Homo Cooperativus: Redefinisi Makna Manusia Indonesia1 Oleh: Dodi Faedlulloh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
[email protected] Abstrak Imajinasi tentang siapakah Manusia Indonesia perlu digagas kembali. Di tengah ramainya pemaknaan filsafat postmodern tentang subjek yang telah mati dalam situasi kontemporer, kemudian di tengah derasnya arus kapitalisme yang melahirkan manusia-manusia yang individualistis, instan dan konsumtif, maka mengembalikan posisi makna Manusia Indonesia menjadi hal yang relevan dan tetap penting. Gagasan “Revolusi Mental” dari Presiden Jokowi bisa menjadi momentum untuk melakukan pencarian ulang makna Manusia Indonesia tersebut. Berarti ada mental yang menghilang dan perlu direvolusi. Gotong royong dan musyawarah mufakat adalah bagian budaya yang melembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dirawat dan diwariskan oleh para pendiri bangsa yang kemudian dituangkan dalam dasar negara dan konstitusi. Dua hal ini yang peneliti coba elaborasi lebih dalam. Sej atinya manusia Indonesia adalah manusia yang gemar bekerjasama dan bermusyawarah. Konsep yang relevan sebagai sintesis mengenai gagasan ini yaitu Homo Cooperativus. Homo Cooperativus adalah manusia yang sadar bahwa mereka mempunyai kepentingan pribadi, namun untuk mencapai beberapa kepentingannya itu harus bekerjasama dengan orang lain. Kerjasama yang dilakukan selalu melalui proses musyawarah yang demokratis. Praktik kehidupan seperti ini secara empiris bisa ditemui dalam keseharian masyarakat Indonesia baik formal maupun non-formal. Salah satu bentuk realisasi yang menjadi contoh dalam paper ini yaitu melalui koperasi sebagai wadah kerjasama aspirasi individu-individu yang berkolektif di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Koperasi dikelola secara demokratis, berarti mengedepankan aspek musyarawah para anggotanya dalam setiap langkah kerjasama atau aktivitas gotong royong yang dilakukan. Kata Kunci: Gotong royong, Homo Cooperativus, Koperasi, Manusia Indonesia, Musyawarah
1
Paper ini telah dipresentasikan dalam acara Research Day 2015 di Universitas Paramadina, Jakarta, tanggal 25 November 2015 dengan tajuk Masa Depan Manusia Indonesia: Prospek dan Pemberdayaan. ISSN Proceeding 2303-1301.
PENDAHULUAN Latar Belakang Mempertanyakan kembali konsep Manusia Indonesia menjadi salah satu agenda yang penting untuk kembali dikaji di tengah semakin banyaknya peristiwa ironi yang hadir dalam kehidupan masyarakat kita. Tindak koruptif masih menjadi dominasi dalam deretan informasi yang berkaitan dengan pejabat publik di negeri ini 2 . Tindak kekerasan horisontal masih sering terjadi karena masalah-masalah kecil yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara lebih kekeluargaan. Kemudian, tidak sedikit masyarakat senang dengan ihwal gebyar dan pesta pora di tengah situasi ekonomi sosial yang masih timpang. Rasa empati tampak terasa semakin terkikis. Informasi-informasi ironi ini memang masih bersifat parsial dan belum bisa digeneralisasi, tapi setidaknya bisa menjadi cerminan sementara kondisi masyarakat Indonesia. Dalam dunia filsafat, postmodernisme merayakan kematian subjek. Paradigma ini bertolak pada kondisi kontemporer tentang subjek yang telah kehilangan jatidirinya, manusia kalah telak oleh konstruksi-konstruksi sosial eksternal di luar dirinya. Kemudian narasi tentang kapitalisme yang semakin hari merubah kesadaran manusia, menjadikan manusia sebagai subjek-subjek yang instan dan super-konsumtif. Kapitalisme kontemporer semakin canggih, ia menciptakan ironi alienasi tidak hanya di balik gerbang pabrik-pabrik, tapi menjalar kepada manusia-manusia yang menjadi penikmat produk yang didominasi hasil citra. Kondisi seperti ini juga sayangnya terjadi di tanah air. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melansir data dalam tiga tahun terakhir masyarakat Indonesia semakin konsumtif dengan merujuk menurunnya Marginal Propensity to Save (MPS) dan naiknya Marginal Prosperity to Consume (MPC) 3 . Hal ini menunjukan tentang bagian kecil realitas masyarakat Indonesia yang terjebak pada budaya selalu membeli. Sistem ekonomi yang tidak terkendali menciptakan pasar-pasar agar produk yang telah dibuat oleh perusahaan bisa dibeli. Cita-cita tentang pasar sempurna masih menghinggapi di sebagai besar masyarakat dan pelaku ekonomi Indonesia, walaupun pada realitanya, pasar yang sempurna tidak pernah terjadi. Kompetisi antar perusahaan besar terjadi secara tidak sehat masih terjadi dalam laku perekonomian di tanah air. Kemudian ditambah dengan ekspansi perusahaan multi nasional yang semakin berkembang dan besar demi terciptanya 2
