HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak Dari penghitungan yang telah dilakukan pada Lampiran 3, diketahui bahwa untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung dari 50.4 cP, agar mendekati viskositas minyak tanah sebesar 5 cP (Couper et al. 2005), maka dibutuhkan pemanasan 990 oC di sepanjang pipa dengan menggunakan pipa berdiameter 0.25 inci sepanjang 25 cm. Selanjutnya, pipa ini dibentuk menjadi koil sebanyak 2 lilitan. Hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak ditampilkan pada Gambar 19 dan 20. 25
Viskositas (cP)
20 15 10 5 0 0
30
60
90 Suhu
120
150
180
(oC)
Gambar 19 Grafik pendugaan penurunan nilai viskositas terhadap suhu
Viskositas (cP)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
Panjang pipa (cm)
Gambar 20 Grafik pendugaan penurunan nilai viskositas terhadap panjang pipa pemanas
42
Dari Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa viskositas akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan bertambah panjangnya pipa pemanas. Bentuk grafik penurunan viskositas terhadap suhu ini juga serupa dengan hasil eksperimental yang dilakukan oleh Rabelo et al. (2000) pada percobaannya dengan menggunakan beberapa jenis asam lemak seperti yang ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21 Viskositas dinamik beberapa jenis asam lemak (Rabelo et al. 2000) Dari hasil perhitungan, viskositas menurun dengan cepat pada tahap awal pemanasan, yaitu pada rentang suhu 44-75 oC. Selanjutnya penurunan viskositas terjadi dengan lambat. Hal ini disebabkan karena saat minyak dipanaskan, maka akan mengakibatkan pergeseran jarak molekul dalam minyak menjadi lebih besar sehingga volume minyak tersebut bertambah. Namun ketika minyak dipanaskan lebih lanjut, pergeseran molekul minyak sudah berada pada jarak yang maksimum sehingga sulit untuk meregangkan jarak menjadi lebih besar lagi. Akibatnya penurunan viskositas pun terjadi dengan lebih lambat. Dalam penelitian ini tidak dilakukan validasi nilai viskositas minyak nyamplung yang telah terpanaskan melalui burner pipa koil pemanas minyak. Validasi hasil perhitungan pendugaan yang dilakukan hanya pada suhu minyak yang keluar dari nosel, dan juga dibandingkan dengan hasil pengujian karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah. Data sekunder hasil penelitian penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) pada Tabel 5 dibutuhkan untuk proses menghitung simulasi penurunan nilai
43
viskositas minyak nyamplung tiap 1 cm pertambahan panjang pipa koil pemanas minyak. Proses perhitungan simulasi penurunan nilai viskositas minyak nyamplung tiap 1 cm pertambahan panjang pipa koil pemanas minyak dijelaskan pada Lampiran 3. Nilai viskositas terhadap peningkatan suhu hasil penelitian Wahyudi (2010) ini adalah nilai viskositas minyak dalam satuan cetistokes. Sementara satuan viskositas yang dipakai dalam penelitian ini adalah centipoises. Sehingga untuk mengubah satuan centistokes menjadi centipoises, maka dibutuhkan data pengukuran
nilai
densitas
terhadap
peningkatan
suhu
pada
penelitian
pendahuluan. Data sekunder penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) dan hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Data sekunder penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) dan hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan No.
Suhu (oC)
1 2 3 4 5
30 50 70 90 110
Viskositas (cSt) (Wahyudi 2010) 56 28 18 9 5
Densitas (g/ml) (Penelitian Pendahuluan) 0.915 0.911 0.905 0.896 0.890
Uji Profil Penyemprotan Minyak Nyamplung Uji penyemprotan minyak nyamplung dilakukan untuk mengetahui profil sebaran semprotan dari minyak nyamplung tersebut, baik dalam kondisi suhu ruang maupun setelah pemanasan. Tekanan pada tangki bahan bakar yang digunakan adalah sebesar 2 bar. Pada pengujian ini, minyak tanah digunakan sebagai kontrol. Sebelum minyak nyamplung disemprotkan, minyak terlebih dahulu dipanaskan pada beberapa tingkat suhu. Hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, menunjukkan bahwa viskositas minyak nyamplung akan setara dengan minyak tanah pada suhu minyak 161.81 oC. Oleh karena itu, profil penyemprotan minyak nyamplung kemudian diambil dari keadaan suhu ruang hingga suhu pemanasan
44
mencapai 161.81 oC. Profil penyemprotan diambil pada tiap interval suhu 20 oC. Perbandingan hasil profil penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah ditampilkan pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22 Perbandingan profil penyemprotan (a) minyak nyamplung pada suhu 150 oC, dan (b) minyak tanah pada suhu ruang Pada pengujian ini, minyak tanah yang digunakan sebagai kontrol memiliki diameter penyemprotan rata-rata atau equivalent cellular diameter sebesar 66.75 mm pada suhu ruang. Sedangkan minyak nyamplung memiliki diameter penyemprotan rata-rata sebesar 65.67 mm pada suhu 150 oC. Diameter hasil penyemprotan ini meningkat dengan bertambahnya suhu pemanasan. Jika dibandingkan dengan hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, profil