HISAB RUKYAT DALAM ASTRONOMI MODERN T. Djamaluddin1 Pendahuluan Hisab (perhitungan astronomi) dan rukyat (pengamatan) secara umum adalah bagian tak terpisahkan dari astronomi modern. Hisab yang formulasinya diperoleh dari hasil rukyat jangka panjang digunakan dalam pembuatan almanak. Almanak astronomi merupakan salah satu produk evolusi pengetahuan manusia yang memungkinkannya tidak perlu setiap saat memperhatikan langit. Keteraturan di langit telah dirumuskan secara sistematik di dalamnya sehingga memudahkan orang dalam memprakirakan fenomena astronomis -- terutama setelah ditemukannya teknologi alternatif penentuan waktu (:jam) dan arah (:kompas). Almanak astronomi adalah tabel, buku, atau perangkat lunak komputer yang menyajikan informasi tentang waktu kejadian fenomena astronomis seperti saat terbit/terbenamnya matahari dan bulan, fase bulan, posisi matahari, bulan, dan planet-planet, gerhana atau okultasi benda-benda langit, serta waktu bintang (sidereal time). Dalam konteks pertemuan ini, hisab rukyat dibatasi hanya pada masalah hisab rukyat hilal penentu awal bulan qamariyah. Pembahasannya difokuskan pada identifikasi masalah perbedaan penentuan awal bulan qamariyah dan tawaran solusinya dari sudut pandang astronomi modern. Astronomi modern ditandai oleh tiga ciri utama: kemajuan perangkat pengamatan dengan akurasi tinggi (teleksop dengan beragam sistem detektor, baik dari permukaan bumi maupun dari antariksa), kemajuan teknologi komputasi (modelling dan programming), dan kemajuan teknologi informasi (teknologi multimedia dan internet untuk penyebaran hasil). Namun, bahasan hisab rukyat tidak boleh dilepaskan dari dasar syariatnya, tidak semata-mata makna astronomisnya. Sebutan "modern" mengandung makna dinamis, yang secara kuantitaf mungkin berubah definisnya dari waktu ke waktu karena adanya peningkatan akurasi. Oleh karenanya dasar syariat yang pokok yang harus tetap dipegang, sedangkan interpretasi ijtihadiyah para ulama terdahulu dalam masalah tafsir kuantitatif (misalnya tiggi hilal) semestinya berkembang dinamis mengikuti kemajuan astronomi. Dalam makalah ini pertama akan diulas masalah rukyat, kemudian kriteria hisab, dan konsepsi titik temu hisab rukyat di Indonesia. Aspek Rukyat Pada tahun 1932 dan 1936 Danjon melaporkan hasil pengamatan hilal di majalah astronomi. Dari 75 bukti pengamatan hilal yang dikumpulkan dari berbagai pengamat di seluruh Eropa diperoleh syarat batas penampakan hilal yang kini dikenal sebagai limit Danjon. Danjon dalam laporannya itu menganalisis hubungan jarak sudut (jarak di langit dalam ukuran sudut pandang – dinyatakan dalam derajat) Matahari-Bulan dan besarnya lengkungan sabit pada hilal. Dari 75 data itu diketahui bahwa makin dekat jarak sudut Matahari-Bulan, lengkungan sabit yang bisa teramati makin kecil. Datadata itu menunjukkan bahwa hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut MatahariBulan kurang dari 7 derajat. Ini kemudian dikenal sebagai limit Danjon. Dengan limit 1
Bidang Matahari dan Antariksa, LAPAN Bandung, Telepon: 022-601-2602, 603-8060 (K), 607-7680 (R) e-mail:
[email protected],
[email protected]; http://media.isnet.org/isnet/Djamal/
itu astronom akan menolak laporan pengamatan hilal dengan mata telanjang bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat.
Ada alasan kuat untuk mendukung limit Danjon itu. Menurut perhitungan Schaefer (1991) di sebuah jurnal astronomi, limit itu disebabkan batas sensitivitas mata manusia. Mata manusia tidak sanggup menangkap cahaya amat redup pada kedua ujung lengkungan sabit hilal. Untuk membuktikannya Schaefer membuat model teoritik hubungan antara besarnya lengkungan sabit hilal dengan kecerlangan hilal tesebut. Dengan limit sensitivitas mata manusia sekitar 8 magnitudo (besaran kecerlangan relatif dalam astronomi) pada jarak sekitar 8 derajat hilal hanya akan terlihat seperti goresan tipis yang tanpa ada tanda-tanda lengkungan (panjang lengkungan sabit hanya sekitar 40 derajat, sepersembilan lingkaran). Itu sudah sulit dikenal sebagai hilal.
