Hubungan Kehilangan Gigi dan Pemakaian Gigi Tiruan Terhadap Status Nutrisi

Hubungan Kehilangan Gigi dan Pemakaian Gigi Tiruan Terhadap Status Nutrisi Melia*), Henni Koesmaningati, Ratna Sari Dewi Department of Prosthodontics, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia, Jakarta, 10430, Indonesia *)

E-mail: [email protected]

Abstrak Kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan dapat mempengaruhi asupan makanan seseorang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang pada 129 subjek berusia 34-80 tahun. Subjek diperiksa kehilangan giginya kemudian diwawancara menggunakan kuesioner Mini Nutritional Assessment (MNA). Data dianalisis menggunakan piranti lunak statistik. Hasil uji analisis chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara kehilangan gigi dan status nutrisi (p=0,712) dan antara pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi (p=0,252). Ditemukan hubungan bermakna antara usia dan status nutrisi, tingkat pendidikan dan status nutrisi, serta usia dan pemakaian gigi tiruan.

Relation between Tooth Loss and Denture Wearing toward Nutritional Status Abstract Teeth loss and denture wearing can affect a person's food intake. The purpose of this study was to analyze the relation of tooth loss and denture wearing on nutritional status. The study was conducted with a cross-sectional method on 129 subjects aged 34-80 years. Subjects had their teeth checked and interviewed using Mini Nutritional Assessment (MNA) questionnaire. Data was analyzed using statistical software. The result of chisquare analysis showed no significant relation between tooth loss and nutritional status (p = 0.712) and between denture wearing and nutritional status (p = 0.252). Relation was found between age and nutritional status, educational level and nutritional status, and the age and denture wearing. Keywords: denture, Eichner index, MNA, nutritional status, tooth loss

Pendahuluan Permasalahan gigi dan mulut masih banyak dialami oleh penduduk Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar, 25,9% penduduk Indonesia bermasalah gigi dan mulutnya dengan skor indeks DMF-T sebesar 4,6 yang berarti prevalensi masalah kesehatan gigi di Indonesia masih tinggi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Di antara tiga indikator yang diperhatikan pada indeks DMF-T, kehilangan gigi merupakan yang

Hubungan kehilangan..., Melia, FKG, 2014

paling tinggi nilainya. Hal ini menunjukkan bahwa masalah gigi terbesar yang dialami penduduk di Indonesia adalah kehilangan gigi.

Dampak kehilangan gigi yang paling buruk adalah terganggunya fungsi mastikasi gigi. Hal tersebut dapat mempengaruhi pemilihan makanan (Zarb, Hobkirk, Eckert, & Jacob, 2012), yang nantinya akan mempengaruhi asupan makanan seseorang dan status nutrisinya. Status nutrisi dapat berkembang menjadi malnutrisi yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan peningkatan insidensi penyakit.

Untuk mengatasi masalah-masalah akibat kehilangan gigi, individu yang mengalaminya idealnya memakai gigi tiruan. Kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan berhubungan dengan status nutrisi masih belum jelas. Dalam prosesnya, terdapat faktor-faktor pada individu yang akan mempengaruhi kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan, dan status nutrisi seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status ekonomi. Dalam penelitian ini akan diteliti mengenai hubungan kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi dengan memperhatikan hubungan faktor sosiodemografi terhadap ketiganya.

Tinjauan Teoritis Kehilangan Gigi dan Gigi Tiruan Kehilangan gigi merupakan akibat dari berbagai faktor yang berhubungan dengan kesehatan, gaya hidup, dan sosiodemografi (Wang, Chen, Liou, & Chou, 2014). Penyakit yang berhubungan dengan kehilangan gigi adalah karies dan penyakit periodontal. Sementara itu, status sosioekonomi yang rendah dan wanita dihubungkan dengan prevalensi kehilangan gigi yang lebih tinggi daripada orang dengan status ekonomi yang tinggi dan pria (Wang et al., 2014). Faktor lain yang tidak kalah penting adalah usia. Di seluruh dunia peningkatan usia dikaitkan dengan peningkatan jumlah gigi yang hilang. Hal ini terbukti dari data RISKESDAS 2013 yang menunjukkan kehilangan gigi paling sedikit terjadi pada usia 12 sedangkan paling banyak di usia 65 tahun ke atas (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Gigi yang hilang dan tidak diganti dapat menyebabkan berbagai kerugian. Dampakdampak kehilangan gigi dapat kita bagi menjadi dampak estetik, dampak fungsional, dan dampak sistemik. Gigi yang hilang akan menimbulkan celah, ruang kosong, dan perubahan