penyemprotan minyak nyamplung akan setara dengan minyak tanah pada suhu pemanasan 161.81 oC, yaitu ketika viskositas minyak nyamplung mendekati nilai viskositas minyak tanah. Hal ini bisa saja terjadi mengingat penurunan viskositas dari suhu 150 oC menuju 161.81 oC tidak terjadi penurunan yang terlalu signifikan, yaitu dari 5.50 cP menuju ke 5.34 cP. Grafik hubungan diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu ditampilkan pada Gambar 23 dan 24. Besarnya peningkatan diameter semprotan terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan d = 0.435T + 2.552, dengan koefisien determinan sebesar 0.961. Sudut hasil penyemprotan juga berbanding lurus dengan hasil diameter penyemprotan. Sudut penyemprotan minyak tanah sebagai kontrol adalah 12.69o
45
pada suhu ruang, sedangkan sudut penyemprotan minyak nyamplung adalah 12.49o pada suhu 150 oC. Besarnya peningkatan sudut semprotan terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan θ = 0.082T + 0.51, dengan koefisien
Diameter semprotan (mm)
determinan sebesar 0.961. 80 60 40
d = 0.435T + 2.552 R² = 0.961
20 0 0
30
60
90
120
150
180
Suhu (oC)
Minyak nyamplung
Minyak tanah
Gambar 23 Grafik hubungan diameter semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu
Sudut semprotan (o)
15
10 θ = 0.082T + 0.51 R² = 0.961
5
0 0
30
60
90
120
150
180
Suhu (oC) Minyak nyamplung
Minyak tanah
Gambar 24 Grafik hubungan sudut semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu Dari Gambar 23 dan 24 di atas terlihat bahwa besar diameter dan sudut penyemprotan bertambah dengan meningkatnya suhu pemanasan minyak. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya suhu maka akan semakin menurunkan nilai viskositas, yang juga menyebabkan turunnya nilai tegangan permukaan dan
46
densitas minyak (Sunandar 2010). Menurut Ing et al. (2010), tingkat kekentalan minyak (viskositas), tegangan permukaan, dan densitas adalah tiga sifat fluida yang berpengaruh dalam pembentukan butir semprotan (droplet). Graco (1995) menyatakan bahwa viskositas memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butir semprotan (droplet) seperti pada tegangan permukaan dan densitas. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan, dan mengarah ke ukuran droplet yang rata-rata lebih besar (Graco 1995). Viskositas, tegangan permukaan, dan densitas sendiri dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu, maka nilai viskositas, tegangan permukaan, dan densitas akan semakin menurun. Sehingga dengan semakin menurunnya nilai
viskositas,
tegangan permukaan, dan densitas
maka
pembentukan droplet yang terjadi akan lebih kecil. Dengan demikian maka hasil penyemprotannya akan menghasilkan rentang besar butir yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh penelitian Ing et al. (2010) pada penelitian karakteristik penyemprotan campuran biofuel kelapa sawit, dimana besarnya diameter droplet akibat pengaruh viskositas mengikuti persamaan y = 9654x + 45. Besarnya diameter droplet akibat pengaruh densitas mengikuti persamaan y = 1.278x – 982.8. Sedangkan besarnya diameter droplet akibat pengaruh tegangan permukaan mengikuti persamaan y = 30281x – 835.5. Hubungan ketiga sifat minyak ini dengan pembentukan diameter droplet ditampilkan pada Gambar 25, 26, dan 27.
Gambar 25 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan viskositas (Ing et al. 2010)
47
Gambar 26 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan densitas (Ing et al. 2010)
Gambar 27 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan tegangan permukaan (Ing et al. 2010) Peristiwa perubahan viskositas terhadap suhu dapat dijelaskan dengan teori termodinamika yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu fluida, molekul fluida akan bergerak cepat sehingga secara makro akan meningkatkan tekanan. Jika tidak terdapat batas pada materi tersebut, maka materi akan mengembang dan memperlebar jarak antar molekulnya. Jarak antar molekul yang lebar akan mengakibatkan kerapatan (densitas) dan viskositas semakin menurun (Annamalai et al. 2002). Penurunan viskositas terhadap suhu ini dibuktikan oleh penelitian Sunandar (2010) pada pengujian sifat termofisik minyak kelapa (Gambar 28a), dan Murni (2010) pada pengujian pengaruh suhu terhadap viskositas biodiesel kelapa sawit dan solar (Gambar 29). Menurut hasil peneltian Sunandar (2010), besarnya
48
penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu mengikuti persamaan μ = -0.545T + 46.35, seperti ditampilkan pada Gambar 28a. Secara empiris, penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu ini juga
didukung
oleh
Steffe
(1992)
pada
persamaan
model
Arhenius,
( ), dimana dari persamaan ini dapat dilihat bahwa dengan bertambah besarnya nilai suhu (T), maka nilai viskositasnya akan menjadi lebih kecil. Bird et al. (1960) pada persamaan
̃ ̃
juga memperlihatkan
penurunan eksponensial viskositas terhadap suhu, yang sudah banyak terbukti untuk beberapa cairan yang umum ditemukan.