Di samping limit Danjon, ada lagi kriteria visibilitas hilal yang diperoleh dari analisis empirik bukti pengamatan dari seluruh dunia pada berbagai musim. Bulan yang jarak sudutnya lebih dari 7 derajat dari Matahari belum tentu dapat teramati. Mohammad Ilyas, seorang Muslim yang mengepalai International Islamic Calendar Program di Malaysia, telah mengumpulkan banyak bukti pengamatan di seluruh dunia untuk menentukan kriteria hilal agar bisa teramati. Secara ringkas, kriteria yang dihasilkan dari banyak data pengamatan terbagi dalam tiga kelompok, tergantung
aspek apa yang ditinjau. Dilihat dari ketinggian hilal di atas ufuk, tidak ada hilal yang teramati pada ketinggian kurang dari 4 derajat. Untuk hilal yang sangat dekat dengan Matahari (pada jarak mendatar sekitar 5 derajat) hilal harus lebih tinggi dari 10 derajat. Ditinjau dari umur hilal (selang waktu sejak saat ijtimak sampai saat pengamatan), tidak ada hilal yang lebih muda dari 16 jam, kecuali pada saat tertentu rekor termuda yang tercatat adalah 13,5 jam. Dan dilihat dari sudut pandang beda waktu terbenam antara Matahari dan Bulan, hilal tidak mungkin teramati bila beda waktu terbenamnya kurang dari 40 menit.
Berdasarkan kriteria itu, bagi kalangan astronomi, laporan pengamatan hilal yang tinggginya kurang dari 4 derajat (seperti yang sering terjadi di Indonesia) terasa aneh. Ini menimbulkan kecurigaan adanya kesalahan dalam identifikasi hilal (tanpa meragukan kualitas iman dan kejujuran pengamatnya). Ada yang menyebutnya hilal yang teramati mungkin hanya halusinasi akibat pengaruh keyakinan bahwa hilal mestinya dapat dirukyat berdasarkan hasil hisabnya. Namun secara ilmiah, hasil pengamatan di Indonesia tidak bisa begitu saja dibuang, tanpa alasan yang jelas. Oleh karenanya saya mencoba menganalisisnya dan memilah data pengamatan berdasarkan beberapa kriteria yang didasarkan pada tingkat kepercayaan terhadap data. Data dari pengamatan di tiga lokasi atau lebih dan tidak ada gangguan objek langit terang (misalnya planet Venus) mempunyai tingkat kepercayaan yang lebih tinggi daripada pengamatan tunggal atau posisi bulan dekat dengan objek terang yang memungkinkan keliru dalam identifikasi. Secara umum, hilal rendah hanya mungkin teramati bila letaknya relatif jauh dari matahari.
10
19
9 Beda Tinggi (derajat)
Umur Hilal (jam)
21
17 15 13 11
8 7 6 5 4
9
3
7 4
5
6
7
8
9
10
Jarak bulan-matahari (derajat)
11
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Beda Azimut (derajat)
Data rukyat di Indonesia 1962 – 1996 setelah dipilah berdasarkan tingkat kepercayaannya Jarak sudut bulan-matahari minimum berasal dari pengamatan hilal 4 Agustus 1978. Data hilal pada saat itu adalah beda azimut bulan-matahari 4,12o, beda tingginya 3,85o, jarak sudut bulan-matahari 5,64o, dan umur hilal 9,88 jam, serta beda waktu terbenam matahari-bulan 13 menit. Analisis astronomis lebih mendalam tidak menemukan adanya bintang terang di dekatnya. Hilal ini disaksikan oleh 11 orang di 4 lokasi yang terpisah jauh sehingga kecil kemungkinannya semua saksi salah melihat objek latar depan yang sama yang dianggap hilal. Secara astronomis, pengamatan tersebut mungkin dapat dijelaskan dari telaah teoritik Shaefer (1991) yang menyatakan kemungkinan adanya pengamatan hilal yang jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7o bila mata pengamatnya sangat sensitif. Hal itu mungkin saja terjadi, setidaknya sebelum ada bukti untuk menyingkirkan data tersebut. Tiga data terpisah di sudut kiri mungkin juga akaibat salah identifikasi. Namun itu baru dapat ditolak setelah data pengamatan semakin banyak dan secara signifikan menunjukkan perbedaan yang mencolok dari data lainnya. Munculnya gagasan teleskop rukyat (nama ini aneh di telinga astronom, mungkin tepatnya "teleskop hilal" bila untuk pembeda dengan "teleskop bintang") pada awal 1990-an memunculkan harapan dapat diatasinya kendala rukyatul hilal itu. Sayangnya, teleskop rukyat masih mempunyai kelemahan, seperti diakui oleh pembuatnya. Kelemahan dari sudut pandang astronomi juga menyebabkan adanya keraguan dari