Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014
HUBUNGAN KEGEMUKAN BERDASARKAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN HIPERTENSI PADA KARYAWAN PERUSAHAAN CATERING ACS, 2013 Imas Latifah1, Titi Indriyati2, Sumiati Bedah1 1
Program studi Analis Kesehatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas MH. Thamrin Program Studi Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas MH. Thamrin Alamat Korespondensi : Program studi Analis Kesehatan, Fakultas Kesehatan, Universitas MH.Thamrin, Jln. Raya Pondok Gede No. 23-25 Kramat Jati Jakarta Timur 13550 Telp : 8096411 ext 1208 2
ABSTRAK Hipertensi merupakan bahaya diam-diam yang bisa mematikan, karena tidak ada gejala atau tanda khas untuk peringatan dini, selain itu merupakan pemicu terjadinya penyakit jantung dan stroke. Banyak faktor yang dapat mejadi penyebab terjadinya hipertensi yang diantaranya adalah obesitas dan pola makan, dimana beberapa kondisi dalam lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan masalah obesitas dan hipertensi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara kegemukan dan hipertensi pada pegawai perusahaan Aero Catering Services tahun 2013. Hasil penelitian dengan disain Cross Sectional adalah angka prevalensi hipertensi pada responden (karyawan) PT. ACS ditemukan sebesar 50,9% dan kegemukan sebesar 31,6%. Variabel yang berhubungan secara signifikan dengan kejadian hipertensi pada karyawan PT. ACS adalah umur (PR: 1,58, CI 95%: 1,21-2,07), pendidikan (PR=1,58, CI 95% 1,04-2,40), lama bekerja (PR=1,33 CI 95% 1,01-1,75), dan mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga (PR= 1,58, CI 95% 1,22-2,05). Variabel yang memiliki hubungan paling kuat (dominan) dengan nilai p <0,05 adalah riwayat hipertensi dalam keluarga (PR=1,65 CI 95% 1,019-2,659) dan aktifitas fisik (PR=1,56 CI 95% 0,89-2,73). Hubungan kegemukan berdasarkan indikator IMT terhadap kejadian hipertensi mempunyai nilai PR 1,138 (95% CI 0,76-1,69) dalam model akhir sehingga dapat menunjukan bahwa kegemukan memiliki risiko 1,138 terhadap hipertensi setelah dikontrol oleh variabel riwayat keturunan hipertensi dan aktifitas fisik. Adanya nilai rentang kepercayaan yang kurang signifikan terhadap hubungan tersebut dapat terjadi karena penelitian ini tidak menggali lebih jauh tentang riwayat pengobatan hipertensi pada responden, sehingga kemungkinan responden yang tidak hipertensi ada yang sedang menjalani terapi (minum obat) hipertensi. Hal tersebut menyebabkan nilai PR yang cenderung rendah dan nilai 95% CI yang tidak signifikan. Kata Kunci:Hipertensi, kegemukan, indeks masa tubuh (IMT), karyawan ACS Pendahuluan Hipertensi atau yang lebih dikenal oleh mayarakat dengan darah tinggi merupakan bahaya diam-diam yang bisa mematikan, karena tidak ada gejala atau tanda khas untuk peringatan dini, selain itu merupakan pemicu terjadinya penyakit jantung dan stroke. Hipertensi merupakan gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah di atas nilai normal (140/90 mm Hg atau lebih). Angka 140 menunjukkan tekanan pada pembuluh arteri ketika jantung berkontraksi yang disebut dengan tekanan sistolik sedangkan 90 menunjukkan tekanan ketika jantung sedang berelaksasi yang disebut dengan tekanan diastolik. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan, sebagian besar kasus hipertensi di masyarakat belum terdiagnosis. Hal ini terlihat dari hasil pengukuran tekanan darah pada usia 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 31,7%, dimana hanya 7,2% penduduk yang sudah mengetahui memiliki hipertensi dan hanya 0,4% kasus yang minum obat hipertensi. Data dari WHO menunjukkan bahwa di seluruh dunia, sekitar 972 juta orang atau 26,4% penduduk dunia
mengidap hipertensi dengan perbandingan 26,6% pria dan 26,1% wanita. Angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025. Sebanyak 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju dan 639 juta sisanya berada di negara sedang berkembang, temasuk Indonesia (Andra, 2007). Banyak factor yang dapat mejadi penyebab terjadinya hipertensi, antara lain: usia, stress, kebiasaan merokok, minuman beralkohol, kurang olahraga, obesitas dan pola makan serta aktivitas yang tak seimbang memiliki kontribusi sebagai penyebab hipertensi. Menurut laporan Riskesdas Indonesia tahun 2010, status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi. Permasalahan gizi pada orang dewasa cenderung lebih dominan untuk kelebihan berat badan. Secara nasional dapat dilihat masalah gizi pada penduduk dewasa di atas 18 tahun adalah : 12,6 % kurus, dan 21,7 % adalah gabungan kategori berat badan lebih dan obesitas. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi obesitas pada laki-laki lebih rendah (16,3%) dibanding perempuan (26,9%). Prevalensi obesitas cenderung mulai meningkat setelah usia 35 tahun keatas, dan kemudian menurun kembali setelah usia 60 tahun keatas, baik pada 50
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan karakteristik masalah obesitas cenderung lebih tinggi pada penduduk yang tinggal di perkotaan, berpendidikan lebih tinggi dan pada kelompok status ekonomi yang tertinggi pula. Indeks Massa Tubuh merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat berat badan lebih pada populasi orang dewasa. Status gizi dewasa adalah penilaian status gizi penduduk diatas 18 tahun yang dinilai denganIndeks Massa Tubuh (IMT). Rumus yang digunakan adalah pembagian berat badan (Kg) dengan kuadrat tinggi badan (cm). Berikut adalah batasan IMT yang digunakan untuk menilais status gizi pendudukdewasa, yaitu: Kategori kurus IMT < 18,5; Kategori normal IMT >18,5 - <24,9; Kategori BB lebih IMT >25,0 - <27,0; dan Kategori obesitas IMT >27,0. (Riskesdas, 2010). Dinyatakan pula dalam laporan Riskesdas 2010, bahwa prevalensi obesitas cenderung lebih tinggi pada kelompok penduduk dewasa yang juga bekerja sebagai pegawai yaitu 2,8%. Beberapa kondisi pada lingkungan pekerjaan dapat berisiko menimbulkan masalah kesehatan pada pegawainya. Kondisi tersebut antara lain: disain tempat kerja yang tidak dibentuk untuk pergerakan bebas, beberapa pekerjaan dengan aktifitas atau gerakan tertentu dan terbatas, serta pilihan makanan yang tidak sehat di kantin. (Dilla, 