Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 HUBUNGAN ANTARA SELF EFFICACY DENGAN STRATEGI COPING PADA PENDERITA HIPERTENSI DI RSUD BANJARNEGARA 1
Sugianto 1, Dinarsari Eka Dewi 2 Alumni Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2 Program Studi Psikologi,Univ Muhammadiyah Purwokerto 2 Email :
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara self efficacy dengan strategi coping pada penderita hipertensi di RSUD Banjarnegara. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan positif antara self efficacy dengan strategi coping. Pengumpulan data menggunakan skala self efficacy dan skala strategi coping Teknik analisis data menggunakan korelasi product moment. Hasil koefisien validitas skala self efficacy bergerak dari 0,463 - 0,694, hasil uji reliabilitas diperoleh nilai α 0,9170. Hasil koefisien validitas skala strategi coping bergerak dari 0,461 - 0,653, hasil uji reliabilitas diperoleh nilai α 0,9182. Hasil uji hipotesis diperoleh r hitung = 0,699 dan p = 0,000. Probabilitas jauh lebih kecil dari 0,01 (0,000 < 0,01), maka self efficacy dengan strategi coping memiliki hubungan yang signifikan. Artinya hipotesis kerja (Ha) yaitu ada hubungan antara self efficacy dengan strategi coping diterima. Kata Kunci: Self efficacy, Strategi coping, penderita hipertensi
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat menyebabkan perubahan gaya hidupnya. Perubahan gaya hidup tersebut diantaranya adalah kebiasaan makan makanan cepat saji, merokok, konsumsi alkohol dan kurang berolahraga yang dapat menjadi sumber penyebab berbagai penyakit yang diantaranya adalah hipertensi. Hipertensi yang dialami oleh penderita menjadi salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya stress. Pada penderita hipertensi terjadi beberapa perubahan, salah satunya adalah peningkatan aktivitas saraf simpatik, sehingga terjadi peningkatan produksi katekolamin. Hipertensi merupakan penyebab terjadinya stroke yang dapat mengakibatkan kematian. Hipertensi di Indonesia rata-rata meliputi 17% - 21% dari keseluruhan populasi orang dewasa artinya, 1 diantara 5 orang dewasa menderita hipertensi. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 136.516 orang perempuan sebanyak 11,3% dari hasil pengukuran indeks massa tubuh (IMT) adalah obesitas dan kurang melakukan aktivitas fisik sebanyak 62,7% serta dalam keadaan tidak stabil atau stress sebanyak 8,6%. Individu yang memiliki self efficacy tinggi memilih strategi coping yang berfokus pada masalah untuk memperbaiki situasi dalam bekerja, sedangkan individu dengan yang memiliki self efficacy rendah cenderung memilih strategi coping yang berfokus pada emosi, karena mereka percaya tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah situasi yang sedang mereka hadapi (Bandura, 1997).
146
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 Pada saat individu dihadapkan pada kondisi stres, maka secara otomatis individu tersebut berusaha untuk dapat mengurangi atau menghilangkan perasaan stres yang dialaminya menggunakan strategi coping. Seperti diungkapkan oleh Radley (dalam Rahmayati 2008), coping stres merupakan penyesuaian secara kognitif dan perilaku menuju keadaan yang lebih baik, mengurangi dan bertoleransi dengan tuntutan-tuntutan yang ada yang mengakibatkan stres. Adapun pengupayaan individu atau remaja dalam hal mengurangi atau menghilangkan perasaan stres tersebut dengan menggunakan beberapa cara atau strategi. Lazarus (dalam Rahmayati, 2008) mengungkapkan bahwa setiap individu melakukan cara coping yang berbeda-beda dalam menghadapi situasi yang menekan. Mekanisme atau cara coping ini bisa meliputi kognitif (pola pikir) dan perilaku (tindakan). Perbedaan cara yang dilakukan setiap individu dalam hal menangani stresnya itu dimasukkan dalam 2 strategi atau cara. Seperti diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman (dalam Rahmayati, 2008) cara coping dibedakan menjadi dua bagian besar berdasarkan tujuan atau intensi individu, yaitu problem focused coping, yaitu coping yang memfokuskan pada masalah yang dihadapinya. Tujuannya adalah untuk mengurangi tuntutan dari situasi dan meningkatkan usaha individu dalam menghadapi situasi tersebut. Cara ini lebih sesuai apabila digunakan dalam menghadapi masalah atau situasi yang dianggap dapat dikontrol atau dikuasai oleh individu (Carver dkk, 1989). Sementara emotion focused coping merupakan bentuk coping yang lebih memfokuskan pada masalah emosi. Bentuk coping ini lebih melibatkan pikiran dan tindakan yang ditunjukkan untuk mengatasi perasaan yang menekan akibat dari situasi stres. Emotion focused coping terdiri dari usaha yang diambil untuk mengatur dan mengurangi emosi stres serta penggunaan mekanisme yang dapat menghindarkan diri sendiri terhadap stressor. Carver (1989), menambahkan bahwa penanganan stres dapat dilakukan dengan strategi coping maladaptif, yang itu merupakan kecenderungan coping yang kurang bermanfaat dan kurang efektif dalam mengatasi sumber stres. Penentuan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan sejauhmana tingkat stres dari suatu kondisi atau masalah yang dialaminya. Strategi coping yang efektif baik problem focused coping maupun emotion focused coping sangat diperlukan oleh penderita hipertensi. Problem focused coping diperlukan agar penderita dapat meningkatkan usahanya dalam menghadapi situasi yang dapat memicu meningkatnya tekanan darah. Sementara emotion focused coping diperlukan agar penderita hipertensi dapat mengendalikan emosinya yang berkaitan langsung dengan meningkatnya tekanan darah. Strategi coping sangat diperlukan bagi penderita hipertensi, sehingga mereka memiliki kemampuan yang dapat membentuk perilakunya yaitu memiliki self efficacy. Teori self efficacy mengacu pada kemampuan yang dirasakan untuk membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi khusus. Untuk memutuskan perilaku tertentu akan dibentuk atau tidak, seseorang tidak hanya mempertimbangkan informasi dan keyakinan tentang kemungkinan kerugian atau keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan sampai sejauh mana dia dapat mengatur perilakunya (Smet, 1994). Oleh karena itu, agar penderita hipertensi dapat menerapkan strategi coping yang efektif, maka diperlukan adanya self efficacy yang akan membentuk perilaku penderita hipertensi dalam mengatasi situasi dan emosinya. Studi pendahuluan di RSUD Banjarnegara menginformasikan bahwa penderita hipertensi menempati urutan pertama dari 10 besar penyakit rawat jalan di RSUD Banjarnegara. Jumlah penderita hipertensi tahun 2009 sebanyak 3.300 orang dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 3.751 orang. Setiap bulan yang melakukan pengobatan rawat jalan mencapai lebih dari 50 orang berjenis kelamin perempuan. Sebagian besar penderita hipertensi berumur lebih dari 45 tahun bahkan banyak yang berumur lebih dari 65 tahun. Hasil wawancara dengan penderita hipertensi yang menjalani rawat jalan di RSUD Banjarnegara, diketahui bahwa rata-rata pasien mengalami hipertensi antara 1 – 6 tahun. Interview dengan pasien
147
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 bernama M diperoleh informasi bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama 3 tahun. Subjek memiliki keyakinan penyakit yang dideritanya akan bisa sembuh. Subjek yakin bahwa jika mengikuti anjuran dokter maka penyakit yang diderita akan dapat diatasi. Subjek mencoba untuk mengikuti anjuran-anjuran yang diberikan oleh dokter seperti menjaga pola makan, menghindari pekerjaan-pekerjaan berat dan banyak beristirahat. Setiap subjek ada masalah dengan rumah tangganya, maka subjek berusaha mengatasi emosinya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu juga melakukan refreshing dengan pergi ke pasar atau ke rumah tetangga). Interview dengan pasien bernama BC diperoleh informasi bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama 5 tahun. Subjek kurang bisa menghindari makanan yang bisa meningkatkan tekanan darahnya seperti daging. Subjek kurang bisa mengontrol emosinya, sering mengeluarkan kata-kata kasar, merokok dengan intensitas yang tinggi. Jika subjek merasa pusing dan mudah merasa lelah, maka subjek segera ke dokter. Interview dengan pasien bernama MH diperoleh informasi bahwa subjek sudah mengalami penyakit hipertensi selama 4 tahun. Subjek yakin dapat mengatasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan darahnya seperti menghindari makan makanan yang berlemak dan asin. Subjek juga yakin jika ia ke dokter, maka kondisinya akan menjadi lebih baik. Setiap subjek ada masalah dengan anaknya (suami sudah meninggal sejak tahun 2008), maka subjek menceritakan dengan tetangga dekat atau kerabatnya. Subjek juga selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mengkonsumsi obat dari dokter. Subjek juga mengkonsumsi susu herbal untuk menurunkan tekanan darahnya. Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana hubungan self efficacy dengan strategi coping pada penderita hipertensi. Untuk memperolah jawaban atas pertanyaan tersebut, maka peneliti mengambil judul “Hubungan self efficacy dengan strategi coping pada penderita hipertensi di RSUD Banjarnegara”
