepada masyarakat, serta pemanfaatan sumberdaya yang ada di Salatiga sehingga menjadi keunggulan daerah. Sementara itu, penyajian Paslon Dihati umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini siap menjadi pemimpin Salatiga yang dekat dengan rakyat kecil dan mewujudkan kehidupan bersama yang damai dengan berusaha merawat ciri Salatiga sebagai kota yang menghargai kemajemukan. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Sehati Dengan Rakyat, Cedak Karo Wong Cilik", "Kami Cinta Damai Kami Cinta Kesatuan dan Kesatuan Salam Dihati", "Kita Jaga Kerukunan Umat Beragama Salam Dihati", "Penjaga Kemajemukan", "Mari Kita Jaga Kerukunan Umat Beragama", dan "Melayani Tanpa Diskriminasi". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah kemudahan pelayanan publik (terutama) yang diarahkan pada pemberdayaan rakyat kecil. Penyajian Paslon Yaris umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini adalah kaum muda putra daerah Salatiga yang nasionalis dan merakyat yang akan memegang teguh amanah untuk mewujudkan Salatiga sebagai rumah bersama yang lebih maju dan sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Nasionalis Merakyat", "Nasionalis Merakyat, Asli Putra Daerah", "Maju & Sejahtera" , "Muda, Bijaksana, Amanah, Ngemban Daerah", "Mas Yuli Merakyat", "Lebih Dekat Dengan Rakyat", "Salatiga Rumah Kita", "Jujur, Merakyat dan Religius". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar kepastian (tempat, waktu, kualitas) dalam pelayanan publik yang didukung oleh perangkat hukum yang baik berdasarkan survei yang terandalkan. Sedangkan penyajian Paslon Poros umumnya menekankan ciri bahwa Paslon ini adalah pemimpin yang tegas, berani dan amanah dalam Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
265
mewujudkan Salatiga yang lebih sejahtera. Hal ini tampak jelas dalam spanduk-spanduk yang mereka pasang di tempat-tempat umum, serta isi kampanye terbuka dan tertutup yang mereka lakukan. Beberapa upaya dari pembangunan ciri khas semacam itu tampak dalam slogan berikut ini: "Gerakan Salatiga Sejahtera", "Ingatkan Kami Kalau Tidak Amanah", "Tegas, Berani, Teruji". Adapun kebijakan yang dijanjikan adalah seputar pelayanan publik yang cepat, memuaskan dan murah, terutama yang langsung berkaitan dengan peningkatan ekonomi rakyat. Dari penyajian semua Paslon tersebut tampak bahwa Paslon Yaris lebih siap dalam menghadapi penyajian Paslon lainnya. Paslon ini mampu mengidentifikasi sosok yang dibangun oleh Paslon lainnya dan mendefinisikan Paslon mana yang menjadi kompetitor utamanya. Dalam hal ini secara jelas Yaris melihat Paslon Basis dan Poros bukanlah kompetitor potensial. Di sisi lain, Yaris jelas-jelas menempatkan Dihati sebagai kompetitor utama. Itulah sebabnya slogan utama Dihati "Cedhak Karo Wong Cilik" misalnya, ditandingi dengan slogan "Lebih Dekat Dengan Rakyat". Sedangkan slogan Dihati "Melayani Tanpa Diskriminasi" dihadapi dengan slogan "Salatiga Rumah Kita". Dua slogan tersebut dengan jelas berusaha membangun pemahaman masyarakat bahwa Paslon Yaris memiliki ciri khas (karakter) lebih kuat daripada Paslon Dihati dalam soal kedekatannya dengan rakyat maupun komitmennya terhadap keragaman masyarakat Salatiga.
akademik yang berlaku serta pola-pola studi yang tepat bagi mahasiswa dan sesuai dengan gaya belajar di perguruan tinggi, sehingga mahasiswa mampu mencapai prestasi yang optimal di perguruan tinggi.
Partai Pengusung (party)
Bakare, C.G.M. 2008. The Psychology of Adolescence and its Implication for Guidance and Counselling in Nigerian Schools.(http://www.hadizaoyas.com/ tips17.html).
Partai pengusung menunjuk pada partai-partai yang mendukung pencalonan Paslon dalam Pemilukada. Partai-partai pengusung ini penting terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk memobilisasi warga masyarakat yang memiliki keterikatan kuat pada partai. Dilihat dari sisi ini, tampak bahwa para Paslon umumnya tidak menempatkan partai pengusung sebagai hal yang harus ditonjolkan. Dari spanduk-spanduk yang dipasang oleh para Paslon, hanya Paslon Yaris yang mencantumkan partai pengusung secara jelas (lihat gambar baliho Paslon). Itu pun tidak semua spanduk Yaris mencantumkan partai pengusung. Pemasangan spanduk yang mencantumkan partai pengusung ini dilakukan secara selektif, yaitu hanya ditempatkan di tempat-tempat yang diyakini merupakan basis partai pengusung tersebut. Boleh jadi hal ini didasarkan pada pandangan para Paslon bahwa partai pengusung tidak memiliki kaitan signifikan terhadap kemenangan mereka. Mobilisasi Pendukung (Push Marketing) Mobilisasi pendukung ini merupakan upaya Paslon untuk mendekati dan menjangkau pemilih secara langsung. Hal ini biasa dilakukan dengan 266
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Saran Penelitian Lanjutan IPK dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penyesuaian diri mahasiswa berhubungan secara signifikan dengan IPK. Sub-konsep penyesuaian diri mana yang memberi sumbangan besar terjadinya korelasi dengan IPK dapat diteliti lebih lanjut dari hasil penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Adebayo, S.O. & Ogunleye, A.J. 2008. The Psychology of Participatory Democracy and the Personality Profile of the Nigerian Politicians. Bangladesh e-Journal of Sociology 5 (1) January 2008. (http://www. bangladeshsociology.org). Ali, Mohamad. 1987. Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa. Ames, C., & Archer, J. 1988. Achievement goals in the classroom: Student's learning strategies and motivational processes. Journal of Educational Psychology 80: 260-267.