(a)
(b)
Gambar 28 Grafik penurunan nilai (a) viskositas, dan (b) densitas minyak kelapa terhadap peningkatan suhu (Sunandar 2010)
Gambar 29 Grafik penurunan nilai viskositas terhadap suhu pada biodiesel kelapa sawit dan solar (Murni 2010)
49
Menurut Graco (1995), densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Kenaikan suhu mengakibatkan bergesernya jarak molekul dalam minyak menjadi lebih besar, sehingga akibat bertambahnya jarak antar molekul, jumlah molekul yang mengisi satu satuan volume menjadi lebih kecil sedangkan volumenya menjadi lebih besar. Dengan bertambah besarnya volume dan merujuk persamaan
, maka angka densitas akan menjadi lebih kecil. Penurunan
densitas terhadap suhu juga dibuktikan oleh penelitian Sunandar (2010) pada pengujian sifat termofisik minyak kelapa, dimana besarnya penurunan densitas terhadap peningkatan suhu mengikuti persamaan ρ = -0.01 ln (T) + 1.023, seperti ditampilkan pada Gambar 28b. Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan dan mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi. Umumnya ketika terjadi kenaikan suhu, nilai tegangan permukaan mengalami penurunan. Turunnya nilai tegangan permukaan juga akan memperkecil pembentukan ukuran droplet (Tolman 1949). Semakin kecil ukuran droplet maka sebaran semprotannya akan semakin melebar. Grafik penurunan nilai tegangan permukaan minyak kelapa dan beberapa minyak lainnya terhadap peningkatan suhu ditampilkan pada Gambar 30.
Gambar 30 Grafik penurunan tegangan permukaan beberapa jenis minyak terhadap peningkatan suhu (Sunandar 2010) Penurunan nilai tegangan permukaan terhadap peningkatan suhu ini disebabkan karena ketika suhu meningkat, molekul cairan bergerak semakin cepat sehingga pengaruh interaksi antar molekul cairan berkurang. Akibatnya nilai
50
tegangan permukaan juga mengalami penurunan. Hal ini didukung secara empiris oleh Gennes et al. (2002), dimana tegangan permukaan cairan sebagai fungsi suhu mengikuti
persamaan
̃
(
).
Sedangkan
menurut
penelitian
Sunandar (2010), besarnya penurunan angka tegangan permukaan dari minyak kelapa mengikuti persamaan γ = -5E-05T + 0.041 (Gambar 30). Menurut Abdullah (2010), untuk mendapatkan kualitas butiran droplet yang lebih halus dapat juga dilakukan dengan menambah tekanan injeksi penyemprotan pada tangki bahan bakar. Tekanan injeksi yang lebih tinggi akan menghasilkan proses atomisasi yang lebih baik, seperti ditampilkan pada hasil penyemprotan minyak canola pada Gambar 31.
Gambar 31 Hasil penyemprotan minyak nabati canola murni dan perbesaran gambar droplet pada tekanan injeksi yang berbeda (Ti = 700 K, t = 0.5 ms) (Abdullah 2010) Modifikasi Burner Pipa Koil Pemanas Minyak Pada tahap modifikasi ini telah dilakukan perancangan ulang burner kompor bertekanan yang semula digunakan untuk bahan bakar minyak tanah. Burner minyak tanah berfungsi sebagai saluran bahan bakar dan tempat terjadinya proses pembakaran minyak. Burner minyak tanah tidak memiliki fungsi sebagai elemen pemanas karena pengabutan minyak tanah sendiri sudah dapat terjadi dengan baik
51
pada suhu ruang. Minyak tanah dapat langsung terbakar setelah teratomisasi dari nosel. Sedangkan pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai burner dan elemen pemanas minyak untuk menurunkan viskositas. Minyak nyamplung tidak dapat digunakan langsung pada kompor bertekanan dengan burner minyak tanah. Hal ini disebabkan karena burner jenis ini tidak memiliki fungsi pemanasan awal minyak. Jika minyak nyamplung digunakan langsung pada kompor bertekanan dengan burner yang belum dimodifikasi, maka minyak tidak dapat teratomisasi dan terbakar dengan baik akibat tingginya nilai viskositas minyak. Viskositas menjadi hal yang penting dalam sistem kompor bertekanan. Jika viskositas tinggi, maka tahanan untuk minyak mengalir pun tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena kualitas atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas, dimana nilai viskositas ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Ketika suhu minyak meningkat, maka nilai viskositasnya akan turun. Oleh karena itu burner kompor bertekanan termodifikasi ini juga memliki fungsi sebagai elemen pemanas minyak, sehingga dapat menurunkan nilai viskositas agar tercapai viskositas yang diinginkan untuk minyak dapat teratomisasi dan terbakar dengan baik. Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ini memiliki tinggi 10 cm. Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ditampilkan pada Gambar 32. Sedangkan gambar skematis modifikasi kompor bertekanan sebelum dan setelah modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12.