METODE PENELITIAN Variabel penelitiannya adalah self efficacy sebagai variabel bebas dan strategi coping sebagai variabel terikat. Jumlah sampel 72 penderita hipertensi rawat jalan di RSUD Banjarnegara. Pengumpulan data menggunakan skala self efficacy dan skala strategi coping (Azwar, 2007). Untuk menguji ada tidaknya hubungan antara self efficacy dengan strategi coping pada penderita hipertensi di RSUD Banjarnegara menggunakan uji korelasi product moment (Arikunto, 2010). Seluruh perhitungan menggunakan program bantu SPSS windows versi 16.00.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan perhitungan didapatkan hasil r hitung = 0,699 dan p = 0,000, oleh karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,01 (0,000 < 0,01), maka self efficacy dengan strategi coping memiliki hubungan yang signifikan. Artinya hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara self efficacy dengan strategi coping diterima. Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin baik self efficacy pada penderita hipertensi maka strategi copingnya juga akan semakin baik. Hasil penelitian juga menunjukkan, kategorisasi self efficacy penderita hipertensi, yaitu 4,2 % memiliki self efficacy sangat tinggi, 26,4 % memiliki self efficacy tinggi, 36,1 % memiliki self efficacy sedang dan 33,3 % memiliki self efficacy rendah. Self efficacy pada kategori sangat rendah tidak ada. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa kategorisasi strategi coping penderita hipertensi, yaitu 11,1 % memiliki strategi coping sangat tinggi, 11,1 % memiliki strategi coping tinggi, 43,1 % memiliki strategi coping sedang dan 34,7% memiliki strategi coping rendah. Strategi coping pada kategori sangat rendah tidak ada.
148
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
Self efficacy penderita hipertensi yang menjadi subjek dalam penelitian ini yang berada pada kategori sangat tinggi dapat disebabkan karena penderita sangat yakin dapat menangani secara efektif situasi yang dihadapi, yakin terhadap kesuksesan dalam mengatasi rintangan, gigih dalam berusaha, dan percaya pada kemampuannya. Self efficacy penderita hipertensi pada kategori tinggi berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing subjek. Hasil tersebut dapat disebabkan karena penderita memiliki rasa untuk melakukan antisipasi dalam mencegah naiknya tekanan darah dengan berbagai aktivitas sehari-hari, termasuk menghindari gangguan psikologis yang dapat memicu meningkatnya tekanan darah seperti stress dan sebagainya. Self efficacy penderita hipertensi pada kategori dapat sedang disebabkan karena penderita memiliki cukup untuk melakukan antisipasi dalam mencegah naiknya tekanan darah dengan berbagai aktivitas, maupun dalam mengatur pola makan, termasuk cukup bisa menghindari gangguan psikologis yang dapat memicu meningkatnya tekanan darah seperti stress dan sebagainya. Adapun penderita yang memiliki self efficacy rendah berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita, Hasil tersebut bisa disebabkan karena penderita terlalu pasrah, Lamban dalam membenahi atau mendapatkan kembali self efficacy ketika menghadapi kegagalan, Tidak yakin dapat menghadapi rintangan, Mengurangi usaha dan cepat menyerah, Ragu pada kemampuan diri yang dimiliki. Strategi coping pada penderita hipertensi pada kategori sangat tinggi berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita.hasil tersebut karena penderita berani mengambil keputusan agar tekanan darah tetap stabil, berani mengatasi masalahnya, mempunyai rasa yang kehati - hatian. Strategi coping pada penderita hipertensi tinggi berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masingmasing penderita. Hasil tersebut dapat disebabkan karena penderita dapat mengendalikan situasi yang dapat mempengaruhi emosinya, dapat mengetahui dengan baik kondisi emosionalnya serta