wajah yang menimbulkan ketidakpuasan estetik bagi pasien yang dapat berpengaruh terhadap psikologis dan kepercayaan diri (Carr & Brown, 2011; Craddock, 2009). Kehilangan gigi juga menyebabkan hilangnya fungsi gigi seperti fungsi mastikasi dan fungsi bicara. Proses mastikasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan fisik untuk memecah makanan, yang paling diperankan oleh gigi (Carr & Brown, 2011). Hilangnya gigi anterior dapat menyebabkan pelafalan dari huruf-huruf yang membutuhkan kontak gigi anterior menjadi sulit (Owen, 2000). Dengan kemampuan makanan yang menurun, kehilangan gigi dapat mengakibatkan menurunnya kesehatan umum karena berkurangnya asupan nutrisi yang dibutuhkan tubuh. Kehilangan gigi dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa metode, salah satunya adalah dengan indek Eichner. Indeks Eichner mengklasifikasikan gigi berdasarkan jumlah kontak gigi posterior rahang atas dan rahang bawah (zona dukungan) yang ada, dengan restorasi cekat dianggap gigi asli. Zona dukungan ada empat, yaitu molar kanan, premolar kanan, premolar kiri, dan molar kiri. Setelah diperiksa subjek akan dibagi menjadi grup A (4 zona dukungan), grup B (1-3 zona dukungan atau gigi anterior berkontak) atau grup C (tidak terdapat kontak di posterior maupun anterior) (Yoshino et al., 2012). Untuk menggantikan gigi yang hilang, kita dapat menggunakan gigi tiruan. Gigi tiruan dapat diklasifikasikan menjadi gigi tiruan cekat dan gigi tiruan lepasan. Pembuatan gigi tiruan jenis manapun harus mencakup tujuan umum dari pembuatan gigi tiruan tersebut, antara lain:(Carr & Brown, 2011; Rosenstiel, Land, & Fujimoto, 2006) menghilangkan penyakit mulut yang telah ada; mempertahankan kesehatan dan hubungan gigi geligi dan kesehatan struktur mulut dan sekitarnya; mencegah penyakit di kemudian hari; mengembalikan fungsi mulut agar nyaman dan tidak mengganggu fungsi bicara pasien; meningkatkan penampilan.

Status Nutrisi Status nutrisi/status gizi adalah cerminan ukuran terpenuhinya kebutuhan gizi (Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI), 2009). Menurut Departemen Kesehatan RI, status gizi berarti keadaan yang diakibatkan oleh adanya keseimbangan antara jumlah asupan zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas dan produktivitas, pemeliharaan kesehatan, dan lain-lain (Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Status nutrisi bersifat multifaktorial. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nutrisi seseorang antara lain usia, jenis kelamin, kesehatan umum, budaya, mobilitas, status kognitif, selera


makan, kemampuan memasak, status finansial, dan kebiasaan (Muller & Schimmel, 2010). Status nutrisi yang ideal terjadi ketika asupan nutrien memenuhi kebutuhan nutrien tubuh. Penilaian status nutrisi merupakan langkah untuk mengetahui status dan masalah nutrisi seseorang dengan menggunakan data yang komprehensif serta menginterpretasinya dengan akurat. Pelaksanaan survei penilaian status nutrisi pada masyarakat dapat dilakukan dengan menggunakan elemen investigasi yaitu pemeriksaan klinis, pemeriksaan antropometri, pemeriksaan laboratorium dan biokimia, pemeriksaan diet, dan penilaian faktor ekologi (Gibson, 2005; Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Di antara berbagai jenis penilaian status tersebut, terdapat suatu kuesioner yang mengkombinasikan beberapa jenis penilaian yang disebut dengan kuesioner Mini-Nutritional Assessment. Mini-Nutritional Assessment (MNA®) merupakan alat ukur pemindaian dan penilaian nutrisi yang dapat mengidentifikasi status nutrisi khususnya pada pasien lansia. MNA banyak digunakan karena reliabilitasnya dalam mendeteksi risiko malnutrisi dan karena dapat dilakukannya intersepsi dan follow-up selama perawatan. Tes MNA ini merupakan pengukuran sederhana dan pertanyaan singkat yang terdiri dari beberapa bagian, yaitu pengukuran antropometrik yaitu pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menghitung indeks massa tubuh, kondisi fisik dan psikologis secara umum, pola makan seperti frekuensi dan jenis asupan makanan, serta pandangan diri sendiri mengenai kesehatan dan nutrisi individu tersebut (Cousson et al., 2012; Rahmi, 2010).

Hubungan Kehilangan Gigi dan Status Nutrisi Status gigi secara signifikan mempengaruhi pola makan dan nutrisi (Stegeman & Davis, 2014). Seperti yang telah dijelaskan dalam dampak kehilangan gigi, kondisi gigi geligi yang buruk berkontribusi terhadap asupan makanan yang tidak cukup karena menyebabkan berkurangnya efisiensi pengunyahan (Zarb et al., 2012). Akibatnya, terjadi keterbatasan dalam pemilihan makanan kesulitan mengunyah makanan yang keras, seperti sayuran, buah, dan daging sedangkan makanan-makanan tersebutlah yang kaya akan nutrisi (Touger-Decker, Sirois, & Mobley, 2005; Zarb et al., 2012). Mereka juga cenderung mengonsumsi lebih banyak lemak jenuh dan kolestrol (Touger-Decker et al., 2005). Batas jumlah gigi yang menjadi indikator gigi geligi fungsional adalah 20-21 gigi. Hal ini dipertegas oleh WHO yang menyatakan bahwa orang dewasa sebaiknya memiliki minimal 21 gigi fungsional agar dapat bebas makan tanpa gigi tiruan (Dogan & Gokalp, 2012). Pada penelitian Wang et al. di Taiwan, individu dengan jumlah gigi lebih dari 20 memiliki status nutrisi yang lebih baik dan pilihan makanan yang lebih banyak dibanding individu yang


jumlah giginya kurang dari 20 (Wang et al., 2014). Kemampuan mengunyah ini lebih dikaitkan dengan jumlah kontak oklusal posterior. Karena itu, menurut Perera et al., jumlah pasangan gigi oklusi yang berkontak lebih penting dalam menentukan status nutrisi dibanding jumlah gigi asli yang tersisa (Perera & Ekanayake, 2012). Asupan serat berhubungan erat dengan jumlah gigi dan pasangan gigi posterior yang beroklusi (Touger-Decker et al., 2005). Secara umum, jumlah kontak oklusi yang meningkat akan menyebabkan skor MNA yang meningkat pula (Mckenna et al., 2012).