kalangan. Keberhasilan teleskop rukyat melihat hilal 1 Rajab 1416 (23 September 1995) ketika mendemonstrasikan di Saudi Arabia sebenarnya tidak luar biasa karena hilal pada saat itu sudah cukup tinggi, 12 derajat, sudah melebihi kriteria visibilitas hilal. Wajar untuk terlihat, meskipun tanpa alat bantu. Teleskop rukyat sebenarnya tidak berbeda jauh dengan teleskop pada umumnya. Mungkin perbedaannya yang paling jelas dengan teleskop astronomi umumnya adalah sumbu geraknya. Sumbu gerak utama teleskop astronomi umumnya sejajar dengan sumbu rotasi bumi agar bisa mengikuti gerak semu benda-benda langit dari timur ke barat. Sedangkan teleskop rukyat dipasang secara alt-azimut, yang memungkinkan teleskop bergerak vertikal dan horizontal. Jenis teleskop rukyat adalah teleskop reflektor, cahaya objek dipantulkan oleh cermin cekung dan difokuskan dengan sistem Newtonian ke lensa pengamat (eyepiece) di sisi tabung teleskop. Secara umum, fungsi utama teleskop (selain sebagai pembesar
penampakan objek) adalah memperkuat cahaya objek dengan cara pengumpulan cahaya, baik dengan cermin cekung maupun lensa. Semakin besar diameter cermin atau lensa teleskop, semakin banyak cahaya yang bisa dikumpulkan sehingga makin besar kemampuannya memperkuat cahaya objek. Cahaya yang sudah difokuskan itu bisa teruskan ke lensa pengamat untuk pengamatan lansung atau direkam dengan perangkat video, kamera fotografi, maupun detektor lainnya seperti kamera elektronik (CCD). Kemampuan suatu teleskop biasanya diukur dari kemampuannya mendeteksi objek lemah. Dalam astronomi, kecerlangan suatu objek dinyatakan dengan magnitudo. Makin besar nilainya, makin redup objek itu. Mata manusia rata-rata masih mampu mendeteksi bintang redup dengan magnitudo 6,5. Dengan menggunakan binokuler kemampuannya meningkat sehingga mampu mendeteksi bintang yang lebih redup lagi dengan magnitudo 10. Dengan teleskop berdiameter 15 cm (seukuran teleskop rukyat) objek paling redup yang dapat terdeteksi mempunyai magnitudo 13. Selisih limiting magnitude (magnitudo batas) suatu teleskop dengan mata manusia bisa menjadi ukuran kemampuan penguatan cahayanya dengan menggunakan rumus sederhana: 10 pangkat (beda magnitudo/2,5). Misalnya, teleskop 15 cm (sekelas teleskop rukyat) mempunyai kemampuan penguatan cahaya 10 pangkat (6,5/2,5), yaitu 400 kali (pembuat teleskop rukyat mengklaim penguatan 40.000 kali -- Republika 18 Januari 1996 -- hal yang menimbulkan pertanyaan bagi astronom). Apakah teleskop mampu mengatasi kesulitan rukyatul hilal? Pertanyaan itu telah terjawab dengan hasil penelitian Schaefer (1991). Menurut hasil pengamatan hilal di berbagai tampat dengan mata telanjang dan menggunakan teleskop serta model teoritik yang dikembangkannya, disimpulkan bahwa dengan teleskop pun hilal tetap tidak mungkin teramati bila jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat. Masalah utama dalam pengamatan hilal adalah kontras antara hilal dan cahaya langit senja. Dengan menggunakan teleskop, baik cahaya hilal maupun cahaya langit samasama diperkuat. Alhasil, kontrasnya sama dengan pengamatan tanpa alat bantu. Gagasan awal pembuat teleskop rukyat untuk pemakaian filter dan pemasangan detektor perekam menarik untuk dikaji. Dua hal yang harus dipertimbangkan adalah efektivitas filter dan sensitivitas detektor. Cahaya hilal berasal pantulan cahaya matahari oleh permukaan bulan. Sedangkan cahaya langit senja berasal dari pantulan cahaya matahari oleh partikel-partikel di atmosfer bumi. Untuk memilih jenis filter yang tepat perlu penelitian spektrum cahaya bulan di ufuk (untuk mudahnya bisa diambil cahaya bulan purnama di ufuk timur) dan spektrum cahaya senja. Dengan mempelajari spektrum tersebut akan dapat diketahui rentang panjang gelombang yang dominan pada cahaya bulan daripada cahaya langit senja. Filter berfungsi untuk menghambat sebanyak mungkin cahaya langit senja, tetapi meneruskan sebanyak mungkin cahaya bulan. Saya belum menemukan data spektrum cahaya bulan dan cahaya langit senja. Namun saya menduga spektrumnya pada cahaya tampak tidak akan jauh