JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 HUBUNGAN KEPATUHAN TRANFUSI DAN KONSUMSI KELASI BESI TERHADAP PERTUMBUHAN ANAK DENGAN THALASEMIA Rosnia Safitri1, Juniar Ernawaty2, Darwin Karim3 Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau Email:
[email protected] Abstract This research aimed was to determine the relationship between transfusion adherence and iron chelation consume on the growth of children with thalassemia. This research used descriptive correlation design with cross sectional approach. The research was conducted at Thalassemia Center of Arifin Achmad Pekanbaru Hospital on 56 samples taken by total sampling technique with observing the inclusion criteria. Measuring instrument used in this study were questionnaire sheets. The analysis is for the univariate analysis as well as frequency and percentage of bivariate analysis using Chi-Square test. The results showed that there were significant relationship between transfusion adherence to the growth (p value= 0.038 > α 0.05) and a significant relationship between compliance consume iron chelation to the growth (p value= 0.035 < α 0, 05). Results of this study can be a reference for parents who have children with thalassemia in order to bring a children with thalasemia routine to perform transfusions and iron chelation regularly consume so the children with thalassemia can grow according with the age growth. Keywords: Thalassemia, adherence, transfusions, iron chelation. References: 75 (2002-2014)
PENDAHULUAN Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit genetik ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007). Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010). Badan kesehatan dunia atau WHO (2012) menyatakan kurang lebih 7% dari penduduk dunia mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40% kasusnya adalah di Asia. Prevalensi karier thalasemia di Indonesia mencapai 3-8%. Pada tahun 2009, kasus thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006 (Wahyuni, 2010). Data yang didapatkan dari RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, penyakit thalasemia menduduki peringkat pertama di ruang rawat
inap anak. Jumlah penderita thalasemia pada tahun 2013 sebanyak 485 orang dan pada tahun 2014 jumlah pasien thalasemia sebanyak 488 orang (Rekam Medis RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, 2014). Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh karena adanya multiplikasi sel-sel dan juga bertambah besarnya sel yang bisa diukur secara kuantitatif seperti pertambahan ukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala. Hidayat (2008) menyatakan seseorang dikatakan mengalami pertumbuhan bila terjadi perubahan ukuran dalam hal bertambahnya ukuran fisik, seperti berat badan, tinggi badan atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan, lingkar dada, perubahan proporsi yang terlihat pada proporsi fisik atau organ manusia yang muncul mulai dari masa konsepsi sampai dewasa, terdapat ciri baru yang secara perlahan mengikuti proses kematangan seperti adanya rambut pada daerah aksila, pubis atau dada, hilangnya ciri-ciri lama yang ada selama masa pertumbuhan seperti hilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu, atau hilangnya refleks tertentu. Anak yang menderita thalasemia sering mengalami 1474
