HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI, ASUPAN LEMAK DAN NATRIUM DENGAN STATUS GIZI DI POSYANDU LANSIA, GONILAN, KARTASURA, SUKOHARJO
NASKAH PUBLIKASI
Disusun oleh : HEMA NUR ALIFAH SEPTIANA J 300 120 019
PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG HIPERTENSI, ASUPAN LEMAK DAN NATRIUM DENGAN STATUS GIZI DI POSYANDU LANSIA, GONILAN, KARTASURA, SUKOHARJO Oleh: Hema Nur Alifah Septiana *, Mutalazimah **, Luluk Ria Rakhma *** *Mahasiswa DIII Prodi Ilmu Gizi FIK UMS, **Dosen Prodi Ilmu Gizi FIK UMS, ***Dosen Prodi Ilmu Gizi FIK UMS *Email:
[email protected]
ABSTRACT
RELATED KNOWLEDGE OF HYPERTENSION, FAT AND SODIUM INTAKE WITH NUTRITIONAL STATUS IN ELDERLY INTEGRATED SERVICE POST, GONILAN, KARTOSURO Introduction: The elderly is very important and needs serious attention. If at this age the nutritional status of the elderly are not considered properly, then the future may lead to a disruption of nutritional status. Factors that affect the nutritional status there are two factors of indirect and direct factors. Indirect factors including poverty, education, and knowledge which affect the availability of food and health services. Direct factors include infection and food intake. Objective: To determine the relationship of knowledge about hypertension, fat and sodium intake and nutritional status in elderly integrated service post, gonilan, Kartosuro. Method: The study was descriptive observational cross-sectional method. Hypertension knowledge of the data obtained from interviews using questionnaires. Weight data obtained by measuring the weight using scales stampede to the nearest 0.1 kg. Height data obtained directly by measuring the height using microtoise to the nearest 0.1 cm. Data intake levels of fat and sodium intake obtained directly via the form recall 24 hours ago. Data obtained through the formula nutritional status body mass index (BMI). To examine the relationship between variables used Spearman Rank test and Pearson Product Moment, the hypothesis was accepted if p <0.05. Results: The statistical test of Rank Spearman correlation between knowledge about hypertension and nutritional status showed ap value of 0.259 (p> 0.05). Statistical test Pearson product moment correlation between fat intake and nutritional status showed ap value of 0755 (p> 0.05). Rank Spearman statistical test of the relationship between sodium intake and nutritional status showed ap value of 0.399 (p> 0.05). Conclusion: There is no correlation between knowledge of hypertension, fat and sodium intake and nutritional status of elderly village diposyandu Gonilan, Kartosuro Keywords: Knowledge of hypertension, fat intake, sodium intake, nutritional status. Bibliography: 1997-2010.
PENDAHULUAN Lansia adalah proses menjadi lebih tua dengan umur mencapai 55 tahun keatas. Pada lansia akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial. Salah satu contoh kemunduran fisik pada lansia adalah rentannya lansia terhadap penyakit, khususnya penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang umumnya di derita lansia salah satunya adalah hipertensi (Nugroho, 2008). Hipertensi atau tekanan darah tinggi, kadang-kadang disebut juga dengan hipertensi arteri, adalah kondisi medis kronis dengan tekanan darah di arteri meningkat. Peningkatan ini menyebabkan jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk mengedarkan darah melalui pembuluh darah. Tekanan darah melibatkan dua pengukuran, sistolik dan diastolic, tergantung apakah otot jantung berkontraksi (systole) atau berelaksasi di antara denyut (diastole). Tekanan darah normal pada saat istirahat adalah kisaran sistolik 100-140 mmHg dan diastolik 60-90 mmHg. Tekanan darah tinggi terjadi bila terus-menerus berada pada 140/90 mmHg atau lebih (Bustan, 2000). Tekanan darah tinggi dianggap sebagai faktor resiko utama bagi berkembangnya penyakit Jantung dan berbagai penyakit vaskuler pada orang yang telah lanjut usia, hal ini disebabkan ketegangan yang lebih tinggi dalam arteri sehingga menyebabkan hipertensi. Faktor penyebab terjadinya hipertensi dibagi menjadi 2 yaitu hipertensi esensial/primer: hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya dan ada kemungkinan karena faktor keturunan atau genetik dan
