SENGKETA PENGGUNAAN LAHAN TRANSMIGRASI SWAKARSA MANDIRI UNTUK KEGIATAN PERTABANGAN BATUBARA PT. JEMBAYAN MUARA BARA (Studi di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara) George Leonard Lalamentik Hukum Agraria 0710015033 ABSTRAK Dalam pertambangan batu bara yang dilakukan PT. Jembayan Muara Bara di Desa Bhuana Jaya telah terjadi sengketa penggunaan lahan dimana lahan tersebut adalah milik warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang di berikan oleh pemerintah melalui program Transmigrasi dengan di keluarkannya SK Nomor 801.RP.01.11.98 Tentang Penetapan Status Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa-Desa Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur dan di perkuat dengan adanya SK dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur dengan Nomor : 24/HM-KUT.08/BPN-/SPK-TSM.96-9701997 tentang pemberian Hak Milik Kepada 105 persil yang terletak di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana cara menyelesikan sengketa penggunaan lahan Transmigrasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui penyebab terjadinya sengketa den upaya penyelesaian sengketa oleh PT. Jembayan Muara Bara yang terjadi di Desa Bhuana Jaya. Metode analisis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah Deskriptif-Kualitatif yang di Kualitatifkan artinya menganalisis dan memberikan gambaran apa yang di peroleh penulis dari lapangan yang diambil dari metode pengumpulan data, kemudian data-data yang di peroleh di lapangan tadi dianalisis dan diberikan gambaran sesuai dengan data hasil kajian pustaka serta data-data dari lapangan tadi baik itu dari hasil observasi, dan wawancara. Berdasarkan penelitian, peneliti menyarankan sengketa pertanahan seharusnya di mediasi oleh Badan Pertanahan Nasional karena lebih mempunyai wewenang dalam penyelesaian sengketa lahan. Kata Kunci : Warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri, PT. Jembayan Muara Bara, Badan Pertanahan Nasional.
1
PENDAHULUAN Dengan fakta yang terjadi di Kalimantan timur khususnya di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Posisi ini sangat strategis karena terletak di antara ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara (Tenggarong) dengan ibu kota Provinsi Kalimantan Timur (Samarinda). Tenggarong seberang merupakan penghasil batu bara di Kutai Kartanegara dengan berdirinya perusahaan tambang batu bara di Tenggarong Seberang menimbulkan berbagai macam konflik agraria terutama dalam hal pembebasan lahan yang di gunakan untuk kegiatan pertambangan. Dalam SK penempatan TSM dari NAKERTRANS Nomor 801.RP.01.98,Tanggal 6 maret 1998, Tentang penetapan status transmigrasi swakarsa mandiri (TSM) pada desa-desa di kabupaten Kutai Kartanegara dan surat Nomor 475/823/SETDIS/DTKT/2012 Tentang pengesahan nama-nama TSM di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara, Di Desa Buana Jaya terjadi konflik tanah yang dimana tanah warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) telah diselewengkan oleh pihak lain atas tanah yang mereka miliki sebanyak kurang lebih 38 Hektar yang terdiri dari 19 KK, lahan tersebut merupakan lahan transmigrasi, akan tetapi tanah tersebut diklaim oleh PT. Jembayan Muara Bara, karena perusahaan tersebut juga memiliki sertifikat yang sama dengan milik warga transmigrasi tetapi perbedaan yang terlihat pada realita mengenai sertifikat tanah tersebut adalah letak desa yang berbeda, karena kesalahan penulisan dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kutai Kartanegara. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris. Penelitian hukum empiris (empirical law research) adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku (behavior) anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. Adapun pendekatan yuridis empiris menurut Bahdar Johan Nasution adalah dengan cara : a. Mengidentifikasi masalah sosial secara tepat agar dapat menyusun hukum formal yang tepat atau mengaturnya. b. Memahami kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan kontrol sosial secara spontan terhadap pelanggaran hukum formal tertentu. c. Memahami proses pelembagaan suatu hukum formal di dalam suatu konteks kebudayaan tertentu. d. Memahami sebab-sebab banyaknya terjadi pelanggaran pada hukum formal tert e. entu. f. Mengidentifikasi pola hubungan antara penegak hukum dan pemegang kekuasaan di satu pihak serta masyarakat umum di lain pihak, secara faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya. g. Mengidentifikasi hukum formal yang masih dapat berlaku, apakah diperlukan adanya penyesuaian atau perlu dihapus sama sekali dalam suatu konteks masyarakat tertentu.1
19Nasution, Bahdar Johan, Metode Penelitian Hukum, (Penerbit Mandar Maju, Bandung,2008), halaman 130-131
2
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan dengan menyesuaikan pada jenis penelitian yang ditentukan pada skripsi ini yaitu yuridis Empiris. Oleh karena itu pendekatan yang digunakan adalah studi kasus hukum. Studi kasus hukum langsung (legal-live case study) dengan karakteristik studi kasus tunggal ataupun studi kasus ganda. Sesuai dengan jenis penelitian dan pendekatan penelitian yang digunakan, maka lokasi penelitian oleh penulis tentukan di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Sebrang Kabupaten Kutai Kartanegara. Data yang digunakan dalam penyusunan proposal bersumber dari data primer, dan data sekunder menurut Abdulkadir Muhammad yaitu: a.