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 gangguan pertumbuhan dan perkembangan reproduksi. Faktor yang berperan pada pertumbuhan pasien thalasemia adalah faktor genetik dan lingkungan. Selain itu hemoglobin juga berpengaruh, bila kadar hemoglobin dipertahankan tinggi, lebih kurang 10 g/dl disertai pencegahan hemokromatosis, maka gangguan pertumbuhan tidak terjadi (Arijanty, 2008). Gangguan pertumbuhan pada penderita thalasemia disebabkan oleh kondisi anemia dan masalah endokrin. Kondisi anemia dan masalah endokrin ini dapat mengganggu proses pertumbuhan anak penderita thalasemia, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan seperti postur yang pendek (Mariani, 2011). Penelitian yang dilakukan Febrianis (2009) menemukan adanya masalah pertumbuhan pada anak penderita thalasemia, yaitu mengalami malnutrisi berat sebanyak 20 orang (67%) dan juga ditemukan masalah perkembangan dimana anak penderita thalasemia mengalami suspek atau meragukan sebanyak 24 orang (80%). Penelitian yang dilakukan AsadiPooya, Karimi, dan Immanieh (2004) di Iran menunjukkan adanya hubungan antara kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi dan kecepatan pertumbuhan. Gejala awal yang muncul pada penderita thalasemia antara lain pucat, lemas, dan tidak nafsu makan (Rudolph, Hoffmand, & Rudolph, 2007). Pada kasus yang lebih berat pasien thalasemia menunjukkan gejala klinis berupa hepatosplenomegali, kerapuhan, penipisan tulang dan anemia. Anemia pada pasien thalasemia terjadi akibat gangguan produksi hemoglobin. Penelitian yang dilakukan Bulan (2009) ditemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin terhadap kualitas hidup anak thalasemia beta mayor. Gejala anemia pada anak thalasemia bahkan sudah dapat terlihat pada usia kurang dari satu tahun. Derajat anemia yang terjadi dapat bervariasi dari ringan hingga berat, anemia merupakan masalah utama pada thalasemia. Penatalaksanaan anemia pada pasien thalasemia adalah pemberian tranfusi darah. Tranfusi darah bertujuan untuk mempertahankan kadar hemoglobin 9-10 g/dl
(Rahayu, 2012). Pemberian tranfusi darah secara terus-menerus akan menyebabkan terjadinya penumpukan besi pada jaringan parenkim hati dan disertai dengan kadar serum besi yang tinggi. Efek samping dari tranfusi adalah meningkatnya akumulasi zat besi dalam tubuh (Rudolph, Hoffmand, & Rudolph, 2007). Pemberian tranfusi yang berulang mengakibatkan kerusakan organorgan tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Terapi yang diberikan pada pasien yang melakukan tranfusi secara reguler adalah terapi kelasi besi. Pemberian kelasi besi dimulai setelah diberikan saat kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL, atau sudah mendapat transfusi darah 10-15 kali, dan sudah menerima darah sebanyak 3 liter. Kelebihan beban besi akan terjadi apabila penderita thalasemia dibiarkan tidak diterapi sehingga menyebabkan morbiditas berat dan kematian usia muda. Penelitian yang dilakukan Anggororini, Fadlyana, dan Idjradinata (2009) yang dilakukan pada anak usia 10-18 tahun di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung ditemukan sebanyak 25 (83%) anak kelompok dengan thalasemia mengalami keterlambatan pertumbuhan dan kematangan seksual. Penyebab masalah ini adalah adanya perbedaan pemberian kelasi besi sehingga jumlah besi di dalam tubuh akan berbedabeda. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4 Desember 2014 dengan mewawancarai 10 orang tua anak penderita thalasemia didapatkan bahwa semua orang tua anak penderita thalasemia mengatakan setiap bulan mereka membawa anaknya untuk ditranfusi, jika anaknya tidak mendapatkan tranfusi maka kondisi anak akan mudah lemah, tidak bertenaga, dan pucat. Data lain yang didapatkan dari studi pendahuluan yaitu 6 anak mengkonsumsi kelasi besi secara teratur dan 4 anak lainnya tidak teratur mengkonsumsi kelasi besi. Hasil pengukuran berat badan dan tinggi badan yang dilakukan peneliti, 3 dari 10 orang anak thalasemia mengalami masalah pertumbuhan seperti berat badan tidak sesuai dengan usia anak. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk 1475
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 melakukan penelitian tentang “Hubungan kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia.”