berbeda karena sumbernya sama dan mengalami hamburan atmosfer yang hampir sama. Jadi, saya menduga filter kurang efektif untuk meningkatkan kontras antara hilal dan cahaya langit senja. Selain itu, pemakaian filter berarti pula pengurangan intensitas objek yang berarti hilal akan makin sulit teramati. Pengamatan dengan teleskop yang dilengkapi kamera fotografi atau detektor elektronik pada prinsipnya bisa menolong mengenali hilal yang redup bila sensitivitasnya lebih baik daripada sensitivitas mata. Dengan makin baiknya sensitivitas kamera, limit Danjon akan dapat diperkecil. Dengan kata lain pada jarak sudut Matahari-Bulan kurang dari 7 derajat hilal mungkin dapat terdeteksi. Kontras mungkin dapat ditingkatkan dalam pemrosesan citranya. Teknologi
kamera CCD dan pemrosesan citra dengan komputer sudah lazim dipakai para astronom untuk mendeteksi objek redup. Mungkin inilah satu-satunya cara untuk mengatasi kelemahan teleskop rukyat. Kita tunggu pengembangannya. Sulitnya pengatan dari permukaan bumi karena masalah transparansi udara dan awan telah memunculkan gagasan untuk menggunakan satelit. Apakah ini akan menyelesaikan masalah? Secara teknis, hasil pengamatan mungkin bisa memperjelas penampakan hilal apalagi bila disertai teknik pemroses citra. Tetapi, sebelum teknologi ini di gunakan, perlu kajian syariat yang mendalam berkaitan dengan mathla' rukyatul hilal dari satelit. Tanpa definisi masalah mathla', hasil pengamatan hilal dari satelit belum menyelesaikan masalah. Logika astronomi tidak boleh mengabaikan syariat. Pola pikir kita yang terbiasa dengan kalender syamsiah dapat cenderung untuk menganggap berbeda bila tanggal syamsiahnya berbeda, walau mungkin mathla' global dapat dirumuskan. Aspek Hisab Apa yang diperlukan seorang ahli hisab bila harus mengambil keputusan masuknya bulan qamariyah? Pertama, seperangkat tabel atau rumus dan alat hitungnya untuk menentukan posisi bulan dan matahari, saat terbenamnya, dan saat ijtimak. Kedua, kriteria visibilitas hilal. Tanpa kriteria visibilitas, data-data itu tidak memberikan informasi apa pun tentang kapan masuknya tanggal baru. Kriteria visibilitas hilal adalah interpretasi akan perintah Nabi untuk rukyatul hilal. Pada posisi berapa derajat atau saat kapan hilal dapat diamati. Terlalu berlebihan bila ada ahli hisab mengatakan hisab terlepas dari rukyat. Batasan waktu "maghrib" dalam setiap perhitungan posisi atau beda waktu terbenam menunjukkan keterikatan dengan rukyat, karena saat maghrib itulah rukyatul hilal biasanya dimulai. Walau pada zaman Nabi terjadi beberapa kali gerhana matahari, yang pada dasarnya bisa untuk merukyat ijtima', tidak ada riwayat yang mengaitkan gerhana dengan masuknya bulan baru. Pada saat itu pengetahuan tentang hubungan gerhana matahari dan rukyatul hilal belum berkembang. Kini hubungan itu telah jelas hingga dalam pertimbangan penentuan awal Ramadhan 1403, gerhana matahari total 11 Juni 1983 dijadikan dasar rukyat bahwa ijtimak telah terjadi. Kriteria visibilitas hilal pertama yang banyak digunakan para ahli hisab sebagai batasan masuknya awal bulan adalah wujudul hilal (dengan kriteria tinggi hilal positif atau waktu terbenam matahari lebih dahulu daripada bulan) atau ijtima' qablal ghurub (waktu ijtima' sebelum maghrib). Biasanya para ahli hisab hanya menghitung untuk satu lokasi saja atau menggunakan garis tanggal ketinggian bulan nol derajat atau garis tanggal saat bulan terbenam pada saat maghrib untuk tinjauan globalnya. Kriteria itu merupakan kriteria paling sederhana yang sebenarnya perlu ditinjau ulang dengan makin berkembangnya ilmu astronomi dan perangkat hisabnya. Peninjauan ulang tampaknya baru sebatas memperdebatkan ufuk yang digunakan, ufuk mar'i atau ufuk haqiqi. Garis tanggal nol derajat tidak bisa digunakan secara mandiri tanpa melihat kriteria ijtima' qablal ghurub. Gambar garis tanggal awal Sya'ban 1423 menunjukkan secara jelas, di wilayah Indonesia hilal sudah wujud sebelum terjadi ijtima'. Sebaliknya, pada Jumadil ula 1423 ijtima' terjadi sebelum maghrib, tetapi bulan masih di bawah ufuk.