hipertensi sekunder: hipertensi yang merupakan akibat dari adanya penyakit lain (Adib, 2009). Berdasarkan prevalensi kasus hipertensi di Provinsi Jawa Tengah mengalami penurunan pada tahun 2011 dari 6,3 % menjadi 5,4 % pada tahun 2012. Prevalensi tertinggi adalah di Kabupaten Sukoharjo sebesar 15%. Sedangkan kasus hipertensi lain di Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 0,70%, mengalami penurunan bila dibandingkan prevalensi tahun 2011 sebesar 0,80% (Dinkes, 2012). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2012, kasus hipertensi di seluruh Kabupaten Sukoharjo ditemukan sebanyak 17.920 penderita, dan pada tahun 2013 data Dinas Kesehatan Sukoharjo ,menunjukkan 19.920 penderita hipertensi di seluruh Kabupaten Sukoharjo, kemudian berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Sukoharjo bahwa angka hipertensi di Puskesmas Kartasura pada tahun 2013 menduduki peringkat ke-2 dari 12 Puskesmas se-Kabupaten Sukoharjo yaitu sebesar 6619 kasus setelah Puskesmas Sukoharjo sebanyak 6771 kasus (Dinkes Sukoharjo, 2013). Faktor-faktor yang merupakan risiko hipertensi adalah umur semakin tua, riwayat keluarga dengan hipertensi, kebiasaan mengkonsumsi makanan asin, tidak biasa olahraga, obesitas, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kebiasaan minum minuman beralkohol dan stress kejiwaan (Elsanti, 2009). Lansia sering terkena hipertensi disebabkan oleh kekakuan pada arteri sehingga tekanan darah cenderung meningkat. Selain itu kebanyakan
lansia dalam pola makannya masih salah karena masih banyak lansia yang suka mengkonsumsi makanan yang asin terutama makanan yang mengandung lemak jenuh serta garam kadar tinggi. Kandungan natrium dalam garam yang berlebihan dapat menahan air retensi sehingga meningkatnya jumlah volume darah yang dapat menyebabkan hipertensi (Yekti, 2011). TINJAUAN PUSTAKA Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2010). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan Menurut Mubarak (2007), ada tujuh faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu: a. Pendidikan Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang dimilikinya. Sebaliknya, jika seseorang tingkat pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap penerimaan informasi dan nilai-nilai baru diperkenalkan.
b.
c.
d.
e.
Pekerjaan Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Umur Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek psikis dan psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis beras ada empat kategori perubahan, yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama dan timbulnya ciri-ciri baru. Ini terjadi akibat pematangan fungsi organ. Pada aspek psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan dewasa. Minat Sebagai suatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadi seseorang untuk mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan yang lebih dalam. Pengalaman Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Ada kecenderungan pengalaman yang baik seseorang akan berusaha untuk melupakan, namun jika pengalaman terhadap objek tersebut menyenangkan maka secara psikologis akan timbul kesan yang membekas emosi
sehingga menimbulkan sikap positif. f. Kebudayaan Kebudayaan lingkungan sekitar, apabila dalam suatu wilayah mempunyai budaya untuk menjaga kebersihan lingkungan maka sangat mungkin masyarakat sekitarnya mempunyai sikap untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan. g. Informasi Kemudahan memperoleh informasi dapat membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu penyakit degenerative yang banyak terjadi dan yang mempunyai tingkat mortalitas yang cukup tinggi serta mempengaruhi kualitas hidup dan produktifitas seseorang. Hipertensi sering diberi gelar the silent killer karena penyakit ini merupakan pembunuh tersembunyi. Tekanan darah sistolik (TDS) > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) > 90 mmHg (Kuswardani, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada usia lanjut menurut Darmojo (2006), adalah : a. Penurunannya kadar rennin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua. Hal ini menyebabkan suatu sirkulus vitiosus: hipertensi glomerelosklerosis-hipertensi yang berlangsung terus-menerus. b. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.
c.
d.
Dengan bertambahnya usia semakin sensitive terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang mengakibatkan hipertensi sistolik. Perubahan ateromatous akibat proses menua menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan resorbi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer dan keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah.
Menurut Elsanti (2009), faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol, antara lain: a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol: 1) Jenis kelamin Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria dan wanita sama. Namun wanita terlindungi dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak terjadi pada wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah menopause (Marliani, 2007). 2) Umur
b.