Instrumen yang digunakan peneliti untuk mengukur kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi adalah kuesioner. Pengukuran pertumbuhan anak dengan thalasemia menggunakan grafik IMT/U. Analisa bivariat menggunakan uji ChiSquare.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kepatuhan tranfusi pada anak dengan thalasemia; mengidentifikasi kepatuhan konsumsi kelasi besi pada anak dengan thalasemia; mengidentifikasi pertumbuhan anak dengan thalasemia; mengidentifikasi kepatuhan tranfusi dan mengkonsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang telah dilakukan pada bulan April sampai Juni 2015 dengan 56 responden didapatkan sebagai berikut: A. Analisa Univariat Analisa univariat menggambarkan karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, lama menderita, pendidikan, tingkat pertumbuhan, kepatuhan tranfusi dan kepatuhan mengkonsumsi kelasi besi. 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin, lama menderita, dan tingkat pendidikan. Penjabaran dari karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden
MANFAAT PENELITIAN Manfaat penelitian ini adalah dapat menjadi evidence based dan salah satu informasi mengenai tingkat kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia, sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan bagi mahasiswa yang ingin mengetahui thalasemia dan penatalaksanaanya, dapat memberikan tambahan informasi bagi masyarakat terutama keluarga yang mempunyai anak dengan thalasemia mengenai tingkat kepatuhan pasien thalasemia yang menjalani tranfusi darah, dapat digunakan sebagai masukan bagi rumah sakit terutama perawat ruang Thalasemia Center dalam memberikan asuhan keperawatan dan pendidikan kesehatan tentang kepatuhan untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani tranfusi dan mengkonsumsi kelasi besi, dapat dijadikan acuan dan informasi tambahan tentang pasien thalasemia yang menjalani tranfusi darah terutama tentang hubungan kepatuhan tranfusi dan mengkonsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia.
No. 1.
2.
3.
4.
METODOLOGI PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross-sectional. Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 56 anak thalasemia dengan metode pengambilan sampel yaitu total sampling. 1476
Karakteristik Responden Umur - 0-5 tahun - 6-11 tahun - 12-16 tahun - 17-25 tahun Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Lama Menderita - Singkat (≤ 5 tahun) - Lama (≥ 5 tahun) Tingkat pendidikan - Belum Sekolah - TK - SD - SMP/MTS - SMA/SMK - Tidak Sekolah Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
14 25 12 5
25,0 44,6 21,4 8,9
32 24
57,1 42,9
28 28
50 50
15 6 20 6 8 1
26,8 10,7 35,7 10,7 14,3 1,8
56
100
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 Pada tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden berusia 6-11 tahun sebanyak 25 responden (44,6%). Responden mayoritas berjenis kelamin lakilaki sebanyak 32 responden (52,1%). Lama responden menderita penyakit dengan kategori lama (≥5 tahun) dan singkat (≤5 tahun) adalah sama yaitu sebanyak 28 respoden (50%). Tingkat pendidikan responden mayoritas adalah SD sebanyak 20 responden (35,7%). 2. Pertumbuhan Responden Pertumbuhan responden terdiri dari normal dan tidak normal. Penjabaran pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pertumbuhan No.
Pertumbuhan
Jumlah
1. 2.
Normal Tidak Normal Total
39 17 56
4. Kepatuhan konsumsi kelasi besi Kepatuhan konsumsi kelasi besi terbagi menjadi ya dan tidak. Penjabaran kepatuhan konsumsi kelasi besi dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi No.
1. 2.
Kepatuhan Tranfusi Darah Patuh Tidak Patuh Total
Jumlah 36 20 56
39
Presentase (%) 69,6
2.
Tidak
17
30,4
Total
56
100
Pada tabel 4 di atas dapat dilihat distribusi frekuensi responden berdasarkan kepatuhan konsumsi kelasi besi didapatkan data bahwa mayoritas responden patuh mengkonsumsi kelasi besi yaitu sebanyak 39 responden (69,6%).
Presentase (%) 69,6 30,4 100
B. Analisa Bivariat Analisa bivariat menggambarkan hubungan kepatuhan tranfusi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia dan hubungan kepatuhan konsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia. 1. Kepatuhan Tranfusi Terhadap Pertumbuhan Penjabaran kepatuhan tranfusi terhadap pertumbuhan terdiri dari kepatuhan tranfusi darah dan pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini. Tabel 5 Hubungan Kepatuhan Tranfusi Terhadap Pertumbuhan
Pada tabel 2 di atas dapat dilihat distribusi frekuensi responden berdasarkan pertumbuhan didapatkan data bahwa mayoritas responden dengan pertumbuhan normal yaitu sebanyak 39 responden (69,6%). 3. Kepatuhan Tranfusi Darah Kepatuhan tranfusi darah terbagi menjadi patuh dan tidak patuh. Penjabaran kepatuhan tranfusi dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Menjalani Tranfusi Darah No.