Hubungan Pemakaian Gigi Tiruan terhadap Status Nutrisi Gigi tiruan memiliki efek yang berbeda-beda terhadap status nutrisi. Hal yang paling mencolok adalah dalam hal pemilihan makanan ketika menggunakan gigi tiruan. Biasanya ada dua pilihan, yaitu orang akan memilih makanan yang sudah diolah/dimasak dibanding makanan segar/mentah dan mengunyahnya lebih lama sebelum ditelan, atau orang tersebut akan benar-benar tidak memakan sekelompok makanan tertentu (Krall, Gilbert, & Duncan, 1998). Jika makanan seperti sayuran lebih lama akan menyebabkan denaturasi vitamin sehingga kandungan vitamin banyak yang hilang (Alimin, Daharudin, & Harlina, 2013). Pengguna gigi tiruan cenderung menghindari sayur dan buah(Bradbury et al., 2008) yang konsistensinya keras dan cenderung makan makanan lunak(Alimin et al., 2013). Padahal, sayuran dan buah mengandung serat yang berpengaruh dalam absorpsi zat nutrisi (Cousson et al., 2012). Penelitian oleh Muller & Schimmer menunjukkan bahwa asupan beberapa zat seperti polisakarida, protein, kalsium, zat besi, niasin, dan vitamin C pada pengguna gigi tiruan penuh lebih sedikit jika dibandingkan dengan pasien bergigi (Muller & Schimmel, 2010). Sebaliknya, terdapat kecenderungan asupan karbohidrat dan lemak yang tinggi (Alimin et al., 2013). Secara umum, kekuatan gigitan pengguna gigi tiruan akan lebih kecil 5-6x dibanding pasien bergigi sehingga kemampuan mastikasinya tidak sama dengan pasien bergigi (Zarb et al., 2012). Efisiensi mastikasi pemakai gigi tiruan juga hanya sekitar 75-85% dibanding gigi lengkap.(Stegeman & Davis, 2014) Hal ini diperkirakan karena masalah dalam retensi dan stabilitas gigi tiruan serta timbulnya nyeri periosteal (Muller & Schimmel, 2010). Pengguna gigi tiruan penuh tersebut memiliki siklus mengunyah yang lebih kecil, kekuatan gigitan yang lebih rendah, dan pengurangan aktivitas otot (Muller & Schimmel, 2010). Selain itu, basis gigi tiruan yang menutupi palatum keras dapat mengurangi sensitivitas taste bud (pengecap pada lidah) sehingga mempengaruhi pengecapan dan ketajaman sensor.(Alimin et al., 2013)


Secara rata-rata, status nutrisi pengguna gigi tiruan akan lebih baik dibanding yang tidak. Penelitian Cousson et al. mendukung hal ini (Cousson et al., 2012). Salah satu aspek penelitian tersebut adalah membandingkan status nutrisi lansia pengguna gigi tiruan penuh yang telah menggunakannya selama dua tahun dengan lansia bergigi lengkap dengan menggunakan tes MNA. Hasilnya menunjukkan perbedaan yang berbeda bermakna, dengan rerata skor MNA kedua kelompok termasuk kategori normal. Pada kelompok penelitian tersebut, terdapat satu orang dengan status nutrisi buruk (malnutrisi) dan sembilan orang dalam risiko kondisi malnutrisi sedangkan pada kelompok kontrol semuanya normal. Penelitian oleh McKenna et al. yang meneliti mengenai status nutrisi sebelum dan setelah pemakaian gigi tiruan konvensional juga menunjukkan peningkatan skor MNA yang secara statistik signifikan (Mckenna et al., 2012).

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik potong lintang yang menganalisis hubungan kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi. Pada penelitian, status kehilangan gigi, pemakaian gigi tiruan, dan status nutrisi subjek dilihat dan diukur hanya satu kali pada saat pemeriksaan. Variabel bebas pada penelitian ini adalah kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan. Variabel terikatnya adalah status nutrisi. Selain itu, terdapat empat variabel confounding yang diperhatikan yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi.

Penelitian dilakukan pada acara Jambore Antar Generasi untuk Mewujudkan Lansia Tangguh” yang diadakan oleh Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia (CAS UI). Kriteria inklusi pertama untuk dapat menjadi subjek penelitian adalah mampu diajak berkomunikasi, karena pada penelitian akan dilakukan pengisian kuisioner dalam bentuk wawancara. Kriteria inklusi selanjutnya adalah dapat diukur tinggi badan, berat badan, lingkar lengan, dan lingkar betisnya karena salah satu poin dari kuisioner yang digunakan untuk mengukur status nutrisi adalah hasil dari pengukuran tersebut yang akan menentukan status nutrisi subjek. Subjek yang tidak menandatangani informed consent akan dieksklusikan sebagai subjek penelitian karena berarti subjek tersebut tidak bersedia menjadi subjek penelitian. Subjek diambil dengan cara consecutive sampling sebanyak 129 subjek.


Pada penelitian ini, peneliti dibantu 10 orang untuk mengambil data langsung pada subjek dengan sebelumnya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu. Cara kerja pengambilan data adalah sebagai berikut. Subjek penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi setelah menandatangani informed consent dicatat biodatanya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan rongga mulut untuk mengetahui kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan oleh operator. Untuk mengklasifikasikan kehilangan gigi, penelitian menggunakan indeks Eichner sedangkan untuk pemakaian gigi tiruan subjek diklasifikasikan menjadi memakai atau tidak memakai gigi tiruan saja. Setelah itu, dilakukan pengukuran status nutrisi dengan mewawancarai subjek menggunakan kuesioner Mini-Nutritional Assessment. Pengukuran tinggi badan menggunakan stature meter, berat badan menggunakan timbangan analog, serta lingkar lengan dan lingkar betis menggunakan meteran kain dilakukan untuk memenuhi beberapa poin kuesioner.