Bodenhorn, Nancy., Miyazaki, Yasuo., Mun Ng, Kok. & Zalaquet Carlos. 2007. Analysis of the Inventory of College Students' Recent Life Experiences. Multicultural Learning and Teaching 2 (2): 65-77. (http://mltonline.org). Calhoun, James F. & Acocella, Joan Ross. 1990. Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi Ketiga. Terjemahan Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press. Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai I. Terjemahan Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia. George, Darren and Mallery, Paul. 1995. SPSS/PC : Step By Step. A simple quide and reference. Belmont: Wadsworth publishing co. Good, C.V.Editor. 2000. Dictionary of Education. New York: McGraw-Hill Book Co. Harder, Arlene F. 2002. The Developmental Stages of Erik Erickson. (http:// www.learningplaceonline.com/ stages-of-life.pdf).
Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
147
digunakan untuk mengukur akademik, sosial, pribadi/emosional, dan penyesuaian kelembagaan. Mengacu pada Wimmer (2007), sensitifitas instrumen dapat menjadi perbedaan antara temuan penelitian penulis dan penelitian Yazedjian & Toews (2004). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. Saran Saran Teoritik Penelitian sebelumnya oleh Omoteso (2006) menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan prestasi akademik mahasiswa, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Yasedjian & Toews (2004) menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa. Hasil analisis kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa, berarti temuan ini sejalan dengan temuan penelitian Omoteso (2006). Temuan penelitian ini juga mempertegas konsep penyesuaian diri Bakare yang mengacu pada teori Psikososial Erikson (1989), yaitu semakin tinggi kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Saran Terapan Ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan IPK mahasiswa memberikan implikasi bagi mahasiswa agar dapat meningkatkan IPK, dengan cara meningkatkan kemampuan penyesuaian diri pada lingkungan akademik. Untuk mengurangi banyaknya mahasiswa drop out pada Fakultas Filsafat UKIM Ambon karena ketidakmampuan mahasiswa dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik perguruan tinggi, maka dosen serta pihak Fakultas Filsafat UKIM Ambon harus memberikan gambaran yang jelas tentang proses perkuliahan, berbagai ketentuan 146
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
menggunakan event atau acara-acara yang diselenggarakan, misalnya kampanye terbuka maupun kampanye tertutup serta melalui kegiatan pertunjukkan, kegiatan sosial, kegiatan olahraga, kegiatan unjuk kekuatan simbolik melalui arak-arakan, dan kegiatan-kegiatan religius. Semua Paslon melakukan berbagai kegiatan tersebut. Umumnya, mereka menggunakan kombinasi antara kampanye terbuka/tertutup dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam soal mobilisasi pendukung, menurut catatan para enumerator, Paslon Yaris cenderung lebih mampu menghadirkan masyarakat dalam kegiatan yang mereka selenggarakan. Jumlah peserta yang datang dalam kegiatan yang mereka selenggarakan umumnya lebih banyak dibandingkan dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Paslon lainnya. Lebih dari itu, para peserta yang hadir dalam kegiatan-kegiatan Yaris lebih menampakkan antusiasme untuk mengikuti kegiatan tersebut. Ini dimungkinkan karena fasilitator mampu membangun kedekatan dengan peserta kegiatan. Dalam membangun antusiasme itu, tak jarang para peserta diajak untuk menyanyikan lagu yel-yel "Yaris Pasti Menang" yang optimistik dan heroik, yang merupakan modifikasi lagu Maju Tak Gentar, demikian: Maju tak gentar, Yaris pasti menang/ Maju tak gentar Yaris pasti menang/ Maju tak gentar Yaris tak terlawan/ Maju tak gentar Yaris pasti menang/ Bergerak…bergerak… serentak… serentak menerkam menerjang terjang/ Tak gentar tak gentar/ Menyerang menyerang/ Majulah Yaris menang! Keaktifan Kandidat Dalam Menjangkau Pemilih (pass marketing) Keaktifan kandidat ini merujuk pada kegiatan para perantara (tim sukses) dalam mempengaruhi pilihan para pemilik hak suara dalam Pemilukada. Semua Paslon mempunyai anggota tim sukses yang bergiat serta berupaya mempengaruhi pilihan para pemilik hak suara. Proses ini dilakukan melalui cara-cara konvensional (dalam pertemuan-pertemuan resmi kampanye tertutup, pertemuan dengan kelompok-kelompok masyarakat, kampanye dari mulut ke mulut, dan berbagai kegiatan lainnya) maupun cara-cara non-konvensional (membagikan barang atau uang). Sudah menjadi rahasia umum bahwa isu agama dan pembagian uang digunakan secara intensif oleh tim sukses dan atau pendukung para Paslon. Hal ini memperoleh pembenaran dalam sidang mengenai sengketa hasil Pemilukada Salatiga yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, terutama ketika mendengar keterangan para saksi. Terlepas dari siapa sesungguhnya yang melakukan pass marketing dengan menggunakan isu agama dan pembagian uang (apakah salah satu pihak untuk mendongkrak suaranya, ataukah pihak lain untuk melakukan kampanye hitam demi memojokkan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
267
lawan), risalah proses sidang dalam MK itu menegaskan dengan jelas bahwa memang benar terjadi pass marketing dengan menggunakan isu agama dan pembagian uang. Dari seluruh proses implementasi strategi pemasaran politik para Paslon, tampak bahwa persaingan riil dalam Pemilukada ini tidak berlangsung pada semua Paslon. Paslon yang berkompetisi secara nyata sesungguhnya hanyalah Paslon Dihati dan Paslon Yaris. Dalam kompetisi ini, Paslon Yaris tampak lebih siap memeragakan pemasaran politik daripada paslon Dihati. Kesiapan itu tampak jelas dari produk yang dihasilkan dalam semua aspek pemasaran politik. Selain itu, Paslon ini mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan secara optimal kondisi para pemilih. Dalam hal ini strategi push marketing dilakukan secara cermat disesuaikan dengan karakter pemilih. Di kalangan pemilih rasional dan kritis, ia cenderung menggunakan bahasa 'sekolahan'. Sebaliknya, di kalangan pemilih tradisional, ia cenderung menggunakan bahasa yang bersifat ideologis. Hal terakhir ini tak dilakukan oleh Paslon lainnya. Hasil Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011 Pemilukada Kota Salatiga yang berlangsung pada bulan 2011 pada akhirnya menghasilkan perolehan suara bagi masing-masing Paslon sebagai berikut: Tabel 4. Perolehan Suara Paslon Pemilukada Kota Salatiga 2011 No
Nama Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota
Perolehan Suara Sah
Prosentase Suara Sah
5.580
5,67
1
H. Bambang Supriyanto, SH. MM. Ir. Hj. Adriana Susi Yudhawati, M.Pd
2
Ir. Hj. Diah Sunarsasi M. Teddy Sulistio, SE.