2008). Ada kemungkinan masalah obesitas dan kelebihan berat badan pada pegawai, mungkin sebagian berhubungan dengan kondisi kerja yang buruk. Tekanan dan tuntutan pekerjaan dapat mempengaruhi kebiasaan makan dan pola aktivitas, yang dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas. Hal tersebut tentunya perlu diwaspadai terhadap risiko terjadinya peningkatan tekanan darah (hipertensi) yang menjadi salah satu penanda gangguan kardiovaskuler. Masalah hipertensi di perusahaan catering ACS (Aero Catering Services) saat ini terdokumentasi dalam catatan medis klinik perusahaan sebesar 18,8 %. Angka tersebut relatif tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus penyakit lainnya. Hal ini tentunya menjadi fokus perhatian dalam perusahaan tersebut, dengan mempertimbangkan dampak buruk yang dapat mempengaruhi produktifitas pegawai akibat masalah hipertensi. Terkait pula dengan penyediaan makanan yang dapat diambil sesukanya, menyebabkan asupan makanan pegawai menjadi tidak terkontrol. Sangat dimungkinkan asupan kalori menjadi lebih besar daripada aktifitas fisiknya, hal tersebut dapat berisiko pegawai mengalami kelebihan berat badan ataupun obesitas. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian di perusahaan catering ACS (Aero Catering Services) dengan disain studi cross sectional untuk melihat adanya hubungan antara indeks massa tubuh (IMT) dengan kejadian hipertensi. Hal tersebut juga sejalan dengan program pemerintah dalam mengupayakan program gizi seimbang untuk mengatasi
masalah obesitas pada penduduk dewasa, agar dapat mencegah penyakit kronis seperti darah tinggi, kolesterol, diabetes, dan lain-lain. Kajian Literatur Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan sistolik sedikitnya 90 mmHg (Price, 2005). Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang memberikan gejala yang akan berlanjut ke suatu organ target seperti stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah jantung) dan hipertrofi ventrikel kiri (untuk otot jantung) (Bustan, 2007). Tekanan darah diukur dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama lima menit sampai tiga puluh menit setelah merokok atau minum kopi. Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII Sumber: WHO Regional 2005 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Pra Hipertensi Hipertensi tahap I Hipertensi tahap II
Tekanan Darah Sistolik (mmHg) >120 120 - 139 140 – 159 > 160
Tekanan Darah Diastolik (mmHg) < 80 80-89 90-99 >100
Tekanan darah diklasifikasikan berdasarkan pada pengukuran rata-rata dua kali atau lebih pengukuran pada dua kali atau lebih kunjungan. Berdasarkan kriteria dari The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003, seseorang dikatakan menderita hipertensi bila tekanan darah sistolik > 140 mmHG dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg. Kriteria tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes, 2006) Gejala hipertensi biasanya tidak spesifik, misalnya sakit kepala atau pusing, gejala lain yang sering ditemukan adalah: epistaksis, mudah marah, telinga berdenging, rasa berat di tengkuk, sukar tidur dan mata berkunangkunang. Apabila hipertensi tidak diketahui dan tidak dirawat dapat mengakibatkan kematian karena payah jantung, infark miokardium, stroke atau gagal ginjal. Dengan adanya deteksi dini dan perawatan yang tepat, dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas karena hipertensi. Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui 51
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (anti diuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Patogenesis dari hipertensi esensial merupakan multifaktorial dan sangat komplek. Faktorfaktor tersebut merubah fungsi tekanan darah terhadap perfusi jaringan yang adekuat meliputi mediator hormon, aktivitas vaskuler, volume sirkulasi darah, kaliber vaskuler, viskositas darah, curah jantung, elastisitas pembuluh darah dan stimulasi neural. Patogenesis hipertensi esensial dapat dipicu oleh beberapa faktor meliputi faktor genetik, asupan garam dalam diet, tingkat stress dapat berinteraksi untuk memunculkan gejala hipertensi. Perjalanan penyakit hipertensi esensial berkembang dari hipertensi yang kadang-kadang muncul menjadi hipertensi yang persisten. Setelah periode asimtomatik yang lama, hipertensi persisten berkembang menjadi hipertensi dengan komplikasi, dimana kerusakan organ target di aorta dan arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan susunan saraf pusat. Progresifitas hipertensi dimulai dari prehipertensi pada pasien umur 10-30 tahun (dengan meningkatnya curah jantung) kemudian menjadi hipertensi dini pada pasien umur 20-40 tahun (dimana tahanan perifer meningkat) kemudian menjadi hipertensi pada umur 30-50 tahun dan akhirnya menjadi hipertensi dengan komplikasi pada usia 40-60 tahun (Menurut Sharma S et al, 2008 dalam Anggreini AD et al, 2009). Sampai saat ini penyebab hipertensi esensial tidak diketahui dengan pasti. Hipertensi primer tidak disebabkan oleh faktor tunggal dan khusus. Hipertensi ini disebabkan berbagai faktor yang saling berkaitan. Hipertensi sekunder disebabkan oleh faktor primer yang diketahui yaitu seperti kerusakan ginjal, gangguan obat tertentu, stres akut, kerusakan vaskuler dan lain-lain. Adapun penyebab paling umum pada penderita hipertensi maligna adalah hipertensi yang tidak terobati. Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi (Yogiantoro M, 2006) : a. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yaitu: Umur, Jenis Kelamin, Keturunan. b. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu: Merokok, Aktivitas fisik, Asupan garam berlebih, Kopi, Stress, Status Perkawinan, Pendidikan, Pekerjaan, Sosial ekonomi, Diet rendah serat, dan Obesitas Komplikasi yang terjadi pada hipertensi dapat mengenai mata, ginjal, jantung dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat selain kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi perdarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikro aneurisma yang dapat mengakibakan kematian. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah proses tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (Transient Ischemic Attack/TIA) (Anggreini AD et al, 2009). Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: target tekanan darah yaitu <140/90 mmHg dan untuk individu berisiko tinggi seperti diabetes melitus, gagal ginjal target tekanan darah adalah <130/80 mmHg.; penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler; Menghambat laju penyakit ginjal. Terapi dari hipertensi terdiri dari terapi non farmakologis dan farmakologis adalah : a. Terapi Non Farmakologis: 1) Menurunkan berat badan bila status gizi berlebih. Oleh karena itu, manajemen berat badan sangat penting dalam prevensi dan kontrol hipertensi; 2) Meningkatkan aktifitas fisik, Orang yang aktivitasnya rendah berisiko terkena hipertensi 30-50% daripada yang aktif. Oleh karena itu, aktivitas fisik antara 30-45 menit sebanyak >3x/hari penting sebagai pencegahan primer dari hipertensi; 3) Mengurangi asupan natrium, apabila diet tidak membantu dalam 6 bulan, maka perlu pemberian obat anti hipertensi oleh dokter; 4) Menurunkan konsumsi kafein dan alkohol. Kafein dapat memacu jantung bekerja lebih cepat, sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya. Sementara konsumsi alkohol lebih dari 2-3 gelas/hari dapat meningkatkan risiko hipertensi. b. Terapi Farmakologis: yaitu obat antihipertensi yang dianjurkan oleh JNC VII yaitu diuretika, terutama jenis thiazide (Thiaz) atau aldosteron antagonis, beta blocker, calcium chanel blocker atau calcium antagonist, Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI), Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/ blocker (ARB). Kegemukan atau obesitas merupakan suatu faktor yang mempengaruhi tekanan darah. Framingham Study telah menemukan bahwa peningkatan 15% berat badan dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah 52
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 sistolik sebesar 18%. Dibandingkan dengan mereka yang mempunyai berat normal, orang yang overweight dengan kelebihan berat badan sebesar 20% mempunyai resiko 8 x (delapan kali lipat) lebih besar terhadap hipertensi. Menurut WHO (2011) pada tahun 2008, sekitar 1,5 milliar orang dewasa (usia 20 tahun ke atas) adalah overweight dan lebih dari 200 juta laki-laki dan sekitar 300 juta wanita adalah obese. WHO juga memprediksi bahwa pada tahun 2015, sekitar 2.3 milliar dewasa akan mengalami overweight dan lebih dari 700 milliar akan obese. Obesitas adalah ketidakseimbangan antara energi yang dikonsumsi dalam makanan dan energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi disimpan dalam sel-sel lemak yang membesar (hipertrofi) dan/atau meningkatnya jumlah sel (hiperplasia). Pembesaran selsel lemak menghasilkan masalah klinis yang terkait dengan obesitas baik karena berat atau massa lemak ekstra atau peningkatan sekresi asam lemak bebas dan peptida banyak dari sel-sel lemk diperbesar (Bray, 2004). Metode yang paling banyak digunakan dalam mengukur tingkat kegemukan adalah indeks massa tubuh (IMT) yang merupakan kalkulasi angka dari berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m²). Nilai dari IMT pada orang dewasa tidak bergantung pada umur maupun jenis kelamin. Tetapi, IMT mungkin tidak berhubungan langsung dengan derajat kegemukan pada populasi yang berbeda, dikarenakan perbedaan proporsi tubuh mereka (WHO, 2000). Untuk kepentingan pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas ambang antara laki-laki dan perempuan. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian dibeberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 2. Nilai Indeks Masa Tubuh (IMT) Kurus Normal Gemuk
Kategori Kekurangan berat badan tingkat berat Kekurangan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat ringan Kelebihan berat badan tingkat berat
IMT < 17,0 17,0 – 18,4 18,5 – 25,0 25,1 – 27,0 > 27,0
Metode Penelitian Hipotesis penelitian yang ingin dibuktikan oleh peneliti, yaitu : Ada perbedaan kejadian hipertensi antara responden yang mengalami kegemukan dibandingkan dengan responden yang memiliki berat badan normal pada di perusahaan Catering ACS. Rancangan studi ini bersifat deskriptif analitik menggunakan disain studi cross sectional. Secara deskriptif penelitian ini menggambarkan hubungan antara kegemukan berdasarkan indikator IMT
dengan hipertensi pada karyawan di PT Aero Catering Services (ACS), sedangkan secara analitik adalah melihat hubungan variabel independent atau variabel bebas yaitu kegemukan dengan variabel dependent yaitu hipertensi yang mungkin akan dipengaruhi oleh variabel lain sebagai confounder yaitu: umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, lama bekerja, riwayat hipertensi dalam keluarga, status stress, aktifitas fisik, riwayat merokok, riwayat pemeriksaan kesehatan rutin, penambahan berat badan, asupan natrium, asupan lemak dan kebiasaan minum kopi. Alasan menggunakan desain cross sectional (Hasmi, 2012) : Studi ini dapat mengukur prevalensi kejadian penyakit; Desain ini relatif mudah, murah dan hasilnya cepat dapat diperoleh; Dapat dipakai untuk meneliti sekaligus banyak variabel; Tidak terancam loss to follow up (drop out); Studi ini baik untuk mengamati etiologi penyakit yang mempunyai onset lama (slow onset) dan lama sakit (duration) yang panjang Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan PT. Aero Catering Services (ACS). Unit sampel pada penelitian ini adalah individu. Sampel penelitian ini dipilih populasi yang sesuai dengan kriteria inklusi, yaitu: terdaftar sebagai karyawan PT ACS pada saat penelitian dilaksanakan, kondisi fisik secara umum sehat pada waktu pemeriksaan dan bersedia dilakukan wawancara, pengisian kuesioner dan pemeriksaan fisik. Sedangkan kriteria eksklusi adalah responden dengan IMT 18,5 < kg/m² (kurus). Penelitian dilaksanakan dengan cara membandingkan kelompok karyawan yang terpapar oleh berat badan lebih (gemuk) dengan IMT > 25 kg/m² dengan kelompok karyawan yang tidak terpapar oleh berat badan lebih atau IMT < 25 kg/m². Selanjutnya dihubungkan, dengan kejadian hipertensi berdasarkan klasifikasi JNC 7. Penentuan besar sampel untuk disain cross sectional menggunakan rumus perhitungan sampel menurut Lemeshow, 1997, yaitu untuk menentukan jumlah sampel minimal, menggunakan rumus uji hipotesis pada dua proporsi yang berbeda. Dari hasil perhitungan rumus, maka total sampel minimal untuk penelitian ini adalah 286 responden. Jumlah total responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini sejumlah 228 orang. Pengumpulan Data: Data IMT dan tekanan darah diperoleh dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan serta melakukan pengukuran tekanan darah secara langsung pada responden penelitian. Data faktor risiko lainnya diperoleh melalui wawancara sesuai pertanyaan yang ada pada kuesioner dan wawancara 24 jam food recall. Hasil Penelitian Dan Pembahasan ACS merupakan perusahaan catering tipe komersial yang melayani kebutuhan catering untuk alat transportasi umum internasional dan pesawat udara. ACS 53
