Hubungan Negara Hukum dan Demokrasi
Pendahuluan Setelah perang dunia II, dapat dikatakan hampir semua negara mengklaim negaranya sebagai negara hukum yang demokratis. Selain itu, kita juga mengenal bahwa corak demokrasi sangat beraneka ragam, diantaranya adalah seperti demokrasi dengan sistem parlementer, demokrasi dengan sistem presidensiil, demokrasi pancasila, demokrasi komunis, dan seterusnya. Diantara sekian banyak aliran pikiran demokrasi, terdapat dua kelompok aliran yang paling penting, yakni demokrasi konstitusional dan kelompok aliran yang menamakan dirinya “demokrasi”, tetapi pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme (Marxisme-Leninisme). Kedua paham ini saling bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lain. Adapun perbedaan fundamental dari keduanya adalah jika demokrasi
konstitusional
mencita-citakan
pemerintahan
yang
terbatas
kekuasaannya, yakni suatu negara hukum (rechtsstaat) yang tunduk pada rule of law, sebaliknya “demokrasi” komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machtsstaat) dan bersifat totaliter.1 Untuk menentukan apakah sebuah negara itu demokratis atau tidak, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Diantaranya adalah adanya proteksi konstitusional terhadap hak warga negara, serta adanya kekuasaan peradilan yang bebas dari campur tangan lembaga dan pihak manapun. Selain itu, mekanisme demokrasi itu sendiri sangat erat hubungannya dengan sistem politik suatu negara2, bahkan para pakar ilmu hukum dan politik mengasumsikan hubungan antara hukum dan politik itu ibarat dua sisi mata uang, yakni saling terkait dan saling berpengaruh satu sama lain, karena hukum dalam arti undang-undang adalah produk politik.3 Soemantri Martosoewigjno mengambarkan hubungan antara hukum dan politik, seperti rel dan lokomotif, di mana hukum diibaratkan sebuah rel, sedangkan kekuasaan itu adalah lokomotifnya, sehingga sudah sewajarnya apabila 1 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 5152. 2 Lihat Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitrii Budi Utami, Bandung, hlm 67. Dan lihat juga Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm 10. 3 Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, hlm 2.
1
kekuasaan itu selalu berjalan di atas rel hukum, dan dapat dibayangkan bagaimana jika kekuasaan itu berjalan di luar rel yang telah disediakan. Hukum itu sendiri merupakan norma sekaligus seperangkat aturan untuk menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban manusia. Selain itu, hukum juga dijadikan sebagai rambu pembatas bagi kekuasaan (politik) agar kekuasaan yang dipergunakan tidak bersalahguna, tanpa batas dan sewenang-wenang. Karena begitu eratnya hubungan antara hukum dengan kekuasaan, Prof. Mochtar Kusumaatmadja mendiskripsikan hubungan antara keduanya dengan “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.4 Batasan Negara Hukum Kendatipun cita-cita Negara Hukum telah muncul sejak abad ke XVII di negara Barat, namun istilah Negara Hukum itu sendiri baru mengemuka pada abad ke-19. Sebelum kita berbicara mengenai Negara Hukum, terlebih dahulu disinggung apa yang dimaksud dengan “Negara” dan “Hukum” itu sendiri. Walau tak seorangpun yang sanggup memberikan definisi yang memuaskan mengenai hukum5 tetapi orang mengerti apa yang dimaksud oleh istilah tersebut. Secara sederhana, yang dimaksud dengan “Hukum” dapat dirumuskan sebagai seperangkat aturan tingkah laku yang dapat tertulis dan dapat pula tidak tertulis dan dapat dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privat. 6 Demikian pula halnya dengan “Negara” yang pengertiannya lebih kompleks dibanding “Hukum” karena negara itu merupakan fenomena dengan banyak segi: yuridis, historis, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan mengenyampingkan definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa dalam suatu Negara Hukum terdapat pembatasan kekuasaan. Negara tidak maha kuasa, negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang.7 Sejak zaman Aristoteles orang telah mencari arti hakiki dari negara hukum. Aristoteles memberi arti kepada negara hukum dengan mengaitkannya kepada “polis” yakni suatu wilayah 4 Lili Rasyidi, Teori dan dasar-dasar Filsafat hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung hlm. 75. 5 Seperti yang pernah dikatakan oleh Immanuel Kant, lebih dari seratus tahun yang lalu, tapi masih berlaku hingga kini “Noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”. 6 Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm.33 7 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm 3.
