UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN
TUGAS AKHIR
KEMAL ZACHARIAH 1106142425
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI JAKARTA JANUARI 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
HUBUNGAN ANTARA PAJANAN FORMALDEHIDA DENGAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG PADA PEKERJA INDUSTRI KAIN BAN
TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Kedokteran Okupasi
KEMAL ZACHARIAH 1106142425
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PENDIDIKAN PROGRAM SPESIALIS KEDOKTERAN OKUPASI JAKARTA JANUARI 2015
ii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
iii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karuniaNya, sehingga tugas akhir dengan judul “Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban” ini dapat diselesaikan. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar spesialis okupasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang sebesar besarnya, kepada : 1. Dr. Sudadi Hirawan, MS, SpOK atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama
menjadi dosen
pembimbing. 2. Dr. Retno Asti Werdhani, M.Epid atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama
menjadi dosen
pembimbing. 3. DR. Dr. Ina Susianti Timan, SpPK (K) atas bimbingan, arahan dan waktu yang telah diluangkan kepada penulis untuk berdiskusi selama menjadi dosen pembimbing. 4. DR. Dr. Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOk, PhD yang telah memberikan masukan dan saran pada saat perkuliahan dalam mata kuliah penelitian. 5. DR. Dr. Astrid W. Sulistomo, MPH, SpOk selaku Ketua program studi Spesialisasi Kedokteran Okupasi yang banyak memberikan motivasi dan dukungan 6. Seluruh Dosen program Spesiliasi Kedokteran Okupasi, Fakultas Kdokteran Universitas Indonesia 7. Ayahanda Harry Rappa dan Ibunda Wirdiatmi atas segala dukungan dan doanya 8. Kakak dr. Nathanael atas dukungan, motivasi, dan perhatiannya. 9. Rekan-rekan sesama penelitian dr. Ade, dr. Puspa dan dr. Mei Wulandari 10. Rekan-rekan mahasiswa Pendidikan Spesialis Kedokteran Okupasi 11. Sahabat penulis yang telah memberikan banyak dukungan. 12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
iv Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Dengan keterbatasan pengalaman, pengetahuan maupun
pustaka yang ditinjau,
penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih banyak kekurangan dan perlu pengembangan lebih lanjut sehingga bisa bermanfaat baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun untuk kemajuan suatu perusahaan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar tugas akhir ini lebih sempurna di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap tugas akhir ini memberikan manfaat bagi kita semua terutama untuk pengembangan ilmu kedokteran okupasi di masa yang akan datang.
Jakarta, Januari 2015
dr. Kemal Zachariah
v Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
vi Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: : :
Kemal Zachariah Kedokteran Okupasi Hubungan antara Pajanan Formaldehida dengan Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung pada Pekerja Industri Kain Ban
Latar belakang : Formaldehida sebagian besar diinhalasi melalui saluran pernafasan bagian atas dan mempengaruhi mukosa hidung. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan pajanan formaldehida yang ada di industri kain ban terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung. Metode : Penelitian menggunakan desain potong lintang komparatif. Analisis yang dilakukan menggunakan uji regresi logistik. Responden berjumlah 100 orang lakilaki, terdiri dari 50 responden di bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving. Metode pengukuran formaldehida dengan menggunakan metode NIOSH 3500. Metode pengambilan sampel menggunakan total population pada bagian dipping dan simple random sampling pada bagian weaving. Hasil : Kadar formaldehida lingkungan di bagian dipping adalah 0,032 mg/m3. Prevalensi eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping didapatkan 30% sedangkan neutrofil positif didapatkan sebesar 80 %. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung. Variabel independent yang paling berpengaruh terhadap neutrofil positif adalah kebiasaan merokok dengan OR 4,680; 95% CI 1,52 – 14,44; p = 0,007. Kesimpulan : Formaldehida tidak berhubungan bermakna dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung, namun pengaruh formaldehida terhadap eosinofil swab hidung belum dapat disingkirkan mengingat adanya gambaran degranulasi eosinofil sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut di tingkat seluler. Kata kunci
: eosinofil, merokok, neutrofil, pajanan formaldehida, swab hidung
vii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Study Program Title
: : :
Kemal Zachariah Occupational Medicine The Correlation between Formaldehyde Exposure and Nasal Swab Eosinophil and Neutrophil in Tire Cord Industry Workers.
Background : Most of formaldehyde exposure is inhaled in upper respiratory track which affecst the nasal mucosa. This study aims at exploring the correlation between formaldehyde exposure in tire cord industry with nasal swab eosinophil and neutrophil. Methods : The design of the study is comparative cross sectional. Analysis conducted was logistic regression. Total respondents are 100 male consisting of 50 respondents from dipping area and 50 respondents from weaving area. The method for formaldehyde level used NIOSH 3500. The method for collection sample used total population in dipping area and simple random sampling in weaving area. Results : Formaldehyde level in dipping area was 0,032 mg/m.3. The results of the study showed that eosinophils positive at weaving and dipping area were 30% and neutrophils positive were 80%. No significant correlation was found between formaldehyde exposure and eosinophils and neutrophils nasal swab. Independent variable that mostly influence positive neutrophils was smoking with OR 4.680, 95% CI 1.52–14.44, p = 0.007. Conclusions : Formaldehyde has no significantly correlation with eosinophils and neutrophils nasal swab, but the effect of formaldehyde on eosinophil nasal swab can not be ignored because of eosinophils degranulation, so further research is still needed at the cellular level.
Keyword
: eosinophil, formaldehyde exposure, nasal swab, neutrophil, smoking
viii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.......................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN
.......................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN
.......................................................................
iii
KATA PENGANTAR
……………………………………………..
iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR…
vi
ABSTRAK
………………………………………………
vii
ABSTRACK
………………………………………………
viii
DAFTAR ISI
.......................................................................
ix
DAFTAR TABEL
……………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR
.......................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
.......................................................................
xiv
DAFTAR SINGKATAN
……………………………………………..
xv
BAB I PENDAHULUAN
.......................................................................
1
1.1 Latar Belakang
.......................................................................
1
1.2 Permasalahan
.......................................................................
3
1.3 Pertanyaan Penelitian
.......................................................................
3
1.4 Hipotesis
.......................................................................
4
1.5 Tujuan Penelitian
.......................................................................
4
1.6 Manfaat Penelitian
.......................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
.......................................................................
6
2.1 Formaldehida
.......................................................................
6
2.2 Toksikokinetik
.......................................................................
7
2.3 Toksikodinamik
.......................................................................
10
2.4 Toksisitas
.......................................................................
14
ORISINALITAS
2.5 Biomarker Pajanan
.........................................................................
2.6 Metode Pengukuran Formaldehida
ix Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
................................
16 18
Universitas Indonesia
2.7 Anatomi dan Fisiologi Hidung
......................................................
19
2.8 Imunopatogenesis
…………………………………
20
2.9 Sistem Imunitas Mukosa
......................................................
22
2.10 Eosinofil
.......................................................................
24
2.11 Neutrofil
.......................................................................
26
2.12 Pemeriksaan Eosinofil Mukosa Hidung
.................................
27
................................
28
..................................................
30
2.13 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eosinofil dan Neutrofil Mukosa Hidung 2.14 Penelitian Yang Berhubungan Dengan Pajanan Formaldehida Terhadap Eosinofil dan Neutrofil 2.15 Tinjauan Perusahaan
.........................................................
31 35
2.16 Pengukuran Kadar Formaldehida.....................................................
34
2.17 Kerangka Teori
.......................................................................
35
2.18 Kerangka Konsep
.......................................................................
36
BAB III METODE PENELITIAN...........................................................................
37
3.1 Desain
.......................................................................
37
3.2 Tempat dan Waktu ..............................................................................
37
3.3 Populasi ……………........................................ ……………………..
37
3.4 Sampel
.......................................................................
37
3.4.1 Kriteria Inklusi
.......................................................................
37
3.4.2 Kriteria Eksklusi........................................ ......................................
37
3.4.3 Kriteria Drop Out ............................................................................
38
3.4.4 Perhitungan Besar Sampel.................... ..........................................
38
3.4.4 Cara Pengambilan Sampel
39 42
3.5 Sumber data
................................................
.......................................................................
3.5.1 Variabel data primer
............................................................
39 40 43
3.5.2 Variabel data Sekunder ....................................................................
40
3.5.3 Batasan Operasional ……........................................ .....................
40
3.5.4 Cara Pengumpulan Data ….......................................... ................
42
x Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
3.5.5 Cara Analisis Data
...............................................................
43 47
3.6 Etika Penelitian
.....................................................................
43
3.7 Alur Penelitian
…………………………………………….
44
……………………………………………….
45
Bab IV HASIL PENELITIAN 4.1
Pengukuran Formaldehida Lingkungan …………………………..
45
4.2
Proses Pengumpulan data …………………………………………
45
4.3
Pengolahan data …………………………………………………..
46
4.4
Karakteristik Responden …………………………………………
47
4.5
Analisis Bivariat ………………………………………………..
53
4.5.1 Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil …………………
53
4.5.2 Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil ………………...
53
4.5.3 Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil ……
54
dan neutrofil 4.5.4 Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil …
54
dan neutrofil 4.5.5 Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil …..
55
dan neutrofil 4.5.6 Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil …
55
dan neutrofil 4.6
Bab V
Analisis Multivariat …………………………….. ……………
PEMBAHASAN
……………………..……………………………..
56
58
5.1
Keterbatasan penelitian …………………………………………
58
5.2
Gambaran dan hubungan formaldehida terhadap eosinofil ……
58
dan neutrofil 5.3
Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil …
60
dan neutrofil 5.4
Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil …..
61
dan neutrofil
xi Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
5.5
Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil …
63
dan neutrofil Bab VI KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………….
66
6.1
Kesimpulan ……………………………………………………..
66
6.2
Saran ………………………………………………………..…
67
DAFTAR PUSTAKA …………………..…………………………………….
xii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
69
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1
Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung …………….
28
Tabel 3.1
Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida ……… Terhadap Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung Pada Pekerja Industri Kain Ban
40
Tabel 4.1
Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil .
48
Tabel 4.2
Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping ….
48
Tabel 4.3
Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi …….
48
Tabel 4.4
Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu ……….
49
Tabel 4.5
Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan ………
49
Tabel 4.6
Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida …
50
Tabel 4.7
Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving ………………….
50
Tabel 4.8
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian Weaving
Tabel 4.9
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …….……. dan Neutrofil di Bagian Weaving
51
Tabel 4.10
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent …………….. dan Eosinofil di Bagian Dipping
52
Tabel 4.11
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent ………….…. dan Neutrofil di Bagian Dipping
52
Tabel 4.12
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil
53
Tabel 4.13
Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil
54
Tabel 4.14
Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi ……………. Neutrofil Swab Hidung
56
Tabel 4.15
Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ………………
57
Tabel 5.1
Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung ….64
xiii Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
……………. 51
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida ……………
9
Gambar 1.2
Diagram Alir Pembuatan Kain Ban ....................................
33
Gambar 1.3
Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping ……………..
34
Gambar 4.1
Cara Pengumpulan Sampel …………………………………..
47
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Informasi …………………………………………….
73
Lampiran 2
Lembar Persetujuan ……………………………………………
75
Lampiran 3
Kuesioner Screening Kriteria Eksklusi ………………………..
77
Lampiran 4
Kuesioner Penelitian ………………………………………….
78
Lampiran 5
Keterangan Lolos Kaji Etik …………………………………...
79
Lampiran 6
Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian .
80
Lampiran 7
Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan ………….
81
Lampiran 8
Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013 ………………
82
Lampiran 9
Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014 …………………..
83
Lampiran 10 Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil ………………
84
xiv Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
ACGIH
: American Conference of Governmental Industrial Hygienist
APC
: Antigen presenting cell
APD
: Alat pelindung diri
ARIA
: Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma
BALT
: Bronchus associated lymphoid tissue
CI
: Confident Interval
DNA
: Deoxyribose Nucleic Acid
ECP
: Eosinophilic Cationic Protein
EDN
: Eosinophil Derived Neurotoxin
EDP
: Eosinophilic Derived Protein
EPA
: Environmental Protection Agency’s
EPO
: Eosinophiel Peroxidase
FTIRS
: Fourier transform infrared spectrometry
GC-FID
: Gas chromatography-flame ionization detection
GC/MS
: Gas chromatography/ mass spectrometry
GC/NSD
: Gas chromatography/ nitrogen selective detection
HLA
: Human Leucocyte Antigen
HMMEC
: Human mucosal microvascular endothelial cells
HPLC/UV
: High performance liquid chromatography/ ultraviolet detection
IARC
: International Agency for Research on Cancer
IB
: Indeks Brinkman
ICAM
: Inter cellular Adhesi Molecule
Ig
: Imunoglobulin
IL
: Interleukin
ILO
: International labour organization
LALT
: Larynx associated lymphoid tissue
MAdCAM
: Mucosal addressin cell adhesion molecule
MALT
: Mucosa assosiated lymphoid tisssue
MBP
: Major basic protein
MCU
: Medical check up
xv Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
MHC
: Major Histocompatibility Complex
MN
: Micronucleated cells
NAB
: Nilai ambang batas
NALT
: Nose associated lymphoid tissue
NICNAS
: National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme
OECD
: Organization Economic Cooperation and Development
OR
: Odd Ratio
OSHA
: Occupational Safety Health Adminstration
PEL
: Permissible Exposure Limit
PHA
: Phytohaemagglutinin
PPM
: part per million
RNA
: Ribonucleic acid
SCE
: Sister chromatid exchanges
STEL
: Short Term Exposure Limit
Th
: T helper
TLV
: Treshold Limit Value
VCAM
: Vascular cell adhesi molecule
xvi Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun,
peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan majunya industri maka terbukalah lapangan kerja buat masyarakat yang dapat meningkatkan taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2012 mencapai 118,0 juta orang, berkurang sekitar 2,4 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2012 sebesar 120,4 juta orang atau bertambah sekitar 670 ribu orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011.1 Dari data International Labour Organization (ILO) tahun 2005 diperkirakan di seluruh dunia setiap tahun 2,2 juta orang meninggal karena kecelakaan-kecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja. Diperkirakan terjadi 270 juta kecelakaan akibat kerja yang tidak fatal dan 160 juta penyakit baru akibat kerja.2 Dengan penyebab kematian yang berhubungan dengan pekerjaan : 34 % berhubungan dengan kanker, 25 % karena kecelakaan, 21 % karena penyakit saluran pernafasan , dan 15 % berhubungan dengan penyakit kardiovaskular ( Data ILO 1999 ). Sedangkan penyebab dari penyakit akibat kerja secara umum dibagi menjadi 5 yaitu bahan fisika, bahan kimia, bahan biologi, ergonomi dan psikososial. Salah satu bahan kimia yang banyak digunakan adalah Formaldehida. National Industrial Chemical Notification and Assessment Scheme (NICNAS) menyebutkan bahwa formaldehida menjadi salah satu bahan kimia yang diprioritaskan pada Maret 2002 dan menjadi perhatian kesehatan masyarakat dan kesehatan kerja. Formaldehida terdapat di dalam tubuh manusia dalam konsentrasi yang kecil. Selain itu formaldehida juga terdapat di alam yaitu terjadi melalui proses pembakaran dari bahan bakar domestik dan transportasi. Bahan bakar domestik meliputi bahan bakar padat, cair, dan gas untuk memasak dan pemanasan. Kelompok transportasi meliputi emisi dari kendaraan bermotor, kereta api, perahu boat, kapal komersial, dan transportasi air.3 Formaldehida memiliki banyak manfaat dan kegunaan dalam kehidupan sehari-hari. Pemanfaatannya sangat luas selain di bidang industri, rumah tangga, juga
1 Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
2
di rumah sakit. Di industri banyak digunakan dalam industri ban yang menggunakan polyetilen, polipropilen, industri plywood, partikelboard, industri tekstil, dan lain-lain. Formaldehida juga dipakai di rumah sakit untuk mengawetkan jenazah, dan untuk fiksasi jaringan yang digunakan untuk pemeriksaan patologi anatomi.4 Karena manfaat dan biaya produksi yang rendah formaldehida telah menjadi salah satu bahan kimia yang penting dalam dunia industri. Formaldehida digolongkan sebagai bahan kimia dengan level produksi yang tinggi pada Organization Economic Cooperation and Development ( OECD ), yaitu dengan volume produksi mencapai 1000 ton atau lebih. Produksi global formaldehida di Asia tahun 1999 mencapai 1,5 juta ton. 3 Selain manfaatnya yang besar formaldehida telah dilaporkan menyebabkan efek kesehatan terhadap manusia. International Agency for Research on Cancer ( IARC ) mempelajari beberapa studi epidemiologi mengenai karsinogenitas formaldehida dan menyimpulkan bahwa formaldehide termasuk kategori 1 yaitu bersifat karsinogen pada manusia. Hal ini berdasarkan bukti bahwa pajanan formaldehida dapat menyebabkan kanker nasofaring pada manusia.3 Formaldehida terutama masuk ke tubuh melalui inhalasi yang kemudian mempengaruhi saluran pernafasan. Pajanan formaldehyde telah dihubungkan dengan penyakit alergi, sick building syndrom, karsinogenesis seperti kanker faring, kanker paru
dan
pengaruhnya
terhadap
mukosa
saluran
pernafasan
dan
traktus
gastrointestinal. Namun belum banyak studi yang membahas mengenai mekanisme dari formaldehida mempengaruhi mukosa saluran pernafasan. Pada sebuah studi in vitro yang berjudul Effect of formaldehyde on the expression of adhesion molecules in nasal microvascular endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis of sick building syndrome disimpulkan bahwa formaldehida mengiritasi mukosa hidung dengan cara meningkatkan ekspresi dari adesi molekul pada human mucosal microvascular endothelial cells (HMMECs) dan dengan meningkatkan adhesiveness antara HMMECs dengan eosinofil.5 Pada penelitian Pazdrak, Krakowiak, dkk dengan eksposure pada 20 sukarelawan. Sembilan di antaranya memiliki hipersensitifitas terhadap formaldehida. Eksposure dengan kadar formaldehida 0,5 mg/m3 ( 0,4 ppm ) selama 2 jam. Nasal lavage dilakukan sebelum paparan, segera setelah paparan, dan 4 dan 18 jam setelah paparan berakhir. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
3
eosinofil dengan kadar triptase pada nasal lavage tidak menunjukkan adanya peningkatan. Triptase terlibat pada respon alergi. Penulis penelitian menyimpulkan bahwa kurangnya bukti degranulasi sel mast mengindikasikan sensitisasi subjek yang terjadi melalui proses nonspesifik yaitu proses inflamasi non allergik pada mukosa hidung.6 Sebagian besar inhalasi formaldehida ditahan di saluran pernafasan bagian atas. Efek klinik yang diakibatkan dari pajanan tersebut terutama terkait dengan area ini yaitu mukosa hidung. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa paparan akut formaldehida menyebabkan peningkatan eosinofil pada nasal lavage.6 Adanya eosinofil ini merupakan respon nasal terhadap suatu alergi. Namun proses inflamasi non allergik belum dapat disingkirkan karena masih terbatasnya penelitian mengenai efek iritasi inflamasi pada mukosa hidung akibat paparan formaldehida. Efek iritasi inflamasi atau infeksi pada mukosa hidung dapat dilihat dengan adanya sel neutrofil. Untuk itu peneliti bermaksud meneliti lebih lanjut apakah pajanan formaldehida mempengaruhi eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pajanan kronik ( > 1 tahun ). Dengan mengetahui efek kesehatan formaldehida terhadap mukosa hidung yaitu efek alergi atau efek infeksi pada pajanan > 1 tahun ( kronik ) maka diharapkan dapat dilakukan upaya pencegahan melalui penyeleksian dan penempatan karyawan yang memiliki faktor resiko.