10 cm
Gambar 32 Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi
52
Pipa koil pemanas minyak hasil rancangan memiliki dimensi keseluruhan 15 x 8 x 8 cm. Gambar hasil rancangan pipa koil pemanas minyak ditampilkan pada Gambar 33. Pipa yang digunakan adalah jenis pipa besi mild steel dengan panjang keseluruhan 50 cm, diameter 0.25 inci, dan ketebalan pipa 1 mm. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, panjang pipa yang dibutuhkan untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung agar mendekati nilai viskositas minyak tanah adalah sepanjang 25 cm. Pada proses perhitungan pendugaan panjang pipa, kondisi pipa yang digunakan adalah pipa lurus. Sedangkan pada tahap pembuatan, pipa lurus ini akan dirancang berbentuk koil. Pada rancangan pipa koil pemanas minyak ini, nosel tempat keluarnya minyak akan berada pada bagian pusat dari panjang pipa keseluruhan. Sehingga panjang pipa koil pemanas minyak dirancang dua kali dari panjang pipa hasil pendugaan, yaitu 50 cm. Dengan demikian, maka nosel tetap akan berada pada posisi titik 25 cm dari pangkal pipa koil pemanas. Dengan kata lain, minyak yang melewati pipa koil pemanas, baik dari saluran masuk minyak sebelah kiri maupun kanan pipa koil pemanas, tetap akan terpanaskan sepanjang 25 cm sebelum akhirnya keluar melalui nosel.
Piringan penyebar nyala api
Nosel
Pipa koil pemanas minyak
Mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal
Gambar 33 Hasil rancangan elemen pipa koil pemanas minyak Lubang nosel tempat keluarnya minyak yang akan dibakar memiliki diameter 0.5 mm. Diameter nosel ini diadaptasi dari diameter nosel pada burner kompor bertekanan sebelum modifikasi. Pada bagian dasar pipa koil pemanas
53
terdapat mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal. Mangkuk ini dapat menampung minyak yang digunakan sebagai starter sebanyak 54 ml. Diameter mangkuk ini adalah 8 cm. Pipa koil pemanas minyak ini juga dilengkapi dengan piringan penyebar nyala api yang diletakan pada bagian tengah atas lingkaran pipa koil pemanas minyak. Piringan penyebar nyala api ini berfungsi untuk memperluas sebaran nyala api hasil pembakaran agar api dan alat masak memiliki luas permukaan kontak pindah panas yang semakin besar. Dengan demikian, maka panas yang diterima oleh alat masak akan tersebar lebih merata. Elemen pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi ini digunakan sebagai pengganti burner pada kompor bertekanan yang biasanya menggunakan bahan bakar minyak tanah. Pada pipa koil pemanas minyak ini terdapat mur pada bagian pangkalnya. Mur ini berfungsi sebagai penghubung antara pipa koil pemanas dengan saluran minyak kompor yang sebelumnya merupakan tempat dimana burner kompor awal dipasang. Gambar hasil rancangan pipa pemanas minyak yang telah dipasang pada kompor bertekanan ditampilkan pada Gambar 34.
(a)
(b)
Gambar 34 Elemen pipa koil pemanas minyak (a) setelah dipasang pada kompor bertekanan, (b) kompor lengkap dengan dudukan alat masak Mekanisme kerja kompor bertekanan termodifikasi ini adalah dengan menekan minyak di dalam tangki bahan bakar melalui pemompaan. Pemompaan ini biasanya dilakukan dengan pompa tangan atau pompa udara manual, sehingga tekanan di dalam tangki bahan bakar lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan
54
udara lingkungan. Setelah keran bahan bakar dibuka, maka minyak akan mengalir mengisi pipa koil pemanas minyak untuk selanjutnya dipanaskan dan terjadi penurunan viskositas. Sedangkan pada burner konvensional, minyak langsung mengalir menuju nosel tanpa ada pemanasan awal terlebih dahulu. Karena adanya penurunan tekanan dari tangki bahan bakar menuju lingkungan, maka cairan minyak mengalir keluar menuju lingkungan melalui nosel dan pecah secara pneumatik menjadi bentuk butiran-butiran halus (droplet) akibat viskositas minyak yang rendah setelah proses pemanasan awal sebelum minyak disemprotkan pada nosel. Droplet ini kemudian terpanaskan oleh nyala api pembakaran pada burner, dan terjadi penguapan minyak pada permukaan droplet akibat proses perpindahan panas dari nyala api. Cairan minyak yang telah menguap dan berada dalam fase gas ini kemudian bercampur dengan udara ambien untuk selanjutnya terbakar dan menjadi pemanas minyak selanjutnya. Mekanisme kerja kompor bertekanan sebelum dan setelah modifikasi adalah sama. Perbedaan hanya terletak pada proses pemanasan awal minyak. Pada kompor bertekanan sebelum modifikasi tidak ada proses pemanasan awal minyak. Seperti hal nya pada kompor bertekanan termodifikasi, aliran minyak yang terjadi pada kompor bertekanan sebelum modifikasi ini adalah akibat perbedaan tekanan pada tangki bahan bakar dan lingkungan. Tekanan di dalam tangki bahan bakar lebih tinggi daripada tekanan udara lingkungan. Sehingga setelah keran bahan bakar dibuka, maka minyak akan mengalir menuju tekanan udara lingkungan yang lebih rendah melalui nosel. Minyak yang mengalir dari tangki bahan bakar kemudian masuk ke saluran minyak pada burner, dan langsung mengalir menuju nosel. Karena adanya perubahan tekanan secara tiba-tiba, maka cairan minyak yang keluar dari nosel pecah secara pneumatik menjadi droplet. Sementara mangkuk bahan bakar pada burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ini hanya ditujukan sebagai wadah minyak yang digunakan sebagai starter api pembakaran awal. Uji Fungsional Pipa Koil Pemanas Minyak Hasil Modifikasi Uji fungsional pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi bertujuan untuk melakukan validasi suhu yang keluar dari nosel setelah dipanaskan melewati elemen pipa koil pemanas. Ada dua kondisi pengambilan data suhu pada nosel,
55
yaitu pada kondisi api kompor menyala dan sesaat setelah api kompor dipadamkan seperti ditampilkan pada Gambar 35 dan 36.