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang yang umurnya lebih tua kemungkinan mempunyai resiko tekanan darah tinggi daripada orang yang berusia lebih muda. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun., karena itu dosis obat yang diberikan harus benarbenar tepat. 3) Keturunan (Genetik) Faktor genetik dapat menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium individu dengan orang tua. Seseorang akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita hipertensi (Marliani, 2007). Faktor resiko yang dapat dikontrol 1) Obesitas Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti arthritis, jantung dan pembuluh darah, dan hipertensi (Rohendi, 2008). Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Penderita obesitas memiliki resiko lebih terkena hipertensi dibandingkan dengan
2)
3)
4)
seorang yang berat badannya normal. Penderita hipertensi yang memiliki berat badan lebih sekitar 20-30%. Kurang olahraga Kurangnya aktivitas fisik dapat menaikan resiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya resiko untuk menjadi gemuk. Orang yang kurang melakukan aktivitas cenderung mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar pila kelakuan yang mendesak arteri (Rohaendi, 2008). Kebiasaan Merokok Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus teliti dan dalam median waktu 9,8 tahun (Rahyani, 2007). Mengkonsumsi garam berlebih Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang
5)
6)
7)
dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasiakn adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang berlebih dapat memberikan pengaruh buruk pada tubuh yaitu dapat menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut dapat menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga dapat berdampak kepada timbulnya penyakit hipertensi (Hans Petter, 2008). Minum alkohol Alkohol dapat merusak jantung dan organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Seeorang yang mempunyai kebiasaan minum alkohol berlebih merupakan salah satu faktor resiko penyakit hipertensi (Marliani, 2007). Minum kopi Seorang yang mempunyai kebiasaan minum kopi yang didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung 75 – 200 mg kafein, dimana dalam satu cangkir kopi tersebut berpotensi dapat meningkatkan tekanan darah 5-10 mmHg. Stress Menurut Anggraini (2009) mengatakan stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung
sehingga akan mensimulasi aktivitas saraf simpatis. Hubungan stress dengan hipertensi yaitu melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Lemak Lemak merupakan simpanan energi bagi manusia. Lemak dalam bahan makanan berfungsi sebagai sumber energi, menghambat protein dan thiamin, membuat rasa kenyang lebih lama (karena proses pencernaan lemak lebih lama), pemberi cita rasa dan keharuman yang lebih baik. Fungsi lemak dalam tubuh asam lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, K, sebagai prekusor dari prostaglandin yang berperan mengatur tekanan darah, denut jantung dan lipofisis (Yuniastuti, 2007). Konsumsi tinggi lemak dapat menyebabkan tekanan darah meningkat. Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh. Timbunan lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada pembuluh darah yang lama-kelamaan akan terbentuk plaque. Terbentuknya plaque dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pembuluh darah yang terkena aterosklerosis akan berkurang elastisitasnya dan aliran darah ke seluruh tubuh akan terganggu serta dapat memicu meningkatnya volume darah dan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah tersebut dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi (Jansen, 2006).
Natrium Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler tubuh yang mempunyai fungsi menjaga keseimbangan cairan dan asam basa tubuh, serta berperan dalam transmisi syaraf dan kontraksi otot (Almatsier, 2004). Pengaruh asupan garam (natrium) terdapat timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya, cairan intraseluler ditarik keluar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah. Di samping itu, konsumsi garam dalam jumlah yang tinggi dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang yang semakin sempit dan akibatnya adalah hipertensi (Anggraini, 2008). Status Gizi Pengertian status gizi menurut (Almatsier, 2009) adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, yang dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Menurut (Proverawati, 2010) Pengukuran status gizi seseorang dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan langsung antara lain: a. Antropometri : secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan
dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air dalam tubuh. b. Klinis : pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilaistatus gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahanperubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosaoral atau pada organorgan yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salahsatu atau lebih zat gizi. Disamping itu, digunakan untuk mengetahui tingkat gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan gejala (symptom) atau riwayat penyakit. c. Biokimia : penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot. d. Biofisik : penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi dibagi menjadi 2 yaitu faktor langsung dan faktor tidak langsung: 1. Faktor langsung a. Infeksi Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanismenya, yang paling penting adalah efek langsung dari infeksi sistemik pada katabolisme jaringan. Infeksi ringanpun bisa menimbulkan hilangnya nitrogen (Suhardjo, 2003). b. Asupan makan Asupan makan merupakan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi oleh seseorang. Asupan makan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu (Khomson, 2004). 2. Faktor tidak langsung a. Tingkat pendidikan Pandangan dan kepercayaan seseorang, termasuk juga pengetahuan tentang gizi harus dipertimbangkan sebagai bagian dari berbagai penyebab yang berpengaruh terhadap konsumsi. Dengan pendidikan dapat ditingkatkan konsumsi pangan dan keadaan gizi (Suhardjo, 2003). b. Pengetahuan gizi Pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi dalam kehidupan seharihari merupakan salah satu penyebab masalah kurang gizi (Suhardjo, 2003). e. Pendapatan Keluarga Pendapatan keluarga sangat
berpengaruh dalam menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan (Moehyi, 2002). f. Sosial budaya Unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduknya yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi (Suhardjo, 2003). Pengetahuan Tentang Hipertensi, Asupan Lemak dan Natrium terhadap Status Gizi Status gizi dapat diketahui melalui beberbagai faktor yaitu: 1. Metabolisme tubuh 2. Asupan makanan 3. Tingkat pendidikan/pengetahuan 4. Pendapatan keluarga 5. Sosial budaya (Suhardjo, 2003). Hipotesis 1. Ada hubungan antara pengetahuan tentang Hipertensi, asupan lemak dan natrium dengan status gizi. 2. Tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang Hipertensi, asupan lemak dan natrium dengan status gizi METODE PENELETIAN Penelitian ini menggunakan penelitian observasional pendekatan cross sectional, dalam penelitian ini dilakukan survei terhadap pengetahuan tentang hipertensi, asupan lemak dan natrium yang dikonsumsi pada lansia, dimana pengambilan datanya di lakukan dalam satu lokasi dan waktu yang sama.