1.2
Permasalahan Berbagai penelitian berbasis industri kain ban untuk mengindentifikasi faktor
resiko dari pajanan kimia berupa Formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung masih jarang. Belum diketahui apakah formaldehida menyebabkan efek alergi yang ditandai dengan adanya eosinofil atau efek iritasi inflamasi yang ditandai dengan adanya neutrofil pada mukosa hidung dengan cara swab hidung terutama pada pekerja yang terpapar formaldehida > 1 tahun.
1.3
Pertanyaan Penelitian
1.
Apakah terdapat hubungan antara eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja yang terpajan formaldehida dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpajan Formaldehida ?
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
4
Apakah ada hubungan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan faktor
2.
lain?
1.4
Hipotesis Terdapat hubungan pajanan kimia formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung.
1. 5
Tujuan Penelitian
1. 5. 1 Tujuan Umum Diketahuinya hubungan antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja di perusahaan kain ban. 1. 5. 2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya gambaran eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja industri kain ban 2. Diketahuinya gambaran dan hubungan formaldehida lingkungan kerja terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung 3. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor demografi ( usia , riwayat atopi ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung 4. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor individu ( merokok, olahraga ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung 5. Diketahuinya gambaran dan hubungan faktor-faktor pekerjaan ( masa kerja dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan eosinofil dan neutrofil swab hidung 6. Diketahui faktor yg dominan terhadap timbulnya eosinofil dan neutrofil swab hidung.
1.6
Manfaat Penelitian
1.6.1
Bagi Perusahaan
1. Mendapat masukan tentang masalah pengaruh pajanan kimia formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung pada pekerja perusahaan produksi ban yang terpajan formaldehida di lingkungan kerjanya.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
5
2. Sebagai bahan masukan untuk pengendalian dampak formaldehida terhadap pekerja perusahaan produksi kain ban yang terpajan formaldehida. 3. Sebagai bahan masukan untuk penyeleksian dan penempatan calon karyawan baru. 1.6.2
Bagi pekerja Tenaga Kerja dapat mengetahui efek formaldehida terhadap kesehatannya, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dalam melakukan upaya pencegahan.
1.6.3
Bagi Institusi Bahan penyusunan kebijakan untuk pengendalian bahan kimia khususnya formaldehida.
1.6.4
Bagi Peneliti Penelitian ini merupakan kesempatan bagi peneliti untuk dapat mengetahui dan meningkatkan kemampuan dalam melakukan analisa pengaruh pajanan lingkungan kerja terutama formaldehida terhadap kesehatan yaitu eosinofil dan neutrofil swab hidung.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
FORMALDEHIDA Formaldehida merupakan senyawa kimia yang tidak berwarna, berbentuk gas
pada suhu ruangan. Formaldehida memiliki bau yang tajam dan dapat menyebabkan sensasi terbakar pada mata, hidung, dan paru pada konsentrasi yang tinggi. Formaldehida
juga
dikenal
sebagai
metanal,
metilen
oksida,
oksimetilen,
metilaldehida, dan oxometane. Formaldehida dapat bereaksi dengan banyak bahan kimia, dan dapat terurai menjadi metanol dan karbon monoksida pada suhu yang tinggi.4 Formaldehida secara normal juga diproduksi dalam jumlah sangat kecil di tubuh kita. Formaldehida juga dapat ditemukan di udara sekitar di rumah dan di kantor, dan pada makanan yang kita makan.4 Pada umumnya, formaldehida terbentuk akibat reaksi oksidasi katalitik pada metanol. Oleh sebab itu, formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan yang mengandung karbon dan
terkandung
dalam
asap
pada kebakaran
hutan,
knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana danhidrokarbon lain yang ada di atmosfer.4,7 Di udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa larut dalam air ( dalam kadar larutan 37% disebut juga “formalin” atau “formol” ). Dalam air, formaldehida mengalami polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO.Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar antara 10%-40%.7 Formaldehida bisa dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, oleh karena itu larutan formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan udara.7
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
7
Formaldehida digunakan pada banyak industri. Seperti pada produksi pupuk, kertas, kayu lapis, produksi urea-formaldehida resin, pada produksi kosmetik dan gula, di bidang pertanian sebagai pengawet untuk biji-bijian, pada industri karet pada produksi latex, penyamakan kulit, dan pengawetan kayu. Formaldehida dikombinasi dengan metanol dan buffer untuk membuat cairan “embalming”. Formaldehida juga digunakan pada rumah sakit dan laboratorium untuk memfiksasi spesimen jaringan.4,7 Jika
digabungkan
dengan fenol, urea,
atau melamina,
formaldehida
menghasilkan resin termoset yang keras. Resin ini dipakai untuk lem permanen, misalnya yang dipakai untuk kayulapis/tripleks atau karpet. Juga dalam bentuk busanya sebagai insulasi. Sebagai disinfektan, formaldehida dikenal juga dengan nama formalin dan dimanfaatkan sebagai pembersih; lantai, kapal, gudang dan pakaian.8
2.2
TOKSIKOKINETIK FORMALDEHIDA
2.2.1
ABSORBSI Formaldehide secara cepat diabsorbsi di saluran respirasi dan gastrointestinal.
90 % inhalasi formaldehida di absorbsi di saluran napas atas pada tikus dan monyet. Pada tikus, formaldehida di absorbsi di hidung. Pada monyet formaldehide
di
absorbsi di nasofaring, trakea dan regio proksimal dari bronkus. Walaupun formaldehide dapat berpenetrasi pada kulit manusia yaitu menginduksi dermatitis kontak alergi pada manusia namun absorbsinya pada kulit sangat sedikit.3
2.2.2
DISTRIBUSI Pajanan formaldehida pada manusia, monyet dan tikus melalui inhalasi tidak
mempengaruhi konsentrasi formaldehida di darah ( endogenous formaldehyde ). Hal ini disebabkan karena metabolismenya yang cepat,. Pemberian formaldehida secara intravena pada anjing, kucing, dan monyet tidak menyebabkan akumulasi formaldehida di darah, karena formaldehida secara cepat dikonversi menjadi format. Pada anjing, pemberian formaldehida secara oral memberikan hasil peningkatan secara cepat kadar format dalam darah. Setelah 6 jam inhalasi C-formaldehida pada tikus, C-formaldehida secara besar terdistribusi di berbagai jaringan, konsentrasi terbesar di esofagus, dikuti di ginjal, hati, usus, dan paru, hal ini mengindikasikan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
8
bahwa absorbsi C-formaldehida dan metabolismenya secara cepat terdistribusi ke seluruh tubuh dari mukosa darah.3
2.2.3
METABOLISME Formaldehida dapat dimetabolisme melalui beberapa jalur yaitu melalui
penggabungan ke jalur karbon, konjugasi dengan glutation kemudian teroksidasi oleh formaldehida dehidrogenase, dan proses oksidasi oleh enzim peroksisomal katalase. 3 Formaldehida bereaksi seketika dengan amine primer dan sekunder, thiols,hidroksil dan amida membentuk derivat metilol. Formaldehida bertindak sebagai sebuah elektrofil dan dapat bereaksi dengan makromolekul seperti deoxyribose nucleic acid (DNA), ribonucleic acid (RNA), dan Protein
untuk
membentuk adduksi yang reversibel atau ikatan silang yang ireversibel. Absorbsi formaldehida dapat teroksidasi menjadi format melalui 3 jalur yang berbeda tersebut dan dapat diekshalasi dalam bentuk karbon dioksida atau masuk ke makromolekul biologi melaui tetrahydrofolate-dependent one-carbon biosynthetic pathways. Di tubuh, formaldehida diproduksi dalam jumlah kecil sebagai metabolit normal dan juga di dalam oksidasi dimetilasi xenobiotik. Oleh karena itu dapat ditemukan dalam hati. Formaldehid dehidrogenase adalah enzim metabolik utama yang terlibat dalam metabolisme formaldehid pada semua jaringan yang diteliti, dan terdistribusi merata pada jaringan hewan, khususnya pada mukosa hidung tikus, dan spesifik untuk aduksi glutation formaldehid.9 Formaldehida dehidrogenasi telah dideteksi terdapat di hati manusia, sel darah merah, dan jaringan di tikus meliputi epitel respirasi dan olfactorius, ginjal, dan otak.3
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
9
Gambar 1.1 Jalur Metabolisme Biotransformasi Formaldehida3,4 2.2.4
ELIMINASI DAN EKSKRESI Formaldehida menghilang dari plasma dengan waktu paruh sekitar 1-1,5
menit. Metabolismenya yang cepat menyebabkan sebagian besar diubah menjadi karbon dioksida dan dikeluarkan melalui paru-paru sebagai udara ekspirasi. Sebagian kecil diekskresikan di urin sebagai asam format dan beberapa dalam bentuk metabolit lain.3 Eliminasi dari radioaktif total pada paparan (14C) formaldehida pada tikus mengindikasikan bahwa 40 % dari inhalasi (14C) diekskresikan di udara ekspirasi, 17 % di urin dan 5 % di faeces. Sisanya ( 35 % - 39 % ) tetap di jaringan.3
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
10
2.3
TOKSIKODINAMIK Formaldehida
adalah
racun
protoplasma,
pengendapan
protein
dan
menyebabkan nekrosis koagulasi. Bentuk gasnya sangat larut air dan inhalasinya mengakibatkan iritasi lokal pada saluran napas atas dan dilaporkan dapat menyebabkan spasme dan edema pada laring. Asam format dapat terakumulasi dan mengakibatkan asidosis metabolik.12 Pada umumnya efek kesehatan akibat paparan formaldehida dapat diklasifikasikan berdasarkan : rute absorbsi yaitu melalui inhalasi, oral, dan kulit; periode eksposure yaitu paparan akut ( < 14 hari ), intermediate ( 15 – 365 hari ), dan kronik ( > 365 hari ), dan efek kesehatan sesuai dengan organ yang terkena seperti efek pada pernafasan, imunologik, mata, saluran pencernaan, kardiovaskular, dan lain-lain.4 Efek kesehatan akibat formaldehida juga dipengaruhi oleh konsentrasi formaldehida di udara, pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm menyebabkan iritasi mata dan hidung, efek neurologi, peningkatan resiko asma dan atau alergi. Pada konsentrasi > 50 ppm, percobaan pada binatang menunjukkan adanya edem paru.8
2.3.1. Efek Pada Pernapasan Efek paparan formaldehida pada pernafasan meliputi iritasi pernafasan dan gangguan fungsi pernafasan baik pada pekerja yang terpajan di lingkungan kerja maupun masyarakat umum. Pada penelitian dengan jumlah pekerja yang relatif kecil (38-84) di mana paparan dipantau secara individu, terdapat prevalensi yang tinggi pada gejala, terutama iritasi mata dan saluran pernafasan pada pekerja yang terekspose formaldehida di perusahaan produksi resin-embedded firbreglass, kimia, produk furniture dan kayu atau pekerja di bagian pemakaman dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pajanan. Salah satu survei menunjukkan formaldehida secara statistik bermakna pada gejala di mata, hidung, iritasi tenggorokan, batuk dan keluhan dada dengan rata-rata kadar formaldehida 0,17 ppm (0,20 mg/m3) dan lebih besar.10 Sebuah survei di Minnesota, USA, menunjukkan prevalensi iritasi hidung dan tenggorokan adalah rendah pada pajanan formaldehida < 0,1 ppm. Studi ini dilakukan pada 2000 penduduk dengan responden diklasifikasikan menjadi 4 variabel dependent yaitu iritasi mata, iritasi hidung/ tenggorokan, sakit kepada, dan skin rash. Didapatkan hasil bahwa efek formaldehida lebih besar pada kadar > 0,3 ppm dibandingkan kadar < 0,3 ppm. Laporan iritasi mata adalah yang paling sering diikuti oleh iritasi pada
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
11
hidung dan tenggorokan, sakit kepala dan skin rash. Sementara proporsi dari populasi yang melaporkan iritasi mata, hidung dan tenggorokan atau sakit kepala pada kadar di atas 0,3 ppm adalah tinggi ( 71 – 99 % ). Yang melaporkan efek di bawah 0,1 ppm adalah rendah ( 1-2 % untuk iritasi mata, 0-11% untuk iritasi hidung dan tenggorokan, dan 2-10 % untuk sakit kepala ). Prevalensi skin rash antara 5% dan 44 % untuk kadar > 0,3 ppm dan antara 0% - 3 % untuk < 0,1 ppm.10 Pada pajanan lama pada hewan percobaan yang terpapar formaldehida secara inhalasi didapatkan efek utama non neoplastik yaitu perubahan histopatologi (misalnya : metaplasia skuamosa, hiperplasia basal, rinitis) dalam rongga hidung dan saluran pernapasan bagian atas. Studi tentang toksisitas
kronik paparan secara
inhalasi telah dilakukan pada tikus, dengan perkembangan efek histopatologi dalam rongga hidung yang diamati pada konsentrasi formaldehida 2 ppm (2,4 mg/m3) dan lebih tinggi. 10
2.3.2
Efek Imunologik Perubahan status imun telah dilaporkan pada paparan formaldehida.