2
kecil seperti kota yang berpenduduk sedikit dimana semua urusan negara dilaksanakan dengan dasar musyawarah. Menurut pemikiran Aristoteles bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur dari pemerintah berkonstitusi, yakni: 1. pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; 2. pemerintahan dilaksanakan menurut hukum berdasarkan ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengenyampingkan konvensi dan konstitusi; 3. pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan8. Perlawanan terhadap absolutisme yang melahirkan raja-raja serta memiliki kekuasaan mutlak pada abad pertengahan, akhirnya bermuara pada munculnya gagasan negara hukum. Perlawanan terhadap obsolutisme itu tertuju pada; a. Manusia harus dianggap sebagai subjek yang mempunyai nilai dan lingkungan hak-hak tersendiri yang harus diakui oleh negara; b. Kekuasaan raja harus terbatas, karena tidak boleh mutlak karena kekuasaan yang mutlak hanya akan menimbulkan kesewenang-wenangan terhadap warga negara. Kedua unsur tersebut dirumuskan dalam suatu piagam, yaitu hak-hak asasi manusia dan kekuasaan raja yang terbatas dan diatur oleh hukum konstitusi. Dengan timbulnya konstitusi pertama itu, timbul pula gagasan Negara Hukum.9 Pengertian negara hukum dapat kita pertentangkan dengan negara kekuasaan yang memiliki ciri: 1. outoritarisme, yakni suatu paham yang menolak pertanggungjawaban pemerintahan kepada rakyat, kalaupun pertanggung-jawaban dilakukan sifatnya hanyalah semu, karena rakyat takut mengeluarkan pendapat dan tidak ada kebebasan. 2. Totalitarisme, yakni suatu paham kekuasaan yang ingin menguasai seluruh (total) kehidupan manusia dalam masyarakat dan kebudayaa, sehingga tidak ada kebebasan pribadi bagi setiap warga negara. Dalam totalitarisme ini manusia untuk negara bukan negara melayani manusia.10 8 Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri Budi Utami, Bandung, hlm. 25. 9 O. Notohamidjojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hlm. 20. 10 Ibid., hlm. 20.
3
Seorang sarjana Jerman FJ.Stahl pada tahun 1978 memperkenalkan konsep negara hukum dalam arti luas dengan ciri-ciri sebagai berikut: a. Negara hukum itu bukan hanya negara yang mempertahankan tata hukum; b. Negara hukum itu bukan hanya melindungi hak-hak asasi manusia secara statis; c. Negara hukum mempunyai cara dan watak yang dinamis yang mengatur jalan dan batas-batas kegiatannya; d. Dinamika dan kegiatan mengarah kepada tujuan tertentu, yaitu menetapkan
secermat-cermatnya
dan
menjamin
sekuat-kuatnya
lingkungan kebebasan warga negara menurut cara hukum; e. Tugas kesusilan negara hukum tidak boleh bersifat campur tangan secara etika, secara akhlak dalam suasana hak dan kebebasan warga negara11. Berdasarkan ciri-ciri konsep negara hukum dari F.J Stahl tersebut, dapat disimpulkan bahwa negara hukum konsep Stahl adalah sebagai berikut: 1. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia; 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu (Trias Politika); 3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan; 4. Adanya peradilan administrasi negara dalam perselisihan12. Memasuki abad ke XX konsep Negara Hukum mengalami perkembangan karena terus memperoleh perhatian dari para pemikir yang menginginkan kehidupan yang lebih demokratis. Diantaranya M. Schelmena dari Belanda berpendapat bahwa unsur-unsur utama Negara Hukum suatu negara dapat berbeda dengan negara lain karena adanya latar belakang sejarah suatu bangsa, terutama sejarah negara hukumnya. Menurut Schelmena ada 4 (empat) unsur utama Negara hukum dan setiap unsur utama diikuti unsur turunannya: 1. Adanya kepastian hukum a. Asas legalitas; b. Undang-undang mengatur tindakan yang berwenang; c.
Undang-undang tidak boleh berlaku surut; 11 F.J. Stahl, Staat und rechtslehre II, hlm. 137, terpetik dari O. Notohamidjojo, Ibid., hal.
24. 12 Oemar Seno Adji, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, terpetik dari S.T. Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 44.
