HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU GAS DAN CAIRAN TERHADAP GAS ENTRAINMENT DAN GAS HOLD-UP PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
Oleh Angga Furi Utami F34103068
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
1
HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU GAS DAN CAIRAN TERHADAP GAS ENTRAINMENT DAN GAS HOLD-UP PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh Angga Furi Utami F34103068
2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
HUBUNGAN PENINGKATAN LAJU GAS DAN CAIRAN TERHADAP GAS ENTRAINMENT DAN GAS HOLD-UP PADA KARBONATASI RAW SUGAR DENGAN MENGGUNAKAN REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertaninan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh Angga Furi Utami F34103068 Dilahirkan pada tanggal 01 Maret 1985 di Bogor Tanggal lulus :
Agustus 2007
Disetujui, Bogor, Agustus 2007
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. Dosen Pembimbing I
Prayoga Suryadarma, STP., MT. Dosen Pembimbing II
3
SURAT PERNYATAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : ” Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan Terhadap Gas Entrainment dan Gas Hold-up Pada Karbonatasi Raw Sugar Dengan Menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi “ adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen akademik, kecuali yang dengan jelas ditujukkan rujukannya.
Bogor, Agustus 2007 Yang Membuat Pernyataan
Nama : Angga Furi Utami NRP
: F34103068
4
Angga Furi Utami. F34103068. Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan Terhadap Gas Entrainment dan Gas Hold-up Pada Karbonatasi Raw Sugar Dengan Menggunakan Reaktor Venturi Bersirkulasi. Sapta Raharja dan Prayoga Suryadarma. 2007. RINGKASAN Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) merupakan sistem reaktor yang terdiri dari tangki, venturi, dan sirkulasi cairan. Adanya venturi sebagai pendistribusi fase gas ke dalam fase cairan dapat meningkatkan absorpsi gas oleh cairan sehingga kontak antara cairan dan gas meningkat. Penggunaan venturi dalam sistem karbonatasi industri gula dapat meningkatkan tingkat penghilangan bahan bukan gula sehingga meningkatkan efisiensi bagi pabrik gula. Faktor penting yang dapat mencirikan kontak gas-cairan dalam RVB adalah hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment dan gas hold-up. Pada peningkatan laju cairan dan gas, nilai gas entrainment meningkat, dan nilai gas hold-up menurun. Sehingga, perlu didapatkan nilai gas entrainment dan gas hold-up pada perubahan laju cairan dan gas untuk mengetahui hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment dan gas hold-up pada karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB. Nilai gas entrainment dapat diperoleh dengan menggunakan model dari Liu dan Evans (1996). Nilai gas hold-up dapat diperoleh dengan menggunakan model Liu dan Evans (1996) serta pengukuran hasil eksperimen berdasarkan model dari Ide et al., (1999). Rancangan percobaan yang digunakan yaitu (1) memplotkan hubungan antara laju cairan terhadap gas entrainment pada laju gas konstan, (2) memplotkan hubungan antara laju cairan terhadap gas hold-up pada laju gas konstan, (3) penentuan kesesuaian model gas hold-up dengan pengukuran gas hold-up hasil eksperimen dengan menggunakan koefisien determinasi (r2). Berdasarkan hasil penelitian, nilai gas entrainment dan gas hold-up mengalami perubahan pada perubahan laju cairan (UL) dan gas (Ug). Gas entrainment meningkat dari 0.022 - 0.14 pada peningkatan UL dari 0.98 - 6.4 m/s pada Ug konstan dan pada peningkatan Ug dari 0.88 - 7.4 m/s pada UL konstan. Model gas hold-up menurun dari 0.67 - 0.072 pada peningkatan UL dari 0.98 - 6.4 m/s pada Ug konstan dan pada peningkatan Ug dari 0.88 – 7.4 m/s pada UL konstan. Gas hold-up berdasarkan hasil eksperimen menurun dari 0.21 - 0.067 pada peningkatan UL dari 0.98 - 6.4 m/s pada Ug konstan. Gas hold-up berdasarkan hasil eksperimen juga mengalami peningkatan dari 0.12 - 0.46 pada peningkatan Ug dari 0.88 - 3.14 m/s pada UL konstan, kemudian mengalami penurunan dari 0.11 - 0.067 pada peningkatan Ug dari 3.93 - 6.4 m/s pada UL konstan. ICUMSA yang rendah (180 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment rendah (0.026) dan nilai gas hold-up tinggi (0.59 untuk model dan 0.21 untuk eksperimen), sedangkan ICUMSA yang tinggi (325 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment tinggi (0.13) dan gas hold-up rendah (0.075 untuk model dan 0.036 untuk eksperimen).
5
Angga Furi Utami. F34103068. The Relationship of gas entrainment and gas hold-up at increasing gas and liquid flow in raw sugar carbonatation using Loop Venturi Reactor. Sapta Raharja and Prayoga Suryadarma. 2007. SUMMARY Loop Venturi Reactor is a reactor system which is tank, venturi, and fluid looping. Venturi as a gas distributor into liquid can improve gas absorption, so that it will improve gas-liquid contact. By using venturi in sugar industry, improving non sugar removal can cause sugar industry efficiency. The important characteristics in Loop Venturi Reactor for seeing gas-liquid contact are gas entrainment and gas hold-up regarding gas and liquid flow. In gas and liquid flow increase, gas entrainment value increase, and in gas and liquid flow decrease, gas hold-up value increase. So that, it necessary found the relationship of gas entrainment and gas hold-up at increasing gas and liquid flow in raw sugar carbonatation using Loop Venturi Reactor. The value of gas entrainment and gas hold-up could be found by using gas entrainment and gas hold-up model from Liu and Evans (1996). The value of gas hold-up experiment could be found by Ide et al., (1999) expression. The scheme of this experiment are (1) plotting the liquid flow and gas entrainment model in in constant gas flow, (2) plotting the liquid flow and gas hold-up in constant gas flow, (3) measuring the comformity of gas hold-up model and gas hold-up experiment using the determination coefficient (r2). Based on experiment result, the value of gas entrainment and gas hold-up have to be change in gas and liquid flow change. Gas entrainment increase from 0.022 - 0.14 in increasing UL from 0.98 - 6.4 m/s in constant Ug and in increasing Ug from 0.88 - 7.4 m/s in constan UL. Gas hold-up model decrease from 0.67 0.072 in increasing UL from 0.98 - 6.4 m/s in constan Ug and in increasing Ug from 0.88 – 7.4 m/s in constan UL. Gas hold-up experiment decrease from 0.21 0.067 in increasing UL from 0.98 - 6.4 m/s in constan Ug. Gas hold-up experiment increase from 0.12 - 0.46 in increasing Ug from 0.88 - 3.14 m/s in constant UL, and deacrease from 0.11 - 0.067 in increasing Ug from 3.93 - 6.4 m/s in constan UL. In low gas entrainment (0.026) and high gas hold-up (0.59) resulting low ICUMSA (180 IU). In high gas entrainment (0.13) and low gas hold-up (0.075) resulting high ICUMSA (325 IU).
6
BIODATA RINGKAS
Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara yang dilahirkan di Bogor pada hari Jumat tanggal 01 Maret 1985 dari seorang ibu bernama Sri Handini Suprihati dan ayah bernama Heriyadi. Pendidikan formal penulis dimulai sejak tahun 1989 di TK Ardhialoka, lalu pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan dasar di SDN Polisi 5 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 1 Bogor hingga selesai pada tahun 2000, kemudian di SMUN 5 Bogor hingga selesai pada tahun 2003. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Alhamdulilah, pada tahun 2007 penulis meraih gelar Sarjana Teknologi Pertanian sekaligus menyelesaikan pendidikan tinggi strata-1nya. Pada saat menjalani kegiatan akademis, Penulis pernah aktif dalam Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri Pertanian (2004 – 2005), dan media jurnalistik IPB yaitu Koran Kampus (2004 – 2005). Sementara di luar kampus penulis aktif di Yayasan Beasiswa Daimler Chrysler Indonesia (2004 – 2007) dan menjadi salah satu staf pengajar di Nurul Ilmi (2007 – sekarang). Pada masa studi di IPB, Alhamdulillah penulis memperoleh dana bantuan pendidikan dari Yayasan Supersemar (2004 – 2007) dan Yayasan Beasiswa Daimler Chrysler Indonesia (2004 – 2007).
7
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji hanyalah milik Allah Azza Wa Jalla. Penulis memanjatkan rasa syukur kehadirat-Nya atas segala rahmat, karunia, dan pertolongan-Nya
sehingga
penulis
dapat
melakukan
penelitian
serta
menyelesaikan skripsi ini. Selama pelaksanaan penelitian sampai selesainya penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, dukungan, serta semangat dari berbagai pihak. Menyadari hal tersebut, dengan perasaan yang tulus, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA., selaku dosen pembimbing pertama yang selalu memberikan arahan dan bimbingan selama penulis menjalani kegiatan akademis, penelitian, dan penulisan skripsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, 2. Prayoga Suryadarma, STP., MT., selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk bergabung dalam tim penelitian Venturi, serta bimbingan dan arahan selama penelitian dan penulisan skripsi, 3. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti, selaku dosen penguji, 4. Keluarga penulis yaitu Papi, Mama, dan Ade Sita atas pengertian dan pengorbanannya bagi penulis, 5. Para Laboran dan Staf di Departemen Teknologi Industri Pertanian, atas segala bantuan yang telah diberikan selama penulis melakukan penelitian, 6. PT. Jawamanis Rafinasi, atas bantuan pengadaan raw sugar, serta 7. Sahabat-sahabat penulis di TIN 40, 41, 42, 39 serta TPG 40 yang telah banyak memberikan dukungan dan bantuan. Penulis berharap, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat. Bogor,
Agustus 2007
Penulis
8
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Raw sugar atau gula kasar merupakan gula kristal yang berwarna kecoklatan yang dihasilkan dari proses kristalisasi nira tebu tanpa proses pemurnian warna. Gula ini masih mengandung berbagai pengotor sehingga penggunaannya untuk dikonsumsi secara langsung telah dilarang oleh FDA (Food and Drug Administration) karena dapat menstimulus tumbuhnya bakteri patogen. Oleh karena itu, gula kasar tersebut harus melalui tahapan pemurnian agar dapat dikonsumsi oleh manusia atau digunakan sebagai gula berkualitas tinggi untuk industri, khususnya industri minuman ringan. Gula kasar yang telah mengalami proses pemurnian lebih lanjut dikenal sebagai gula rafinasi (refined sugar) (Martoyo, 1996). Bahan pengotor dalam raw sugar dapat dihilangkan dengan beberapa cara, seperti defekasi, sulfitasi dan karbonatasi. Proses karbonatasi menghasilkan endapan kotoran yang lebih mudah disaring, kualitas warna clarified juice (larutan gula hasil defekasi) yang lebih cerah, tingkat korosif yang rendah, dan dihasilkan viskositas clarified juice yang lebih rendah sehingga lebih mudah saat proses penguapan (Mathur, 1975). Efisiensi pencampuran clarified juice dan karbondioksida (CO2) merupakan salah satu kebutuhan yang penting pada proses pemurnian gula. Penggunaan pengaduk di dalam tangki karbonatasi, sistem scrubbing atau spray tower mengakibatkan sistem pemurnian tersebut tidak cukup untuk mencapai sirkulasi dan pencampuran yang maksimal (Lyle, 1957). Hal tersebut dikarenakan banyaknya gas CO2 yang tidak terabsorb ke dalam nira dan susu kapur sehingga terbuang, akibatnya proses pemurnian menjadi kurang baik serta tidak hemat energi, terutama untuk menggerakkan pengaduk dan mengalirkan gas CO2 (Mathur, 1975). Oleh karena itu, penggunaan Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) diharapkan dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi pencampuran gas CO2 dan susu kapur dalam nira gula kasar serta dapat
9
menghemat energi karena tidak memerlukan pengaduk dan blower. RVB dapat memberikan kondisi kontak antara umpan gas dan cairan pada kondisi optimal karena adanya proses sirkulasi dari umpan gas atau cairan (Greben et al, 2005). Selain itu, RVB dapat memberikan kondisi absorpsi gas yang baik oleh cairan (Atay, 1986; Cramers et al, 1992). Perubahan laju gas dan cairan pada sistem RVB dapat menceritakan fenomena
hidrodinamika
yang
terjadi
di
dalam
RVB.