Posisi pengukuran
(a)
(b)
Gambar 35 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel saat api menyala (a) kondisi pengukuran yang baik, (b) kondisi pengukuran yang terganggu
Gambar 36 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel sesaat setelah api padam Dari pengujian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa rata-rata suhu minyak pada nosel dengan kondisi pengukuran saat api kompor menyala adalah 168.50 o
C. Suhu rata-rata minyak pada nosel dengan kondisi pengukuran sesaat setelah
api kompor dipadamkan adalah 164.70
o
C. Sedangkan suhu minyak hasil
56
pendugaan adalah 161.81 oC. Hasil pengukuran suhu dibandingkan dengan hasil pendugaan suhu ditampilkan pada Gambar 37.
180
Suhu (oC)
150 120 90 60 30 0 Kondisi pengambilan data Pengukuran suhu saat api menyala
Pengukuran suhu saat api padam
Pendugaan suhu minyak
Gambar 37 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel Sazhin et al. (2005) menyatakan bahwa pembakaran spontan dipengaruhi oleh temperatur bahan bakar. Menurut Murni (2010), pemanasan bahan bakar akan meningkatkan suhu bahan bakar dan mengakibatkan penurunan viskositas. Bahan bakar dengan viskositas rendah akan teratomisasi dengan lebih baik sehingga menghasilkan butiran yang lebih kecil. Dengan kondisi seperti ini maka proses pencampuran bahan bakar dengan udara akan lebih homogen sehingga pada proses pembakaran, bahan bakar yang terbakar akan menjadi lebih banyak. Diameter butiran
droplet
juga mempengaruhi
waktu
pembakaran.
Pembakaran sendiri adalah reaksi kimia yang cepat antara oksigen dan bahan yang dapat terbakar, disertai timbulnya cahaya dan menghasilkan kalor. Pembakaran spontan adalah pembakaran dimana bahan mengalami oksidasi perlahan-lahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak dilepaskan, akan tetapi dipakai untuk menaikkan suhu bahan secara pelan-pelan sampai mencapai suhu nyala. Proses pembakaran pada butiran droplet sendiri terjadi dalam tiga tahapan, yaitu pemanasan butiran, penguapan butiran, dan pembakaran butiran (Murni 2010). Pada temperatur yang sama, diameter bintik yang terkecil mempunyai waktu tunda penyalaan (ignition delay times) paling cepat, atau dapat dikatakan bahwa bila semprotan bahan bakar dari nosel dapat berbentuk butiran yang kecil maka
57
waktu pembakaran yang terjadi akan semakin cepat (Warnatz et al. 2006). Sementara butiran semprotan yang lebih besar akan lama terbakar, atau tidak terbakar sama sekali karena jatuh mengikuti gravitasi sebelum sempat terbakar. Waktu tunda penyalaan droplet dijelaskan oleh Warnatz et al. (2006) pada waktu tunda penyalaan untuk droplet metanol dalam udara panas pada Gambar 38.
