ABOUT US DGI BOOKSTORE DGI STORE School & College Desain Grafis Indonesia Desain Grafis Indonesia Fostering understanding among Indonesian graphic designers and its juncture in art, design, culture and society
Global Nomaden March 31, 2011 | Designer's Diary | 0
Click on the image to fit on your monitor Apakah mimpi terbesarku? Kenapa hari ini aku masih berada disini? Apa yang paling menakutkan dalam hidup? Untuk siapa sebenarnya aku melakukan ini semua? Mengapa aku bertemu dengannya saat ini?
Mampukah aku membaca ‘petunjuk ilahi’? Irwan Ahmett dan Tita Salina memutuskan cuti panjang dari pekerjaannya sebagai desainer grafis untuk menemukan jawaban dari rangkaian pertanyaan tersebut. Setelah 11 tahun bekerja keras setiap hari; mengejar deadline dan melunasi tagihan bank, akhirnya mereka memilih untuk menentukan perjalanannya sendiri. Selama satu tahun Duo ini akan melakukan kunjungan ke berbagai negara untuk bereksplorasi, melakukan interaksi dengan masyarakat lokal dan berkolaborasi dengan beragam komunitas bahkan mencoba untuk merespon sebuah wilayah yang spesifik. Menjadi pengembara di dunia global tentu membutuhkan banyak usaha dan keberuntungan. Bagaimana strategi dan negosiasi agar dapat bertahan di negara asing yang tidak mereka kenal? Bentuk pertukaran nilai dan kepentingan apa dapat ditawarkan? Apakah projectproject mereka akan berhasil diwujudkan? Hal apa yang paling mereka rindukan ketika jarak memisahkan mereka dengan tanah airnya? Ikuti terus kisahnya! DGI akan menjadi wadah bagi mereka untuk berbagi. Irwan Ahmett & Tita Salina www.irwanahmett.com
Irwan Ahmett dan Tita Salina. Photo by Lans Brahmantyo.
TULISAN PERTAMA (dari Den Haag) Saran membaca: Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sembari kita mendengarkan musik dari link berikut ini:
http://www.youtube.com/watch?v=vQQ2Ln8KxbI Minggu kedua Maret 2011 Sudah sebulan ini kerapkali tubuh mendadak terbangun dari tidur seolah mendengar bunyi detak jantung sendiri. Mencoba membaca buku namun berlembar halaman dilewati tak satupun yang mengendap di kepala. Secangkir kopi semakin memperparah segalanya. Penat rasanya tubuh ini namun hasrat untuk kembali menyalakan komputer dan tenggelam dalam lembaran halaman virtual tanpa batas menjadi jalan keluar yang buruk; Facebook news feed: status orang yang berubah menjadi bijak lengkap dengan foto wajah tertawa dalam berbagai gaya dan penampilan terbaiknya seolah mentertawakan mukaku yang mengkilat karena berminyak, Google: menjadi teman baik yang paling diandalkan karena bisa menanyakan apa saja dan ia akan meresponnya sangat cepat dengan jutaan pilihan, Arsenal: kesulitan mengejar jarak dengan MU, Diakhiri dengan mengintip sex site. Rasa sakit di punggung telah mengalahkan segalanya, dan tidur saat ini menjadi ‘barang mahal’ yang sangat dibutuhkan segera setelah terdengar suara parau speaker masjid tanda subuh menjelang. Empat jam berikutnya panas Jakarta mulai merambat naik dengan rasa lapar yang ditahan aku berjuang menembus kemacetan demi sebuah meeting yang berlangsung seharian. Bulatan berwarna merah dilayar hp indikasi dari sekumpulan telpon masuk yang kuabaikan sama warnanya seperti syarafsyaraf di mata ini yang mulai memerah. Kupacu motorku dengan kecepatan penuh kembali ke studio untuk menyelesaikan rancangan yang tertunda. Namun diperjalanan kembali jantung berdegup kencang dan menderu lebih cepat dari motorku…Kali ini penyebabnya adalah sebuah pertanyaan yang tibatiba terlintas di benakku; 10 tahun yang lalu keinginan terbesarku adalah menjadi desainer grafis, namun kenapa sekarang aku ingin berhenti? Tiba di mejaku yang berantakan, pandangan mata semakin nanar…sulit membedakan warna magenta dan merah, rasa kantuk semakin menggila…pikiranku mencoba menangkap halhal yang membuatku bahagia untuk membantuku cepat memejamkan mata. Setelah berhasil menghilangkan efek konten porno di otak akhirnya kutemukan juga Sebuah pengalaman 30 puluh tahun lalu, saat itu isi kepala hanya memikirkan satu hal, yaitu rasa ingin tahu! Langit pagi mulai menampakkan merahnya, sesosok siluet samar terlihat pada waktu ia membuka tirai jendela menyilaukan mataku disaat masih mengantuk. Lalu dia menarik lepas selimut yang sedang erat kupeluk, terlihatlah koleksi tato bergambar