HUBUNGAN ANTARA KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU MEROKOK PADA SISWA SISWI SMAN 1 PARAKAN
M. Zia Ulhaq R A Retno Komolohadi, S.psi, M.si
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada siswa-siswi SMAN 1 Parakan. Semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah perilaku merokok, demikian pula sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku merokok. Penelitian ini melibatkan 95 siswa putra dan putri SMAN 1 Parakan yang berumur 15 – 19 tahun, berstatus siswa dan telah memiliki perilaku merokok. Skala yang digunakan oleh peneliti adalah skala perilaku merokok buatan penulis sendiri yang berjumlah 23 aitem mengacu pada aspek yang dikemukakan Aritonang (1997). Sedangkan skala kontrol diri berjumlah 26 aitem yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan sintesa dari aspek-aspek kontrol diri Averill dkk (1973) dan Sarafino (1998). Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan fasilitas program SPSS versi 11.0 for Windows dengan teknik korelasi product moment dari Karl Pearson. Hasil penelitian ini menunjukan korelasi r = -0,266; dengan p = 0,005 (p < 0,01), yang artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku merokok. Jadi hipotesis diterima. Kata kunci: kontrol diri, perilaku merokok
3
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah Pada abad ke-21 ini rokok diperkirakan akan membunuh 1 miliar orang, kematian akibat kebiasaan merokok akan lebih banyak dibandingkan dengan HIV, TBC, kematian persalinan, kecelakaan lalu lintas, bunuh diri, dan pembunuhan (Tempo, 2005). Prediksi tersebut bukan tanpa alasan, meskipun hampir setiap orang tahu bahaya rokok terhadap kesehatan, namun perilaku merokok tidak pernah surut dan dari waktu ke waktu jumlah perokok terus saja bertambah, tampaknya merokok merupakan perilaku yang masih ditolerir oleh masyarakat. Kebiasaan merokokpun tidak lagi didominasi oleh kaum pria. Hampir di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, semakin banyak kaum wanita yang gemar merokok. Bahkan di kota – kota besar, merokok sudah menjadi gaya hidup. Begitu banyaknya orang yang mengkonsumsi rokok dikarenakan selain mudah didapat, rokok sering diidentifikasikan sebagai simbol kedewasaan, kemandirian, petualangan, daya tarik terhadap lawan jenis dan dijadikan sebagai sarana relaksasi (White & Watt, 1981). Berikut contoh kasus di daerah temanggung, salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di indonesia. Sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidup dari tembakau. Mulai dari petani, buruh, pedagang, pemasok sampai pengusaha. Disini pabrik-pabrik rokok tumbuh dengan subur. Perilaku merokok dapat mudah kita jumpai mulai dari anak kecil sampai orang dewasa, sehingga masyarakatnya pun sudah terbiasa hidup terpapar asap rokok. Yang sangat
4
memprihatinkan hampir sebagian besar pelajar di temanggung sudah merokok, mulai dari usia SD sampai SLTA. Tak terkecuali siswa-siswi SMUN 1 Parakan, yang letak sekolahnya diapit dua pabrik rokok dengan merk terkenal. Setiap berangkat sekolah maupun pulang sekolah banyak dijumpai siswa-siswa SMU ini merokok. Bahkan pada saat jam istirahat tidak sedikit siswa-siswa yang sembunyi-sembunyi melompat pagar sekolah untuk membeli rokok maupun merokok di luar sekolah. Yang tidak kalah ”beraninya” banyak siswa-siswa merokok di kamar mandi maupun toilet. Walaupun pihak sekolah sangat disiplin terhadap siswa-siswinya yang melakukan pelanggaran namun budaya merokok sepertinya sudah mengakar di kalangan pelajar ini (Observasi, Maret 2008). Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif dan tar yang bersifat karsinogenik. Racun dan karsinogen yang timbul akibat pembakaran tembakau dapat memicu terjadinya kanker. Pada awalnya rokok mengandung 8-20 mg nikotin dan setelah dibakar nikotin yang masuk ke dalam sirkulasi darah hanya 25%. Walau demikian kecil jumlah tersebut memiliki waktu hanya 15 detik untuk sampai ke otak. Nikotin diterima oleh reseptor asetilkolin-nikotinik yang kemudian terbagi ke jalur imbalan dan jalur adrenergenik. Pada jalur imbalan, perokok akan merasa nikmat, memacu sistem dopaminergik. Hasilnya perokok akan merasa lebih tenang, daya pikir serasa lebih cemerlang, dan mampu menekan rasa lapar. Sementara di jalur adrenergik, zat ini akan mengaktifkan sistem adrenergik pada bagian otak lokus seruleus yang mengeluarkan serotonin.