Perubahan pada cell-mediated immunity meliputi perubahan pada basofil dan atau sel supresor.4 Orang dengan sakit kronik pada paparan formaldehida seringkali menunjukkan aktifasi kekebalan dan meningkatkan auto antibodi. Penduduk dengan paparan kronik pada 0,05 sampai 0,5 ppm menunjukkan peningkatan aktifasi kekebalan,
peningkatan
auto
antibodi,
dan
peningkatan
antibodi
terhadap
formaldehida.4 Kelompok lain dengan eksposure 0,07 sampai 0,55 ppm ditemukan penurunan limfosit T dan gangguan fungsi sel T dengan menggunakan Phytohaemagglutinin (PHA).4 Studi epidemiologis mengenai efek paparan formaldehid pada sistem kekebalan tubuh difokuskan terutama pada reaksi alergi. Kasus laporan reaksi alergi sistemik atau lokal telah dikaitkan dengan formaldehida dalam berbagai macam produk. Formaldehida merupakan zat iritan pada saluran pernapasan, dan beberapa laporan memberi kesan bahwa perkembangan asma bronkial setelah menghirup formaldehid mungkin karena mekanisme imunologi. Kondisi tertentu dari paparan serta karakteristik individu merupakan faktor penting dalam menentukan apakah kemungkinan inhalasi paparan formaldehid yang mengakibatkan gangguan fungsi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
12
paru diperantarai oleh karena mekanisme imunologik. Efek kekebalan tubuh (misalnya, dermatitis kontak) yang dihasilkan dari paparan kulit terhadap formaldehid telah lebih jelas. Konsentrasi formaldehid untuk mendapatkan reaksi dermatitis kontak pada individu hipersensitif mungkin serendah 30 mg / liter. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Amerika Utara, kurang dari 10% dari pasien dengan dermatitis kontak mungkin secara imonologik hipersensitif terhadap formaldehida.10
2.3.3
Efek pada Mata Mata sering teritasi oleh uap formaldehida dan resinnya. Setelah terkena
percikan/cipratan ke mata maka efek toksik yang dirasakan sangat tidak nyaman dan mengiritasi mata hingga memutihkan bagian kornea serta kehilangan penglihatan. Pada studi sebelumnya pada orang sehat dan orang dengan asma, iritasi sedang hingga berat dilaporkan pada paparan formaldehid antara 0,25 – 3 ppm selama 5 jam. Studi ini mengindikasikan bahwa iritasi mata merupakan parameter yang lebih sensitif daripada pada iritasi pada hidung dan tenggorokan.3
2.3.4
Efek pada Kardiovaskular Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan
150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri. Pada pasien ditemukan takikardi, tekanan darah rendah dan oliguria dan diterapi dengan cairan IV dan dobutamin. Pasien akhirnya pulih dan keluar dari rumah sakit.6
2.3.5
Efek pada Saluran pencernaan Yanagawa mendeskripsikan kasus seorang pria berumur 28 tahun menelan
150 ml larutan formalin 40 % ( 258 mg formaldehida/kg pada percobaan bunuh diri. Pemeriksaan fisik ditemukan erosi dari mukosa orofaring, stridor pernafasan, nyeri epigastrium dan hipoaktif suara usus. Pasien diberikan Natrium bikarbonata untuk mengobati asidosis metabolik dan lesi esofagus. Baccikoglu dan Kalpaklioglu menggambarkan kasus lain yaitu seorang pria umur 54 tahun yang sengaja menelan larutan formaldehid 10 %. Pemeriksaan endoskopi pada pria ini menunjukkan esofagitis tingkat rendah dan gastritis, dengan terapi penghambat pompa proton dan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
13
hidrasi parenteral. Pasien pulih dan dipulangkan dari hospital dengan terapi untuk efek pernapasan akibat aspirasi formaldehida ketika muntah. 6
2.3.6. Efek pada Hati Efek pada hati dapat dipicu juga dari eksposure formaldehida. Efek pada hati ini meliputi toksik hepatitis dan gejala hipersensitifitas pada keluarga yang terekspose hingga 0,95 ppm.4
2.3.7
Efek pada Sistem Saraf Bukti formaldehida menimbulkan gejala neurologis diteliti pada survei cross
sectional dengan test neurobehaviour pada pekerja histologi yang terekspos formaldehida. Bagaimanapun juga, co-exposure terhadap xylene, toluene, dan kloroform juga menyebabkan efek neurotoksik pada manusia.3
2.3.8
Efek pada Ginjal Tidak ada bukti dari pemeriksaan histologi, atau monitoring bahan kimia
darah bahwa formaldehida menginduksi ginjal pada akut, intermediate, durasi inhalasi pada binatang atau pada inhalasi kronik pada tikus dan mice. Konsentrasi serum urea pada tikus yang terekspose dengan 6 ppm formaldehida selama 8 jam/ hari untuk 6 minggu, didapatkan tidak ada perubahan pada serum protein, albumin, atau kreatin.8
2.3.9
Efek pada Kulit Efek iritasi pada kulit akibat formaldehida telah diteliti pada beberapa tinjauan
jurnal dan semua melaporkan formaldehida menyebabkan iritasi kulit pada manusia. Efek iritasi yang terjadi mungkin juga akibat efek sensitisasi. Pada pelajar dengan paparan akut yang terkontrol dengan formaldehida pada konsentrasi 3 ppm tidak ditemukan peningkatan gejala iritasi kulit.3
2.3.10 Efek lain Perubahan histopatologis dalam epitel hidung telah diperiksa dalam survei pekerja yang terekspos uap formaldehida. Prevalensi metaplasia dari epitel hidung meningkat pada populasi yang terekspose formaldehid di pekerjaan dibandingkan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
14
dengan populasi kontrol dengan usia yang sama, kadang-kadang perubahan displastik juga dilaporkan pada mereka yang terkena formaldehida. Dalam penyelidikan lain menyebutkan rata-rata skore histologis meningkat pada 70 pekerja yang terpapar formaldehida (rata-rata 0,25 ppm , standar deviasi 0,13 ppm [rata-rata 0,30 mg/m3, standar deviasi 0,16 mg/m3]) dibandingkan dengan 36 kontrol yang tidak terpapar. 10
2.4
TOKSISITAS Mekanisme yang tepat bagaimana formaldehida menyebabkan iritasi, korosif,
dan sitotoksik belum secara jelas diketahui. Aldehid merupakan kelompok bahan kimia reaktif dengan atom oksigen yang sangat elektronegatif dan atom karbon yang kurang elektronegatif. Atom karbonil merupakan jenis elektrofil yang membuatnya mudah bereaksi dengan nukleofil dari membran sel dan jaringan serta cairan tubuh seperti kelompok amino protein dan DNA. Formaldehid dapat membentuk hubungan silang antara protein dan DNA in vivo. Rute predominant metabolisme formaldehida adalah metabolisme penggabungan ke makromolekul (DNA, RNA, dan protein) pada mukosa pernapasan dan penciuman dan sumsum tulang ( 344 tikus Fischer jantan ).4 Tikus terekspose hanya melalui hidung selama 6 jam pada 0,3 ; 2 ; 6 ; 10; atau 15 ppm dicampur dengan 14C dan 3H formaldehida 1 hari setelah 6 jam terpapar dengan konsentrasi formaldehida yang sama. Terdapat beberapa bukti terjadi hubungan silang antara protein-DNA di jaringan hidung. Konsentrasi
14
C DNA pada jaringan mukosa
pernafasan dan penciuman meningkat secara linear dengan dosis, pada semua dosis, konsentrasi
14
C DNA pada jaringan mukosa pernapasan adalah sekitar dua sampai
tiga kali daripada jaringan mukosa penciuman.4 Toksisitas formaldehida adalah rute-dependent. Iritasi pada titik kontak terlihat pada paparan secara inhalasi, oral, dan kulit. Dosis tinggi bersifat sitotoksik dan mengakibatkan degenerasi dan nekrosis mukosa dan lapisan sel epitel. Pengamatan ini konsisten dengan hipotesis bahwa terdapat efek toksik dimediasi oleh formaldehida itu sendiri dan bukan oleh metabolitnya.4
2.4.1
Karsinogenesis Penemuan pada awal tahun 1980 yaitu tumor di saluran hidung dari tikus
yang terpajan formaldehida secara inhalasi memberikan perhatian untuk melakukan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
15
penelitian terhadap terhadap para pekerja yang terekspose formaldehida. Studi epidemiologi menyelidiki kanker pada hidung, faring, dan paru-paru. Blair membuat meta analisis dari 32 studi mengenai eksposure formaldehida pada pekerja industri dan profesional ( teknisi anatomi, patologi ) didapatkan hasil peningkatan resiko secara bermakna
untuk kanker
nasofaring pada pekerja dengan
paparan
formaldehida.3 National Toxicology Program ( NTP, 1998 ) telah menetapkan bahwa formaldehid diduga bersifat karsinogen manusia, dan International Agency for Research on Cancer (IARC, 1995) membuat evaluasi secara keseluruhan bahwa formaldehida mungkin karsinogenik bagi manusia (Grup 2A) berdasarkan evaluasi spesifik bahwa ada bukti terbatas pada manusia untuk karcinogen formaldehida dan bukti yang cukup pada hewan percobaan. Environmental Protection Agency’s (EPA) mengklasifikasikan formaldehid dalam kelompok B1 - karsinogen manusia kemungkinan didasarkan pada terbatasnya bukti pada manusia dan cukup bukti pada hewan percobaan.4 IARC pada tahun 2004 menetapkan bahwa formaldehide termasuk kategori 1 yaitu bersifat karsinogen pada manusia.3 Pada sebuah penelitian dengan mengekspose tikus Sprague-Dawley jantan antara 0 sampai 14,8 ppm formaldehida selama 6 jam per hari, 5 hari seminggu, selama 2 tahun dilaporkan peningkatan insiden kanker sel skuamous hidung 0/99 dan 38/100 pada kontrol dan terekspose formaldehida. Tumor ini dicurigai akan meningkat turbin maksilar hidung dan septum hidung. Peningkatan insiden kanker sel skuamosa hidung juga dilaporkan oleh Tobe pada kelompok F 344 tikus yang terekspose formaldehida pada 0; 0,3; 2; atau 14 ppm selama 6 jam sehari, 5 hari seminggu. Selama 28 bulan. 14 dari 32 binatang pada kelompok dengan konsentrasi tinggi ( misalnya 44 % ) meningkatkan resiko kanker sel skuamosa, dibandingkan dengan 0 pada kontrol ( tidak terekspose ) dengan konsentrasi rendah atau sedang.10 Mekanisme bagaimana formaldehida menginduksi tumor di saluran nafas pada tikus belum sepenuhnya diketahui. Penghambatan pembersihan mukosiliar telah diobservasi pada tikus yang terekspose secara akut dengan kadar formaldehida lebih besar dari 2 ppm. Terdapat bukti bahwa glutation yang diperantarai oleh detoksifikasi formaldehida di jaringan hidung mengalami kejenuhan pada tikus dengan eksposure secara inhalasi di atas 4 ppm.12
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
16
2.4.2. Genotoksisitas Beberapa survei telah dilakukan untuk menyelidiki efek genetik pada limfosit perifer, hidung, sel mukosa buccal pekerja yang terekspose dengan formaldehida. Pada beberapa studi yang menilai limfosit perifer, didapatkan tidak ada peningkatan insiden dalam penyimpangan kromosom, sister chromatid exchanges (SCE) atau micronucleated cells (MN) pada 15 pekerja manufaktur atau pengolahan formaldehida, 30 mahasiswa kedokteran, 23 siswa anatomi dan 6 siswa patologi. Peningkatan insiden sister chromatid exchanges (SCE) di limfosit perifer terlihat pada 90 siswa patologi, 13 pekerja dilaporkan secara teratur terkena formaldehida, 8 siswa anatomi dan 31 pekerja yang terpapar fenol-formaldehida resin. Peningkatan insiden pada penyimpangan kromosom, SCE dan MN terlihat di 13 siswa anatomi. Pada studi yang menyelidiki insiden micronucleated cells (MN) pada hidung dan epitel buccal, peningkatan insiden terlihat di buccal tetapi tidak pada epitel hidung pada 29 dan 28 siswa yang belajar di kamar mayat. Peningkatan insiden MN di epitel buccal juga telah dilaporkan pada teknisi bagian anatomi dan mahasiswa anatomi, namun studi ini sangat terbatas dan hanya sebuah abstrak yang telah dilaporkan di Inggris. 3
2.5
BIOMARKER PAJANAN
2.5.1
Monitoring Biologis Asam format merupakan sebuah metabolit dari formaldehida yang telah
diukur di urin pekerja dan darah. Namun, pajanan formaldehida tidak dapat dinilai secara adekuat dengan metode ini karena formaldehida cepat di metabolisme dan sangat reaktif. Kadar format urin tidak sepenuhnya dapat digunakan sebagai biomarker oleh karena format juga merupakan hasil metabolit dari substans lainnya.3 Penelitian dengan pajanan pada siswa dengan 0,26-0,92 ppm uap formaldehida selama 3 jam, dengan sampel urin yang dikumpulkan segera setelah paparan dan 21 jam setelah paparan. Konsentrasi formaldehida dan asam format dalam urin yang ditemukan lebih tinggi segera setelah paparan dibandingkan dengan 21 jam kemudian, namun, tidak ada data awal sebelum terpajan. Meskipun format urin meningkat namun hal ini sangat dipengaruhi oleh variasi individu, paparan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
17
formaldehida, atau paparan bahan kimia lain yang juga menghasilkan format seperti metanol, halometan ( diklorometan ) dan aseton.4
2.5.2
Biomarker Efek Peningkatan konsentrasi eosinofil dan peningkatan kadar albumin dan protein
total telah ditemukan pada cairan lavage hidung pada pekerja yang terekpose 0,4 ppm formaldehida selama 2 jam. Walaupun hal ini tidak hanya dipengaruhi oleh formaldehida, namun dapat menjadi biomarker yang menjanjikan dari iritasi akut pernafasan pada paparan udara formaldehida. Seperti telah dijelaskan, ikatan silang DNA – Protein pada sel darah putih dan anti – formaldehida – albumin serum manusia antibodi IgG di darah dapat menjadi biomarker potensial untuk hubungan eksposure dan efek terkait dengan paparan intermediate atau kronik dari formaldehida.4 Biomarker potensial lain yang berguna untuk pajanan formaldehida secara inhalasi melibatkan pemeriksaan histologis biopsi sampel hidung. Perubahan histologis pada biopsi sampel jaringan hidung (misalnya, hilangnya sel bersilia, displasia skuamosa dan hiperplasia) telah dikaitkan dengan eksposur formaldehid dalam beberapa penelitian kros seksional pada pekerja formaldehida yang terekspose dan tidak terekspose. Masing-masing studi menggunakan metode penilaian morfologi dengan peningkatan nilai untuk perubahan histologis mulai keparahan dari hilangnya sel bersilia dan adanya sel-sel ganas. Prevalensi berbagai jenis perubahan dan ratarata skor histologis antara yang terekspose dan tidak terekspose. Penemuan dari studi pada tikus mengindikasikan bahwa formaldehida menginduksi terjadinya kanker hidung melalui kerusakan berulang pada epitel saluran napas atas. Oleh karena itu disarankan untuk melakukan pemeriksaan sitologi pada biopsi hidung untuk melihat ketidaknormalan dari sel epitel sehingga dapat mencegah perkembangan kerusakan jaringan di saluran napas atas atau mencegah ke arah kanker. Penemuan sejenis yaitu epitel skuamous displasia dan hiperplasia mukosa hidung telah ditemukan pada pajanan formaldehida secara kronik. Namun studi ini tidak semata-mata menunjukkan bahwa formaldehida merupakan toksikan utama yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan hidung. Skuamous metaplasia dan hiperplastik mukosa bisa
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
18
berguna sebagai indikator dari keparahan efek formaldehida. Namun kegunaannya pada pajanan manusia sangat terbatas.4
2.6
METODE PENGUKURAN FORMALDEHIDA Terdapat beberapa metode untuk mengukur formaldehida di udara, di
antaranya adalah dengan menggunakan metode spectrometry, gas chromatographyflame ionization detection (GC-FID), gas chromatography/ mass spectrometry (GC/MS), gas chromatography/ nitrogen selective detection (GC/NSD), high performance liquid chromatography/ ultraviolet detection (HPLC/UV), dan fourier transform infrared spectrometry (FTIRS).11 Metode pengukuran dengan metode NIOSH 3500 merupakan metode pengukuran dengan menggunakan teknik visible absorption spectometry, dengan sampler berupa filter + impingers. Metode ini merupakan metode yang paling sensitif untuk pengukuran formaldehida pada metode analisis NIOSH. Metode NIOSH 3500 diukur dengan alat spectrophotometer. Metode GC-FID dilakukan dengan cara menarik udara ke dalam tabung sorben padat yang berisi hidroksimetil piperidin. Metode GC-FID baik untuk digunakan untuk mengukur zat hidrokarbon seperti metan, etan, asetilene, dan substan organik yang mengandung hidrokarbon atau volatile organic compound. Sampel dalam FID akan mengalami pembakaran dalam hidrogen. Ion dan elektron bebas akan terbentuk. Kemudian partikel yang bermuatan akan menghasilkan arus yang menyebabkan perubahan pada celah 2 elektroda pada detektor. Perubahan pada celah elektroda ini yang kemudian dicatat sebagai sinyal oleh detektor.11,12 Hasil pengukuran formaldehida di lingkungan kerja dibandingkan dengan dengan nilai ambang berdasarkan Occupational Safety & Health Administration (OSHA) yaitu time weighted average TWA formaldehida adalah 0,75 ppm dan short term exposure limit ( STEL) adalah 2 ppm. Monitoring inisial harus diulang setiap saat terjadi perubahan produksi, peralatan, proses, atau tenaga kerja dimana dapat berakibat pada adanya eksposure baru atau tambahan terhadap formaldehida. Menurut OSHA bila hasil monitoring sebelumnya didapatkan eksposure formaldehida sama atau lebih besar dari nilai STEL, monitoring harus diulang pada pekerja setidaknya setahun sekali dalam kondisi terburuk.13
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
19
Sedangkan Nilai Ambang Batas ( NAB ) formaldehida berdasarkan Standar Nasional Indonesia mengacu pada surat edaran Menteri Tenaga Kerja nomor : SE01/MEN/1997 kadar tertinggi formaldehida yang diperkenankan adalah 0,37 mg/m3 ; 0,3 ppm.14
2.7
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG Hidung merupakan organ pelindung tubuh terpenting terhadap lingkungan
yang tidak menguntungkan. Melalui hidung, udara dihirup lebih dari 10.000 L/ 24 jam. Udara ini mengandung jutaan partikel yang bersifat infeksius, alergen, toksik dan iritan. Perubahan patologik dapat terjadi akibat pajanan partikel tersebut. Struktur anatomi dan fisiologi hidung memungkinkan kontak langsung dari lingkungan eksternal dan internal menyebabkan hidung akan mudah terpajan oleh berbagai stimulasi atau rangsangan.21 Tiga fungsi utama hidung adalah sebagai organ pembau (olfactory), respirasi dan proteksi. Turbulensi aliran udara saat inspirasi dengan mukosa rongga hidung merupakan dasar dari fungsi fisiologi hidung.15 Rongga hidung merupakan suatu ruangan yang kaku yang letaknya memanjang dari nares anterior (nostril) ke arah koana bergabung dengan nasofaring. Bagian dalam hidung panjangnya 10-12 cm. Rongga hidung dibagi 2 oleh septum nasi Katup hidung (nasal valve) berada lebih kurang 1,3 cm dari nares anterior dan merupakan segmen tersempit serta tahanan terbesar dari jalan nafas hidung. Dengan memasuki daerah yang sempit ini akan terjadi peningkatan aliran dan mengakibatkan penurunan tekanan intralumen (fenomena Bernoulli).15 Di dinding lateral hidung terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior serta meatus superior, meatus media dan meatus inferior. Konka dapat berubah ukuran sehingga dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum. Bronkus dan cabang-cabangnya mempunyai cincin kartilago yang tidak lengkap dengan otot polos. Semakin ke distal kartilago semakin kecil, akhirnya hilang pada bronkiolus. Kontraksi otot polos akan mempengaruhi diameter saluran nafas. Kontraksi inilah yang dipengaruhi oleh mediator-mediator serta sel-sel inflamasi dalam proses terjadinya asma bronkial.15
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
20
2.8
IMUNOPATOGENESIS Penemuan antibodi E atau imunoglobulin E pada tahun 1966 oleh
Ishizaka (Amerika) , Johansson & Bennich (Swedia) sebagai antibodi penghubung timbulnya penyakit alergi, telah membuka cakrawala baru untuk pemeriksaan diagnostik.
Selanjutnya pemeriksaan
invivo
dan
invitro ditujukan
untuk
membuktikan adanya IgE yang bebas atau terikat pada sel atau mendeteksi mediator yang dilepaskan. Reaksi alergi terdiri dari dua fase, yaitu reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL). Reaksi alergi fase cepat berlangsung sampai satu jam setelah kontak dengan alergen, dan mencapai puncaknya pada 15-20 menit pasca paparan alergen, sedangkan reaksi alergi fase lambat (RAFL) berlangsung 24-48 jam kemudian, dengan puncak reaksi pada 4-8 jam pertama.15 Alergen yang menempel pada mukosa hidung untuk pertama kali, terhirup bersama inhalasi udara nafas. Alergen yang terdeposit oleh makrofag atau sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell/ APC) diproses menjadi peptida pendek yang terdiri atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan molekul Human Leucocyte Antigen ( HLA ) kelas II membentuk kompleks Major Histocompatibility Complex ( MHC ) kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper ( Th0 ) . Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). Imunoglobulin E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini
disebut
sensitisasi
yang menghasilkan
sel
mediator
yang
tersensitisasi.15 Mukosa yang sudah tersensitisasi apabila terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulisasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediator) terutama histamin.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
21
Selain histamin dilepaskan juga Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien D4 (LTD4), leukotrien C4 (LTC4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. Inilah yang disebut reaksi alergi fase cepat.15 Histamin yang dilepaskan akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Selain itu histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain seperti hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.15 Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan neutrofil di jaringan target. Respon ini akan berlanjut, dan mencapai puncaknya 6-8 jam setelah pemaparan. dalam perjalanannya
dari sirkulasi
dipengaruhi faktor kemotaktik, melalui
15
Eosinofil
darah sampai ke jaringan/lokasi alergi beberapa
tahap
seperti
(perpindahan) eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah
migrasi
dan mulai
berikatan secara reversibel dengan endotel yang mengalami inflamasi (rolling), diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel seperti intercell adhesi molecule–1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesi molecule-1 (VCAM-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena sel eosinofil mengekpresikan very late antigen 4 (VLA-4) yang akan berikatan
dengan VCAM-1.
