Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA MENGAJUKAN SAKSI MENGUNTUNGKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Oleh : Zuleha. SH.,MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Samudera Langsa ABSTRAK Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut azas persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law)danasas praduga tak bersalah (presumption of innocence), maka untuk tegaknya hukum, aparat penegak hukum berkewajiban untuk menjalankan undang-undang secara adil, fair dan berimbang; Hasil analisa data menunjukkan bahwa: (1) Implementasi hak tersangka dan terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, ternyata belum menerapkan due process of law;Penyidik, Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim leluasa memanggil dan mendengarkan keterangan saksi yang memberatkan, sedangkan Tersangka dan Terdakwa tidak diberikan hak yang sama untuk membela kepentingannya, hal ini merupakan pelanggaran asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana diatur dalam penjelasan umum angka 3 butir c KUHAP dan pelanggaran asas persamaaan kedudukan dimuka hukum (equality befor the law) sebagaiman diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. (2). Kendala yang dihadapi dalam mengajukan saksi yang menguntungkan antara lain disebabkan adanya multi tafsir terhadap pasal yang berkaitan dengan saksi yaitu Pasal 1angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4), serta Pasal 184 ayat (1) hurup a KUHAP dan adanya sikap Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim, yang telah apriori bahwa Tersangka dan terdakwa telah (pasti) terbukti melakukan tindak pidana, sehingga mengabaikan hak-hak tersangka dan terdakwa; Upaya yang dilakukan agar hak tersangka dan terdakwa dapat terwujud adalah melakukan sosialisasi terhadap Putusan Mahkmah Konstitusi No. 65/PUUVIII/2010. Undang-undang Nomer 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, disingkat KUHAP adalah ketentuan-ketentuan hukum acara yang harus mencerminkan adanya “due process
PENDAHULUAN Norma-norma hukum prosedur itu haruslah bersifat fair.Ketentuan-ketentuan tentang prosedur tidak boleh bersifat sewenang-wenang menurut selera penyelenggara kekuasaan Negara.
1
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
of law” yang fair, pasti dan adil, serta menjauhkan dari hal-hal yang bersifat sewenang-wenang. Oleh karena hukum pidana yang ingin ditegakkan oleh KUHAP membawa akibat sanksi hukum yang terkait dengan hak-hak asasi manusia seperti pidana penjara (yang menyebabkan seseorang kehilangan kemerdekaannya), penyitaan hak milik, dan bahkan pidana mati (yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang yang tidak dapat dipulihkan lagi), maka hukum prosedur untuk menegakkan hukum materil itu haruslah bukan saja harus bersifat fair, tetapi juga bersifat pasti dan adil. Di negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, bukan person-person penegak hukum. Inilah yang di Amerika Serikat disebut oleh Dicey dengan istilah “the rule of law not of man”. Perlindungan terhadap hak sebagai warganegara, termasuk didalamnya perlindungan hak asasi warga negara yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana (tersangka), untuk diperlakukan secara adil dan diberikan hak untuk membela diri atas tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Pasal 1 angka 14 KUHAP “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Pasal 184 ayat (1) KUHAP “Alat bukti yang sah ialah : a).
keterangan Saksi, b). Keterangan ahli. c). Surat. d). Petunjuk. e). keterangan terdakwa. Pasal 1 angka 26 KUHAP ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”; Pasal 1 angka 27 KUHAP ”Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Pasal 65 KUHAP “Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”. Definisi saksi yang kaidahnya dirumuskan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP seperti dikemukakan di atas, hanyalah relevan dengan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan. Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) KUHAP kaidahnya mengatur tentang keberadaan saksi yang menguntungkan dan saksi a de charge.Sedangkan kedua jenis saksi terakhir ini, tidaklah selalu melihat sendiri, mendengar sendiri, dan mengalami sendiri terjadinya suatu peristiwa pidana.