5
Meningkatnya serotonin menimbulkan rangsangan rasa senang sekaligus keinginan mencari rokok lagi (Tin, 2003). Caldwell (2001) mengatakan bahwa setiap kali menghisap batang rokok, akan menghisap pula 45 jenis bahan kimia beracun yang membahayakan tubuh manusia. Rokok juga dapat mempertinggi resiko seseorang untuk terkena kanker paru – paru, serangan jantung, stroke, kanker mulut dan tenggorokan (Armstrong, 1991). Selain itu, rokok dapat menimbulkan perasaan takut, gemetar, risau, bimbang, resah, melemahkan akal, mengurangkan nafsu makan, menguningkan wajah dan gigi, menyempitkan pernapasan, menjadikan manusia malas dan lemah, dll. Rokok juga mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan reproduksi pria, selain mengurangi mutu sel sperma dan menurunkan kemampuannya untuk membuahi sel telur, rokok juga dapat merusak organ reproduksi pria seperti testis dan merusak spermatogenesis. Rokok juga berbahaya bagi kesuburan wanita. Wanita perokok berisiko mengalami menopause (berhenti menstruasi) dini, dengan komplikasi berupa osteoporosis dan penyakit jantung (Tandra, 2003). Selain itu, merokok bisa meningkatkan risiko infertilitas (ketidaksuburan), karena kerusakan serviks dan saluran indung telur, menyebabkan aborsi spontan, dan bahkan mempersulit kemungkinan memperoleh anak melalui program bayi tabung. Kebiasaan merokok juga dapat menyebabkan timbulnya kecacatan pada janin dan gangguan dalam perkembangannya (Davison & Neale, 1990). Meningkatnya
prevalensi
perilaku
merokok
di
negara-negara
berkembang, termasuk di Indonesia terutama di kalangan remaja menyebabkan masalah merokok menjadi semakin serius. Perilaku merokok pada remaja pada
6
umumnya semakin lama akan semakin meningkat sesuai dengan tahap perkembangannya yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi dan intensitas merokok, dan sering mengakibatkan mereka mengalami ketergantungan nikotin Leventhal & Cleary (1980). Ada banyak hal yang melatarbelakangi perilaku merokok pada remaja, remaja pada awalnya melihat orang tuanya, saudaranya yang lebih tua, teman – temannya dan para public figure merokok. Keadaan ini membangkitkan minat remaja untuk mencoba menghisap rokok, dan ketika remaja menyukai aroma dan rasa dari rokok tersebut, remaja lalu memutuskan untuk melanjutkan kebiasaan itu (Grinder, 1978). Brigham (1991) mengatakan bahwa perilaku merokok pada remaja adalah perilaku simbolisasi. Simbol dari kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis. Smet (1994) mengatakan kebiasaan merokok itu terjadi karena pengaruh lingkungan sosial, teman-teman sebaya, orang tua, saudara-saudara kandung, media dan kepuasan psikologis. Melihat masih banyaknya remaja mengkonsumsi rokok, menunjukkan masih sangat sulit untuk menghilangkan perilaku merokok tersebut. Penulis berasumsi bahwa faktor dari dalam diri individu sangat dibutuhkan untuk mengontrol perilaku seseorang guna mencegah atau menghilangkan perilaku merokok. Setiap individu memiliki suatu mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan perilaku. Mekanisme yang dimaksud di atas adalah kontrol diri. Kontrol diri pada satu individu dengan individu yang lain tidaklah
7
sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada individu yang memiliki kontrol diri yang rendah (Widiana dkk, 2004). Menurut Goldfried dan Merbaum (Lazarus,1976), kontrol diri berarti suatu proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam membimbing, mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku yang dapat membawanya ke arah konsekuensi positif. Kemampuan mengontrol diri dengan demikian memungkinkan seseorang untuk berperilaku lebih terarah dan dapat menyalurkan dorongan dari dalam dirinya secara benar. Kontrol diri juga diperlukan untuk mengatur perilaku yang diinginkan untuk menghadapi stimulus sehingga menghasilkan akibat yang diinginkan dan menghindari yang tidak diinginkan (Sarafino,1998). Calhoun dan Accocella (1990), mengatakan lebih lanjut bahwa ada dua alasan yang mengharuskan individu mengontrol diri terus menerus. Pertama, individu tidak hidup sendirian akan tetapi dalam kelompok dan individu mempunyai kebutuhan untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan. Agar tidak mengganggu dan melanggar kenyamanan dan keselamatan orang lain maupun dirinya sendiri, individu harus mengontrol perilakunya. Kedua, masyarakat menghargai kemampuan, kebaikan dan hal-hal yang harus diterima lainnya yang dimiliki individu. Menurut Erickson (Gatchel, 1989) remaja merokok karena berkaitan dengan adanya krisis psikososial yang dialami pada masa perkembangannya, yaitu masa pencarian jati diri. Masa ini sering dilukiskan sebagai masa badai dan topan, karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Untuk itu
8
diperlukan adanya mekanisme yang dapat membantu mengatur dan mengarahkan remaja dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan efektif yang dapat membawa remaja tersebut ke arah konsekuensi positif. Mekanisme yang dimaksud di atas adalah kontrol diri. Individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi, kemungkinan akan mampu mengontrol dan mengarahkan perilakunya. Individu tersebut pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Sedangkan individu yang memiliki kontrol diri rendah, kemungkinan cenderung tidak mampu melepaskan diri dari dorongan-dorongan untuk merokok. .Individu tersebut sangat sulit untuk tidak merokok dan secara terus menerus terjadi peningkatan jumlah rokok yang dihisap tiap hari, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan, baik terhadap dirinya sendiri, ataupun orang – orang di sekitarnya (Ray 1983). Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan di atas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : ”Apakah ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada Remaja?” Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menguji secara empirik hubungan antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada Remaja. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis
9
a. Untuk menambah wawasan atau khasanah psikologi klinis dan psikologi sosial. b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar teoritis untuk pengembangan penelitian yang sejenis. 2. Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini dapat memberikan wacana baru, khususnya bagi remaja dan orang tua tentang bahaya merokok, sehingga dapat menjadi acuan dalam mengontrol dan dalam memberikan intervensi sehubungan dengan kebiasaan merokok.
Perilaku Merokok
Perilaku merokok adalah perilaku kesenangan oral (mulut) dengan memasukkan bahan yang berasal dari dedaunan (tembakau) yang mengandung zat tertentu (khususnya nikotin) dengan cara menghisap dan menghembuskannya sebagai tindakan untuk memperoleh kenikmatan. Menurut Smet (1994) ada tiga tipe perokok yang dapat diklasifikasikan berdasarkan banyaknya rokok yang dihisap dalam sehari, yaitu: 1. Perokok berat, yang menghisap lebih dari 15 batang rokok dalam sehari. 2. Perokok sedang, yang menghisap 5 – 14 batang rokok dalam sehari. 3. Perokok ringan, yang menghisap 1 – 4 batang rokok dalam sehari. Menurut Presty (Smet, 1994) remaja yang merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, misalnya ketika sedang berkumpul dengan teman, cuaca yang dingin, setelah dimarahi orang tua, dll.
