6
pengembang yang masih segar. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan. Ekstrak ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm. Ekstrak dibuat sebanyak tiga buah. Ekstrak satu ditotolkan 1 cm dari bagian bawah kiri pelat selama 3 jam sebelum kromatografi. Setelah 3 jam kemudian ditotolkan ekstrak segar (ekstrak dua dan tiga), Sampel dari ekstrak satu ditotolkan kembali pada pelat, dan standar 6gingerol. Jarak penotolan antara sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan dan dikeringkan kemudian dideteksi dengan UV 366 nm. Stabilitas Visualisasi. Pelat berukuran 3 x 10 cm ditotolkan ekstrak jahe merah pada sudut kiri bawah (1 cm dari tepi pelat). Pelat dikembangkan dan dikeringkan. Pelat diamati selama 1 jam dibawah UV 366 nm. Gambar diambil setelah 2, 5, 10, 20, dan 30 menit serta 1 jam. Keterulangan. Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat berbeda dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan chamber yang sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Penotolan dan pendeteksian sampel dilakukan pada hari yang sama. Presisi Menengah. Tiga larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar 6gingerol ditotolkan pada tiga pelat dengan ukuran pelat 8 x 10 cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan chamber yang sama. Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Penotolan dan pendeteksian sampel dilakukan pada hari yang berbeda, yaitu hari ke-1, hari ke-2 dan hari ke-3. Spesifisitas. Ekstrak dari jahe merah, jahe gajah, jahe emprit dan lengkuas ditotolkan pada pelat 10 x 10 cm dan dibandingkan dengan larutan standar 6gingerol. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. kemudian Pelat dideteksi dengan UV 366 nm. Ketangguhan. Dua larutan ekstrak sampel yang berbeda dan larutan standar ditotolkan pada pelat dengan ukuran 6 x 10
cm. Sampel ditotolkan 1 cm dari bagian kiri bawah pelat. Jarak penotolan sampel yang satu dengan sampel yang lainnya berjarak 1 cm. Pelat dikembangkan menggunakan twin trough chamber dan flat bottom chamber dan dideteksi dengan UV 366 nm. Hasil kromatogram dengan twin trough chamber dan flat bottom chamber kemudian dibandingkan.
(a)
(b) Gambar 4 Twin trough chamber (a) dan flat bottom chamber (b)
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Fase Gerak Pemilihan fase gerak diawali dengan pemisahan menggunakan 12 pelarut tunggal. Ekstrak yang digunakan yaitu ekstrak yang diperoleh dari maserasi. Jumlah pita yang dihasilkan seperti ditunjukkan pada Gambar 5. Pelarut yang menghasilkan pita terbanyak dan pemisahan terbaik adalah kloroform, diklorometana, dan dietil eter. Kloroform dan diklorometana menghasilkan pemisahan jumlah pita yang sama. Oleh karena itu dipilih salah satu, pada penelitian ini yang dipilih adalah kloroform, karena kloroform lebih menunjukkan keterpisahan yang lebih baik dibanding diklorometana (Lampiran 5). Diklorometana digantikan etil asetat agar pita lebih tertarik ke atas sehingga didapatkan pemisahan yang baik. Sebelum pemilihan tiga pelarut, dilakukan pengujian awal dengan kloroform: etil asetat: dietil eter dengan perbandingan 50: 10: 40. Hasil pemisahan ketiga pelarut tersebut menghasilkan pita yang sedikit dan cenderung mendekati garis akhir (Gambar 6a). Hal ini mungkin disebabkan karena tingkat kepolaran yang hampir sama antara etil asetat dan dietil eter, agar pita tidak
7