2
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
Namun kesaksian mereka mempunyai keterkaitan dengan peristiwa pidana yang dituduhkan dan berguna bagi kepentingan penyidikan yang adil dan dalam rangka pembelaan seorang tersangka dan/atau terdakwa, sesuai dengan due process of law yang menjadi salah satu ciri negara hukum sebagaimana kaidahnya diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Penyidik cenderung enggan menghadirkan saksi yang meringankan bahkan mengganggap saksi meringankan hanya boleh diajukan oleh Terdakwa dimuka persidangan, sedangkan di penyidikan, Terdakwa dianggap tidak perlu bahkan tidak punya hak untuk mengajukan saksi yang meringankan. Disamping adanya rumusan KUHAP yang mengatur tentang definisi saksi yang tidak memungkinkan menghadirkan saksi yang menguntungkan, dan juga adanya kecenderungan penyidik dan hakim yang tidak mau memenuhi permintaan Tersangka atau Terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang menganut azas persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum (equality before the law), praduga tak bersalah (presumption of innocence), maka untuk tegaknya hukum, aparat penegak hukum berkewajiban untuk menjalankan
undang-undang dengan adil, fair dan berimbang. KUHAP Pasal 184 ayat (1) menempatkan “keterangan saksi” dalam urutan pertama alat bukti dalam proses pidana. Penempatan dalam urutan pertama ini menunjukkan bahwa “keterangan saksi” sangatlah utama sebagai alat bukti, jauh lebih utama dibandingkan dengan alat-alat bukti yang lain. Namun “keterangan saksi” yang kaidah undang-undangnya diatur dalam Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP, sekali lagi hanya sesuai dengan keterangan saksi fakta atau saksi peristiwa atau saksi yang memberatkan belaka, sama tidak membuka ruang bagi saksi menguntungkan; Berkaitan dengan hal yang dikemukan diatas, yang menjadi objek penelitian adalah sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya berkaitan dengan : 1. Pengertian saksi; 2. Permohonan pengajuan saksi oleh tersangka dan terdakwa; 3. Pemanggilan saksi; dan 4. Kewenangan menilai relevansi kesaksian Sebagai aparat penegak hukum yang bertujuan menegakkan hukum dan keadilan, apabila dalam penyidikan sudah diketahui sejak awal tidak cukup bukti, seharusnya penyidikan tidak perlu dilanjutkan, tidak boleh dipaksakan dilanjutkan ke penuntutan dan pengadilan, karena penegak hukum harus menjunjung tinggi azas praduga tak
3
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
bersalah dan menegakkan hukum dengan mematuhi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan proses penyidikan. Advokat berstatus sebagai Penegak hukum yang mendampingi Tersangka atau Terdakwa seringkali tidak berhasil menghadirkan saksi yang menguntungkan termasuk saksi ahli, lantaran penyidik atau hakim menganggap bahwa saksi tersebut tidak perlu, padahal seseorang dihukum atau dibebaskan sangat bergantung kepada keterangan saksi baik yang diterangkan dihadapan penyidikan maupun dipersidangan. Peran dan fungsi Lembaga Penegak Hukum untuk menegakkan hukum dan keadilan yang belum sesuai dengan tujuan hukum tersebut, maka perlu dilakukan reformasi dalam bidang hukum khususnya dibidang penegakan hukum (law enforcement) dengan fokus pada lembaga penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat. Tujuan peradilan pidana adalah untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan yang pada praktek peradilan adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atas tindak pidana yang dituduhkan padanya. Proses peradilan pidana di pengadilan yang melibatkan aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa dan Advokat) berujung pada putusan hakim yang menghukum orang yang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah. Secara umum sistem peradilan pidana bertujuan