Tempat penelitian dilakukan di Posyandu Lansia, Gonilan,
Kartasura,
Sukoharjo
karena banyak dikalangan lansia yang menderita hipertensi. Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang ada di Posyandu Lansia, Gonilan, Kartasura yang berjumlah 60 orang. Dalam penelitian ini untuk mengetahui sampel yang akan digunakan menggunakan rumus menurut Notoatmodjo (2002), sebagai berikut: Keterangan: n : besar sampel d : Tingkat kepercayaan atau ketepatan yang digunakan yaitu 10% N : Jumlah populasi lansia Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut: 60 1
60 0,1 60
2
1
60 0,1
2
60 1,6 = 37,5 dibulatkan menjadi 38 ditambahkan 10% = 38 + (10% x 38) = 38 + 3,8 = 38 + 4 = 42 Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan tehnik simple random sampling atau pengambilan sampel secara acak. Dikatakan simple atau sederhana dikarenakan pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada pada populasi tersebut. Pengumpulan Data a. Data primer 1) Data pengetahuan lansia tentang Hipertensi yang diperoleh langsung dengan cara wawancara menggunakan kuesioner.
2) Data berat badan yang diperoleh langsung dengan cara mengukur berat badan menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg. 3) Data tinggi badan yang diperoleh langsung dengan cara megukur tinggi badan lansia menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. 4) Data tingkat asupan lemak dan asupan natrium diperoleh langsung melalui form recall 24 jam yang lalu. b. Data sekunder Data sekunder adalah data identitas lansia yang meliputi nama lansia, alamat, umur, jenis kelamin, tanggal lahir. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Gonilan Kecamatan Kartasura terdapat 7 (tujuh) Posyandu lansia. Jumlah lansia dari 7 posyandu lansia yang berada di Desa Gonilan terdapat 397 orang. Lokasi posyandu lansia terdapat di beberapa daerah di desa Gonilan dan letak posyandu itu sudah mewakili sebagai suatu sarana pelayanan kesehatan terhadap lansia ditingkat desa atau kelurahan, yang bertujuan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan lansia. Letak posyandu lansia yang tidak jauh itu membuat lansia yang tidak mengalami kendala dalam letak geografis. Sarana dan prasarana yang terdapat pada posyandu lansia di Desa Gonilan cukup lengkap , seperti alat pengukuran tekanan darah, halaman yang cukup luas, serta adanya petugas kesehatan yang membantu pelaksaan kegiatan posyandu lansia dapat mendukung diadakannya posyandu lansia di daerah Gonilan. Keberadaan sarana dan prasarana tersebut menjadi daya tarik bagi lansia untuk
menghadiri kegiatan posyandu 1. Distribusi Subjek Berdasarkan Umur
No
Kategori Umur
1 2
50-64 >65
lansia.
Tabel 4 Distribusi Umur Lansia Frekuensi (n) 35 7
Jumlah
Berdasarkan tabel 4 diatas, usia lansia terbanyak dalam penelitian ini yaitu kategori usia pralansia (middle age) sebesar 83,3%.
42
Persentase (%) 83.3 16.7 100
Rata-rata umur pralansia pada penelitian ini yaitu 57,98 tahun, sedangkan umur minimal subyek penelitian adalah 50 tahun dan umur maksimal 73 tahun
2. Distribusi Jenis Kelamin
No 1 2
Tabel 5 Distribusi Jenis Kelamin Lansia Frekuensi Kategori Jenis Kelamin (n) Laki-Laki 10 Perempuan 32 Jumlah
Berdasarkan Tabel 5 diatas, dari 42 responden sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan yaitu 32 responden sebesar 76,2%. 3. Distribusi Berat Badan
Variabel Berat Badan (Kg)
23.8 76.2 42 100 Sedangkan sisanya berjenis kelamin laki-laki yaitu 10 responden sebesar 23,8%.