Fenomena
hidrodinamika RVB yang dimaksud adalah gas entrainment dan gas hold-up (Cramers et al, 1992). Peningkatan laju gas dan cairan dapat meningkatkan jumlah gas yang masuk ke dalam sistem, sehingga gas entrainment meningkat (Ide et al, 1999), namun dapat menurunkan nilai gas hold-up karena waktu tinggal gas di dalam cairan menurun (Mandal et al, 2005). Nilai gas entrainment dan gas hold-up dapat diperoleh dengan menggunakan suatu model. Nilai yang diperoleh dapat menggambarkan hubungan perubahan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment dan gas hold-up.
B. Tujuan Penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. mendapatkan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment pada karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB, 2. mendapatkan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas holdup pada karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB.
C. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari penelitian ini adalah : 1. karakterisasi raw sugar, 2. melakukan karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB untuk mendapatkan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment berdasarkan model Liu dan Evans (1996), 3. melakukan karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB untuk mendapatkan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-
10
up berdasarkan model dari Liu dan Evans (1996) serta gas hold-up hasil eksperimen berdasarkan model dari Ide et al., (1999), dan , 4. melakukan karbonatasi raw sugar dengan menggunakan RVB untuk mengetahui hubungan peningkatan laju gas dan cairan, serta gas entrainment dan gas hold-up terhadap parameter unit warna ICUMSA.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Raw Sugar (Gula Kasar) Secara umum, gula kasar adalah gula kristal berwarna kecoklatan yang dihasilkan dari proses kristalisasi nira tebu tanpa melalui proses pemurnian warna (Martoyo, 1996). Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 013140.1-2001) gula kasar (raw sugar) adalah gula kristal sakarosa yang dibuat dari tebu (Saccharum sp.) melalui proses defekasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut karena masih mengandung bahan pengotor. Gula kasar yang telah mengalami proses pemurnian lebih lanjut dikenal sebagai gula rafinasi (refined sugar). Badan Administrasi Pangan dan Obat Amerika Serikat [(US Food and Drugs Administration (FDA)] menyatakan bahwa gula kasar tidak layak dikonsumsi secara langsung mengingat kandungan kotoran di dalamnya yang sangat tinggi dan dapat menstimulasi tumbuhnya bakteri patogen (Martoyo, 1996). Standar komposisi raw sugar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Standar raw sugar Parameter
Nilai
Kadar air (% b/b)
(a) < 0.03
(b) -
Kadar abu (% b/b)
< 0.03
maksimal 0.05
Kadar sukrosa (%)
98
minimal 95
s/d 4000
minimal 600
s/d 0.4
-
Warna (IU) Gula pereduksi (% b/b)
Sumber : (a) Sekertaris Dewan Gula (1996). (b) SNI (2001)
B. Karbonatasi Secara umum proses pemurnian nira dilakukan dengan proses defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi. Proses defekasi hanya menghasilkan gula
12
kasar yang masih banyak mengandung bahan pengotor. Pada proses sulfitasi, bahan pengotor yang dihilangkan masih lebih rendah dibandingkan dengan proses karbonatasi, selain itu proses sulfitasi akan menyebabkan korosi besi pada pipa-pipa. Bahan pengotor yang dapat dihilangkan dengan defekasi, sulfitasi, dan karbonatasi adalah 12,7%, 11,7%, dan 27,9% (Mathur, 1975). Karbonatasi merupakan reaksi yang terjadi akibat interaksi susu kapur [Ca(OH)2] dan gas CO2 membentuk senyawa kalsium karbonat (CaCO3) melalui mekanisme yang dapat dilihat pada persamaan di bawah ini (Chen dan Chou, 1993; Mathur, 1975; Putsch, 2005). Ca(OH)2 CO2
Ca2+ + 2OH
→ +
Ca2+
H2O +
H2CO3
CO32- →
Ca(OH)2+CO2
CaCO3
CaCO3 + H2O
Dalam proses karbonatasi, akan terjadi adsorbsi bahan pengotor, bahan penyebab warna, gum, asam organik, dan lain-lain. Namun reaksi karbonatasi tidak hanya berlangsung sederhana tetapi terjadi dalam beberapa tahapan. Penambahan susu kapur menyebabkan terjadinya dua aksi, yang pertama reaksi susu kapur dengan CO2 membentuk kristal CaCO3, yang kedua reaksi susu kapur dengan sukrosa membentuk kalsium sakarat. Jika kalsium sakarat direaksikan dengan CO2, maka akan terbentuk senyawa intermediet kalsium hidrosukrokarbonat. Jika pada senyawa tersebut dikenakan penambahan panas, maka senyawa tersebut akan terurai menjadi kristal CaCO3, sukrosa, dan air. Kristal CaCO3 yang dihasilkan dari kedua aksi susu kapur tersebut saling berikatan membentuk kesatuan kristal CaCO3 yang mampu mengadsorpsi bahan-bahan pengotor (Chen dan Chou, 1993; Mathur, 1975; Putsch, 2005). Penambahan gas CO2 yang berlebih dalam nira akan menyebabkan kalsium karbonat yang telah terbentuk akan kembali menjadi senyawa bikarbonat yang larut, mekanisme penguraian kalsium karbonat dapat dilihat pada persamaan berikut ini (Mathur, 1975). CO2 + CaCO3 + H2O
Ca(HCO3)2
13
C. Warna Gula Kristal Industri Syarat gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman yang baik dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Syarat gula rafinasi Komposisi
Jumlah
Kadar air (%)
≤ 0.02
Kadar abu (%)
≤ 0.06
Kadar Sukrosa (%)
≥ 99.90
ICUMSA (IU)
≤ 35
Sumber : Achyadi dan Maulidah (2004).
Satu fungsi dasar dalam gula rafinasi adalah warna. Jadi warna merupakan parameter penting dalam pengawasan mutu proses gula rafinasi. Bagaimanapun warna mempunyai dua aspek yang penting yaitu salah satu kriteria penilaian yang dapat dilihat dan sebagai ukuran dari derajat kemurnian (Moerdokusumo, 1993). Masalah warna dalam penilaian gula putih secara visual sangatlah rumit dan terdapat berbagai konsep yang semuanya bersifat sangat subjektif. Meskipun terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (0.1%), zat warna dalam gula sangat menentukan kualitas gula (Moerdokusumo, 1993). Warna yang timbul dalam proses produksi gula disebabkan oleh pigmen tanaman (Mathur, 1975) dan reaksi pencoklatan nonenzimatik (Ozdemir, 1997). Nira tebu mengandung beberapa pigmen warna yang berasal dari jaringan tebu, seperti kulit tebu mengandung dua campuran pigmen warna klorofil dan antosianin, selain itu serat tebu mengandung sakaretin dan mata tunas batang tebu mengandung tanin, serta beberapa pigmen dalam jumlah kecil yang belum diketahui (Mathur, 1975). Reaksi pencoklatan nonenzimatik pada proses pengolahan gula dapat disebabkan oleh karamelisasi gula dan reaksi maillard. Reaksi karamelisasi merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatis yang melibatkan degradasi gula karena pemanasan tanpa melibatkan reaktan yang mengandung nitrogen, seperti protein dan asam amino. Karamelisasi memberikan warna mulai dari
14
kuning hingga coklat tua dan warna akan semakin gelap selama peningkatan suhu (Broadhurst, 2002). Selama proses pemanasan fruktosa akan terlebih dahulu terdekomposisi, kumudian glukosa, dan diakhiri oleh sukrosa. Reaksi maillard merupakan reaksi pencoklatan nonenzimatik yang melibatkan asam amino dan gugus karbonil terutama gula pereduksi. Reaksi maillard tidak membutuhkan suhu yang tinggi, namun laju reaksi akan meningkat tajam pada suhu yang tinggi dan menyebabkan pencoklatan semakin cepat terjadi (Mathur, 1975). D. Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) RVB merupakan sistem reaktor yang menggunakan venturi sebagai pendistribusi fase gas ke dalam fase cair. RVB tersusun dari tangki, sistem sirkulasi cairan, dan venturi atau ejektor sebagai distributor gas. Skema RVB dapat dilihat pada Gambar 1.
tangki
Gambar 1. Skema RVB Reaktor merupakan rancangan yang sederhana, dan untuk mengalirkan fase gas ke dalam reaktor tidak membutuhkan alat kompresi yang berlebihan
15
karena fase gas terhisap dan terdispersi oleh laju jet cairan yang tinggi melalui venturi atau ejektor (Duveen, 1998). RVB merupakan sistem aliran jet dua fasa, yaitu fasa gas dan fasa cair (Atay, 1986). RVB memiliki disain yang sederhana dan tidak membutuhkan energi tambahan untuk mendispersikan gas, seperti blower untuk mengalirkan gas dan motor untuk memutar pengaduk (Mandal et al., 2005). Pipa venturi merupakan pipa pendek yang terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama disebut confuser, berbentuk kerucut terpotong yang luas penampangnya mengecil dengan tajam. Bagian kedua berbentuk silinder pendek yang sering disebut leher. Bagian ketiga disebut diffuser, berbentuk kerucut terpotong yang luas penampangnya membesar secara halus. Bentuk pipa venturi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Pipa venturi RVB merupakan sistem reaktor yang sesuai untuk reaksi gas-cair yang sangat cepat. Pada reaksi gas-cair yang sangat cepat, biasanya perpindahan massa pada antar muka gas-cair sebagai tahap pengendali reaksi. Reaksi gascair yang cepat membutuhkan luas antar muka gas-cair dan koefisien perpindahan massa yang setinggi-tingginya agar laju perpindahan massa dapat dimaksimalkan. RVB mampu menghasilkan luas antar muka gas-cair yang besar. Geometri venturi menghasilkan laju geser (shear rate) yang tinggi sehingga dapat meningkatkan perpindahan massa dengan menghasilkan gelembunggelembung gas berukuran kecil. Dengan demikian RVB direkomendasikan untuk proses di mana perpindahan massa pada antarmuka gas-cair merupakan tahap pengendali proses.