ICAM-1 juga diekspresikan
oleh sel epitel
mukosa hidung
yang mendapatkan paparan alergen spesifik terus menerus dan
menjadi dasar
konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI) seperti
terlihat pada
rinitis
alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan
bebas gejala. Sekarang eosinofil dengan peran pro inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi.16 Pada RAFL ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, neutrofil, basofil dan mastosit serta peningkatan berbagai sitokin pada sekret hidung. Salah satu grup sitokin yang berhubungan dengan dengan inflamasi alergi, dan bertanggungjawab untuk aktivasi leukosit, monosit, netrofil, eosinofil, dan basofil adalah Kemokin. Kemokin juga lebih spesifik menginduksi degranulasi. Setelah direkrut ke jaringan inflamasi, eosinofil menerima
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
22
sinyal untuk memulai degranulasi, menyebabkan dilepaskannya protein granul eosinofil seperti major basic protein (MPB), eosinophil peroksidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP).17 Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung ini adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Protein granul eosinofil tersebut desagregasi
dan deskuamasi epitel,
mempunyai
efek
menyebabkan
kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan
kerusakan sel karena radikal bebas. Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 15 Paparan alergen
dosis
rendah yang terus
menerus
pada
seseorang penderita
yang
mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel APC kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin interleukin 4 (IL-4) memacu sel B untuk memproduksi IgE yang terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian diantaranya berikatan dengan reseptornya dengan afinitas tinggi di permukaan sel basofil dan sel mastosit. Sel mastosit kemudian masuk ke venula di mukosa yang kemudian keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan submukosa hidung. Dalam keadaan ini maka seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit atopi lainnya, tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.15,16 Pada pekerja yang mempunyai riwayat atopi menyebabkan intensitas pajanan di hidung semakin kuat sehingga kadar eosinofil mukosa hidung semakin meningkat. Riwayat atopi pada pekerja dapat diketahui melalui anamnesis riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, dermatitis atopi atau sudah pernah didiagnosis atopi oleh dokter perusahaannya. Pada individu yang atopi lebih cenderung mengalami hiperresponsivitas jalan napas daripada individu yang nonatopi.18
2.9
SISTEM IMUNITAS MUKOSA Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting dan
berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
23
bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan enzim-enzim mukosa. Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun oleh karena adanya paparan antigen.19 Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran cerna, saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan
mekanik
dan
kimiawi
yang
sangat
kuat,
sistem
imun
mukosa innate berupa eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun mukosa adaptif dimana selain melindungi permukaan mukosa juga melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan. Sistem imun lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh pada orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Tisssue (MALT), bersama-sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.19 Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu : melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin menembus masuk, melindungi pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup dan bakteri komensal, dan melindungi berkembangnya respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. MALT akan menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun berlebih. Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu; mekanis dengan barries fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem imune innate meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel natural killer (NK), dan sel mast. Selsel ini berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif. Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori.19
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
24
Sistem imunitas mukosa saluran napas terdiri dari nose associated lymphoid tissue (NALT), larynx associated lymphoid tissue (LALT), dan bronchus associated lymphoid tissue (BALT). BALT terdiri dari folikel limfoid dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus. Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin ini merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.19 Respons imun diawali oleh microfold cells (sel M ) yang berlokasi di epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC yang dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas untuk uptake dan transport antigen lumen dan kemudian dapat mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%. Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak terdapat pada alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat memulai proses imun selanjutnya.19 Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT dan kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat melakukan ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini diperantarai oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel B untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.19
2.10
EOSINOFIL Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kelompok
granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan parasit
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
25
multiselular dan beberapa infeksi pada makhluk vertebrata. Eosinofil ikut mengendalikan mekanisme alergi. Eosinofil terbentuk pada proses hematopoiesis yang terjadi pada sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.20 Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa asam amino melalui proses degranulasi setelah eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksik terhadap parasit dan jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan. Individu normal mempunyai rasio eosinofil sekitar satu hingga tiga % terhadap sel darah putih dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.20 Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus, limpa dan lymph nodes. Eosinofil tidak dijumpai di paru, kulit, esofagus dan organ dalam lainnya pada kondisi normal, keberadaan eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu penyakit. Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak terdapat stimulasi.20 Kadar eosinofil dalam darah dan jaringan relatif rendah, kecuali pada pasien atopi dan infeksi parasit. Eosinofil dapat diidentifikasi pada darah dan jaringan melalui afinitas granul sitoplasmiknya terhadap zat warna anilin seperti eosin.
Karena
eosinofil
sulit dideteksi
dalam
jaringan
setelah degranulasi,
pewarnaan immunologis untuk protein yang spesifik untuk eosinofil, terutama major basic protein (MBP) dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan adanya
eosinofil
teraktivasi
dalam jaringan. Pemeriksaan
eosinofil
kerokan
mukosa hidung merupakan salah satu cara pemeriksaan rinitis akibat kerja yang murah dan mudah dilakukan. Arjana dan Alimah telah menggunakan pemeriksaan eosinofil
kerokan
mukosa
dilaporkan sensitivitasnya
hidung
70%
dan
untuk mendeteksi rinitis alergi, di mana spesifisitasnya 94%.
Kelemahan
dari
pemeriksaan ini adalah tidak dapat menyaring peningkatan kadar eosinofil yang disebabkan oleh investasi parasit dan non-alergic rhinitis dengan eosinophylia syndrome (NARES). 18
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
26
Adanya eosinofil dalam kerokan mukosa hidung menunjukkan adanya minimal persistance inflammation, walaupun pada pekerja yang tanpa gejala hidung. Eosinofil dapat menimbulkan hiperresponsivitas mukosa hidung, sehingga dengan rangsangan yang minimal telah dapat menimbulkan iritasi pada jalan napas. Efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein dengan berat
molekul
rendah
yang
tersimpan dalam
granula
sitoplasmiknya, yaitu MBP, eosinophil derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein (ECP). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran sel target melalui interaksi yang diperantarai muatan
elektrolit
(charge-mediated interaction).
MBP
juga
mengaktivasi
trombosit, sel mast dan basofil, yang akhirnya menghasilkan histamin. MBP dapat menginduksi hiper-responsivitas jalan napas dengan secara kompetitif menghambat
pengikatan
reseptor muskarinik
kolinergik (M2)
pada
saraf
parasimpatis, sehingga penghambatan reseptor ini oleh MBP akan mempercepat pelepasan asetilkolin pada jalan napas.18
2.11
NEUTROFIL Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN)
adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan dua sel granulosit lain: eosinofil dan basofil yang mempunyai granula pada sitoplasma, disebut juga polymorphonuclear.
20
Inti neutrofil berlobus warna biru ungu dengan
sitoplasma warna merah pucat bergranula halus.21 Neutrofil bermigrasi dari lamina propria ke sel epitel dan sejumlah kecil neutrofil terdapat pada mukosa hidung orang normal. Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang pertama hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Fungsi utama neutrofil adalah fagositosis. Granula dan lisosomnya mengandung berbagai enzim seperti lisosom dan mieloperoksidase yang akan menghancurkan bakteri. Batasan normal untuk derajat neutrofil adalah kurang atau sama dengan + 1. Peningkatan neutrofil ditemukan pada peradangan dan paparan iritan. Pada rinitis oleh karena infeksi bakteri akut ditemukan peningkatan neutrofil dengan adanya sejumlah besar bakteri terutama bakteri intrasel.21
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
27
Neutrofil mengalami enam tahap perkembangan : promielosit, metamielosit, neutrofil batang (band), neutrofil segmen. Neutrofil akan meningkat sepuluh kali lipat pada inflamasi akut. Neutrofil segmen merupakan sel aktif yang mengandung granula sitoplasmik (muda atau azurofil, sekunder, atau spesifik) dan inti sel segmentasi yang kaya kromatin.20 Infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan mukosa, serta terlepasnya sel-sel radang dan perubahan pH. Endotoksin bakteri serta enzim proteolitik yang dihasilkan oleh neutrofil diketahui dapat menurunkan aktivitas silia dan frekuensi denyut silia.22
2.12
PEMERIKSAAN EOSINOFIL DAN NEUTROFIL SWAB HIDUNG Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung membutuhkan peralatan
seperti : Kaca objek, lampu kepala, spekulum hidung, pensil dan kuret arlington. Cara melakukan pemeriksaan swab hidung adalah sebagai berikut pertama siapkan 1 kaca objek yang bersih dan kering, pekerja dalam posisi duduk dan dalam keadaan tenang. Kemudian lubang hidung dibuka dengan spekulum hidung dan dilakukan kerokan mukosa pada sisi medial konka inferior dengan menggunakan kuret Arlington. Usapkan secara merata sekret mukosa hidung di kuret pada kaca objek. Hapusan kerokan mukosa hidung pada kaca objek tadi dibiarkan mengering di udara. Identitas sampel yang diperiksa ditulis pada bagian pinggir kaca objek dengan pensil. Kemudian sediaan hapus diletakkan pada 2 batang gelas di atas bak tempat pewarnaan untuk dilakukan fiksasi sediaan dengan metanol absolut selama 1 – 2 menit. Setelah itu teteskan zat warna Wright hingga menutupi seluruh lapang pandang slide. Diamkan sediaan selama 10 menit, kemudian teteskan larutan dapar ( jumlah tetesan = tetesan zat warna ) di atas zat warna Wright, tiup hingga bercampur. Diamkan selama 15 menit. Setelah itu bilas dengan air mengalir sampai bersih. Bagian bawah kaca objek dibersihkan dari sisa zat warna dan biarkan kering dalam posisi tegak. Sediaan dibaca dengan mikroskop dengan pembesaran 100x per sepuluh lapangan pandang. Penilaian eosinofil dan neutrofil seperti pada tabel 1.1.21
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
28
Tabel 1.1 Penilaian Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung21 Derajat
Jumlah Sel Eosinofil dan Neutrofil
Derajat 0
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 0
Derajat ½ +
Jumlah sel eosinofil atau netrofil 0,1 – 1,0
Derajat 1 +
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 1,1 – 5,0
Derajat 2 +
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 6,0 – 15,0
Derajat 3 +
jumlah sel eosinofil atau neutrofil 16,0 – 20,0
Derajat 4 +
jumlah sel eosinofil atau neutrofil > 20
2.13
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EOSINOFIL DAN NEUTROFIL MUKOSA HIDUNG
2.13.1. Merokok Asap rokok merupakan faktor yang dapat memperberat gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung. Gejala hiperaktif atau hiperesponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP) dan lain-lain. Asap rokok merupakan faktor non spesifik yang dapat menyebabkan iritasi dan memperberat gejala. Sedangkan faktor spesifik yaitu berupa alergen.15 Faktor kebiasaan merokok juga dapat memicu terjadinya rinitis alergi selain faktor polusi udara.16 Partikel-partikel toksin, alergen, debu, bakteri, dan lain-lain yang masuk ke saluran napas atas juga akan dialirkan keluar oleh sistem mukosiliar ke arah nasofaring. Sistem mukosilier merupakan barrier pertama sistem pertahanan tubuh pada pernapasan. Sistem mukosiliar akan menjaga agar saluran nafas atas selalu bersih. Bersihan mukosilier yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal.22
2.13.2 Riwayat Atopi Pada orang yang memiliki riwayat atopi lebih cenderung mengalami hiperesponsivitas jalan napas dibandingkan yang non atopi. Penelitian pada pekerja
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
29
yang terpajan debu kayu menunjukkan bahwa individu dengan riwayat atopi memiliki kecenderungan untuk mengalami peningkatan kadar eosinofil mukosa hidung yang diperberat dengan pajanan.18
2.13.3 Masa Kerja Semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak terpajan bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja. Hubungan antara paparan dan efek ini sangat bergantung pada tiga hal yaitu kadar formaldehid dalam udara, dosis paparan kumulatif (penjumlahan kadar dalam udara dan lamanya paparan), dan waktu tinggal atau lamanya formaldehida berada dalam hidung.4
2.13.4 Alat pelindung diri Alat pelindung diri adalah perlengkapan yang dipakai untuk melindungi pekerja terhadap bahaya yang dapat mengganggu kesehatan yang ada di lingkungan kerja. Alat yang dipakai disini untuk melindungi sistem pernafasan dari partikel partikel berbahaya yang ada di udara yang dapat membahayakan kesehatan. Perlindungan terhadap sistem pernafasan sangat diperlukan terutama bila tercemar partikel - partikel berbahaya, baik yang berbentuk gas, aerosol, cairan, ataupun kimiawi.
2.13.5 Olahraga Olahraga berkaitan tingkat kebugaran jasmani. Dengan olahraga dapat meningkatkan kapasitas kerja sistem sirkulasi (jantung dan pembuluh darah), sistem saraf dan sistem otot tubuh. Semua sistem tersebut memiliki peranan untuk peningkatan kondisi fisik atau tingkat kebugaran. Tubuh yang sehat dan kuat juga dapat membentuk antibodi yang baik. Orang yang memiliki status kesehatan yang baik akan memiliki daya tahan tubuh terhadap penyakit. Penelitian “Dampak senam aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit” oleh Purwanto mendapatkan hasil bahwa tingkat daya tahan tubuh terhadap penyakit yang mengikuti senam aerobik lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengikuti senam aerobik.23
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
30
2.14
PENELITIAN
YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
PAJANAN
FORMALDEHIDA TERHADAP EOSINOFIL DAN NEUTROFIL
2.14.1 Penelitian Krakowiak ( 1992 ) dengan eksposure 20 sukarelawan pada orang sehat dan asma hingga dengan kadar 0,5 mg/m3 formaldehida selama 2 jam. Lavage hidung dilakukan sebelum pajanan, segera setelah paparan dan 4 dan 18 jam eksposure berakhir. Hasil penelitian yaitu
ada peningkatan jumlah dan proporsi
eosinofil dan peningkatan albumin dan total protein pada cairan hidung setelah 4 jam dan 18 jam pajanan formaldehida. Penulis menyimpulkan bahwa terdapat keterbatasan bukti untuk sel mast dan degranulasi eosinofil dan kemiripan respon pada orang sehat dan asma mengindikasikan terdapat proses nonspesifik, inflamatori non alergi pada mukosa hidung.6 2.14.2 Penelitian Tatsuo Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of formaldehyde, as an indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa formaldehida menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke saluran napas melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated. Neutrofil menyebabkan respon inflamasi, termasuk gangguan epitel saluran nafas melalui pelepasan mediator kimia, superoxide anions atau proteases.24 2.14.3 Penelitian Kim tahun 2002 dengan judul “Effect of formaldehyde on the expression of adhesion molecules in nasal microvascular endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis of sick building syndrome.” Kim meneliti efek formaldehida pada human mucosal microvascular endothelial cells ( HMMECs ) dan menyelidiki efek formaldehida pada adhesiveness HMMECs dengan eosinofil. Ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell adhesion molecule (VCAM-1) pada HMMECs dievaluasi dengan flow sitometri. Perubahan ekspresi dari ICAM-1 and VCAM-1 mRNA kemudian dievaluasi dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction. Didapatkan hasil bahwa formaldehida meningkatkan ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and vascular cell adhesion molecule (VCAM-1) pada HMMECs. Formaldehida juga menginduksi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
31
ICAM-1 dan VCAM-1 mRNA. Sebagai tambahan, adhesiveness antara HMMECs dan eosinofil juga meningkat oleh karena formaldehida. Disimpulkan bahwa studi in vitro ini menyarankan bahwa formaldehida memiliki peran sebagai iritan pada mukosa hidung dengan meningkatkan ekspresi adhesion molecules pada HMMECs dan dengan merubah adhesiveness antara HMMECs dan eosinofil.5
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian ini peneliti menggunakan sediaan dengan cara swab mukosa hidung yang dinilai secara kuantitatif, dan sampel yang digunakan adalah pekerja yang telah bekerja selama > 1 tahun untuk pajanan kronik.
2.15
TINJAUAN PERUSAHAAN Penelitian dilakukan di perusahaan yang bergerak di industri kain ban ( tire
cord fabric ) dengan kapasitas produksi mencapai 19.000 ton/ tahun. Bahan baku yang digunakan untuk produksi kain ban adalah VP Latek dan Filamen Yarn, Perusahaan memiliki jumlah karyawan sekitar 900 orang. Pekerja di bagian dipping sebanyak 72 orang, sedangkan di weaving sebanyak 118 orang yang dibagi menjadi 3 shift selama 24 jam.
2.15.1 Sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perusahaan telah mempunyai sistem pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Salah satu bentuknya adalah adanya bagian khusus yang menangani sistem K3 di perusahaan yaitu bagian Health and Safety Department yang dipimpin oleh seorang dokter yang telah menjalani pendidikan kesehatan kerja. Perusahaan juga telah memiliki klinik perusahaan untuk melayani pekerja yang berobat dan menangani pekerja yang mengalami kecelakaan kerja. Klinik dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh perawat. Pelayanan yang diberikan di klinik bersifat kuratif. Kasus – kasus yang dapat ditangani di klinik akan ditangani di klinik sedangkan kasus-kasus yang tidak dapat ditangani akan dirujuk ke rumah sakit rujukan. Perusahaan juga menerapkan pelaksanaan medical check up (MCU)
rutin yang
diadakan setiap tahun bagi pekerja. Pelaksanaan medical check up dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak lain penyelenggara MCU.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
32
Program preventif yang telah dilakukan oleh perusahaan adalah pengukuran formaldehida di lingkungan kerja khususnya bagian dipping. Pengukuran dilakukan menggunakan alat pengukur yang dimiliki oleh perusahaan yaitu Alat Ukur MSA Altair 5 X dan bekerjasama dengan pihak lain yang terstandarisasi untuk pengukuran formaldehida di lingkungan kerja. Program preventif lainnya adalah sudah tersedia Material Safety Data Sheet (MSDS) tentang formaldehida walaupun sosialisasi kepada pekerja belum dilaksanakan. Sedangkan upaya promotif yang dilaksanakan adalah adanya health talk yang dilakukan oleh bagian Health and Safety kepada pekerja yang dilakukan pada pagi hari. Pengendalian bahaya potensial yang telah dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan dengan pajanan formaldehida di dipping seperti adanya general ventilation, penyimpanan formaldehida di unit telah disimpan di tangki yang tertutup , dan perusahaan juga telah memfasilitasi penggunaan alat pelindung diri berupa masker, sarung tangan, dan safety helm.