Ini Modus Korupsi Selama Semester I 2015 diakses dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/12163211/Ini.11.Modus.Korupsi.Selama.Semester.I.2015 pada tanggal 1 Oktober 2015. 3 OJK: Orang Indonesia Makin Konsumtif diakses dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/08/110746226/OJK.Orang.Indonesia.Makin.Konsumt if pada tanggal 1 Oktober 2015
pertumbuhan ekonomi. Ekonomi lokal lumpuh, konsekuensi serius dari hal ini selain melahirkan masyarakat yang konsumtif karena diserbu oleh barang-barang yang didagangkan, juga menciptakan masyarakat yang tidak berdaya dan berdaulat secara ekonomi karena hanya menjadi buruh pada perusahaan di tengah luas dan besarnya potensi sumber daya alam yang dimiliki ibu pertiwi. Akhirnya di tengah kondisi perlambatan ekonomi yang terjadi di Indonesia seperti saat ini bisa langsung berdampak ke masyarakat. Alhasil pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap buruh menjadi jawaban cepat bagi perusahaan. Per 25 Agustus 2015, Kementerian Tenaga Kerja mencatat ada sekitar 26.506 buruh yang terkena PHK di Indonesia.4 Kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang begitu hegemonik berdampak pada bergesernya perilaku masyarakat. Keinginan saling mengalahkan (kompetisi), mengeruk profit sebesar-besarnya, hasrat memperkaya sendiri menjadi tujuan utama manusia modern. Hal ini bisa dianggap wajar karena telah menjadi habitus dalam keseharian. Terlebih dalam pola pendidikan di tanah air pun, ekonomi yang individualistik diajarkan di kampus-kampus dengan wajah ekonomi-bisnis. Pelajaran ekonomi yang murni untuk bisnis, ekonomi yang benar-benar berdiri sendiri yang dicabut dari elemen sosial, budaya dan lingkungan. Alhasil perguruan tinggi „berhasil‟ melahirkan para ksatria dan pembela kapitalisme. Ketika ekonomi kompetisi telah menjadi ihwal keseharian yang termaktub dalam pikiran, makanya tidak heran bila kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara adalah cerminan dari sudut pandang sarjana yang dilahirkan oleh rahim kapitalisme. Kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat sering diambil oleh pemerintah tanpa melibatkan partisipasi dari bawah. Kebijakan ekonomi negeri ini lebih sering dipacu untuk angka pertumbuhan dan pembangunan yang minus partisipasi dan kebutuhan riil masyarakat, sehingga tidak sedikit masyarakat melakukan penolakan-penolakan atas kebijakan atau program yang dilakukan oleh negara5. Hal yang dijelaskan secara singkat di atas tentu dapat dirubah. Perubahan tersebut perlu ditinjau secara filosofis, alih-alih karena rekomendasi yang mekanistik tidak jarang malah tidak bisa diimplementasikan karena tidak berjangkar pada kebutuhan riil dan karakater masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam kesempatan ini mengajukan sebuah gagasan tentang upaya kembali mendefinisikan makna tentang Manusia Indonesia. Hal ini relevan dengan semangat yang diusung oleh Presiden Jokowi tentang revolusi mental. Terlepas dari pro-kontra konsep revolusi mental yang 4
Ada 26000 Karyawan Kena PHK Per Agustus 2015 diakses dalam http://finance.detik.com/read/2015/09/02/181915/3008350/4/ada-26000-karyawan-kena-phk-per-agust us-2015 pada tanggal 1 Oktober 2015 5 Penolakan masyarakat dalam kurun waktu tahun tiga tahun terkahir ini banyak menyoal tentang kebijakan agraria. Di antaranya kasus agraria di Kulon Progo, Rembang, Urust Sewu, atau penolakan reklamasi di Bali. Kasus terbaru terjadi di Lumajang sampai memakan korban pembunuhan seorang aktivis anti tambang bernama Salim Kancil.