hurufhuruf memenuhi sekujur lenganku hadiah dari permen karet Yosan Gum. Aku sudah terbangun namun masih ada satu hal lagi masih aku tunggu saat ia mengusapkan tangan kasarnya, terasa sangat halus menyentuh punggungku. “Kita bertualang lagi hari ini!” Kalimat singkat mampu menyihir diriku untuk segera terbangun bergegas menyongsong hari paling membahagiakan yang akan kualami. Dibantunya aku mengenakan jaket yang ditempeli gambar strika es Jolly. Merinding seluruh permukaan kulitku pada saat ia membasuhkan embun pada kedua kakiku yang didapat dengan menyapukan tangannya pada pucuk rumput segar yang basah. “air embun pagi ini akan membantu kedua kakimu kuat berlari dikemudian hari” ujarnya. Petualangan terbesar dalam hidupku untuk pertama kalinya dimulai…Tangan lemahku memeluk erat pundaknya, dalam posisi digendong aku mulai mengalami hal baru dalam hidupku; termangu melihat anggunnya lokomotif mesin uap yang mengangkut bulebule berkulit pucat, mereka melemparkan permen dari balik gerbong kereta bagaikan alien yang mampir ke kota kecilku. Permen itu menjadi incaran teman teman sekolahku untuk mencoba rasa ajaib dari luar angkasa. Mencekam sekali rasanya saat aku melintas
jembatan bambu yang bergoyanggoyang dan lapuk, menangkap tubuh belut yang licin menggelikan, mengelus bulu kambing yang kasar dan bau, mengucurkan air ke daun talas, membuat bolabola dari tanah liat, melemparkan kepingan batu dan memantulkannya diatas permukaan kolam, meluncurkan pesawat kertas ke udara. Aku telah kecanduan dengan pengalaman fantastis ini dan masih terus mengulangnya selama 6 tahun kemudian bersama temantemanku bahkan seorang diri dengan membayangkan gundukan tanah di sekelilingku adalah pegunungan bersalju dan gelombang air di kolam adalah gulungan ombak raksasa. Sayupsayup antara sadar dan tidak, mata ini semakin memberat. Siluet itu kembali tampak mendekat, kali ini ia menyelimutiku dengan hangat, mengelus punggungku dan menyuruhku untuk segera tidur.
Sentuhan adalah bahasa tubuh paling universal bagi setiap makhluk hidup, usapan tangan menjadi perantara bentuk ekspresi ungkapan kasih. Ayahku selalu menggunakan tangannya untuk mentransformasikan rasa sayang kepada anakn Minggu ketiga Maret 2011 Kondisi yang buruk di minggu lalu tak mungkin kubiarkan berlarutlarut, aku perlu penyembuh untuk meredam ‘kegilaanku’. Setelah bernegosiasi dengan jadwal klien yang selalu tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan diriku, akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung sebelum menempuh perjalanan panjang ini. Ratusan kali aku menempuh perjalanan Jakarta menuju tanah kelahiranku, namun kali ini sungguh berbeda karena banyak agenda yang harus kulakukan. Setibanya di rumah, aku disambut oleh tangan yang dulu
kuat menggendongku namun kini tampak lemah dan keriput, namun hangatnya masih terasa sama dalam genggaman. Ingin rasanya berteriak meminta naik ke atas punggungnya dan berlari mencari embun pagi. Jiwaku benarbenar membutuhkan ketenangan dan dukungan untuk memulai pengembaraan ini. Aku harus menelusuri jaringan DNA, kromosom dan spirit yang mengalir dalam tubuhku! Kuputuskan untuk berkunjung ke pemakaman leluhur. Suatu saat aku akan mati dan dikuburkan seperti mereka. Apa yang harus kulakukan supaya hidupku tidak menjadi siasia? Aku percaya sebenarnya jiwa mereka tetap ada entah dimana di alam semesta ini dan mendengar dengan baik suaraku karena partikel mereka kini mengaliri dalam selsel tubuhku. Aku meminta Tuhan menjaganya dengan baik dan aku memohon mereka untuk mengirimkan energinya agar aku mampu mewujudkan mimpi terbesarku. Sinyal itu aku kirimkan, dalam hitungan detik aku mendapat balasan lebih cepat dari mesin pencari Google! Ketenangan merambat, ketakutanku menghilang, aku merasa menjadi bagian dari cosmis semesta menyatu bersama mereka, hari ini aku berhasil menjadi Son Go Ku dengan mengumpulkan bola semangat dari jiwajiwa yang berbeda dengan dimensiku. Pagi itu mentari malas merangkak terhadang awan, semalas diriku untuk meninggalkan orangorang yang kucintai. Aku menggenggam tangantangan yang membesarkanku untuk terakhir kalinya, terasa agak sedikit basah karena menyeka butiran air yang mengucur deras dari kedua sudut matanya, sungguh aku akan sangat merindukan sentuhan ini.