2.15.2 Proses Produksi Kain Ban Perusahaan menghasilkan kain ban dengan tahapan proses produksi dimulai dengan pemintalan benang nilon dari gulungannya ( cone ) dengan kecepatan sangat tinggi dan digulung ke klos ( Gambar 1.2 ). Kemudian benang nilon tersebut dipintal lagi dengan cara melilit dua atau tiga benang single ply oleh cable twister. Kemudian benang yang telat dililit akan ditenun membentuk lembaran-lembaran kain (weaving). Kemudian kain tersebut akan digulung menjadi rol-rol yang berdiameter 500 sampai 1500 mm. Pekerja yang bekerja di bagian weaving bertugas mengawasi jalannya mesin penenunan dan apabila terjadi benang putus atau melilit satu dengan yang lain maka pekerja di bagian ini bertugas untuk memperbaikinya. Bahan kain ban tersebut kemudian dicelupkan ke dalam bak celup. Bagian dipping memiliki panjang 84 meter dan lebar 80 meter (luas 6720 m2). (Gambar 1.3). Pemintalan dan penenunan dilakukan pada suhu 28 oC dan kelembaban relatif 65 %. Di bagian dipping digunakan formaldehida untuk mencelupkan kain ban tersebut. Formaldehida berfungsi untuk melunakkan dan mengawetkan serat ban. Unit dipping memiliki 3 tangki penyimpanan formaldehida yang tertutup. Di bagian dipping menggunakan sistem kain bergerak secara vertikal. Sedangkan pengisian formaldehida pada bak
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
33
celup dilakukan secara manual oleh pekerja. Bagian dipping terletak bersebelahan dengan weaving yang dipisahkan oleh tembok dan akses keluar masuk melalui pintu masuk yang berbeda.
Benang Nylon
1
Pemintalan Tunggal
2
Pemintalan Ganda
Bahan Penolong (Benang)
3
Weaving (Penenunan)
Bahan Penolong (Chemical)
4
Dipping (Pencelupan)
5
Kain Ban
Limbah Cair
Gambar 1.2 Diagram Alir Pembuatan Kain Ban
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
34
Gambar 1.3 Proses Produksi di Bagian Pencelupan/ Dipping
Dalam penelitian ini dinilai pekerja yang bekerja di dua bagian yaitu bagian dipping dan bagian weaving. Bagian dipping dipilih karena pekerja pada bagian ini terpapar secara langsung oleh formaldehida. Sedangkan bagian weaving dipilih karena memiliki karakteristik pekerja yang hampir sama dengan bagian dipping yaitu pekerja blue collar. Pada gambar 1.2 terlihat bahwa bagian weaving adalah bagian kerja sebelum dipping. Di bagian weaving (penenunan) tidak menggunakan bahan kimia formaldehida namun menggunakan benang nilon.
2.16
PENGUKURAN KADAR FORMALDEHIDA Pengukuran kadar formaldehida di udara di bagian diiping (Pencelupan) yang
dilaksanakan pada tanggal 18 desember 2012 dengan menggunakan alat ukur MSA Altair 5 X yang dimiliki oleh perusahaan didapatkan hasil 0,2 ppm di dip unit 1 dan 0,1 ppm di dip unit 2. Hasil pengukuran masih berada di bawah nilai ambang batas berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
35
2.17
KERANGKA TEORI
Usia Jenis Kelamin Merokok Olahraga
Mukosa Hidung
Formaldehida
Lama Kerja Masa Kerja Alat Pelindung diri
Jumlah APC Mukosa Hidung
MHC klas II
Sel Th 0 Riwayat Atopi 0 Jumlah sel Th2 ( Kadar IL3, IL4, IL5, IL 13 ) (TCR + CD4)0 0 (TCR + CD4)
0
Jumlah Eosinofil Sel Limfosit B (TCR CD4)0 MHC +klas II + ligand darah APC 0 (TCR + CD4) 0 (TCR + IgE CD4)0 MHC klas II + ligand APC (TCR + CD4)0 (TCR + CD4) 0 (TCR + CD4) MHCBasofil II + (TCR +klas CD4)0 Mastosit MHC klas II + ligand APC (TCR + CD4) 0 ligand APC
(TCR + CD4)0 Eosinofil dan Neutrofil di (TCR + Jaringan CD4) Target MHC klas II + ligand APC 0 (TCR + CD4)0
klas II + (TCRMHC + CD4)0 Histamin ligand APC (TCR + CD4) 0 MHC klas II + ligand APC (TCR + CD4)0 (TCR + CD4)
(TCR + CD4) MHC klas II + ligand APC
MHC klas II + ligand APC
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
36
2.18
KERANGKA KONSEP
Terpajan Formaldehida Eosinofil Swab Hidung Neutrofil Swab Tidak Terpajan
Hidung
Formaldehida
Demografi Usia Riwayat Atopi Individu Kebiasaan Merokok Kebiasaan Olahraga Pekerjaan Masa Kerja Penggunaan Alat Pelindung diri
Kadar Formaldehida di udara
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
37
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian Penelitian pajanan formaldehida terhadap
eosinofil dan
neutrofil swab
hidung pada pekerja industri kain ban merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
desain
cross
sectional
comparative.
yaitu
dengan
membandingkan kelompok pekerja di bagian dipping yang terpajan formaldehida dengan kelompok pekerja di bagian weaving
yang tidak
terpajan formaldehida.
3.2
Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian adalah perusahaan kain ban Waktu penelitian adalah September 2013 – Januari 2015
3.3
Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah pekerja pada industri kain ban Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pekerja laki-laki pada industri kain ban di bagian dipping dan di bagian weaving.
3.4
Sampel
3.4.1
Kriteria Inklusi 1. Berstatus sebagai pekerja pada industri kain ban 2. Pekerja laki-laki 3. Pekerja telah bekerja > 1 tahun 4 4. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani informed consent
3.4.2
Kriteria Eksklusi Pekerja yang sedang dalam pengobatan : anti histamin, steroid, dekongestan, atau antibiotik dalam waktu 24 jam
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
38
Pekerja yang sedang menderita Rhinitis (berdasarkan definisi dari Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma/ARIA 2008 update yaitu sebuah inflamasi dari hidung dengan karakteristik gejala hidung meliputi rhinorhea, bersin, sumbatan hidung dan atau gatal-gatal pada hidung yang berlangsung > 2 hari per minggu dengan lebih dari 1 jam setiap harinya.)25
3.4.3
Kriteria drop out Responden tidak dapat melanjutkan keikutsertaan/ mengundurkan diri dari penelitian
3.4.4
Perhitungan besar sampel 26 Besarnya sampel yang diperlukan dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi dua kelompok independent n1
n2
(zα
2 PQ
zβ P1Q1 (P1 P2 ) 2
P2Q2 )2
n1 : kelompok yang terpajan n2 : kelompok yang tidak terpajan Zα : Kesalahan tipe 1 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,96 Zβ : Kesalahan tipe 2 yang ditetapkan sebesar 5 %, yaitu 1,645 P1 : Proporsi efek yang diteliti yaitu eosinofil positif pada terpajan27: 77,8% P2 : Proporsi efek standar yaitu eosinofil positif pada tidak terpajan27 : 40,9 % P1 – P2 : selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna = 36,9% P
: Proporsi total = (P1+P2)/2 = 59,35 %
Q
: 1 – P : 40,65
Q1
: 1 – P1 = 1 – 0,778 = 0,222
Q2
: 1 – P2 = 1 – 0,409 = 0,591
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
39
Besar sampel (2PQ) + zβ (P1Q1 + P2Q2)}2
n1 = n2 = {z
(P1 –P2)2 = ( 1,96
2 x 0,593x 0,407 + 1,645 0,778 x 0,222+ 0,409x0,591 )2 (0,778 – 0,409)2
= 2,4432 0,3692 = 43,85 = 44
Besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah = 44 sampel. n1 = n2 = 44 sampel dan perkiraan drop out adalah 20%. maka Total sampel adalah 44 x 2 = 88 + 20% ( perkiraan drop out ) = 106 sampel.
Namun dikarenakan jumlah populasi terpajan formaldehida di bagian pencelupan ( dipping ) sebanyak 72 pekerja maka keseluruhan pekerja akan dijadikan sampel pada penelitian ini dan sebanyak 72 pekerja di bagian penenunan ( weaving ) akan dijadikan sampel populasi tidak terpajan formaldehida. 3.4.4
Cara Pengambilan sampel Cara Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan menggunakan total population pada kelompok pencelupan (dipping) dan simple random sampling pada kelompok penenunan (weaving).
3.5
Sumber data Variabel dependen : eosinofil dan neutrofil swab hidung Variabel Independen : faktor usia, riwayat atopi, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja, penggunaan alat pelindung diri dan pengukuran kadar formaldehida lingkungan.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
40
3.5.1
Variabel data primer Diperoleh melalui wawancara dan kuesioner terhadap responden Data Primer yaitu : a.
Menentukan faktor-faktor demografi ( usia, riwayat atopi ), individu ( kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga ) dan faktor pekerjaan ( masa kerja dan penggunaan alat pelindung diri ) dengan wawancara dan kuesioner.
b.
3.5.2
Data hasil pemeriksaan eosinofil dan neutrotil swab hidung.
Variabel data Sekunder Data sekunder yaitu : hasil pengukuran kadar formaldehida di lingkungan kerja didapat dari perusahaan.
3.5.3
Batasan Operasional
Tabel 3.1 Batasan Operasional Penelitian Pajanan Formaldehida Terhadap Eosinofil dan Neutrofil Swab Hidung Pada Pekerja Industri Kain Ban
No
Variabel
Alat
Cara pengukuran
Skala
dengan melakukan kerokan pada permukaan
Kategorik
Ukur 1
Eosinofil
Data
mukosa
Primer
hidung
konka inferior menggunakan kuret Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan pandang. Hasil21 : Derajat 0 : jumlah sel 0 Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0 Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0 Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0 Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0 Derajat 4 + : jumlah sel > 20.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
41
2
Neutrofil Data
dengan melakukan kerokan pada permukaan
mukosa
konka inferior menggunakan kuret
Primer
hidung
Kategorik
Arlington. Sediaan diperiksa di mikroskop dengan pembesaran 100 x per 10 lapangan pandang. Hasil21 : Derajat 0 : jumlah sel 0 Derajat 1/2+ : jumlah sel 0,1 – 1,0 Derajat 1 + : jumlah sel 1,1 – 5,0 Derajat 2 + : jumlah sel 6,0 – 15,0 Derajat 3 + : jumlah sel 16,0 – 20,0 Derajat 4 + : jumlah sel > 20.
3
Usia
Data
Dengan kuesioner dilihat dari selisih usia numerik
Primer
pekerja ( tanggal lahir pada KTP ) dengan waktu dilaksanakannya penelitian. Hasil : Mean/ Median Min-Max
4
Riwayat
Data
Riwayat atopi diketahui melalui wawancara Kategorik
Atopi
Primer
riwayat
salah
bronkialis,
satu
rinitis
dari gejala
asma
alergi, konjungtivitis
alergi atau dermatitis atopi.18 0 = Tidak 1 = Ya 5
Masa
Data
Jumlah bilangan Dalam tahun masa kerja di Numerik
Kerja
Primer
perusahaan tersebut. Hasil : Mean/ Median Min-Max
6
APD
Data
Penggunaan alat pelindung diri oleh pekerja
primer
0 = Ya, setiap hari
Kategorik
1 = Tidak setiap hari 2 = Tidak pernah
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
42
7
Merokok data
Kategori perokok menggunakan indeks
primer
Kategorik
Brinkman (IB), yakni perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Dibagi men jadi : 0 = tidak merokok 1 = ringan jika merokok 1-200 batang, 2 = sedang jika merokok 201-600 batang, 3 = berat jika merokok 601 batang atau lebih
8
Olahraga Data Primer
Kategori olahraga menggunakan
Kategorik
perhitungan frekuensi berolahraga dalam satu minggu secara rutin. Dibagi menjadi 0 = tidak pernah berolahraga sama sekali 1 = olahraga 1-2x/minggu 2 = ≥ 3x/minggu
9
Formal
Data
Pajanan formaldehid eksogen
dehida
primer
0 = weaving (penenunan)
lingku
Kategorik
1 = dipping (pencelupan)
ngan
3.5.4
Cara Pengumpulan data Cara pengumpulan data pada penelitian ini antara lain untuk data eosinofil dan
neutrofil didapat dengan melakukan swab hidung langsung pada pekerja di perusahaan. Kemudian sampel yang telah difiksasi di bawa ke laboratorium Patologi Klinik bagian hematologi untuk dilakukan pemeriksaan jumlah eosinofil dan neutrofil. Data – data lain seperti data usia, riwayat atopi, masa kerja, penggunaan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
43
APD, kebiasaan merokok dan kebiasaan olahraga didapat dari pengisian kuesioner. Sedangkan pengukuran kadar formaldehid lingkungan didapat dari perusahaan melalui pengukuran secara tidak langsung yaitu menggunakan gas chromatografi dengan kerjasama laboaratorium MIPA Universitas Indonesia yang dilakukan pada bulan November 2013 dan Maret 2014.
3.5.5
Cara Analisis Data Analisis data menggunakan SPSS 20.0 melalui beberapa tahap, sebagai
berikut : Analisis univariat terhadap variabel independen dan dependen untuk melihat distribusi frekuensi. Data numerik disajikan dalam bentuk mean ± sd jika distribusi normal dan median (min-max) jika distibusi tidak normal. Data kategorik disajikan dalam bentuk proporsi/ persentase Analisis bivariat untuk mencari hubungan variabel independen dengan dependen dengan uji statistik yang sesuai dengan skala data yang ada. Analisis multivariat dengan regresi logistik untuk melihat hubungan variabel independen manakah yang paling dominan.
3.6
Etika Penelitian Penelitian ini menggunakan data sekunder dan primer, dimana pekerja
dan data hasil penelitian dirahasiakan dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian ini. Penelitian dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia surat nomor 554/ H2.F1/ Etik/ 2013.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
44
3.7
Alur Penelitian
Populasi
Verifikasi data pekerja
Kriteria Inklusi
Tidak Tidak Ikut Penelitian
Ya
Kriteria Ekslusi
Ya
Tidak
Sampel
Kelompok dipping (pencelupan)
Kelompok weaving (penenunan)
Pemeriksaan swab hidung, usia, riwayat atopi,
Pemakaian APD, masa kerja, merokok, olahraga Entry Data dan Verifikasi Elektronik
Analisis Data
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
45
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1
Pengukuran Formaldehida Lingkungan Pengukuran kadar formaldehida di tempat kerja dilakukan melalui 2 tahap
yaitu pada bulan November 2013 dan bulan Maret 2014. Pengukuran dilakukan oleh Lab Afiliasi Kimia Universitas Indonesia. Pengukuran dilakukan di bagian dipping ( pencelupan ) yang terpajan dengan formaldehida. Sedangkan bagian weaving ( penenunan) tidak menggunakan bahan kimia, namun terdapat pajanan benang nilon. Pengukuran formaldehida lingkungan hanya dilakukan di bagian dipping terkait masalah perizinan pengukuran oleh perusahaan oleh karena di bagian weaving tidak ada pajanan bahan kimia. Hasil pengukuran bulan November 2013 di bagian dipping ( pencelupan ) dengan menggunakan metode GC-FID ( Gas Chromatography-Flame Ionization Detector) didapatkan hasil kadar formaldehida lingkungan sebesar < 4 ug/mL. Hasil Pengukuran bulan Maret 2014 dengan menggunakan metode NIOSH 3500 di bagian dipping ( pencelupan ) didapatkan hasil 0,032 mg/m3. Kedua hasil tersebut masih berada di bawah nilai ambang batas berdasarkan OSHA yaitu 0,75 ppm.
4.2
Proses Pengumpulan data Pengumpulan data penelitian dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan
Medical Check Up rutin perusahaan yaitu pada tanggal 3 Maret 2014 sampai dengan 14 Maret 2014. Data diambil di bagian dipping ( pencelupan ) dan weaving ( penenunan ) setelah pekerja menandatangani informed consent/ lembar persetujuan. Penelitian ini dilakukan bersama dengan 3 penelitian lainnya yang berjudul : Hubungan Antara Pajanan Formaldehida Dengan Fungsi Kognitif Pada Pekerja Industri Kain Ban”, Hubungan Pajanan Formaldehida Dengan Jumlah Leukosit, Hitung Jenis Dan Morfologinya Pada Pekerja Industri Kain Ban , dan “Hubungan Antara Pajanan Formaldehida dengan Kadar Cystatin C Serum”. Proses pengumpulan data dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku di perusahaan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah semua pekerja di bagian dipping yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
46
eksklusi. Sementara di bagian weaving, sampel diambil dengan random sampling menggunakan program SPSS dengan jumlah yang sama dengan pekerja di bagian dipping. Proses pemeriksaan berkala diawali dengan pendaftaran, kemudian pekerja mengisi kuesioner, pekerja diambil darah oleh petugas laboratorium, pengumpulan urin, pemeriksaan fisik, pemeriksaan swab hidung, pemeriksaan spirometri, rekam jantung, pemeriksaan rontgen dan terakhir verifikasi data oleh petugas MCU. Sebelum pemeriksaan swab hidung peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada pekerja mengenai maksud,tujuan, dan proses pemeriksaan, kemudian peneliti menanyakan kesediaan pekerja untuk dilakukan pemeriksaan . Pekerja yang setuju dilakukan pemeriksaan swab hidung kemudian diminta menandatangani lembar persetujuan. Setelah menandatangani lembar persetujuan, subjek penelitian akan mengikuti beberapa prosedur pemeriksaan yaitu pengumpulan dan verifikasi data kuesioner, dan pemeriksaan swab hidung. Preparat pemeriksaan swab hidung difiksasi oleh metanol, dan diwarnai di lokasi penelitian. Pewarnaan dilakukan oleh analis laboratorium. Preparat yang telah diwarnai kemudian dibawa ke laboratorium untuk diperiksa oleh dokter spesialis patologi klinik dan kemudian data divalidasi oleh dokter spesialis patologi klinik RSCM.
4.3
Pengolahan data Besar sampel minimum adalah 44 sampel pada masing-masing kelompok..