masih debatable dari masa kampanye sampai saat ini, bagi penulis masih ada titik temu relevansi tentang pentingnya merubah mentalitas masyarakat Indonesia. Khususnya karena deretan fakta yang telah disinggung sebelumnya menginformasikan bahwa mentalitas masyarakat di Indonesia sedang mengalami masalah. Dari latar belakang di atas, maka paper ini akan mencoba melakuan elaborasi dalam mengkaji redefinisi tentang konsep Manusia Indonesia. Tujuan yang diharapakan dari kajian ini yaitu untuk mengetahui secara utuh konsep Manusia Indonesia yang berlandaskan pada akar budaya masyarakat Indonesia. Selain itu juga untuk kembali membuka imajinasi tentang siapakah Manusia Indonesia. Adapun Metode kajian yang digunakan dalam paper ini adalah studi kepustakaan dan fenomenologis yakni dengan melakukan pengamatan pada realitas dan beberapa peristiwa yang relevan dengan kajian tentang definisi Manusia Indonesia. PEMBAHASAN Mencari Akar Manusia Indonesia Konsep revolusi mental yang diusung oleh Presiden Jokowi sering dikritik sebagai konsep yang abstrak6 karena minus landasan riil dan filosofisnya. Akhirnya banyak interpretasi yang hadir menyelimuti makna revolusi mental tersebut. Interpretasi yang lebih mirip dengan tebak-tebakan. Salah satu interpretasi yang paling kencang saat masa kampanye yaitu pengkaitan revolusi mental dengan gerakan komunisme7. Oleh karena itu penulis mencoba melakukan rekontruksi melalui jejak-jejak budaya dari karakter masyarakat Indonesia itu sendiri untuk mencari landasan dalam menentukan mentalistas seperti apa yang perlu direvolusi. Penulisan paper ini tidak dimaksudkan sebagai dukungan politik terhadap gagasan revolusi mental, melainkan justru upaya pelampauan dari gagasan tersebut. Dalam arti jadi ada atau tiadanya revolusi mental yang dikampanyekan Presiden Jokowi, gagasan untuk mencari akar konsepsi Manusia Indonesia adalah tetap hal yang perlu. Namun sekurangnya gagasan revolusi mental yang telah ada ini bisa dijadikan sebagai momentum untuk kembali berpikir tentang definisi Manusia Indonesia. Ternyata membahas hal ihwal tentang mentalitas adalah penting. Membangun manusia adalah agenda yang tidak bisa dinafikan oleh agenda-agenda pembangunan infrastukrtur semata. Sisi urgensi selanjutnya dengan adanya momentum ini, yaitu bagaimana kesetiaan pemerintah sebagai inisiator dengan memberikan bukti dan contoh konkret, juga tentu masyarakatnya sendiri yang setia dalam melakukan revolusi mental. 6
Salah satunya oleh sejarawan JJ Rizal pada Seminar Kebangsaan dalam menyambut Ulang tahun TNI ke-70 yang diselenggarakan oleh Universitas 17 Agustus 1945 pada tanggal 5 Oktober 2015. 7 Fadli Zon: Revolusi Mental Punya Akar Kuat paham Komunis dalam http://www.merdeka.com/politik/fadli-zon-revolusi-mental-punya-akar-kuat-paham-komunis.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2015
Untuk menjelajah akar Manusia Indonesia sebenarnya telah masuk dalam diskursus pada kurikulum pendidikan semenjak sekolah dasar. Para guru mengajarkan kepada murid-muridnya bahwa orang-orang Indonesia suka bergotong royong dan mengedepankan musyawarah dalam setiap mengembil keputusan bersama. Lebih lanjut secara lebih teoritis, dalam ragam literatur menjelaskan masyarakat Indonesia yaitu memiliki karakter khusus yang suka bergotong royong dan musyawarah mufakat8. Dua hal ini merupakan bagian budaya yang sudah melekat dari masyarakat Indonesia yang dirawat dan diwariskan oleh para pendiri bangsa yang kemudian dituangkan pada dasar negara (dan konstitusi). Bukti yang paling legitim menyoal gotong royong dan musyawarah mufakat adalah tertuang dalam Pancasila. Akar dari Pancasila ini tidak lain berasal sejarah, peradaban, pola kehidupan yang telah lama berkembang di Indonesia. Sebagai salah satu penggali Pancasila, Soekarno mengemukakan bila Pancasila diperas maka akan menemukan inti dari budaya Indonesia yaitu gotong-royong. Kajian yang dilakukan oleh Collette mengemukakan gotong royong telah berurat-berakar dan tersebar dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia dan menjadi pranata sosial yang paling penting dalam pembangunan9. Hal ini bisa dilihat seperti adanya istilah sambatan, bersih desa yang berlaku di masyarakat Jawa atau istilah krama di Bali yang menunjukan aktivitas gotong royong di daerah-daerah10. Namun saat ini ketika kondisi globalisasi menggempur hebat di kehidupan masyarakat Indonesia, gotong royong seakan menjadi sebuah kata yang lebih sering terdengar seperti jargon. Oleh karenanya gotong-royong perlu dibumikan kembali dalam praktik keseharian masyarakat dengan cara-cara bernas. Sedangkan musyawarah merupakan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan bersama dengan cara mengutamakan melalui jalur musyawarah menuju mufakat yang berasaskan semangat kekeluargaan. Hal ini yang membedakan karakter demokrasi Barat yang lebih menonjolkan pada one man one vote semata, yang mana saat ini praktiknya bertransformasi menjadi demokrasi prosedural-trsansaksional yang sering dihujam kritik. Setiap keputusan yang disepakati bersama secara konsensus harus dihormati dan dijunjung tinggi. Implikasinya setiap orang yang menjadi partisipan musyawarah bertanggung jawab dalam menerima, bahkan melaksanakan hasil mufakat. Jadi 8