Data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak statistik.Analisis data univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentasi masing-masing variable pada populasi subjek kemudian dianalisis menggunakan uji analisis hipotesis komparatif (chi-square atau fischer’s exact test) untuk melihat hubungan antar variabel.

Hasil Penelitian

Subjek merupakan pengunjung pada acara Jambore Lansia Depok, yang mayoritas berdomisili di Kota Depok. Terdapat 131 subjek yang dilakukan pemeriksaan gigi dan wawancara, namun 2 subjek tidak lengkap data pribadinya sehingga hanya 129 subjek yang datanya dapat diolah. Table 1. Distribution of Subjects’ Average Score of Age, Number of Tooth Loss, and Expenses

Usia (tahun) Jumlah Kehilangan Gigi Pengeluaran (Rp.)

Mean 59,98 7,12 1.829.395

SD 10,16 5,82 1.326.976

Median 62,00 6,00 1.500.000

Min 34 0 100.000

Max 80 29 5.000.000

Berdasarkan Table 1. dapat kita ketahui nilai rata-rata dari usia, jumlah gigi, dan pengeluaran. Subjek penelitian rata-rata berusia 59,98 tahun, memiliki kehilangan gigi sebanyak 7,12 buah dan pengeluaran sebesar Rp1.829.395,00.


Table 2. Distribution of Subjects Based on Age, Gender, Educational Level, Expenses, Denture Wearing, Tooth Loss, and Nutritional Status in Categorical Data Variabel Usia  Dewasa (20-44)  Pralansia (45-59)  Lansia (60-69) Jenis Kelamin  Pria  Wanita Tingkat Pendidikan  Dasar (SD-SMP/setara)  Menengah (SMA/setara)  Tinggi Status Ekonomi  Di bawah rata-rata  Di atas rata-rata Pemakaian Gigi Tiruan  Tidak memakai  Memakai Kehilangan Gigi (Eichner)  A (4 zona dukungan)  B (1-3 zona dukungan/anterior saja)  C (0 zona dukungan) Status Nutrisi  Malnutrisi  Risiko malnutrisi  Normal

N

%

11 38 80

8,5 29,4 62,1

23 106

17,8 82,2

31 55 43

24,1 42,6 33,3

72 57

55,8 44,2

104 25

80,6 19,4

55 68 6

42,6 52,7 4,7

4 50 75

3,1 38,8 58,1

Berdasarkan Table 2., persentase tertinggi subjek merupakan lansia (45%), wanita (82,2%), berpendidikan tingkat menengah yaitu SMA/setara (42,6%), dan status ekonomi di bawah rata-rata (55,8%). Mayoritas subjek tidak memakai gigi tiruan (80,6%) dan mayoritas kategori kehilangan gigi berdasarkan indeks Eichnernya adalah B (52,7%). Hasil kuesioner MNA menunjukkan mayoritas status nutrisi yang dimiliki subjek adalah normal (58,1%). Table 3. Bivariate Analysis of Relation of Tooth Loss and Denture Wearing towards Nutritional Status Status Nutrisi Risiko Malnutrisi Malnutrisi N % N % Kehilangan Gigi (Eichner)  A  B  C Pemakaian Gigi Tiruan  Tidak memakai  Memakai

Normal N

P

Uji

0,883

ChiSquare

0,519

ChiSquare

%

1 3 0

1,82 4,41 0,00

21 26 3

38,18 38,23 50,00

33 39 3

60,00 57,36 50,00

3

2,88

38

36,54

63

60,58

1

4,00

12

48,00

12

48,00


Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap variabel status nutrisi. Dalam indeks Eichner yang digunakan untuk mengkategorikan kehilangan gigi seperti pada Table 3, kelompok C dan malnutrisi memiliki jumlah yang sangat sedikit. 70

45

63

33

35

50 38

40

Malnutrisi

30 25

30 20 10

39

40

60

12 12 3

1

Risiko malnutrisi

20

Normal

10

Malnutrisi

21 Risiko malnutrisi

15 5

0 Tidak Memakai

26

3

1

0

33

Normal

0

Memakai

A

Pemakaian Gigi Tiruan

B

C

Kategori Eichner

Figure 1. Charts of Nutritional Status Based on Eichner Categories and Denture Wearing

Saat indeks Eichner dijadikan pembanding pada status nutrisi, terlihat ketidakseimbangan jumlah subjek yang memiliki indeks Eichner C jika dibandingkan dengan A dan B seperti yang terlihat pada Figure 1. Oleh karena itu, kategori C akan digabung dengan kategori B dalam analisis. Kelompok malnutrisi dalam status nutrisi juga akan digabung dengan risiko malnutrisi karena jumlah kelompok malnutrisi sangat sedikit (4 subjek). Table 4. Bivariate Analysis of Relation of Tooth Loss and Denture Wearing towards Nutritional Status (MNA) with Combined Categories Status Nutrisi Kurang Baik Baik n % n % Kehilangan Gigi (Eichner)  A  B dan C Pemakaian Gigi Tiruan  Tidak memakai  Memakai