Kuburan hanyalah artefak dan simbolis semata untuk menyimpan dan mengenang. Kekuatan sesungguhnya berada pada saat kita memahami hidup orang yang dikuburkan di sana. Akupun bertanya akan dikenang sebagai ‘siapakah’ pada saat nama sudah terpasang di nisan?
Ikuti terus kisahnya! Tulisan berikutnya: Minggu keempat Maret 2011 Dimulainya petualangan dan kota yang disinggahi oleh Irwan Ahmett dan Tita Salina. www.irwanahmett.com
TULISAN KEDUA (dari Den Haag) Saran membaca: Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan musik dari link berikut ini: http://www.youtube.com/watch?v=22hEbOyWr3U Minggu ke 4 Maret 2011 Makhluk itu mengelilingiku dua kali, lalu kibasan ekornya menyentuh halus lututku, kubisikkan kalimat dengan frekwensi rendah yang biasa mampu menenangkan kegelisahannya. Katakata itu tidak tuntas terucap karena tenggorakanku tercekat seperti dijerat tali plastik. Kubiarkan bulubulu lembutnya rontok menempel beberapa helai di lengan jaketku. Setengah putaran kemudian dia berlari menjauh, panggilanku tak lagi mempan merayu agar bisa lebih lama mengelusnya. Koper terakhir kumasukkan ke dalam mobil namun binatang berkaki empat itu tidak juga muncul untuk menempelkan hidungnya ke celanaku seperti biasa. Dia tidak mau melihat wajah murung tuannya atau tidak sanggup menghadapi kesendirian dalam waktu yang lama?
Pertama kali kutemukan dia hanyalah seekor anjing liar yang dipungut dari jalanan namun usaha untuk mendapatkannya lebih sulit daripada mendapatkan klien korporat murah hati idaman perusahaan. Selama 3 bulan aku berusaha keras menjalin kepercayaan dengan makhluk liar yang telah mengalami banyak trauma dalam hidupnya karena berulangkali lolos dari usaha pembunuhan. Aku menyebutnya Blessy Anjing yang diberkati. Soekarno Hatta International Airport Pengeras suara itu memanggil semua penumpang untuk segera memasuki kabin pesawat. Tak kuhiraukan himbauan untuk mematikan handphone, aku ingin menyapa dan mengabari beberapa orang terdekat yang mendadak terlintas dan perlu tahu rencanaku ini. Tanganku bergetar, gagal mengetik pesan di papan qwerty, entah terlalu berat menjinjing koper atau ujung jariku sudah tidak lagi mampu menampung luapan kata yang muncul serentak dari kepala. Mataku tertuju pada garis hitam yang bergerak perlahan, baru kali ini aku memperhatikan jarum detik berjalan tanpa memejamkan mata. Konsep waktu adalah inti dari berjalannya kehidupan. Tuntas satu menit kusaksikan jarum kembali ke titik yang sama, benda bulat itu tetap saja berada di pergelangan tanganku, tidak terjadi apaapa dalam diriku. Namun di belahan dunia lain secara bersamaan terdapat serangkaian kejadian; juru masak mencicipi sup kental lalu menambahkan taburan garam, desainer panik karena hasil cetaknya salah potong, suami istri memutuskan untuk bercerai, turis tersesat di tempat terasing, tabrakan beruntun di jalan tol, anak kecil menangis karena balonnya terlepas ke udara, perempuan muda berteriak saat bercermin melihat potongan rambut terbarunya yang buruk, pintu rumah yang lupa dikunci, alarm mobil rusak yang terusmenerus berbunyi, keluarga bahagia melihat kelahiran anaknya… Mustahil menghentikan jarum jam yang baru kubeli sehari yang lalu. Aku memilih untuk menguasai waktu secara semu, kutarik tombol pemutarnya agar jam berhenti seperti yang kuhendaki…Stop! Apa daya sepuluh menit kemudian rangkaian mesin besi bergemuruh keras dan kulihat bumi semakin mengecil. Langit malam Jakarta membuat jutaan lampu di bawahnya bagaikan dead pixel yang terlihat indah di monitor LCD. Aku merasa berada di atas pesawat kertas raksasa yang membawaku menyebrangi benua, bentangan sayapnya dipenuhi semangat dari orangorang yang mendukung dan melepas kepergianku. Minggu ke 1 April 2011 Dubai Roda pesawat berdecit kencang, badannya yang kaku sedikit mengayun ke kanan. Kulihat ke bawah hamparan padang pasir maha luas membentang mengingatkanku pada kisah heroik yang sering kubaca waktu kecil di perpustakaan keliling tentang para ksatria suci pembawa panjipanji ilahi. Mereka rela mengucurkan tetesan darah, bahkan nyawanya demi ideologi di bumi ini. Pejuang tersebut mengenakan baju panjang berwarna putih berkibar tertiup angin membelah badai padang pasir, memacu kuda perkasa setinggi tiang bendera, terlihat gagah menggenggam pedang kebesaran seakan siap menebas segala angkara di dunia. Bau avtur bercampur suhu dingin pertama kali menyentuh wajahku. Udara lebih sejuk dari yang kubayangkan. Seorang petugas menegurku keras karena mengambil foto di kawasan bandara. Mataku