Garis Tanggal Sya'ban 1423 kriteria imkan rukyat, h=2, wujudul hilal 7 Oktober 2002 (--- maghrib saat ijtima') 6 Oktober 2002
Garis Tanggal Jumadil ula 1423 kriteria imkan rukyat, h=2, wujudul hilal 11 Juli 2002 (--- maghrib saat ijtima') 10 Juli 2002
Dalam perkembangan saat ini berbagai argumentasi dikemukakan untuk mendukung kriteria wujudul hilal, termasuk dari penafsiran QS 36:39-40. Bahkan ada juga yang mencari pendekatan dari awal bulan secara astronomis yang diharapkan kesimpulannya akan sama dengan awal bulan dengan kriteria wujudul hilal. Pendekatan murni astronomis, bisa menyesatkan bila digunakan untuk pembenaran penetapan awal bulan yang harus mempertimbangkan syariat. Bulan baru astronomi atau ijtimak, tidak ada dasar hukumnya untuk diambil sebagai batas awal bulan qamariyah. Sementara itu, posisi bulan di atas ufuk dalam definisi sesungguhnya wujudul hilal tidak punya arti secara astronomis, karena tidak mungkin teramati. Wujudul hilal hanya ada dalam teori. Apalagi kalau wujudul hilal tidak mempertimbangkan ijtima' qablal ghurub, "hilal" teoritik pun mungkin tidak ada karena belum terjadi ijtimak. Sungguh awal yang sangat baik ketika prakarsa Indonesia memperkenalkan kriteria imkanur rukyat berdasarkan analisis sederhana atas data rukyat di Indonesia diterima ditingkat regional. Kriteria Departemen Agama Indonesia diterima sebagai kriteria bersama dalam forum MABIMS yang mencakup Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kriteria yang kini dikenal sebagai kriteria MABIMS adalah sebagai berikut: a. tinggi hilal minimum 2o, b. jarak dari matahari minimum 3o, atau c. umur bulan (dihitung sejak saat newmoon / ijtima’ – bulan dan matahari segaris bujur) saat matahari terbenam minimum 8 jam (Dirbinapera, 2000). Banyak ormas Islam telah menerima kriteria ini, seperti NU dan Persis. Sayangnya, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, belum bersedia menggunakan kriteria tersebut karena dianggap belum berdasarkan pertimbangan ilmiah astronomi (Wahid, 1998). Kemudian pada 4 November 2002 Persis berbalik lagi meninggalkannya dan memilih wujudul hilal. Secara astronomi, kriteria MABIMS lebih maju dari kriteria wujudul hilal dengan memasukkan faktor atmosfer dalam analisis empirik batas keberhasilan rukyatul hilal. Memang, analisisnya masih sederhana. Tetapi sebagai upaya ilmiah, hal itu wajar dan bisa diperbaiki seperti lazimnya
temuan-temuan ilmiah. Djamaluddin (2000) berupaya memperbaiki kriteria MABIMS tersebut dengan mengkaji ulang semua data rukyatul hilal di Indonesia. Secara internasional saat ini ada sekitar 13 kriteria yang biasa digunakan. Salah satunya dikembangkan oleh Mohammad Ilyas dari IICP (International Islamic Calendar Programme), Malaysia. Kriteria visibilitas hilal yang dirumuskan IICP (dengan sedikit modifikasi: bukan nilai rata-rata yang diambil sebagai kriteria, tetapi nilai minimumnya) terbagi menjadi tiga jenis, tergantung aspek yang ditinjau (Ilyas 1988, Ilyas dan Khalid-Taib 1989, Djamaluddin 1995): a. Kriteria posisi bulan dan matahari: beda tinggi bulan-matahari minimum agar hilal dapat teramati adalah 4o bila beda azimut bulan - matahari lebih dari 45o , bila beda azimutnya 0o perlu beda tinggi > 10,5o . b. Kriteria beda waktu terbenam: sekurang-kurangnya bulan 40 menit lebih lambat terbenam daripada matahari dan memerlukan beda waktu lebih besar untuk daerah di lintang tinggi, terutama pada musim dingin. c. Kriteria umur bulan (dihitung sejak ijtima'): hilal harus berumur lebih dari 16 jam bagi pengamat di daerah tropik dan berumur lebih dari 20 jam bagi pengamat di lintang tinggi. Kriteria lain yang banyak digunakan adalah kriteria Yallop yang lebih merinci tentang kemungkinan rukyat dengan alat dan tanpa alat bantu. Kriteria-kriteria tersebut secara mudah dapat diterapkan dalam program MoonCalc yang dikembangkan Dr. Monzur Ahmed yang dapat diperoleh dari internet. Salah satu contohnya diperlihatkan pada gambar berikut ini.