Banyak studi yang menunjukan gotong royong dan musyawarah merupakan bagian penting dari budaya masyrakat Indonesia. Lihat Collete: 1987; Berutu: 2005; Herawati: 2007 9 Collette, Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor, 1987) 10 Kartodirjo, S, Gotong Royong: Saling Menolong dalam Pembangunan Pembangunan Masyarakat Indonesia, dalam Nat, J Callete dan Umar kayam (ed) Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. (Jakarta: Yayasan Obor, 1987). Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Balai Pustaka, 1987)
sebelum Jurgen Habermas mengenalkan konsep demokrasi deliberatif yang tersohor, di Indonesia atas hasil dari penjelajahan para pendiri bangsa melihat masyarakatnya, ternyata sudah memiliki potensi tersebut yang kini dikenal dengan musyawarah mufakat. Maka sila keempat dari Pancasila berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” adalah simpulan dari karakter masyarakat Indonesia yang mengedepankan proses dialog dan musyawarah. Manifestasi sila inilah yang perlu tetap dijaga, dirawat, dilestarikan dan dipraktikkan oleh masyarakat. Manusia yang Bergotong Royong Inti Pancasila adalah gotong royong. Kerjasama satu sama lain antar individu dalam masyarakat untuk satu Indonesia. Gotong royong merupakan suatu model kerjasama yang disepakati bersama. Budiono menjelaskan gotong-royong adalah usaha yang dilakukan secara bersama tanpa imbalan yang ditujukan untuk kepentingan bersama 11 . Kemudian Slamet menjelaskan bahwa gotong royong hakekatnya mempunyai sifat sambat-sinambat atau kewajiban timbal balik antar orang-orang yang semuanya saling mengenal dan saling membutuhkan12. Kesaling-mengenalan dan kesaling-membutuhkan inilah prasyarat penting yang perlu diperkuat. Saling mengenal dalam arti saling memahami satu sama lain. Seperti yang diketahui, Indonesia dikenal dengan kebhinekaannya. Keberagaman yang ada di Indonesia merupakan sebuah kondisi objektif yang khas. Alih-alih terpecah, dari keberagaman justru menjadi pendorong masyarakat Indonesia untuk bersatu. Inilah kelebihan dari karakter masyarakat Indonesia yang perlu dilestarikan. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa memenuhi kebutuhannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan, manusia akan membentuk kelompok-kelompok tertentu. Dari proses yang terjadi, terakumulasi pengalaman dan kesadaran yang menciptakan kepentingan kelompok. Semakin bertambah jumlah manusia, semakin bertambah pula kelompok yang terbentuk dan tentunya semakin kompleks pula kebutuhan yang ada, maka semakin niscaya kerjasama antar kelompok harus terjalin. Dengan kata lain kesaling-membutuhkan terbangun karena kondisi objektif yang mengharuskan demikian. Dalam hal ini berarti gotong-royong menjadi relevan dengan latar-belakang masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan heterogen. Antropolog Indonesia, Koentjaraningrat membagi dua jenis gotong royong yang dikenal masyarakat Indonesia yaitu gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti13. Aktivitas pertanian, kegiatan sekitar rumah tangga, kegiatan 11
Boediono, Teori Pertumbuhan Ekonomi (Yogyakarta, BPFE, 1999) Lihat Herawati, Perilaku Gotong Royong Penduduk Perbatasan Pacitan-Wonogiri: Di Desa Belah Dan Desa Cemeng Kecamatandonorojo, Pacitan. Patrawidya seri Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 8. No. 4 (2007) hal 917 13 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Balai Pustaka, 1987) 12
pesta, kegiatan perayaan, tolong menolong pada peristiwa bencana dan kematian menjadi contoh dalam keseharian dari gotong royong tolong menolong. Sedangkan kegiatan gotong royong kerja bakti dilaksanakan dalam mengerjakan sesuatu hal yang sifatnya untuk kepentingan umum. Dalam paper ini penulis melakukan ekstrapolasi dari konsep gotong royong ini dengan konteks lebih luas, tidak dalam lingkup lokal seperti RT, RW atau desa tapi juga nasional. Maka senada dengan penjelasan Pranadji gotong royong perlu dimaknai dalam konteks pemberdayaan masyarakat karena bisa menjadi modal sosial untuk membentuk kekuatan kelembagaan di tingkat komunitas, masyarakat negara serta masyarakat lintas bangsa dan negara Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan14. Gotong royong yang memberdayakan antar sesamalah yang menjadi agenda ke depan untuk mewujudkan Manusia Indonesia. Negara berarti harus mengambil peran untuk menciptakan kondisi yang mendukung agar masyarakatnya bergerak dan bergotong royong, maka setiap kebijakan yang dibuat secara inheren harus melekat nilai-nilai gotong royong, bukan justru mengedepankan kebebasan khas liberalisme yang sering melahirkan manusia yang berkompetisi tapi mengalahkan bahkan menindas yang lain. Indeks gini Indonesia menyentuh 