melihat banyak hal asing, merasa terkejut dengan apa yang kusaksikan. ‘Ksatria’ berbaju putih itu tetap ada dimanamana, namun kini mereka menunggang kendaraan yang super mewah dan tangannya menggenggam iPad. Kemampuan memainkan pedangnya hanya terbukti pada saat memainkan Fruit Ninja. Panjipanji kebesaran brand global benarbenar menghiasi kemana mata memandang. Kulihat orang mulai berdatangan dari berbagai ras dan bangsa, kulit putih dengan gaya hip hop lengkap dengan rambut rasta, hingga kulit hitam memakai baju warna putih dengan rambut super lurus. Dubai telah menjadi kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah, bagaikan Mak Erot mereka mengubah apa saja demi menciptakan sejarah baru.
Kota di semenanjung Arab yang dulu tandus, gersang dan berada dalam konflik wilayah mendadak menjadi negara kaya sejak ditemukannya cadangan minyak yang diperkirakan akan habis dalam beberapa tahun terakhir ini. (foto diambil dari internet)
Saat ini Dubai melakukan perubahan radikal; manuver bisnis investasi untuk menarik pihak asing menanamkan uangnya disana. Untuk pasokan air bersih mereka mengubah air laut menjadi tawar. Membangun mega proyek pulau buatan berbentuk pohon palem lengkap dengan hunian super mewah untuk para sosialita yang dimiliki para pengisi sampul majalah ekonomi dan gosip dunia. Tidak tahan dengan panas gurun diciptakanlah arena bermain musim salju buatan. Akuarium raksasa lengkap dengan makhluk laut eksotis dari berbagai benua. Hotel berbintang tujuh yang membelah langit menjadi pengakuan bahwa mereka telah mencapai supremasi tertinggi. Iri rasanya hati melihat bangsaku yang pada tahun 800 Masehi mampu membangun mahakarya Borobudur tapi kini membangun monorail saja sudah 10 tahun belum terwujud. DubaiAmsterdam Pramugari dengan bulu mata lentik lengkap dengan kostum ‘jilbab’ aneh mondarmandir menawarkan pilihan dari jus buah hingga minuman beralkohol, aku memilih teh panas, uap hangatnya membantu membasahi rongga hidungku yang perih karena keringnya udara di dalam pesawat. Perjalanan ini mulai terasa menjemukan. Mengantuk tapi tak bisa tidur, terjaga tapi sangat melelahkan. Mungkin karena aku makhluk yang selalu berada di darat, ketika kaki terlalu lama tidak menginjak tanah, tubuh merasa tidak terkoneksi dengan kutubkutub bumi. Sekarang aku berada di angkasa dan lebih baik sekalian saja membayangkan tanpa satu orangpun di sekitarku, menghapus pesawat yang mengangkutku, tinggal hanyalah aku dan kursi yang melesat sendirian di angkasa. Dapat kukendalikan kemana saja sesuai keinginanku; melihat kejayaan Ottoman di Turki, trauma perang saudara di Serbia, bangkai mesin pemusnah masal di negaranegara pecahan Uni Soviet. Kursiku terbang rendah mendekati bumi yang dingin. Barisan kincir angin penggerak turbin semakin tampak membesar terus berputar perlahan bagai lambaian tangan menyambut kedatanganku. Amsterdam Suhu udara kurasakan berbeda dari yang kualami sehari sebelumnya, terasa dingin menusuk ke dalam kulit. Aroma kopi dan tepung roti menghangatkan hidung yang membeku, kulihat sosok tersenyum menyambut di pintu gerbang, seorang teman lama dengan berlari menghampiri menyodorkan rangkaian bunga tulip yang masih kuncup di tangannya. Aku menyebutnya ‘Puppy Girl’ karena dia sangat baik kepada siapa saja, kadang terlalu baik. Selangkah kakiku sekarang menginjak benua Eropa, hembusan angin semakin keras menerbangkan bulu bulu halus yang menempel pada jaketku. Setengah melompat aku berusaha menangkapnya… hup! Berhasil! Satu helai berada dalam genggaman. Lalu kulipat telapak tanganku berbentuk setengah mengepal hingga menyerupai alat tiup. Sekuat tenaga kuhembuskan udara dari rongga paruparu kedalam terompet tanganku… Bunyinya nyaring sekali mengisi ruangruang kegelisahanku…Aku percaya pasti Blessy ‘mendengar’ dengan jelas suaranya. Tujuan berikutnya adalah Den Haag