10
Tempat merokok juga mencerminkan pola perilaku merokok. Berdasarkan tempat dimana seseorang menghisap rokok, Mu’tadin (2002) menggolongkan tipe perilaku merokok menjadi: a. Merokok di tempat – tempat umum atau ruang publik 1. Kelompok homogen (sama – sama perokok), secara bergerombol mereka menikmati kebiasaannya. Umumnya mereka masih menghargai orang lain, karena itu mereka menempatkan diri di smoking area. 2. Kelompok heterogen (merokok di tengah – tengah orang lain yang tidak merokok, anak kecil, orang jompo, orang sakit, dll) b. Merokok di tempat – tempat yang bersifat pribadi 1. Kantor atau di kamar tidur pribadi. Perokok yang memilih tempat – tempat seperti ini sebagai tempat merokok digolongkan kepada individu yang kurang menjaga kebersihan diri, penuh rasa gelisah yang mencekam. 2. Toilet. Perokok jenis ini dapat digolongkan sebagai orang yang suka berfantasi.
Kontrol Diri Menurut Sarafino (1998) kemampuan mengontrol diri memiliki lima aspek, yaitu: a. Kemampuan Mengontrol Perilaku b. Kemampuan Mengontrol Kognisi
11
c. Kemampuan Mengambil Keputusan d. Kemampuan Mengontrol Informasi e. Kontrol Retrospektif Kemampuan mengontrol diri menurut Averill (1973) terdiri dari lima aspek, yaitu: a. Kontrol perilaku b. Kontrol kognitif c. Kontrol informasi d. Kemampuan melakukan penilaian e. Kemampuan mengontrol keputusan Aspek-aspek milik Sarafino (1998) dan Averill (1973) ada beberapa yang menunjukkan kesamaan dan saling melengkapi. Peneliti dalam penelitian ini mencoba mensintesakan aspek-aspek dari kedua tokoh diatas yang kemudian akan digunakan dalam menyusun alat ukur, antara lain: a. Kemampuan mengontrol perilaku b. Kemampuan mengontrol kognitif c. Kemampuan mengambil keputusan d. Kemampuan mengontrol informasi.
Dinamika Psikologis antara Kontrol Diri dengan Perilaku Merokok pada Remaja Masa remaja adalah masa transisi dari anak – anak ke dewasa, sehingga belum mempunyai identitas diri yang mantap. Monks, dkk (2001) juga
12
menambahkan bahwa seseorang mengalami banyak perubahan pada masa remaja. Perkembangan sosial remaja misalnya, ditandai dengan adanya dorongan untuk dapat berdiri sendiri dan krisis originalitas dan konformitas yang tinggi pada kelompok. Sering kali dalam proses pencarian jati diri tersebut mereka terlalu peka terhadap hal–hal yang dapat mempengaruhinya. Remaja pada awalnya melihat orang tuanya, saudaranya yang lebih tua, teman – temannya, dan para public figure merokok. Keadaan ini membangkitkan minat remaja untuk mencoba menghisap rokok, dan ketika remaja menyukai aroma dan rasa dari rokok tersebut, remaja lalu memutuskan untuk melanjutkan kebiasaan itu (Grinder, 1978). Smet (1994) mengatakan kebiasaan merokok itu terjadi karena pengaruh lingkungan sosial, teman-teman sebaya, orang tua, saudara-saudara kandung, media dan kepuasan. Menurut Erickson (Gatchel, 1989) remaja merokok karena berkaitan dengan adanya krisis psikososial yang dialami pada masa perkembangannya. Seperti yang dikatakan Presty (Smet, 1994) remaja merokok dipengaruhi oleh keadaan yang dialaminya pada saat itu, ketika sedang berkumpul dengan temanteman yang merokok, remaja akan cenderung ikut merokok. Mu’tadin (2002) menambahkan, perilaku merokok pada remaja selain disebabkan pengaruh orang tua, pengaruh teman, pengaruh iklan, juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian. Adanya Faktor Sosial, faktor Psikologis, faktor Kognitif, dan faktor Conditioning (Santoso, 2007) semakin mendorong remaja untuk berperilaku merokok. Jika dilihat dari pendekatan psikososial, maka kita akan mengetahui bahwa perilaku merokok akan berkaitan dengan proses mental dan perilaku antara lain adalah dengan bagaimana kontrol diri seseorang.