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 pada awalnya merupakan unit perusahaan PT Garuda Indonesia Airways yang bergerak dalam pelayanan jasa boga penerbangan Garuda yang pertama kali dimulai di Bandar Udara Kemayoran Jakarta dengan nama Garuda Airline Flight Kitchen atau Dapur Penerbangan Garuda pada tahun 1970. Pada tahun 1974 dengan dibukanya bandar udara Halim Perdana Kusumah, dibentuk usaha gabungan (Joint Ventur) antara Garuda dengan Dairy Farm Catering Service. Seiring dengan semakin berkembanganya industri penerbangan serta dengan dibukanya Jakarta International Airport Cengkareng yang sekarang dikenal dengan nama Bandara Soekarno Hatta, usaha inipun semakin berkembang dan pindah di area Bandara Soekarno Hatta Cengkareng. Setelah pindah di area Bandara Soekarno Hatta, kemudian pada tahun 1991 perusahaan ini dikenal dengan Branding Aerowisata Catering Service (ACS) dengan nama badan usaha PT. Angkasa Citra Sarana Catering Service. Pada Tahun 2009, perusahaan memandang perlu untuk memakai image baru kepada pelanggan sehingga diputuskan dengan New Branding yaitu Aerofood ACS dengan nama badan hukum tetap PT Angkasa Citra Sarana Catering Service. Seluruh cabang ACS saat ini mampu memproduksi sebanyak 55.000 porsi makanan setiap harinya. Sedangkan untuk ACS yang ada di Jakarta mampu memproduksi makanan sebanyak 38.000 porsi setiap harinya. Dalam proses produksinya, ACS telah menerapkan standar internasional sesuai dengan standar ISO 9001 – 2001 dan ISO 22000. Untuk penerbangan
Garuda, ACS juga menyiapkan makanan untuk pesanan khusus penumpang seperti : vegetarian meal, kosher meal, diabetic meal, gluten atau sugar free meal, low fat meal, soft diet meal dan low salt diet meal. Analisis Univariat Analisi univariat merupakan analisis deskriptif dengan cara analisis yang mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul. Tabel 3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Variabel Utama No. 1
2
Variabel Kegemukan
Tekanan darah
(IMT>
25
Frekuensi n % 72 31,6
(IMT<
25
156
68,4
Total
228 116 112 228
100 50,9 49,1 100
Katagori Gemuk kg/m²) Normal kg/m²) Hipertensi Normal Total
Tabel 3. terlihat bahwa karyawan PT. ACS yang masuk sebagai responden penelitian ini sebagian besar yaitu 68,4% tidak gemuk berdasarkan indikator indeks massa tubuh (IMT < 25 kg/m²), sedangkan dari hasil pengukuran tekanan darah ditemukan bahwa proporsi penderita hipertensi sedikit lebih tinggi yaitu 50,9% daripada yang bertekanan darah normal
Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor risiko hipertensi yang berkaitan dengan karakteristik demografi No.
Variabel
Katagori
1.
Umur
> 45 tahun < 45 tahun
2.
Jenis kelamin
Laki-laki Perempuan
3.
Pendidikan
SMA PT
4.
Pendapatan per bulan
< 3 juta rupiah 3 – 5 juta rupiah > 5 juta rupiah
5.
Bagian pekerjaan
6.
Lama bekerja
7.
Riwayat keturunan hipertensi dalam keluarga
Total
Total
Total
Total Office/kitchen/store/equipment Produksi/operasional Total > 10 tahun < 10 tahun Total Ada Tidak Total
Frekuensi n % 116 50,9 112 49,1 228 100 164 71,9 64 28,1 228 100 182 79,8 46 20,2 228 100 72 31,6 128 56,1 28 12,3 228 100 90 39,5 138 60,5 228 100 132 57,9 96 42,1 228 100 28 12,3 200 87,7 228 100
54
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 Tabel 4. menunjukkan bahwa sebagian besar (50,9%) responden berusia lebih dari 45 tahun dan sebanyak 71,9% karyawan laki-laki. Latar belakang pendidikan responden lebih banyak yang berpendidikan SMA (79,8%), dengan pendapatan per bulan sebanyak 56,1% adalah berkisar antara 3-5 juta rupiah. Sebagian besar
responden bekerja di bagian produksi yaitu 60,5% dengan lama kerja terbanyak adalah lebih dari 10 tahun (57,9%). Sedangkan bila dilihat dari adanya riwayat keturunan hipertensi dalam keluarga, hanya 12,3% responden yang memiliki keluarga (orang tua) dengan hipertensi.
Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan faktor risiko hipertensi: yang berkaitan dengan gaya hidup No.
Variabel
1.
Status Stress
2.
Aktifitas fisik
3.
Kebiasaan merokok
4.
Riwayat pemeriksaan kesehatan rutin Penambahan berat badan selama bekerja di PT.ACS
5.
Katagori Ya Tidak Total Rendah (< 600 MET) Sedang (600-1499 MET) Tinggi (> 1500 MET) Total Ya Mantan perokok Tidak Total Ya Tidak Total > 5 kg < 5 kg Missing Total
Tabel 5. menunjukkan status stress, hanya 4,8% karyawan PT. ACS yang berpastisipasi sebagai repsonden mengalami stress berdasarkan kriteria skor Holmes. Dalam aktifitas fisik sehari-hari yang diukur mengikuti standar IPAQ maka terlihat sebagian besar yaitu 53,9% responden termasuk dalam katagori aktifitas fisik yang rendah (kurang dari 600 MET). Berdasarkan kebiasaan merokoknya, tampak hanya sebagian kecil
Frekuensi n % 11 4,8 217 95,2 228 100 123 53,9 31 13,6 74 32,5 228 100 38 16,7 39 17,1 151 66,2 228 100 203 89 25 11 228 100 99 43,4 86 37,7 43 18,9 228 100
(16,7%) yang masih memiliki kebiasaan merokok. Hampir seluruh karyawan (89%) selalu rutin mengikuti pemeriksaan kesehatan. Sedangkan berdasarkan jawaban responden tentang adanya pertambahan berat badan selama bekerja di PT ACS tercatat sebanyak 43,4% menjawab mengalami kenaikan berat badan sampai lebih dari 5 kg, namun 18,9% responden tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Tabel 6. Distribusi responden berdasarkan faktor risiko hipertensi yang berkaitan dengan pola makan No.
Variabel
Katagori
1.
Asupan Natrium
> median (> 127 mg per hari) < median (< 127 mg per hari)
2.
Asupan Lemak
> median (> 32 gram per hari) < median (< 32 gram per hari)
3.
Kebiasaan kopi
4.
