HUBUNGAN ANTARA MAQASHID AL- SYARI’AH DENGAN METODE PENERAPAN HUKUM QIYAS Oleh: Dewi Sri Indriati
A. PENDAHULUAN Syariat islam diturunkan secara bertahap dalam dua periode, yaitu periode Mekkah dan Medinah dengan kurun waktu kurang lebih 23 tahun. Sehubungan dengan hal tersebut muncul istilah teknis Tasyri’ (legitimasi atau perundangan). Dengan demikianmaka dapat diartikan bahwa Syari’ah adalah produk atau materi hukumnya, Tasyri’ adalah perundangannya dan yang memproduk disebut Syar’i (Allah swt). Awalnya kata Syari’ah meliputi semua ajaran agama yakni aqidah, syari’ah (hukum) dan akhlak.1 Kata syari’ah dan derivasinya digunakan lima kali dalam al-Qur’an (al-Syura (42): 13,21, al-A’raf (7):63, al-Maidah (5): 48 dan al-Jaasiyah (45):8, secara harfiah syari’ah artinya jalan ketempat mata air atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaan kata syari’ah dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas dan membawa kemenangan. Dalam terminology Ushul Fiqh, Syari’ah adalah titah (kitab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan orng mukallaf (muslim, baligh dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, piihan atau perantara (sebab, syarat atau penghalang) 2. Dengan demikian konteks dari syari’ah adalah hukum yang bersifat praktis (amaliyah). Mahmud Syaltut dalam bukunya al-Islam Aqidah wa Syari’ah mendefinisikan syari’ah adalah sebutan bagi berbagai peraturan dan hukum yang telah disyriatkan Allah, atau disyariatkan prinsip-prinsipnya, lalu diwajibkanNya kepada kaum muslimin agar berpegang teguh kepada Allah dan antar sesame manusia.3
1
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Cet. IV; Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.4 Abu wahab al Khallaf, Ilm Ushul Fiqh(Jakarta: Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syabab alAzhar,1410H/1990M.), h. 96 3 Mahnud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah(Mesir : Dar alqalami, 1966), h.111 2
Sebagai penjaabaran dari aqidah, syari’at tidak bias terlepas dari aqidah, keduanya mempunyai hubungan ketergantungan, aqidah tanpa syari’ah tidak menjadikan pelakunya muslim, demikian syari’ah tanpa aqidah akan sesat. B. KONSEP MAQASID AL-SYARI’AH leksikal, makna dari Maqasid al-Syari’ah adalah maksud atau tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam. Para ulama menjadikan Maqasd al-Syari’ah sebagai salah satu bagian penting dalam kajias Ushul Fiqh. Dalam perkembangan selanjutnya , kajian ini juga menjadikan objek utama dalam filsafat hukum Islam. Subhi Mahmasani mengatakan bahwa istilah Maqasid al-Syari’ah identik dengan filsafat hukum Islam.4 Upaya
mengembangkan pemikiran hukum
dalam Islam
terutama
untuk
memberikan pemahaman dan kejelasan terhadap dimamika persoalan hukum kontemporer, para mujtahid perlu mengetahui tujuan pensyri’atan hukum dalam Islam. Sehubungan dengan hal tersebut maka tujuan hukum perlu diketahui dalam rangka untuk suatu kepastian, apakah satu ketentuan hukum masih dapat diterapkan terhadap suatu kasus tertentu atau karena adnya perubahan struktur sosial, hukum tersebut tidak lagi dipertahankan. Tegasnya, maqasi al-Syari’ah menjadi kunci bagi keberhasilan para mujtahid dalam ijtihadnya.5 Seandainya tidak ditemukan kesamaan atau kemiripan antara persoalan antara persoalan baru dengan kasusu hukum yang ada pada sumber hukum tersebut, maka sebagai konsekuensinya persolalan baru tersebut tidak dapat disamakan hukumnya dengan kasusu hukum yang terdapat didalam al-Qur’an dan al-Hadis. Disinilah letak pentingnya pengetahuan tentang Maqasid al-Syari’ah (tujuan pensyari’atan hukum dalam Islam).6
4