Data Primer Data primer yaitu data atau informasi yang diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan narasumber yang dilakukan di: 1. Kepala Badan Pertanahan Nasional Kutai Kartanegara. 2. Kepala Dinas Transmigrasi Kabupaten Kutai Kartanegara. 3. Kepala Desa Bhuana Jaya. 4. Dinas Pertambangan Kabupaten Kutai Kartanegara 5. Ketua Kelompok Transmigrasi Bhuana Jaya
b.
Data Sekunder 1. Peraturan pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. 3. Konsep-konsep hukum yang penulis peroleh dari literatur-literatur dan sumber lainnya. a. Populasi Populasi menurut Bambang Sunggono adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Populasi dapat berupa himpunan orang, benda, kejadian, kasus-kasus, waktu, atau tempat, denagan sifat atau ciri yang sama. Populasi yang penulis maksud adalah daerah transmigrasi swakarsa mandiri di desa Bhuana jaya kecamatan tenggarong seberang.2 b. Sampel Sampel menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap orang atau unit dalam populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk terpilih dalam sampel.3 Berdasarkan jumlah masyarakat yang ada, maka untuk menentukan sampel dengan menggunakan purposive sampling. Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat polpulasi yang sudah diketahui sebelumnya.4 Dalam penelitian hukum terdapat beberapa yang dapat digunakan oleh peneliti hukum. Menurut Abdulkadir Muhammad pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah: 2
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm
118 3
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2006) hlm 28 Amiruddin, H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafinda, 2012, hlm 106 4
3
a. Nonjudicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri secara damai, tanpa campur tangan pengadilan. b. Judicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum karena konflik yang diselesaikan melalui putusan pengadilan (yurisprudensi). c. Live Case Study, yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang dalam keadaan berlangsung atau belum berakhir. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Live Case Study yaitu pendekatan studi kasus pada peristiwa hukum yang dalam keadaan berlangsung atau belum berakhir. Pada tipe pendekatan ini peneliti melakukan pengamatan (Observation) langsung terhadap proses berlakunya hukum pada peristiwa tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Mandiri merupakan program dari dinas Tansmigrasi yang di biayai melalui dana APBN, program Transmigrasi Swakarsa Mandiri pertama kali dilakukan pada tahun 1998 melalui keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia dengan nomor SK 801.RP.01.11.98 Tentang Penetapan Status Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa-Desa Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur SK tersebut diperkuat dengan adanya surat keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Nomor surat 02-520.1-44.3/2002/Trans Tentang Pemberian Hak Milik atas Nama-Nama (293 orang) Atas Tanah yang terletak di desa Buana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara dan SK Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur dengan Nomor SK : 24/HM-KUT.08/BPN-16/SPK-TSM.96-97/1997 tentang pemberian hak milik kepada 105 persil yang terletak di desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara setiap kepala keluarga menerima bangunan rumah dan tanah garapan berupa lahan yang kira-kira memiliki luas antara sekitar Lahan Pekarangan : 2500 M2, Lahan Usaha I : 7.500 M2 dan Lahan Usaha II : 10.000 M2 yang diberikan pemerintah kepada warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri untuk melakukan kegiatan pertanian. Dimana pada tahun 2004 lahan Transmigrasi Swakarsa Mandiri tersebut di pergunakan sebagai lahan pertambangan batu bara oleh PT. Jembayan Muara Bara dimana dalam melakukan alih fungsi lahan tersebut warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri belum pernah mendapatkan ganti rugi dari pihak perusahaan, dalam penelitian yang dilakukan penulis di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang di sampaikan oleh kepala bidang Transmigrasi mengatakan tidak mengetahui kronologi alih fungsi lahan tersebut karena Dinas Transmigrasi tidak punya hak dalam pengalih fungi tanah tersebut.5 Lahan warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri pertamakali di tambang oleh PT. Jembayan Muara Bara pada tahun 2004, menurut pihak perusahaan mereka telah melakukan pembebasan lahan secara baik sebelum melakukan kegiatan operasinya, namun keterangan dari pihak warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri mereka belum pernah mendapatkan ganti rugi atas tanah yang di kuasai oleh pihak perusahaan sampai 5