22 43

40,00 43,24

33 42

60,00 56,76

41 13

39,42 52,00

63 12

60,58 48,00

P

Uji

0,712

ChiSquare

0,252

ChiSquare

Pada analisis hubungan antara kehilangan gigi dalam indeks Eichner dan status nutrisi kita menggunakan uji hipotesis chi-square dengan tabel 2x2 karena kedua variabelnya merupakan skala kategorik, begitu pula dengan analisis hubungan antara pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi juga menggunakan uji hipotesis chi-square dengan tabel 2x2. Uji analisis hubungan antara variabel kehilangan gigi dalam indeks Eichner dan status nutrisi menunjukkan hasil


yang tidak bermakna (p=0,712), begitu pula dengan analisis hubungan antara variabel pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p=0,252). Table 5. Bivariate Analysis of Relation of Confounding Variables toward Nutritional Status (MNA) Status Nutrisi Kurang Baik Baik n % n % Usia  Dewasa  Lansia Jenis Kelamin  Pria  Wanita Tingkat Pendidikan  Dasar  Menengah  Tinggi Status Ekonomi  Di bawah rata-rata  Di atas rata-rata * p < 0,05

15 39

30,61 48,75

34 41

69,39 51,25

12 42

52,17 39,62

11 64

47,83 60,38

15 15 24

48,38 27,27 55,81

16 40 19

51,62 72,73 44,19

34 20

47,22 35,08

38 37

52,78 64,92

P

Uji

0,043*

Chisquare

0,269

Chisquare

0,012*

Chisquare

0,165

Chisquare

Saat analisis variabel confounding dengan variabel terikat, dilakukan penggabungan kelompok usia karena kelompok dewasa memiliki jumlah yang sedikit sehingga akan digabung dengan kelompok pralansia menjadi kelompok dewasa. Analisis hubungan usia, jenis kelamin, dan status ekonomi dengan status nutrisi dilakukan dengan uji chi-square tabel 2x2, sedangkan analisis hubungan tingkat pendidikan dilakukan dengan uji yang sama namun dengan tabel 3x2. Keempat analisis tersebut memenuhi syarat uji chi-square. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan bermakna antara usia dan status nutrisi (p=0,043) serta tingkat pendidikan dan status nutrisi (p=0,012), namun untuk variabel jenis kelamin dan status ekonomi tidak menunjukkan hubungan bermakna. Table 6. Bivariate Analysis of Relation of Confounding Variables towards Tooth Loss (Eichner Index)

N

Indeks Eichner B dan C % N %

24 31

48,98 38,75

25 49

51,02 61,25

10 45

43,47 42,45

13 61

56,53 57,55

15 20 20

48,38 36,36 46,51

16 35 23

51,62 63,64 53,49

A Usia  Dewasa  Lansia Jenis Kelamin  Pria  Wanita Tingkat Pendidikan  Dasar  Menengah  Tinggi Status Ekonomi

P

Uji

0,254

Chisquare

0,928

Chisquare

0,457

Chisquare

0,543

Chi-


 

Di bawah rata-rata Di atas rata-rata

29 26

40,28 45,61

43 31

59,72 54,39

square

Untuk mengetahui hubungan antara variabel confounding dan variabel bebas, peneliti kembali melakukan analisis bivariat. Penggabungan kelompok dilakukan sama seperti sebelumnya. Pada analisis variabel confounding dengan kehilangan gigi dalam bentuk indeks Eichner digunakan uji chi-square. Uji analisis hubungan antara variabel confounding yang diperhatikan (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi) dan kehilangan gigi (dalam bentuk indeks Eichner) tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Table 7. Bivariate Analysis of Relation of Confounding Variables towards Denture Wearing Memakai Gigi Tiruan Tidak Ya n % n % Usia  Dewasa  Lansia Jenis Kelamin  Pria  Wanita Tingkat Pendidikan  Dasar  Menengah  Tinggi Status Ekonomi  Di bawah rata-rata  Di atas rata-rata * p < 0,05

45 59

91,84 73,75

4 21

8,16 26,25

17 87

73,91 82,08

6 19

26,09 17,92

27 43 34

87,09 78,18 79,07

4 12 9

12,91 21,82 20,93

56 48

77,78 84,21

16 9

22,22 15,79

P

Uji

0,012*

Chi-square

0,388

Fisher’s exact test

0,575

Chi-square

0,359

Chi-square

Pada analisis variabel confounding dengan variabel pemakaian gigi tiruan, uji yang digunakan adalah uji chi-square kecuali untuk variabel jenis kelamin yang tidak memenuhi syarat karena 1 sel (25%) memiliki nilai expected count <5 sehingga digunakan uji Fischer’s exact test. Uji analisis antara usia dan pemakaian gigi tiruan menunjukkan hasil yang bermakna (p=0,012), namun untuk variabel confounding lain seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status ekonomi tidak menunjukkan hasil yang bermakna.

Pembahasan

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan indeks Eichner untuk mengklasifikasikan kehilangan gigi. Terdapat beberapa klasifikasi kehilangan gigi seperti klasifikasi Kennedy


yang digunakan di RSKGM-P FKG UI yang melihat gigi berdasarkan jumlah dan lokasi gigi yang hilang per rahang. Namun, pada penelitian ini indeks Eichner digunakan karena indeks tersebut dapat melihat banyaknya kontak oklusal yang akan mempengaruhi kemampuan mengunyah subjek. Jumlah kontak oklusal ini dianggap lebih berpengaruh dibanding klasifikasi lain.