Tabel 6 Distribusi Berat Badan Lansia Minimum Maksimum 39 73
Data berat badan diperoleh dengan cara mengukur berat badan responden menggunakan timbangan injak dengan ketelitian 0,1 kg. Cara pengukuran berat badan responden tidak boleh menggunakan atribut lain, alas kaki yang dapat mempengaruhi penimbangan. 4. Distribusi Tinggi Badan
Persentase (%)
Rerata 55,6
Berdasarkan data pada tabel 6 diatas, berat badan minimal 39 Kg dan berat badan maksimal 73 kg. Sedangkan rata-rata berat badan subyek penelitian adalah 55,6 kg
Tabel 7 Distribusi Tinggi Badan Lansia Variabel Minimum Maksimum Tinggi Badan (cm) 140 167
Rerata 158
menempel dinding. Lalu microtoic Data berat badan diperoleh ditarik sampai menyentuh kepala. dengan cara mengukur tinggi badan kemudian dibaca hasilnya. responden menggunakan microtoic Berdasarkan tabel 7 diatas, dengan ketelitian 0,1 cm. Cara tinggi badan minimal responden 140 pengukuran tinggi badan: microtoise cm dan tinggi badan maksimal 167 ditempel di dinding dengan cm. Sedangkan rata – rata tinggi ketinggian 2 meter dari permukaan badan subyek penelitian adalah 158 tanah. Kemudian, responden berdiri cm. tepat di bawah microtoic dengan posisi badan tegap dan tumit 5. Status Gizi Berdasarkan Indek Masa Tubuh (IMT) Tabel 8 Distribusi Status Gizi Lansia Frekuensi No Kategori Status Gizi (n) 1 kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat 2 kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat 3 Normal 35 4 Gemuk dengan kelebihan berat 4 badan tingkat ringan 5 Gemuk dengan kelebihan berat 3 badan tingkat berat Jumlah 42
Berdasarkan Tabel 8 diatas, klasifikasi status gizi berdasarkan IMT, subyek penelitian yang mengalami kegemukan dengan
Persentase (%) 83 10 7 100
sebanyak 7%, kegemukan dengan kelebihan berat badan tingkat ringan
sebanyak 10%, sebanyak 83%.
dan
normal
kelebihan berat badan tingkat berat
6.
Disribusi Tingkat Asupan Lemak
No 1 2 3
Tabel 9 Distribusi Asupan Lemak Lansia Frekuensi Kategori Asupan Lemak (n) Defisit 4 Normal 16 Kelebihan 22 Jumlah
Berdasarkan Tabel 9 diatas, asupan lemak subyek penelitian sebanyak 9,5% defisit, 38,1% normal, dan 52,4% kelebihan.
42
Persentase (%) 9.5 38.1 52.4 100
Asupan lemak responden tertinggi yaitu mengalami kelebihan sebanyak 52,4%.
7. Distribusi Tingkat Asupan Natrium
No 1 2 3
Tabel 10 Distribusi Asupan Natrium Lansia Frekuensi Kategori Asupan Natrium (n) Defisit 42 Normal 0 Kelebihan 0 Jumlah
Persentase (%) 100.0 0.0 0.0
42
Pada distribusi asupan natrium lansia diperoleh frekuensi bahwa kategori asupan natrium
100
mengalami defisit yaitu dengan persentase 100% dengan jumlah frekuensi 42.
8. Distribusi Pengetahuan tentang Hipertensi
No 1 2 3
Tabel 11 Distribusi Pengetahuan tentang Hipertensi Frekuensi Persentase Kategori Asupan Natrium (n) (%) Baik 10 23.8 Cukup 16 38.1 Kurang 16 38.1 Jumlah
42
Pada distribusi asupan natrium lansia diperoleh frekuensi bahwa kategori asupan natrium
100
mengalami defisit yaitu dengan persentase 100% dengan jumlah frekuensi 42.
9. Hubungan Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Status Gizi Tabel 12 Hubungan Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Status Gizi Kurang N %
Status Gizi Normal Obesitas N % N %
N
%
Kurang
0
0.0
6
75.0
2
25.0
8
100
Cukup
0
0.0
15
83.3
3
16.7
18
100
Baik
0
0.0
14
87.5
2
12.5
16
100
Kategori Tingkat Pengetahuan
*)Uji Korelasi Rank Spearman Pada tabel 12, berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari 42 responden, kategori tingkat pengetahuan tentang hipertensi
Jumlah
P
0.259*
kurang yang status gizinya normal yaitu 6 responden (75,0%) dan kategori tingkat pengetahuan tentang hipertensi kurang yang
status gizinya obesitas yaitu 2 responden (25,0%). Responden yang mempunyai pengetahuan gizi cukup yang status gizinya normal yaitu 15 responden (83,3%) dan responden yang mempunyai pengetahuan cukup yang status gizinya obesitas yaitu 3 responden (16,7%). Sedangkan responden yang mempunyai pengetahuan gizi baik yang status gizinya normal yaitu 14 responden (87,5%) dan responden yang mempunyai pengetahuan baik yang status gizinya obesitas yaitu 2 responden (12,5%). Hasil uji statistik Rank Spearman diperoleh nilai p sebesar 0.259 (p>0.05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada hubungan antara Pengetahuan tentang Hipertensi dengan Status Gizi. Penyebab tidak adanya hubungan antara pengetahuan dengan status gizi adalah karena pengetahuan tentang hipertensi hanya memberi pengaruh secara tidak langsung terhadap status gizi, sedangkan pengetahuan gizi itulah yang menjadi pokok masalah dari permasalahan gizi. Di antara penyebab langsung dan pokok masalah ada penyebab tidak langsung yaitu persediaan makanan di rumah, perawatan anak dan ibu hamil dan pelayanan kesehatan. Pokok masalah selain dari pengetahuan juga terdiri dari pendidikan, kemiskinan dan keterampilan dimana akar masalahnya adalah krisis ekonomi langsung (Supariasa, 2012). Asupan makanan mempunyai hubungan langsung dengan status gizi. Hubungan asupan makanan dengan status gizi didukung oleh Simatupang (2008), bahwa besarnya asupan lemak, asupan energi dan asupan protein berpengaruh signifikan dengan kejadian obesitas.