0.42 adalah imbas dari kesenjangan yang tercipta karena sistem kapitalisme yang telah menghasilkan segelintir pihak pemilik kapital berdiri dan berkuasa di bawah kepala orang-orang yang tereksploitasi. Oleh karenanya sebagai antitesis dari sistem perekonomian Indonesia yang kapitalistik maka perlu dipikirkan kembali untuk membangun sistem perekonomian yang bersendi pada gotong royong. Dari eksplanasi di atas maka ikhtisar tentang Manusia Indonesia adalah manusia yang gemar bergotong royong yang memberdayakan. Memberikan power kepada pihak-pihak yang powerless. Jejak-jejak kebaikan masyarakat yang bergotong royong pernah dan masih ada. Bila sekarang budaya gotong royong mulai terkikis, tidak ada cara lain selain kembali melakukan rekonstruksi semangat gotong royong kepada publik. Kembali menciptakan kebijakan-kebijakan di bidang sosial, ekonomi dan budaya yang memberi ruang bagi masyarakat untuk saling bekerjasama, membangun iklim pendidikan yang harmonis bagi generasi penerus bangsa tentang pentingnya partisipasi dalam gotong royong, dan praktik-praktik lainnya dari mulai level makro sampai mikro yang bersifat aktivitas keseharian. Manusia yang Bermusyawarah Selain gotong royong, musyawarah merupakan aktivitas yang terlembaga dalam kehidupupan masyarakat Indonesia. Bila ada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, masyarakat akan berkumpul untuk berdialog dan menentukan keputusan secara bersama-sama. Mulai dari perencanaan, sampai tahap implementasi kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui jalur musyawarah. 14
Tri Pranadji, Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya Bangsa. Bogor. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, IPB. Volume 27 No. 1 (Juli 2009)
Budaya musyawarah merupakan warisan yang sangat berharga. Sebagai warisan dan kearifan lokal sejatinya budaya musyawarah bisa menjadi modal dasar dalam membangun dan mengidentifikasi jati diri tentang Indonesia. Dalam kegiatan musyawarah semua orang yang berpartisipasi memiliki hak dan kewajiban yang sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Hal ini seperti konsep tindakan komunikatif yang digagas oleh Habermas15. Filusuf generasi kedua Mazhab Frankfut ini menilai bahwa proses komunikasi harus setara demi tercapainya kesepakatan yang mampu diterima seluruh pihak, atau dengan kata lain, Habermas melihat integrasi sosial hanya mampu dicapai melalui proses tindakan komunikatif yang berujung pada pencapaian konsensus. Jadi dalam praktinya setiap orang yang menjadi partisipan musyawarah peru saling menghargai serta menghormati satu sama lain untuk mencapai konsensus. Agenda musyawarah ditujukan untuk mendapatkan kesepakatan atau konsensus bersama sehingga semua hasil dari forum tersebut diterima dan dijalankan secara bertanggung jawab. Musyawarah adalah cara untuk memperoleh solusi dalam berbagai bidang dari mulai bidang ekonomi, sosial, budaya ataupun masalah politik. Dengan hal ini secara tidak langsung proses demokrasi yang diharapkan di Indonesia adalah atas musyawarah mufakat, bukan voting. Mekanisme voting adalah adalah jalan terakhir. Namun dewasa ini proses demokrasi mengalamai degradasi, instrumen voting justru cenderung menjadi pilihan utama. Homo Cooperativus sebagai Sintesis Secara empiris, gotong royong dan musyawarah mufakat melekat dan melembaga dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Ada istilah-istilah lokal yang merujuk pada kedua aktivitas tersebut seperti sabilulungan, gugur gunung, gentosan, kompenian, tetulong layat, marsiadapari, marsiurupan, tonggo rojo, marapot, guro-guro aron, nganting manuk, erunggu, rimpah-rimpah, abin-abin, muan nakan peradpuen, runggu zikarah dan lain lain identik dengan gotong royong dan musyawarah 16. Kemudian dalam perkembangannya pelembagaan dari budaya gotong royong dan musyawarah ini tidak hanya diimplementasikan dalam aktivitas informal, tapi juga berlaku dalam organisasi-organisasi formal. Namun memang perlu diakui, dewasa ini, dengan semakin derasnya arus globalisasi berdampak pada kehidupan masyarakat Indonesia, termasuk budaya gotong royong dan musyawarah mufakat. Padahal seperti opini dari Boni Hargens, seharusnya arus modernisasi, liberalisasi, dan globalisasi semestinya tidak meniadakan suatu negara jatuh dalam percaturan global, tidak menghancurkan 15
Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action: Reason and The Rationalization Of Society. Volume I. (Boston, Beacon Press, 1984) 16 Lister Berutu, Gotong Royong, Musyawarah dan Mufakat sebagai Faktor Penunjang Kerekatan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Edisi 1 No 1 (Juni 2005) hal 21-24
rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, tidak mendegradasi budaya dan kearifan lokal, asal saja negara tersebut ditopang oleh identitas nasional yang kuat17. Budaya gotong royong dan musyawarah mufakat merupakan realitas yang perlu direvitalisasi guna semakin menajamkan gagasan tentang siapa Manusia Indonesia. Dalam konteks ini, penulis mencoba untuk melakukan pencarian konsep sintesis dari identitas masyarakat Indonesia berdasar pada warisan budaya yang telah dijelaskan sebelumnya. Adalah Homo Cooperativus, istilah yang memadai dan merepresentasikan sintesis dari budaya gotong royong dan musyawarah mufakat untuk jadi identitas Manusia Indonesia. Homo Cooperativus memang bukan istilah baru, setidaknya sudah mulai dikenalkan tahun 1950an. Akan tetapi istilah ini, dari analisa yang telah dipaparkan di muka, relevan dengan karakter Manusia Indonesia yang diredefinisi. Homo Cooperativus diperkenalkan Georg Draheim (1903-1972), seorang pemikir yang karier profesionalnya diabdikan untuk kehidupan perkoperasian di Jerman. Secara etimologis, Homo Cooperativus terdiri dari kata homo yang artinya manusia dan cooperativus yang berarti bekerjasama. Secara sederhana istilah ini bisa diinterpretasikan sebagai manusia yang suka bekerjasama. Dalam pemikiran Draheim Homo Cooperativus dijelaskan sebagai manusia yang hakikatnya memiliki kepentingan pribadi namun menyadari penuh bahwa untuk mencapai ragam kepentingannya itu perlu melakukan kerjasama dengan yang lain. Dalam karyanya, Die Genossenschaft als Unternehmungstyp, Draheim menjelaskan bahwa kerjasama tersebut terikat pada nilai: empati (empathie) dan kasih sayang (liebe)18. Maka dalam artian ini berarti bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin dalam sindikat seperti transaski narkoba yang membutuhkan “jejaring kerjasama” yang luas, atau tindakan korupsi yang memerlukan “trust”dan “jalinan komunikasi” yang tinggi antar sesama oknum pejabat tidak bisa dikategorikan sebagai bagian dari Homo Cooperativus. Justru Homo Cooperativus ada untuk menentang dan melawan segala yang bisa merugikan orang banyak. Konsep Homo Cooperativus bertopang pada situasi yang riil. Bukan sekedar hasil dealetika idealisme yang berjarak dengan kondisi nyata. Manusia diakui memiliki kepentingan pribadi, maka ihwal wajar setiap manusia memiliki hasrat dan kebutuhan yang berbeda untuk memenuhi aktualisasinya. Namun selain mengejar kepentingan pribadi, Homo Cooperativus memiliki rasa sosial yang sadar tentang perlunya hidup bekerjasama, saling menghargai dan membantu antar satu sama lain. Individu dalam 17
Bonni Hargens, Indonesia, „Halo Soekarno” Kompas, 16 April 2011 Firdaus Putra, Homo Cooperativus: Potret Manusia yang Manusiawi, Harian Satelit Post, 18 November 2014 18
Homo Cooperativus tetap diagungkan namun bukan untuk menuju individualisme. Individu-individu memiliki nilai individualitas yang darinya karena berbeda-beda maka diperlukan kolektivitas atau kerjasama agar tujuan dari masing-masing bisa terpenuhi. Mengenai hal ini kiranya senada dengan apa yang dikemukakan salah satu founding fathers Indonesia, Moh. Hatta19 bahwa individualitas berbeda hal secara prinsipil dengan individualisme. Individualitas adalah soal kesadaran atas harga diri, yaitu tentang karakter kekukuhan watak seseorang yang bisa diapresiasi oleh orang lain. Karenanya individualitas satu kesatuan semangat dengan solidaritas. Sedangkan individualisme menuntut individu bisa bebas lepas tidak terikat dari masyarakat dan mendahulukan hak individu daripada hak masyarakat, oleh karenanya individualisme tidak bisa memajukan kemakmuran rakyat. Analisa dari Moh. Hatta ternyata berjejak sampai saat ini dan bahkan lebih relevan dengan koteks kondisi kontemporer sebagai kritik terhadap kondisi kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Karena sekarang masyarakat terjebak dalam individualisme yang mengejar keuntungan-keuntungan bagi pribadi sendiri. Implikasinya disparitas sosial dan ekonomi di Indonesia cukup besar. Homo Cooperativus berada dalam posisi beyond antara gagasan manusia liberal yang memuja kebebasan individu secara berlebihan serta manusia komunis yang hendak menghilangkan anasir-anasir individu seperti kepemilikan pribadi. Oleh karenanya konsep ini memposisikan manusia tidak seperti “malaikat” yang naif karena hidup selalu demi orang lain. Juga tidak memposisikan manusia seperti “setan” yang hidupnya hanya demi dirinya sendiri20. Selanjutnya Homo Cooperativus dalam bidang sosial ekonomi diaktualisasi dalam corak produksi yang memberdayakan. Senada dengan yang dijelaskan sebelumnya tentang budaya gotong royong, maka cara-cara yang ditempuh oleh para Homo Cooperativus adalah dengan cara-cara yang humanis, tidak melakukan eksploitasi antar sesama. Oleh karenanya dalam gagasan ini kegiatan membantu dan tolong-menolog tidak ditujukan dalam rangka (sekedar) karitatif tapi juga memberikan peluang kepada semua pihak untuk lebih mampu berdaya. Homo Cooperativus ini masih dapat dilihat praktiknya dalam keseharian masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah atau desa-desa tertentu dalam setiap keputusan yang 19
Moh. Hatta, Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan ke Ekonomi dan Pembangunan Tjetakan Keenam. (Djakarta, Dinas Penerbitan Balai Pustaka,.1960) 20 Op cit.