Gambar 38 Waktu tunda penyalaan untuk droplet metanol dalam udara panas (hubungan temperatur gas dan ukuran diameter droplet) (dari 10 µm sampai 100 µm) (Warnatz et al. 2006) Dengan viskositas yang lebih rendah, maka akan menghasilkan rentang besar butir semprotan yang lebih besar dan pembakarannya menjadi lebih baik. Pemanasan awal minyak nyamplung dengan tujuan untuk menaikkan suhu minyak dan menurunkan viskositasnya agar mendekati nilai viskositas minyak tanah ini diharapkan dapat menghasilkan kualitas pembakaran yang lebih baik. Dengan demikian proses pemanasan awal minyak melalui pipa koil pemanas akan berjalan berkesinambungan. Secara keseluruhan, kompor bertekanan dengan elemen pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi ini telah dapat beroperasi dengan baik. Tetapi karena karakter minyak nyamplung yang mengandung banyak getah dan sulit untuk dihilangkan, maka terkadang masih terjadi penyumbatan gum pada nosel, seperti ditampilkan pada Gambar 39. Gum ini akan mengganggu stabilitas aliran minyak di tahap selanjutnya (Zin 2006). Gum merupakan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Senyawa organo-fosfor
58
kompleks atau biasa disebut fosfolipid (fosfatida) pada gum harus dihilangkan karena akan menjadi pengemulsi yang kuat pada minyak (Kim et al. 2002). Penyumbatan gum pada nosel ini menyebabkan kualitas pembakarannya menjadi kurang baik. Api yang dihasilkan terlihat seperti meledak-ledak, yang disebabkan oleh minyak yang tersendat-sendat aliran keluarnya oleh gum pada nosel, sehingga nosel harus dibersihkan secara rutin.
Gum
Gambar 39 Penyumbatan oleh gum pada nosel Gum yang terkandung pada minyak nyamplung tidak hanya mengganggu stabilitas aliran minyak pada proses pembakaran, tetapi juga menyebabkan pengerakan pada dinding dalam pipa dan penyumbatan pada nosel. Minyak nyamplung tidak hanya mengandung gum yang tersuspensi, tetapi juga mengandung gum yang terlarut. Setelah pemakaian berulang-ulang, gum yang terlarut pada minyak nyamplung menyisakan kerak yang menempel pada permukaan dalam pipa dan menyebabkan terjadinya penyempitan diameter pipa. Penggunaan jangka panjang tanpa pembersihan secara rutin dapat menyebabkan penyumbatan oleh kerak gum secara menyeluruh pada pipa koil pemanas minyak, sehingga minyak tidak dapat mengalir lagi. Gum juga menyebabkan penyumbatan nosel dari permukaan dalam pipa. Kondisi ini tentu saja merugikan karena sulitnya proses untuk membersihkan gum tersebut sehingga terkadang pipa koil pemanas minyak menjadi tidak dapat terpakai lagi.
59
Selain penyumbatan yang disebabkan oleh gum, pengerakan dan penyumbatan juga dapat disebabkan oleh polimerisasi minyak. Sama seperti hal nya dengan minyak goreng yang dipanaskan berulang-ulang dan menjadi minyak jelantah, maka minyak nyamplung yang dipanaskan berulang-ulang juga akan mengalami
kerusakan.
Kerusakan
minyak
akibat
pemanasan
ini
akan
mempengaruhi kualitas minyak, pembakaran, dan berkontribusi juga terhadap penyumbatan. Pada proses pemanasan minyak secara berulang-ulang akan menyebabkan terbentuknya polimerisasi adisi dari asam lemak tak jenuh, sehingga membentuk senyawa polimer yang menyerupai gum yang mengendap dan menempel pada dinding, serta mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas minyak (Ketaren 1986). Minyak yang telah mengalami pemanasan berulang-ulang akan bersifat lebih kental, mempunyai asam lemak bebas yang tinggi, serta berwarna cokelat kehitaman. Kenaikan viskositas minyak disebabkan oleh pembentukan polimer akibat pemanasan. Semakin sering minyak dipakai, maka viskositas, densitas, dan asam lemak bebas akan meningkat, warna semakin pekat, dan mutu minyak semakin rendah (Winarni et al. 2010). Atas dasar ini maka tidak disarankan untuk melakukan pemanasan awal minyak pada wadah tertentu sebelum digunakan. Pemanasan minyak sebaiknya dilakukan hanya untuk minyak yang ingin dibakar saja. Pemanasan minyak pada tangki bahan bakar akan beresiko menyebabkan kerusakan fisiko kimiawi minyak akibat terjadinya polimerisasi minyak. Selain itu, pemanasan awal minyak pada tangki menggunakan heater, seperti yang dilakukan pada uji profil penyemprotan, akan menambah biaya dan energi listrik. Pemanasan minyak yang dilakukan pada kompor bertekanan termodifikasi ini hanya terjadi pada minyak yang mengalir menuju burner pipa koil pemanas minyak saja, sedangkan minyak pada tangki bahan bakar tidak ikut dipanaskan. Namun minyak yang telah terpanaskan pada burner pipa koil pemanas minyak ini tidak semuanya mengalir dan terbakar pada nosel. Minyak yang telah terpanaskan sebagian ada juga yang mengalir kembali ke dalam tangki bahan bakar. Di satu sisi kondisi ini menguntungkan karena dapat meningkatkan suhu input minyak menuju burner pipa koil pemanas minyak, dengan demikian minyak yang nantinya mengalir akan memiliki suhu yang lebih tinggi dan viskositas yang lebih
60