Selain dari faktor-faktor di atas masih ada beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah aktivitas fisik, gaya hidup dan status sosial ekonomi. Aktivitas fisik merupakan faktor lain mempengaruhi status gizi. Menurut Simatupang (2008), bahwa aktivitas fisik mempunyai pengaruh terhadap kejadian obesitas. Semakin sedikit penggunaan waktu lansia untuk melakukan aktivitas sedang dan berat, maka peluang terjadinya obesitas semakin besar. Semakin banyak aktivitas maka semakin banyak kalori yang digunakan sehingga tubuh menjadi ideal atau justru lebih kurus, tetapi apabila kurang beraktivitas tubuh akan cenderung menyimpan kelebihan kalori sehingga terjadi kelebihan berat badan. Faktor lain yang mempengaruhi status gizi adalah gaya hidup. Menurut Polli (2003), terdapat kecenderungan semakin sering merokok dan semakin banyak jumlah rokok yang dihisap maka semakin buruk status gizinya. Merokok dapat mengurangi selera makan dan mereka merasa kenyang dan puas setelah merokok. Hal ini menyebabkan mereka lebih memilih untuk membelanjakan uang sakunya untuk rokok dari pada makanan. Apabila kondisi ini berlangsung dalam waktu yang lama maka dapat berbahaya bagi kesehatan sendiri dan bahaya terhadap kesehatan dapat dilihat dari status gizi. Hal ini diperkuat oleh Peltzer (2011), terdapat hubungan yang signifikan antara merokok dengan overweight . Keterkaitan status sosial ekonomi dengan status gizi didukung oleh Ozguven (2010), bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan status sosial ekonomi. Pada lansia yang mempunyai status sosial ekonomi
rendah lebih pendek dan lebih kurus dari pada lansia yang mempunyai status soaial ekonomi sedang dan tinggi. Kelemahan penelitian ini ada dua hal yaitu, yang pertama adalah masih banyaknya faktor perancu yang belum dikendalikan di dalam penelitian ini. Yang kedua adalah faktor penelitian yaitu selama penelitian masih ada responden yang dalam mengerjakan kuesioner saling contekan, kemungkinan
terjadi human error saat melakukan penimbangan dan masih sangat kurangnya jumlah sampel yang dilakukan dalam penelitian serta pemilihan sampel yang kurang merata. Sehingga dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang gizi dengan status gizi di Posyandu Lansia, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo.
10. Hubungan Asupan Lemak dengan Status Gizi Tabel 13 Hubungan Asupan Lemak dengan Status Gizi Kurang N %
Status Gizi Normal Obesitas N % N %
Defisit
0
0.0
19
86.4
3 13.6 22
100
Normal
0
0.0
12
75.0
4 25.0 16
100
Kelebihan
0
0.0
4
100.0
0
100
Kategori Asupan Lemak
*)Uji Korelasi Pearson's R Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari 42 responden, kategori asupan lemak defisit yang status gizinya normal yaitu 19 responden (86,4%) dan kategori asupan lemak defisit yang status gizinya obesitas yaitu 3 responden (13,6%). Responden yang mempunyai asupan lemak normal yang status gizinya normal yaitu 12 responden (75,0%) dan responden yang mempunyai asupan lemak normal yang status gizinya obesitas yaitu 4 responden (25,0%). Sedangkan responden yang mempunyai asupan lemak berlebihan yang status gizinya normal yaitu 4 responden (100%). Hasil uji statistik Pearson Product Moment diperoleh nilai p sebesar 0.775 (p>0.05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada
0.0
Jumlah N
4
P
%
0.775*
hubungan antara Asupan Lemak dengan Status Gizi. Tidak adanya hubungan antara Asupan Lemak dengan Status Gizi di Posyandu Lansia, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo adalah karena aktivitas fisik masyarakat desa Gonilan terbilang cukup aktif. Menurut Simatupang (2008), bahwa aktivitas fisik mempunyai pengaruh terhadap kejadian obesitas. Semakin sedikit penggunaan waktu lansia untuk melakukan aktivitas sedang dan berat, maka peluang terjadinya obesitas semakin besar. Semakin banyak aktivitas maka semakin banyak kalori yang digunakan sehingga tubuh menjadi ideal atau justru lebih kurus, tetapi apabila kurang beraktivitas tubuh akan cenderung menyimpan kelebihan
kalori sehingga terjadi kelebihan berat badan. Asupan lemak lebih banyak hubungannya dengan kejadian hipertensi. Konsumsi lemak yang berlebihan akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah terutama kolesterol LDL dan akan tertimbun dalam tubuh. Timbunan lemak yang disebabkan oleh kolesterol akan menempel pada pembuluh darah yang lama-kelaman akan terbentuk
plaque. Terbentuknya plaque dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah atau aterosklerosis. Pembuluh darah yang terkena aterosklerosis akan berkurang elastisitasnya dan aliran darah ke seluruh tubuh akan terganggu serta dapat memicu meningkatnya volume darah dan tekanan darah. Meningkatnya tekanan darah tersebut dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi (Jansen, 2006).