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh (Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2000), h.203 Muhammad Abduh, Risalat al-Tauhid (Mesir :Mathba’at Muhammad Ali Shubayah, 1965), h. 80 6 Mubarok jaih, Kodifikasi Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2002), h. 2011 5
Metode memahami maksud syari’at adalah identic dengan pengetahuan tentang kandungan al-Qur’an dan al-Sunnah, karena secara kenyataan al-Qur’an ditulis dalam bahasa Arab dengan sejumlah kaedah-kaedahnya, maka tentu sajasalah satu cara untuk pemahaman kebahasaan sajalah belum mencakup segenap maksud yang ada dalam syari’ah, sebab syari’ah itu sendiri seringkali memakai bahas yang menuntut pemahaman diluar pengertian umum dari suatu lafadz dan kaedah bahasa.7 Kondisi sekarang ini kehidupan manusia dari zaman ke zaman mulai jauh, bahkan tidak sesuai lagi dengan kaedah-kaedah
bahasa al-Qur’an maupun al-Sunnah; dengan
demikian maka para fukaha harus berijtihad untuk mengeluarkan kandunngan hukum yang terdapat pada kesumberan tersebut baik al-Qur’an atau al-Sunnah dan salah satu yang digunakan sebagai metodenya adalah qias. QIYAS a. Pengertian Qiyas menurut bahasa adalah mengukur atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. 8 Qiyas menurut ahli ushul Fiqh adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya persamaan illat hukumnya dari kedua peristiwa itu.9 Dari ta’rif yang ada, maka bila ada suatu peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan oleh suatu nash dan illat hukumnya telah diketahui menurut
suatu cara dari cara-cara
mengetahui illat-illat hukum, kemudian ditetapkan suatu peristiwa lain yang hukumnya tidak ditetapkan oleh suatu nash, tapi illat hukumnya adalah sama dengan illat hukum dari peritiwaperitiwa yang sudah mempunyai nash itu. Olehnya itu hukum peristiwa yang tidak ada nashnya 7
Suratama Putra Ahmad Munifi, Filsafat Hukum islam al-Ghazali, Maslahat Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h. 312 8 M. Abdul Mujieb et.al., Kamus istilah Fiqh (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 280 9 Mukhtar Yahya, Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam (Bandung; al-Ma’rif,1986), h. 66
ini disamakan dengan hukum peristiwa yang ada nashnya karena terdapat persamaan illat hukum pada kedua peristiwa tersebut. Sebab hukum itu tidak akan ada sekiranya tidak ada illat. b. Rukun Qiyas 1. Al- aslu yaitu; suatu yang ada nash hukumnya. Ini disebut juga al-maqis alaih (yang diqiaskan padanya), Mahmul alaihi (yang dijadikan pertanggungan) dan musabbah bih (yang diserupakan dengannya). 2. Al- Far’u yaitu sesuatu yang tidak ada nash hukumnya yang juga disebut al-maqis (yang
diqiyaskan),
al-mahmul
(yang
dipertanggungjawabkan)
dan
al-
musabbah(yang diserupakan) 3. Hukumashal yaitu hukum syara’ yang ada nashnya pada ashal (pokoknya) dan ia dimaksudkan menjadihukum pada al-far’u (cabangnya) 4. Al-illat yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok dan berdasarkan keberadaan sifat itu pada cabangnya, maka ia disamakan dengan pokoknya dari segi hukumnya.10 Dengan demikian unsur-unsur
tersebut
seharusnya
diperhatikan ketika
menetapkan qiyas. Selamjutnya akan dibahas ttntang kehujjaan qiyas. a. Kehujjaan Qiyas Jumhur ulama menetapkan bahwa qiyas merupakan hujjah syar’iyah atas hukumhukum mmengenai perbuatan manusia. Dalam artian apabila sesuatu kasusu tidak ditemukan hukumnya berdasarkan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ maka ditetapkan bahwa kasusu itu menyamai suatu kejadian yang ada nash hukumnya; dari segi illat hukum ini maka, kasusu tersebut diqiyaskan dengan kasusu yang ada dan diberi
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, dialihbahasakan oleh Muhammad Zuhri dkk (Semarang: Bina Utama, 1994), h. 80
hukum sama dengan hukumnya. Penetapan hukum yang baru ini menurut syara’dan bagi mukallaf wajib mengikutinya.