13
Santrock (2001) mengatakan bahwa kontrol diri cukup berpengaruh dalam pembentukan perilaku remaja. Dengan kata lain, remaja yang memiliki kontrol diri tinggi akan mampu mengatur dan mengarahkan perilakunya. Shaffer (1994) mengatakan bahwa kontrol diri adalah sesuatu yang sangat penting. Jika seseorang tidak mampu mengatasi segala tekanan dan mengontrol dirinya, maka yang terjadi adalah perilaku melanggar hak orang lain, salah satunya perilaku merokok. Seperti yang dikatakan oleh Ray (1983), merokok merugikan kesehatan tidak hanya bagi perokok sendiri tapi juga bagi orang lain di sekitarnya (perokok pasif). Dari uraian di atas penulis berasumsi bahwa kontrol diri diperlukan untuk membantu mengatur dan mengarahkan remaja dalam membuat keputusan dan melakukan tindakan efektif yang dapat membawa remaja tersebut ke arah konsekuensi positif, dengan kata lain kontrol diri berpengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada siswa siswi SMAN 1 Parakan. Semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah perilaku merokok demikian pula sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku merokok.
14
METODE PENELITIAN Identifikasi Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel tergantung
: Perilaku Merokok
2. Variabel bebas
: Kontrol diri Definisi Operasional
Definisi operasional dimaksudkan untuk mengubah konsep pada variabelvariabel penelitian yang masih bersifat teoritik menjadi konsep yang dapat diukur secara empirik. Definisi operasional variabel penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Perilaku Merokok adalah perilaku kesenangan oral (mulut) dengan memasukkan bahan yang berasal dari dedaunan (tembakau) yang mengandung zat
tertentu
(khususnya
nikotin)
dengan
cara
menghisap
dan
menghembuskannya sebagai tindakan untuk memperoleh kenikmatan. Variabel ini diungkap menggunakan skala perilaku merokok dengan aspekaspek meliputi: fungsi merokok, intensitas merokok, tempat merokok, dan waktu merokok. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek pada skala perilaku merokok, maka semakin tinggi pula perilaku merokok subjek. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek, maka semakin rendah pula perilaku merokoknya. 2. Kontrol diri adalah suatu kemampuan individu untuk mengatur perilaku, membuat keputusan dan melakukan tindakan efektif yang dapat membawa individu tersebut ke arah konsekuensi positif. Variabel ini diungkap menggunakan skala kontrol diri, dengan aspek-aspek yang meliputi
15
kemampuan
mengontrol
perilaku,
kemampuan
mengontrol
kognisi,
kemampuan mengambil keputusan dan kemampuan mengontrol informasi. Semakin tinggi skor kontrol diri subjek, semakin tinggi pula tingkat kontrol dirinya, sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek, semakin rendah pula tingkat kontrol diri subjek tersebut. Subjek Penelitian Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah siswa siswi SMA Negeri 1 Parakan, yang berusia 15 – 19 tahun, dan telah memiliki perilaku merokok.
Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengambilan data menggunakan 2 skala, yaitu: 1. Skala perilaku merokok Skala perilaku merokok ini disusun sendiri oleh penulis berdasarkan aspek – aspek perilaku merokok yang yang dikemukakan oleh Aritonang (1997), yaitu terdiri dari fungsi merokok, intensitas merokok, tempat merokok dan waktu merokok. 2.
Skala kontrol diri Skala ini bertujuan untuk mengukur kontrol diri subjek penelitian. Skala
ini disusun sendiri oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang merupakan sintesa dari aspek-aspek kontrol diri milik Averill dkk (1973) dan Sarafino (1998) yang indikatornya adalah kemampuan untuk mengontrol perilaku, kemampuan untuk mengontrol kognisi, kemampuan untuk mengambil keputusan dan kemampuan untuk mengontrol informasi.
16
Metode Analisis Data Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan tehnik analisa statistik. Alasan yang mendasari dipakainya analisis statistik adalah statistik dapat menunjukkan kesimpulan penelitian dengan menghitung faktor kesahihan. Pertimbangan lain penggunaan analisis statistika adalah (1) statistik bekerja dengan angka, (2) statistik bersifat objektif, (3) statistik bersifat universal dalam arti dapat digunakan hampir pada semua penelitian (Hadi, 1987). Adapun tehnik statistik yang dipakai adalah analisis korelasional product moment.
Hasil Uji Hipotesis Hasil analisa dengan menggunakan SPSS 11.00 for Windows, menunjukkan bahwa koefisien korelasi dari analisa product moment (Pearson) antara perilaku merokok dan kontrol diri r = -0,266; dengan p = 0,005 (p < 0,01), dari hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku merokok, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada remaja dapat diterima. Hasil R squared menunjukkan 0.071, ini berarti sumbangan variabel kontrol diri terhadap perilaku merokok hanya sebesar 7.1%.
Pembahasan Hasil analisis data statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku merokok. Berdasarkan data angka koefisien korelasi sebesar r = -0,266; dengan p = 0,005 (p < 0,01), artinya bahwa semakin tinggi kontrol diri maka akan semakin rendah perilaku merokok
17
seseorang, begitu pula sebaliknya, semakin rendah kontrol diri seseorang maka semakin tinggi perilaku merokoknya. Hal itu bisa diartikan lebih lanjut bahwa perilaku merokok seseorang dapat dilihat atau dijelaskan dari tingkat kontrol dirinya. Kategorisasi untuk variabel perilaku merokok dari 95 subjek diperoleh hasil 8 subjek (8.4%) ada pada kategori sangat rendah, sedangkan pada kategori rendah sebanyak 20 subjek (21.1%). Untuk kategori sedang diperoleh sebanyak 33 subjek (34.7%). Kemudian kategori tinggi ada 24 subjek (25.3%) dan pada kategori sangat tinggi ada 10 subjek (10.5%). Berdasarkan kategori tersebut dapat dilihat bahwa perilaku merokok subjek dalam penelitian ini berada pada kategori sedang. Sedangkan kategorisasi untuk variabel kontrol diri diperoleh hasil 1 subjek (0.93 %) ada pada kategori sangat tinggi, sedangkan pada kategori tinggi sebanyak 61 subjek (56.48 %). Untuk kategori sedang diperoleh sebanyak 29 subjek (26.85 %). Kemudian kategori rendah ada 16 subjek (14.8 %) dan pada kategori sangat rendah ada 1 subjek (0.93 %). Berdasarkan kategori tersebut dapat dilihat bahwa tingkat kontrol diri subjek penelitian berada pada kategori tinggi Hasil penelitian ini menguatkan pendapat Santrock (1998) bahwa kontrol diri mempunyai peranan yang penting dalam pembentukan perilaku remaja. Mu’tadin (2002) menambahkan, perilaku merokok pada remaja selain disebabkan pengaruh orang tua, pengaruh teman, pengaruh iklan, juga dipengaruhi oleh faktor kepribadian. Goldfried dan Merbaum (Lazarus,1976) mendefinisikan kontrol diri sebagai proses yang menjadikan individu sebagai agen utama dalam memandu, mengarahkan dan mengatur perilaku utamanya yang dapat membawa ke arah
18