Salah satu kriteria dasar yang dapat digunakan yang telah ditunjukkan berdasarkan pengamatan dan model teoritik adalah limit Danjon: hilal tidak mungkin teramati bila jarak sudut bulan-matahari kurang dari 7o (Schaefer, 1991). Hal ini disebabkan oleh batas kepekaan mata manusia yang tidak mungkin melihat “tanduk” sabitnya hilal yang lebih redup dari ambang batas kepekaan mata manusia. Pada jarak sudut bulan-matahari sedikit lebih dari 7o, hilal mungkin hanya tampak sebagai goresan tipis, tanpa tanda-tanda lengkungan sabit. Bila kurang dari 7o, sama sekali mata rata-rata manusia tidak bisa menangkap cahaya hilal tersebut Konsepsi Titik Temu Tanpa banyak diketahui oleh masyarakat umum, upaya-upaya menuju titik temu itu sudah mulai dilakukan oleh masing-masing ormas tersebut. NU yang dikenal kuat mempertahankan rukyatul hilal, telah banyak berubah dengan memperkenankan penggunaan alat untuk rukyat dan mengadopsi kriteria hisab imkanur rukyat (kemungkinan rukyat) untuk menolak kesaksian rukyat yang terlalu rendah. Muhammadiyah yang dikenal kuat juga mempertahankan hisab wujudul hilal, mulai mengkaji melalui workshop yang mengundang berbagai praktisi hisab rukyat, termasuk dari NU dan Persis. Momentum yang baik ini dapat digunakan untuk melakukan redefinisi tentang hilal. Kriteria MABIMS pada awal 1990-an yang sebenarnya berpotensi mempertemukan kalangan hisab dan rukyat dalam mendefinisikan "hilal" sebenarnya telah diterima oleh hampir semua ormas Islam, kecuali Muhammadiyah. Kriteria itu telah digunakan oleh kalender nasional dan beberapa Ormas Islam. Muhammadiyah, menurut salah seorang tokoh ahli hisabnya, berkeberatan karena anggapan kriteria itu tidak ada dukungan ilmiahnya. Memang benar, kriteria tersebut berdasarkan analisis
sederhana, belum memperhitungkan beda azimut bulan – matahari seperti yang dilakukan pada kriteria astronomis. Kalau mau jujur, kriteria wujudul hilal yang saat ini digunakan Muhammadiyah juga tidak ada dukungan ilmiahnya. Kehendak untuk mendasarkan kriteria "hilal" pada dukungan ilmu pengetahuan merupakan jalan menuju titik temu. Baik Muhammadiyah maupun NU memerlukan kriteria yang ada dukungan ilmu pengetahuannya. Kriteria wujudul hilal yang dipegang Muhammadiyah (dan Persis pasca 4 November 2002 – 9 September 2004) dan kriteria imkanur rukyat 2 derajat yang dipegang NU (dan Persis pra 4 November 2002 dan pasca 9 September 2004) sama-sama harus dikaji ulang. Kita berharap Muhammadiyah, NU, dan Persis serta ormas-ormas Islam lainnya terbuka untuk mencari titik temu. Para astronom bersedia menjadi mediator dan Depag telah menyatakan akan menjadi fasilitator untuk diskusi antarormas dan pakar astronomi. Metode masing-masing ormas boleh berbeda. Namun, bila kriterianya sama dalam mendefinisikan hilal, insya Allah keputusannya bisa sama. Saudara-saudara kita yang menggunakan hisab hanya akan memutuskan masuknya tanggal bila ketinggian bulan dan syarat-syarat lainnya telah terpenuhi untuk terjadinya rukyatul hilal. Demikian juga saudara-saudara kita yang menggunakan rukyat hanya akan menerima kesaksian rukyatul hilal yang meyakinkan secara ilmiah, termasuk memenuhi syarat tinggi dan ketentuan lainnya. Secara astronomis pengertian rukyatulhilal bil fi'ili, bil ain, bil 'ilmi, atau bi qalbi, sama saja, yaitu merujuk pada kriteria imkanur rukyat atau visibilitas hilal. Kriteria bersama antara hisab dan rukyat tersebut dapat ditentukan dari analisis semua data rukyatul hilal dan dikaji dengan data hisab. Dari analisis itu dapat diketahui syarat-syarat rukyatul hilal, berupa kriteria hisab-rukyat. Kriteria itu dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para perukyat bil fi'li/bil 'ain (secara fisik dengan mata) untuk menolak kesaksian yang mungkin terkecoh oleh objek terang bukan hilal. Kriteria itu juga dapat dijadikan sebagai pedoman bagi para ahli hisab yang melakukan rukyat bil ilmi/bi qalbi (dengan ilmu atau dengan hati) untuk menentukan masuknya awal bulan. Secara astronomis, kriteria visibilitas hilal untuk hisab-rukyat telah banyak tersedia yang didasarkan pada data rukyatul hilal internasional. Namun, data rukyatul hilal Indonesia perlu juga dikaji secara astronomis dalam membuat "Kriteria Hisab Rukyat Indonesia". Sebagai titik awal, kajian oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dapat dijadikan sebagai embrio kriteria tersebut. Para ahli hisabrukyat dari semua Ormas Islam bersama para pakar astronomi dari Observatorium Bosscha/Departemen Astronomi ITB, LAPAN, Planetarium/Observatorium Jakarta, Bakosurtanal, dan lainnya secara bertahap dapat mengkaji ulang kriteria tersebut dengan bertambahnya data rukyatul hilal di Indonesia. Berdasarkan kajian astronomis yang dilakukan LAPAN terhadap data rukyatul hilal di Indonesia (1962 – 1997) yang didokumentasikan oleh Departemen Agama RI diperoleh dua kriteria "hilal" yang rumusannya disederhanakan sesuai dengan praktek hisab-rukyat di Indonesia. Awal bulan ditandai dengan terpenuhi kedua-duanya, bila hanya salah satu maka dianggap belum masuk tanggal. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Umur hilal minimum 8 jam 2. Tinggi bulan minimum tergantung beda azimut bulan – matahari. Beda Azimut