Jumlah konsumsi kopi per hari
Total
Total minum
Ya Tidak Total 2-4 cangkir per hari 1 cangkir per hari Tidak minum kopi Total
Frekuensi n % 114 50 114 50 228 100 114 50 114 50 228 100 71 31,1 157 68,9 228 100 17 7,5 54 23,7 157 68,9 228 100
55
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 Tabel 6. menunjukan penilaian asupan Natrium dengan katagori berdasarkan nilai median yang ada yaitu 127 mg per hari, maka tampak distribusi yang sama antara responden yang memiliki nilai kurang ataupun lebih dari median asupan Natrium dan lemak per harinya. Sedangkan untuk penilaian asupan kopi, sebagian besar responden (68,9%) tidak memiliki kebiasaan minum kopi. Bagi responden yang biasa
minum kopi dapat dilihat hanya 7,5% yang memiliki kebiasaan minum kopi antara 2-4 cangkir per hari. Analisis Bivariat Untuk mengetahui beberapa variabel yang mungkin berhubungan dengan kejadian hipertensi pada responden, dilakukan analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen yaitu sebagai berikut:
Tabel 7. Hubungan kegemukan dengan hipertensi Variabel Hipertensi Jumlah PR 95% CI P Kegemukan Ya Tidak lower upper value berdasarkan n % n % IMT Gemuk 39 54,2 33 45,8 72 1,10 0,84 1,43 0,500 BB Normal 77 49,4 79 50,6 156 Reff Tabel 7. menunjukkan bahwa proporsi responden yang pada mereka yang gemuk 1,10 kali lebih tinggi daripada gemuk (IMT>25 kg/m²) lebih banyak yang mengalami yang tidak gemuk. Namun secara statistik tampak hipertensi (54,2%) dibandingkan dengan mereka yang hubungan tersebut belum bermakna dilihat dari p value > berat badannya normal. Prevalence rasio (PR) hipertensi 0,05 dan rentang nilai 95% CI 0,84-1,43.
Tabel 8. Hubungan antara faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan karakteristik responden dengan hipertensi. Variabel
Hipertensi Ya n
Umur >45 tahun <45 tahun Jenis Kelamin Pria Wanita Pendidikan SMA PT Pendapatan < 3 juta 3-5 juta > 5 juta Pekerjaan Office Produksi Lama bekerja > 10 tahun < 10 tahun Riwayat keturunan hipertensi Ada Tidak
Jumlah
PR
Tidak %
n
95% CI lower upper
P value
%
72 44
62,1 39,3
44 68
37,9 60,7
116 112
1,58 Reff
1,21
2,07
0,001
89 27
54,3 42,2
75 37
45,7 57,8
164 64
1,29 Reff
0,94
1,77
0,101
100 16
54,9 34,8
82 30
45,1 65,2
182 46
1,58 Reff
1,04
2,40
0,015
29 72 15
40,3 56,2 53,6
43 56 13
59,7 43,8 46,4
72 128 28
0,75 1,05 Reff
0,40 0,60
1,40 1,83
0,370 0,864
48 68
53,3 49,3
42 70
46,7 50,7
90 138
1,08 Reff
0,84
1,40
0,549
75 41
56,8 42,7
57 55
43,2 57,3
132 96
1,33 Reff
1,01
1,75
0,035
21 95
75 47,5
7 105
25 52,5
28 200
1,58 Reff
1,22
2,05
0,006
Tabel 8. menunjukkan tentang hubungan antara faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan karakteristik responden dengan hipertensi. Dilihat dari faktor tersebut hanya umur, pendidikan, lama bekerja dan riwayat keturunan hipertensi yang berhubungan bermakna secara statistik.
Hasil Pada Tabel 9. menunjukkan tentang hubungan antara faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan gaya hidup responden dengan hipertensi hanya variabel merokok yang tampak memiliki hubungan yang signifikan.
56
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 Tabel 9. Hubungan antara faktor risiko: gaya hidup dengan hipertensi Variabel
Hipertensi Ya n
Status stress Ya Tidak Aktifitas fisik Rendah Sedang Tinggi Riwayat merokok Ya Mantan perokok Tidak Riwayat pemeriksaan kes rutin Tidak Ya Penambahan berat badan > 5 kg < 5 kg Missing
%
Jumlah
PR
95% CI lower upper
Tidak n %
P value
6 110
54,5 50,7
5 107
45,5 49,3
11 217
1,08 Reff
0,62
1,88
0,803
64 20 32
52 64,5 43,2
59 11 42
48 35,5 56,8
123 31 74
1,20 1,49 Reff
0,79 0,85
1,84 2,61
0,393 0,160
22 27 67
57,9 69,2 44,4
16 12 84
42,1 30,8 55,6
38 39 151
1,31 1,56 Reff
0,81 1,00
2,11 2,44
0,279 0,050
10 106
40 52,2
15 97
60 47,8
25 203
0,77 Reff
0,47
1,26
0,249
55 39 22
55,6 45,3 51,2
44 47 21
44,4 54,7 48,8
99 86 43
1,23 Reff 1,13
0,81
1,85
0,332
0,67
1,90
0,651
Tabel 10. Hubungan antara faktor risiko yang berkaitan dengan pola makan dengan hipertensi. Variabel n
Hipertensi Tidak % n %
54 62
47,4 54,4
60 52
52,6 45,6
114 114
0,87 Reff
0,67
1,13
0,289
58 58
50,9 50,9
56 56
49,1 49,1
114 114
1,00 Reff
0,78
1,29
1,000
34 82
47,9 52,2
37 75
52,1 47,8
71 157
0,92 Reff
0,69
1,11
0,544
9 25 82
52,9 46,3 52,2
8 29 75
47,1 53,7 47,8
17 54 157
1,01 0,87 Reff
0,51 0,57
2,02 1,39
0,969 0,598
Ya Asupan Natrium > median (>127 mg) < median (< 127mg) Asupan lemak > median (>32 gr) < median (< 32gr) Kebiasaam minum kopi Ya Tidak Jumlah konsumsi kopi per hari 2-4 cangkir 1 cangkir Tidak minum
Jumlah
PR lower
Tabel 10. menunjukkan tentang hubungan antara faktorfaktor risiko yang berkaitan dengan pola makan responden dengan hipertensi, tampak tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik. Hasil analisis Multivariat Dari tabel 11, terlihat proses pengujian confounder dari full model dalam hubungan variabel
95% CI upper
P value
independen utama dan variabel covariat terhadap kejadian hipertensi. Dalam proses pengujian, dikeluarkan variabel yang tidak signifikan dengan nilai PR kecil. Variabel yang dikeluarkan dalam pemodelan adalah variabel yang tidak memenuhi asumsi confounder sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap hubungan antara kegemukan terhadap kejadian hipertensi.