Total sampel penelitian ( gambar 4 ) adalah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi yang terdiri dari 50 responden di bagian dipping dan 50 responden di bagian weaving. Sampel yang didapat pada penelitian ini memenuhi besar sampel minimum dari hasil perhitungan. Data kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
47
Dipping (Pencelupan) 72 responden
Weaving (Penenunan) 118 responden
Memenuhi kriteria inklusi Tidak memenuhi kriteria eksklusi
50 responden
79 responden Simple random sampling
50 responden
50 responden
Gambar 4.1 Cara pengumpulan sampel
4.4
Karakteristik Responden
Dari 100 responden yang diperiksa di bagian dipping dan weaving seluruhnya adalah laki-laki, nilai tengah usia adalah 45,5 tahun dengan responden termuda berusia 19 tahun dan responden tertua berusia 55 tahun (tabel 4.3) Gambaran eosinofil dan neutrofil (tabel 4.1) didapatkan hasil kategori eosinofil terbanyak adalah eosinofil derajat 0 sebanyak 70 responden (70 %). Tidak ada responden dengan eosinofil derajat 3+ dan 4+. Gambaran neutrofil didapatkan hasil kategori neutrofil terbanyak adalah neutrofil dengan derajat 1+ sebanyak 52 responden (52%). Tidak ada responden dengan neutrofil derajat 3+ dan 4+
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
48
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Eosinofil dan Neutrofil No
Variabel
Kategori
n
%
1
Eosinofil
Derajat 0 Derajat ½ + Derajat 1 + Derajat 2 +
70 10 16 4
70 10 16 4
2
Neutrofil
Derajat 0 Derajat ½ + Derajat 1 + Derajat 2 +
20 8 52 20
20 8 52 20
Gambaran eosinofil dan neutrofil di bagian weaving dan dipping terlihat pada tabel 4.2.Bagian weaving lebih banyak eosinofil derajat 1 (56,3%) dan neutrofil derajat ½+ (62,5%), serta neutrofil derajat 2+ (60%). Sedangkan di bagian dipping lebih banyak eosinofil derajat 0 (51,4%) dan neutrofil derajat 1+ (55,8%).
Tabel 4.2 Gambaran Eosinofil dan Neutrofil di Weaving dan Dipping No
Variabel
Kategori Derajat 0 Derajat ½ + Derajat 1 + Derajat 2 +
Weaving n (%) 34 (48,6%) 5 (50%) 9 (56,3%) 2 (50%)
Dipping n (%) 36 (51,4%) 5 (50%) 7 (43,8%) 2 (50%)
Total n (%) 70 (100%) 10 (100%) 16 (100%) 4 (100%)
1
Eosinofil
2
Neutrofil
Derajat 0 Derajat ½ + Derajat 1 + Derajat 2 +
10 (50%) 5 (62,5%) 23 (44,2%) 12 (60%)
10 (50%) 3 (37,5%) 29 (55,8%) 8 (40%)
20 (100%) 8 (100%) 52 (100%) 20 (100%)
Karakteristik responden berdasarkan faktor demografi yaitu riwayat atopi sebanyak 95 % responden tidak memiliki riwayat atopi (tabel 4.3).
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Demografi No
Variabel
1
Usia
2
Riwayat atopi
Kategori
Median Min – Max 45,5 tahun 19 tahun – 55 tahun
Tidak Ya
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
n
%
95 5
95 5
Universitas Indonesia
49
Karakteristik responden berdasarkan faktor individu ( tabel 4.4 ) yaitu kebiasaan merokok didapatkan responden terbanyak tidak memiliki kebiasaan merokok yaitu sebanyak 43 responden (43 %). Sedangkan berdasarkan kebiasaan olahraga didapatkan responden terbanyak memiliki kebiasaan olahraga 1-2 kali/ minggu sebanyak 56 responden (56 %). Karakteristik responden berdasarkan faktor pekerjaan ( tabel 4.5 ) didapatkan nilai tengah masa kerja responden adalah 22 tahun dan responden terbanyak tidak setiap hari menggunakan alat pelindung diri sebanyak 58 responden ( 58% ).
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Individu No
Variabel
Kategori
n
%
1
Kebiasaan merokok
Tidak Merokok Perokok Ringan Perokok Sedang Perokok Berat
43 41 15 1
43 41 15 1
2
Kebiasaan Olahraga
> 3 kali/ minggu 1-2 kali/ minggu Tidak pernah
7 56 37
7 56 37
Tabel 4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Faktor Pekerjaan No
Variabel
Kategori
1
Masa Kerja
2
Penggunaan Alat Pelindung Diri
Median Min – Max 22 tahun 1 tahun – 29 tahun
Setiap hari Tidak setiap hari Tidak Pernah
n
%
23 58 19
23 58 19
Karakteristik responden berdasarkan pajanan formaldehida ( tabel 4.6 ) memiliki jumlah responden yang sama besar yaitu 50 responden (50%) di bagian weaving ( penenunan ) dan 50 responden (50%) di bagian dipping ( pencelupan ).
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
50
Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pajanan Formaldehida No
Variabel
1 2
Weaving (Penenunan) Dipping (Pencelupan)
n
%
50 50
50 50
Dari tabel 4.7 dapat terlihat bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara responden yang bekerja di bagian dipping dan weaving berdasarkan usia, riwayat atopi, merokok, merokok, olahraga dan penggunaan APD. Hanya variabel masa kerja yang memiliki perbedaan yang bermakna (p 0,043) antara bagian weaving dan dipping. Di bagian weaving lebih banyak masa kerja > 22 tahun (68%) sedangkan dipping lebih banyak dengan masa kerja < 22 tahun (52%).
Tabel 4.7 Uji Kesetaraan Bagian Dipping dan Weaving No
Variabel
1
Usia
2 3
Riwayat Atopi Merokok
4
Olahraga
5
Masa Kerja APD
6
Kategori 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
< 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Weaving n(%) 25 (50%) 25 (50%) 47 (94%) 3 (6%) 25 (50%) 25 (50%) 30 (60%) 20 (40%) 16 (32%) 34 (68%) 44 (88%) 6 (12%)
Dipping n(%) 25 (50%) 25 (50%) 48 (96%) 2 (4%) 18 (36%) 32 (64%) 33 (66%) 17 (34%) 26 (52%) 24 (48%) 37 (74%) 13 (26%)
p
1,000 1,000 0,157 0,534 0,043 * 0,074
* terdapat hubungan yang bermakna ( p<0,05 )
Pada tabel 4.8 dan tabel 4.9 terlihat bahwa pada kelompok weaving didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna (p<0,05) antara variabel independent yaitu usia, riwayat atopi, merokok, kebiasaan olahraga, masa kerja, dan penggunaan alat pelindung diri terhadap eosinofil dan neutrofil.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
51
Tabel 4.8 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian Weaving No
Variabel
1
Usia
2 3 4 5 6
Riwayat Atopi Merokok Olahraga Masa Kerja APD
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
< 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Eosinofil (-) n(%) 17 (50%) 17 (50%) 32 (94,1%) 2 (5,9%) 16 (47,1%) 18 (52,9%) 20 (58,8%) 14 (41,2%) 12 (35,3%) 22 (64,7%) 30 (88,2%) 4 (11,8%)
Eosinofil (+) n(%) 8 (50%) 8 (50%) 15 (93,8%) 1 (6,3%) 9 (56,3%) 7 (43,8%) 10 (62,5%) 6 (37,5%) 4 (25%) 12 (75%) 14 (87,5%) 2 (12,5%)
p
1,000 1,000 0,544 0,804 0,467 1,000
Tabel 4.9 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian Weaving No
Variabel
1
Usia
2
Riwayat Atopi Merokok
3 4
Olahraga
5
Masa Kerja APD
6
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
< 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Neutrofil (-) n(%) 6 (60%) 4 (40%) 8 (80%) 2 (20%) 6 (60%) 4 (40%) 8 (80%) 2 (20%) 4 (40%) 6 (60%) 9 (90%) 1 (10%)
Neutrofil (+) n(%) 19 (47,5%) 21 (52,5%) 39 (97,5%) 1 (2,5%) 19 (47,5%) 21 (52,5%) 22 (55%) 18 (45%) 12 (30%) 28 (70%) 35 (87,5%) 5 (12,5%)
p
0,480 0,098 0,480 0,279 0,707 1,000
Pada kelompok dipping (tabel 4.10 dan tabel 4.11) didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel independent terhadap eosinofil. Hubungan yang bermakna hanya kebiasaan merokok terhadap neutrofil (p 0,002).
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
52
Tabel 4.10 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil di Bagian Dipping No
Variabel
1
Usia
2 3 4 5 6
Riwayat Atopi Merokok Olahraga Masa Kerja APD
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
< 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Eosinofil (-) n(%) 18 (50%) 18 (50%) 35 (97,2%) 1 (2,8%) 14 (38,9%) 22 (61,1%) 23 (63,9%) 13 (36,1%) 19 (52,8%) 17 (47,2%) 26 (72,2%) 10 (27,8%)
Eosinofil (+) n(%) 7 (50%) 7 (50%) 13 (92,9%) 1 (7,1%) 4 (28,6%) 10 (71,4%) 10 (71,4%) 4 (28,6%) 7 (50%) 7 (50%) 11 (78,6%) 3 (3,6%)
p
1,000 0,486 0,495 0,746 0,860 0,734
Tabel 4.11 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil di Bagian Dipping No
Variabel
1
Usia
2
Riwayat Atopi Merokok
3 4
Olahraga
5
Masa Kerja APD
6
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
< 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Neutrofil (-) n(%) 4 (40%) 6 (60%) 10 (100%) 0 (0%) 8 (80%) 2 (20%) 7 (70%) 3 (30%) 4 (40%) 6 (60%) 5 (50%) 5 (50%)
Neutrofil (+) n(%) 21 (52,5%) 19 (47,5%) 38 (95%) 2 (5%) 10 (25%) 30 (75%) 26 (65%) 14 (35%) 22 (55%) 18 (45%) 32 (80%) 8 (20%)
p
0,480 1,000 0,002 * 1,000 0,490 0,101
* terdapat hubungan yang bermakna (p<0,05)
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
53
4.5
Analisis Bivariat
4.5.1
Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada
tabel 4.12, didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel independen terhadap eosinofil.
Tabel 4.12 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Eosinofil No
Variabel
1
Formal dehida Usia
2 3 4 5 6 7
4.5.2
Riwayat Atopi Merokok Olahraga Masa Kerja APD
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
Weaving Dipping < 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Eosinofil (-) n(%) 34 (68,0) 36 (72,0) 35 (70) 35 (70) 67 (70,5) 3 (60,0) 30 (69,8) 40 (70,2) 43 (68,3) 27 (72,0) 31 (73,8) 39 (67,2) 56 (69,1) 14 (73,7)
Eosinofil (+) n(%) 16 (32,0) 14 (28,0) 15 (30) 15 (30) 28 (29,5) 2 (40,0) 13 (30,2) 17 (29,7) 20 (31,7) 10 (27,0) 11 (26,2) 19 (32,8) 25 (30,9) 5 (26,3)
OR
CI
p
0,826
0,351 - 1,947
0,663
1,000
0,425 - 2,352
1,000
1,595
0,253 - 10,072
0,635
0,981
0,414 - 2,326
0,965
0,796
0,324 - 1,956
0,619
1,373
0,570 - 3,309
0,479
0,800
0,260 - 2,463
0,697
Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil Analisis bivariat menggunakan uji chi square atau fisher yang disajikan pada
tabel 4.13, didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel merokok terhadap neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
54
Tabel 4.13 Gambaran dan Hubungan Variabel Independent dan Neutrofil No
Variabel
1
Formal dehida Usia
2 3 4
Riwayat Atopi Merokok
5
Olahraga
6
Masa Kerja APD
7
Kategori
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
Weaving Dipping < 45 tahun > 45 tahun Tidak Ya Tidak Ya Ya Tidak < 22 tahun > 22 tahun Ya Tidak
Neutrofil (-) n(%) 10 (20,0) 10 (20,0) 10 (20) 10 (20) 18 (18,9) 2 (40,0) 14 (32,6) 6 (10,5) 15 (23,8) 5 (13,5) 8 (19) 12 (20,7) 14 (17,3) 6 (31,6)
Neutrofil (+) n(%) 40 (80,0) 40 (80,0) 40 (80) 40 (80) 77 (81,1) 3 (60,0) 29 (67,4) 51 (89,5) 48 (76,2) 32 (86,5) 34 (81) 53 (79,3) 67 (82,7) 13 (68,4)
OR
CI
p
1,000
0,375 - 2,664
1,000
1,000
0,375 - 2,664
1,000
0,351
0,055 - 2,255
0,261
4,103
1,422 - 11,837
0,006 *
2,000
0,661 - 6,048
0,214
0,902
0,332 - 2,448
0,839
0,453
0,147 - 1,396
0,202
* terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik ( p < 0,05 )
4.5.3
Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil (tabel 4.12 dan tabel 4.13) Hubungan kadar formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil didapatkan
tidak ada hubungan bermakna antara kadar formaldehida dengan eosinofil ( OR 0,826 ; CI 0,351-1,947; nilai p 0,663 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,375 – 2,664 ; nilai p 1,000 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden yang bekerja di area weaving yang tidak terpajan formaldehida ( 32%) dibandingkan area dipping yang terpajan formaldehida (28%).
4.5.4
Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil Hubungan faktor demografi berdasarkan usia dengan titik potong usia 45
tahun didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia terhadap eosinofil ( OR 1,000 ; CI 0,425-2,353 ; nilai p 1,000 ) dan neutrofil ( OR 1,000 ; CI 0,3752,664 ; nilai p 1,000 ) swab hidung. Didapatkan jumlah eosinofil dan neutrofil positif sama besar pada kedua kelompok usia ( tabel 4.12 dan 4.13 ). Hubungan faktor demografi berdasarkan riwayat atopi didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara riwayat atopi dengan eosinofil (OR 1,595 ;CI 0,253-
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
55
10,072; nilai p 0,635) dan neutrofil (OR 0,351 ;CI 0,055 - 2,255 ; nilai p 0,261) swab hidung. Persentase eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki riwayat atopi yaitu 2 dari 5 orang (40%) dibanding yang tanpa riwayat atopi (29,5%). Sebaliknya neutrofil positif lebih banyak pada responden tanpa riwayat atopi (81,1%).(tabel 4.12 dan 4.13).
4.5.5
Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil (tabel 4.12 dan tabel 4.13) Hubungan faktor individu berdasarkan kebiasaan merokok didapatkan tidak
ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil ( OR 0,981 ; CI 0,414-2,326 ; nilai p 0,965 ). Terhadap neutrofil, didapatkan terdapat hubungan bermakna antara kebiasaan merokok terhadap neutrofil ( OR 4,103 ; CI 1,422 – 11,837 ; nilai p 0,006 ). Terlihat bahwa neutrofil positif lebih banyak pada responden yang merokok (89,5%) dibandingkan yang tidak merokok (67,4%). Tabel 4.11 menunjukkan bahwa pada bagian dipping terdapat perbedaan yang bermakna antara merokok dengan neutrofil dengan nilai p 0,002. Berdasarkan kebiasaan olahraga didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan olahraga terhadap eosinofil ( OR 0,796 ; CI 0,324 – 1,956 ; nilai p 0,619 ) dan neutrofil ( OR 2,000 ; CI 0,661 – 6,048 ; nilai p 0,214 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki kebiasaan olahraga ( 31,7% ). Sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden yang tidak memiliki kebiasaan olahraga (86,5%).
4.5.6
Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil (tabel 4.12 dan tabel 4.13) Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan masa kerja didapatkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara masa kerja terhadap eosinofil ( OR 1,373 ; CI 0,570 – 3,309 ; nilai p 0,479 ) dan neutrofil ( OR 0,902 ; CI 0,332-2,448 ; nilai p 0,839 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun ( 32,8% ) dibandingkan < 22 tahun (26,2%), sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden dengan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
56
masa kerja < 22 tahun ( 81%). Dari tabel uji kesetaraan didapatkan bahwa masa kerja berbeda bermakna antara bagian dipping dan weaving dengan nilai p 0,043 di mana responden dengan masa kerja < 22 tahun lebih banyak di dipping (52%) sedangkan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di weaving (tabel 4.7). Hubungan faktor pekerjaan berdasarkan penggunaan alat pelindung diri didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri terhadap eosinofil ( OR 0,800 ; CI 0,260 – 2,463 ; nilai p 0,697 ) dan neutrofil ( OR 0,453 ; CI 0,147 – 1,396 ; nilai p 0,202 ) swab hidung. Walaupun tidak bermakna namun eosinofil dan neutrofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki kebiasaan menggunakan alat pelindung diri (30,9% dan 82,7%).
4.6
Analisis Multivariat Analisis multivariat ( tabel 4.14 ) berdasarkan variabel independent yang
memiliki nilai p < 0,25 dari analisis bivariat kemudian dimasukkan ke dalam model multivariat. Faktor yang mempengaruhi eosinofil didapatkan tidak ada faktor independen dengan nilai p < 0,25. Sedangkan terhadap neutrofil, faktor independent dengan nilai p < 0,25 adalah merokok ( p : 0,006 ), tidak olahraga ( p : 0,214 ), dan tidak menggunakan APD ( p : 0,202 ). Analisis mulivariat dengan menggunakan uji regresi logistik. Hasil analisis multivariat didapatkan hasil dari keseluruhan faktor independent yang diduga mempengaruhi jumlah neutrofil, faktor kebiasaan merokok merupakan faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil dengan OR 4,914 CI 1,517-14,440; p 0,007 ( p < 0,05 ), yang berarti responden dengan kebiasaan merokok mempunyai peluang 4,680 kali menyebabkan neutrofil positif.
Tabel 4.14 Analisis Multivariat Faktor Yang Mempengaruhi Neutrofil Swab Hidung No
Variabel
B
adjusted OR
CI
p
1
Merokok
1,543
4,680
1,517 – 14,440
0,007
2 3
Tidak Olahraga Tidak Memakai APD Constant
0,622 -1,180 0,738
1,863 0,307 2,092
0,579 – 6,007 0,088 – 1,079
0,297 0,065 0,051
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
57
Pada penelitian ini didapatkan hasil tambahan yaitu jumlah penderita rhinitis dan responden yang minum obat yang digunakan sebagai kriteria eksklusi. Dari 72 pekerja di dipping didapatkan 16 pekerja (22,2%) menderita rhinitis dan 14 pekerja (19,4%) minum obat. Sedangkan dari 118 pekerja di weaving didapatkan 14 (11,8%) menderita rhinitis dan 8 pekerja (6,7%) minum obat. Hasil tambahan lainnya yaitu gambaran mikroskopik eosinofil dan neutrofil seperti terlihat pada tabel 4.15 di mana sebagian besar eosinofil mengalami degranulasi (90%) sedangkan neutrofil utuh (100%).