16
Pada RVB, cairan dialirkan melewati sebuah nosel pada ejektor venturi, kondisi ini mengikuti prinsip persamaan Bernaulli yang menyebabkan penurunan tekanan bahkan menjadi vakum di daerah aliran dengan laju jet. Adanya perbedaan tekanan mengakibatkan terjadinya difusi gas dari tekanan tinggi menuju tekanan rendah (McCabe et al., 1985) dan gas terabsorbsi ke dalam cairan (Mandal et al., 2005). Prinsip kerja dalam venturi dalam mendispersikan gas dijelaskan melalui Gambar 3. Aliran cairan Nosel
Gas
Leher ejektor Aliran jet Leher ejektor Difuser
Aliran gelembung
Gambar 3. Prinsip kerja venturi Prinsip kerja venturi dalam mendispersikan gas dijelaskan sebagai berikut : cairan yang keluar melalui nosel ejektor akan dipercepat menjadi jet yang menyebabkan momentum cairan memasuki leher ejektor atau tabung pencampuran. Gas dan cairan bercampur secara intensif di dalam leher ejektor, dimana gas terdispersi dengan baik sebagai gelembung-gelembung yang sangat kecil. Campuran gas-cairan mengalir meninggalkan ejektor dan masuk ke dalam tangki. Dispersi sekunder terjadi dalam cairan yang berada di dalam tangki. Dispersi gas yang terjadi dalam ejektor maupun tangki menghasilkan
intensitas
kontak
antar
muka
yang
tinggi
sehingga
17
meningkatkan laju perpindahan massa (Cramers et al, 1992; Shirsat et al., 2003) RVB mempunyai dua sistem sirkulasi. Pertama, sirkulasi cairan oleh pompa. Kedua, sirkulasi gas yang disebabkan oleh efek venturi. Gas yang tidak terperangkap oleh cairan akan terpisah dari cairan dan terkumpul pada headspace tangki kemudian tersedot oleh venturi atau ejektor. Sirkulasi gas internal ini memberikan efektifitas yang tinggi terhadap pemanfaatan gas (Duveen, 1998). Pada sistem RVB, ejektor merupakan alat pendispersi utama. Laju geser (shear rate) yang tinggi akibat geometri ejektor dapat menghasilkan gelembung-gelembung gas yang sangat kecil. Laju gas dan cairan menentukan laju geser fluida yang mengalir dalam ejektor. Dengan demikian laju gas dan cairan sangat berpengaruh terhadap absorpsi gas oleh cairan (Cramers et al., 1992) . Ada empat rejim aliran yang dapat terjadi di dalam ejektor, keempat rejim aliran tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.
gelembung
slug
anular
jet
Gambar 4. Rejim aliran dalam ejektor
18
Aliran gelembung terjadi pada laju gas rendah dan laju cairan tinggi, dispersi gas terjadi di dalam leher ejektor. Aliran slug terjadi pada laju gas rendah dan laju cairan rendah, dispersi gas terjadi dalam leher ejektor. Aliran anular terjadi pada saat laju gas tinggi dan cairan rendah, disebut anular karena terbentuk anulus dalam leher ejektor oleh fase cair dan fase gas mengalir dalam sumbu ejektor. Aliran jet terjadi pada laju gas dan cairan yang tinggi, dispersi fase gas atau pencampuran terjadi dalam difuser (Cramers et al., 1992). E. Gas Entrainment Gas entrainment merupakan proses penangkapan gas oleh cairan. Gas entrainment dinyatakan sebagai jumlah gas yang masuk ke dalam cairan atau nisbah laju gas terhadap laju cairan (Qg/QL). Gas entrainment dicirikan dengan adanya penggelembungan oleh selimut jet cairan (Cramers et al., 1992). Adanya gas yang masuk ke dalam cairan dapat dilihat dengan adanya penggelembungan selimut cairan. Penggelembungan selimut cairan terjadi karena adanya gangguan dari laju gas yang memasuki cairan sehingga menekan selimut jet dengan lebar tertentu, akibatnya terjadi penggelembungan pada badan cairan (Cramers et al., 1992). Gangguan pada selimut jet cairan dapat dilihat pada Gambar 5. Selimut jet
Qg
Gambar 5. Gangguan selimut jat cairan
19
Salah satu cara untuk memperoleh nilai gas entrainment
adalah
dengan menggunakan persamaan non-dimensional dari Liu dan Evans (1996), yang dapat dilihat pada persamaan 1. 1
Qg Dn = A QL Dc
2
Dn 1 - Dc
/2
Ren
...................(1)
Dimana Ren adalah nosel reynold number (Ren = ρDnUL/μ). A merupakan koefisien yang ditentukan berdasarkan perhitungan. Dn adalah diameter nosel (m), dan Dc adalah diameter kolom reaktor (m). Rasio (Dn/Dc)2 menggambarkan karakteristik dari nosel terhadap kolom reaktor. F. Gas Hold-up Gas hold-up adalah fraksi volume gas yang tertahan di dalam campuran gas dan cair. Besarnya gas hold-up dapat diperkirakan berdasarkan persamaan yang dapat dilihat pada persamaan 2.
εg =
Qg Qg + QL
......................................(2)
εg merupakan nilai gas hold-up. Qg merupakan laju alir gas, sedangkan QL adalah laju alir cairan (Cramers et al., 1992; Shirsat, 2003). Gas hold-up merupakan fenomena pengurungan gas oleh selimut jet cairan, sehingga gas tertahan di dalam badan cairan. Jet cairan yang dihasilkan nosel, bertabrakan dengan gas yang terhisap masuk, sehingga terjadi hantaman dan tekanan yang kuat pada selimut jet, hingga akhirnya selimut jet mengelilingi gas dan gas tertahan di dalam selimut jet membentuk gelembung dengan ukuran kecil (Cramers et al., 1992; Kinney, 2004 ).
20
Penggelembungan selimut cairan Selimut jet
Qg Pengurungan gas
gelembung
Gambar 6. Fenomena penahanan gas oleh selimut cairan
Gas hold-up dalam RVB dapat dihitung melalui dua pendekatan, yakni berdasarkan model gas hold-up dan berdasarkan hasil pengukuran eksperimen gas hold-up. Model gas hold-up dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan dari Liu dan Evans (1996), yang dapat dilihat pada persamaan 3.
εg =
Ug Co (Ug + UL) - Ur
.............................(3)
Dimana εg merupakan gas hold-up, Ug adalah laju gas (m/s), UL adalah laju cairan (m/s), Co merupakan koefisien distribusi aliran turbulen yang nilainya sebesar 0.92 dan Ur merupakan peningkatan laju gelembung (m/s), yang nilainya dapat diperoleh dari pada persamaan 4.
Ur = K [gσ(ρL - ρg)/ ρL2]1/4
.............................(4)
21
Dimana K merupakan konstanta, g adalah gravitasi (m/s2), ρL adalah densitas cairan (kg/ms), ρg adalah densitas gas CO2 (kg/ms), dan σ adalah tegangan permukaan (N/m). Nilai eksperimen gas hold-up diperoleh dengan menggunakan persamaan dari Ide et al., (1999) :
εg = (H – Ho) / lB
(5)
Dimana H adalah tinggi cairan akhir (m), Ho adalah tinggi cairan awal (m), dan lB adalah penetrasi gelembung (m).
22
III.
METODOLOGI
A. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan adalah raw sugar, yang berasal dari PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon-Banten, diimpor dari Australia. Bahanbahan lain yang digunakan adalah kapur tohor (CaO), dan gas karbondioksida. Sedangkan bahan yang digunakan untuk analisis adalah pereaksi DNS, Pb-asetat, HCl 0.1 N, NaOH 0.1 N, dan akuades. 2. Alat Alat utama yang digunakan adalah satu set Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) yang dilengkapi dengan pengendali suhu, tabung gas karbondioksida, flowmeter cairan dan gas. Alat yang digunakan untuk analisis adalah oven, tanur, polarimeter, refraktometer, spektrofotometer, piknometer, glass capillary viscometer, dan surface tension meter, serta alat-alat gelas yang umum dipakai dalam analisa bahan. Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB) dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan sketsanya dapat dilihat pada Gambar 7. B. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pengawasan Mutu, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yaitu (1) Karakterisasi raw sugar, (2) Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment, (3) Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-up, (4) Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan, serta gas entrainment dan gas hold-up terhadap parameter unit warna ICUMSA. Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.
23
Gambar 7. Sketsa Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB)
24
Mulai
Karakterisasi raw sugar
Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment
Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-up
Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan, serta gas entrainment dan gas hold-up terhadap parameter unit warna ICUMSA
Selesai Gambar 8. Diagram alir tahapan penelitian 1. Karakterisasi Raw sugar Raw sugar yang digunakan dalam penelitian ini adalah raw sugar yang diperoleh dari PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon-Banten, yang diimpor dari Australia. Karakterisasi terhadap raw sugar dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari raw sugar tersebut, yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar sukrosa, gula pereduksi, ICUMSA. Prosedur analisis untuk parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Selain itu, dilakukan pula karakterisasi terhadap physical properties larutan gula seperti
densitas,
tegangan
permukaan,
dan
viskositas.
Prosedur
pengukuran parameter-parameter tersebut dapat dilihat pada Lampiran 4. 2. Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment ini meliputi beberapa bagian, yaitu (1) Penentuan konstanta A, (2) Penentuan reynold number, dan (3) Penentuan model gas entrainment. Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan
25
hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas entrainment adalah memplotkan hubungan antara laju cairan terhadap gas entrainment pada laju gas konstan. 2.1 Penentuan konstanta A Konstanta A, diperoleh berdasarkan hubungan antara gas entrainment normal (Qg/QL), yaitu perbandingan antara laju gas dan laju cairan terhadap model gas entrainment (persamaan 1) pada peningkatan laju cairan dari 0.98 – 6.4 m/s pada laju gas yang konstan. Penentuan nilai A diperoleh dengan cara memplotkan nilai-nilai gas entrainment normal (Qg/QL) dan gas entrainment model berdasarkan persamaan garis lurus y = ax sehingga diperoleh nilai konstanta A yang merupakan nilai intersep dari persamaan tersebut. Penentuan
gas entrainment normal
konstanta A dapat dilihat pada Gambar 9 dan Lampiran 3.