rendah dari target teknis. Tetapi di sisi lain minyak yang telah terpanaskan dan kembali menuju tangki bahan bakar ini sebagian sudah rusak akibat terjadi polimerisasi minyak, sehingga berpotensi untuk terjadi pengerakan senyawa polimer yang menyerupai gum pada dinding ketika suhu minyak dan kompor sudah kembali normal. Untuk mengurangi pengerakan di dalam pipa koil pemanas minyak dan terjadinya penyumbatan pada nosel ini, maka sebaiknya pemadaman api pada kompor bertekanan termodifikasi dilakukan dengan cara membuang tekanan pada tangki bahan bakar terlebih dahulu hingga tekanannya setara dengan tekanan udara ambien. Dengan demikian maka minyak akan turun kembali menuju tangki bahan bakar dan dapat menghindari terperangkapnya minyak pada pipa koil pemanas minyak. Jika minyak dibiarkan terperangkap di dalam pipa koil pemanas minyak, setelah suhu minyak turun, maka gum dan polimer pada minyak yang tersuspensi kemudian menempel pada dinding dalam pipa, membentuk kerak dan menyebabkan penyempitan diameter pipa serta penyumbatan pada nosel. Kondisi yang salah dalam proses pemadaman nyala api pada kompor bertekanan juga akan menyebabkan resiko penebalan kerak pada dinding dalam pipa menjadi lebih cepat. Kondisi pemadaman nyala api yang tidak dianjurkan adalah dengan cara menutup keran bahan bakar terlebih dahulu untuk menghentikan tekanan dari tangki menuju nosel. Pada kondisi seperti ini maka minyak akan tertahan pada pipa koil pemanas minyak hingga waktu kompor digunakan kembali. Jika kondisi ini dibiarkan, maka setelah beberapa kali pemakaian kerak yang terbentuk akan semakin menebal. Disarankan juga untuk membersihkan pipa koil pemanas minyak sebelum menyalakan kompor. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kerak di dalam pipa, dan mengantisipasi terjadinya penyumbatan nosel. Pembersihan pipa koil pemanas minyak dapat dilakukan dengan menggunakan kabel sling yang lentur dengan cara memasukan kabel sling tersebut kedalam pipa koil pemanas minyak. Kabel sling ini akan mendorong kotoran yang tertinggal didalam pipa koil pemanas minyak. Sedangkan untuk membersihkan lubang nosel dapat dilakukan dengan menggunakan penitik nosel. Hasil pengujian menunjukan api hasil pembakaran cenderung berwarna kuning kemerahan. Hal ini berkaitan dengan kualitas bahan bakar dan seberapa
61
banyak oksigen yang mampu tersedia dan tercampur dengan baik pada proses pembakaran semprot. Hal ini sesuai dengan Hukum Ficks yang menyatakan bahwa laju perpindahan massa oksigen ke dalam molekul bahan bakar dipengaruhi oleh luas bidang kontak dan gradien konsentrasinya (Haryanto 2005). Oksigen yang banyak menyebabkan nyala api berwarna biru, sedangkan oksigen yang terbatas menyebabkan nyala berwarna kuning. Api berwarna merah atau kuning menghasilkan suhu dibawah 1000 oC (http://en.wikipedia.org ). Untuk dapat bercampur dengan oksigen dengan baik, maka bahan bakar harus berada dalam fase gas, sehingga minyak yang disemprotkan akan mengalami fase penguapan dan tercampur dengan oksigen untuk kemudian dapat terbakar. Besarnya butir semprotan yang dihasilkan mempengaruhi fase pemanasan droplet untuk kemudian terjadi penguapan dan terbakar. Sementara itu di bawah pengaruh panas, sebagian minyak yang tidak terbakar terurai, antara lain menjadi partikel-partikel karbon yang sangat kecil. Panas dari pembakaran menyebabkan partikel-partikel karbon membara dan berpendar dengan cahaya berwarna kuning. Minyak nyamplung sendiri tersusun atas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang berantai karbon panjang (Balitbang Kehutanan 2008). Minyak nyamplung bahkan memiliki asam lemak dengan rantai karbon yang lebih panjang daripada minyak sawit dan jarak pagar (Towaha 2010). Oleh karena itu warna nyala api yang dihasilkan adalah kuning. Di pihak lain, kompor yang mengunakan bahan bakar gas tidak memerlukan proses penguapan bahan bakar. Cara ini memudahkan bahan bakar bercampur dengan
udara
sebanyak-banyaknya,
sehingga
reaksi
pembakaran
dapat
berlangsung dengan cepat. Karena bahan bakar disini terbakar hampir seluruhnya, maka nyala yang dihasilkan jauh lebih panas. Nyala api juga jernih dan transparan karena tidak dikotori oleh partikel-partikel karbon. Tetapi ketika bahan bakar gas diberi tambahan karbon, maka warna nyala apinya akan berubah menjadi kuning dan kecepatan pembakarannya juga menurun. Pengaruh penambahan karbon terhadap perubahan warna nyala api ini didukung oleh penelitian lminnafik (2010) pada percobaan penambahan CO2 pada pembakaran campuran LPG dan udara. Hasil penelitian Iminnafik (2010) menjelaskan bahwa pembakaran stoikiometri LPG dan udara tanpa penambahan CO2 akan menghasilkan api
62
berwarna biru, dan api berubah menjadi kekuningan setelah campuran ditambahkan CO2 sebesar 20%. Penambahan CO2 menyebabkan warna api cenderung kekuningan yang menunjukkan pembakaran tidak sempurna yaitu sebagian karbon tidak terbakar. Hasil penambahan CO2 pada campuran LPG dan udara juga akan berpengaruh terhadap kecepatan pembakaran. Meski selisih tidak terlalu signifikan, tetapi secara umum terlihat penambahan CO2 mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecepatan pembakaran. Perubahan warna nyala api akibat penambahan CO2 pada campuran LPG dan udara, serta penurunan kecepatan pembakaran akibat penambahan CO2 ditampilkan pada Gambar 40 dan 41.