c. Alasan Kehujjaan Qiyas. Penetapan qiyas sebagai sumber hukum oleh jumhur ulama dalam menetapkan kehujjaan qiyas yaitu: al-Qur’an, Sunnah, Pendapat dan Perbuatan para sahabat dan logika.11
1. Al-Qur’an Qs.Annisa/4:59 Terjemahnya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan RasulNya dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat dari suatu hal, maka kembalilah kepada Allah (al-Qur’an) dan RasulNya (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik baginya. Terjemahan ayat
al-Qur’an ini bahwa Allah swt memerintahkan kepada
orang mukmin jika terjadi perselisihan pendapat dalam hukum bagi suatu peristiwa dalam al-Qur’an, al-Sunnah atau putusan dari orang-orang yang diberi kekuasaan tidak ada, maka hendaklah dikembalikan kepada Allah dan RasulNya. Bukanlah suatu keraguan menyamakan hukum suatu peristiwa tang tidak ada nashnya kepada peristiwa yang sudah ada nashnya lantaran adanya illat hukumnya termasuk mengembalikan suatu peristiwa yang tidak ada nashnya kepada Allah dan RasulNya, yang dengan demikian telah mengikuti Allah dan RasulNya. 2. Al-Sunnah 11
Muhtar Yahya, Fathurrahman, Dasar-Dasar pembinaan Hukum Fiqh Islam, h. 69
Hadis riwayat Ibnu Anas yang artinya : Bahwa seorang perempuan dari qabila Juhainah menghadap kepada Rasulullah saw, seraya bertanya, katanya wahai Rasulullah, ibuku telah bernazar mengerjakan haji, tetapi ia tidak sempat mengerjakannya sampai meninggal dunia. Apakah saya berkewajiban mmengerjakan haji untuknya? Tahukah kamu, andaikan ibumu mempunyai hutang, maka kamu orang yang melunasinya. Ya demikianlah katanya, tunaikanlah hutang-hutang Allah sebab allah itu lebih baik untuk dipenuhi.12
Dari makna hadis yang ada Rasulullah saw mengqiyaskan hutang kepada Allah swt dengan hutang kepada sesama manusia, sebab setiap hutang itu wajib dilunasinya. Kemudian Beliau menyamakan haji dengan hutang. Dari hal hukum dibolehkannya
bagi
anak
menyelesaikan
kewajiban
ayahnya
dan
dapat
menyelesaikan kewajiban aayahnya dan dapat membebaskan pertanggungjawaban ayahnya. 3. Perbuatan dan Perkataan Sahabat Para sahabat sering berijtihad terhadap peristiwa yang tidak ada nashnya serta mengqiyaskan peristiwa yang belum ada nashnya dengan yang sudah ada nashnya.
Contoh;
Tentang
kekhalifaan
AbuBakar
dengan
mengqiyaskan
kekhalifaannya dengan imam ketika shalat. Ditetapkan Abubakar menjadi khalifah diqiyaskan kepada Nabi saw yang menyuruh Abubakar untuk mengimami shalat jama’ah, untuk menggantikan Beliau ketika itu yang sedang sakit. Para sahabat berkata, Rasul saw telah meridhai untuk urusan agama, maka mengapa kita tidak meridhai urusan keduniaan kita?
12
Shahih al-Bukhari, CD Kutubu al-Syamilah
4. Logika. Analisa-analisa logis yang dipakai untuk menetapkan qiyas adalah: a. Apabila suatu peritiwa yang tidak ada nashnya, namun illatnya sesuai benar dengan illat suatu peritiwa yang sudah ada nashnya dan diduga keras pula dapat memberikan kemaslahatan pada hamba, maka dapatlah kiranya jika ia disamakan hukumnya dengan peristiwa yang sudah ada nashnya itu guna maksud undangundang. b. Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah terbatas padahal kejadian-kejadian pada manusia tidak terbatas dan tidak berakhir. Dengan demikian qiyas merupakan sumber perundang-undangan yang dapat mengikuti kejadian-kejadian baru kemudian dapat menyesuaikan dengan kemaslahatan. c. Qiyas adalah dalil yang sesuai dengan naluri manusia dan logika yang sehat. Tidak terdapat perselisihan diantara manusia bahwa semua yang berlaku pada salah satu dari dua hal yang serupa, berlaku pula pada yang lain, selama tidak ada sesuatu yang membedakan antara kedua hal tersebut. Persoalan esensial yang ada kaitannya dengan metode qiyas adalah jenis dan proses penetapan illat. Proses yang dimaksud dinamakan dengan masalik al-illah. Dari segi jenisnya, illat itu dapat dibedakan dalam dua hal yakni illat