4
d. Pengadilan yang bebas dari pengauh kekuasaan lain. 2. Asas persamaan a. Tindakan yang berwenang diatur dalam undang-undang dalam arti materiil; b. Adanya pemisahan kekuasaan. 3. Asas demokrasi a. Hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara; b. Peraturan untuk badan yang berwenang ditetapkan oleh parlemen c. Parlemen mengawasi tindakan pemerintah 4. Asas pemerintahan untuk rakyat. a. Hak asasi dijamin dengan Undang-undang dasar; b. Pemerintahan secara efektif dan efisien13 Adapun Sri Soemantri14 melihat ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi oleh Negara Hukum: 1.
Bahwa pemerintah (dalam arti luas) dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
2.
Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (dan warga negara);
3.
Adanya pembagian kekuasaan (distribution of power) dalam negara dan;
4.
Adanya pengawasan peradilan (oleh badan-badan peradilan).
Batasan Demokrasi Istilah demokrasi berasal dari kata “demo” yang berarti rakyat dan “cratein” yang berarti memerintah. Tidaklah mengherankan kalau perkataan “demokrasi” membawa arti “pemerintahan oleh rakyat”. Dalam kenyataan, tidaklah mungkin rakyat yang jumlahnya lebih banyak menjadi pemerintah, yang terjadi adalah sebaliknya, sedikit orang memerintah orang yang lebih besar, atas dasar itu, Maurice Duverger15menyatakan: “Para sosilog aliran Durkheim membenarkan bahwa semasa permulaan kebangunan peradaban manusia, antara orang-orang pangreh dan orang-orang yang diperintah itu tidak ada. Kekuasaan bukannya dijalankan oleh beberapa orang tertentu, melainkan merata dalam gerombolan seluruhnya, dimana setiap orang tunduk kepada patokan-patokan 13 Azhari, Negara Hukum Indonesia,UI Press, Jakarta, 1995, hlm. 50. 14 Sri Soemantri, Op. Cit., hlm.17. 15 Maurice Duverger, Les Regines Politiques, terjemahan Suwirjadi, Pustaka Rakyat, Jakarta, 1961, hlm. 58.
5
umum yang dipertimbangkan dan ditetapkan oleh gerombolan seluruhnya. Sesungguhnya pada waktu itu semua orang “diperintah” dan tak ada yang “memerintah”. Tetapi kemudian, beberapa orang dari gerombolan agaknya menyatukan diri, menjadikan diri penjelmaan dari pada patokan kolektif itu serta memerintah atas nama gerombolan, begitulah terjadi apa yang disebut “pempribadian Kekuasaan”.” Karena itu Duverger membantah adanya demokrasi dalam arti kata sesungguhnya. Menurutnya adalah bertentangan dengan kodrat alam kalau jumlah rakyat yang besar justru memerintah sedang yang sedikit, diperintah. Aristoteles menganggap demokrasi sebagai suatu bentuk pemerosotan. Ia melihat bentuk-bentuk pemerintahan selalu berdasarkan 2 (dua) alternatif, baik dan buruk. Mengenai jenis-jenis bentuk negara, ia membedakan dalam tiga jenis bentuk . Adapun yang dijadikan kriteria dalam menguraikan bentuk negara berdasarkan jumlah orang yang memegang pemerintahan serta sifat atau tujuan pemerintahannya. Menurut pendapatnya seperti dalam tabel dibawah ini: Type of Constitution Government of one Government of the few Government
Good or True Form Monarchy Aristocracy Polity
Bad or Perverted Form Tyranny or Despotism Olygarchy Democracy
Demokrasi yang demikian disebut mobocracy, the rule of mob, pemerintahan yang dilakukan oleh massa sehingga terjadi anarchi.16 Adapun menurut Plato, bentuk negara Aristokrasilah yang terbaik, sedangkan demokrasi adalah bentuk negara yang paling buruk, hal ini karena demokrasi mengandung prinsip kemerdekaan dan kebebasan yang melahirkan kebebasan rakyat yang tidak terbatas yang sebebas-bebasnya yang menimbulkan anarki17. Mengenai pengertian demokrasi, Sri Soemantri18 menunjuk pendapat Bonger, Robert K. Carr dan William Goodman yang menyatakan adanya perbedaan pengertian. Bonger menunjuk perbedaan dari sudut: a. Formal, yang melahirkan demokrasi menurut bentuknya yakni democracy in action atau demokrasi praktek. William Goodman menamakannya sebagai 16 C.F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966, hlm. 60. 17 Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 19. 18 Sri Soemantri, Pengantar Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 27. Lihat juga tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 3.