Hasil analisis bivariat antara kehilangan gigi (indeks Eichner) dan status nutrisi (MNA) menunjukkan nilai p=0,712 (p>0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi. Pada kelompok status nutrisi kurang baik, sebanyak 43 subjek (66,15%) memiliki kategori kehilangan gigi Eichner B dan C. Namun, pada kelompok status nutrisi baik, kategori kehilangan gigi B dan C juga lebih banyak dibanding A, yaitu 42 dari 75 subjek (56%). Hal ini berbeda dengan penelitian McKenna et al. yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara hasil kuesioner MNA dan jumlah kontak oklusal posterior (Mckenna et al., 2012). Perbedaan ini dapat terjadi karena pada penelitian McKenna, ia tidak mengkategorikan kontak oklusal berdasarkan indeks Eichner, melainkan ia mengkategorikan kondisi gigi yang ada berdasarkan jumlah kontak oklusal kemudian ia analisis hubungannya dengan skor MNA. Selain itu, hasil penelitian ini juga berbeda dengan hasil penelitian Ikebe et al. (Ikebe, Matsuda, Murai, Maeda, & Nokubi, 2010) yang menyatakan bahwa jumlah kontak oklusal posterior berhubungan dengan kemampuan mastikasi yang akan berhubungan dengan status nutrisi. Hasil penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara kehilangan gigi dan status nutrisi juga dapat disebabkan karena desain penelitian yang bersifat potong lintang sehingga tidak bisa melihat hubungan kausal antara kedua variabel tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan dengan metode penelitian prospektif untuk mengetahui hubungan kehilangan gigi dan pemakaian gigi tiruan terhadap status nutrisi dalam rentang waktu tertentu.

Pada penelitian ini pemakaian gigi tiruan pada subjek dibagi menjadi memakai atau tidak memakai saja. Hal ini disebabkan karena sedikitnya jumlah pemakai gigi tiruan pada subjek. Uji chi-square antara pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi menunjukkan hasil yang tidak bermakna (p=0,252). Hasil ini bertentangan dengan penelitian Cousson et al. (Cousson et al., 2012) yang membandingkan skor MNA pada pengguna individu bergigi lengkap dan pemakai GTP dan juga bertentangan dengan hasil penelitian Soini et al. (Soini, Hiltunen, Muurinen, Suominen, & Pitkala, 2014) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi. Hal ini dapat disebabkan karena sedikitnya jumlah


pemakai gigi tiruan pada subjek, yaitu hanya 25 dari 129 subjek, sehingga akan mempengaruhi analisis data. Pada penelitian Cousson et al. pula, subjek dibandingkan dengan pemakai gigi tiruan penuh sedangkan pada penelitian ini hanya satu orang yang memakai gigi tiruan penuh sehingga efeknya bisa berbeda. Dari 25 pemakai gigi tiruan juga, hampir seluruhnya menggunakan gigi tiruan sebagian lepasan (GTSL) yang menurut penelitian memang kemampuan mastikasinya lebih rendah dibanding gigi tiruan cekat (Liedberg, Norlén, Owall, & Stoltze, 2004). Penelitian tersebut membandingkan bagaimana kemampuan subjek pemakai GTC dan GTSL dalam mengunyah permen karet dan pengonsumsian makanan yang keras. Hasil menunjukkan adanya perbedaan yang berbeda bermakna pada kelompok pemakai GTC dan GTSL dengan hasil lebih baik diperoleh pada kelompok pemakai GTC. Hal ini dapat disebabkan karena GTC yang tertahan dengan baik pada gigi membuat pengunyahan lebih mungkin dibanding GTSL. Lamanya penggunaan dan kualitas dari gigi tiruan yang dapat mempengaruhi hasil juga tidak dianalisis dalam penelitian ini, karena gigi tiruan lepasan yang longgar dapat mempengaruhi kemampuan mastikasi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan dengan memperhatikan jenis, lokasi, lama, dan kualitas gigi tiruan yang dipakai. Selain itu, status nutrisi juga tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan dan efisiensi mastikasi yang dapat ditingkatkan oleh pemakaian gigi tiruan, namun bersifat multifaktorial (Sadamori et al., 2012).

Pembagian status ekonomi pada penelitian ini menggunakan rata-rata pengeluaran sebagai titik potong. Data pengeluaran digunakan sebagai acuan status ekonomi karena mayoritas subjek sudah tidak bekerja lagi sehingga tidak memiliki pemasukkan. Titik potong menggunakan rata-rata dari pengeluaran subjek dan tidak menggunakan UMR karena data UMR digunakan untuk mengkategorikan pemasukkan, bukan pengeluaran.

Pada analisis bivariat antara variabel confounding yang diperhatikan dan status nutrisi, terlihat bahwa usia memiliki korelasi terhadap status nutrisi (P=0,043). Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan tidak ada hubungan antara usia dan status nutrisi.(Astuti, 2012) Jumlah lansia yang mengalami malnutrisi lebih banyak dibanding dewasa. Hal ini sesuai dengan penelitian Cousson et al. yang menyatakan bahwa semakin tinggi usia, semakin tinggi terjadi risiko malnutrisi (Cousson et al., 2012). Hal ini dapat disebabkan karena adanya penurunan fungsi tubuh dalam pengolahan nutrisi, baik dari segi absorpsi, transportasi, metabolisme dan ekskresi seiring dengan bertambahnya usia (Stegeman & Davis, 2014). Gaya otot yang melemah pada orang tua juga dapat menyebabkan