berkaitan dengan kepentingan bersama selalu dihasilkan oleh publik, warga desa, yang kemudian bermusyawarah, dan tercapai mufakat. Hasil dari mufakat tersebut dilaksanakan bersama-sama dengan bergotong-royong. Potensi yang telah ada harus terus menerus dihidupkan dalam ingatan masyarakat dan disebar menjadi “imaji bersama”21 bagi masyarakat Indonesia. Imaji bersama ini yang kemudian dikonversi menjadi definisi Manusia Indonesia. Secara perlahan definisi ini diinstitusionalisasi menjadi kesadaran akan “Indonesia” yang dicita-citakan. Manusia Indonesia adalah Homo Cooperativus: manusia yang gemar bergotong royong dan bermusyawarah. Untuk mengilustrasikan kontruksi definisi tentang Manusia Indonesia bisa dilihat dalam diagram berikut: Gambar 1. Kontruksi Definisi Manusia Indonesia Manusia Indonesia Musyawarah
Gotong Royong Homo Cooperativus
Budaya
Politik
Sosial
Ekonomi
“Indonesia” 21
Kata ini terinspirasi dari studi Benedict Andreson (2008) tentang “Imagined Communities”. Dalam bukunya tersebut, Andreson menjelaskan tentang kesadaran tentang nation atau nasionalisme bukan sesuatu yang riil, melainkan produk historis bentukan dari imajinasi bersama-sama. Analisa Andreson menjelaskan konsep nation adalah sebagai “sebuah komunitas politis dan dibayangkan terbatas secara inheren dan memiliki kedaulatan.” Dengan kata lain nation merupakan sebuah komunitas terbayang karena mustahil bagi setiap individu anggotanya untuk benar-benar saling mengenal satu sama lain dan berinteraksi. Imagined communities terbatas dalam arti hanya orang-orang tertentu yang memiliki syarat inheren adalah bagian dari bangsa serta Imagined communities pun berarti berdaulat , yaitu orang-orang yang berada dalam rasa nation tertentu menganggap dirinya memiliki wilayahnya yang mandiri.
Koperasi sebagai Aktualisasi Homo Cooperativus Setelah menjelaskan tentang Homo Cooperativus sebagai definisi Manusia Indonesia, selanjutnya adalah mencari institusi yang bisa menjadi motor penggerak dari semangat gotong royong dan musyawarah bagi masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini penulis mengambil salah satu contoh bentuk konkret dari realisasi gagasan Homo Cooperativus, yaitu koperasi. Koperasi adalah asosiasi yang tepat bagi berkumpulnya orang-orang yang punya tujuan yang sama untuk memenuhi aspirasi sosial, ekonomi dan budaya. Koperasi adalah ruang aktualisasi bagi individu-individu yang hendak self-help dengan cara bekerjasama. Sebenarnya dalam konstitusi Indonesia pada Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945, secara terang menjelaskan tentang pentingnya menciptakan dan mengakomodasi budaya serta kearifan lokal seperti gotong royong dan musyawarah dalam urusan perekonomian nasional. Oleh karenanya bentuk perekonomian yang disusun adalah hasil dari kerja oleh, dari, dan untuk rakyat yang berlandaskan asas kekeluargan. Interpretasi yang sering didengungkan akan hal ini yaitu koperasi. Karena koperasi melakukan aktivitas ekonomi secara gotong royong dan mengedepankan musyawarah. Namun sayangnya apa yang terjadi mencerminkan ketidaksesuaian dengan harapan, dalam ranah praktik masih bak panggang jauh dari api. Perkoperasian di tanah air masih belum bisa berkembang pesat jauh dari kata jargon sokoguru ekonomi Indonesia. Karena perlu satu kajian tersendiri, dalam paper ini penulis tidak melakukan penjelasan tentang hal permasalahan koperasi. Terlepas dari permasalahan yang masih menyelimuti perkoperasian Indonesia tidak lantas mereduksi substansi dari koperasi itu sendiri. Koperasi tetap menjadi „ruh‟ yang perlu didorong untuk terus maju sebagai sistem perekonomian Indonesia untuk meng-counter sistem kapitalisme yang begitu hegemonik di Indonesia. Kaitan dengan maksud dari paper ini dialamatkan untuk melihat gagasan tentang Homo Cooperativus sebagai definisi Manusia Indonesia ternyata menemui relevansinya, bahkan telah tersedia instrumen yang bersifat praxis ─koperasi. Dengan kata lain, Homo Cooperativus menjadi sesuatu yang benar-benar berjejak dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. PENUTUP Simpulan Dari uraian yang telah disampaikan, di tengah situasi “matinya subjek” dan pengaruh arus kapitalisme yang kuat terhadap kehidupan bermasyarakat, mendefinisikan Manusia Indonesia menjadi agenda yang penting untuk kembali berpikir membangun “imaji bersama” tentang Indonesia. Dengan menjelajahi jejak-jejak budaya, masyarakat Indonesia memiliki dua budaya yang telah melembaga yaitu budaya