5 y = ax
4 3 2 1 0 0
A
1
2
3
4
5
model gas entrainment Gambar 9. Penentuan konstanta gas entrainment 2.2 Penentuan reynold number Untuk menentukan nilai reynold number (Ren = ρDnUL/μ) pada model gas entrainment dilakukan pengukuran densitas dan viskositas fluida. Pengukuran densitas dilakukan dengan menggunakan alat piknometer, dan pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan glass capillary viscometer pada suhu = 55oC. Prosedur
26
pengukuran densitas dan viskositas fluida dapat dilihat pada Lampiran 4. 2.3 Penentuan model gas entrainment Nilai gas entrainment dapat diperoleh dengan menggunakan model dari Liu dan Evans (1996) (persamaan 1). Parameter-parameter seperti reynold number, konstanta A, diameter nosel dan kolom disubstitusikan pada persamaan sehingga diperoleh nilai model gas entrainment. 3. Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-up Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-up meliputi beberapa bagian, yaitu (1) Penentuan konstanta K, (2) Penentuan peningkatan laju gelembung (Ur), (3) Penentuan gas hold-up, dan (4) Penentuan kesesuaian model gas hold-up dengan hasil pengukuran eksperimen dengan menggunakan koefisien determinasi (r2). Rancangan percobaan yang digunakan untuk menentukan hubungan peningkatan laju gas dan cairan terhadap gas hold-up adalah memplotkan hubungan antara laju cairan terhadap gas hold-up pada laju gas konstan. 3.1 Penentuan konstanta K Konstanta K, diperoleh berdasarkan hubungan antara model gas hold-up (persamaan 3) terhadap gas hold-up eksperimen (persamaan 5) pada peningkatan laju cairan dari 0.98 – 6.4 m/s pada laju gas yang konstan. Penentuan nilai K diperoleh dengan cara memplotkan nilai-nilai model gas hold-up dan gas hold-up eksperimen berdasarkan persamaan garis lurus y = ax sehingga diperoleh nilai konstanta K. Penetuan konstanta K dapat dilahat pada Gambar 10 dan Lampiran 7.
27
gas hold-up eksperimen
5
y = ax
4 3 2 1 0 0
K
1
2
3
4
5
model gas hold-up Gambar 10. Penentuan konstanta gas hold-up 3.2 Penentuan peningkatan laju gelembung (Ur) Peningkatan laju gelembung diperoleh dengan menggunakan persamaan 4.
Nilai tegangan permukaan larutan gula diperoleh
berdasarkan pengukuran dengan menggunakan alat surface tension meter. Densitas larutan gula diperoleh berdasarkan pengukuran dengan menggunakan alat piknometer. Prosedur pengukuran tegangan permukaan dan densitas larutan gula dapat dilihat pada Lampiran 4. 3.3 Penentuan Gas Hold-up Gas hold-up dapat diperoleh melalui dua pendekatan, yaitu secara model dan eksperimen. Nilai model gas hold-up dapat diperoleh dengan menggunakan model dari Liu dan Evans (1996) pada persamaan 3. Parameter-parameter seperti laju gas dan cairan, koefisien distribusi aliran turbulen, dan peningkatan laju gelembung (Ur) disubstitusikan ke dalam persamaan 3 sehingga diperoleh nilai model gas hold-up. Nilai gas hold-up eksperimen diperoleh dengan menggunakan model dari Ide et al., (1999) pada persamaan 5. Pengukuran gas holdup eksperimen dapat dilihat pada Lampiran 6. Penentuan nilai gas hold-up eksperimen meliputi pengukuran tinggi cairan awal (Ho), tinggi cairan akhir (H) dan pengukuran tinggi penetrasi gelembung
28
(lB). Pengukuran tinggi cairan awal dilakukan pada saat sistem dalam keadaan diam. Pengukuran tinggi cairan akhir dan penetrasi gelembung dilakukan pada saat sistem running. Penentuan nilai gas hold-up eksperimen ini dilakukan terhadap larutan gula. Untuk melihat tingkat kesesuaian model gas hold-up dan gas hold-up eksperimen digunakan koefisien determinasi (r2). Koefisien determinasi terbesar menunjukkan tingkat kesesuaian yang tertinggi (Box et al, 1978). 4. Penentuan hubungan peningkatan laju gas dan cairan, serta gas entrainment dan gas hold-up terhadap parameter unit warna ICUMSA Penelitian tersebut dilakukan pada laju gas dan cairan rendah, serta laju gas dan cairan tinggi. Pada laju tersebut akan diperoleh nilai gas entrainment, gas hold-up, dan unit warna ICUMSA tertentu. D. Prosedur Percobaan Percobaan diawali dengan pembuatan larutan raw sugar dengan konsentrasi 12% (b/v). Setelah itu 75 gram CaO ditambahkan untuk setiap 1000 ml akuades sehingga dihasilkan larutan susu kapur. Larutan susu kapur bersama larutan raw sugar didefekasi hingga suhunya mencapai 65 oC, kemudian disaring. Larutan jernih dimasukkan ke dalam Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB). Suhu karbonatasi adalah 55
o
C dan dipertahankan
konstan. Variasi laju gas yang digunakan adalah 0.88 – 7.4 m/s, sedangkan variasi laju cairan yang digunakan adalah 0.98 – 6.4 m/s. Tekanan yang digunakan adalah 1.48 atm (Pabs), dan dipertahankan konstan. Waktu reaksi karbonatasi yang digunakan adalah 5 menit. Kemudian dilakukan pengukuran nilai gas entrainment dan gas hold-up. Untuk verifikasi ICUMSA, sampel hasil karbonatasi terlebih dahulu disaring untuk mendapatkan sampel jernih baru kemudian dianalisis ICUMSA. Diagram alir percobaan dapat dilihat pada Gambar 11.
29
Mulai
Pembuatan susu kapur 8 oBe (75 gr CaO/ 1000 ml nira)
Pembuatan Larutan raw sugar 12 % (b/v)
Pencampuran
Defekasi (T = 65oC)
Penyaringan CO2 ρcair = 1.105 kg/m3 ρgas (Pabs) = 0.06573 kg/m3
ampas
Karbonatasi (t = 5 menit)
Penyaringan
ampas
Pengambilan sampel jernih
Analisis ICUMSA
Selesai Gambar 11. Diagram alir percobaan
30
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Raw Sugar Raw sugar yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan baku untuk memproduksi gula rafinasi dari PT. Jawamanis Rafinasi, CilegonBanten yang diimpor dari negara Australia. Karakterisasi dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari raw sugar tersebut. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil karakterisasi raw sugar Parameter Kadar air (% b/b)
0.03
Sekertaris Dewan Gula (1996) < 0.03
Kadar abu (% b/b)
0.03
< 0.03
maksimal 0.05
Kadar sukrosa (%)
96
98
minimal 95
Warna (IU)
1652
s/d 4000
minimal 600
Gula pereduksi (% b/b)
0.198
s/d 0.4
-
1.019 1.004 x 10-6
-
-
0.02755
-
-
Densitas (kg/m3) Viskositas dinamik (kg/ms) Tegangan permukaan (N/m)
Nilai hasil karakterisasi
SNI (2001) -
Berdasarkan Tabel 3, raw sugar yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar air sebesar 0.03 %. Menurut Sekertasis Dewan Gula (1996). nilai kadar air ini dikategorikan cukup tinggi. Umumnya, raw sugar memiliki kadar air kurang dari 0.03 %. Untuk nilai kadar abu, kadar abu raw sugar berdasarkan Tabel 3 adalah sebesar 0.03 %. Menurut Sekertaris Dewan Gula (1996), nilai kadar abu ini dikategorikan cukup tinggi. Umumnya, raw sugar memiliki kadar abu kurang dari 0.03 %. Namun, menurut SNI (2001) kadar abu raw sugar hasil karakterisasi tergolong rendah. Untuk kadar sukrosa berdasarkan hasil karakterisasi, kadar sukrosa dari raw sugar adalah sebesar 96 %. Menurut Sekertaris Dewan Gula (1996),
31
kadar sukrosa ini digolongkan tidak terlalu tinggi, umumnya raw sugar memiliki kadar sukrosa hingga mencapai 98 %. Namun menurut SNI (2001) kadar sukrosa raw sugar hasil karakterisasi dikatakan tinggi. Untuk warna raw sugar hasil karakterisasi, adalah sebesar 1652 IU. Menurut Sekertaris Dewan Gula (1996), warna raw sugar ini dikategorikan rendah, umumnya raw sugar memiliki nilai warna hingga mencapai 4000 IU. Namun, berdasarkan SNI (2001), warna raw sugar hasil karakterisasi dikategorikan tinggi. Gula pereduksi hasil karakterisasi raw sugar berdasarkan Tabel 3 adalah sebesar 0.198 %. Kadar gula pereduksi ini dikategorikan rendah. Umumnya raw sugar memiliki kadar gula pereduksi hingga mencapai 0.4 % (Sekertaris Dewan Gula Indonesia, 1996). Berdasarkan hasil pengukuran terhadap physical properties dari larutan gula, nilai densitas larutan raw sugar adalah sebesar 1.019 kg/m3, nilai viskositas dinamik larutan raw sugar adalah sebesar 1.004 x 10-6 kg/ms, dan nilai tegangan permukaan larutan raw sugar adalah 0.02755 N/m. B. Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan Terhadap Gas Entrainment Gas entrainment menjadi salah satu fenomena hidrodinamika RVB yang menarik untuk dikaji. Nilai gas entrainment dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Liu dan Evans (1996). 1. Konstanta A Konstanta A, diperoleh berdasarkan hubungan antara gas entrainment normal (Qg/QL), yaitu perbandingan antara laju alir gas dan laju alir cairan terhadap model gas entrainment. Berdasarkan hubungan tersebut, diperoleh persamaan y = 1.0871x, sehingga nilai konstanta A adalah sebesar 1.0871 yang merupakan intersep dari persamaan tersebut. Perolehan konstanta A dapat dilahat pada Gambar 12.
32
gas entrainment normal
5
y = 1.0871x
4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
gas entrainm ent m odel
Gambar 12. Perolehan konstanta A 2. Reynold Number (Ren = ρDnUL/μ) Berdasarkan hasil perhitungan, nilai reynold number mengalami perubahan seiring dengan peningkatan laju cairan pada laju gas yang konstan. Nilai reynold number dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai reynold number pada peningkatan laju cairan pada laju gas konstan Laju gas (m/s) 0.88 1.5 2.1 2.9 3.8 4.4 5.0 5.9 6.8 7.4
Reynold Number (Ren = ρDnUL/μ) awal akhir 7040 51321 7166 51170 7535 57339 7624 58811 7788 58903 8163 61647 8447 66116 8520 68204 8744 70428 8744 71202
Nilai reynold number mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan laju cairan pada laju gas yang konstan. Hal tersebut disebabkan semakin tinggi laju cairan (UL), maka reynold number semakin meningkat.