Sepeda adalah kendaraan favoritku di kota Den Haag, dipandu sinyal GPS lengkaplah sudah perpaduan teknologi dan ‘Old Skool Glitter Bike’. Pengalaman ini menjadi perjalanan penuh kejutan, ikuti terus kisah pertemuan dengan teman dan lingkungan baru di tulisan selanjutnya. www.irwanahmett.com
Irwan Ahmett dan Tita Salina di Den Haag Press Release: “Urban Play The Hague” Urban Play The Hague: “Organism – Luchtalarm” Urban Play The Hague: “Connecting The Gum”
TULISAN KETIGA (dari London) Saran membaca: Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan musik dari link berikut ini (copy and paste link berikut di window baru): http://www.youtube.com/watch?v=MKAQE8F03Fg&feature=related The Hague, Netherlands
Bulan Pertama Masih kuingat pertama kali mengayuh sepeda roda dua. Belum genap 7 tahun umurku! Sehari sebelumnya kuminta bengkel depan rumah untuk melucuti dua roda kecil di samping yang membantu menjaga keseimbanganku selama ini. Bermodalkan sepeda besi dan setangkup nyali! Kupilih waktu sepi untuk meluncurkannya… Jam 5 pagi kudorong sepeda besi itu menuju jalanan paling menanjak di kotaku. Aspal kampung yang berlubang diselingi pasir licin sedikit menciutkan nyali. Tapi aku merasa inilah saatnya mengeluarkan seluruh kemampuan dan intuisi. Dengan gamang kugenggam erat kedua stang tanpa rem itu. Mataku yang terhalang rambut poni memandang lurus titik terjauh ke arah matahari yang mulai terbit. Satu, dua, tiga… Roda itu meluncur perlahan, tanganku coba mengendalikan laju roda depan menghindari lubang, kakiku terus mengayuh mencari titik keseimbangan, poni yang menutup kening tersibak sudah, bajuku melambai lambai seperti jubah jagoan. Sepeda melaju semakin kencang membuat adrenalinku mengalir diluar kendali. Tibatiba kegamangan berbalik menjadi keberanian untuk melewati apa saja dihadapanku, menuju perempatan, menyebrangi jalan besar, menerobos ilalang, melalui jembatan, menerjang keraguan… Sudah melampaui benua kayuhanku kini. Aku berada di Eropa, duduk mengendarai sepeda tua. Perasaanku sama seperti dulu ketika pertama kali belajar bersepeda, semakin dikayuh semakin banyak pengetahuan yang kurengkuh.
Setiap kayuhan adalah cerita bagiku, putaran roda kali ini berkisah bahwa manusia adalah zat yang sama, terdiri dari rangkaian daging dan tulang serta nyawa darimanapun dia berasal dan dilahirkan. Kadang kita terlalu berlebihan melihat bangsa barat atau tatapan mata mereka yang terasa menyepelekan kita. Padahal kebudayaan dan perilaku hanyalah kemasan, hirarki dibalik itu kita adalah makhluk yang memiliki hati nurani yang sama. Bulan kedua
Disini baru aku mengerti kenapa selama sepuluh tahun terakhir aku terlalu banyak mengejar mimpi semu dan dikejar perasaan takut kehilangan dengan apa yang sudah kuraih. Materi memang perlu untuk menyokong hidup, tapi menyerahkan waktu siang juga malam untuk pekerjaan sungguh membuatku malu. Aku percaya apa yang berada dalam kalbuku lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan memforsir habis seluruh tenagaku untuk mengejar fatamorgana. Memang diperlukan passion untuk menghasilkan sebuah masterpiece. Sayangnya kata ini sudah terlalu sering diangkat jadi tema utama majalah gaya hidup demi meningkatkan pemasukan iklannya, sehingga kata tersebut kehilangan makna. Tapi disini kusaksikan para ‘passionate sejati’ menjalani hidup juga menikmati mimpinya. Restoran kecil dengan semangat komunitas independen milik seorang lelaki berambut gimbal juga merangkap sebagai juru masak dengan bahan baku yang ditanam di pekarangan rumah, kerap dipenuhi pelanggannya. Di sudut kota lain, seorang gadis pirang tinggi menjulang menjaga toko mungil dengan keunikan produkproduknya mampu menyenangkan siapa saja yang memasukinya. Mereka menyampaikan berita baik kepada dunia apa adanya. Kenyataan ini memberiku pencerahan melebihi bacaan buku best seller motivasi populer yang selalu dipajang di rak terdepan toko buku ternama di Indonesia.