Jumlah
1.
Kepatuhan konsumsi Kelasi Besi Ya
Pertumbuhan
Presentase (%) 64,3 35,7 100
Kepatuhan Tranfusi
Normal N
Total
P Value
N
%
N
%
26 46,4
10
17,9
36
64,3
Tidak Patuh 13 23,2
7
12,5
20
35,7
17
30,4
56
Patuh
%
Tidak Normal
0,038
Pada tabel 3 di atas dapat dilihat distribusi frekuensi responden berdasarkan kepatuhan tranfusi didapatkan data bahwa mayoritas responden patuh menjalani tranfusi yaitu sebanyak 36 responden (64,3%).
Total
39 69,6
100
Dari tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa responden yang patuh menjalani 1477
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 tranfusi darah dan mempunyai pertumbuhan normal yaitu sebanyak 26 orang (46,4%). Hasil uji statistik menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p value=0,038 < α 0,05 maka Ho gagal ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan tranfusi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia. 2. Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan Penjabaran kepatuhan konsumsi besi terhadap pertumbuhan terdiri dari kepatuhan konsumsi kelasi besi dan pertumbuhan dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini. Tabel 6 Hubungan Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan
saat lahir, namun di usia 3-18 bulan akan mulai terlihat adanya gejala anemia (Potts & Mandelco, 2007). Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa gejala klinis thalasemia sudah terlihat pada usia 2 tahun, tetapi penderita thalasemia baru dapat berobat pada usia 4-6 tahun karena semakin pucat sehingga mengakibatkan penderitanya memerlukan tranfusi secara berkala (Dewi, 2009). b. Jenis Kelamin Jenis Kelamin responden mayoritas berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 32 responden (57,1%). Thalasemia adalah penyakit genetik yang disebabkan oleh faktor sel alel tunggal autosomal resesif, bukan penyakit genetik yang disebabkan oleh faktor alel yang terpaut dengan kromosom seks atau kelamin (Aryuliana, 2004). Hal ini sesuai dengan teori bahwa gen beta thalassemia diwariskan menurut Hukum Mendel secara autosomal resesif, sehingga anak dari pasangan pembawa bakat mempunyai kemungkinan 25% normal, 50% sebagai pembawa bakat dan 25% kemungkinan merupakan penderita, kemungkinan tersebut tidak tergantung jenis kelamin, dimana sintesis rantai polipeptida globin beta hanya berlangsung di dalam sel-sel dari seri eritroid, meskipun gen globin beta juga terdapat dalam kromosom selsel yang lain (Bulan, 2009). c. Pendidikan Tingkat pendidikan responden mayoritas SD sebanyak 20 orang (35,7%). Anak thalasemia banyak berpendidikan SD dikarenakan anak dengan thalasemia mayoritas berada pada rentang usia 6-11 tahun yang merupakan usia sekolah, sehingga penderita thalasemia terbanyak adalah berpendidikan SD. 2. Pertumbuhan Pertumbuhan responden mayoritas normal yaitu sebanyak 39 responden
Pertumbuhan Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi
Normal N
Patuh
%
Tidak Normal
Total
P Value
N
%
N
%
31 55,,4
8
14,3
39
69,6
8
14,3
9
16,1
17
30,4
39 69,6
17
30,4
56
0,035 Tidak Patuh Total
100
Dari tabel 6 di atas dapat dilihat bahwa responden yang patuh mengkonsumsi kelasi besi mempunyai pertumbuhan normal yaitu sebanyak 31 orang (55,4%). Hasil uji statistik menggunakan uji Chi Square diperoleh nilai p value=0,035 < α 0,05 maka Ha gagal ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan mengkonsumsi kelasi besi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia.
PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden a. Usia Hasil penelitian didapatkan mayoritas usia responden berada pada rentang usia 6-11 tahun yaitu 25 responden (44,6%). Menurut Depkes RI (2009) usia anak 6-11 tahun termasuk kategori usia kanak-kanak. Penderita thalasemia mayor akan tampak normal 1478
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 (69,6%). Penilaian pertumbuhan anak pada penelitian ini menggunakan IMT/U. Anak thalasemia dapat tumbuh normal apabila kadar hemoglobin dipertahankan di atas 10-11 g/dl dan diikuti terapi kelasi besi yang memadai. Hal ini membuat pasien thalasemia terlihat tumbuh normal dan sulit dibedakan dari anak seusianya (Made & Ketut, 2011). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Arytha (2014) yang melakukan penelitian menggunakan alat ukur IMT/U pada anak thalasemia dan mendapatkan bahwa pertumbuhan responden normal sebanyak 24 orang (75%). Anak thalasemia mayor dapat tumbuh normal jika kadar hemoglobin dipertahankan 8,5 g/dl selama 10 tahun pertama kehidupan (Made & Ketut, 2011). 3. Lama Menderita Penyakit Lama responden menderita penyakit dengan kategori singkat (≤ 5 tahun) dan kategori lama (> 5 tahun) adalah sama, yaitu sebanyak 28 responden (50%). Thalasemia merupakan salah satu penyakit kronis yang tertinggi kejadiannya pada anak-anak (Rachmaniah, 2012). Penyakit kronis pada anak merupakan keadaan sakit baik fisik, psikologis atau kognitif yang menyebabkan keterbatasan dan membutuhkan perawatan yang intensif di rumah sakit ataupun di rumah yang diperkirakan akan bertahan setidaknya sampai beberapa bulan (Potts & Mandleco, 2007). Lamanya menderita penyakit pada anak dengan thalasemia tergantung dari kapan mereka di diagnosa menderita thalasemia, semakin awal terdiagnaosa maka semakin lama responden menderita thalasemia sesuai dengan usia mereka saat ini. 4. Kepatuhan Tranfusi Responden mayoritas patuh menjalani tranfusi sebanyak 36 responden (64,3%). Kepatuhan menurut adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Penderita
thalasemia harus menjalani transfusi darah secara teratur dan rutin untuk menjaga kesehatan dan stamina penderita thalasemia, sehingga penderita tetap bisa beraktivitas. Tranfusi akan memberikan energi baru kepada penderita karena darah dari transfusi mempunyai kadar hemoglobin normal yang mampu memenuhi kebutuhan tubuh penderita. Penderita thalasemia membutuhkan transfusi darah karena hemoglobin penderita thalasemia tidak cukup memproduksi protein α atau β sehingga mengakibatkan hemoglobin yang dibentuk menjadi berkurang dan sel darah merah mudah rusak (Dewi, 2009). Penjabaran di atas telah menggambarkan tentang kepatuhan tranfusi darah, maka peneliti berasumsi bahwa kepatuhan pasien menjalani tranfusi darah berarti bahwa pasien beserta keluarga harus meluangkan waktu untuk menjalankan pengobatan yang dibutuhkan termasuk dalam menjalani tranfusi darah secara rutin. 5. Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi Responden mayoritas patuh mengkonsumsi kelasi besi yaitu sebanyak 39 responden (69,6%). Tingkat kepatuhan dalam hal ini adalah sikap yang ditunjukkan oleh penderita thalasemia dalam mengkonsumsi kelasi besi. Komplikasi mayor yang terjadi pada pasien thalasemia yang menjalani transfusi darah adalah kelebihan besi. Obat kelasi besi diberikan untuk mengeluarkan zat besi dari tubuh penderita yang terjadi akibat transfusi darah secara teratur dan rutin dalam jangka waktu lama. Kelebihan zat besi akan menyebabkan kapasitas transferin mengikat zat besi secara berlebihan, sehingga menghasilkan radikal bebas yang berbahaya bagi tubuh (Rahayu, 2012). Komplikasi jangka panjang adalah disfungsi pada hati, jantung dan kelenjar 1479