untuk menghukum mereka yang bersalah melakukan kejahatan. Kegagalan dalam menegakkan hukum terjadi jika seorang yang tidak bersalah dihukum atau sebaliknya orang yang bersalah tidak dihukum. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penelitian ini mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanapengaturan hokum mengenai hak tersangka dan terdakwa dalam mengajukan saksi yang menguntungkan?. 2. Apa yang menjadi factor penghambat dalam hal memberikan perlindungan hokum hak tersangka dan terdakwa dalam hal mengajukan saksi yang menguntungkan? KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP. 1. Kerangka Teori Republik Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang menegakkan kebenaran dan keadilan, tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan. Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah Negara hukum kedalam Pasal,
4
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
memperteguh paham bahwa Indoensia adalah Negara hukum, baik dalam penyelenggaraan Negara maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun ciri-ciriatau unsurunsur dari Negara Hukum, menurut Sudargo Gautama. 1. Terdapat pembatasan kekuatan Negara terhadap perorangan, maksudnya Negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang, tindakan negara dibatasi hukum, individual mempunyai hak terhadap Negara atau rakyat memiliki hak terhadap penguasa. 2. Asas Legalitas, setiap tindakan Negara harus berlandaskan hukum yang telah diadakan terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya. 3. Pemisahan kekuasaan agar hakhak asasi manusia betul-betul terlindungi adalah dengan pemisahan kekuasaan, yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan, melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain, tidak berada dalam satu tangan. Menurut Bernard Arief Sidharta Negara Hukum adalah. 1. Pengakuan,penghormatan, dan perlindungan kepribadian manusia (identitas) yang mengimplikasikan asas pengakuan dan perlindungan martabat dan kebebasan manusia yang merupakan asas fundamental dari Negara hukum.
2.
Kepastian hukum yang mengimplikasikan beberapa hal yaitu warga masyarakat harus terbebas dari tindakan pemerintah dan aparatnya yang tidak dapat diprediksi dan tindakan yang sewenang-wenang, pemerintah dan aparatnya harus terikat dan tunduk pada aturan hukum positif, dan semua tindakan pemerintah dan aparatnya harus didasarkan pada aturan hukum positif sebagai dasar hukumnya. 3. Persamaan, yaitu pemerintah dan aparatnya harus memberikan perlakuan yang sama kepada semua orang dan undang-undang juga berlaku sama untuk semua orang. 4. Demokrasi, asas ini terkait dengan cara pengambilan keputusan. Setiap warga negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan pemerintah. Untuk itu harus terjamin bahwa warga negara dengan menggunakan hak pilihnya dapat mempengaruhi susunan badan perwakilan dan dapat menjadi anggotanya. 5. Pemerintah dan aparatnya mengemban fungsi melayani rakyat. Asas ini dijabarkan dalam seperangkat asas umum pemerintahan yang baik (good governance).
5
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
kualitatif (penafsiran dan konstruksi hukum), tidak menggunakan analisis kuantitatif (Statistik). 4. Tahap-tahap Penelitian Tahap pertama adalah studi kepustakaan untuk mencari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dan tahap kedua adalah studi lapangan yaitu mencari bahanbahan hukum yang tidak dijumpai di dalam kepustakaan, yang dilakukan melalui wawancara atau interview. Wawancara dengan para responden dilakukan untuk memperoleh data atau keterangan yang dibutuhkan untuk melengkapi bahan-bahan hukum yang telah didapatkan melalui studi kepustakaan.