33
3. Gas Entrainment Fenomena gas entrainment di dalam RVB dapat dilihat melalui hubungannya terhadap peningkatan laju cairan dan gas. Perubahan terhadap laju gas dan laju cairan dapat mengakibatkan perubahan pada nilai gas entrainment. Hubungan antara gas entrainment terhadap peningkatan laju cairan pada laju gas konstan dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan hubungan antara gas entrainment terhadap variasi peningkatan laju cairan pada tiap-tiap laju gas konstan disajikan pada Lampiran 8. Berdasarkan Gambar 13, dapat dijelaskan bahwa pada laju gas konstan, gas entrainment meningkat seiring dengan peningkatan laju cairan (UL = 0.98 m/s hingga UL = 6.4 m/s). Perubahan nilai gas entrainment pada peningkatan laju cairan pada laju gas konstan dapat dilihat pada Tabel 5.
34
0.16
0.14
Ug = 0.883 m/s Ug = 1.47 m/s
0.12
gas entrainment
Ug = 2.06 m/s 0.1
Ug = 2.94 m/s Ug = 3.83 m/s
0.08
Ug = 4.42 m/s Ug = 5.01 m/s
0.06
Ug = 5.89 m/s Ug = 6.77 m/s
0.04
Ug = 7.36 m/s 0.02
0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m/s) Gambar 13. Hubungan peningkatan laju cairan dan gas terhadap gas entrainment 35
Tabel 5. Perubahan nilai gas entrainment pada peningkatan laju cairan pada laju gas konstan Laju gas (m/s)
Nilai gas entrainment awal
akhir
0.88
0.022
0.11
1.5
0.023
0.11
2.1
0.024
0.12
2.9
0.024
0.12
3.8
0.024
0.12
4.4
0.025
0.13
5.0
0.026
0.13
5.9
0.026
0.14
6.8
0.027
0.14
7.4
0.027
0.14
Pada Ug = 0.88 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.022 menjadi 0.11. Pada Ug = 1.5 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.023 menjadi 0.11.
Pada Ug = 2.1 m/s, nilai gas
entrainment mengalami peningkatan dari 0.023 menjadi 0.12. Pada Ug = 2.9 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.024 menjadi 0.12. Pada Ug = 3.8 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.024 menjadi 0.12.
Pada Ug = 4.4 m/s, nilai gas entrainment mengalami
peningkatan dari 0.025 menjadi 0.13.
Pada Ug = 5.0 m/s, nilai gas
entrainment mengalami peningkatan dari 0.026 menjadi 0.13. Pada Ug = 5.9 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.026 menjadi 0.14. Pada Ug = 6.8 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.027 menjadi 0.14.
Pada Ug = 7.4 m/s, nilai gas entrainment mengalami
peningkatan dari 0.027 menjadi 0.14. Peningkatan gas entrainment pada peningkatan laju cairan terjadi karena meningkatnya energi yang masuk ke dalam sistem. Laju jet cairan yang keluar melalui nosel dan massa jet cairan membawa sebuah energi kinetik dan energi potensial yang besar yang menyebabkan tumbukan yang hebat terhadap
36
gas (Ide, et.al, 1999). Tumbukan jet cairan terhadap badan gas menyebabkan terjadinya proses penangkapan gas oleh jet cairan. Pada saat cairan dibawa oleh laju yang tinggi pada laju gas konstan, energi potensial cairan meningkat karena massa volumetrik yang dibawa oleh jet cairan meningkat. Begitu juga dengan energi kinetiknya yang akan meningkat karena meningkatnya laju cairan. Momentum cairan dengan energi yang tinggi menumbuk muka gas pada leher ejektor untuk pertama kalinya. Demikian pula setelah jet cairan turun melalui difuser menuju tangki reaktor. Energi tinggi yang dibawa jet cairan ini menyebabkan tingkat penangkapan gas yang tinggi sehingga gas entrainment yang dihasilkan tinggi. Pada saat cairan dibawa oleh laju yang rendah, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Total energi yang dibawa oleh jet cairan rendah sehingga tingkat penangkapan gas oleh cairan juga rendah. Peningkatan nilai gas entrainment pun terjadi jika laju gas ditingkatkan (pada Ug = 0.88 m/s hingga Ug = 7.4 m/s) pada laju cairan yang konstan. Perubahan nilai gas entrainment pada peningkatan laju gas pada laju cairan konstan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perubahan nilai gas entrainment pada peningkatan laju gas pada laju cairan konstan Laju cairan (m/s)
Nilai gas entrainment awal
akhir
0.98
0.022
0.027
1.2
0.026
0.031
1.5
0.031
0.038
1.9
0.038
0.048
2.6
0.048
0.059
3.1
0.059
0.073
3.9
0.071
0.090
4.8
0.11
0.085
5.8
0.099
0.13
6.4
0.11
0.14
37
Pada UL = 0.98 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.022 menjadi 0.027. Pada UL = 1.18 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.026 menjadi 0.031. Pada UL = 1.5 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.031 menjadi 0.038. Pada UL = 1.9 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.038 menjadi 0.048. Pada UL = 2.5 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.048 menjadi 0.059.
Pada UL = 3.1 m/s, nilai gas entrainment mengalami
peningkatan dari 0.059 menjadi 0.073. Pada UL = 3.9 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.071 menjadi 0.090. Pada UL = 4.8 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.11 menjadi 0.084. Pada UL = 5.8 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.099 menjadi 0.13. Pada UL = 6.4 m/s, nilai gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.11 menjadi 0.14. Peningkatan gas entrainment pada peningkatan laju gas terjadi karena meningkatnya volume gas yang masuk ke dalam volume cairan yang tetap (Ide, et.al, 1999). Pada saat laju cairan konstan dan laju gas meningkat, lebar selimut jet cairan akan meningkat seiring peningkatan tekanan dari gas, karena peningkatan laju akan menyebabkan peningkatan pada tekanan (Yuan, 2000), sehingga gas banyak tertangkap oleh cairan dan nilai gas entrainment pun meningkat. C. Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan Terhadap Gas Hold-up Selain gas entrainment, gas hold-up juga menjadi salah satu fenomena hidrodinamika RVB yang menarik untuk dikaji. Nilai gas hold-up dapat diperoleh dengan menggunakan model gas hold-up dari Liu dan Evans (1996) dengan mempergunakan 0.92 sebagai koefisien distribusi aliran turbulen (Co) dan eksperimen gas hold-up dari Ide et al., (1999). 1. Konstanta K Konstanta K, diperoleh berdasarkan hubungan antara model gas hold-up (persamaan 3) terhadap gas hold-up eksperimen (persamaan 5). Berdasarkan hubungan tersebut, diperoleh persamaan y = 0.5613x,
38
sehingga nilai konstanta K adalah sebesar 0.5613 yang merupakan intersep dari persamaan tersebut. Perolehan konstanta K dapat dilahat pada Gambar 14.
Gas Hold-up Eksperimen
0.25 0.23 0.21 0.19 0.17 0.15 0.13 0.11 0.09 0.07 0.05 0.05
y = 0.5613x
0.15
0.25
0.35
0.45
Gas Hold-up Model
Gambar 14. Perolehan konstanta K
2. Peningkatan Laju Gelembung (Ur) Peningkatan laju gelembung diperoleh dengan menggunakan persamaan 4. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap liquid properties seperti pada Tabel 3, serta penggunaan nilai gravitasi sebesar 9.78 m/s2, dan densitas CO2 sebesar 0.0066 kg/m3, maka diperoleh nilai Ur sebesar 0.40 m/s. 3. Gas Hold-up Fenomena gas hold-up di dalam RVB dapat dilihat melalui hubungannya terhadap peningkatan laju gas dan cairan. Perubahan laju cairan dan gas dapat mempengaruhi nilai gas hold-up yang dihasilkan. Hubungan peningkatan laju cairan terhadap gas hold-up pada laju gas konstan dapat dilihat pada Gambar 15. Sedangkan hubungan antara gas hold-up model dan eksperimen terhadap variasi laju cairan pada tiap-tiap variasi laju gas dapat dilihat pada Lampiran 9.
39
0.8 Ug = 0.883 m/s Ug = 0.883 m/s
0.7
ug = 1.47 m/s Ug = 1.47 m/s Ug = 2.06 m/s
0.6
Ug = 2.06 m/s Ug = 2.94 m/s
gas hold-up
0.5
Ug = 2.94 m/s Ug = 3.83 m/s Ug = 3.83 m/s
0.4
Ug = 4.42 m/s Ug = 4.42 m/s Ug = 5.01 m/s
0.3
Ug = 5.01 m/s Ug = 5.89 m/s
0.2
Ug = 5.89 m/s Ug = 6.77 m/s Ug = 6.77 m/s
0.1
Ug = 7.36 m/s Ug = 7.36 m/s
0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m/s)
Gambar 15. Hubungan peningkatan laju cairan terhadap gas hold-up pada laju gas konstan 40
Berdasarkan hubungan peningkatan laju cairan pada laju gas yang konstan, gas hold-up model mengalami penurunan seiring dengan peningkatan laju cairan. Perubahan nilai gas hold-up model pada peningkatan laju cairan pada laju gas yang konstan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Perubahan nilai gas hold-up model pada peningkatan laju cairan pada laju gas konstan Laju gas (m/s)
Nilai gas hold-up awal
akhir
0.88
0.70
0.14
1.5
0.47
0.13
2.1
0.37
0.12
2.9
0.27
0.11
3.8
0.22
0.098
4.4
0.19
0.093
5.0
0.17
0.088
5.9
0.15
0.081
6.8
0.13
0.075
7.4
0.12
0.072
Pada laju gas (Ug) konstan dan pada peningkatan laju cairan (UL), nilai gas hold-up model mengalami perubahan. Pada Ug = 0.88 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.70 menjadi 0.14, pada Ug = 1.5 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.47 menjadi 0.13, pada Ug = 2.1 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.37 menjadi 0.12, pada Ug = 2.9 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.27 menjadi 0.11, pada Ug = 3.8 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.22 menjadi 0.098, pada Ug = 4.4 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.19 menjadi 0.093, pada Ug = 5.0 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.17 menjadi 0.088, pada Ug = 5.9 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.15 menjadi 0.081, pada Ug = 6.8 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.13 menjadi 0.075, dan pada Ug = 7.4 m/s gas hold-up mengalami penurunan dari 0.12 menjadi 0.072.