37.085
37,70
3
Yuliyanto, SE, MM H. Muh. Haris, SS. M.S i
42.396
43,09
4
H. Bambang Sutopo, SE Rosa Darwanti, SH, M.Si
13.317
13,54
98.378
100
Jumlah Suara Sah Sumber: Data mentah,
Hasil sebagaimana tergambar di atas memberikan gambaran menarik jika ditempatkan dalam konteks dinamika politik di Kota Salatiga. Terutama, berkenaan dengan tingkat penggunaan hak suara, serta pemetaan pendukung Paslon. 268
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
pada lingkungan akademik. Penentuan item dalam instrumen dapat mengakomodir aspek-aspek penyesuaian diri pada lingkungan akademik di perguruan tinggi, sehingga hasilnya menjadi signifikan. Berdasarkan indikator empirik yang digunakan, mahasiswa yang mampu membangun kepercayaan diri dalam menghadapi tantangan, mampu menyesuaikan diri dengan situasi kelas, mampu membangun komunikasi yang baik di kampus, mampu beradaptasi dengan sistem perkuliahan, akan memperoleh IPK yang tinggi. Temuan penelitian ini mempertegas pendapat Bakare (dalam Omoteso, 2006), yang mengemukakan bahwa kemampuan penyesuaian diri yang tinggi pada lingkungan akademik akan mempengaruhi peningkatan prestasi akademik mahasiswa secara optimal. Penelitian Ross & Hammer (2002) juga menemukan bahwa, jika mahasiswa tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegiatan akademik di perguruan tinggi, maka kemungkinan mahasiswa akan keluar dari perguruan tinggi. Bakare (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008) mengemukakan bahwa ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/ komunitasnya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik memiliki keterkaitan dengan pencapaian indeks prestasi kumulatif mahasiswa, karena penyesuaian diri mahasiswa memungkinkan mahasiswa untuk menemukan pola-pola studi baru yang sesuai dengan suasana akademik di perguruan tinggi, membangun kepercayaan diri serta mampu menjalin relasi yang baik di kampus. Temuan penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Yazedjian & Toews (2004) kepada 190 orang mahasiswa keturunan Amerika Latin di beberapa universitas Amerika Serikat. Yazedjian & Toews (2004) menekankan responden penelitian pada mahasiswa tahun pertama. Faktor analisis dalam penelitian Yasedjian & Toews (2004) meliputi faktor pribadi (personal) dan faktor antar pribadi (interpersonal). Instrumen yang digunakan merupakan perpaduan beberapa instrumen yaitu: Short Acculturation Scale for Hispanics (SACH) milik Marín, & Otero-Sabogal tahun 1987 untuk mengukur akulturasi; Ethnic Identity Scale (EIS) dari Umaña-Taylor, Yazedjian, & Bámaca-Gómez's tahun 2004, untuk mengukur eksplorasi (exploration), resolusi (resolution) dan penegasan (affirmation); serta Student Adaptation to College Questionnaire (SACQ) dari Baker & Siryk tahun 1989 Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
145
mahasiswa dengan IPK mahasiswa dinyatakan signifikan. Artinya jika skor penyesuaian diri mahasiswa meningkat, maka skor IPK mahasiswa naik dan jika skor penyesuaian diri mahasiswa menurun maka skor IPK mahasiswa juga turun karena arah hubungannya positif. Pembahasan Hasil Penelitian Temuan penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berarti semakin tinggi skor penyesuaian diri mahasiswa, pencapaian IPK mahasiswa juga semakin meningkat. Persamaan dan perbedaan temuan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat disebabkan oleh sensitifitas instrumen. Wimmer (2007) dalam diskusi tentang hasil penelitiannya mengakui bahwa sensitifitas instrumen yang digunakan dalam penelitian dapat dipertimbangkan, jika temuan penelitian yang dilakukan menunjukkan persamaan dan perbedaan dengan temuan penelitian sebelumnya. Bahkan, jika instrumen yang sama digunakan dalam penelitian yang berbeda, hasilnya bisa sama, tetapi juga bisa berbeda. Oleh karena itu Wimmer (2007), mengusulkan agar peneliti mampu mengembangkan instrumen penelitian yang spesifik dan sesuai dengan populasi penelitian. Sedangkan Bodenhorn, Miyazaki, Mun Ng & Zalaquet (2007), mengemukakan spesifikasi sub konsep, analisis faktor serta item-item yang digunakan dalam penelitian juga dapat menentukan arah dari hasil penelitian. Penentuan item dalam sebuah instrumen harus meliputi berbagai aspek yang menjadi permasalahan penelitian. Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Omoteso (2006) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK. Instrumen yang digunakan oleh penulis dalam penelitian kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon adalah Academic Adjustment Inventory (AAI) milik Bakare tahun 1977, yang lebih menekankan pada penyesuaian diri dalam lingkungan akademik di perguruan tinggi. Indikator empirik dalam instrumen penelitian ini adalah kemampuan mahasiswa dalam membangun kepercayaan diri dan mengelola kemampuan diri dalam menghadapi tantangan studi, menyesuaikan diri dengan situasi kelas, membangun komunikasi yang baik dengan para dosen maupun sesama mahasiswa, serta kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan sistem perkuliahan. Penelitian ini menemukan ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dan IPK mahasiswa, dikarenakan instrumen yang dipakai lebih mengarah pada pengukuran kemampuan penyesuaian diri mahasiswa 144
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Tingkat Penggunaan Hak Suara Tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah dapat dilihat dari seberapa banyak porsi warga yang berhak pilih menggunakan hak suaranya. Berdasarkan data yang ada dapat dikatakan tingkat partisipasi politik warga dalam Pemilukada Kota Salatiga relatif tinggi. Hal tersebut tampak dari data-data berikut. Tabel 5. Tingkat Penggunaan Hak Suara aras Kota Salatiga PROV. : JAWA TENGAH
KOTA : SALATIGA NO. URUT