Wawancara tanggal 22 mei 2013
4
sekarang ini. Data pemilik lahan Transmigrasi Swakarsa Mandiri berdasarkan SK keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan RI Nomor 801.RP.01.11.98, Tanggal 6 Maret 1998 dan nama tersebut di perkuat dengan SK dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur dengan Nomor SK : 24/HM-KUT.08/BPN-16/SPK-TSM.96-97/1997 tanggal 19 pebruari 1997 Tentang Pemberian Hak Milik Kepada 105 persil yang terletak di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. PEMBAHASAN 1. Tinjauan yuridis terhadap sengketa penggunaan lahan Transmigrasi Swakarsa Mandiri untuk kegiatan pertambangan batubara PT. Jembayan Muara Bara Pada tahun 1998, pemerintah memberi SK Nomor 801.RP.01.98,Tanggal 6 maret 1998, Tentang penetapan status transmigrasi swakarsa mandiri (TSM) pada desa-desa di kabupaten Kutai Kartanegara penetapan status Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa-desa Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur, bahwa penempatan sebagai Transmigran / Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa Bhuana Jaya, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, dan Desa Mulawarman Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara oleh pemerintah Kantor Wilayah Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan R.I Provinsi Kalimantan Timur dengan Target Penetapan Transmigrasi Swakarsa Mandiri T.A 1996 / 1997 , T.A 1997/1998 dan T.A 1998/1999 telah terpenuhi yaitu : 355 Kepala Keluarga . Penetapan status Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa-desa Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur, pada tahun 2002 Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan SK pemberian hak milik dengan Nomor 02-520.1-44.3/2002/Trans Tentang Pemberian Hak Milik Atas 293 orang atas tanah yang terletak di Desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. PT. Jembayan Muara Bara pertama kali melakukan pertambangan pada tahun 2004 yang di lakukan oleh managemen yang lama dan di lanjutkan oleh managemen yang baru pada tahun 2008 dengan nomor IUP 540/2541/IUP-OP/MB-PBAT/IX/2010 tanggal 27 September 2010 di kabupaten Kutai Kartanegara seluas 2.898 Ha dan Nomor 540/2542/IUP-OP/MB-PBAT/IX/2010 tanggal 27 September 2010 seluas 4.099 Ha. Pada tanggal 10 mei 2011 Kementrian tenaga kerja dan Transmigrasi RI mengeluarkan teguran tertulis kepada PT.Jembayan Muara Bara untuk menghentikan sementara kegiatan di tanah HPL Transmigrasi dan segera meminta ijin kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan pada tanggal 19 Agustus 2011 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan surat teguran tertulis yang ditujukan kepada pihak PT. Jembayan Muara Bara untuk menghentikan seluruh aktivitas yang berada di lokasi lahan HPL Transmigrasi sebelum mendapatkan persetujuan dari kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi. Pemberian izin kepada pihak perusahaan yang tidak mengindahkan hak masyarakat telah menimbulkan konflik lahan yang berkepanjangan. Kondisi ini juga yang menyebabkan perusahaan tidak dapat beroperasi secara optimal karena warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri melakukan aksi damai pada Tanggal 7 September 2011 di areal PT. Jembayan Muara bara yang di kawal oleh Aparat kepolisian di polsek Tenggarong Seberang, aksi damai warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri di lakukan di lahan-lahan yang tumpang tindih dengan lahan yang diklaim warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri sebagai lahan mereka.