Gambar 40 Pembakaran campuran LPG dan udara dengan penambahan 20% CO2 (Iminnafik 2010)
Gambar 41 Perbandingan kecepatan pembakaran antara campuran LPG dan udara tanpa CO2 dan dengan CO2 (Iminnafik 2010)
63
Uji Coba Pembakaran Kompor Bertekanan Termodifikasi Uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga mendidih dengan menggunakan kompor bertekanan termodifikasi
berbahan
bakar
minyak
nyamplung.
Hasilnya
kemudian
dibandingkan dengan pengujian kompor bertekanan mengunakan bahan bakar lainnya yang diperoleh dari data sekunder. Pada pengujian ini juga diukur peningkatan suhu pada beberapa titik pengukuran yang mewakili suhu air, uap air, permukaan luar panci, lingkungan, dan pemanas terhadap waktu, seperti ditampilkan pada Gambar 42. 180
Suhu (oC)
150 120 90 60 30 0 0
300
600
900
1200
Waktu (detik) Air Permukaan luar panci Lingkungan
Uap air Minyak dalam tangki
Gambar 42 Grafik peningkatan suhu tiap titik pengukuran uji coba pembakaran Gambar 42 diatas menjelaskan bahwa suhu air, uap air, permukaan luar panci, dan minyak dalam tangki meningkat seiring dengan pertambahan waktu, sedangkan suhu lingkungan cenderung stabil. Suhu air cenderung tidak lagi mengalami perubahan setelah 16.516 menit pemanasan, yaitu pada suhu 99 oC. Pada saat suhu konstan ini, air sudah mencapai titik didih maksimumnya dan mulai mengalami penguapan akibat pemanasan terus-menerus. Pada tekanan dan temperatur udara standar, titik didih air adalah sebesar 100 °C. Tetapi pada percobaan ini air mendidih pada suhu 99 oC. Hal ini disebabkan karena percobaan berlangsung tidak pada tekanan dan temperatur udara standar.
64
Suhu uap air terlihat hampir serupa dengan suhu air. Pada saat terjadi penguapan, suhu uap air mulai meningkat dan kemudian menjadi setara dengan suhu uap air. Suhu panci juga mengalami peningkatan terhadap waktu. Suhu pada dinding permukaan panci ini berfluktuasi karena dipengaruhi oleh kestabilan nyala api yang memanaskan bagian samping luar permukaan panci. Peningkatan suhu minyak di dalam tangki terjadi karena adanya minyak dari pipa koil pemanas yang telah dipanaskan terdorong kembali menuju tangki. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan suhu minyak di dalam tangki, yang juga meningkatkan suhu awal minyak (Tawal) yang akan masuk menuju pipa koil pemanas. Dengan demikian, semakin lama kompor digunakan maka pemanasan minyak melalui pipa koil pemanas minyak dapat mencapai suhu lebih dari 161.81 oC, yang disebabkan input Tawal yang semakin meningkat dengan pemanasan yang sama. Hal ini dapat menyebabkan viskositas minyak menjadi lebih rendah lagi. Dari percobaan yang telah dilakukan diketahui bahwa untuk memanaskan 1 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan termodifikasi berbahan bakar minyak nyamplung memerlukan waktu selama 16.516 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar sebesar 0.327 liter/jam. Sedangkan menurut hasil penelitian Reksowardojo et al. (2005), untuk memanaskan 0.6 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan berbahan bakar minyak tanah memerlukan waktu selama 6 menit, minyak jarak pagar selama 7 menit, dan minyak sawit selama 9 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar minyak tanah sebesar 0.408 liter/jam, minyak jarak pagar sebesar 0.336 liter/jam, dan minyak sawit sebesar 0.414 liter/jam. Konsumsi bahan bakar pada kompor bertekanan ini berbeda karena konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh laju aliran pembakaran dan tinggi rendahnya viskositas suatu bahan bakar. Laju aliran pembakaran yang berbeda dipengaruhi oleh jumlah bahan bakar yang keluar dan terbakar selama proses pembakaran berlangsung (Alamsyah 2006).