Tinggi minimum (o)
0,0
8,3
0,5
7,4
1,0
6,6
1,5
5,8
2,0
5,2
2,5
4,6
3,0
4,0
3,5
3,6
4,0
3,2
4,5
2,9
5,0
2,6
5,5
2,4
6,0
2,3
Diharapkan, sebagai titik awal, Kriteria Hisab Rukyat Indonesia menjadi kriteria baru menggantikan kriteria MABIMS yang telah ada. Pada tingkat Ormas Islam, kriteria ini diharapkan akan menggantikan kriteria yang berlaku saat ini, setelah disosialisasikan untuk difahami bersama. Untuk tingkat regional, kriteria ini dapat diusulkan sebagai kriteria MABIMS yang baru. Bila ada data rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria yang dilaporkan oleh tiga atau lebih lokasi pengamatan yang berbeda dan tidak ada objek terang (planet atau lainnya) sehingga meyakinkan sebagai hilal, maka rukyatul hilal tersebut dapat diterima dan digunakan sebagai data baru untuk penyempurnaan kriteria. Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia yang mendefinisikan "hilal" semestinya merupakan kriteria dinamis yang masih perlu disempurnakan berdasar data-data baru rukyat di Indonesia. Namun, untuk memberikan kepastian, kriteria ini diharapkan bisa berlaku dan bersifat mengikat untuk masa tertentu yang disepakati (misalnya setiap 5 tahun). Dalam hal masih terjadi perbedaan karena masalah penafsiran fikih dalam beberapa kasus (misalnya, kasus penerapan istikmal pada saat mendung padahal posisi hilal telah memenuhi kriteria dan kasus penentuan Idul Adha yang berbeda hari dengan Arab Saudi) atau ditemukannya rukyatul hilal yang lebih rendah dari kriteria, prinsip Ukhuwah Islamiyah hendaknya dikedepankan dalam mengatasi masalah ijtihadiyah ini. Fatwa MUI Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa SeIndonesia yang ditetapkan pada 16 Desember 2003 menyatakan bahwa penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah dilakukan berdasarkan metode rukyat (pengamatan hilal, bulan sabit pertama) dan hisab (perhitungan astronomi). Ini menegaskan bahwa kedua metode yang selama ini dipakai di Indonesia berkedudukan sejajar. Keduanya merupakan komplemen yang tidak terpisahkan. Masing-masing punya keunggulan, namun juga punya kelemahan kalau berdiri sendiri. Butir ke dua menyatakan bahwa seluruh umat Islam Indonesia wajib menaati ketetapan Pemerintah RI tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Butir ke dua ini sangat terkait dengan butir ke tiga bahwa dalam penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Menteri Agama wajib kerkonsultasi dengan Majelis
Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, dan instansi terkait. Dua butir fatwa ini sangat penting dan membuka jalan penyatuan hari raya Islam. Dasarnya mengacu pada perintah taat kepada pemimpin atau pemerintah (ulil amri) dalam QS 4:59, sesudah perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga hadits Nabi riwayat Bukhari yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin walaupun ia seorang budak Habsyi. Dan dalam fiqih juga dikenal kaidah bahwa keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat. Walau pun kita akui betapa kuatnya dominasi keormasan dalam kehidupan keagamaan di Indonesia, fatwa ulama di MUI semestinya tidak diabaikan. Keinginan kuat ummat untuk mendapatkan keseragaman dalam memulai shaum Ramadhan serta merayakan Idul Fitri dan Idul Adha telah diakomodasikan dengan fatwa perlunya ketaatan kepada satu otoritas, yaitu pemerintah sebagai ulil amri. Ini adalah awal untuk mempersatukan hal-hal teknis yang sekian lama sulit dipersatukan. Keterbukaan para pemimpin ormas Islam untuk mengajak anggotanya untuk menuju penyatuan sangat didambakan. Bila sebelumnya ada kesan keenganan melepaskan pendapat ormasnya dalam penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah karena terkesan mengikuti pendapat ormas lain yang tidak disetujui landasannya, semoga fatwa ini menghilangkan kesan tersebut. Kita mengikut kepada pemerintah (diwakili Menteri Agama) yang telah mengakomodasi pendapat MUI, ormas-ormas Islam, dan para pakar instansi terkait. Ketaatan tersebut juga mengikuti kaidah fiqih untuk menghilangkan perbedaan pendapat demi menjaga ukhuwah. Butir ke empat fatwa menegaskan tentang mathla' (keberlakuan rukyatul hilal) yang dianut Indonesia bahwa hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal di rukyat walau pun di luar wilayah Indonesia yang mathla'-nya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI. Ini menyatakan bahwa di mana pun ada kesaksian hilal yang mungkin dirukyat dalam wilayah hukum Indonesia (wilayatul hukmi) maka kesaksian tersebut dapat diterima. Juga kesaksian lain di wilayah sekitar Indonesia yang telah