57
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 Tabel 11. Hasil analisis pengujian confounder dari full model hubungan kegemukan dengan hipertensi. No
Variabel yang dieliminasi
PR full
PR reduce
Selisih PR
Kesimpulan -
1
Full model
1,10
-
-
2
Jumlah kopi yg dikonsumsi
1,10
1,024
6,91%
Bukan Confounder
3
Lama bekerja
1,10
1,032
6,18%
Bukan Confounder
4
Riwayat pemeriksaan kes
1,10
1,032
6,18%
Bukan Confounder
5
Asupan natrium
1,10
1,033
6,09%
Bukan Confounder
6
Pendapatan
1,10
1,075
2,27%
Bukan Confounder
7
Kebiasaan minum kopi
1,10
1,069
2,82%
Bukan Confounder
8
Asupan lemak
1,10
1,070
2,73%
Bukan Confounder
9
Jenis kelamin
1,10
1,062
3,45%
Bukan Confounder
10
Penambahan BB
1,10
1,064
3,27%
Bukan Confounder
11
Pekerjaan (bagian)
1,10
1,071
2,64%
Bukan Confounder
12
Status stress
1,10
1,060
3,64%
Bukan Confounder
13
Aktifitas fisik
1,10
0,966
12,18%
14
Umur
1,10
1,181
7,36%
Bukan Confounder
15
Merokok
1,10
1,189
8,09%
Bukan Confounder
16
Pendidikan
1,10
1,138
3,45%
Bukan Confounder
17
Riwayat keturunan hipertensi
1,10
1,146
4,18%
Bukan Confounder
Penilaian confounder merupakan tahap akhir analisis multivariat dan ditemukan satu variabel confounder yaitu aktifitas fisik. Dengan demikian model akhir analisis
Confounder
multivariat dalam hubungan kegemukan dengan kejadian hipertensi adalah sebagai berikut:
Tabel 12. Pemodelan multivariat tahap akhir No 1. 2. 3. 4.
Variabel Kegemukan Riwayat keturunan hipertensi Aktifitas fisik (1= tinggi) Aktifitas fisik (2= sedang)
Tabel di atas menunjukkan bahwa dari keseluruhan variabel independen yang diduga mempengaruhi kejadian hipertensi pada responden (karyawan PT. ACS) terdapat satu variabel yang paling berpengaruh terhadap hipertensi, yaitu riwayat keturunan hipertensi dalam keluarga dimana nilai prevalens rasio terbesar yaitu 1,65. Hal tersebut menunjukan bahwa riwayat keturunan hipertensi mempunyai prevalensi rasio hipertensi 1,65 kali lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki riwayat keturunan hipertensi. Prevalens hipertensi pada reponden yang mengalami kegemukan sebesar 1,14 lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak mengalami kegemukan, setelah dikontrol oleh riwayat keturunan hipertensi dan aktifitas fisik. Namun hubungan tersebut belum terbukti bermakna secara statistik dilihat dari nilai 95% CI yaitu 0,76 - 1,69.
PR 1,138 1,647 1,326 1,561
95,0% CI Lower Upper 0,764 1,693 1,019 2,659 0,852 2,063 0,891 2,733
Pembahasan Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross-sectional dikarenakan pengambilan informasi tentang data variabel indpenden dan dependen serta variabel lainnya dilakukan dalam satu waktu. Dalam studi cross sectional validitas penilaian hubungan kausal menuntut sekuensi waktu yang jelas antara pajanan dengan penyakit (pajanan harus mendahului penyakit). Disain ini memiliki kelemahan dimana responden yang diteliti hanya dilihat kondisinya pada observasi sekali saja, yaitu ketika pemeriksaan saja, padahal tekanan darah seseorang dapat berubah karena beberapa faktor seperti stress, kondisi tubuh. Selain itu desain ini tidak dapat mengukur risiko penyakit yang sesungguhnya karena kejadian (outcome) hipertensi tidak dapat secara jelas diketahui onset peristiwanya, mengingat bahwa kejadian hipertensi dapat terjadi secara perlahan yang kadang tidak disadari tanda dan gejala yang spesifik oleh individu penderita. 58
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 Selain kelemahan yang ada, disain studi cross sectional ini memiliki keunggulan, antara lain: lebih mudah dilaksanakan (feasible) dan waktu penelitian bisa lebih cepat serta dapat menggambarkan permasalahan hipertensi pada populasi wanita postmenopause. a. Kualitas Data Secara kualitas data, peneliti masih dapat mengontrol kualitas data secara langsung karena peneliti menugaskan inteviewer yang sudah terlatih, sehingga walaupun waktunya terbatas namun masih dapat mendapatkan data sesuai kuesioner dengan tehnik wawancara yang baik agar data dapat dipertanggungjawabkan. Adanya data missing tidak dapat dihindari, namun proses pengambilan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan kuesioner yang digunakan telah dilakukan uji coba terlebih dahulu, maka seluruh data yang diperoleh masih dapat dianalisis sesuai ketentuan yang seharusnya. Pembahasan hasil penelitian a. Hubungan antara kegemukan
dengan
hipertensi Hasil penelitian menunjukan bahwa pada responden yang mengalami hipertensi sebagian besar adalah mereka yang gemuk (54,2%) dengan prevalens rasio (PR) hipertensi 1,10 lebih tinggi pada mereka yang gemuk (IMT > 25 kg/m²) daripada responden yang tidak gemuk (IMT < 25 kg/m²) Menurut National Institutes for Health USA (NIH, 1998), prevalensi hipertensi pada orang dengan Indeks massa tubuh (IMT) > 30 kg/m² (obesitas) adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan IMT<25 kg/m² yaitu prevalensi 18% untuk pria dan 17% wanita. Obesitas biasanya sering terjadi pada wanita usia pertengahan dibanding pria, dan hal ini menjadi penyebab mengapa berat badan sering mempengaruhi tekanan darah pada wanita dibanding pria. Walaupun ada hubungan antara obesitas dan hipertensi, mekanisme yang terjadi masih belum dipahami. Hubungan hiperinsulinemia dan resistensi insulin yang keduanya terkait dengan obesitas terhadap hipertensi masih terus dalam penelitian. Secara signifikan hipertensi pada wanita dengan obesitas penting untuk merubah pola makan dan olahraga (Sanif Endial, 2009). Pada pasien overweight lebih banyak penderita hipertensi hal ini sesuai dengan pernyataan (Soegondo, 2005) dimana keadaan obesitas ini terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin/hipeinsulinemia, intoleransi glukosa/ diabetes mellitus, dislipidemia, hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Framingham yang menunjukkan bahwa orang yang obesitas akan mengalami peluang hipertensi 10 kali lebih