memahami lingkungan tempat kerjanya maupun aktivitas sehari - hari dengan baik. Strategi coping pada penderita hipertensi pada kategori sedang berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita. Hasil tersebut dapat disebabkan karena penderita cukup mampu mengetahui kondisi emosionalnya sehingga dapat mengendalikan situasi akibat tekanan pekerjaan yang padat, Penderita cukup patuh mengikuti anjuran – anjuran dari dokter untuk menjaga kesehatanya agar tekanan darah penderita tetap stabil. Strategi coping pada penderita hipertensi pada kategori rendah berdasarkan dari hasil perhitungan setiap item pernyataan dalam skala yang telah dijawab oleh masing-masing penderita, disebabkan karena penderita kurang mengendalikan situasi di tempat kerja sehingga akan mempengaruhi emosinya. Penderita kurang bisa mengelola sikap dan tindakan agar tetap stabil tekanan darahnya. Strategi coping sangat diperlukan oleh penderita hipertensi agar mereka memiliki kemampuan yang dapat membentuk perilakunya yaitu memiliki self efficacy. Folkman (dalam Yenjeli, 2007) mengartikan coping sebagai perubahan pemikiran dan perilaku yang digunakan oleh seseorang yang dalam menghadapi tekanan dari luar maupun dalam yang disebabkan oleh transaksi antara seseorang dengan lingkungannya yang dinilai sebagai stressor. coping ini nantinya akan terdiri dari upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi keberadaan stressor. Menurut Bandura bahwa self efficacy dapat mempengaruhi setiap tingkat dari perubahan pribadi, baik saat individu tersebut mempertimbangkan perubahan kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan, seberapa berat usaha yang dipilih, seberapa banyak perubahan, dan seberapa baik perubahan yang akan dipelihara. Selain mempengaruhi kebiasaan yang berkaitan dengan kesehatan, perasaan self efficacy akan
149
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015 meningkatkan kekebalan terhadap stress dan depresi dan mengaktifkan perubahan-perubahan biokemis yang dapat mempengaruhi berbagai macam aspek dari fungsi kekebalan (Smet, 1994). Berdasarkan pada hasil uji hipotesis diketahui bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara self efficacy dengan strategi coping penderita hipertensi di RSUD Banjarnegara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa self efficacy penderita yang tinggi akan diikuti dengan strategi coping yang baik. Self efficacy yang dimiliki penderita hipertensi akan mengarahkan penderita dalam menentukan strategi coping yang tepat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Widyasinta (2003) yang meneliti hubungan self efficacy dan strategi coping dalam tugas penyusunan skripsi mahasiswa fakultas psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Hasil penelitian menyimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara self efficacy dengan strategi coping.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil uji hipotesis dengan korelasi product moment, kesimpulannya adalah variabel self efficacy memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel strategi coping. Artinya, semakin tinggi self efficacy pada penderita hipertensi, maka semakin tinggi pula strategi copingnya.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto,S. (2010). Prosedur penelitian : suatu pendekatan praktek (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Azwar, S. (2007). Metode penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bandura, A. (1997). Self efficacy the excercise of control. United State of America : W. H. Freeman & Co. Carver, C.S., Scheir, M.F., & Wientraub, J.K. (1989). Assessing Coping Strategies: A Theoritically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 56, No. 2, 267 – 283. Rahmayati. (2008). Stres dan coping remaja yang mengalami perceraian pada Orangtua. Skripsi. (tidak diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi. Universitas Gunadarma. Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Widyasinta, B. (2003). Hubungan self-efficacy dan strategi coping dalam tugas penyusunan skripsi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta. Diunduh dari http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=470&id=40301&lok=1
150
Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous UMP 2015 ISBN. 978-602-14930-4-5 Purwokerto, 6 Juni 2015
151