PESERTA PEMILUKADA
KECAMATAN DAN KELURAHAN
BAS SUARA
1
ARGOMULYO
1,304
YARIS
DIHATI %
SUARA
TOTAL
%
SUARA
%
POROS SUARA %
SUARA
RUSAK
DPT
P MASY
JML
Golput
5.35
9,146
37.55
11,226
46.09
2,679
11.00
24,355
869
29,722
84.87
25,224
4,498
2
TINGKIR
962
4.02
9,525
39.79
10,271
42.90
3,181
13.29
23,939
930
30,912
80.45
24,869
6,043
3
SIDOMUKTI
1,391
6.27
8,660
39.05
8,812
39.73
3,316
14.95
22,179
847
27,830
82.74
23,026
4,804
4
SIDOREJO
1,923
6.89
9,754
34.95
12,087
43.31
4,141
14.84
27,905
996
35,845
80.63
28,901
6,944
JML
5,580
5.67
37,085
37.70
42,396
43.10
13,317
13.54
98,378
3,642
124,309
82.17
102,020
22,289
Sumber: Data mentah, diolah
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa rata-rata partisipasi masyarakat dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 82,17 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kecamatan Argomulyo (84,87%) dan partisipasi terendah di Kecamatan Tingkir (80,45%). Namun jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya, terdapat 22.289 orang, dengan jumlah tertinggi di Kecamatan Sidorejo (6.944 orang) dan jumlah terendah di Kecamatan Argomulyo (4,498 orang). Jika dilihat dari sisi asal kelurahan, tingkat partisipasi politik masyarakat di kedua jenis wilayah dalam Pemilukada kali ini juga memberi gambaran yang cukup menarik. Seperti diketahui pada awalnya Kota Salatiga hanya memiliki 9 Desa/kelurahan yang mencakup: Sidorejo Lor, Salatiga, Dukuh, Kalicacing, Mangunsari, Ledok, Tegalrejo, Kutowinangun dan Gendongan, Sejak tahun 1988 Kota Salatiga mendapat tambahan wilayah berupa 13 desa di sekitarnya (yang sekarang sudah berubah menjadi kelurahan) yaitu: Blotongan, Pulutan, Bugel, Kauman Kidul, Kecandran, Noborejo, Kumpulrejo, Randuacir, Cebongan, Tingkir Lor, Tingkir Tengah, Kalibening, dan Sidorejo Kidul. Gambaran partisipasi masyarakat di kedua jenis wilayah tersebut adalah sebagai berikut. Rata-rata partisipasi masyarakat di wilayah asli Salatiga dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 80,38 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kelurahan Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
269
Dukuh (80,77%) dan partisipasi terendah di Kelurahan Gendongan (71, 1%). Jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya terdapat 15.318 orang (hampir 20% pemilih), dengan jumlah tertinggi di Kelurahan Kutowinangun (3.082 orang) dan jumlah terendah di Kelurahan Gendongan (1.108 orang). Sedangkan rata-rata partisipasi masyarakat di wilayah tambahan Salatiga dalam proses pemberian suara di ajang Pemilukada kali ini mencapai 84,93 persen, dengan tingkat partisipasi tertinggi di Kelurahan Randuacir (89,17%) dan partisipasi terendah di Kelurahan Blotongan (77,09%). Jika dilihat dari jumlah orang yang tidak menggunakan hak suaranya hanya terdapat 6.964 orang (sekitar 15% pemilih), dengan jumlah tertinggi di Kelurahan Blotongan (1.662 orang) dan jumlah terendah di Kelurahan Kalibening (190 orang). Pemetaan Pendukung Paslon Dari sisi dukungan potensial berdasar perolehan suara partai-partai pendukung Paslon dalam pemilu legislatif tahun 2009 lalu maka peta dukungan potensial masing-masing Paslon adalah sebagai berikut. Tabel 6. Peta Dukungan Potensial para Pasangan Calon Paslon
Jumlah Dukungan
Partai Pendukung
Prosentase Dukungan
4.791 3.222 1.552 4.383
13.948
15,02
DIHATI
PDI Perjuangan (PDIP) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Damai Sejahtera (PDS) Partai Golkar
15.747 7.250 2.150 8.886
34.033
36,64
YARIS
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Demokrat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Indonesia Sejahtera (PIS)
POROS
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN)
10.709 10.842 5.637 3.257 7.595
SUARA POTENSIAL
Partai –partai Non Pendukung Pemilih 2009Tak Gunakan Hak Pilih Suara tak sah dalam Pemilu 2009 Tambahan Pemilih dalam Pemilukada 2011
BASIS
Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA) Partai Gerakan Indonesia Raya Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Total Dukungan
2.872
Total
Kategori
Skor
f
Presentase (%)
Sangat Baik Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
20-25 15-19 10-14 5-9 0-4
45 104 58 14 1
20,3 46,9 26,1 6,3 0,4
222
100
Total
Sumber: Data Primer diolah, 2009
Tabel 2 menunjukkan frekuensi penyesuaian diri mahasiswa, sebagian besar berada pada kategori Baik = 67,2 persen. Sebelum melakukan analisis korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data. Sugiyono (1999) mengatakan bahwa penggunaan Pearson product moment yang merupakan statistik parametrik, jika data setiap variabel penelitian yang akan dianalisis harus mempunyai distribusi normal. Uji normalitas dengan menggunakan Kolmogorov-Smirnov, menunjukkan bahwa signifikansi (p) untuk data penyesuaian diri adalah 0,052 > 0,05, dan indeks prestasi kumulatif adalah 0,648 > 0,05, sehingga distribusi penyesuaian diri, dan IPK berdistribusi normal. Perhitungan koefisien korelasi dalam penelitian dapat menggunakan Pearson product moment karena data berdistribusi normal. Hubungan Penyesuaian Diri (X) dengan IPK (Y) disajikan dalam tabel 3. Tabel 3 Hubungan Penyesuaian Diri dengan Indeks Prestasi Kumulatif Correlations
30.445
32,78
10.467
11,27
87.893
100
2.990 21.748 8.146 1.530 124.309
27,68 100
Sumber: Data mentah, diolah
Tampak bahwa pasangan calon nomor urut 2 memiliki potensi dukungan yang lebih besar katimbang pasangan-pasangan calon lainnya. Namun demikian, hasil pemilihan menunjukkan bahwa pada akhirnya pasangan calon nomor 3 yang berhasil memperoleh dukungan terbanyak dari pemilih dalam Pemilukada kali ini. 270
Tabel 2 Deskripsi Kategori Penyesuaian Diri mahasiswa
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Penyesuaian Diri Penyesuaian Diri
IPK