besar (Dhianningtyas dan Hendarti, 2006). Penelitian lain menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai tubuh kegemukan dengan BMI, 27,8 dan 27,8 mempunyai kemungkinan tekanan darah tinggi 2,9 kali dibandingkan mereka yang mempunyai berat normal. Untuk mereka yang berusia 20-44 tahun, dan BMI yang sama, mempuyai kemungkinan tersebut 5,6 kali lebih tinggi (Kuntaraf dan Kuntaraf, 1996). Levy et al (1994) melaporkan bahwa hipertensi 2,5 kali lebih banyak pada tentara U.S yang kelebihan berat badan. Menurut Adnil (1994), hemodinamik hipertensi esensial pada pasien non- obesitas berbeda dengan pasien obesitas. Data dari studi Framingham (AS) yang diacu dalam Khomsan (2004) menunjukkan bahwa kenaikan berat badan sebesar 10% pada pria akan meningkatkan tekanan darah 6,6 mmHg, gula darah 2 mg/dl, dan kolesterol darah 11 mg/dl. Prevalensi hipertensi pada seseorang yang memiliki IMT > 30 pada laki-lakia sebesar 38% dan wanita 32%, bila dibandingkan dengan 18% laki-laki dan 17% perempuan yang memiliki IMT < 25 (Krummel, 2004). Menurut Hull (1996) penurunan berat badan merupakan cara pengobatan paling efektif untuk hipertensi. Obesitas dan kelebihan berat merupakan masalah yang sulit. Kebanyakan penelitian terdahulu menunjukkan bahwa obesitas berkaitan dengan insiden penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit metabolisme, seperti diabetes melitus. Hal serapa juga dinyatakan oleh Kuntaraf dan Kuntaraf (1996), hanya dengan mengurangi 5 kg saja, dan tetap dipelihara berat badan tersebut sudah cukup untuk mengurangi tekanan darah menjadi normal. Mengurangi berat badan adalah cara mengurangi tekanan darah yang terbaik. b. Hubungan Umur Dengan Hipertensi Serangan darah tinggi baru muncul setelah berusia 40 tahun, walaupun dapat terjadi pada usia muda (Mardibah, 2002). Sebagai suatu proses degeneratif, hipertensi tentu hanya ditemukan pada golongan dewasa. Umur adalah faktor yang tidak dapat dimodifikasi, umumnya tekanan darah akan meningkat atau bertambah dengan bertambahnya usia. Ditemukan kecenderungan peningkatan prevalensi menurut peningkatan usia dan biasanya pada usia > 40 tahun (Bustan, 2000). Dari hasil analisis diperoleh pervalalens rasio (PR) hipertensi pada responden yang berumur > 45 tahun adalah 1,58 lebih tinggi daripada mereka yng berumur < 45 tahun dengan nilai p=0,001 (<0,005) maka dapat dikatakan hubungan tersebut bermakna. Berdasarkan analisis stratifikasi menunjukkan hasil yang berbeda, dimana pada responden yang berusia > 45 tahun dan gemuk, prevalensi rasio hipertensi lebih rendah (0,90) daripada responden yang gemuk berusia < 45 tahun yaitu sebesar 1,22 walaupun hubungan tersebut tidak bermakna secara statistik bila dilihat dari nilai CI 95%. Hal tersebut terjadi karena responden yang gemuk dan berusia > 45 tahun selalu rutin mengikuti 59
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 pemeriksaan kesehatan sehingga kesehatan lebih terpantau dan mereka telah melakukan modifikasi gaya hidup yang lebih sehat sehingga peningkatan tekanan darah dapat dicegah. Walaupun umur termasuk faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, kita dapat melakukan pencegahan dengan mengendalikan faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada umur kurang dari 45 tahun. Pada umur 45 tahun keatas pengobatan dan pencegahan terhadap komplikasi adalah penanggulangan terhadap hipertensi. Dalam beberapa survei yang dilakukan di Indonesia pada rentang masa yang berbeda didapatkan bahwa hipertensi di Indonesia lebih sering dijumpai diatas usia 40 tahun. Penelitian Sigarlaki (1996), Darmojo (2000), mendapatkan bahwa prevalensi hipertensi meningkat nyata pada usia 40 tahun. Salah satu penyakit degeneratif, prevalensi penyakit hipertensi semakin meningkat dengan bertambahnya usia (Chintanadilok dan Lowenthal, 2001). c. Hubungan Pendidikan Dengan Hipertensi Hasil analisis hubungan antara pendidikan yang lulusan SLTA dan Perguruan Tinggi dengan hipertensi didapatkan bahwa nilai (p=0,023) lebih kecil dari nilai p <0,005 maka ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dan hipertensi. Dari hasil analisis diperoleh nilai prevalens rasio (PR) hipertensi 1,58 lebih tinggi pada mereka yang berpendidikan SLTA, artinya memiliki risiko 1,58 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan responden yang berpendidikan lulusan Perguruan Tinggi. Hal tersebut juga sesuai dengan hasil analisis stratifikasi, bahwa pada strata pendidikan SMA dan gemuk memiliki PR yang lebih tinggi yaitu 1,19 (95%CI: 0,91-1,55) dibandingkan dengan mereka yang pendidikannya perguruan tinggi. Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang sangat berkaitan dengan perilaku kehidupannya seharihari, khususnya perilaku kesehatan. Orang yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan memiliki pemahaman yang tinggi terhadap kesehatannya sehingga dapat lebih peduli dan memiliki sikap yang positif terhadap kesehatan. d. Hubungan Lama Bekerja Dengan Hipertensi Hasil analisis hubungan antara lama bekerja <10 tahun dan > 10 tahun dengan hipertensi didapatkan bahwa nilai (p=0,035) lebih kecil dari nilai p <0,005 maka ada hubungan yang signifikan antara lama bekerja dan hipertensi. Dari hasil analisis diperoleh nilai PR=1,33, ini berarti responden yang bekerja >10 tahun memiliki risiko 1,33 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan responden yang bekerja <10 tahun. Berdasarkan hasil analisis stratifikasi terlihat ada perbedaan, yaitu responnden yang gemuk dengan masa kerja > 10 tahun memiliki nilai PR hipertensi yang lebih