konsekuensi positif. Sebagai salah satu sifat kepribadian, kontrol diri pada individu yang satu dengan individu yang lain tidaklah sama. Ada individu yang memiliki kontrol diri yang tinggi dan ada yang memiliki kontrol diri yang rendah. Remaja yang memiliki kontrol diri tinggi pada umumnya masih dapat mengontrol dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya, sehingga mampu mengendalikan perilaku merokoknya tetap rendah. Begitu pula sebaliknya remaja yang memiliki kontrol diri rendah tidak mampu melepaskan diri dari dorongan – dorongan untuk merokok dan secara terus-menerus terjadi peningkatan jumlah rokok yang dihisap tiap hari, tanpa dapat mempertimbangkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan, baik terhadap dirinya sendiri, ataupun orang – orang di sekitarnya (perokok pasif) (Ray, 1983)). Variabel respon pada kontrol diri memiliki kontribusi terhadap perilaku merokok dalam penelitian ini yaitu 0.071, ini berarti sumbangan efektif yang diberikan variabel kontrol diri hanya 7,1% terhadap perilaku merokok. Dapat dilihat bahwa sisanya sebesar 92.9% lainnya merupakan kontribusi dari faktorfaktor lain yang bisa mempengaruhi perilaku merokok, namun faktor-faktor tersebut tidak diteliti lebih lanjut oleh peneliti. Adapun faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku merokok menurut penelitian yang dilakukan Komarasari (2000) adalah lingkungan keluarga, lingkungan teman sebaya, dan kepuasan psikologis. Faktor lain yang juga berpengaruh diungkapkan oleh Smet (1994) yaitu faktor sosio-kultural, meliputi kebiasaan budaya, kelas sosial, tingkat pendidikan, penghasilan, dan gengsi pekerjaan.
19
Secara keseluruhan penulis mengakui bahwa penelitian ini masih memiliki banyak kelemahan, selain itu alat ukur yang disusun sendiri oleh peneliti masih jauh dari sempurna dan kurang dapat mengukur apa yang hendak diukur, karena diperkirakan terjadi bias yang disebabkan oleh alasan-alasan tertentu, seperti norma, aturan, dan nilai-nilai disiplin yang berlaku di sekolah.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan perilaku merokok pada remaja. Hal ini berarti semakin tinggi kontrol diri maka semakin rendah perilaku merokok dan juga sebaliknya, semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku merokok. Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel kontrol diri terhadap perilaku merokok adalah sebesar 7,1% dan sisanya 92,9% disebabkan oleh faktor lainnya.
SARAN Saran yang diajukan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian adalah : 1. Saran bagi subjek penelitian Bagi subjek penelitian, terutama yang memiliki kontrol diri tinggi diharapkan untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan mengontrol diri yang sudah dimiliki agar tidak memiliki perilaku merokok. Selain itu dengan disiplin dan pola penanaman nilai yang diterapkan oleh orang tua merupakan hal penting dalam kehidupan, karena dapat mengembangkan self
20
control dan self direction sehingga seseorang dapat memperhitungkan untung – rugi dan mempertanggungjawabkan dengan baik dari segala tindakan yang dilakukan. Bagi mereka yang merasa sangat sulit untuk meninggalkan perilaku merokok, sebaiknya perlu menambah pengetahuan dan keyakinan mengenai bahaya merokok agar memiliki tingkat kesadaran kesehatan yang lebih tinggi dan jangan ragu untuk meminta bantuan orang – orang profesional seperti ahli kesehatan, psikiater, psikolog, konselor atau terapis. 2. Saran untuk peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik pada bahasan yang sama, disarankan untuk menggunakan variabel – variabel lain yang dapat mempengaruhi perilaku merokok, seperti faktor sosial, kognitif, conditioning dan faktor-faktor lainnya. Disamping itu peneliti menyarankan agar peneliti selanjutnya juga dapat menggunakan subjek penelitian yang lebih beragam antara lain tingkat pendidikan dan status tempat tinggal subjek.