penurunan kemampuan mastikasi sehingga asupan nutrisi yang diasup tubuh akan semakin terbatas (Cousson et al., 2012). Tingkat pendidikan juga memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan status nutrisi (p=0,012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin baik pula pola makan, asupan nutrien, dan status nutrisinya (Chen, 2007). Hal ini dihubungkan dengan meningkatnya pengetahuan tentang nutrisi dan juga pekerjaan yang semakin baik sehingga kemampuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi. Namun pada penelitian ini, proporsi subjek dengan tingkat pendidikan tinggi yang status nutrisinya buruk lebih banyak dibanding yang status nutrisinya baik. Hal ini dapat disebabkan karena proporsi subjek yang berpendidikan tinggi lebih banyak pada usia lansia dibanding dewasa, sedangkan hasil uji hubungan antara usia dengan status nutrisi menunjukkan hubungan antara usia dan status nutrisi dengan kecenderungan semakin tua usia, semakin buruk nutrisinya. Pada penelitian, jenis kelamin dan status nutrisi tidak memiliki hubungan yang bermakna. Hal ini dapat disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah subjek pria dan wanita. Uji analisis hubungan antara status ekonomi dan status nutrisi juga tidak menunjukkan adanya hubungan, yang dapat disebabkan karena rata-rata pengeluaran pada subjek yang dijadikan titik potong sudah cukup tinggi (Rp1.829.395,00) sehingga pada subjek yang memiliki status ekonomi di bawah rata-rata pun masih lebih banyak proporsi subjek yang status nutrisinya baik (52,78%) dibanding yang kurang baik (47,22%). Hasil demikian juga dapat disebabkan karena penggunaan nilai rata-rata sebagai titik potong yang digunakan mungkin kurang tepat. Penelitian selanjutnya dapat mencoba menggunakan nilai median untuk dijadikan titik potong. Selain itu, pada saat penelitian ini terdapat beberapa subjek yang kurang tahu mengenai data pengeluaran perbulannya sehingga dapat kita tanyakan pada keluarga saja untuk penelitian selanjutnya.

Hasil uji analisis hubungan antara variabel confounding dan kehilangan gigi dalam bentuk indeks Eichner tidak ada yang menunjukkan hubungan yang bermakna, baik usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status ekonomi. Walaupun tidak berbeda bermakna secara statistik, terdapat perbedaan proporsi yaitu kehilangan gigi yang lebih buruk (indeks Eichner B dan C) lebih banyak pada lansia, wanita, tingkat pendidikan menengah, dan status ekonomi di bawah rata-rata. Hal ini sesuai dengan hasil RISKESDAS yang menyatakan bahwa kehilangan gigi meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan terjadi lebih banyak pada wanita, seta penelitian Jiang et al.(Jiang, Okoro, & Fuller, 2013) yang menyatakan bahwa prevalensi kehilangan gigi lebih banyak dialami pada orang dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah.


Ujii chi-square menunjukkan bahwa usia berhubungan dengan pemakaian gigi tiruan dengan nilai p=0,012. Hal ini sesuai dengan RISKESDAS yang menyatakan bahwa pemakaian gigi tiruan akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan pemakaian gigi tiruan ini dapat kita kaitkan dengan peningkatan jumlah kehilangan gigi yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia, sehingga makin membutuhkan gigi tiruan. Sedangkan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status ekonomi tidak berhubungan dengan pemakaian gigi tiruan. Hal ini dapat disebabkan karena terlalu sedikitnya proporsi subjek yang memakai gigi tiruan dan persebaran karakteristik yang tidak merata.

Terdapat beberapa kelemahan pada penelitian ini. Power penelitian ini adalah sebesar 75% sehingga perlu ditambahkan sampel agar kekuatan penelitiannya bertambah. Sampel pada penelitian ini diperoleh dengan metode non-probability sampling sehingga kurang dapat merepresentasikan seluruh populasi. Penelitian juga tidak memperhatikan jenis gigi tiruan, lokasi gigi tiruan, dan berapa lama gigi tiruan telah dipakai.

Kesimpulan Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 

Terdapat hubungan antara status nutrisi dan usia, status nutrisi dan tingkat pendidikan, serta usia dan pemakaian gigi tiruan



Tidak terdapat hubungan antara kehilangan gigi dan status nutrisi, pemakaian gigi tiruan dan status nutrisi, status nutrisi dan jenis kelamin, status nutrisi dan status ekonomi, kehilangan gigi dan faktor-faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi), pemakaian gigi tiruan dan jenis kelamin, pemakaian gigi tiruan dan tingkat pendidikan, serta pemakaian gigi tiruan dan status ekonomi.

Saran Dari pengalaman penelitian, saran yang dapat diberikan antara lain diperlukan penelitian lanjutan dengan metode penelitian prospektif, serta teknik probability sampling agar dapat merepresentasikan seluruh populasi dan ada keseimbangan dari faktor sosiodemografis subjek. Penelitian selanjutnya juga sebaiknya memperhatikan jenis, lokasi, lama, dan kualitas


gigi tiruan yang dipakai. Pada penelitian lanjutan yang menggunakan data pengeluaran pada lansia, lebih baik ditanyakan pada keluarga. Dalam penelitian ini pula terlihat bahwa masih banyak subjek yang mengalami kehilangan gigi dan mengalami risiko malnutrisi. Oleh karena itu, perlu adanya sosialisasi kepada para penduduk untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut serta menjaga asupan nutrisi. Dalam penelitian ini, terlihat bahwa terdapat hubungan antara usia dan status nutrisi serta kehilangan gigi dengan kecenderungan penurunan status nutrisi dan peningkatan jumlah kehilangan gigi seiring dengan peningkatan usia. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan saran untuk CAS UI sebagai masukan penyusunan program untuk meningkatkan kesehatan gigi dan status nutrisi pada lansia, yang nantinya dapat dijadikan saran pula untuk komnas lansia.