Aku sadari selama ini dihantui rasa takut! Takut kehilangan apa yang sebelumnya tidak kumiliki. Bulan ketiga Aku berjumpa dengan orangorang ramah di BielskoBiala, Polandia, ketulusan mereka melebihi warga Jakarta yang penuh curiga. Di Brussel, Belgia kulihat pemandangan mengharukan, sepasang kakek dan nenek bungkuk berjalan bergandengan mesra menyusuri Grand Palace de Bruxelles mampu meredam
keterkejutan berita perceraian seorang kawan di Indonesia yang juga mengabarkan aktifitas kantor KUA Jakarta saat ini lebih banyak menangani perceraian daripada pernikahan. Beberapa minggu kemudian mataku terpesona oleh modisnya wanita di sepanjang trotoar komersial Paris, mereka selalu tersenyum dalam ketergesaan. Setiap kali berpapasan, hembusan angin dari gerak tubuhnya menebar aroma membius, bagaikan busa cappucino yang sungguh menggoda. Namun bagi sebagian orang, godaan datang dari barisan butik mewah terkenal yang sore itu dipenuhi antrian para pemburu brand kelas dunia, hebatnya mayoritas berasal dari Asia. Mereka tampak berjalan kepayahan karena terlalu banyak membawa barang belanjaan. Paris adalah kota yang bisa membuat orang kembali jatuh cinta. Lengkap dengan setting bangunan aristokrat bersejarah, menara Eiffel dan sungai Siene mengalir anggun bagaikan efek ‘Healing Brush’ di Photoshop, sangat cantik sungguh terlalu cantik. Situasi yang kontras dengan tempat tinggalku di sudut selatan kota Paris. Disana yang terlihat adalah pemukiman kaum imigran, gerombolan anak muda mabuk, polisi yang berpatroli, rongsokan sampah, pengemis, coretan kegalauan. Ternyata yang kulihat tadi di jantung kota hanyalah sebuah ‘setting film Hollywood’ yang mampu menyihir wisatawan dari seluruh dunia. Begitulah rasanya menyaksikan dua hal yang kontradiktif secara bersamaan. Seperti suatu pagi aku menerima berita gembira bahwa proposal perpanjangan projectku di Den Haag untuk 3 bulan berikutnya disetujui. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, hanya selang sehari aku mendatangi kantor imigrasi, mereka menolak untuk memperpanjang visaku, bahkan dengan bantuan dampingan dari staf kedutaan Indonesia tetap tidak membuahkan hasil. Artinya, aku harus meninggalkan Uni Eropa sebentar lagi! Sepulang dari kantor imigrasi berat rasanya sepeda ini kukayuh, kembali kedua tanganku merasa gamang seperti dulu. Rantai besi renta itu berderak karena kukayuh hingga otot pahaku terasa membengkak, melesat mendahului semua yang ada di jalan, menerobos lampu merah, mendahului barisan trem, menyongsong matahari terbenam di Scheveningen. Kuputuskan untuk tidak mengeremnya, biarlah sepeda ini meluncur seperti hidupku yang kini melaju bermodal mimpi dan setangkup nyali menuju negara berikutnya: Inggris!