Tabel 4.15 Gambaran Miskroskopik Eosinofil dan Neutrofil No
Variabel
Kategori
n
%
1
Eosinofil
Utuh Degranulasi
3 27
10% 90%
2
Neutrofil
Utuh Degranulasi
80 0
100% 0
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
58
BAB V PEMBAHASAN
5.1
Keterbatasan Penelitian Pengukuran formaldehida hanya dilakukan di bagian dipping yang
berdasarkan proses kerjanya menggunakan bahan kimia formaldehida sedangkan bagian weaving tidak dilakukan pengukuran formaldehida lingkungan terkait masalah perijinan dari perusahaan. Hal ini menjadi keterbatasan pada penelitian ini, walaupun bagian weaving tidak menggunakan bahan kimia formaldehida namun pengukuran diperlukan untuk memastikan tidak adanya pajanan formaldehida. Terkait jumlah responden dengan riwayat atopi yang sedikit yaitu sebesar 5%, sehingga secara statistik sulit untuk menilai hubungan antara riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil swab hidung. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penegakkan riwayat atopi berdasarkan pada kuesioner dan wawancara riwayat salah satu dari gejala asma bronkialis, rinitis alergi, konjungtivitis alergi atau dermatitis atopi. Beberapa tes untuk menegakkan riwayat atopi seperti tes tusuk kulit dan radio allergo sorvent testing.31 Namun hal ini tidak dapat dilakukan pada penelitian ini dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya.
5.2
Gambaran dan Hubungan formaldehida terhadap eosinofil dan neutrofil Terhadap pajanan formaldehida didapati hasil tidak ada hubungan yang
bermakna secara statistik antara pajanan formaldehida dengan eosinofil maupun neutrofil mukosa hidung. Hasil ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Penelitian oleh Tatsuo Sakamoto pada tikus menyatakan bahwa formaldehida menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam waktu 60 menit inhalasi. Penelitian oleh Pazdrak, Krakowiak, dkk (1992) dengan judul “Change in Nasal lavage fluid due to formaldehyde inhalation” menyatakan bahwa pada pajanan formaldehida dengan kadar 0,5 mg/ m3 ( 0,4 ppm ) selama 2 jam didapatkan peningkatan eosinofil setelah paparan 4 jam dan 18 jam.6 Penelitian Tatsuo Sakamoto tahun 1999 pada tikus yang berjudul “Effects of formaldehyde, as an indoor air pollutant, on the airway” menunjukkan bahwa formaldehida menginduksi neutrofil untuk masuk pada saluran nafas dan merusak epitel dalam
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
59
waktu 60 menit inhalasi. Formaldehida dapat menarik neutrofil ke saluran napas melalui mekanisme tachykinin NK1 receptor – mediated.24 Hasil yang berbeda antara penelitian ini dengan sebelumnya kemungkinan karena pajanan formaldehida yang kurang cukup menyebabkan peningkatan eosinofil dan neutrofil (hasil pengukuran kadar formaldehida sebesar 0,032 mg/m3). Dan dari uji kesetaraan didapatkan terdapat perbedaan bermakna pada masa kerja antara dipping dan weaving, di mana pada bagian dipping lebih banyak responden dengan masa kerja < 22 tahun (52%). Dari kepustakaan dijelaskan hubungan antara paparan dan efek sangat bergantung pada kadar formaldehida dan dosis paparan (lamanya paparan/ masa kerja). Kedua hal ini diduga menyebabkan tidak ada hubungan yang bermakna antara formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil. Kemungkinan lain adalah mukosa hidung telah mengalami perubahan sehingga tidak memberikan respon yang diharapkan. Hal ini dapat terlihat dari gambaran eosinofil pada pemeriksaan mikroskop didapatkan sebagian besar eosinofil mengalami degranulasi (90%). Beberapa stimulasi inflamasi dapat menyebabkan degranulasi eosinofil. Faktor yang dapat merangsang pelepasan mediator proinflamasi seperti bahan iritan, alergen, infeksi bakteri, dan virus.28 Adanya degranulasi eosinofil menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan sel akibat pajanan dari luar. Hasil ini diperkuat dengan adanya prevalensi rhinitis dan yang minum obat pada dipping yang lebih tinggi dibandingkan pada weaving. Eosinofil yang degranulasi diduga berhubungan dengan perubahan pada tingkat seluler yang belum dapat dijawab pada penelitian ini. Kontrol pada penelitian ini diduga juga mempengaruhi hasil karena di bagian weaving (penenunan) terdapat pajanan benang nilon yang kemungkinan berpotensi sebagai alergen yang dapat merangsang reaksi alergi. Sampai saat ini peneliti belum menemukan kepustakaan mengenai pajanan benang nilon terhadap eosinofil dan neutrofil namun penelitian terdahulu pada pekerja pabrik tekstil bagian pemintalan didapatkan prevalensi eosinofil positif adalah sebesar 20 %.21 Persentase eosinofil pada pekerja pabrik tekstil memiliki kemiripan dengan persentase eosinofil positif pada penelitian ini. Meskipun tidak berbeda bermakna, jika dibandingkan dengan persentase eosinofil dan neutrofil di darah. Persentase eosinofil positif pada penelitian ini
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
60
adalah sebesar 30 % sedangkan neutrofil positif sebesar 80 %. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase eosinofil di darah sebesar 1-3% dan neutrofil sebesar 50-70%.32 Terdapat peningkatan persentase eosinofil sebesar 15 kali dan peningkatan neutrofil sebesar 1,3 kali pada penelitian ini dibandingkan dengan persentase eosinofil dan neutrofil darah. Persentase eosinofil positif pada penelitian ini sebesar 30%,
memiliki
tingkat kesalahan sebesar 0,089 jika dihitung menggunakan rumus n = (za)2 p.q / d2. Sedangkan persentase neutrofil positif sebesar 80% memiliki tingkat kesalahan sebesar 0,077. Hal ini menunjukkan persentase eosinofil dan neutrofil pada penelitian ini dapat dipercaya (< 0,1) Penelitian lain yaitu pada pekerja pabrik tekstil didapatkan prevalensi eosinofil positif sebesar 20% dan
neutrofil positif sebesar 74%.20 Terdapat
peningkatan persentase eosinofil sebesar 1,5 kali sedangkan persentase neutrofil hampir sama. Hasil ini menunjukkan adanya bahan iritan atau alergen yang dapat menyebabkan peningkatan eosinofil dan neutrofil dengan peningkatan eosinofil adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan peningkatan neutrofil.
5.3
Gambaran dan Hubungan faktor demografi dengan eosinofil dan neutrofil Faktor demografi yang diukur pada penelitian ini adalah usia dan riwayat
atopi. Hasil penelitian didapati tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara faktor usia dan faktor riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil. Penelitian terdahulu oleh Sameer et al tahun 2008 yang berjudul “ Age related changes in eosinophil function in human subjects ” didapatkan persentase eosinofil sputum adalah sama pada kedua kelompok yaitu kelompok usia lebih muda ( 20-40 tahun ) dibandingkan kelompok usia yang lebih tua ( 55 – 80 tahun ). Sedangkan persentase neutrofil sputum meningkat secara bermakna pada kelompok usia yang lebih tua (p : 0,008).29 Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian terdahulu bahwa tidak ada hubungan bermakna antara usia dengan eosinofil. Sedangkan persentase neutrofil positif yang sama besar antara usia < 45 tahun ( 80%) dan > 45 tahun ( 80% ) berbeda dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan persentase neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
61
seharusnya meningkat secara bermakna pada usia lebih tua. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya perbedaan pembagian usia. Untuk riwayat atopi walaupun tidak ada hubungan bermakna namun eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki riwayat atopi yaitu dua orang dari lima orang ( 40%) dibandingkan yang tidak memiliki riwayat atopi sebesar 29,5 %. Hal ini disebabkan karena orang dengan riwayat atopi memiliki memori sel terhadap alergen dari luar. Sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden tanpa riwayat atopi (81,1%) dibandingkan yang memiliki riwayat atopi yaitu tiga dari lima orang (60%). Penelitian terdahulu oleh Loreni, et al (2001) dengan judul “Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage and computed tomography of the paranasal sinuses in atopic children” menyatakan bahwa jumlah neutrofil cairan hidung adalah sama pada kelompok asma-rinitis alergi dibandingkan dengan kelompok rinitis dan tanpa atopik (kontrol), sedangkan untuk eosinofil didapatkan korelasi yang positif antara eosinofil darah, jumlah eosinofil cairan hidung dan eosinophil cationic protein cairan hidung pada anak dengan atopik.30 Hasil penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya kemungkinan disebabkan karena jumlah sampel responden dengan riwayat atopi hanya berjumlah lima orang (5%). Prevalensi riwayat atopi pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi riwayat atopi pada anak-anak (ditegakkan melalui uji tusuk kulit) yang berusia 44-52 bulan yaitu sebesar 26,92% (70 dari 260 anak).31 Prevalensi riwayat atopi juga lebih rendah jika dibandingkan dengan prevalensi riwayat atopi pada pekerja penggergaji kayu yaitu 32,14 % (36 orang riwayat atopi dari 112 sampel).18 Hal ini merupakan keterbatasan pada penelitian ini di mana penegakkan riwayat atopi hanya berdasarkan pada kuesioner dan wawancara sehingga kemungkinan terjadi bias cukup besar.
5.4
Gambaran dan hubungan faktor individu terhadap eosinofil dan neutrofil Faktor individu yang diukur adalah kebiasaan merokok dan kebiasaan
olahraga. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan merokok terhadap eosinofil. Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Taylor, dkk yang berjudul “Smoking, allergy, and the differential white blood cell count” didapatkan hasil tidak ada hubungan yang
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
62
bermakna antara merokok dengan eosinofil, sedangkan jumlah neutrofil lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok dengan nilai p : 0,03.33 Persentase neutrofil positif lebih banyak (89,5%) dan berbeda bermakna pada yang merokok dibanding yang tidak merokok (67,4%). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor resiko dominan yang mempengaruhi neutrofil (p 0,007). Orang dengan kebiasaan merokok memiliki resiko 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Rokok
diduga berperan sebagai pajanan radikal bebas yang dapat
menyebabkan penarikan neutrofil ke saluran napas, penarikan neutrofil melibatkan adesi pada sel endotel, selain itu peningkatan jumlah sitokin menyebabkan masa hidup neutrofil di saluran napas memanjang, dan rokok juga menstimulasi produksi dan pelepasan granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan neutrofil.34 Eosinofil positif lebih banyak pada responden yang memiliki kebiasaan olahraga sebesar 31,7% dibandingkan yang tidak olahraga sebesar 27%. Sedangkan neutrofil positif lebih banyak pada responden yang tidak olahraga sebesar 86,5% dibandingkan yang olahraga sebesar 76,2%. Penelitian oleh Denguezli, dkk dengan judul “Effect of endurance exercise on airway cells in runners”. Penelitian pada 10 orang pelari jarak jauh yang sehat dan 12 orang sebagai kontrol yang diukur induced sputum saat istirahat dan setelah 1 jam berlari dengan 80% maksimal kecepatan aerobik. Hasilnya adalah ada peningkatan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada pelari sebelum dan sesudah latihan. Peningkatan neutrofil sesaat setelah latihan atau olahraga diduga karena adanya respon inflamasi oleh karena adanya kerusakan jaringan yang dipicu oleh latihan/olahraga, yang bersifat akut, neutrofil dan eosinofil diperiksa setelah 1 jam latihan.35 Penelitian lain oleh Quindry dkk tahun 2003 yang berjudul “The effects of acute ecercise on neutrophils and plasma oxidative stress” didapatkan hasil neutrofil hanya meningkat saat 2 jam setelah latihan.36 Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian ini di mana persentase neutrofil didapatkan lebih tinggi pada responden yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga, hal ini kemungkinan berhubungan dengan tingkat kebugaran individu. Olahraga berkaitan erat dengan kapasitas kerja sistem sirkulasi, sistem saraf dan sistem otot tubuh yang berperan untuk peningkatan kondisi fisik atau
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
63
tingkat kebugaran. Tingkat kebugaran yang baik dapat meningkatkan daya taya tahan tubuh dan melindungi dari faktor resiko infeksi atau penyakit.23 Kemungkinan lain adalah karena faktor olahraga pada penelitian ini tidak bersifat akut.
5.5
Gambaran dan Hubungan faktor pekerjaan terhadap eosinofil dan neutrofil Faktor pekerjaan yang diukur adalah masa kerja dan penggunaan alat
pelindung diri. Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara masa kerja terhadap eosinofil dan neutrofil. Hal ini kemungkinan disebababkan karena sebaran responden yang berbeda antara weaving dan dipping di mana responden dengan masa kerja > 22 tahun lebih banyak di bagian weaving (68%). Sedangkan di bagian dipping lebih banyak responden dengan masa kerja < 22 tahun (52%). Penelitian sebelumnya oleh Nancy Sendra, dkk dengan judul “Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu” didapatkan tidak ada hubungan bermakna antara eosinofil dengan lamanya masa kerja.18 Pada penelitian ini didapatkan eosinofil positif yang lebih banyak pada responden dengan masa kerja > 22 tahun (32,8%) dibandingkan masa kerja < 22 tahun (26,2%) kemungkinan karena efek lain dari adanya eosinofil pada mukosa hidung adalah terlepasnya protein berberat molekul rendah yang tersimpan dalam granula sitoplasmiknya yaitu major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin ( EDN ), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil cationic protein ( ECP ). MBP dan ECP bersifat toksik dengan merusak membran sel target ( mukosa hidung ) melalui interaksi yang diperantarai muatan elektrolit ( charge-mediated interaction ). MBP juga akan mengaktifasi sel mast, basofil dan trombosit yang kemudian akan menghasilkan histamin. Mediator kimia tersebut akan menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan kerusakan sel.17,18 Pajanan yang terus menerus dalam waktu lama akan memperberat kerusakan sel mukosa hidung, terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa. Kerusakan sel mukosa hidung dapat memudahkan masuknya alergen ke hidung dan meningkatkan hiperresponsivitas terhadap alergen dari luar. Terhadap pemakaian APD didapati tidak ada hubungan yang bermakna antara pemakaian APD dengan eosinofil dan neutrofil. Pemakaian APD merupakan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
64
hal yang penting karena dapat melindungi pernapasan dari partikel di udara. Formaldehida merupakan bahan kimia yang sebagian besar masuk melalui sistem pernafasan. Formaldehida juga merupakan zat yang mudah menguap sehingga seharusnya menggunakan alat pelindung diri yang berupa masker dengan catridge bahan kimia. Pada kelompok pekerja dipping alat pelindung diri yang digunakan adalah masker kain. Hal ini diduga menyebabkan tidak adanya hubungan bermakna antara pemakaian alat pelindung diri dengan eosinofil dan neutrofil.
Tabel 5.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitan Swab Hidung No
Penelitian Terdahulu Judul/Penulis
1
Penelitian Swab Hidung
Hasil
Change in Nasal
Peningkatan
eosinofil
cairan
Tidak ada hubungan bermakna antara
lavage fluid due to
hidung setelah paparan 4 jam dan
pajanan formaldehida (kadar 0,032
formaldehyde
18
mg/m3)
inhalation.
formaldehida selama 2 jam dengan
jam
setelah
pajanan
3
Konrad, Pawel
kadar 0,5 mg/ m ( 0,4 ppm )
Krakowiak,etc.6
dengan
neutrofil.
eosinofil
Perbedaan
dan
penelitian
sebelumnya dengan penelitian ini adalah kadar formaldehida penelitian ini lebih rendah (0,032 mg/m3) walaupun masih di bawah NAB menurut OSHA.
2
Gambaran Sitogram
prevalensi eosinofil positif adalah
Persentase eosinofil positif lebih
Mukosa Nasal Pada
sebesar 20 %
banyak pada responden yang bekerja
Pekerja Pabrik Tekstil
di bagian weaving sebesar 32%
Bagian Pemintalan” Penulis : Nerry Grace.21 3
Age related changes
Persentase
in eosinophil function
sama pada kedua kelompok
didapati sama besar antara usia <
in human subject.
yaitu kelompok usia lebih muda
45 tahun ( 30% ) dan > 45 tahun (
Penulis : Sameer K.
(20-40
30% )
Mathur, MD,
kelompok lebih tua (55 – 80
PhD;etc.
29
eosinofil
tahun)
sputum
dibandingkan
Persentase
eosinofil
positif
tahun) persentase
neutrofil
sputum
Persentase neutrofil positif juga
meningkat
secara
bermakna
didapati sama besar antara usia <
pada kelompok usia yang lebih
45 tahun ( 80% ) dan > 45 tahun (
tua (p : 0,008)
80% )
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
65
4
Inflammatory
Korelasi yang positif antara
Eosinofil positif lebih banyak pada
mediators, cell counts
eosinofil darah, jumlah eosinofil
riwayat atopi 2 dari 5 (40%), nilai
in nasal lavage and
cairan hidung dan eosinophil
p>0,05
computed tomography
cationic protein cairan hidung
of the paranasal
pada anak dengan atopik
sinuses in atopic
Neutrofil cairan hidung adalah
Neutrofil positif lebih banyak pada
children.
sama
responden
Loreni C.S.
rinitis
Kovalhuk,
dengan kelompok rinitis dan
Nelson,etc
5
30
kelompok
alergi
asma-
dibandingkan
tanpa
riwayat
atopi
(81,1%), nilai p>0,05
tanpa atopik (kontrol)
Smoking, allergy, and
Eosinofil
the differential white
perokok dibanding pada mantan
responden yang tidak merokok
blood cell count.
perokok maupun bukan perokok
(30,2%)
( tidak berbeda bermakna )
(29,7%) ( tidak berbeda bermakna )
Penulis : Taylor, Gross, Joyce,et al.