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
1 . 222
Pearson Correlation
,228**
Sig. (2-tailed) N
,001 222
IPK ,228** ,001 222 1 . 222
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pada tabel 3 koefisien korelasi antara penyesuaian diri dengan IPK (rx1y)= 0,228 dengan p = 0,001. Berpedoman pada taraf signifikansi 5 persen didapatkan p = 0,001 < 0,05, maka korelasi antara penyesuaian diri Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
143
Uji coba untuk instrumen variabel penyesuaian diri dilakukan kepada mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon, berjumlah 33 orang mahasiswa. Uji validitas item menggunakan corrected item-total correlation. Kriteria tinggi rendahnya validitas butir digunakan ketentuan yang dikemukakan oleh Ali (1987). Uji validitas pada 25 item inventori penyesuaian diri menunjukkan koefisien validitas terendah 0,227 dan tertinggi 0,603, yang berarti semuanya valid. Uji reliabilitas instrumen menggunakan teknik Alpha Cronbach dan dikatakan reliabel jika besarnya alpha minimal α⎯> 0,70. Untuk mengkategorikan inventori dan skala memenuhi syarat reliabilitas, digunakan pedoman George dan Mallery (1995). Hasil uji reliabilitas instrumen penyesuaian diri menunjukkan koefisien reliabilitas sebesar 0,810 berarti pada kategori Baik. ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Tabel 7. Perolehan Suara Paslon KO TA : S ALAT IG A NO. URUT
PESERTA PEMILUKADA SUARA
BASIS
1,304
%
SUARA
DIHATI
%
SUARA
YARIS
%
POROS SUARA
%
1
ARG O M U LY O
2
T IN G KIR
3
S IDO M U KT I
1,391
6.27
8,660
39.05
8,812
39.73
3,316
14.95
4
S IDO RE JO
1,923
6.89
9,754
34.95
12,087
43.31
4,141
14.84
5,580
5.67
37,085
37.70
42,396
43.10
13,317
13.54
962
JM L
5.35
9,146
37.55
11,226
46.09
2,679
11.00
4.02
9,525
39.79
10,271
42.90
3,181
13.29
Sumber: Data mentah, diolah
Jika peta pendukung Paslon dilihat dari segi asal perolehan suara berdasar kategori wilayah asli dan wilayah tambahan di Kota Salatiga maka diperoleh gambaran sebagai berikut. Tabel 8. Perolehan Suara Paslon di Wilayah Asli Kota Salatiga
Analisis Data Deskripsi IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Kelompok Indeks Prestasi Kumulatif mahasiswa Kelompok IPK 3,5 – 4 3 – 3,49 2,75 – 2,99 2,5 – 2,74 2 – 2,49 < 2
f 4 57 51 53 50 7
Persentase (%) 1,8 25,7 23 23,9 22,5 3,1
Total
222
100
Sumber: Data Primer diolah, 2009
Berdasarkan tabel 1, sebagian besar mahasiswa mempunyai IPK pada kategori 3 - 3,49 = 25,7%. Deskripsi penyesuaian diri mahasiswa dapat dilihat pada tabel 2.
142
KECAMATAN DAN KELURAHAN
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
NO. URUT
P ESER TA P EM ILUK ADA
KECAMATAN DAN KELURAHAN
BASIS SUARA
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sidorejo Lor Salatiga Dukuh Kalicacing Mangunsari Ledok Tegalrejo Gendongan Kutowinangun
DIHATI %
SUARA
YARIS
POROS
%
SUARA
%
SUARA
%
438 539 319 281 433 291 394 182 471
5.84 6,65 5,01 7,86 4,82 5,17 7,53 5,85 4,00
2,743 2,669 2,308 1,763 3,574 2,310 2,102 1,574 4,971
36,57 32,91 36,25 49,33 39,77 41, 06 40,19 50,63 42,22
2,972 3,573 2,755 1,009 3,448 2,432 1,917 996 4,228
39,63 44,06 43,28 28,23 38,37 43,23 36,65 32,04 35,91
1,347 1,328 984 521 1,531 593 817 357 2,104
17.96 16,38 15,46 14,58 17,04 10,54 15,62 11,48 17,87
3,348
5,56
24,014
39,84
23,330
38,71
9,582
15,89
Sumber: Data mentah, diolah
Tabel 8, di atas menunjukkan bahwa wilayah asli masih merupakan basis pendukung bagi Paslon nomor urut 2, walau di 4 (empat) kelurahan (Sidorejo Lor, Salatiga, Dukuh, dan Ledok) perolehan suara mereka kalah dari pasangan calon nomor urut 3, namun pasangan ini masih menang di 5 (lima) kelurahan lain (Kalicacing, Mangunsari, Tegalrejo, Gendongan dan Kutowinangun). Berbeda dengan di wilayah asli, di wilayah tambahan pasangan calon nomor 3 memenangkan mayoritas dukungan suara di hampir seluruh kelurahan yang ada. Dukungan suara bahkan mencapai lebih darin 60 persen suara yang sah di tiga kelurahan yaitu: Kelurahan Tingkir Tengah, Noborejo dan Kelurahan Kalibening. Dari 13 (tiga belas) kelurahan di wilayah tambahan yang ada, hanya ada 2 (dua) kelurahan yang mayoritas suaranya tidak diberikan ke Paslon nomor urut 3 (Kauman Kidul dan Kumpulrejo). Itupun dengan selisih perolehan suara yang amat tipis dengan Paslon nomor urut 2 sebagai pemeroleh mayoritas suara di dua kelurahan tersebut. Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
271
Tabel 9. Perolehan Suara Paslon di Wilayah Tambahan Kota Salatiga
dan dewasa. Dalam tindakan menyesuaikan diri, selalu ada hubungan timbal-balik antara individu dengan masyarakat serta kebudayaan setempat. METODE PENELITIAN Jenis dan Lokasi Penelitian
Sumber: Data mentah, diolah
KESIMPULAN Dari keseluruhan paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam Pemilukada Kota Salatiga 2011, dinamika proses pemasaran politik belum mampu berkontribusi positif bagi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Para Paslon relatif belum menampilkan upayaupaya politik progresif yang merupakan indikasi berlangsungnya pendalaman demokrasi. Ada kalanya Paslon berupaya mengemas informasi berbeda dari kenyataan, bahkan memanipulasi informasi yang diberikan kepada publik. 2. Dinamika seperti dikemukakan dalam butir 1 di atas mengindikasikan secara kuat bahwa konfigurasi pemilih masih didominasi oleh pemilih tradisional. Pendalaman demokrasi di era pemasaran politik akan berlangsung dengan baik manakala konfigurasi pemilih didominasi oleh pemilih rasional dan pemilih kritis yang lebih berorientasi pada 'policyproblem-solving'. Karena itu, edukasi publik merupakan keniscayaan, sehingga terjadi transformasi konfigurasi pemilih secara signifikan, sebagai prasyarat penting berlangsungnya konsolidasi demokrasi di era pemasaran politik. 3. Paslon Yaris memperoleh dukungan mayoritas suara sah (43,09%) dalam satu kali putaran. Kemenangan ini merupakan buah dari kinerja pemasaran politik yang lebih unggul daripada Paslon lain di tengah masih kuatnya sikap pragmatis masyarakat dan dominasi konfigurasi pemilih tradisional. Kemenangan ini juga kemenangan dari koalisi partai 272