rendah yaitu 0, 87 (95%CI 0,63-1,19) dibandingkan dengan mereka yang masa kerjanya < 10 tahun yaitu 1,57 (95% CI: 1,00-2,49). Perbedaan tersebut dapat dijelaskan bahwa pada mereka yang memiliki masa kerja > 10 tahun pada umumnya sudah memiliki penyesuaian diri yang baik dengan lingkungan tempat bekerjanya dan lamanya masa kerja karyawan akan berdampak pada peningkatan karir dan pendapatan karyawan. Kondisi demikian membuat karyawan lebih tenang dalam bekerja sehingga dapat mengurangi stress akibat kerja dan dapat menurunkan risiko terjadinya hipertensi. e. Hubungan Riwayat Hipertensi Dalam Keluarga Dengan Hipertensi Hasil analisis hubungan antara riwayat keturunan hipertensi dengan kejadian hipertensi didapatkan bahwa nilai (p=0,006) lebih kecil dari nilai p <0,05 maka ada hubungan yang signifikan antara keturunan hipertensi dengan kejadian hipertensi. Dari hasil analisis diperoleh nilai PR=1,58, ini berarti responden yang mempunyai keturunan hipertensi memiliki risiko 1,58 kali secara bermakna terkena hipertensi dibandingkan responden yang tidak memiliki keturunan hipertensi. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis stratifikasi, dimana pada strata responden yang memiliki riwayat keturunan hipertensi memiliki nilai PR yang lebih tinggi yaitu 1,35 dibandingkan mereka yang tidak memiliki keturunan hipertensi dalam keluarganya. Dengan demikian terbukti bahwa faktor keturunan akan mempengaruhi risiko hipertensi pada seseorang. f. Hubungan Antara Jenis Kelamin Dengan Hipertensi Dalam penelitian ini sebanyak 71,9% responden pria dan 28,1% wanita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalens rasio (PR) hipertensi pada pria 1,29 kali lebih tinggi dibandingkan responden wanita. Dari hasil analisis stratifikasi terlihat bahwa responden wanita yang gemuk memiliki prevalens rasio hipertensi 1,53 kali lebih tinggi daripada responden pria yang gemuk (95%CI: 0,88-2,67). Terdapat perbedaan dengan penelitian Darmojo (2001) yang menemukan secara signifikan prevalensi hipertensi wanita lebih tinggi daripada pria. Menurut Patel (1995) dibawah umur 45 tahun lebih banyak pria menderita hipertensi daripada wanita. Setelah umur 45 tahun ada sebuah streep muncul pada jumlah wanita dengan hipertensi. Setelah umur 55 tahun wanita melampaui pria sebabnya tidak terlalu jelas tetapi dapat disebabkan karena wanita dilindungi hormon kewanitaan selama masa produktifnya.
60
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 6 (1); Januari 2014 g. Hubungan Antara Merokok Dengan Hipertensi Hasil penelitian menunjukkan bahwa reponden yang merokok mempunyai nilai PR hipertensi 1,31 sedangkan mereka yang mantan perokok memiliki nilai PR yang lebih tinggi yaitu 1,56 (95%CI: 1,00-2,44). Berdasarkan analisis stratifikasi menunjukkan hasil yang berbeda, pada responden yang tidak merokok memiliki nilai PR yang lebih tinggi yaitu 1,36 (95%CI: 0,95-1,94) dibandingkan dengan mereka yang merokok maupun mantan perokok dengan nilai PR masing-masing 0,80 dan 0,75 dan tidak bermakna secara statistik. Angka tersebut dapat saja terjadi karena responden mengalami efek howthorne (perubahan perilaku subjek penelitian) dimana responden mengetahui bahwa wawancara tersebut dilakukan untuk mengukur risiko terhadap penyakit sehingga responden cenderung enggan mengatakan bahwa mereka merokok karena akan memperbesar risiko sakit.
makan sehat (tinggi serat dan rendah lemak) di PT. Aero Catering Service (PT. ACS).
Kesimpulan Angka prevalensi hipertensi pada responden (karyawan) PT. ACS ditemukan sebesar 50,9% dan kegemukan sebesar 31,6%. Hubungan kegemukan berdasarkan indikator IMT terhadap kejadian hipertensi mempunyai nilai PR 1,138 (95% CI 0,76-1,69) dalam model akhir, hal tersebut menunjukan bahwa kegemukan memiliki risiko 1,138 terhadap hipertensi setelah dikontrol oleh variabel riwayat keturunan hipertensi dan aktifitas fisik. Adanya nilai rentang kepercayaan yang kurang signifikan terhadap hubungan tersebut dapat terjadi karena penelitian ini tidak menggali lebih jauh tentang riwayat pengobatan hipertensi pada responden, sehingga kemungkinan responden yang tidak hipertensi ada yang sedang menjalani terapi (minum obat) hipertensi. Hal tersebut menyebabkan nilai PR yang cenderung rendah dan nilai 95% CI yang tidak signifikan. Saran Para karyawan di PT Aerocatering Service (PT. ACS) Jakarta sebaiknya meningkatkan kewaspadaan dini terhadap penyakit hipertensi dengan melakukan usahausaha pencegahan terhadap faktor risiko dan selalu memeriksakan kesehatan yang telah diprogramkan oleh perusahaan. Pada pimpinan perusahaan untuk membuat program penyuluhan mengenai faktor-faktor risiko hipertensi, kegemukan, asupan gizi seimbang, pola
Hipertensi di Indonesia. In: Mansjoer A, ed. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius;1999.p.518-21.
Daftar Pustaka Apriliwati,Dwi, Arsiniati M.Brata, Hubungan Perbandingan Lingkar Pinggang/ Lingkar Panggul, IMT danKonsumsi Lemak dengan Penyakit Jantung Koroner.Seksi gizi laboratorium IKM-KP Fakultaskedokteran-Universitas Airlangga Azwar,Asrul , Tubuh Sehat Ideal dari SegiKesehatan , Direktur jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI, tahun 2010, Riset Kesehatan Dasar , RISKESDAS 2010 Bustan, Muh. Najib, Epidemiologi Penyakit Tidak menular, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Hasurungan, JA.Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kota Depok tahun 2002 [Tesis]. Jakarta Irwin, Faktor-faktor risiko yang berperan terhadap hipertensi derajat 2 pada PNS administrasi di Universitas Hasanuddin [Tesis]. Jakarta: Program Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana FKM-UI; 2007. Murti, Yulia A. Pengaruh hazard psikososial terhadap kejadian hipertensi di kantor pusat Departemen Kelautan dan Perikanan RI [Tesis]. Jakarta: Program Pasca Sarjana FKM-UI; 2005. Rundengan M. Hubungan pekerjaan dan stres kerja dengan kejadian hipertensi pada pekerja di Indonesia tahun 2005 [Tesis]. Jakarta:Program Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana FKM-UI;2006. Soejono, Czeresna H. Hipertensi sistolik terisolasi di Indonesia prevalensi dan faktor risiko [Tesis]. Jakarta: Program Pasca SarjanaFKM-UI; 2003. WHO-ISH Hypertension Guideline Committee. Guidelines of the management of hypertension. J Hypertension. 2003;21(11):1983-92.
61