METODE PENELITIAN 1. Spesifikasi penelitian. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif-analitis yuridis, yaitu melukiskan fakta-fakta berupa data dan bahan-bahan hukum primer (Perundang-undangan), dan bahan hukum sekunder (doktrin atau pendapat ahli hukum terkemuka), serta tertier (kamus hukum, ensiklopedi, atau opini masyarakat yang terungkap dalam beragam publikasi). 2. Pendekatan Penelitian. Pendekatan penelitian ini adalah yuridis –normatif yang mencakup antara lain, inventarisir peraturan-peraturan hukum positif, pendekatan historis, dan pendekatan filosofis.i Pendekatan yuridis normatif dimulai dengan langkah menginventarisasi peraturan perundang-undangan (Hukum Positif) yang relevan sebagaimana telah disebutkan, juga menggunakan pendekatan historis untuk mengkaji implementasi hak tersangka atau terdakwa mengajukan saksi menguntungkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
HASIL PENELITIAN A. Implementasi hak tersangka dan terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan. Hukum Acara Pidana yaitu Undang-undang No. 8 Tahun 1981 yang disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia, dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk mengoreksi pengalaman praktek penegakan hukum dimasa lalu yang berlandaskan peraturan perundangundangan yang dibuat oleh kolonial Belanda. Proses peradilan di masa lalu yang berlandaskan HIR (Het Herziene Inlandsch Regement) tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan persamaan kedudukan dimuka hukum. Disamping HIR (Het Herziene Inlandsch Reglement), peraturan
3. Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridiskualitatif. Dikatakan kualitatif oleh karena bahan yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang tergolong sebagai kualitatif, dan oleh karena itu dianalisis secara
6
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
yang mengatur mengenai hukum acara sebelum UU No. 8 Tahun 1981 adalah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan Dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, yang kemudian dengan ditetapkannya UU No. 8 Tahun 1981, baik HIR (Het Herziene Inlandsch Regement) maupunUndang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Menurut hemat penulis, saksi dalam yang diatur dalam KUHAP, dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni: a. saksi memberatkan yang diajukan Penyidik dan penuntut Umum, yang termasuk didalamnya saksi fakta atau saksi peristiwa, ahli; b. saksi menguntungkan yang diajukan tersangka atau terdakwa, yang termasuk didalamnya saksi fakta, saksi alibi, saksi a de charge, dan ahli. Saksi menguntungkan diatur dalam Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) KUHAP, sedangkan saksi a de charge hanya disebutkan di dalam Penjelasan Pasal 116 ayat (3) “Termasuk ke dalam kategori saksi yang menguntungkan adalah saksi a de charge”. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghadirkan saksi menguntungkan seringkali ditolak oleh Penyidik dan atau Hakim dengan alasan bahwa saksi yang akan diajukan oleh Tersangka atau
Terdakwa tidak relevan dengan perkara yang dihadapi. Mengacu kepada pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010, sikap penyidik yang menilai bahwa saksi menguntungkan yang diajukan oleh tersangka tidak relevan, padahal saksi tersebut belum dipanggil dan belum memberikan keterangan adalah tidak dapat dibenarkan. Demikian juga hakim yang memeriksa perkara di pengadilan, tidaklah dibenarkan menilai apakah saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh terdakwa relevan atau tidak, penilaian tersebut baru dapat dilakukan setelah memanggil dan memeriksa ahli dan/atau saksi yang bersangkutan. Dalam perkara dengan terdakwa Obon bin Naid di Pengadilan Negeri Kls. IA Bandung dengan register perkara No. 895/Pid/B/2007/PN.Bdg, Majelis Hakim telah secara terang-terangan melanggar hak terdakwa untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan ahli yang menguntungkan terdakwa. Penasihat hukum terdakwa sempat keberatan atas penolakan hakim untuk mendengar keterangan ahli tersebut, namun dengan mempertimbangkan kepentingan terdakwa, penasihat hukum terdakwa tidak melakukan protes secara prontal kepada majelis hakim; Sikap Majelis Hakim yang menolak memeriksa ahli yang telah hadir dimuka sidang tersebut, dituangkan
7
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
dalam Nota Pembelaan dalam Perkara No. No. 895/Pid/B/2007/PN.Bdg dengan Terdakwa Obod bin Naid. Kalau sejak awal hakim sudah apriori bahwa terdakwa pasti bersalah, untuk apalagi sidang dilaksanakan?, kenapa tidak langsung diputus bersalah saja?, bukankah pengadilan adalah proses untuk mengadili bukan otomatis menghukum terdakwa; Dengan sikap demikian, hakim telah mengenyampingkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang termuat dalam penjelasan umum angka 3 butir c KUHAP yang menyebutkan “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Menurut Kejaksaan Agung RI, alasan menolak untuk memanggil dan mendengar keterangan saksi yang menguntungkan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra adalah: a. Saksi menguntungkan yang diajukan oleh tersangka Yusril Ihza Mahendra tidak relevan dan tidak memenuhi kriteria saksi yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP, karena saksi yang diajukan tersebut tidaklah melihat sendiri, tidak mendengar sendiri dan tidak pula mengalami sendiri.