5
PT. JMB Selama 9 tahun beroperasi, perusahaan ini dari lahan yang telah dimiliki adalah diklaim sebagai milik warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri, karena para warga memiliki sertifikat tanah yang lengkap sesuai dengan dokumen-dokumen yang dimiliki. Sengketa lahan kembali muncul ketika warga yang memiliki status tanah diwilayah PT. JMB ingin meminta ganti rugi atas tanah yang digarap oleh PT. JMB, akan tetapi dari pihak PT. JMB sudah melakukan ganti rugi terhadap warga yang dikira sebagai pemilik hak atas tanah tersebut. Dari hasil wawancara dari warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang didapat adalah bahwa: 1. Warga belum pernah mendapatakan ganti rugi atas tanah yang mereka kuasai 2. PT. JMB tidak mau melakukan ganti rugi karena sudah pernah membayar, akan tetapi pembayaran yang dilakukan bukan kepada warga transmigrasi swakarsa mandiri yang dimaksud. 3. Warga meminta kepastian hukum kepada Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur dan Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kutai Kartanegara untuk mendapatkan penyelesaian terhadap konflik yang terjadi, akan tetapi belum ada realisasi sampai sekarang.6 2. Upaya penyelesaian sengketa penggunaan lahan warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri untuk kegiatan pertambangan Batubara PT. Jembayan Muara Bara Warga Transmigrasi yang namanya tercantum di dalam SK Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur Nomor 24/HM-KUT.08/BPN-16/SPK-TSM.96-97/1997 hingga saat ini belum pernah mendapatkan ganti rugi oleh pihak perusahaan PT. Jembayan Muara Bara, pada tanggal 21 juni 2011 pihak warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri melayangkan surat dengan perihal meminta ganti rugi kepada pihak PT. Jembayan Muara Bara dalam menanggapi surat dari pihak warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri, pihak perusahaan menolak memberikan ganti rugi kepada warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri karena menganggap mereka telah melakukan pembebasan lahan sebelum melakukan kegiatan pertambangan. Pada hari kamis tanggal 11 Agustus 2011 sekitar jam 11.30 wita yang bertempat di kantor Polisi sektor Teluk Dalam Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara pihak perusahaan melakukan pertemuan dengan warga Transmigrasi Swakarrsa Mandiri dimana dalam pertemuan tersebut menghasilkan keputusan dimana kedua belah pihak sepakat membentuk sebuah team untuk melakukan inventarisasi dan indentifikasi dilapangan terhadap sertipikat yang terletak di desa Bhuana Jaya. Pada tanggal 5 september 2011 pihak warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri mengirimkan surat kepada Kapolsek Teluk Dalam kecamatan Tenggarong Seberang dengan prihal pemberitahuan pembekuan/pembubaran Team yang telah di bentuk pada tanggal 11 Agustus 2011 karena menurut warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri team tersebut tidak berfungsi dikarenakan pihak PT. Jembayan Muara Bara tidak memenuhi kesepakatan dan melanggar aturan yang telah di sepakati. Pada tanggal 15 September 2011 sekitar 14.30 WITA pihak wargaTransmigrasi Swakarsa Mandiri dan PT. Jembayan Muara Bara melakukan pertemuan kembali di polsek teluk dalam yang membahas tentang komplain warga terhadap pihak perusahaan, dalam pertemuan tersebut pihak warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri dan pihak Perusahaan sama-sama menyampaikan argumentasi mereka dan tidak menemukan kata sepakat 6
Wawancara Tanggal 23 mei 2013
6
maka dalam pertemuan tersebut pihak warga dan pihak perusahaan bersepakat permasalahan tersebut di bawa ke DPRD tingkat I Kalimantan Timur di Samarinda. Berdasarkan data yang diperoleh adapun SK Nomor 801.RP.01.11.98 tentang penetapan status transmigrasi Swakarsa Mandiri di Desa-desa Kabupaten Kutai Provinsi Kalimantan Timur. Dari data Perkembangan sifat dan substansi sengketa tanah di Desa Bhuana jaya tidak hanya persoalan administrasi yang harus diselesaikan melalui hukum administrasi, akan tetapi telah merambah keranah sosial, oleh karena itu dalam penyelesaiannya menjadi tanggung jawab bersama untuk menangani secara konprehensif, cepat, tepat dan tidak menimbulkan akses negatif. Masuknya perusahaan PT Jembayan Muara Bara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan pertambangan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan dimulainya pertambangan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan memiliki tanah tersebut. Di satu sisi terdapat warga transmigrasi yang memegang teguh prinsip bahwa tanah mereka yang sah, di sisi lain pengusaha pertambangan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat sertifikat tanah. Dalam kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketa pertanahan antara masyarakat versus pertambangan yaitu tentang sertipikat tanah. Dalam upaya penyelesaian masalah pertanahan itu ada yang diupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak pertambangan pada petani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan masyarakat, dalam hal ini pemerintah dianggap kurang koordinasi dengan pihak transmigrasi Swakarsa mandiri. Adapun surat dengan Nomor 595/120/TRANS/DTKT bahwa adanya penyampaian Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengenai penetapan nama-nama peserta Transmigrasi Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Sebrang, pola Transmigrasi Swakarsa mandiri Tahun Anggaran 2004. Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkan instansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksi ekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak masyarakat yang memiliki tanah, misalnya bukti kepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan kekuasaan. Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua hal yaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintah untuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyata keberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah. Menurut hasil penelitian yang penulis dapatkan Di Desa Bhuana jaya ada tiga hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah yang di sampakan oleh warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri :
7
a. Persoalan administrasi sertipikasi tanah yang tidak jelas dimana pihak Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan sertipikat hak milik atas nama warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri akan tetapi kenyataan di lapangan warga Transmigrasi Swakarsa Madiri sampai sekarang belum pernah menerima sertipikat tersebut, akibatnya menimbulkan dugaan pihak perusahaan melakukan penyerobotan, pengerusakan lahan dan bangunan rumah warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri, sehingga warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri meminta pertanggung jawaban kepada pihak PT. Jembayan Muara Bara untuk melakukan ganti rugi terhadap bangunan rumah, lahan pekarangan, lahan usaha I, lahan usaha II kepada warga TRansmigrasi Swakarsa Mandiri, terjadinya kesalahan-kesalahan dalam penerbitan sertipikat hak milik dan pembagian sertipikat hak milik yang tidak transparan di Desa bhuana jaya, bahwa pemberian hak milik dari pemerintah untuk warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri sesuai denga isi surat Menteri Transmigrasi Nomor : 801.RP.01.98 Tentang Penetapan Status Transmigrasi Swakarsa Mandiri pada desa-desa di Kabupaten Kutai melalui Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur, ternyata Sertipikat haknya telah di terbitkan oleh Badan Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara dan faktanya dilapanagn sampai saat ini sebagian besar sertipikat belum diserahkan kepada warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang berhak. Ganti rugi yang tidak jelas dimana pihak perusahaan menyatakan telah melakukan ganti rugi akan tetapi kenyataannya di lapangan warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri hingga sampai sekarang belum pernah mendapatkan ganti rugi dari pihak perusahaan yang mengakibatkan kerugian bagi warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri karena menurut pihak perusahaan mereka telah melakukan ganti rugi sebelum menjalankan kegiatan pertambangan tetapi warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri sampai sekarang belum merasa pernah menerima ganti rugi dari pihak perusahaan, karena dari hasil penelitian yang penulis dapatkan dilapanagan bahwa benar lahan tersebut adalah milik warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang diperkuat dengan adanya SK dari kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur dengan Nomor SK . 24/HM-KUT.08/BPN-16/SPK-TSM.96/97/1997 Tentang Pemberian Hak Milik Kepada 105 orang yang terletak di desa Bhuana Jaya Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Dalam Penyelesaian sebuah sengketa dapat dilakukan dengan cara penyelesaian sengketa melalui litigasi (di dalam pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan). KESIMPULAN 1. Transmigrasi Swakarsa Mandiri merupakan Program dari dinas Transmigrasi yang di biayai melalui dana APBN, program Transmigrasi Swakarsa Mandri pertama kali dilakukan pada Tahun 1998 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi dan Perambah Hutan Republik Indonesia dengan Nomor SK 801.RP.01.11.98 Tentang Penetapan Status Transmigrasi Swaarsa Mandiri di Desa-Desa Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur dan diperkuat dengan keluarnya SK Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur dengan Nomor SK : 24/HM-KUT.08/BPN-16/SPK-TSM.96-97/1997 Tentang Pemberian Hak Milik Kepada 105 Persil yang Terletak di desa Bhuana Jaya Kecamatan Tnggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Tujuan dari dibentuknya Transmigrasi adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan peran serta masyarakat, pemerataan pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa melalui
8
2.