6
actual governmental mechanism. Terhadap istilah ini sering pula dinamakan mekanisme demokrasi. b. Matriel, demokrasi dilihat dari isinya. Sudut pandang yang demikian akan melahirkan demokrasi sebagai ideologi atau pandangan hidup. Adapun perbedaan dari sudut materiel membedakan demokrasi yang didasarkan pada kemerdekaan, kemajuan di bidang sosial dan ekonomi secara serentak. Asas kemerdekaan dan persamaan di bidang ekonomi menimbulkan persaingan bebas untuk mencapai tujuan dan mewujudkan kepentingannya. Karena kemampuan orang tidak sama maka yang berhasil memenangkan persaingan itu adalah mereka yang terkuat, oleh karena itu faham kemerdekaan yang melahirkan golongan kuat dan golongan lemah ini, tidak patut diteruskan karena bertentangan dengan cita-cita kemanusiaan. Syarat Negara Demokrasi Dalam konfrensi di Bangkok pada tanggal 15-19 Februari 1965, International Commission of Jurist menentukan adanya 6 (enam) syarat yang harus dimiliki oleh suatu negara demokrasi atau Representative Government yaitu suatu pemerintahan yang berdasarkan atas sistem perwakilan yakni: 1. Adanya proteksi konstitusional 2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak 3. Adanya pemilihan umum yang bebas 4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat 5. Adanya pendidikan civics19 Sementara itu Amien Rais20 mencatat tak kurang dari 10 (sepuluh) kriteria demokrasi yang harus dipenuhi oleh suatu negara apabila hendak disebut sebagai negara demokrasi: 1. Partisipasi dalam pembuatan keputusan, melalui wakil rakyat yang dipilih langsung, rakyat dapat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. 2. Persamaan di depan hukum tanpa diskriminasi, di mana rule of law merupakan pijakan bagi negara demokrasi. 3. Distribusi pendapatan secara adil 4. Kesempatan pendidikan yang sama 19 Ibid., hlm. 43. 20 Amien Rais, Pengantar untuk buku Demokrasi dan Proses Politik, Jakarta, 1986, hlm. Xvii-xxv.
7
5. Empat macam kebebasan, yakni kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama. 6. Ketersediaan dan keterbukaan informasi 7. Mengindahkan fatsoen atau tata krama berpolitik 8. Kebebasan individu yakni hak untuk hidup secara bebas dan memiliki privacy 9. Semangat kerja sama 10. Hak untuk protes. Selain memiliki berbagai macam hak tersebut diatas, warga negara juga harus menyadari bahwa mereka juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diembannya dengan baik, misalnya kewajiban membayar pajak, kewajiban taat pada peraturan, bela negara dan sebagainya, sehingga apabila setiap warga negara telah menyadari segala hak dan kewajibannya, maka cita-cita sebagai negara yang demokratis akan dapat terwujud. Penutup/kesimpulan Hubungan antara Negara Hukum dan Demokrasi memiliki keterkaitan yang erat. Dimana syarat dan unsur dalam sistem demokrasi, seperti misalnya perlunya pembatasan kekuasaan melalui hukum dasar yakni konstitusi, juga merupakan bagian dari konsepsi negara hukum. Demokrasi mempunyai prinsip kemerdekaan dan kebebasan, maka agar demokrasi itu tidak melahirkan kemerdekaaan dan kebebasan yang tanpa batas, maka diperlukan hukum sebagai rambu bagi negara demokrasi. Sedangkan Negara Hukum itu sendiri adalah suatu negara yang apabila tindakan pemerintah dan rakyatnya berdasarkan atas aturan hukum yang berlaku.
Daftar pustaka Azhari, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta, 1995. C.F. Strong, Modern Political Constitution, London, 1966. Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Grafitri Budi Utami, Bandung, 2003.
8
Lili Rasyidi, Teori dan dasar-dasar Filsafat hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Maurice Duverger, Les Regines Politiques, terjemahan Suwirjadi, Pustaka Rakyat, Jakarta, 1961. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001. Moh. Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001. O. Notohamidjojo, 1970.
Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta,
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali, Jakarta, 1984. ___________, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989. ___________, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 1993. Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983. S.T. Marbun dan Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000.
9