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional. Penelitian korelasional merupakan penelitian yang menggunakan analisis korelasi. Analisis korelasi adalah metode statistika yang digunakan untuk menentukan kuatnya atau derajat hubungan garis lurus (linear) antara dua variabel atau lebih. Ukuran untuk derajat hubungan garis lurus ini dinamakan koefisien korelasi. Dalam penelitian ini, diupayakan agar dapat memastikan ada tidaknya hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon. Lokasi penelitian ini dilaksanakan pada Universitas Kristen Indonesia Maluku, Jalan Ot. Pattimaipauw, Ambon. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah mahasiswa yang masih aktif kuliah pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon berjumlah 498 orang mahasiswa. Penetapan ukuran sampel digunakan tabel ukuran sampel, dengan batas-batas kesalahan tertentu serta berdasarkan ukuran populasi yang ditetapkan (Sugiyono, 1999). Dengan populasi 498 orang mahasiswa tabel sampel menunjukkan ukuran sampel sebanyak 222 orang mahasiswa dengan batas kesalahan yang ditolerir sebesar 5 persen. Sampel diambil dengan random sampling yaitu mahasiswa yang ditemui ketika dilakukan pengumpulan data di kampus. Variabel dan Instrumen Penelitian Variabel yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) dan IPK mahasiswa (Y). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah penyesuaian diri (X) sedangkan yang menjadi variabel terikat adalah indeks prestasi kumulatif (Y). Instrumen penyesuaian diri diadaptasi dan dimodifikasi dari Academic Adjustment Inventory (AAI) dari Bakare tahun 1977 (dalam Omoteso, 2006, yang terdiri dari 25 item pernyataan dengan dua pilihan jawaban berbeda, yaitu Ya dan Tidak. Untuk mengetahui IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM tahun 2007/2008 diperoleh dari studi dokumentasi Fakultas Filsafat UKIM tentang IPK mahasiswa periode II tahun 2007/2008. Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
141
(2002), maka dapat dirumuskan bahwa indeks prestasi kumulatif adalah tolok ukur yang digunakan untuk mengetahui pencapaian prestasi mahasiswa melalui suatu pengalaman belajar secara terstruktur dan berkesinambungan, yang meliputi penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, terhadap beberapa matakuliah yang disajikan dalam satu tahapan pendidikan, serta mengacu pada sistem penilaan akademik yang telah ditentukan. Penyesuaian Diri Penyesuaian Diri dikonsepkan Bakare (http://www. hadizaoyas. com) sebagai tindakan yang berlangsung terus menerus dalam kehidupan seseorang untuk menghadapi berbagai tekanan dan konflik. Penyesuaian diri tersebut merupakan karakterisasi yang berkembang dari kenyataan pada setiap masa perkembangan manusia. Setiap orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, akan memperoleh keberhasilan dalam setiap aktivitasnya. Ciri-ciri orang yang mampu menyesuaikan diri secara baik, antara lain mampu bersahabat, memiliki pengetahuan dan keterampilan teknis, memiliki keinginan untuk berhasil dan mencapai prestasi yang baik, memiliki kemampuan untuk mengejar tujuan yang diinginkan dalam kelompok/komunitasya, memiliki keterampilan untuk berhubungan baik dengan orang lain, emosi yang seimbang dan terkontrol (dalam Adebayo & Ogunleye, 2008). Konsep penyesuaian diri Bakare dipengaruhi oleh teori psikososial Erikson membahas tentang kemampuan penyesuaian diri seseorang. Erikson (1989) mengkonsepkan penyesuaian diri seseorang mengacu pada skema perkembangan manusia yang dimulai dari lahir sampai usia tua, dan perkembangan manusia itu terbentuk oleh pengaruh sosial yang saling mempengaruhi dengan suatu organisme fisis dan psikologis yang sedang menjadi matang. Erikson (1989) melihat bahwa hubungan timbal-balik hanya mungkin oleh perkembangan relasi manusia dengan sesama manusia, masyarakat serta kebudayaannya. Hubungan timbal-balik antara individu secara pribadi dengan kebudayaannya, membentuk individu tersebut menjadi dewasa, bukan hanya dalam bentuk fisis dan psikis, tetapi juga dalam hubungan sosial. Berdasarkan pendapat Erikson (1989), maka penyesuaian diri dirumuskan sebagai tindakan individu untuk menyesuaikan diri dengan situasi serta lingkungan yang mengalami perubahan terus-menerus melalui cara mengatasi berbagai krisis dan konflik dalam tahap-tahap perkembangan individu, sehingga individu dapat menjadi lebih matang 140
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
pendukungnya [Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat (PD), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Indonesia Sejahtera (PIS)] yang dalam pemilu legislatif tahun 2009 mampu meraup sekitar 32,78 persen suara sah. DAFTAR PUSTAKA Anderson, Lisa (Ed). 1999. Transition to Democracy. Columbia University Press. Arief Budiman.1996. Teori Negara. Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Ben Reilly. 1999. Reformasi Sistem Pemilu di Indonesia: Sejumlah Pilihan, dalam Almanak Parpol Indonesia. Jakarta Beny, H. K. 1988. Dinamika Hak Hak Asasi Manusia, dalam Paul S Baut & Beny Harman K, Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Betham, D & Kevin Boyle. 2000. Demokrasi 80 Tanya jawab (terj. Bern Hidayat). Yogyakarta: Penerbit Kanisius Bourchier, D & J. Legge (eds).1994. Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Centre for Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria. Budiardjo. 