11. Hubungan Asupan Natrium dengan Status Gizi Tabel 14 Hubungan Asupan Natrium dengan Status Gizi Kurang N %
Status Gizi Normal Obesitas N % N %
N
%
Defisit
0
0.0
35
83.3 7
16.7
42
100
Normal
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0
Kelebihan
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0
Kategori Asupan Lemak
*)Uji Korelasi Rank Spearman Pada tabel 14, berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari 42 responden, kategori asupan natrium defisit yang status gizinya normal yaitu 35 responden (83,3%), sedangkan kategori asupan natrium defisit yang status gizinya obesitas yaitu 7 responden (16,7%). Hasil uji statistik Rank Spearman diperoleh nilai p sebesar 0,399 (p>0,05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada hubungan antara Asupan Natrium dengan Status Gizi. Tidak adanya hubungan antara Asupan Natrium dengan Status Gizi di Posyandu Lansia, Gonilan, Kartasura, Sukoharjo, mengingat bahwa asupan natrium tidak begitu mempengaruhi atau berhubungan dengan status gizi karena pokok masalah dari permasalahan gizi itu sendiri adalah
Jumlah
P
0.399*
pengetahuan, gaya hidup, pola makan dan pemenuhan gizi setiap harinya, bukan mutlak disebabkan oleh asupan natrium. Asupan makanan mempunyai hubungan langsung dengan status gizi. Hubungan asupan makanan dengan status gizi didukung oleh Simatupang (2008). Berdasarkan kuisioner data recall diketahui pula bahwa sebagian besar subjek ternyata memiliki kebiasaan untuk mengkonsumsi sayuran dan buah – buahan segar yang merupakan sumber bahan makanan tinggi kalium. Subjek yang memiliki asupan kalium maka akan memiliki asupan natrium yang cukup. Kalium sebagai salah satu mineral yang menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit mempunyai efek natriuretik dan
diuretik yang meningkatkan pengeluaran natrium dan cairan dari dalam tubuh. Asupan natrium lebih erat hubungannya dengan kejadian hipertensi yang banyak ditemukan pada masyarakat yang mengkonsumsi natrium dalam jumlah besar. Tekanan darah tinggi terjadi bukan hanya karena asupan natrium yang tinggi pada saat ini melainkan manifestasi dari asupan natrium dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada lansia mungkin terjadi akibat kebiasaan yang sudah lama dilakukan oleh subjek untuk mengkonsumsi makanan tinggi natrium dan didukung oleh faktor – faktor lain yang dapat mempengaruhi tekanan darah (Krummel, 2004). Mekanisme yang mendasari sensitivitas natrium pada penderita hipertensi mungkin disebabkan karena ketidakmampuan ginjal untuk mengekskresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal dan sekresi aldosteron yang abnormal. Konsumsi natrium akan mengatur reaksi adrenal dan renal vascular terhadap angiotensin II. Reaksi adrenal akan mengalami peningkatan dan reaksi renal vascular akan mengalami penurunan dengan adanya pembatasan konsumsi natrium (Krummel, 2004). Subjek yang memilki asupan natrium yang tinggi mempunyai risiko lebih besar menderita hipertensi dibandingkan subjek yang memiliki asupan natrium cukup. Pengaruh asupan tinggi natrium terhadap timbulnya hipertensi juga terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah. Kelebihan asupan natrium akan meningkatkan cairan dari sel, dimana air akan bergerak ke arah larutan elektrolit yang mempunyai konsentrasi lebih tinggi. Hal ini
mengakibatkan peningkatan volume plasma darah dan akan meningkatkan curah jantung, sehingga tekanan darah meningkat. Selain itu asupan tinggi natrium dapat mengecilkan diameter arteri, sehingga jantung memompa lebih keras untuk mendorong volume darah yang meningkat melalui ruang sempit (Wilson, 2005).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pengetahuan subyek tentang hipertensi sebanyak 23,8% baik, 38,1% normal, dan 38,1% kurang. 2. Asupan lemak subyek penelitian sebanyak 9,5% defisit, 38,1% normal, dan 52,4% kelebihan. 3. Asupan natrium seluruh subyek penelitian mengalami defisit yaitu dengan persentase 100% dengan jumlah frekuensi 42. 4. Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT, subyek penelitian yang mengalami kegemukan dengan kelebihan berat badan tingkat berat sebanyak 7%, kegemukan dengan kelebihan berat badan tingkat ringan sebanyak 10%, dan normal sebanyak 83%. 5. Hasil uji statistik Rank Spearman diperoleh nilai p sebesar 0.259 (p>0.05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada hubungan antara pengetahuan tentang Hipertensi dengan status gizi. Hasil uji statistik Pearson Product Moment diperoleh nilai p sebesar 0.775 (p>0.05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada hubungan antara asupan lemak dengan status gizi. Hasil uji statistik Rank Spearman diperoleh nilai p