yang
disebutkan secara tegas dan eksplisit dalam nash serta illat yang diketahui tidak berdasarkan teks-teks syari’at. Pertama, illat yang di jelaskan secara tegas dalam teks-teks nash yang memudahkan para mujtahid menerapkankannya pada kasus lain. Illat semacam ini disebut illat al- mahshushah (illat yang termuat secara tekstual). Misalnya illat tentang keharaman khamar. Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa “ setiap yang memabukkan itu adalah haram”. Berdasarkan petunjuk dari hadis tersebut diketahui
bahwa illat keharaman khamar disebabkan oleh sifatnya yang memmabukkan yang terkandung dalam khamar tersebut. Karena itu pula dapat diketahui bahwa, apa yang ada dibalik makna larangan untuk mengkonsumsi khamar tersebut. Dengan kata lain bahwa keharaman khamar disebabkan paling tidak ditemukannya larangan (berdasarkan hadis Nabi saw tersebut) serta ditemukannya bahaya minum khamar. Kedua, illatyang diketahui tidak berdasarkan teks-teks syariat karena memang persoalan tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit dalam nash-nash. Illat semacam ini disebut al illat ghayr manshushah. Illat semacam ini dapat diketahui secara universal berdasarkan pemikiran logis manusia, meskipun tidak disebutkan secara tegas dalam nash. Hal tersebut dapat ditetapkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan mayoritas ulama), dan biasanya disebut dengan al-illah bi al-ijma’.Sebagai ilustrasi, ijma’ ulama bersepakat tentang illat diperioritaskannya saudara seibu dan sebapak dalam persoalan kewarisan adalah karena hubungan kekerabatannya lebih dekat dibandingkan dengan saudara sebapak saja. Berdasarkan hal tersebut maka qiyas mengutamakan sepupu seibu sebapak dari pada sepupu sebapak saja. Olehnya itu hubungan kekerabatan seibu sebapak selalu diutamakan dalam persoalan keluarga daripada hubungan kekerabatan yang sebapak saja apalagi jika hanya seibu saja.13 Hal lain yang termasuk al-illat ghayr manshushah. Diketahui bahwa berdasarkan ijtihad dan ini dinamakan al-illat al-musthanbathah. Dalam kaitandengan hal trsebut maka diperlukan suatu proses penetapan illat yang disebut masalik al illah. Adapun prosesnya melalui tiga tahap yakni tahap identifikasi illat (takhrij al-manath), tahap seleksi illat (tanqih al-manath) dan tahap penerapan illat (tahqiq al-manath). Seperti penetapan illat bagi keharusan wali dalam pernikahan.
13
Hamka Haq, Filsafat Ushul Fiqh, h.215-216
Pertama, sebagai takhrij al-illah, mengidentifikasi seluruh hal yang berkaitan dengan perempuan yang harus ada walinya, meliputi: jenis kewanitaannya, kelemahannya, kedudukannya sebagai anak yang belum dewasa atau sudah dewasa, statusnya sebagai wanita yang sudah kawin atau belum kawin. Kedua, tanqih al-illah,
yakni menyeleksi satu persatu hal tersebut sebagai
berikut: a. Jenis kewanitaan tidak dapat mmenjadi illat, sebab tidak semua wanita diharuskan mempunyai wali dalam menikah. b. Kelemahan wanita juga bukan illat bagi adanya wali dalam pernikahan, sebab wanita yang kuat juga dinikahkan oleh walinya. Kedudukan sebagai anak, juga tidak menjadi illat baik ia dewasa ataupun tidak, sebab terkadang yang menjadi wali itu bukan bapak, melainkan saudara lakilaki atau paman. c. Status wanita yang belum kawin; hal inilah yang menjadi illat, sebab jumhur ulama menyepakati bahwa wanita yang sudah kawin cerai atau ditinggal mati oleh suaminya
dapat saja menikahkan dirinya sendiri
dengan pria lain setelah lepas iddahnya tanpa wali. Ketiga,pengukuhan illat (tahqiq al-illah)dengan menetapkan suatu hal yang menjadi illat, setalah menyeleksi mana hal-hal yang diduga menjadi illat itu memenuhi ciriciri: 1. Suatu yang bersifat zahir, bahwa illat itu harus jelas, tidak boleh samar-samar atau tersembunyi. 2. Sesuai (munasib), yakni sifat itu relevan dengan persoalan yang sedang dibahas hukumnya.