21
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta. Fakultas Psikologi UGM. Armstrong, M. 1990. Pengaruh rokok terhadap kesehatan. Cetakan Pertama. Jakarta: Arcan Brigham, J.c. 1991. Social Psychology. Second Edition. New York: Harper Collins Publishers Inc. Burger, J.M. 1989. Negative Reaction : to Increase in Perceived Personal Control. Journal of Personality And Social Psychology 56 (2). 246-256 Caldwell, E. 2001. Berhenti Merokok. Yogyakarta: LKis. Calhoun, J.F & Acocella, J.R. 1990. Psychology of Adjusment and Human Relationship. Third edition. New York. Mc. Graw Hill. Davison, G.C and Neale, J.M. 1990. Abnormal Psychology. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons. Gatchel, R.J. 1989. An Introduction to Health Psychology. Second Edition. New York: Mc.Graw Hill Book Company. Grinder, R.E. 1978. Adolescence. Second Edition. New York. John Wiley&Sons. Hetherington, E. M. And Parke, R.D 1993. Child Psyhology a Contemporary Viewpoint. Tokyo: Mc. Grawhill Kogakusha, Ltd. Hurlock, E.B, 1997. Perkembangan Anak. Jillid 1. Edisi Keenam (Alih Bahasa oleh Med. Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih). Jakarta: erlangga Lazarus, R.S 1976. Pattern of Adjusment. Third Edition. Tokyo: Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd Laventhal, H & Cleary. 1980. The Smoking Problem: A Review of The Research and Theory in Behavioral Risk Modification. Psychologival Bulletin 88 (2). 370405. Mengapa Remaja Merokok.2004 http://www.mqmedia.com/tabloid mq/apr03/mq remaja pernik.htm
22
Monks, F. J, Knoers, A. M. P, Haditono, S. R, 2001. Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada Unirversity Press. Mu’tadin, Z. 2002. Remaja dan Rokok. http://www.e-psikologi.com/remaja.050602.htm. Ray, O.A. 1983. Drug, society and human behavior. Third Edition. St. Louis, Missouri: The C.V Mosby Company. Santrock, J.W. 1998. Adolescence. (7nd Ed). Washingthon, DC: Mc Graw Hill. Sarafino .Edward. P. 1998 Health Psychology. Biopsychosocial Interaction. Third Editon. New York: John Wiley & Sons Inc. Sarwono, S. W. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta Utara. PT. Raja Grafindo Persada. Shaffer, D. R., 1994, Social and Personality Development. 3rd Edition, California: Pacific Grove. Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Grasindo. Suhariyono, A. 1993. Intensitas Merokok dan Kecenderungan Tipe Pemilihan Strategi Menghadapi Masalah Pada Siswa SMTA di Yogyakarta. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM. Tandra, H. 2003. Merokok dan Kesehatan. http://www.kompas.co.id/kesehatan/news/0306/30/105012.htm. Tin. 2003. Bisakah Remaja Berhenti Merokok? http://www.balipost.co.id/balipostcetaK/2003/12/14/k1.html White, R.W and Watt, N.F. 1981. The Abnormal Personality. Fifth Edition. New York: John Wiley & Sons. Widiana. H. S,. Hidayat, R. Retnowati, S. 2004. Kontrol Diri dan Kecenderungan Kecanduan Internet. Humanitas : Indonesian Psychological Journal Vol. 1/ No. 1, Hal : 6-16 Yenny, M. 2008. ‘Pembunuh’itu bernama rokok. http://www.republika.co.id/ koran_detail.asp?id=333362&kat_id=13&kat_id1=&kat_id2=