41
Perubahan nilai gas hold-up model juga terjadi pada laju cairan (UL) konstan dan peningkatan laju gas (Ug). Perubahan nilai gas hold-up model pada peningkatan laju gas dan pada laju cairan konstan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perubahan nilai gas hold-up model pada peningkatan laju gas dan pada laju cairan konstan Laju cairan (m/s)
Nilai gas hold-up model awal
akhir
0.98
0.67
0.12
1.2
0.59
0.12
1.5
0.49
0.11
1.9
0.41
0.11
2.6
0.33
0.10
3.1
0.27
0.095
3.9
0.22
0.088
4.8
0.18
0.082
5.8
0.15
0.075
6.4
0.14
0.072
Pada UL = 0.98 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.67 menjadi 0.12. Pada UL = 1.2 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.59 menjadi 0.12. Pada UL = 1.5 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.49 menjadi 0.11. Pada UL = 1.9 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.41 menjadi 0.11. Pada UL = 2.6 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.33 menjadi 0.10. Pada UL = 3.1 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.27 menjadi 0.095. Pada UL = 3.9 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.22 menjadi 0.088. Pada UL = 4.8 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.18 menjadi 0.082. Pada UL = 5.8 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.15 menjadi 0.075. Pada UL = 6.4 m/s gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.14 menjadi 0.072.
42
Begitu pula halnya pada gas hold-up eksperimen. Berdasarkan hubungan antara gas hold-up eksperimen dan laju cairan yang bervariasi pada laju gas konstan, gas hold-up eksperimen mengalami perubahan seiring dengan perubahan pada laju cairan. Perubahan nilai gas hold-up eksperimen pada peningkatan laju cairan dan pada laju gas konstan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perubahan nilai gas hold-up eksperimen pada peningkatan laju cairan pada laju gas konstan Laju gas (m/s)
Nilai gas hold-up awal
akhir
0.88
0.21
0.086
1.5
0.22
0.077
2.1
0.28
0.021
2.9
0.34
0.056
3.8
0.34
0.062
4.4
0.36
0.0083
5.0
0.53
0.047
5.9
0.36
0.080
6.8
0.46
0.11
7.4
0.46
0.067
Pada laju gas (Ug) konstan dan pada peningkatan laju cairan (UL), nilai gas hold-up eksperimen mengalami perubahan. Pada Ug = 0.88 m/s gas holdup eksperimen mengalami penurunan dari 0.21 menjadi 0.086, pada Ug = 1.5 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.22 menjadi 0.077, pada Ug = 2.1 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.28 menjadi 0.021, pada Ug = 2.9 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.34 menjadi 0.056, pada Ug = 3.8 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.34 menjadi 0.062, pada Ug = 4.4 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.36 menjadi 0.0083, pada Ug = 5.0 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.53 menjadi 0.047, pada Ug = 5.9 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari
43
0.36 menjadi 0.080, pada Ug = 6.8 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.46 menjadi 0.11, dan pada Ug = 7.4 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.46 menjadi 0.067. Perubahan nilai gas hold-up eksperimen juga terjadi pada laju cairan (UL) konstan dan peningkatan laju gas (Ug). Pada peningkatan laju gas hingga laju cairan konstan tertentu, nilai gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan, kemudian menurun kembali. Perubahan nilai gas hold-up eksperimen pada peningkatan laju gas dan pada laju cairan konstan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perubahan nilai gas hold-up eksperimen pada peningkatan laju gas pada laju cairan konstan Laju cairan (m/s)
Nilai gas hold-up eksperimen awal
akhir
0.98
0.21
0.46
1.2
0.19
0.35
1.5
0.14
0.23
1.9
0.092
0.10
2.6
0.054
0.064
3.1
0.054
0.12
3.9
0.11
0.017
4.8
0.071
0.042
5.8
0.057
0.036
6.4
0.086
0.067
Pada UL = 0.98 m/s gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan dari 0.21 menjadi 0.46. Pada UL = 1.2 m/s gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan dari 0.19 menjadi 0.35. Pada UL = 1.5 m/s gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan dari 0.14 menjadi 0.23. Pada UL = 1.9 m/s gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan dari 0.092 menjadi 0.1. Pada UL = 2.5 m/s gas hold-up eksperimen mengalami peningkatan dari 0.054 menjadi 0.064. Pada UL = 3.1 m/s gas hold-up eksperimen mengalami
44
peningkatan dari 0.053 menjadi 0.12. Sedangkan, pada peningkatan UL selanjutnya, gas hold-up eksperimen mengalami penurunan. Pada UL = 3.9 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.11 menjadi 0.017. Pada UL = 4.8 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari 0.071 menjadi 0.042. Pada UL = 5.8 m/s gas hold-up eksperimen mengalami penurunan dari
0.057 menjadi 0.036. Pada UL = 6.4 m/s gas hold-up
eksperimen mengalami penurunan dari 0.086 menjadi 0.067. Penurunan nilai gas hold-up pada peningkatan laju cairan pada laju gas yang konstan dikarenakan pada peningkatan laju cairan, energi kinetik yang dibawa oleh cairan yang keluar nosel sangat besar, sehingga meningkatkan laju geser cairan terhadap dinding leher ejektor. Penurunan viskositas yang diakibatkan peningkatan laju cairan menjadikan selimut jet semakin mudah rusak oleh adanya peningkatan laju geser, sehingga penahanan gas oleh selimut jet cenderung semakin sulit dilakukan karena waktu tinggal gas di dalam cairan semakin sebentar, sehingga menurunkan nilai gas hold-up (Mandal et.al, 2005). Pada laju cairan yang konstan, peningkatan laju gas juga menurunkan nilai gas hold-up. Hal tersebut terjadi karena peningkatan laju gas menyebabkan gangguan pada selimut jet yang berupa tekanan dan pengoyakan pada permukaan jet cairan yang semakin hebat, akibatnya menghambat pengurungan gas pada badan cairan, sehingga gas sulit tertahan oleh selimut cairan, akibatnya nilai gas hold-up menurun (Mandal et.al, 2005). Sedangkan jika pada laju cairan yang konstan dan peningkatan laju gas dapat menaikkan nilai gas hold-up, hal tersebut kemungkinan dikarenakan adanya peningkatan populasi dari gelembung. Adanya peningkatan populasi dari gelembung mengakibatkan peningkatan luas antar muka, akibatnya nilai gas hold-up pun meningkat. Gas hold-up model dan gas hold-up eksperimen memiliki suatu tingkat kesesuaian tertentu. Tingkat kesesuaian antara gas hold-up model dan gas hold-up eksperimen dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (r2) antara gas hold-up model dan gas hold-up eksperimen. Nilai koefisien determinasi tertinggi menunjukkan tingkat kesesuaian tertinggi antara model dan
45
eksperimen (Box et al, 1978). Nilai koefisien determinasi dari gas hold-up model dan gas hold-up eksperimen dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Koefisien determinasi dari gas hold-up model dan gas hold-up eksperimen Laju gas (m/s)
Koefisien
Nilai gas hold-up
Nilai gas hold-
model
up eksperimen
2
determinasi (r )
awal
akhir
awal
akhir
0.88
0.98
0.70
0.14
0.21
0.086
1.5
0.97
0.47
0.13
0.22
0.077
2.1
0.99
0.37
0.12
0.28
0.021
2.9
0.98
0.27
0.11
0.34
0.056
3.8
0.92
0.22
0.098
0.34
0.062
4.4
0.98
0.19
0.093
0.36
0.0083
5.0
0.96
0.17
0.088
0.53
0.047
5.9
0.97
0.15
0.081
0.36
0.080
6.8
0.95
0.13
0.075
0.46
0.11
7.4
0.96
0.12
0.072
0.46
0.067
Berdasarkan Tabel 11, koefisien determinasi terbesar berada pada laju gas 2.1 m/s dengan nilai koefisien determinasi 0.99, artinya pada titik ini, gas hold-up eksperimen memiliki kesesuaian tertinggi terhadap gas hold-up model. D. Penentuan Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan, Serta Gas Entrainment dan Gas Hold-up Terhadap Parameter Unit Warna ICUMSA Satu fungsi dasar dalam gula rafinasi adalah warna. Jadi warna merupakan parameter penting dalam pengawasan mutu proses rafinasi gula. Meskipun terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (0,1%) zat warna dalam gula sangat menentukan kualitas gula. Warna larutan gula setelah proses karbonatasi dianalisis dengan metode ICUMSA GS1-7 (1994).