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 endokrin (Gatot, et al, 2007). Terapi kelasi besi pada anak thalasemia bertujuan untuk menurunkan kelebihan zat besi di dalam tubuh (Rahayu, 2012). Terapi kelasi besi dimulai ketika kadar feritin serum mencapai 1000 mg/dl atau setelah 10-20 kali tranfusi (Gatot, et al, 2007). Terapi kelasi besi ini efektif menurunkan kadar besi dan meningkatkan harapan hidup pada pasien thalasemia apabila patuh mengkonsumsinya. Penelitian yang dilakukan Osborne, De abreu Lourenco, Dalton , Houltram, dan Edgar (2007) menekankan bahwa pentingnya mengoptimalkan terapi kelasi besi pada penderita thalassemia beta mayor. 6. Hubungan Kepatuhan Tranfusi dengan Pertumbuhan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan tranfusi dengan pertumbuhan (p value= 0,038). Penelitian ini menemukan bahwa pertumbuhan normal pada anak thalasemia tergantung pada kepatuhan responden melakukan tranfusi darah secara teratur. Responden yang patuh menjalani tranfusi darah secara teratur dapat mempertahankan kadar hemoglobin di atas 7 g/dl. Kadar hemoglobin yang dipertahankan di atas 7 g/dl dapat mempengaruhi pertumbuhan pasien thalasemia yang patuh menjalani tranfusi di ruang thalasemia center RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Asadi-Pooya, Karimi, dan Immanieh (2004) menunjukkan adanya hubungan antara kadar hemoglobin ratarata sebelum transfusi dan kecepatan pertumbuhan. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa semakin rendah kadar hemoglobin rata-rata sebelum transfusi maka kecepatan pertumbuhan semakin berkurang. Hal ini dikarenakan pasien thalasemia tidak patuh menjalani
tranfusi, sehingga pertumbuhannya terganggu. Penelitian yang dilakukan Saxena (2003) juga memperlihatkan bahwa pasien dengan kadar hemoglobin rata-rata yang rendah sebelum transfusi (<7,4 g/dL) dapat mengalami gangguan kecepatan pertumbuhan. Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tranfusi darah dapat mencegah gangguan pertumbuhan pada anak dengan thalasemia. Faktor yang dianggap berperan terhadap kecepatan pertumbuhan anak dengan thalasemia adalah tinggi badan pada saat pertama kali pengukuran, penggunaan zat pengikat besi, volume darah rata-rata yang diterima saaat dilakukan tranfusi, dan keteraturan tranfusi (Saxena, 2003). 7. Hubungan Kepatuhan Konsumsi Kelasi Besi dengan Pertumbuhan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan konsumsi kelasi besi dengan pertumbuhan (p value = 0,035). Pemberian kelasi besi yang optimal dapat mengurangi deposit besi yang terjadi pada penderita thalasemia. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki pertumbuhan penderita. Anak yang menderita thalasemia dan mendapatkan transfusi berulang akan menyebabkan terjadinya deposit besi (hemosiderosis) pada sistem endokrin, termasuk pada kelenjar tiroid (Ermaya, Hilmanto, & Reniarti, 2007). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Styne (2004) yang menyatakan bahwa penggunaan kelasi besi pada penderita thalasemia mayor dapat mengurangi deposit besi pada kelenjar tiroid. Pemberian kelasi besi harus diberikan secara teratur agar pertumbuhan anak dengan thalasemia dapat optimal. Jenis kelasi besi yang sering diberikan kepada penderita thalasemia adalah 1480
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 dapat mengalami gangguan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dengan thalasemia, dan penelitian ini dapat dijadikan sebagai evidence based dan tambahan informasi untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak dengan thalasemia selain kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi.