Kepustakaan

Alimin, N. H., Daharudin, H., & Harlina. (2013). Nutrisi pada pengguna GTP. Dentofasial, 12(1). Astuti, D. D. (2012). Hubungan Kehilangan Gigi dengan Status Nutrisi pada Lanjut Usia (Skripsi). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013, 118–9. Jakarta. Bradbury, J., Thomason, J. M., Jepson, N. J. a, Walls, a W. G., Mulvaney, C. E., Allen, P. F., & Moynihan, P. J. (2008). Perceived chewing ability and intake of fruit and vegetables. Journal of Dental Research, 87(8), 720–725. Carr, A. B., & Brown, D. T. (2011). McCracken’s Removable Partial Prosthodontics (12th ed.). St. Louis: Mosby. Chen, S.-H. (2007). The Relationship among Nutrition Self-Efficacy, Health Locus of Control, and Nutritional Status in the Taiwanese Elderly. Proquest. Cousson, P. Y., Bessadet, M., Nicolas, E., Veyrune, J. L., Lesourd, B., & Lassauzay, C. (2012). Nutritional status, dietary intake and oral quality of life in elderly complete denture wearers. Gerodontology, 29(2), 685–92. Craddock, H. L. (2009). Consequences of Tooth Loss: 1. The Patient Perspective - Aesthetic and Functional Implications. Dent Update, 36, 616–9. Dogan, B. G., & Gokalp, S. (2012). Tooth loss and edentulism in the Turkish elderly. Archives of Gerontology and Geriatrics, 54, 162–6.


Gibson, R. S. (2005). Principles of Nutritional Assessment (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Ikebe, K., Matsuda, K., Murai, S., Maeda, Y., & Nokubi, T. (2010). Validation of the Eichner index in relation to occlusal force and masticatory performance. The International Journal of Prosthodontics, 23(6), 521–4. Jiang, Y., Okoro, C., & Fuller, D. (2013). Sociodemographic and Health-Related Risk Factors Associated with Tooth Loss Among Adults in Rhode Island. Prev Chronic Dis, 10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta. Krall, E. H., Gilbert, G. H., & Duncan, P. (1998). How dentition status and masticatory function affect nutrition intake. J Am Dent Assco, 129, 1261–9. Liedberg, B., Norlén, P., Owall, B., & Stoltze, K. (2004). Masticatory and nutritional aspects on fixed and removable partial dentures. Clinical Oral Investigations, 8(1), 11–17. Mckenna, G., Allen, P. F., Flynn, A., Mahony, D. O., Cronin, M., & Woods, N. (2012). Impact of tooth replacement strategies on the nutritional status of partially-dentate elders. Gerodontology, 29, 883–891. Muller, F., & Schimmel, M. (2010). Tooth loss and dental prostheses in the oldest old [Article review]. European Geriatric Medicine, 1(4), 239–243. Owen, C. P. (2000). Fundamentals of Removable Partial Dentures (2nd ed.). Juta and Company Ltd. Perera, R., & Ekanayake, L. (2012). Relationship between nutritional status and tooth loss in an older population from Sri Lanka. Gerodontology, 29(2), 566–70. Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI). (2009). Kamus Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Glosarium Data & Informasi Kesehatan. Jakarta. Rahmi, D. A. (2010). Peran Status Nutrisi terhadap Kualitas Hidup Ditinjau dari Aspek Kesehatan Gigi dan Mulut pada Pra-Lanjut Usia dan Lanjut Usia Perempuan (Tesis). Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Jakarta. Rosenstiel, Land, & Fujimoto. (2006). Contemporary Fixed Prosthodontics (4th Ed.). St. Louis: Mosby. Sadamori, S., Hayashi, S., Fujihara, I., Abekura, H., Hamada, T., & Akagawa, Y. (2012). Nutritional status and oral status of the elderly with dementia: A 2-year study. Gerodontology, 29(2), 756–60.


Soini, H., Hiltunen, K., Muurinen, S., Suominen, M., & Pitkala, K. (2014). Dentition status , malnutrition and mortality among older service housing residents. The Journal of Nutrition, Health, and Aging, 18(1), 1–5. Stegeman, C. A., & Davis, J. R. (2014). The Dental Hygienist’s Guide to Nutritional Care (4th Ed., pp. 294–6). Elsevier. Touger-Decker, R., Sirois, D., & Mobley, C. C. (2005). Nutrition and Oral Medicine Volume 1. Totowa: Humawa Press. Wang, T. F., Chen, Y. Y., Liou, Y. M., & Chou, C. (2014). Investigating tooth loss and associated factors among older Taiwanese adults. Archives of Gerontology and Geriatrics, 58(3), 446–453. Yoshino, K., Kikukawa, I., Yoda, Y., Watanabe, H., Fukai, K., Sugihara, N., & Matsukubo, T. (2012). Relationship between Eichner Index and Number of Present Teeth. The Bulletin of Tokyo Dental College, 53(1), 37–40. Zarb, G., Hobkirk, J., Eckert, S., & Jacob, R. (2012). Prosthodontic Treatment for Edentulous Patients (13th ed.). Mosby.


Hubungan Kehilangan Gigi dan Pemakaian Gigi Tiruan Terhadap Status Nutrisi

Recommend Documents