disepakati sebagai satu mathla', yaitu negara-negara MABIMS (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura). Hal ini sebenarnya telah berjalan, namun pernyataan "hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirukyat" memberi arti tidak semua kesaksian dapat diterima. Bila di suatu daerah hilal tidak mungkin terlihat karena ketinggiannya di bawah ufuk, maka kesaksian hilalnya tidak dapat diterima dan tidak boleh dijadikan pedoman. Kasus-kasus kesaksian hilal yang diterima yang sebenarnya telah di bawah ufuk, tidak boleh terulang lagi. Kedudukan rukyat dan hisab yang setara yang dinyatakan dalam butir pertama fatwa tersebut akan menjadi kontrol tidak terulangnya kasus seperti itu. Hal yang juga penting adalam fatwa tersebut adalah rekomendasi agar Majelis Ulama Indonesia mengusahakan adanya kriteria penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah untuk dijadikan pedoman oleh Menteri Agama dengan membahasnya bersama ormas-ormas Islam dan para ahli terkait. Hal-hal teknis yang membuat metode hisab dan rukyat tampak berbeda, dapat dipersatukan dengan kriteria tersebut. Hal ini perlu dijelaskan kepada anggota masing-masing ormas Islam bahwa pada dasarnya hisab dan rukyat dapat mempunyai kriteria yang sama sebagai titik temunya. Dikhotomi hisab dan rukyat dapat dihilangkan. Kriteria tersebut akan merupakan rambu-rambu bagi Menteri Agama sebelum memutuskan penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Minimal kriteria tersebut memberikan batasan rukyatul hilal yang bisa diterima dan yang sepatutnya
ditolak berdasarkan pengalaman jangka panjang, sekaligus memberi batasan untuk menentukan masuknya awal bulan dari hasil perhitungan astronomi atau hisab. Lazimnya, kriteria tersebut dinamakan kriteria imkanur rukyat (kemungkinan untuk teramatinya hilal) atau visibilitas hilal. Misalnya, hilal mungkin untuk dirukyat bila tingginya lebih sekian derajat, jarak dari matahari sekian derajat, dan umurnya sekian jam. Memang tidak mudah mengubah paradigma yang telah melekat sekian lama di kalangan anggota masing-masing ormas. Ada kesan sikap resistensi pada sebagian anggota masing-masing ormas untuk mengkritisi kriteria yang selama ini dipegang oleh ormasnya. Sikap memandang pendapat ormasnya yang unggul dan merendahkan pendapat lainnya, ternyata masih dijumpai dalam diskusi-diskusi intern ormas Islam. Namun, banyak juga yang mulai membuka diri dalam upaya mencari titik temu kriteria yang berbeda-beda tersebut. Dalam kaitan inilah, Majelis Ulama Indonesia bersama Departemen Agama perlu mengupayakan muktamar bersama ormas Islam yang keputusannya mengikat semua pihak. Ada indikasi musyawarah terbatas perwakilan ormas Islam tidak berdampak kepada perubahan di masing-masing ormas, karena satu-dua wakil akan berhadapan dengan resistensi anggota yang lebih besar. Walau pun masih ada kendala aturan organisatoris dalam menerapkan secara langsung hasil muktamar bersama, namun dengan banyaknya perwakilan daerah yang dilibatkan akan lebih mudah menghilangkan resistensi dalam muktamar atau munas masing-masing ormas. Penutup Energi ummat Islam yang telah tersita untuk memperdebatkan masalah hisab rukyat selama ratusan tahun kita cukupkan sampai sekian saja. Masih banyak masalah yang lebih mendesak untuk diselesaikan dalam era globalisasi saat ini. Kita fokuskan pemikiran kita dalam masalah hisab rukyat untuk mencari titik temu. Perlu reorientasi upaya ijtihadiyah kita dari "mencari kebenaran relatif ijtihadiyah" menjadi "menuju titik temu bersama". Memang, ada rasa tenteram ketika kita mengamalkan hasil ijtihad yang dianggap paling meyakinkan. Namun, meninggalkan "kebenaran relatif ijtihadiyah" kita sendiri untuk mengambil hasil ijtihad lain demi menjaga ukhuwah bukanlah tindakan berdosa. Sebab Islam mengajarkan tidak ada dosa bagi kesalahan ijtihadiyah. Departemen Agama diharapkan bisa memfasilitasi percepatan upaya mendapatkan titik temu. Tawaran definisi "hilal" berdasarkan kajian LAPAN sebagai lembaga penelitian antariksa adalah usulan murni ilmiah dengan mempertimbangkan batasan syariat. Ini adalah tawaran bagi semua ormas Islam di Indonesia untuk samasama maju menujuk titik temu. Setidaknya sebagai titik awal untuk melakukan redefinisi tentang hilal yang mempertemukan semua metode hisab dan rukyat yang seringkali berbeda-beda keputusannya. Upaya sinergis antara ormas Islam (yang diharapkan terwujud dalam bentuk rekomendasi munas), Departemen Agama, dan para pakar astronomi sangat memungkinkan titik temu dapat tercapai menjelang 2005. Bila itu terjadi, seusai "masa tenang" (posisi bulan-matahari tidak kritis yang menyebabkan perbedaan) beberapa tahun mendatang ini tidak lagi diwarnai perbedaan di Indonesia. Kalau pun ada perbedaan, mungkin bersumber dari luar, terutama Arab Saudi, yang secara pertahap diselesaikan berdasarkan keutamaan menjaga ukhuwah dalam lingkungan terdekat.