b. Untuk menghadirkan saksi yang menguntungkan yang diajukan tersangka, adalah kewajiban tersangka sendiri dengan mengacu kepada Pasal 65 KUHAP. c. Saksi yang menguntungkan hanya dapat diajukan oleh terdakwa pada saat sidang pengadilan, tidak dapat diajukan pada proses penyidikan. Definisi keterangan saksi Pasal 1 angka 26 KUHAP selalu diartikan sebagai “alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu”. Pengertian saksi yang menguntungkan dalam Pasal 65 KUHAP tidak dapat ditafsirkan secara sempit dengan mengacu pada Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP saja. Pengertian saksi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP memberikan pembatasan bahkan menghilangkan kesempatan bagi tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan baginya karena frasa “ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” mensyaratkan bahwa hanya saksi yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri suatu perbuatan/tindak pidana yang dapat diajukan sebagai saksi yang menguntungkan.
8
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
Perumusan saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27 KUHAP tidak meliputi pengertian saksi alibi, dan secara umum mengingkari pula keberadaan jenis saksi lain yang dapat digolongkan sebagai saksi yang menguntungkan (a de charge) bagi tersangka atau terdakwa, antara lain, saksi yang kesaksiannya dibutuhkan untuk mengklarifikasi kesaksian saksi-saksi sebelumnya; Oleh karena itu, arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses. Pengajuan saksi dan/atau ahli yang menguntungkan oleh tersangka tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi harus sejak proses penyidikan, menunjukkan penghormatan terhadap hak asasi manusia, asas persamaan kedudukan dimuka hukum dan asas praduga tidak bersalah. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi tersebut sangat rasional, karena pada pada prinsipnya penyidikan adalah untuk membuat terangnya perkara, menentukan apakah tindak pidana benar-benar telah terjadi dan siapa tersangkanya. Dengan pemahaman bahwa apabila saksi/dan ahli itu telah diperiksa sejak proses penyidikan, kemudian penyidik menyimpulkan bahwa tidak terjadi tindak pidana atau pelaku tindak pidananya bukan orang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka, tentunya penyidik dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, penyidik berwenang untuk menghentikan proses penyidikan, tidak harus dipaksakan perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Oleh karenanya penolakan penyidik untuk memanggil dan memeriksa saksi dan/atau ahli yang menguntungkan yang diajukan tersangka, tidak boleh terjadi lagi dikemudian hari. Penolakan penyidik Kejaksaan Agung itulah, Yusril Ihza Mahendra menempuh upaya hukum Pengujian Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana khususnya pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. B. Kendala dan Upaya pengajuan saksi yang menguntungkan oleh tersangka dan terdakwadalam sistem peradilan Indonesia. Kendala mewujudkan hak tersangka dan terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan disebabkan adanya multi tafsir terhadap Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Saksi hanya dipahami orang yang melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri
9
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
pristiwa pidananya, sedangkan saksi menguntungkan tidak selalu melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri pristiwa pidana yang dituduhkan. Pemeriksaan saksi menguntungkan seringkali dipahami hanya dilaksanakan di Pengadilan, penyidik dan Hakim telah melakukan penilaian relevan atau tidaknya saksi yang diajukan oleh tersangka dan terdakwa, serta menghadirkan saksi menguntungkan harus diupayakan sendiri oleh tersangka dan terdakwa, bukan kewajiban penyidik atau pengadilan untuk memanggil saksi menguntungkan yang diajukan oleh tersangka dan terdakwa tersebut. Disamping hal tersebut terdapat kecenderungan Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim bersikap apriori bahwa tersangka dan terdakwa telah (pasti) terbukti bersalah melakukan tindak pidana, sehingga terkadang bertindak sewenang-wenang (arbitrary) atau melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power); Sikap menolak memanggil dan memeriksa saksi yang menguntungkan yang diajukan oleh tersangka adalah bertentangan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) dan melanggar asas persamaan hak dimuka hukum (equality before the law), karena mengajukan saksi menguntungkan adalah hak tersangka, sedangkan disisi lain penyidik mempunyai kewajiban memanggil dan memeriksa saksi yang