2 bulan setengah aku tinggal di Inggris semuanya harus dimulai dari nol lagi, inilah saatnya mengeluarkan kembali seluruh kemampuan dan intuisi. Setelah mengunjungi Sunderland dan Newcastle aku memilih tinggal di London kota luar biasa yang membuatku selalu ingin tinggal di sana. www.irwanahmett.com
TULISAN KEEMPAT (dari Istanbul)
Bulan ke 7, UK Saran membaca: Tulisan dibawah ini akan lebih nyaman dibaca sambil mendengarkan musik dari link berikut ini (copy and paste link berikut di window baru): http://www.youtube.com/watch?v=tEAwO4Mxwd4 Pulang sekolah aku menyusuri pasar mencari peti bekas diantara tumpukan dus dan kayu rongsok, namun tidak juga kutemukan benda yang diinginkan. Kuberanikan diri untuk merayu si engkoh pedagang sembako, akhirnya berhasil juga membawa pulang dua buah peti kayu impianku. Kotak itu aku bongkar lalu dirakit menjadi rumah mungil lengkap dengan pintu depannya. Tak sabar kugendong naik ke atas genteng lalu mencari sudut yang tepat untuk meletakkan rumah baru binatang peliharaanku; sepasang merpati! Sering aku termenung menatap mereka terbang di langit atau memohon pada abangku melepaskan si merpati jantan sejauh mungkin dengan menuliskan surat kecil di pangkal ekor si burung. Menanti merpati kembali, menjadi saat paling kunanti… Wussssshhhh…! Kepakan ratusan sayap menderu menghembus keras di depan wajah, membuyarkan lamunan masa kecilku. Aku berdiri terpukau di Trafalgar Square, London! Kini burungburung itu seolah terus menjadi bayanganku, selalu ada di setiap negara dimana aku singgahi. Mungkinkah mereka terbang bermigrasi antar benua untuk memilih tempat yang lebih baik? Hari berikutnya segera aku menulis surat, memperkenalkan diriku agar menjalin pertemanan dan relasi baru di Inggris.
Lebih dari 10 email terkirim! Setiap hari aku menunggu balasan untuk memulai kehidupan
baru! 7 bulan sudah ‘rumahku’ berada dalam sebuah koper berukuran sebesar kandang merpati, berpindah pindah dari satu kota ke kota lainnya. Kondisi ini menyadarkanku bahwa sebenarnya kita tidak memerlukan banyak hal dalam hidup. Akibatnya tubuhku kini kurus semakin ringkih seakan mudah terhempas angin Atlantik. Aku pernah mengalami ‘obesitas akut’ karena terlalu banyak mengkonsumsi hal tidak penting yang menggerogoti hidupku. Perjalanan ini bagaikan program diet panjang untuk membentuk ‘tubuhku’ yang sebenarnya. Tak terhitung lagi berapa jarak kutempuh telah membentuk jiwaku menjadi 7 tahun lebih berkilau.
Tubuhku berwujud rangkaian panca indra selama semua unsur tersebut terpenuhi selanjutnya bisa fokus mengejar mimpi. Lapis demi lapis ‘lemak’ itu terkikis sudah, setiap timbunan yang hilang menyisakan ruang untuk diisi kembali dengan kisah baru. Seperti bagaimana mengucapkan rasa “terima kasih” yang paling menggetarkan hati disaat aku mendapat bantuan tidak terduga dari sebuah keluarga yang menampungku untuk tinggal di rumahnya. Di Maroko aku berbincang dengan seorang ibu dengan bahasa yang sama sekali asing namun kami saling memahami apa yang dimaksud, padahal melihat presidenku berpidato berbelitbelit selama 30 menit di TV sama sekali tidak kumengerti. Betapa sebuah kata bisa mengguncang, jarak mampu mengubah banyak arti kata yang tadinya biasa menjadi sangat emosional. Aku menghindari mengucapkan satu kata dengan orangorang yang kucintai di negeriku. Mendengarnya saja sudah membuatku runtuh. Kata itu adalah ‘rindu’. Satu persatu email yang kukirimkan mulai mendapat balasan, teman baru, project baru dan lingkungan baru bermunculan lebih cepat dari perkiraan. Aku merasa punya kesempatan dan momentum untuk tumbuh disini. Hasrat serta minatku telah menemukan ekosistemnya hingga sempat terfikir untuk mengakhiri saja perjalanan ini. Satu bulan lamanya aku mempertimbangkan apakah keputusanku tepat untuk melakukan migrasi? Ataukah aku telah terhipnotis oleh mimpimimpiku yang terasa begitu dekat dan nyata di kota ini. Setelah kutelusuri lebih jauh, pilihan menjadi imigran merupakan sebuah konsekuensi yang lekat dengan
berbagai stigma dan isu. Jika kita tidak mampu mempersiapkannya dengan baik malah menjadi jerat yang dapat menjebak diri kedalam situasi lebih sulit. Seperti temanteman baruku lulusan program Master dari universitas ternama di London kini kesulitan mencari lapangan pekerjaan. Sebagian dari mereka harus rela melakukan magang dengan mendapat upah minim, situasi menguntungkan bagi perusahaan namun penyiksaan bagi para lulusan karena mereka telah menghabiskan uang banyak selama kuliah. Krisis finansial telah berdampak nyata terhadap kebijakan pendidikan Inggris apalagi bagi siswa pendatang non Inggris. Seolaholah mereka memberi janji manis: “Ayo datang dan sekolahlah disini, masa depanmu akan terjamin, bawa banyak uangmu! habiskan di negeri kami, tapi setelah lulus segeralah pulang, selamat mencari peruntunganmu sendiri!” Puncak dari kegelisahanku adalah meledaknya kerusuhan London. Dipicu oleh penembakan seorang warga sipil oleh polisi telah menyulutkan percikan api kedalam minyak. Sebuah bangsa yang memiliki sejarah panjang menjadi lumpuh dalam semalam dengan aksi pembakaran, kerusuhan dan penjarahan sulit terkendali hingga menjalar ke kota lain. Kegentingan ini mengingatkanku pada kerusuhan Mei ‘98 di Jakarta, bedanya dulu penjarah memanfaatkan situasi dengan mencuri beras dan makanan karena rakyat kelaparan. Namun di London, para kriminal menjarah karena ingin memiliki handphone baru, sepatu trendy, minyak wangi, televisi plasma hingga produk fashion terbaru lainnya. Menurut asumsiku, para pelaku umumnya berusia remaja telah termakan fantasi dan konsumerisme. Seakan terlalu sering bermain game di komputer lalu mencoba memainkannya di kehidupan nyata. Padahal mereka sudah diberi tunjangan sosial tapi merasa tidak punya uang cukup dan bosan dengan hidupnya. Cara pandang terdistorsi seperti ini membuat mereka menganggap kekacauan adalah suatu ketegangan yang menyenangkan.