1980. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Diamond, L. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press Yogyakarta. Deliar Noer. 1983. Pengantar ke Pemikiran Politik. Rajawali, Jakarta. Diamond, L. 1999. Developing Democracy Toward Consolidation; terjemahan IRE; 2003.Yogyakarta: IRE Press. Feith H. 1994. Constiutional Democracy: How Well Did it Function? dalam Bourchier, D & J. Legge (eds). Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Clayton, Victoria: Centre for Southeast Asian Studies, Monash University. Firmanzah. 2008. Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayayasan Obor Indonesia. Heru Nugroho. 2002. Terpaan Demokrasi Global dan Pasang Surut Demokratisasi di Indonesia, dalam John Markoff. 1996. Gelombang Demokrasi Dunia. Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, terjemahan Ari Setyaningrum S.Sos. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pendalaman Demokrasi di Era Pemasaran Politik (Bambang Suteng Sulasmono & Saptono)
273
Heuken SJ, Yulia Gunawan, H.E. Sinaga & A. Hadi (1988). Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hikam, A.S. 1996. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES Huntington, S.P. 2001. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Linz, Juan & Stephan, Alfred. 1996. Problems of Democratic Transition and Consolidation. John Hopkins University Press. Macridis, R.C. 1986. Contemporary Political Ideologies. Boston: Little, Brown and Company. Magnis Suseno, F. 1994. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. _____, 1995. Mencari Sosok Demokrasi. Sebuah Telaah Filosofis; Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Notohamidjojo, O. (t.th). Demokrasi Pantjasila. Salatiga: Satya Wacana. O'Donnell, G. & Philippe C. Schmitter (1993). Transisi Menuju Demokrasi. Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES. Priyono, A.E., 24 April, 2005. Demokrasi Oligarkhis Pasca Orde Baru, Tempo, hlm 68 - 69. Przeworski, Adam et al., "What Makes Democracies Endure?" Journal of Democracy, Vol 7. No. 1, 1996. ------------2000. Global Trends in Civic Education; Makalah disajikan pada Seminar for the Need for New Indonesian Civic Education; Bandung: Center for Indonesian Civic Education Ranney, A. 1982. Governing An Introduction to Political Science. New York: Holt, Rinehart and Winston. Soehino. 1980. Ilmu Negara. Yogyakarta: Liberty Sorensen, G. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wong, Joseph, "Deepening Democracy in Taiwan". Pacific Affairs, Vol 76, No. 2, Summer 2003.
274
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011: 245-274
dipastikan melalui suatu penelitian ulang. Masalah Penelitian Masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Adakah hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Untuk mengetahui signifikansi hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. KAJIAN SINGKAT TEORI Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Prestasi Belajar menurut Good (2000), Sukmadinata (2003), dan Winkel (2007), merupakan indikator keberhasilan individu dalam pencapaian, keahlian dan pengetahuan terhadap bidang yang dipelajari. Prestasi belajar yang dicapai peserta didik diperoleh berdasarkan pengukuran tertentu. Dalam dunia perguruan tinggi, prestasi merupakan indikator keberhasilan mahasiswa dalam usaha mencapai kemampuan tertentu dari proses perkuliahannya. Statuta UKIM (2002) mendefinisikan IPK sebagai gambaran prestasi yang dicapai oleh mahasiswa tiap semester atau secara bertahap, yang dinyatakan dalam bentuk nilai, yang dihitung dengan cara mengalikan beban Satuan Kredit Semester (SKS) tiap matakuliah dengan bobot yang diperolehnya, dibagi total SKS matakuliah yang diambil/diikutinya dalam satu tahap pendidikan. Proses penilaian hasil belajar mahasiswa di UKIM meliputi tiga domain/ranah penting yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) serta psikomotor (keterampilan). Winkel (2007) menyatakan bahwa belajar kognitif memiliki ciri khas yaitu memperoleh dan menggunakan bentukbentuk representasi yang mewakili semua objek yang dihadapi melalui pengalaman belajar. Ciri khas belajar afektif yaitu belajar menghayati nilai dari objek-objek yang dihadapi melalui perasaan, serta belajar mengungkapkan perasaan dalam bentuk ekspresi yang wajar. Sedangkan ciri belajar motorik adalah belajar menghadapi aneka objek secara fisik. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Winkel (2007), serta definisi indeks prestasi kumulatif yang tertera dalam statuta UKIM Hubungan Penyesuaian Diri dengan IPK Mahasiswa (L.Loekmono & J.C. Joltuwu)
139
Berdasarkan evaluasi belajar pada Fakultas Filsafat UKIM periode II tahun ajaran 2007/2008, ditemukan IPK rata-rata bagi seluruh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM yaitu 2,21 dengan skala antara 0 sampai 4,00 (http:/ /www.dikti.go.id/evaluasi.or.id, 2008). Mengingat semakin tingginya persaingan di antara perguruan tinggi, maka capaian IPK rata-rata mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM tahun 2007/2008 tergolong cukup, namun tidak tinggi. Selain itu, standar IPK yang ditentukan bagi Fakultas Filsafat UKIM agar ouput-nya dapat diterima sebagai calon pegawai organik (vikaris) Gereja Protestan Maluku (GPM) adalah 2,75, sehingga diperkirakan sebagian besar mahasiswa Fakultas Filsafat belum memenuhi ketentuan IPK 2,75. Prestasi yang dicapai oleh mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM dipengaruhi oleh sejumlah faktor pendukung. Zhang (2002) menyebutkan salah satu faktor yang turut memberi pengaruh adalah penyesuaian diri akademik. Penyesuaian diri pada lingkungan akademik menunjuk kepada mahasiswa yang mengubah sikap, perilaku dan norma sosial agar sesuai dengan lingkungan belajar yang baru di tingkat Perguruan Tinggi. Penelitian Ross dan Hammer (2002) menemukan bahwa kebanyakan mahasiswa tidak betah pada perkuliahan tahun pertama dan tahun kedua, bahkan ada yang tidak melanjutkan perkuliahannya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi serta gaya belajar mengajar di kampus. Dokumentasi UKIM (2008) mencatat jumlah mahasiswa Fakultas Filsafat yang mengalami drop out atau berhenti kuliah sebanyak 60 orang. Jumlah mahasiswa drop out pada Fakultas Filsafat merupakan jumlah yang paling banyak, dibandingkan dengan jumlah mahasiswa drop out pada tiga fakultas lain di UKIM. Penyebab dominan mahasiswa drop out ialah, mahasiswa memutuskan berhenti kuliah atau keluar dengan sendirinya dari perguruan tinggi. Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Ross & Hammer (2002), maka salah satu indikator yang mengakibatkan mahasiswa mengalami drop out adalah kurangnya kemampuan menyesuai-kan diri mahasiswa dengan lingkungan pendidikan baru yang lebih menantang. Berkaitan dengan IPK, maka muncul pertanyaan adakah hubungan antara penyesuaian diri dengan IPK mahasiswa? Omoteso (2006) dalam penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan antara tingkat penyesuaian diri dengan prestasi belajar mahasiswa, sedangkan penelitian Yazedjian & Toews (2004) menemukan tidak ada hubungan signifikan antara penyesuaian diri dengan IPK 190 mahasiswa keturunan Amerika Latin pada beberapa universitas di Amerika Serikat. Perbedaan temuan penelitian Omoteso (2006) dengan Yazedjian & Toews (2004) yang bertolak belakang perlu
138
Satya Widya, Vol. 27, No.2. Desember 2011:137-150
Vol. 27 No.1
Juni 2011
DAFTAR ISI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT STRESS KERJA GURU DENGAN KINERJA GURU DI SMK KRISTEN 2 KLATEN
1-14
Raditya dan J.T. Lobby Loekmono
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN SOSIAL-EMOSIONAL DAN KECEMASAN SISWA KELAS X SMA KRISTEN 1 SALATIGA
15-30
PENERAPAN PROBLEM-BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR LOGIS DAN SIKAP POSITIF SISWA TERHADAP MATEMATIKA
31-43
PERBEDAAN KINERJA GURU BIMBINGAN DAN KONSELING BERDASARKAN PEROLEHAN SERTIFIKAT PENDIDIK DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
45-56
SEXISM, SEXUAL HARASSMENT AND STRESS: Counselling and Related Interventions
57-73
PENGARUH KETERLIBATAN MAHASISWA PGSD DALAM PROSES PEMBUATAN MEDIA PEMBELAJARAN ANIMASI SIMULASI KOMPUTER TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP GERAK DITINJAU DARI PENALARAN ABSTRAK
75-84
PENGARUH KEIKUTSERTAAN DIKLAT DAN SUPERVISI TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI SEBAGAI MODERATINGNYA PADA GURU SD DI KECAMATAN BRINGIN
85-110
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KLAS IV SD RSBI KOTA SALATIGA
111-138
Sumardjono Pm, Hellena Annantya Avelia, Santi Febriana Anwar
Wahyudi
Yari Dwikurnaningsih
Portia Doroy Dacalos
Wahyu Hari Kristiyanto, Widha Sunarno, Haryono
Eko Lesmono
Slameto
HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UKIM AMBON J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu Program Studi S1 Bimbingan & Konseling FKIP - Universitas Kristen Satya Satya Wacana
ABSTRAK Penelitian ini melibatkan 222 orang mahasiswa sebagai sampel penelitian pada Fakultas Filsafat Universitas Kristen Indonesia Maluku. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Academic Adjustment Inventory disusun Bakare, tahun 1977 untuk mengungkap tingkat penyesuaian diri mahasiswa, dan Studi dokumentasi untuk mengetahui Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM Ambon. Hasil analisis penelitian menemukan rxy= 0,228 p=0,001 < 0,005 berarti ada hubungan yang signifikan antara penyesuaian diri mahasiswa dengan indeks prestasi kumulatif mahasiswa Fakultas Filsafat UKIM. Dengan demikian tujuan penelitian ini tercapai. Kata kunci: Penyesuaian diri, IPK.
PENDAHULUAN Latar Belakang Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) sebagai salah satu penyelenggara pendidikan memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan demi terbentuknya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan komponen mahasiswa, dosen, tujuan, kurikulum dan sarana prasarana. Mahasiswa sebagai salah satu komponen dari pendidikan tinggi akan berupaya meningkatkan kualitas belajar agar memperoleh prestasi yang optimal. Prestasi belajar dari setiap mahasiswa turut berpengaruh pada persaingan antar perguruan tinggi untuk menunjukkan kualitasnya dari sisi intelektualitas. Dengan kesadaran akan peningkatan kualitas prestasi belajar dalam era persaingan, maka pencapaian penilaian hasil belajar yang optimal merupakan keinginan dari setiap usaha belajar yang dilakukan oleh mahasiswa. 137
g n o s Ko
Vol. 27 No.2
Desember 2011
DAFTAR ISI HUBUNGAN PENYESUAIAN DIRI DENGAN INDEKS PRESTASI KUMULATIF MAHASISWA FAKULTAS FILSAFAT UKIM AMBON J.T Lobby Loekmono dan Julianus C. Joltuwu
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN DAN MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA
137-150
151-168
Mawardi dan Arief Sadjiarto
PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK
169-187
PSYCHO EDUCATIONAL GROUP INTERVENTION FOR ADOLESCENT: IMPROVING EMOTIONAL INTELLIGENCE
189-201
STUDI KORELASI ANTARA GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN OTONOMI GURU
203-219
STRATEGI PEMECAHAN MASALAH RASIO PADA MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
221-231
PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
233-244
PENDALAMAN DEMOKRASI DI ERA PEMASARAN POLITIK (Studi Kasus Pemilukada Kota Salatiga Tahun 2011)
245-274
Slameto
Salmah Mohamad Yusoff & Tan Mei Jan
Prasetyo
Ratih Qomaria, Sutriyono, Kriswandani Yari Dwikurnaningsih
Bambang Suteng Sulasmono dan Saptono