terpisah ke atas semua, maka digunakan pelarut yang dapat menahan laju pita yaitu n-heksana. Jadi dilakukan pengujian kembali dengan kloroform: etil asetat: n-heksan dan klorform: dietil eter: n-heksana dengan perbandingan yang sama 50: 10: 40. Pemisahan dengan pelarut kloroform: dietil eter: n-heksana menghasilkan pita yang banyak namun masih saling berdekatan (Gambar 6c), sedangkan pada pelarut kloroform: etil asetat: n-heksana menghasilkan jumlah pita yang banyak dan memiliki keterpisahan yang baik (Gambar 6b). Jadi tiga pelarut yang dipilih berdasarkan jumlah pita terbanyak dan keterpisahan yang baik adalah kloroform, etil asetat, dan n-heksana. Pendeteksian dengan UV 254, UV 366 nm dan anisaldehida menghasilkan jumlah pita yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena setiap deteksi memunculkan senyawa yang berbeda. Pendeteksian dengan sinar UV digunakan untuk memunculkan senyawa yang memiliki gugus kromofor (berkonjugasi). Pada UV 254 nm komponen atau pita yang muncul akan terlihat berwarna gelap, sedangkan pelat akan berpendar warna hijau. Pada UV 366 nm pelat akan terlihat gelap, sedangkan komponen akan berpendar sehingga pita akan terlihat lebih jelas. UV 254 nm digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan alkaloid, flavonoid, triterpenoid. Sedangkan UV 366 nm digunakan untuk mendeteksi senyawa golongan lignan, alkaloid, flavonoid, triterpenoid (Fernand 2003). Anisaldehida untuk mendeteksi senyawa sterol, terpenoid dan minyak atsiri (Santosa & Hertiani 2005).
Gambar 5 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan dengan 12 eluen tunggal yang dideteksi oleh UV 254 nm, 366 nm, dan anisaldehida.
a
b
c
Gambar 6 Hasil pemisahan dengan pelarut kloroform: etil asetat: dietil eter (a), kloroform: etil asetat: nheksana (b), kloroform: dietil eter: n-heksana (c). Ketiga hasil pemisahan tersebut dideteksi dengan UV 366 nm. Penentuan Titik Optimum dari Tiga Pelarut Menggunakan Simplex Centroid Design Ketiga pelarut yang terpilih, yaitu kloroform, etil asetat, dan n-heksana masing-masing sebagai titik A, B, C dikombinasikan berdasarkan simplex centroid. Hubungan interaksi antara jumlah pita dengan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida pada 10 jenis komposisi fase gerak ditunjukkan pada Gambar 7. Komposisi pelarut yang menghasilkan pita terbanyak pada UV 366 nm yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana pada perbandingan komposisi pelarut 1/6: 1/6: 2/3, sedangkan pada deteksi dengan anisaldehida, komposisi pelarut yang menghasilkan jumlah terbanyak yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana pada saat perbandingan komposisi pelarut 1/3: 1/3: 1/3 (Gambar 7). Daerah optimum ditentukan dengan menggunakan peranti lunak Minitab 14 dengan jumlah pita sebagai responnya sehingga didapatkan daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm (Gambar 8a) dan daerah optimum untuk deteksi anisaldehida (Gambar 8b) daerah optimum dinyatakan dengan warna hijau tua. Pemisahan dengan deteksi UV 366 nm menghasilkan daerah optimum disekitar titik A dan di titik C dan cenderung lebih mendekati titik A. Hal ini berarti komposisi fase gerak optimumnya terdiri atas kloroform dan n-heksana dimana jumlah kloroform lebih banyak dibandingkan dengan n-heksana. Daerah optimumnya tercapai saat perbandingan kloroform : nheksana yaitu 0.74298 : 0.25702 (Lampiran
8