Beberapa hari setelah peristiwa kerusuhan, masyarakat berinisiatif berdatangan dari berbagai penjuru dan kelompok usia, mereka membersihkan puingpuing secara sukarela, ingin membuktikan bahwa London adalah kota damai yang dicintai warganya. Semangat seperti ini yang kusuka Sore itu pengunjung restoran menjerit saat seekor merpati tibatiba tersasar masuk ke ruangan, berusaha keluar tetapi sayangnya terjebak kaca jendela. Berkalikali menabrak kaca, si burung pun panik dan mulai
kehilangan kendali. Seorang gadis gempal berusaha menangkap dengan mantelnya namun luput, merpati itu justru kembali membentur kaca lebih keras lagi. Dengan perlahan kudekati saat dia hinggap diatas pohon plastik. Sambil mengeluarkan siulan kecil, mulutku berbisik menyuruhnya untuk tenang. Pupil matanya yang bergerak liar mendadak terdiam, dibiarkan tanganku menyentuh sayapnya, sedetik kemudian dia sudah pasrah berada dalam genggamanku. Kubisikkan kata untuk segera pulang ke rumahnya karena ada yang tengah menanti dirinya disana. Hup! Burung itu terbang bebas tinggi ke angkasa diiringi tepukan tangan semua orang di restoran.
Aku memilih tidak terpenjara dalam “gudang” peraturan satu negara, aku ingin terbang mengunjungi negara juga bangsa lain. Seperti merpati yang selalu ada di setiap negeri di bumi. www.irwanahmett.com
Irwan Ahmett dan Tita Salina di Poland, Den Haag, London, Bristol, Istanbul: Urban Play Istanbul: “Fishing News” Urban Play Istanbul: “Keepin’ Ball” Urban Play Istanbul: “Buffering Race” Urban Play Istanbul: “Propeller People” Urban Play Bristol: “Forming Font” Urban Play London Urban Play The Hague: “Connecting The Gum” Urban Play The Hague: “Hole in Holland” Urban Play Workshop in Poland Urban Play The Hague: “Organism – Luchtalarm” Press Release: “Urban Play The Hague”Global Nomaden ••• « Previous Article Next Article » Share this! delicious mail tweet this share on facebook Add to Google Bookmarks Add to Yahoo! Buzz Tags: 2011, Irwan Ahmett, Tita Salina Related Posts Public Intervention Workshop: “Citizen Tactics” Irwan Ahmett & Tita Salina | BAG Art Camp “White Circle” Irwan Ahmett & Patungan.net | Urban Play “Trash Ball”
Add Your Comments
Your Message...
Name Email URL (optional) Add Comments
Notify me of followup comments via email Notify me of new posts by email. "Limitations and distractions are hidden blessings" Nigel Sielegar
SEARCH THE SITE
type keyword
search by media
BY YEARS: 19301939 19401949 19501959 19601969 19701979 19801989 19901999 20002009 20102019
INSIDE DGI Association & Community Award & Competition Online Exhibition Online Gallery Academic Writing History Article Profile City Creative Diary Designer’s Diary (an Anthology) DGI BOOKSTORE DGI STORE School & College Bibliography Designer's Diary DGI Activities DGI Bookstore DGI Store Museum News & Event Portfolio & Inspiration Social Issue
UPDATES BY
Search