46
Pada proses yang melibatkan reaksi antara gas dan cair seperti pada proses pemurnian raw sugar secara karbonatasi dengan RVB, terjadi fenomena gas entrainment dan gas hold-up yang dapat menentukan kondisi pindah massa terbaik. Kondisi pada saat diperoleh nilai gas hold-up maksimum dan nilai gas entrainment minimum merupakan kondisi dimana terjadinya pindah massa maksimum (Duveen, 1998). Dengan adanya kondisi tersebut pada RVB, diharapkan proses pemurnian raw sugar dapat berjalan maksimal. Fenomena tersebut dapat tercipta karena adanya pengaruh dari laju cairan dan laju gas. Gambaran umum verifikasi antara gas entrainment dan gas hold-up terhadap unit warna ICUMSA dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Penentuan Hubungan Peningkatan Laju Gas dan Cairan, Serta Gas Entrainment dan Gas Hold-up Terhadap Parameter Unit Warna ICUMSA Laju clarified juice (m/s)
Laju gas CO2
Gas entrainment
1.2 5.8
0.88 7.4
0.026 0.13
Gas hold-up model 0.59 0.075
eksperimen 0.21 0.036
ICUMSA (IU) 180 325
Berdasarkan Tabel 12, pada laju cairan dan gas yang rendah (1.2 dan 0.88 m/s), nilai ICUMSA yang dihasilkan rendah (180 IU). Nilai tersebut menunjukan hasil yang baik. Namun, pada laju cairan dan gas yang tinggi (5.8 dan 7.4 m/s), nilai ICUMSA yang dihasilkan tinggi (325 IU). Nilai tersebut menunjukan hasil yang kurang baik. ICUMSA yang rendah (180 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment rendah (0.026) dan nilai gas hold-up tinggi (0.59 untuk model dan 0.21 untuk eksperimen), sedangkan ICUMSA yang tinggi (325 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment tinggi (0.13) dan gas hold-up rendah (0.075 untuk model dan 0.036 untuk eksperimen). Rendahnya unit warna ICUMSA yang dihasilkan setelah melalui proses karbonatasi dengan RVB mengindikasikan proses pemucatan warna larutan gula kasar semakin baik. Artinya, adsorpsi senyawa penyebab warna dalam larutan gula kasar seperti pigmen warna, asam-asam organik, senyawa hasil reaksi karamelisasi dan reaksi Maillard semakin baik. Adanya pengaruh
47
gas hold-up yang tinggi dan pengaruh gas entrainment yang rendah menyebabkan
waktu tinggal gas CO2 di dalam larutan gula yang telah
terdefekasi semakin tinggi sehingga dicapai pindah massa yang tinggi pula karena meningkatkan kontak antara gas CO2 dan larutan gula yang telah terdefekasi, sehingga penghilangan warna dapat dimaksimumkan, akibatnya unit warna ICUMSA yang dihasilkan rendah (180 IU). Pada laju cairan 1.2 m/s dan laju gas CO2 0.88 m/s, menghasilkan unit warna ICUMSA sebesar 180. Pada kondisi tersebut, total energi yang dibawa oleh cairan rendah, volume gas CO2 yang masuk ke dalam volume cairan juga rendah. Hal itu mengindikasikan tingkat penangkapan gas CO2 oleh clarified juice yang rendah, namun mempermudah pembungkusan gas CO2 oleh selimut jet, karena gas CO2 memiliki waktu tinggal yang relatif lebih lama di dalam badan jet clarified juice. Lamanya waktu tinggal gas CO2, menyebabkan reaksi karbonatasi berjalan lebih efektif. Pembentukan senyawa kalsium karbonat (CaCO3) untuk menghilangkan bahan pengotor (sulfat, fosfat, senyawa asam karboksilat, senyawa asam polisakarida) termasuk senyawa penyebab warna dalam larutan gula kasar secara ionik akan semakin efektif. Begitu pula pada proses pengendapan kalsium karbonat yang akan mengendapkan pengotor, menjadi efektif juga, sehingga meningkatkan reduksi warna dalam larutan gula. Pada laju cairan 5.8 m/s dan laju gas CO2 7.4 m/s, menghasilkan unit warna ICUMSA sebesar 325. Pada kondisi tersebut, total energi yang dibawa oleh cairan tinggi, volume gas CO2 yang masuk ke dalam cairan juga tinggi. Hal itu mengindikasikan bahwa jumlah gas CO2 yang masuk ke dalam cairan banyak, namun mempersulit pembungkusan gas CO2 oleh selimut jet, karena gas CO2 memiliki waktu tinggal yang relatif lebih singkat di dalam jet cairan, sehingga menyebabkan reaksi karbonatasi berjalan lebih lambat. Pembentukan senyawa kalsium karbonat (CaCO3) untuk menghilangkan bahan pengotor (sulfat, fosfat, senyawa asam karboksilat, senyawa asam polisakarida) termasuk senyawa penyebab warna dalam larutan gula kasar juga akan semakin lambat. Begitu pula pada proses pengendapan kalsium karbonat yang akan mengendapkan pengotor, menjadi lebih lambat, sehingga menyebabkan
48
penurunan reduksi warna dalam larutan gula. Selain itu, banyaknya gas CO2 yang masuk ke dalam cairan, menyebabkan cairan menjadi jenuh akan gas CO2, sehingga mengganggu proses adsorpsi pengotor oleh struktur kristal CaCO3 karena CO2 berlebih akan kembali melarutkan endapan CaCO3 yang sebelumnya terbentuk (Mathur, 1975). Jika dibandingkan dengan unit warna ICUMSA hasil karbonatasi pada industri gula rafinasi serta penelitian yang telah dilakukan El-Syiad (1999), unit warna ICUMSA yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian dapat dikategorikan lebih baik. Perbandingan nilai unit warna ICUMSA dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Perbandingan nilai unit warna ICUMSA hasil karbonatasi Kondisi karbonatasi
Hasil penelitian
El-Syiad (1999)
Industri gula rafinasi
ICUMSA (IU)
180
678
821
Alat
RVB
Tangki berpengaduk
Tangki berpengaduk
Dosis CaO
75 g/L
0.07%
75 g/L
Suhu (oC)
55
70
55
Laju cairan (m/s)
1.2
-
3.02
Laju gas CO2
0.88
-
-
Tekanan alat (atm)
1.48
-
1.48
Berdasarkan Tabel 13, unit warna ICUMSA hasil karbonatasi pada penelitian, yaitu sebesar 180 IU, lebih rendah dibandingkan unit warna ICUMSA hasil karbonatasi yang telah dilakukan El-Syiad (1999), yang bernilai 678 IU dan industri gula rafinasi, yang bernilai 821 IU. Hal tersebut mengindikasikan bahwa karbonatasi raw sugar menggunakan RVB sebagai alat karbonatasi dengan kondisi proses seperti tertulis pada Tabel 13, mampu menghasilkan nilai ICUMSA yang lebih baik dibandingkan penggunaan tangki berpengaduk seperti penelitian yang telah dilakukan El-Syiad (1999) dan pada industri gula rafinasi.
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Nilai gas entrainment dan gas hold-up mengalami perubahan pada peningkatan laju cairan dan gas. Peningkatan laju gas dan cairan dapat meningkatkan nilai gas entrainment. Selain itu, peningkatan laju cairan dan gas juga dapat menurunkan atau meningkatkan nilai gas hold-up. Gas entrainment mengalami peningkatan pada peningkatan laju cairan dan pada peningkatan laju gas. Gas entrainment mengalami peningkatan dari 0.022 - 0.14 pada peningkatan laju cairan dari 0.98 - 6.4 m/s pada laju gas konstan. Gas entrainment pun meningkat dari 0.022 - 0.14 pada peningkatan laju gas dari 0.88 - 7.4 m/s pada UL konstan. Gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.67 menjadi 0.072 pada peningkatan laju cairan dari 0.98 - 6.4 m/s pada laju gas konstan. Gas hold-up model mengalami penurunan dari 0.67 menjadi 0.072 pada peningkatan laju gas dari 0.88 – 7.4 m/s pada laju cairan konstan. Gas hold-up eksperimen juga mengalami penurunan dari 0.21 menjadi 0.067 pada peningkatan laju cairan dari 0.98 - 6.4 m/s pada laju gas konstan. Namun pada peningkatan laju gas dari 0.88 - 3.14 m/s pada laju cairan konstan, gas holdup eksperimen meningkat dari 0.12 menjadi 0.46, kemudian mengalami penurunan dari 0.11 menjadi 0.067 pada peningkatan laju gas dari 3.93 - 6.4 m/s pada laju cairan konstan. ICUMSA yang rendah (180 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment rendah (0.026) dan nilai gas hold-up tinggi (0.59 untuk model dan 0.21 untuk eksperimen), sedangkan ICUMSA yang tinggi (325 IU) dihasilkan pada saat nilai gas entrainment tinggi (0.13) dan gas hold-up rendah (0.075 untuk model dan 0.036 untuk eksperimen). B. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perhitungan gas entrainment dan gas hold-up dengan menggunakan beberapa model
50
sehingga dapat dibandingkan model yang paling sesuai untuk pemurnian raw sugar secara karbonatasi dengan RVB, 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara gas hold-up, gas entrainment dan distribusi ukuran gelembung.
51
DAFTAR PUSTAKA Achyadi, N.S. dan Maulidah, I. 2004. Pengaruh Banyaknya Air Pencuci dan Ketebalan Masakan Pada Proses Sentrifugal Terhadap Kualitas Gula. Jurnal Informasi dan Teknologi, Vol 6, No. 4, hal 193 – 207. [AOAC] American Official Analitical Chemistry. 1995. Official Methodes of Analysis of The Association of Official Analitical Chemist. AOAC, Washington. Atay, I. 1986. Fluid Flow and Gas Absorption in An Ejector Venturi Scrubber. Department of Chemical Engineering, Chemistry and Environmental Science. Broadhust, A.H. 2002. Modelling Adsorption of Cane Sugar Solution Colorant in Packed-Bed Ion Exchangers. University of Natal, South Africa. Brown, C.A. 1912. A Hand Book of Sugar Analisis. John Wiley & Sons. New York. Box, H., W. Hunter, J.S. Hunter. 1978. Statistics for Experimenters. John Wiley and Sons. New York. Chen, J. C. P dan C. Chou. 1993. Cane Sugar Handbook. Twelfth Edition. Elsevier Scientofic Publishing Company. New York. Cramers, P.H.M.R., L.L. van Dierendonck, dan A.A.C.M. Beenackers. 1992. Influence or Gas entrainment an Gas hold-up in Loop Venturi Reactors. Chemical Engineering Science, Vol 47, No. 9 – 11, hal 2251 - 2256. Duveen, R.F. 1998. High Performance Gas Liquid Reaction Technology. Symposium “New Frontiers in catalytic Reactor Design’ 21 Oktober 1998. Billingham. Greben, HA, J.P Maree, E. Eloff, dan K. Murray. 2005. Improved Sulphate Removal Rates at Increased Sulphide Concentration in the Sulphidogenic Bioreactor. J. Water SA Vol 31, No. 3, hal 187 - 194. [ICUMSA] International Commision for Uniform Methods of Sugar Analysis. 1994. ICUMSA Methodes Book. Ide, M., H. Uchiyama, dan T. Ishikura. 1999. Flow Characteristics of Gas-Liquid Two Phase Plunging Jet Absorber (Gas hold-up and Buble Penetration Depth). J. Korean Chemical Engineering Vol 16, No. 5, hal 698 - 702. Kinney, J. J. 2004. Wet Gas Measurement. Colorado Engineering Experiment Station, Inc, Colorado.
52
Liu, G., dan G.M. Evans. 1996. Gas entrainment dan Gas hold-up in a Confined Plunging Liquid Jet Reactor. Departement of Chemical Engineering, University of Newcastle, Australia. Lyle, O. 1957. Technology for Sugar Refinery Workers. Champman &Hall LTD. 37 London. Mandal, A, G. Kundu, dan D. Mukherjee. 2005. Comparative Study of Two-Phase Gas-Liquid Flow in the Ejector Induced Upflow and Downflow Bubble Column. International Journal Of Chemical Reactor Engineering 2005 Vol 3, Berkeley Electronic Press. Martoyo, 1996. Gula Mutu Tinggi dan Teknologi Pembuatannya dalam Gula Indonesia. Vol XXI (2-3) April-September. IKAGI. Pasuruan. Mathur, L.B.L. 1975. Hand Book of Cane Sugar Technology. Oxford & IBH Publishing. Co. New Delhi. McCabe, W.L , J.C Smith, dan P. Harriot . 1985. Operasi Teknik Kimia. Erlangga, Jakarta. Moerdokusumo, A. 1993. Pengawasan Kualitas dan Teknologi Pembuatan Gula di Indonesia. Penerbit ITB Bandung. Bandung. Nevers, N. 1991. Fluid Mechanics for Chemical Engineers. McGraw-Hill, Inc. New York. Ozdemir, M. 1997. Food and Its Control. Journal Okayanus March. Putsch, H. 2005. Cane Sugar Technology. Gmbh and Comp. K.G, Hagen Shirsat, S, A. Mandal, G. Kundu, dan Mukherjee. 2003. Hydrodynamic Studies on Gas-liquid Downflow Bubble Column with Non-Newtonian Liquids. Journal of Department of Chemical Engineering, Volume 84, hal 38 – 42. SNI 01-3140.3-2001 SNI 01-3140.1-2001 Standar raw sugar. 1996. Sekertaris Dewan Gula Indonesia. Yuan, Z. C. Y. Choi. P.M. Waller, dan P. Colaizzi. 2000. Effects of Liquid Temperature and Viscosity on Venturi Injectors. Journal American Society of Agricultural Engineers, Vol 43, No. 6, hal 1441-1447.