10). Sedangkan pemisahan dengan deteksi anisaldehida menunjukkan daerah optimum berada diantara titik A, B, dan titik C, sehingga komposisi fase gerak optimumnya terdiri atas kloroform, etil asetat, dan nheksana. Daerah optimumnya tercapai saat perbandingan komposisi kloroform : etil asetat : n-heksana yaitu 0.33333 : 0.37995 : 0.28671 (Lampiran 11). Hasil Minitab 14 terhadap hubungan komposisi fase gerak dan jumlah pita menghasilkan persamaan regresi untuk menduga model dari kedua deteksi tersebut, untuk deteksi UV 366 nm didapat persamaan y = 5.474A + 0.747B + 1.474C – 9.263AB + 8.192AC +14.737 BC sedangkan untuk deteksi anisaldehida dihasilkan persamaan y = 5.7492A + 0.9310B – 0.0690C + 13.4343AB + 7.4343AC + 29.7980BC dimana A = kloroform, B = etil asetat dan C = n-heksana. Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan pada deteksi UV 366 nm sebesar 48.50 % sedangkan pada deteksi anisladehida dihasilkan R2 sebesar 95.07%. koefisien korelasi yang dihasilkan pada deteksi UV 366 nm lebih kecil dibandingkan pada deteksi anisaldehida, hal ini disebabkan karena titik optimum yang diperoleh pada deteksi UV 366 nm tidak berada di pusat titik simplex centroid (segitiga) sedangkan pada deteksi anisaldehida titik optimum yang diperoleh berada di pusat titik simplex centroid. Dari hasil elusi sepuluh komposisi rancangan simplex centroid ini dipilih pelarut yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dan pemisahan terbaik yaitu pada titik 9 saat perbandingan klroroform: etil asetat: n-heksana; 1/6 : 1/6 : 2/3 yang menghasilkan 9 pita (Gambar 9).
Gambar 7 Hubungan antara jumlah pita yang dihasilkan menggunakan deteksi UV 366 nm dan anisaldehida pada jenis komposisi fase gerak.
a
b
Gambar 8 Daerah optimum untuk deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi anisaldehida (b)
Gambar 9 Hasil pemisahan dari ekstrak maserasi dengan fase gerak optimum (titik 9) rancangan simplex centroid deteksi dengan UV 366 nm Pemisahan Komponen dari Ekstraksi Sonikasi dengan Central Composite Design Pemisahan komponen dari hasil ekstrasi sonikasi dilakukan setelah fase gerak dioptimumkan. Ekstraksi sonikasi menggunakan rancangan central composite design dengan 20 variasi perlakuan (Lampiran 3). Hasil ekstraksi kemudian dielusi menggunakan fase gerak optimum yaitu kloroform: etil asetat: n-heksana dengan perbandingan 1/6 : 1/6 : 2/3. Hasil pemisahan 20 variasi ekstraksi sonikasi menggunakan fase gerak optimum ditunjukkan pada Gambar 10. Persamaan regresi yang diperoleh untuk deteksi UV 366 nm yaitu y = 8.35926 + 0.78548A 0.41604B + 0.00000C – 0.64086AA – 0.11053BB – 0.287730CC – 0.00000 AB – 0.00000AC – 0.00000BC dengan R2 sebesar 34.9%, sedangkan persamaan regresi untuk deteksi anisaldehida adalah y = 7.71616 + 0.93193A – 0.56249 + 0.00000C – 0.91271AA – 0.38238BB – 0.55916CC –
9
0.25000AB + 0.00000AC + 0.00000BC dengan R2 sebesar 55.1%, dimana A = bobot sampel, B = volume larutan, dan C = waktu ekstraksi. Persamaan regresi ini menunjukkan hubungan jumlah pita dengan variasi ekstraksi. Jika dillihat berdasarkan selang kepercayaan, jumlah pita yang dihasilkan baik deteksi dengan UV 366 nm maupun deteksi anisaldehida sangat dipengaruhi oleh bobot sampel dimana nilai p bobot sampel lebih kecil dar α = 0.05 (p < 0.05), sedangkan volume pelarut dan waktu ekstrasi tidak mempengaruhi secara signifikan dengan nilai p > 0.05 (Lampiran 13). Gambar 10 menunjukkan pemisahan komponen dengan ekstraksi sonikasi dapat terlihat secara visualisasi. Pemisahan yang menghasilkan jumlah pita terbanyak dan keterpisahan yang baik terdapat pada variasi ekstraksi nomor 6 pada saat bobot sampel = 1.5 g, volume pelarut 5 mL, dan waktu ekstraksi 15 menit (Lampiran 13) pemisahan ini menghasilkan 9 pita. Proses pemisahan