gotong royong dan musyawarah mufakat yang diimplementasikan baik dalam organisasi formal maupun informal. Gotong royong telah berakar dan tersebar dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi pranata sosial yang paling penting dalam pembangunan di Indonesia. Untuk mengawali gotong royong biasanya dilakukan musyawarah untuk menentukan keputusan bersama. Berarti dua budaya ini telah menjadi culturally-embeded social practice. Sintesis dari identitas masyarakat Indonesia berdasar pada warisan budaya gotong royong dan musyawarah adalah Homo Cooperativus. Istilah ini menjelaskan manusia pada hakikatnya memiliki kepentingan pribadi namun menyadari penuh bahwa untuk mencapai ragam kepentingannya itu perlu melakukan kerjasama dengan yang lain. Berarti menghargai individu dengan menunjung tinggi arti kerjasama. Homo Cooperativus terikat pada nilai empati (empathie) dan kasih sayang (liebe). Oleh karenanya kerjasama yang terjalin sebagai realisasi dari konsep ini harus berdampak pada kebaikan-kebaikan publik. Homo Cooperativus menyadari penuh tentang sifat manusiawi dari manusia, maka posisinya beyond antara gagasan manusia liberal yang mengejar kebebasan dan hasrat individu dan manusia komunis yang hendak menghilangkan konsepsi kepemilikan individu. Bertolak dari hal ini sangat tepat kiranya Homo Cooperativus dipergunakan sebagai identitas definisi Manusia Indonesia. Dengan menjadikannya sebagai identitas membangun harapan, selain merevitalisasi semangat gotong royong dan musyawarah mufakat dalam kehidupan masyarakat Indonesia, juga berimplikasi pada setiap kebijakan-kebijakan yang hendak dibuat pemerintah terkait bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya perlu memberi ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam musyawarah dan saling bekerjasama-bergotong royong dalam pembangunan di Indonesia. Daftar Pustaka Anderson, Benedict. Imagined Communities Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogyakarta: Insist Press, 2008. Berutu, Lister. Gotong Royong, Musyawarah dan Mufakat sebagai Faktor Penunjang Kerekatan Berbangsa dan Bernegara. Jurnal Antropologi Sosial Budaya Etnovisi. Edisi 1 No 1 Juni hal 21-24, 2005. Boediono. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE, 1999. Collette, N. Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 1987.
Habermas, Jurgen. The Theory of Communicative Action: Reason and The Rationalization Of Society. Volume I. Boston: Beacon Press, 1984 Hatta, Moh. Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan ke Ekonomi dan pembangunan. Djakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Tjetakan Keenam. 1960 Hargens, Boni. Indonesia, „Halo Soekarno” dalam Kompas, 16 April 2011, Jakarta. Herawati, I. Perilaku Gotong Royong Penduduk Perbatasan Pacitan-Wonogiri: Di Desa Belah Dan Desa Cemeng Kecamatandonorojo, Pacitan. Patrawidya seri Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 8. No. 4 (2007) hal 917 Kartodirjo, Sartono. Gotong Royong: Saling Menolong dalam Pembangunan Pembangunan Masyarakat Indonesia, dalam Nat, J Callete dan Umar kayam (ed) Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 1987 Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Balai Pustaka. Jakarta: Balai Pustaka, 1987 -------------------. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004 Putra, Firdaus. Homo Cooperativus: Potret Manusia yang Manusiawi dalam Harian Satelit Post, 18 November 2014, Purwokerto. Pranadji, Tri. Penguatan Kelembagaan Gotong Royong dalam Perspektif Sosio Budaya Bangsa. Jurnal Forum Penelitian Agro Ekonomi, IPB. Volume 27 No. 1, Juli (2009). Rochmadi, N. Menjadikan Nilai Budaya Gotong-Royong Sebagai Common Identity dalam Kehidupan Bertetangga Negara-Negara ASEAN. Repository Perpustakaan Universitas Negeri Malang, 2012 Media Online Ada 26000 Karyawan Kena PHK Per Agustus 2015 diakses dalam http://finance.detik.com/read/2015/09/02/181915/3008350/4/ada-26000-k aryawan-kena-phk-per-agustus-2015 pada tanggal 1 Oktober 2015 Fadli
Zon: Revolusi Mental Punya Akar Kuat paham Komunis dalam http://www.merdeka.com/politik/fadli-zon-revolusi-mental-punya-akar-ku at-paham-komunis.html diakses pada tanggal 5 Oktober 2015
Ini
OJK:
Modus Korupsi Selama Semester I 2015 diakses dalam http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/12163211/Ini.11.Modus.Kor upsi.Selama.Semester.I.2015 pada tanggal 1 Oktober 2015. Orang Indonesia Makin Konsumtif diakses dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/08/08/110746226/OJK.Ora ng.Indonesia.Makin.Konsumtif pada tanggal 1 Oktober 2015