a)
b)
prsebaran penduduk yang seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta nilai budaya dan adat istiadat masyarakat. Dalam undang-undang Transmigrasi Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian menyatakan bahwa lahan yang diberikan kepada peserta Transmigrasi diberikan lahan dengan status Hak Milik dimana diatur dalam Pasal 24 ayat 3 yang menyebutkan : " Tanah yang diperuntukkan bagi transmigrasi diberikan dengan status hak milik" Pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menyataan bahwa setiap pemegang kuasa pertambangan diwajibkan melakukan ganti rugi kepada pemegang hak milik atas tanah yang terkena usaha pertambangan tersebut yang diatur dalam Pasal 25 ayat 1 dan 2, pada undang-undang pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 juga menyebutan bahwa apabila telah mendapatkan izin kuasa pertambangan maka pemegang izin pertambangan tersebut wajib melakukan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah tersebut dimana diatur dalam pasal 26 yang menyebutkan : "Apabia telah didapat izin kuasa pertambangan atas sesuatu daerah atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerja pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya. Dari ketentuan diatas maka seharusnya pihak PT. Jembayan Muara Bara memberikan ganti rugi kepada warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri karena dari hasil penelitian yang didapat dilapangan lahan tersebut adalah benar milik warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang di peroleh dari program Tranmigrasi. Upaya nonlitigasi yang dlakukan warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri dan PT. Jembayan Muara Bara berdasarkan peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 ada ketidak sesuaian dimana: Dalam pasal 1 Ayat 5 Huruf C menyatakan bahwa Gelar mediasi adalah gelar yang menghadirkan para pihak yang berselisih untuk memfasilitasi penyelesaian kasus pertanahan melalui musyawarah. Dengan adanya mediasi yang dilakukan, dalam hal ini yang melakukan mediasi adalah Polres Kutai Kartanegara, hasil yang diperoleh tidak ada kesepakatan, karena menurut penulis bahwa yang seharusnya melakukan mediasi adalaha BPN karena menyangkut sengketa pertanahan dan BPN juga yang mempunyai tugas dan wewenang dalam penyelesaian. Sedangkan pada kasus antara warga Transmigrasi Swakarsa Mandiri dan PT. Jembayan Muara Bara yang melakukan mediasi adalah Polres Kutai Kartanegara bukan pihak yang berwenang untuk menyelesaikan masalah pertanahan ini, seharusnya yang melakukan mediasi adalah pihak Badan Pertanahan Nasional karena permasalahan ini adalah masalah sengketa pertanahan. Dalam Pasal 2 Ayat 1 Huruf B Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, menyebutkan bahwa: menyelesaikan kasus pertanahan yang disampaikan kepada Kepala BPN RI agar tanah dapat dikuasai, dimiliki, dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pemiliknya serta dalam rangka kepastian dan perlindungan hukum. Oleh karena itu dalam kasus tersebut adalah agar warga yang telah direbut hak atas tanahnya dapat memperoleh kepastian dan perlindungan hukum.
9
SARAN 1. Berdasarkan dari hasil di atas maka untuk menyelesaiakan konflik antara warga Transmigrasi Swakarsa mandiri dengan PT. Jembaya Muara Bara pemerintah dalam hal ini khususnya Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kutai Kartanegara harus ikut campur dalam hal penyelesaian yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, karena terkait dengan hak milik dan agar tidak terjadi intimidasi pihak-pihak masyarakat lemah terhadap perusahaan, sehingga hak-hak warga dalam Undang-undang tidak terpenuhi. 2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang ketransmigrasian, seharusnya direvisi kembali dengan memasukan larangan pengalihan fungsi lahan transmigrasi dari lahan pertanian menjadi lahan pertambangan karena tidak sesuai dengan tujuan dibentuknya Transmigrasi yang bertujuan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa melalui persebaran penduduk yang seimbang dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan serta nilai budaya dan adat istiadat masyarakat. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Ali Achmad, H. Chomzah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka; Jakarta. Amiruddin, H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafinda; Jakarta. Cristine S.T, 2007, Kitab Undang-Undang Hukum Agraria, Sinar Grafika; Jakarta. D. Soetrisno, 2008, Tata cara perolehan tanah untuk Industri, PT. Rineka cipta; Jakarta. Dirdjosisworo, Soedjono, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Fajar Intrepratama; Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka; Jakarta H.Amnudin, Salleh, 2009, Hukum Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum, PT. Kreasi Total Media; Yogyakarta. Muhammad, Abdul Kadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Aditya Citra Bakti; Bandung. Nasution, Bahdar Johan,2008, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Mandar Maju; Bandung. Rusmadi Murad, 1991, penyelesaian sengketa hukum atas tanah, Mandar Maju; Bandung. Simorangkir, J.C.T, 2008, kamus Hukum, Sinar Grafika; Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2006, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta, Raja Grafindo Persada; Jakarta. Supriadi, 2008, Hukum Agraria ,Sinar Grafika; Jakarta. Sunggono, Bambang, 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada; Jakarta.
10
B.
Peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Pertanahan Nasional.
tentang Badan
Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin lokasi dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan dalam rangka penanaman modal. Republik Indonesia, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.
11