baik dari ekstraksi maserasi maupun sonikasi menggunakan fase gerak optimum menghasilkan jumlah pita yang sama yaitu 9 pita. Namun dari pendeteksian dengan UV 366 nm hasil keterpisahan dan kecerahan pita yang dihasilkan ekstraksi sonikasi lebih baik dibanding ekstrak maserasi (Gambar 9 & 10). Ekstrasi maserasi digunakan untuk mengekstraksi sampel yang relatif tidak tahan panas sehingga dapat menghindari kerusakan komponen, kelemahan dari ekstraksi maserasi ini adalah penggunaan pelarut yang relatif banyak dan membutuhkan waktu yang lama sekitar 72 jam (Meloan 1999). Berbeda halnya dengan ekstraksi sonikasi yang lebih efisien dari segi penggunaan pelarut dan waktu ekstraksi yang tidak lebih dari 30 menit. Teknik ekstraksi sonikasi ini mengandalkan energi gelombang yang menyebabkan proses kavitasi, yaitu suatu proses pembentukan gelembung-gelembung kecil akibat adanya transmisi gelombang ultrasonik. Ketika mengenai suatu larutan, energi ultrasonik menyebabkan timbulnya rongga akustik, dengan struktur bergelembung yang kemudian pecah. Proses tersebut membantu difusi pelarut ke dalam dinding sel tanaman (Ashley et al. 2001). ekstraksi dengan sonikasi dipilih untuk proses selanjutnya yaitu pemisahan komponen jahe merah dari berbagai daerah, karena lebih efisien dari segi pelarut, waktu, dan juga menghasilkan
keterpisahan yang lebih baik dibanding dari ekstraksi maserasi.
Gambar 10 Hasil pemisahan 20 variasi ekstrasi sonikasi menggunakan rancangan central composite, dielusi menggunakan fase gerak optimum, dan dideteksi dengan UV 366 nm. Validasi Metode Stabilitas Analat Selama Krmatografi Analat stabil selama kromatografi jika semua komponen berada pada garis diagonal yang menghubungkan posisi aplikasi dengan pertemuan bidang kedua fase gerak. Dari hasil kromatografi dua dimensi dapat terlihat bahwa pita berada pada garis diagonal (Gambar 11). Hal ini menunjukkan bahwa analat stabil selama kromatografi.
10
Gambar
11
Stabilitas analat selama kromatografi dengan deteksi UV 366 nm.
Stabilitas Analat pada Pelat dan dalam Larutan Kestabilan analat pada pelat dan dalam larutan ini ditunjukkan pada Gambar 12. Metode untuk stabilitas analat pada pelat dan larutan dapat diterima karena tidak ada perbedaan jumlah pita pada analat 3 jam sebelum kromatografi dengan analat yang masih segar dan perbedaan Rf pada masingmasing larutan tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
Gambar 13 Stabilitas visualisasi deteksi UV 366 nm. Keterulangan Keterulangan ditunjukkan pada Gambar 14. Metode keterulangan dapat diterima karena tidak ada perbedaan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita pada tiga pelat berbeda, dan nilai Rf pada masing-masing pelat tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
a b c Gambar 14 Keterulangan pada pelat ke-1 (a), pelat ke-2 (b), pelat ke-3 (c) deteksi dengan UV 366 nm. a Gambar 12
b
c d
e
Stabilitas analat pada pelat selama 3 jam sebelum kromatografi (a), sampel segar diaplikasikan segera sebelum kromatografi (b dan c), sampel disiapkan selama 3 jam sebelum kromatografi (dalam larutan) (d), dan standar 6-gingerol (e) dengan visualisasi UV 366 nm.
Stabilitas Visualisasi Gambar 13 menunjukan bahwa Analat stabil karena tidak menunjukkan penurunan intensitas warna maupun perubahan secara signifikan selama selang waktu pengamatan yaitu salama menit ke-2, ke-5, ke-10, ke-20, ke-30, dan menit ke-60. Sehingga metode ini dapat diterima dan perbedaan Rf pada masing-masing larutan tidak lebih dari 0.05 (Lampiran 17).