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Reaktor Venturi Bersirkulasi (RVB)
55
Lampiran 2. Prosedur karakterisasi raw sugar
1. Kadar Air (AOAC, 1995) Sebanyak 2 – 10 gram contoh raw sugar ditimbang dalam cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobot tetapnya. Cawan kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 150oC selama 2 jam. Cawan dikeluarkan dan didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Pengeringan dilanjutkan lagi dan setiap setengah jam didinginkan dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang konstan (kehilangan berat selama pengeringan 30 menit tidak lebih dari 0.05 %). Kadar air dihitung dengan persamaan berikut : Kadar air =
bobot awal - bobot konstan bobot awal
x 100 %
2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 – 10 gram contoh raw sugar dimasukkan dalam cawan porselin yang sudah ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Contoh tersebut kemudian dibakar pada pemanas destruksi sampai terbentuk arang dan tidak timbul asap lagi. Setelah itu, contoh dipanaskan dalam tanur pengabuan pada suhu 500oC ± 25oC, sampai dihasilkan warna abu keputih-putihan. Contoh yang sudah membentuk abu dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan menjadi dingin hingga suhu kamar, dan ditimbang dengan segera. Contoh kemudian dipanaskan kembali dengan desikator, kemudian ditimbang kembali. Pekerjaan tersebut diulangi sampai selisih antara dua penimbangan berturut-turut kurang dari 0.002 gram. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar protein =
bobot abu bobot contoh
x 100 %
3. Analisa Kadar Warna (ICUMSA Methods, 1994) Analisa ini didasarkan pada pengukuran absorbsi larutan raw sugar terhadap
cahaya
pada
kepekatan
50
briks
dengan
menggunakan
spektofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Contoh ditimbang
56
sebanyak 50 gram kemudian dilarutkan sempurna dalam 50 ml akuades dalam erlenmeyer 250 pada suhu kamar. Kemudian ditambahkan 2 gram bubuk Kiezelguhr sebagai penjernih dan disaring dengan kertas Whatman 32 atau sepadan dalam keadaan vakum. Filtrat yang dihasilkan harus jernih karena jika keruh dan kotor tidak dapat terbaca spektrofotometer. Filtrat dipindah ke dalam gelas piala 150 ml dan pH larutan dijadikan 7.000±0.0005. Kemudian ekstingsi diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 420 nm dan tebal kuvet T cm. Ekstingsi jenis adalah absorpsi larutan pada tebal larutan 11 cm dan kepekatan zat kering 1 gram/ml. Ekstingsi jenis (E) =
A x 100 BxSxT
Warna ICUMSA = E X 1000 Untuk menentukan ekstingsi harus diketahui : •
briks larutan setelah di pH 7 (brik terkoreksi), misal = B %
•
berat jenis larutan, misal = S g/ml
•
tebal kolom larutan diameter dalam misal T cm
•
larutan absorban yang didapat dari transmitran (%) dari (%) terbaca Tq, maka Absorban (A) = 2 – log Tq
4. Kadar sukrosa (%polarisasi), (SNI 01-3140.3-2001) Sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml Pb asetat dan 5 ml akuades, kemudian labu digoyang agar tercampur merata, lalu disaring. Nira hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung polarimeter. Skala pada sacharimeter dibaca, setelah itu dicatat pemutaran bidang polarisasi. Dengan demikian diperoleh persen polarisasi. 5. Uji Gula Peredukasi dengan Metode DNS (SNI 01-3140.3-2001) •
Pembuatan Pereaksi DNS (asam 3,5-dinitro salisilat) Dalam 1416 ml aquades ditambahkan 10,6 gram DNS, 19,8 gram NaOH, 8,3 gram Na-metabisulfit, 306 gram NaK-tartarat, 7,6 ml fenol cair suhu 105 °C. Bahan-bahan tersebut dicampur hingga larut merah. Kemudian sebanyak 3 ml DNS dititrasi dengan HCl 0,1 N dengan
57
penambahan indikator PP. Banyak titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap ml kekurangan HCl 0,1 N pada titrasi maka tambahkan 2 gram NaOH. •
Pembuatan Standar Glukosa Standar glukosa dibuat pada konsentrasi 80, 100, 120, 140, 160, 180, dan 200 ppm.
•
Pengukuran Kadar Gula Pereduksi Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 550 nm terhadap 1 ml contoh yang ditambah dengan 3 ml pereaksi DNS dan diletakkan dalam air mendidih selama 5 menit.
58
Lampiran 3. Penentuan konstanta A gas entrainment
UL (m/s) 0.98 1.2 1.5 1.9 2.6 3.1 3.9 4.8 5.8 6.4
Gas entrainment model 4.1 3.5 2.8 2.2 1.7 1.3 1.0 0.85 0.71 0.64
Gas entrainment normal 4.5 3.8 3.0 2.37 1.8 1.4 1.1 0.92 0.76 0.69
Nilai konstanta A diperoleh dengan memplotkan nilai gas entrainment model dan nilai gas entrainment normal, sehingga diperoleh A = 1.0871.
59
Lampiran 4. Prosedur pengukuran physical properties fluida
1. Viskositas (ASTM D 445) Viskositas diukur dengan menggunakan glass capillary viscometer dan bak untuk pengukur suhu. Viskositas kinematik diukur dengan melakukan pengukuran waktu untuk sejumlah volume cairan yang mengalir melalui kapiler viskometer, pada suhu tertentu. Nilai viskositas yang diperoleh merupakan nilai viskositas kinematik, sehingga untuk mendapatkan nilai viskositas dinamik (kg/ms), nilai viskositas kinematik yang diperoleh harus dikalikan dengan densitasnya (kg/m3) terlebih dahulu. μkinematik =
tsampel x μair tair
μkinematik
= viskositas kinematik (m2/s)
tsampel
= waktu sampel (s)
μair
= viskositas air pada suhu yang sama dengan sampel (m2/s) = 5.14 x 10-7 m2/s (T = 55 oC)
tair
= waktu air pada suhu yang sama dengan sampel (s) = 9.6 s (T = 55 oC)
2. Densitas (Brown, 1912) Piknometer terlebih dahulu ditimbang untuk mengetahui bobotnya, setelah itu diisi dengan sampel sampai melebihi tanda garis, kemudian ditimbang lagi untuk mengetahui bobot akhir. ρ = ρ
= densitas sampel (kg/m3)
m
= massa sampel (kg)
v
= volume sampel (m3)
m v
3. Tegangan Permukaan (Nevers, 1991) Cincin berdiameter kecil yang terbuat dari kawat platinum ditempatkan tepat berada di atas permukaan cairan. Cincin tersebut ditarik dari atas
60
permukaan cairan dengan suatu kekuatan yang menggantung cincin tersebut. Kekuatan yang dikehendaki diukur dan terbaca dalam alat (N/m).
61
Lampiran 5. Alat-alat pengukuran physical properties fluida
Lampiran 5.1. Glass capillary viscometer
Lampiran 5.2. Piknometer
Lampiran 5.3. Surface tension meter
62
Lampiran 6. Prosedur pengukuran gas hold-up eksperimen (Ide et al, 1999)
1. Pengukuran tinggi cairan awal (Ho)
Ho Lampiran 6.1. Pengukuran tinggi cairan awal
2. Pengukuran tinggi cairan akhir (H) dan penetrasi gelembung (lB)
lB
H
Lampiran 7 Lampiran 6.2. Pengukuran tinggi cairan akhir dan penetrasi gelembung
63
Lampiran 7. Penentuan Konstanta K Gas hold-up
UL (m/s) 0.98 1.2 1.5 1.9 2.6 3.1 3.9 4.8 5.8 6.4
Gas hold-up eksperimen 0.15 0.15 0.14 0.14 0.14 0.14 0.13 0.13 0.13 0.12
Gas hold-up model 0.39 0.35 0.29 0.24 0.19 0.15 0.12 0.10 0.083 0.073
Nilai konstanta K diperoleh dengan memplotkan nilai gas hold-up model dan nilai hold-up eksperimen, sehingga diperoleh K = 0.5613.
64
Lampiran 8. Nilai gas entrainment pada setiap laju gas konstan Ug = 0.88 m/s
gas entrainment
0.12 0.1 y = 0.0158x + 0.0082 R2 = 0.9995
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
2
4
6
8
laju cairan (m /s)
Ug = 1.5 m/s Gas Entrainment
0.12 0.1 0.08
y = 0.0157x + 0.009 R2 = 0.9986
0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Ug = 2.1 m/s Gas Entrainment
0.14 0.12 0.1 0.08
y = 0.0172x + 0.0075 R2 = 0.9992
0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Ug = 2.9 m/s
Gas Entrainment
0.14 0.12 0.1 y = 0.018x + 0.0077 R2 = 0.9987
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m/s)
65
Ug = 3.8 m/s Gas Entrainment
0.14 0.12 0.1
y = 0.0179x + 0.0093 R2 = 0.998
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Ug = 4.4 m/s Gas Entrainment
0.14 0.12 0.1
y = 0.0187x + 0.0088 R2 = 0.9976
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Ug = 5.0 m/s Gas Entrainment
0.14 0.12 0.1 y = 0.0196x + 0.0078 R2 = 0.9998
0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Gas Entrainment
Ug = 5.9 m/s 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
y = 0.0204x + 0.0067 R2 = 0.9993
0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
66
Gas Entrainment
Ug = 6.8 m/s 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
y = 0.0209x + 0.0067 R2 = 0.9996
0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
Gas Entrainment
Ug = 7.4 m/s 0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
y = 0.0208x + 0.0075 R2 = 0.9994
0
1
2
3
4
5
6
7
laju cairan (m /s)
67
Lampiran 9. Nilai gas hold- up model dan eksperimen pada setiap laju gas konstan
gas hold-up
Ug = 0.88 m /s 1.15 1.1 1.05 1 0.95 0.9 0.85 0.8 0.75 0.7 0.65 0.6 0.55 0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
0
2
4 laju cairan (m /s)
6
8
Ug = 1.5 m /s
gas hold-up
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
6
8
6
8
6
8
Ug = 2.1 m /s
gas hold-up
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
Ug = 2.9 m /s
gas hold-up
0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
68
Ug = 3.8 m /s
gas hold-up
0.4 0.3 0.2 0.1 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
6
8
6
8
6
8
Ug = 4.4 m /s
gas hold-up
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
Ug = 5.0 m /s
gas hold-up
0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
69
Ug = 5.9 m /s
gas hold-up
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
6
8
6
8
6
8
Ug = 6.8 m /s
gas hold-up
0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
gas hold-up
Ug = 7.4 m /s 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0 0
2
4 laju cairan (m /s)
70