menguntungkan yang diajukan oleh tersangka. Tindakan sewenang (arbitrary) atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan aparat penegak hukum yang menyebabkan orang lain kehilangan kebebasan dan kemerdekaan, merupakan suatu kejahatan atau moral evil. Bahkan dalam perkembangan hukum pidana dewasa ini dari perspektif perlindungan hak asasi manusia (HAM) telah mengategorikan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) sebagai perbuatan pidana yang disebut criminal abuse of power yang dinyatakan dalam hurup B point 18 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of crime and abuse of power (general Assembly Resolution 40/34 of 29 Nopember 1985). Dari penelitian yang dilakukan oleh Penulis di Polrestabes Bandung, ternyata hampir semua penyidik yang sempat diwawancarai tidak mengetahui adanya putusan Mahkmah Konstitusi No. 65/PUUVIII/2010 yang telah memperbaiki, menyempurnakan dan menegaskan penafsiran tentang saksi. Menurut penyidik di Polrestabes Bandung, jarang sekali tersangka mengajukan saksi yang menguntungkan; Pernah ada kasus, bahwa Jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik, agar dalam BAP tidak perlu menanyakan kepada tersangka apakah akan mengajukan saksi menguntungkan.
10
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
Dengan kondisi demikian, kiranya perlu adanya sosialisasi putusan Mahkmah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 yang telah memperbaiki, menyempurnakan dan menegaskan penafsiran tentang saksi tersebut, sehingga proses peradilan pidana yang jujur, fair dan adil (due process of law) dapat terwujud. Penegakan Hukum tidaklah mudah, banyak sekali hambatan dan tantangan yang dihadapi, tetapi kita tidak boleh frustasi, sekecil apapun kita tetap harus terus menerus mengupayakan penegakan hukum, sebagaimana pepatah mengatakan meskipun dunia ini runtuh, hukum harus ditegakkan (fiat justitia et pereat mundus). Kasus penolakan untuk mengajukan saksi yang meringankan ini relative tidak begitu banyak, mungkin satu berbanding seribu, tetapi kalau yang satu itu tidak diberikan haknya, kemudian akibat hak mengajukan saksi meguntungkan tidak dipenuhi menyebabkan orang menderita, dipenjara, kehilangan jabatan, kehilangan martabat dan harga diri, tentu hal tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan sangat mengenaskan; Prinsip yang harus dipegang teguh adalah Geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan); Tidaklah berlebihan kiranya ada adagium yang mengatakan bahwa “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada
menghukum satu orang yang tidak bersalah”. KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian-uraian yang sudah dipaparkan dalam Babbab sebelumnya, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Implementasi hak tersangka dan terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, ternyata belum sepenuhnya menerapkan proses peradilan yang fair, jujur, adil (due process of law);Penyidik, Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim leluasa memanggil dan mendengarkan keterangan saksi yang memberatkan, sedangkan Tersangka dan Terdakwa tidak diberikan hak yang sama untuk membela kepentingannya, hal ini merupakan pelanggaran asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana diatur dalam penjelasan umum angka 3 butir c KUHAP dan pelanggaran asas persamaaan kedudukan dimuka hukum (equality befor the law) sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945. 2. Kendala yang dihadapi dalam mengajukan saksi yang menguntungkan antara lain disebabkan adanya multi tafsir terhadap pasal yang berkaitan
11
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
dengan saksi yaitu Pasal 1 angka 26 dan 27, Pasal 65 dan Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP, dan juga adanya sikap Penyidik, Penuntut Umum maupun Hakim, yang telah apriori bahwa Tersangka dan terdakwa telah (pasti) terbukti melakukan tindak pidana, sehingga mengabaikan hak-hak tersangka atau terdakwa; B. Saran. 1. Untuk mewujudkan hak tersangka dan terdakwa dapat mengajukan saksi yang menguntungkan dalam proses peradilan pidana, harus dilakukan sosialisasi terhadap Putusan Mahkmah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 dan melakukan perubahan Pasal 1angka 26 dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3) dan (4) KUHAP. Dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru, hendaknya secara tegas dimuat bahwa aparat penegak hukum : Penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim termasuk Advokat harus menjalankan proses hukum yang adil, fair dan berimbang (due process of law) dengan memberikan hak kepada tersangka dan terdakwa untuk mengajukan saksi yang menguntungkan, hal ini sebagai penerapan asas persamaan kedudukan dimuka hukum (equality before the law)danazas praduga tidak bersalah (presumstion of innocence) serta penghormatan terhadap hak asasi manusia