Presisi Menengah Validasi metode KLT untuk presisi menengah dapat diterima jika semua pola sidik jari (pita) pada ketiga pelat menunjukkan jumlah, posisi, warna, dan intensitas pita yang identik. Masing - masing pita pada pelat menunjukkan komponen yang sama, membentuk garis paralel dengan tidak adanya gangguan seperti membelok serta nilai Rf untuk masing – masing pita pada ketiga pelat tidak berbeda lebih dari 0.05 (Lampiran 17). Gambar 15 menunjukkan bahwa pada presisi menengah hari ke-1, hari ke-2, dan hari ke-3 menghasilkan jumlah pita yang sama, namun dari segi keterpisahan pita hari ke-1 berbeda dengan hari ke-2 dan ke-3. Sedangkan keterpisahan pita hari ke-2 dan hari ke-3 sama. Pada ketiga pelat tersebut masing-masing nilai Rf pada hari ke -1, ke2 dan ke-3 memiliki selisih Rf terbesar yaitu 0.15. perbedaan nilai Rf pada hari ke-1
11
diduga adanya perbedaan tingkat kejenuhan bejana kromatografi pada hari ke-1 dengan hari ke-2 dan ke-3, dan juga dipengaruhi faktor suhu dan kelembaban yang berbedabeda pada masing-masing hari.
ditunjukkan Gambar 17.
Standar
a
b
JM1
JM2
seperti
JM3
JM4
ditunjukkan
JM5
JM6
JM7
JM8
pada
JM9
c
Gambar 15 Presisi menengah pada hari ke-1 (a), hari ke-2 (b), dan hari ke-3 (c) deteksi dengan UV 366 nm. Ketangguhan Gambar 16 menunjukkan bahwa pola kromatogram sidik jari (pita) pada jahe merah mengunakan Flat Bottom Chamber (a) maupun Twin Trough Chamber (b) menunjukkan pola kromatogram yang hampir sama dan perbedaan nilai Rf masing-masing pelat tidak lebih dari 0.05. metode untuk ketangguhan dapat diterima dan digunakan pada analisis rutin kendali mutu.
Standar JM10 JM11 JM12
JM13 JM14 JM15 JM16
JM17 JM18
(a)
6-gingerol
Standar JM1
a
JM2
JM3
JM4
JM5
JM6
JM7
JM8
JM9
b
Gambar 16 Pola Kromatogram jahe merah hasil pemisahan dengan Flat Bottom Chamber (a) dan Twin Trough Chamber (b) dengan deteksi UV 366 nm.
6-gingerol
Standar JM10 JM11 JM12
Pemisahan Komponen Jahe Merah dari Berbagai daerah Setelah pemilihan fase gerak optimum, dan teknik ekstraksi sudah ditentukan, serta validasi metode sudah dilakukan, selanjutnya dilakukan pemisahan komponen jahe merah dari lokasi yang berbeda. Hasil pemisahannya dari lokasi yang berbeda
JM13 JM14 JM15 JM16
JM17 JM18
(b) Gambar 17 Hasil pemisahan komponen jahe merah dari berbagai daerah dan standar 6-gingerol dengan deteksi UV 366 nm (a) dan deteksi anisaldehida (b).