defepron (Ferriprox) dan deferasiroks (Exjade). Pemberian dosis obat pada anak thalasemia harus sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian Auda (2003) menyatakan bahwa penderita thalasemia mayor yang menggunakan dosis zat pengikat besi tidak optimal memiliki risiko sebesar 2,6 kali untuk terjadinya gangguan pertumbuhan dibandingkan yang optimal. Hasil penelitian penelitian Ermaya, Hilmanto, dan Reniarti (2007) juga menunjukkan bahwa penggunaan zat pengikat besi yang tidak optimal merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kecepatan pertumbuhan.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Universitas Riau dan Program Studi Ilmu Keperawatan sebagai wadah dan lembaga pendidikan yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian ini. 1
Rosnia Safitri: Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau, Indonesia. 2 Juniar Ernawaty, M.Kep, MNg: Dosen Bidang Keilmuan Keperawatan Anak Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau, Indonesia. 3 Ns. Darwin Karim, S.Kep, M.Biomed: Dosen Bidang Keilmuan Keperawatan Medikal Bedah Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau, Indonesia. _______________________________
PENUTUP KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan tranfusi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia diperoleh p value=0,038 < α 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan mengkonsumsi kelasi besi dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia diperoleh p value=0,035 < α 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa kepatuhan tranfusi dan konsumsi kelasi besi mempunyai hubungan dengan pertumbuhan anak dengan thalasemia.
DAFTAR PUSTAKA Andayani, SH., Sekarwana, N., & Fadil, R.(2008). Association between age and serum ferritin level with bone age deficit in children with thalassemia major. Paediatrica Indonesiana
SARAN Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh ilmu keperawatan sebagai evidence based dan sumber informasi tentang kepatuhan tranfusi dan mengkonsumsi kelasi besi terhadap pertumbuhan anak dengan thalasemia, dapat menjadi acuan masyarakat khususnya orang tua anak penderita thalasemia agar menjaga kondisi kesehatan anaknya, dan patuh menjalani tranfusi serta mengkonsumsi kelasi besi secara teratur agar pertumbuhan anaknya dapat normal seperti anak-anak lainnya, diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan asuhan keperawatan dan health education kepada pasien karena thalasemia merupakan penyakit herediter yang kemungkinan besar
Anggororini, D., Fadlyana, E., & Idjradinata, P. (2009). Korelasi kadar feritin serum dengan kematangan seksual pada anak penyandang thalassemia mayor. Diperoleh tanggal 5 Januari 2015 dari http://indonesia.digitaljournals.org Aryuliana, D., Muslim, C., Manaf, S., & Winarni, E.W. (2004). Biologi. Jakarta: Erlangga Arytha, R. M. (2014). Hubungan kadar feritin serum terhadap pertumbuhan dan kematangan seksual penderita talasemia mayor usia 10-18 tahun di Sentral Talasemia BLUD RSUD dr. 1481
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 Zainal Abidin Banda Aceh. Diperoleh tanggal 8 Juni 2015 dari http://www. unsyiah.ac.id
Mariani, D. (2011). Analisis faktor yang mempengaruhi kualitas hidup anak thalasemia beta mayor di RSU Kota Tasikmalaya dan Ciamis. Diperoleh tanggal 7 Januari 2015 dari http://www.lib.ui.ac.id.
Asadi-Pooya, A, A., Karimi, M., &Immanieh, M, H,. (2004). Growth retardation in children with beta thalassemia major. Haematolgy
McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2010). Patofisiologi penyakit, Edisi 5. Jakarta: EGC Moeryono, W. H., Subroto, F., & Suryansyah, A. (2012). Pubertas terlambat pada anak thalasemia di RSAB Harapan Kita Jakarta. Diperoleh tanggal 5 Januari 2015 dari http://www.saripediatri.idai.or.id.