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, Aneka Masalah Dalam Praktek Penegakan Hukum di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980. Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus, ed. 1, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2011 A. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, Memahami proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003 Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Indonesia Terpadu, edisi 2003, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Baharudin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Kompas Jakarta, 2001 Bagir Manan, Peranan Advokat Mewujudkan Peradilan Yang bersih dan Berwibawa, Disampaikan pada MUNAS III AAI di Denpasar Bali, 16-082005, 2005. --------------, “Menegakkan hukum suatu pencarian” Asosiasi Advokat Indonesia, Jakarta, 2009 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan; Citra Adytya Bakti, Bandung, 2001.
12
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
-----------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996 Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang struktur Ilmu Hukum Seluruh Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Cetakan Kedua, Mandar Maju, Bandung, 2000. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990 Dicey, A.V,Introduction to the Study of Law the Constitution, Ninth Edition, Macmillan & Co Limited, St. Martin Street, London, 1952 Diponolo, Ilmu Negara, Balai Pustaka, Jakarta, 1975. Ismail Sunny, Mencari Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982 Jimly Asshiddiqe.Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. PT. Bhuana Ilmu Populer, 2007. Krisna Harahap,HAM dan Penegakan Hukum. Bandung, PT. Grafitri Budi Utama, 2004. Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia.Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta, LP3ES, 1990. Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan
Permasalahannya.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010 M. Arief Amrullah, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Bayumedia Publishing, Jember, 2004 M. Yahya Harahap, Pembahasan dan Permasalahan KUHAP, Sinar Grafika, 1993 Mardjono Reksodiputro,Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, 1994. -------------, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Mastra Liba, 14 Kendala Penegakan Hukum Mahasiswa dan Pemuda Sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum Hukum dan Ham, Yayasan Anissa, Jakarta, 2002 Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas
13
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
Hukum UNPAD dan Binacipta, Bandung, tanpa tahun terbit. Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999 Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010 Muladi,Kapita Selekta. Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995. -------, Hak Asasi Manusia. Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002. O. Notomihardjo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970 O. C Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Bandung: alumni, 2006 P.A.F Lamintang, Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1984 Parman Suparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Podana Bagi Korban Kejahatan, Refika Aditama, Bandung, 2009 Philipus M, Hadjon, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia,
Kumpulan tulisan dalam rangka 70 tahun Sri Soemantri Martosoewignyo, Media Pratama, Jakarta 1996 Philips M. Hadjon,Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia : Sebuah Studi Tentang Prinsip-prinsipnya, Penerapannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya, Bina Ilmu, 1978. Prodjodikoro, R Wirjono, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung, Sumur Bandung. 1985. R. Suparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2002 Rocky Marbun, Kiat Jitu Menyelesaikan Kasus Hukum, Visimedia, Jakarta, 2011 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, 1983 -------,Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung, 1995 ---------, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolissionisme; Binacipta, Bandung, 1996. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007
14
Jurnal ilmiah Research Sains Vol.2 No. 2 Juni 2016
Saafrudun Bahar, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002 Satjipto
Raharjo, Ilmu Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti, 1980. -------, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, 2011 Soeharto, Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa, dan Korban Tindak Pidana Terorisme, Refika Aditama, 2007 Soerjono Soekanto, Pengantar Metode Penelitian Hukum, AUI, Jakarta, 1982 -------, Faktor-factor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983. Subekti, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.
i
Ibid, hlm 51.
15