12
Sampel jahe merah yang digunakan berasal dari 7 daerah yang berbeda, yaitu JM1 berasal dari Bogor, JM2, dan JM3 berasal dari Purwokerto, JM4, JM5, JM6, dan JM15 berasal dari Pacitan, JM7 dan JM8 dari Kulonprogo, JM9, JM10, dan JM11 dari Ponorogo, JM12, JM13, JM14, dan JM16 dari Wonogiri, sedangkan JM17 dan JM18 dari Semarang. Hasil pemisahan KLT jahe merah dari lokasi yang berbeda ini menghasilkan pola sidik jari (kromatogram) yang hampir mirip satu sama lain (Gambar 17). Hasil pola sidik jari ini dibandingkan dengan senyawa penciri yaitu 6-gingerol. 6gingerol digunakan sebagai senyawa penciri karena senyawa ini merupakan komponen penyusun terbesar dari jahe. Hasil elusi menunjukkan hampir semua sampel jahe dari berbagai daerah ini memiliki senyawa 6-gingerol. Perbedaan hanya terdapat pada JM4, JM5 (pacitan) dan JM16 (Wonogiri) yang tidak memiliki senyawa 6-gingerol (Gambar 7). Perbedaan pola kromatogram ini diduga karena faktor perbedaan lokasi. Adanya perbedaan lokasi berkaitan dengan unsur hara yang dikandung dalam tanah. Setiap daerah memiliki kandungan unsur hara yang berbeda-beda, sehingga metabolit sekunder yang dihasilkan pun juga berbeda. Karena metabolit sekunder yang dihasilkan berbeda-beda maka pola kromatogram KLT yang dihasilkan juga dapat berbeda. Selain faktor perbedaan lokasi. Faktor iklim, curah hujan, dan intensitas cahaya matahari juga dapat mempengaruhi metabolit sekunder yang dihasilkan dari jahe merah tersebut (Okoh 2007). JM6 memliki pola sidik jari (kromatogram) yang berbeda dengan JM4 dan JM5 meskipun berasal dari daerah yang sama (Pacitan), hal ini mungkin disebabkan waktu tanam atau waktu panen yang berbeda. Waktu tanam dan waktu panen juga dapat menyebabkan perbedaan metabolit yang dihasilkan (Okoh 2007). Waktu panen yang terbaik pada jahe merah itu pada saat berumur 7 bulan, karena pada umur tersebut kandungan minyak atsiri dan oleoresinnya optimum (Nurliana 2007). Spesifisitas Pengujian spesifitas dilakukan dengan melakukan pemisahan komponen dari suatu tanaman obat dengan cara membandingkannya dengan senyawa penciri. Pada peneltian ini komponen yang diuji yaitu dari jahe merah, jahe gajah, dan
jahe emprit, dan lengkuas. untuk mengetahui ada tidaknya senyawa yang terdapat pada jahe, maka digunakan senyawa penciri untuk pembanding, yaitu 6gingerol. Gambar 18 menunjukan bahwa senyawa 6-gingerol itu hanya terdapat pada sampel jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit dengan nilai Rf sebesar 0.24 (Lampiran 19). Sedangkan pada lengkuas tidak terdapat senyawa 6-gingerol. Lengkuas memiliki pola sidik jari kromatogram yang berbeda dari ketiga jenis jahe ini, sehingga ketika ada pemalsuan bahan baku jamu jahe langsung dapat terlihat perbedaannya dengan menggunakan KLT. Berbeda dengan Pola sidik jari kromatogram yang dihasilkan antara jahe merah, jahe gajah dan jahe emprit. Pola sidik jari yang dihasilkan belum bisa dibedakan karena pola kromatogram yang dihasilkan sama. kemungkinan ketiga jenis jahe ini mempunyai komponen kimia yang sama, dan yang membedakan hanya jumlah kandungannya saja. Perlu dilakukannya analisis lebih lanjut yaitu analisis kuantitatif dengan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) atau kromatografi gas sehingga dapat terlihat jumlah kandungan komponen kimia yang berbeda dari ketiga jenis jahe tersebut.
6-gingerol
Std JM JG JE LK (a)
std JM JG JE LK (b)
Gambar 18 Pola kromatogram standar (std), jahe merah (JM), jahe gajah (JG), jahe emprit (JE), dan lengkuas (LK) dengan deteksi UV 366 nm (a), dan deteksi anisaldehida (b).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pelarut yang terpilih sebagai penyusun fase gerak optimum adalah kloroform : etil asetat : n-heksana dengan perbandingan 1/6 : 1/6 : 2/3. Teknik ekstraksi terbaik untuk