Auda, R. (2006). Pengaruh berbagai faktor risiko terhadap gangguan tumbuh dan status gizi pada penderita thalassemia mayor. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Padjadjaran Bulan, S. (2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalasemia beta mayor. Diperoleh tanggal 10 Januari 2015 dari http://www.undip.ac.id
Osborne, R., De abreu Lourenco, R., Dalton, A., Houltram, J., Downton, D., Edgar, J., et al. (2007). Quality of life related to oral versus subcutaneous iron chelation: a time trade off study.Value in health Potts, S. J., & Mandleco, B. L. (2007). Pediatric nursing: Caring for children and their families (2nd ed). New York: Thomson Coorporation
Dewi, S. (2009). Karakteristik penderita thalasemia yang rawat inap di Rumah Sakit Umum Pusat Adam Malik Medan. Diperoleh tanggal 5 Januari 2015 dari http://repository.usu.ac.id Ermaya, Y. S., Hilmanto. D., & Reniarti, L. (2007). Hubungan kadar hemoglobin sebelum tranfusi dan zat pengikat besi dengan kecepatan pertumbuhan penderita thalassemia mayor. Diperoleh pada tanggal 10 Juni 2015 dari http://www. idionline.org/index.
Rachmat, I., Fadil, R., & Azhali M. S. (2008). Hubungan jumlah darah tranfusi, pemberian deferoksamin, dan status gizi dengan kadar seng plasma pada penderita thalassemia mayor anak. Diperoleh pada tanggal 6 Juni 2015 dari http://www.unpad.ac.id
Febrianis, S. (2009). Gambaran tumbuh kembang pada anak dengan thalasemia. Pekanbaru
Rahayu, H. (2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi performa sekolah pada anak dengan thalasemia yang menjalankan tranfusi di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo. Diperoleh tanggal 3 Januari 2015 dari http://lontar.ui.ac.id.
Gatot, D., et al. ( 2007). Pendekatan mutakhir kelasi besi pada thalassemia. Sari Pediatri, Vol. 8, No. 4. h. 78-84 Hidayat, A. A. (2008). Pengantar ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Rejeki, D.S.S., Pradani, P., Nurhayati, N., & Supriyanto. (2014). Model prediksi kebutuhan darah untuk penderita talasemia mayor. Diperoleh tanggal 8 Juni 2015 dari http://www.researchgate.net
Made, A., & Ketut, A,. (2011). Profil Pertumbuhan, Hemoglobin Pretransfusi, Kadar Feritin, dan Usia Tulang Anak pada Thalassemia Mayor. Diperoleh tanggal 7 Juni 2015 dari http://saripediatri.idai.or.id
Rudolph, A. M., Hoffmand, J. I. E., & Rudolph, C. D. (2007). Buku ajar 1482
JOM Vol 2 No 2, Oktober 2015 pediatri. (Samik, W. & Sugiarto, Penerjemah). Jakarta: EGC Saxena, A. (2003). Growth Retardation in Thalassemia Major Patient. Int J Hum Genet. Styne D. (2004). Abnormal growth. In: Hiscock TY, Wagner NT, Parker EA, editors. Pediatric endocrinology. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins Suriadi, dkk. (2010). Asuhan keperawatan pada anak. Jakarta : CV. Sagung Seto. Supriyanto., Nurhayati, N., & Rejeki, D. S. S. (2012). Estimasi ketahanan hidup penderita thalassemia di Bayumas dan sekitarnya menggunakan pendekatan Bayes untuk lengkap data. Diperoleh pada tanggal 7 juni 2015 dari http://www.paradigma. web.com Wahyuni, M. S. (2010). Perbandingan kualitas hidup anak penderita thalasemia dengan saudara penderita thalasemia yang normal. Diperoleh tanggal 3 Januari 2015 dari http://repository.usu.ac.id. WHO. (2012). The global burden of diseaseup date.Diperoleh tanggal 28 Februari 2015 Dari www.who.int/healthinfo/global_burden _disease/GBD_report_2004update_ full.pdf.
1483