sebesar 0.399 (p>0.05), maka H0 diterima dengan demikian tidak ada hubungan antara asupan natrium dengan status gizi. Saran 1. Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai status gizi dengan metode penelitian lain seperti case-control untuk memperoleh proporsi subjek yang sama antara yang status gizi baik dengan yang buruk dan diharapkan ada penelitian lain yang lebih komprehensif untuk mendalami berbagai faktor yang mempengaruhi status gizi antara lain aktivitas fisik, gaya hidup dan status sosial ekonomi. Selain itu, perlu diadakan penyuluhan terhadap masyarakat khususnya di posyandu lansia desa Gonilan, Kartasura, Sukoharjo mengenai pentingnya pola makan yang sehat dan aktifitas fisik secara teratur terkait dengan status gizi. 2. Sebaiknya dilakukan monitoring status gizi yang telah ada secara teratur. 3. Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang pengetahuan gizi dengan status gizi dengan lebih mempertimbangan faktor-faktor perancu.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. 2004. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier, Sunita. 2009. Penuntun Gizi Diet Edisi Baru: PT. Ikrar Mandiri Abadi.
Arifin,
Augusta. 2005. Obesitas Visceral dan Sindroma Metabolik. Dalam Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Dietetik II. ASDI, Bandung.
Arisman, 2004. Gizi Dalam Daur Hidup. Edisi II. Jakarta: EGC. Depkes RI, 2000. Pedoman Praktis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta. Depkes RI. 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Direktorat Gizi Masyarakat Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat: Jakarta. Fatimah-Muis S, Puruhati N.Gizi Pada Lansia. Dalam: Matono H, Pranaka K. Buku ajar Boedhi-Damojo: geriatric (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2010. Fatmah.
Gizi usia lanjut. 2010. Penerbit Erlangga: Jakarta
Hasan, Mimunah. 2001. Al Qur‘an dan Ilmu Gizi. Madani Pustaka. Yogyakarta. Hardinsyah, Briawan, Retnaningsih dan Herawati. 2004. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. IPB. Khan R, Buse J, Ferrannini E, Stern M. 2005. The Metabolic Syndrome. Time for Critical Appraisal: Join statement
from the American Diabetes Association and The European for the Study Diabetes. Diabetes care 2005. Khomsan A. 2004. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan. PT. Raja Grafinda. Jakarta. Lamarche B, Tchernof A, Mauriege P, Cantin B, Dagenais GR, Lupien PJ, et al. Fasting insulin and apolipoprotein B levels and low-density lipoprotein particle size at risk factors for ischemic heart disease. JAMA 1998;279:1955-61. Martono H. Gangguan kesadaran dan kognitif pada usia lanjut (konfusio akut dan dementia). Dalam: Martono H, Pranaka K. Buku ajar Boedhi-Darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2010. Moehyi,
S. 2002. Pengaturan Makanan dan Diet Untuk Penyembuhan Penyakit. Gramedia. Jakarta.
National Institute of Health: Third Report of the National Cholesterol Education Program Expert on Detection, Evaluation, and Treatmen of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Executive Summary. Bethesda, Md.: National Institutes of Health, National Heart Lung and Blood Institute, 2001 (NIH publication no. 01-3670). Accessed only May 20,
2006, at: http://www.nhlbi.nih.gov/gui delines/cholesterol/index.ht m. Notoatmodjo, 1997, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta. Jakarta Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Nugroho HW. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta: EGC: 2012. Suhardjo, 2003. Berbagai cara pendidikan gizi. Bumi Aksara. Jakarta. Supariasa, I Dewa Nyoman. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Vega GL. Obesity, The Metabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. Am Heart J 2001: 142: 1108-6. Wilkes M.G. 2000. Gizi Pada Kanker dan Infeksi HIV. EGC. Jakarta. Wilson LM. Keseimbangan cairan dan elektrolit serta peniliannya. Dalam : Pendit BU, Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editor bahasa Indonesia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2005; p. 308-18 Yuniastuti, A. 2007. Gizi dan Kesehatan. Semarang: Graha Ilmu.