3. Sifat yang paling tetap (mundhabit) diantara segala hal yang diduga sebagai illat. Dari contoh yang telah ada maka yang memiliki semua ciri (dhahir, munasib dan mundhabith) adalah status seorang perempuan yang belum kawin. D. KORELASI MAQASID SYARI’AH DENGAN QIYAS Ijtihad sebagai salah satu cara dalam pembentukan atau pengembangan hukum dalam Islam, oleh karena ijtihad sangat berkaitan erat dengan perubahanperubahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Secara umum dapat dikatakan bahwa ijtihad adalah suatu upaya berpikir secara optimal dalam menggali hukum Islam dari sumbernya untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul dalam masyarakat.14 Antara upaya ijtihad dan tuntutan perubahan sosial terdapat adanya suatu interaksi. Ijtihad, baik secara langsung ataupun tidak, dipengaruhi oleh perubahan – perubahan sosial yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi, namun harus didasari bahwa perubahan-perubahan sosial itu harus di pelihara oleh hukum sehingga dapat mewujudkan kebutuhan dan kemaslahatan umat manusia. Menurut Al-Tiwana, ijtihad dapat dibagi kepada tiga objek : 1. Ijtihad dalam rangka memberi penjelasan dan penafsiran terhadap nash 2. Ijtihd dalam melakukan qias terhadap hukum-hukum yang ada dan telah disepakati 3. Ijtihad dalam arti penggunaan ra’yu. 15
14 15
t.th.), h.39
Abdul Al-Wahab Khallaf,Ilm Ushul Fiqh, h.216 Muhammad Musa Al-Tilwana, Ijtihad wa mada Hajatina Ilaih fi Haza Al-‘asr( t.t : Dar Al-Kutub Al-Hadisah,
Dalam ilmu Sosiologi Hukum, hukum dalam posisi utama dituntut memainkan peran ganda yang sangat penting. 1. Hukum dapat dijadikan sebagai alat control terhadap perubahan-perubahan yang berlangsung dalam kehidupan manusia. 2. Hukum dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umat dengan manusia sebagai tujuan hakiki hukum itu sendiri.16 Oleh karena itu, pengaturan sebagian masalah sosial kemasyarakatan adalah dengan nash-nash dalam bentuk pokok-pokoknya saja, maka masalah sosial kemasyarakatan ini menjadi lapangan ijtihad. Dalam bidang ini terlihat dalam dinamika hukum Islam dalam mengantisipasi perkembangan serta perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Ketentuan yang ada lebih ditujukan agar memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang tidak menerima perubahan dan perkembangan dengan berbagai metode ijtihad dan pertimbangan yang diterapkan. Hubungan antara Maqasid al-Syari’ah dengan qiyas dapat dijelaskan, jika Maqasid al-Syari’ah bertujuan untuk memelihara akal, jiwa, agama, harta dan keturunan, maka pada qiyas diuraikan sacara jelas kandungan hukum yang berhubungan dengan kemaslahatan manusia serta cara penerapannya, yang sebelumnya pada al-Qur’an maupun Hadis Nabi saw hukumnya tidak secara rinci dijelaskan. Inilah kemudian yang diterapkan sesuai dengan tingkat perkembangan sosial manusia. Jadi baik Maqasid al- Syari’ah maupun qiyas kedua-duanya mempunyai korelasi yang sangat menunjang bagi penerapan hukum Islam, olehnya itu bagi 16
Soejono Soekamato, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta : Rajawali Press, 1980), h.15S
setiap muslim secara individu sangat dianjurkan untuk lebih banyak lagi mennyimak dan memahami nilai-nilai ajaran Islam agar dalam melaksanakaan amal shaleh sesuai dengan aturan atau petunjuk yang ada dalam syari’at Islam. Dengan demikian akan dapat memjalani kehidupan baik didunia maupun akhirat nantinya secara baik
DAFTAR PUSTAKA
Abduh Muhammad, Risalat al-Tauhid, Mathba’at Muhammad Ali Shubayah, Mesir,1965 Ahmad Munifi Suratama Putra, Filsafat Hukum islam al-Ghazali, Maslahat Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002 Al- Khallaf Abu Wahab, Ilm Ushul Fiqh,Maktabah al-Dakwah al-Islamiyah Syabab alAzhar, Jakarta, 1410H/1990M. Al-Tilwana Muhammad Musa, Ijtihad wa mada Hajatina Ilaih fi Haza Al-‘asr, Dar AlKutub Al-Hadisah, h.39 Haq Hamka, Filsafat Ushul Fiqh,Makassar: Yayasan al-Ahkam, 2000 KhallafAbdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, dialih bahasakan oleh Muhammad Zuhri dkk, Bina Utama, Semarang, 1994 Mujib Abdul M. et.al., Kamus istilah Fiqh, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994 Rafiq Ahmad,Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000 Soekamto Soejono , Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1980) Syaltut Mahmud, Al-Islam Aqidah wa Syari’ah, Dar alqalami, Mesir, 1966 Shahih al-Bukhari, CD Kutubu al-Syamilah Yahya Mukhtar, Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, al-Ma’rif, Bandung, 1986