6
pada
33
lebih
Neutrofil
tinggi
meningkat
pada
Eosinofil
lebih
banyak
dibanding
pada
merokok
pada
neutrofil
lebih
merokok dibandingkan dengan
perokok
(89,5%)
bukan
bukan perokok (67,4%). ( berbeda
perokok
(
berbeda
banyak
pada
dibandingkan
bermakna )
bermakna )
Effect of endurance
Peningkatan neutrofil (p<0,01),
Tidak ada hubungan bermakna
exercise on airway
eosinofil, dan limfosit (p<0,01)
antara olahraga dengan eosinofil
cells in runners.
pada pelari sebelum dan sesudah
dan neutrofil
Penulis Denguezli-
latihan selama 1 jam
Bouzgarrou, Sriha, Ben Cheikh, et al. 35
7
Dampak pajanan debu
tidak ada hubungan bermakna
Tidak ada hubungan bermakna
kayu terhadap kadar
antara eosinofil dengan lamanya
antara masa kerja dengan eosinofil
eosinofil kerokan
masa kerja
mukosa hidung pekerja penggergaji kayu.” Penulis Sendra Nancy, dkk. 18
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
66
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
KESIMPULAN 1. Persentase eosinofil positif pada pekerja weaving dan dipping sebesar 30% menunjukkan adanya peningkatan persentase eosinofil 15 kali sedangkan neutrofil positif sebesar 80% menunjukkan adanya peningkatan persentase neutrofil 1,5 kali jika dibandingkan dengan persentase eosinofil dan neutrofil di darah. 2. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pajanan formaldehida dengan eosinofil dan neutrofil yang kemungkinan disebabkan pajanan formaldehida lingkungan yang rendah yaitu 0,032 mg/m3 yang masih berada di bawah nilai ambang batas dan sebagian besar responden di dipping memiliki masa kerja kurang < 22 tahun. Namun demikian adanya gambaran eosinofil yang mengalami degranulasi pada 90% eosinofil menunjukkan adanya pengaruh pajanan pada eosinofil dan diduga terjadi perubahan pada tingkat seluler yang belum dapat dijawab pada penelitian ini. 3. Tidak adanya hubungan antara faktor demografi
yaitu usia terhadap
eosinofil dan neutrofil diduga karena adanya perbedaan pembagian usia. 4. Tidak adanya hubungan antara riwayat atopi terhadap eosinofil dan neutrofil diduga karena jumlah sampel yang memiliki riwayat atopi hanya 5%. Meskipun tidak berhubungan secara bermakna namun prevalensi eosinofil positif pada riwayat atopi lebih banyak dibandingkan tanpa riwayat atopi, sehingga faktor resiko riwayat atopi terhadap eosinofil belum dapat disingkirkan. 5. Tidak terdapat hubungan bermakna antara merokok dengan eosinofil 6. Terdapat hubungan yang bermakna antara merokok dengan neutrofil. Rokok diduga berperan sebagai radikal bebas yang menyebabkan penarikan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
67
neutrofil ke saluran napas serta menstimulasi produksi dan pelepasan granulosit dari sumsum tulang sehingga terjadi peningkatan neutrofil. 7. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kebiasaan olahraga terhadap eosinofil dan neutrofil diduga berhubungan dengan tingkat kebugaran individu, di mana kebiasaan olahraga mempengaruhi kapasitas kerja sistem sirkulasi, sistem saraf dan sistem otot yang berperan untuk peningkatan kondisi fisik dan tingkat kebugaran yang dapat melindungi dari faktor resiko infeksi. 8. Tidak ada hubungan antara masa kerja dengan eosinofil dan neutrofil diduga karena sebaran responden yang berbeda bermakna antara weaving dan dipping, namun demikian persentase eosinofil positif yang lebih banyak pada masa kerja > 22 tahun menunjukkan bahwa pajanan yang terus menerus dalam waktu yang lama kemungkinan dapat meningkatkan hiperesponsivitas yang ditandai dengan adanya eosinofil. 9. Tidak ada hubungan yang bermakna antara penggunaan alat pelindung diri terhadap eosinofil dan neutrofil diduga disebabkan penggunaan alat pelindung diri yang tidak tepat. 10. Faktor yang dominan mempengaruhi neutrofil adalah merokok dimana orang dengan kebiasaan merokok memiliki resiko 4,6 kali lebih tinggi dibandingkan yang tidak memiliki kebiasaan merokok.
6.2
SARAN
6.2.1
Bagi pendidikan
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penelitian selanjutnya untuk menilai hubungan antara pajanan formaldehida terhadap eosinofil dan netrofil swab hidung dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi seperti kebiasaan merokok dan pemilihan kelompok kontrol.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
68
2. Adanya temuan degranulasi eosinofil diharapkan dapat menjadi masukan penelitian selanjutnya mengenai pemeriksaan eosinofil di tingkat seluler. 6.2.2
Bagi perusahaan
1. Melakukan pengukuran formaldehida di lingkungan kerja setiap tahun untuk memonitor kadar formaldehida. Dianjurkan untuk melakukan pengukuran formaldehida di area weaving. Pengukuran sebaiknya dilakukan pada saat proses produksi sedang berlangsung. 2. Meningkatkan pengendalian terhadap paparan formaldehida seperti adanya lokal exhaust, sosialisasi MSDS formaldehida, penyuluhan dan pelatihan mengenai bahaya formaldehida dan penggunaan alat pelindung diri yang tepat sesuai dengan lokasi kerja seperti masker dengan cartridge bahan kimia untuk pekerja dipping, safety google, safety shoes, maupun sarung tangan yang adekuat. 3. Pada pemeriksaan medical check up yang dilakukan oleh perusahaan disarankan untuk melakukan pemeriksaan eosinofil swab hidung bagi pekerja di bagian dipping dan weaving mengingat adanya degranulasi sel eosinofil swab hidung. 4. Menyarankan pemeriksaan kesehatan yang lebih mendalam kepada pekerja yang mengalami degranulasi eosinofil pada pemeriksaan swab hidung sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan dan pengobatan lebih dini.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
69
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/brs_file/naker_05nov12.pdf diunduh 27 Desember 2012. 2. International Labour Organization (2008). Mengelola risiko di lingkungan pekerjaan. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilojakarta/documents/publication/wcms_126159.pdf diunduh 22 November 2012 3. Formaldehyde. Department of Health and Ageing National Industrial Chemicals Notification
and
Assessment
Scheme.
Australia.
November
2006.
www.nicnas.gov. diunduh 22 November 2012. 4. Departement Of Health and Human Services US. Toxicological profile for formaldehyde..
July
1999.
http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp111.pdf
diunduh 22 November 2012. 5. Kim W, Terada N, Nomura T, Takahashi R, Lee S, Park J, et al. Effect of formaldehyde on the expression of adhesion molecules in nasal microvascular endothelial cells: the role of formaldehyde in the pathogenesis of sick building syndrom. Department of Otorhinolaryngology, Chiba University School of Medicine, 1-8-1 Inohana, Chuo-ku, Chiba City, Chiba 260-0856, Japan. 2002 6. Konrad P, Pawel G, Krakowiak A, et al. Change in nasal lavage fluid due to formaldehyde inhalation. Department of Occupational Disease, Institut of Occupational Medicice. Occupational Environmental Health. November 5, 1992. 7. Formaldehida. http://id.wikipedia.org/wiki/Formaldehida diunduh 22 November 2012 8. Agency For Toxic Substances and Disease Registry Division of Toxicology and Environmental Medicine. Addendum to the toxicological profile for formaldehyde. Atlanta. October 2010. http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/formaldehyde_addendum.pdf diunduh 22 November 2012. 9. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde in : wood dust and formaldehyde. Lyon. 1995, pp. 217–362.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
70
10. Liteplo R, Beauchamp R, Meek M. Formaldehyde. Concise International Chemical Assessment Document 40. World Health Organization. Geneva, 2002. 11. International Agency for Research on Cancer. Formaldehyde, 2-butoxyethanol and 1-tert-butoxypropan-2-ol. Lyon, France. 2006. 12. Eugene R, Kennedy. Formaldehyde. NIOSH Manual of Analytical Methods (NMAM), 4th Edition : Method 3500, Issue 2. 15 August 1994. 13. Occupational Safety & Health Administration.. Formaldehida. United States Department Of Labor 14. Badan Standardisasi Nasional. Nilai ambang batas zat Kimia di udara tempat kerja. Standar Nasional Indonesia.2003. 15. Huriyati E, Hafiz. Diagnosis dan penatalaksanaan rinitis alergi yang disertai asma bronkial. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2011. 16. Denny S. Hubungan antara jenis aeroalergen dengan manifestasi klinis rinitis alergika (tesis). Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang. 2010. 17. Huriyati E, Bestari, Octiza R. Peran kemokin dalam patogenesis rinitis alergi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014 18. Sendra N, George F. Dampak pajanan debu kayu terhadap kadar eosinofil kerokan mukosa hidung pekerja penggergaji kayu ( laporan penelitian). Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makasar. 2007 19. Widodo J. Imunologi dasar : imunologi mukosa. 2012. 20. Widodo J. Imunologi dasar : sel darah putih, netrofil, eosinofil, basofil. Februari 2012. 21. Nerry G. Gambaran sitogram mukosa nasal pada pekerja pabrik tekstil bagian pemintalan. Departemen Patologi Klinik FKUI. Jakarta. 2004. 22. Delfitri M. Waktu bersihan mukosiliar pada pasien rinosinusitis kronis. Majalah Kedokteran Indonesia (rrtikel penelitian) Vol : 60. November. 2010. 23. Purwanto. Dampak senam aerobik terhadap daya tahan tubuh dan penyakit. Universitas Negeri Semarang. Jurnal Media Ilmu Keolahragaan Indonesia, Volume 1, Ed 1, Juli 2011.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
71
24. Tatsuo S, Satoru D and Shinpei T. Effects of formaldehyde, as an indoor air pollutant, on the airway. Department of Pediatrics, Nagoya University School of Medicine, Showa-ku, Nagoya, Japan. 1999 25. Bousquet J, Khaltaev N, et al. Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008 update in collaboration with the World Health Organization. 2008 26. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Ed-4. Sagung Seto. Jakarta. 2011. 27. Kim, Leem,et al. Association between rhinitis and exposure to formaldehyde among technicians in a pathology department. South Korea. September 2007. 28. Wayan H. Kadar eosinophil cationic protein (ecp) berkorelasi positif dengan derajat keparahan dermatitis atopik. Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS Sanglah, Denpasar. 2013. 29. Sameer K, Elizabeth, Nizar. Age related changes in eosinophil function in human subjects. Chest 2008;133:412-419. 30. Loreni, Nelson, Arnolfo. Inflammatory mediators, cell counts in nasal lavage and computed tomography of the paranasal sinuses in atopic children. Journal de Pediatria 2001; 77(4): 271-8 31. Endah W, Cissy B, Budi S. Hubungan antara atopi dengan riwayat penyakit alergi dalam keluarga dan manifestasi penyakit alergi pada balita. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung. 2007. 32. Hakami H, White blood cell differential. Human physiology-I (PHSL205) lab. 2010 33. Taylor R, Gross E, Joyce H, et al. Smoking, allergy, and the differential white blood cell count. Department of Medicine, Royal Postgraduate Medical School, London. Thorax 1985;40:17-22. 34. Ana R, Eddy S, Faisal Y. Korelasi antara jumlah makrofag, neutrofil dan kadar enzim matrix metalloproteinase (mmp)-9 pada cairan kurasan bronkial perokok. RSUP Persahabatan dan RSUD Dr. Moewardi. Surakarta. 35. Denguezli M, Sriha B, Ben C, et al. Effect of endurance exercise on airway cells in runners. Laboratory of Physiology, Faculty of Medicine Ibn El Jazzar, Service of Anatomy and Pathologic Cytolology, Farhat Hached Hospital. Tunisia. 2006.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
72
36. Quindry JC, Stone WL, King J, Broeder CE. The effects of acute exercise on neutrophils and plasma oxidative stress. Med Sci Sports Exerc. 2003 July;35(7):1139-45 (abstrack )
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
73
LAMPIRAN 1 LEMBAR INFORMASI
Selamat Pagi/Siang/Sore Calon Responden yang terhormat,
Perkenalkan kami : 1. dr Ade Lestari 2. dr Kemal Zachariah 3. dr Puspa Sari 4. dr Mei Wulandari Puspitasari
Kami dari Program Spesialis Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bermaksud melakukan penelitian mengenai Hubungan Antara Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan fungsi kognitif, eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan kadar cystatin c serum dalam darah. Kegiatan utama penelitian adalah 1. pemeriksaan fungsi kognitif dengan pengisian angket ( MMSE / Mini Mental Status Examination ) dan pemeriksaan fungsi kognitif oleh dokter. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan efek samping 2. Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil swab hidung dengan cara melakukan usapan sekret mukosa hidung dengan menggunakan kuret plastik. Pemeriksaan ini biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, hanya terkadang terasa kurang nyaman. Pemeriksaan ini umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, namun terkadang terasa kurang nyaman. 3. Pemeriksaan jumlah sel darah putih, hitung jenis, dan kelainan bentuk sel darah putih melalui pemeriksaan darah 4. Pemeriksaan kadar cystatin c serum melalui pemeriksaan darah. Mengenai pemeriksaan darah akan dilakukan pengambilan darah satu kali bersamaan dengan saat menjalani Medical Check Up di perusahaan tempat anda
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
74
bekerja. Pengambilan darah dari pembuluh darah lengan biasanya hanya menimbulkan rasa nyeri ringan, namun terkadang juga dapat terjadi infeksi dan/atau bengkak dan warna biru yang baru sembuh setelah beberapa hari Penelitian ini akan dilakukan pada pekerja yang tepajan di bagian pencelupan ( dipping ) dan di bagian penenunan ( weaving ). Sebelum pemeriksaan dilakukan, kami akan melakukan penyaringan melalui anamnesa untuk menentukan apakah saudara termasuk dalam penelitian ini. Selanjutnya semua responden yang sesuai dengan kriteria akan diperiksa sesuai dengan kegiatan utama penelitian kami. Lama semua pemeriksaan lebih kurang 20 – 35 menit Penelitian ini dilakukan sebagai penyelesaian tesis kami yang merupakan syarat kelulusan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Kami berharap Saudara bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua informasi yang anda berikan terjamin kerahasiaannya. Dalam penelitian ini, anda tidak dikenakan biaya apapun. Anda diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu Anda membutuhkan penjelasan, anda dapat menghubungi kami dr Ade Dwi Lestari di 08128021830, dr Kemal Zachariah di 081286089544, dr Puspa Sari di 085295096679, atau dr Mei Wulandari Puspitasari di 08129431732. Anda juga dapat menghubungi kami di Bagian Ilmu Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jl. Pegangsaan Timur No. 16, Cikini Jakarta Pusat 10320 Atas kesediaan Saudara menjadi responden dalam penelitian ini kami ucapkan terima kasih. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak khususnya masyarakat pekerja dan ilmu pengetahuan. Jakarta, ………………………. 2013 Hormat Kami,
dr Ade Dwi Lestari dr Kemal Zachariah dr Puspa Sari dr Mei Wulandari Puspitasari
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
75
LAMPIRAN 2 LEMBAR PERSETUJUAN (INFORMED CONSENT) Saya bertanda tangan di bawah ini, : ……………………………………………………….
Nama
Tempat / Tanggal Lahir : ………………………………………………………. Pekerjaan
: ……………………………………………………….
Unit Kerja
: ……………………………………………………….
Alamat Rumah
: ………………………………………………………. ………………………………………………………. : ……………………………………………………….
No. Telepon
Dengan ini menyatakan bahwa saya telah mendapat penjelasan penelitian mengenai : Hubungan Antara Pajanan Formaldehida di industri kain ban dengan gangguan fungsi kognitif, eosinofil dan neutrofil swab hidung, kelainan sel darah putih dan kadar cystatin c serum. Saya mengetahui dan memahami bahwa saya, dalam penelitian ini, mempunyai kebebasan penuh untuk memilih untuk ikut berpartisipasi atau tidak. Dan dengan ini saya menyatakan : 1. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 2. Bersedia mengikuti seluruh rangkaian penelitian dan mengikuti pemeriksaan yang dilakukan. 3. Bersedia mematuhi seluruh prosedur penelitian yang ditetapkan oleh peneliti. 4. Seandainya ada hal-hal yang tidak berkenan, maka saya berhak untuk tidak ikut dalam penelitian ini.
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
76
Jakarta, …………………………2013
Mengetahui, Peneliti,
Yang bertanda tangan,
( dr Ade Dwi Lestari
) Responden
dr Kemal Zachariah dr Puspa Sari dr Mei Wulandari Puspitasari
(
) Saksi
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
77
LAMPIRAN 3
KUESIONER SCREENING KRITERIA EKSKLUSI
1.
Apakah anda memiliki keluhan seperti di bawah ini ? a) Keluar cairan dari hidung b) bersin c) hidung tersumbat d) hidung gatal Jika Ya, Berapa lama keluhan berlangsung ? ………….. hari * Lingkari jawaban anda dan jawaban boleh lebih dari satu
2.
Apakah anda mengkonsumsi obat-obat di bawah ini dalam 24 jam terakhir? a) Anti histamin/ obat alergi b) Steroid/ prednison, deksametason c) Dekongestan/ obat Flu d) Antibiotik e) Tidak sama sekali
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
78
LAMPIRAN 4
KUESIONER PENELITIAN Data Diri No.
: _______________________
Tanggal pemeriksaan : _______________________ Nama
: _______________________
Departemen/ Bagian : _______________________ Tanggal lahir : _________________ Berapa lama anda bekerja di perusahaan ini : ________ Tahun
1.
Apakah anda menggunakan alat pelindung diri ( APD ) saat bekerja ? a) Ya, Setiap hari, Sebutkan _________________________ b) Ya, Tidak setiap hari, Sebutkan ____________________ c) Tidak
2.
Apakah Anda merokok? a) Ya, Berapa banyak batang rokok dalam satu hari ? _____ batang rokok Sudah berapa tahun anda merokok? ___________ tahun b) Tidak
3.
Apakah anda melakukan olahraga ? a) olahraga ≥ 3x/minggu b) olahraga 1-2x/minggu c) tidak pernah berolahraga sama sekali
4.
Apakah anda memiliki riwayat penyakit di bawah ini ? a) asma bronkialis ( susah bernafas, dada sesak yang berulang ) b) rinitis alergi ( hidung gatal, bersin berulang, hidung tersumbat, keluar cairan hidung yang jernih ) c) dermatitis atopi ( gatal-gatal di kulit ) d) konjungtivitis alergi ( gatal, berair, kemerahan pada mata )
* Lingkari jawaban yang sesuai dengan keadaan anda
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
79
LAMPIRAN 5 Keterangan Lolos Kaji Etik
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
80
LAMPIRAN 6 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pelaksanaan Penelitian
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
81
LAMPIRAN 7 Surat Keterangan Perusahaan Mengenai Pemeriksaan
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
82
LAMPIRAN 8 Hasil Pengukuran Formaldehida November 2013
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
83
LAMPIRAN 9 Hasil Pengukuran Formaldehida Maret 2014
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia
84
LAMPIRAN 10
Gambaran Mikroskopik Eosinofil dan Neutrofil
Hubungan antara…, Kemal Zachariah, FK UI, 2014
Universitas Indonesia