GEOLOGY OF PURWOKERTO AND SURROUNDING AREA, RAWALO, BANYUMAS DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE
Rezki Naufan Hendrawan 270110090030
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS TEKNIK GEOLOGI PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI JATINANGOR 2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan pemetaan lanjut dengan judul “GEOLOGI DAERAH PURWOKERTO DAN SEKITARYA KECAMATAN RAWALO KABUPATEN BANYUMAS PROVINSI JAWA TENGAH”. Laporan ini berisi bahasan mengenai kondisi Geologi daerah penelitian dengan mengedepankan 5 aspek utama dalam pemetaan yakni ilmu Geologi Struktur, Stratigrafi, Petrologi, Sedimentologi dan Geomorfologi. Ucapan rasa hormat, bangga dan terima kasih penulis ucapkan terutama kepada orang tua tercinta serta seluruh keluarga penulis, yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberi dukungan baik moril maupun materil sehingga penulis bisa tetap semangat dan berjuang keras manggapai harapan dan cita-cita. Semoga penulis bisa segera membanggakan dan membalas semua yang telah kalian berikan selama ini. Penulis juga ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Hendarmawan, Ir., M.Sc selaku dosen pembimbing dan Dekan Fakultas Teknik Geologi Unpad dan Bombom T. Suganda,S.T, M.T.,
selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan masukan dan koreksi terhadap skripsi penulis.
i
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu dalam menyelesaikan pemetaan lanjut ini, yaitu: 1. Dr. Sc. Yoga Andriana Sendjadja, MSc. selaku Ketua Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran. 2. Bapak Faisal Helmi S.T., M.T., selaku dosen yang telah memberikan masukan dan bersedia diajukan pertanyaan yang begitu banyak oleh penulis dalam masalah yang ada di pemetaan lanjut ini. 3. Hilman Agil Satria, Eka Prahara Samodra, Priyangga, Azka dan Bimo selaku rekan penulis yang membantu penulis dalam pengambilan data dilapangan selama kurang lebih 8 hari. 4. Bapak Aim Supangat beserta keluarga sebagai Kepala Desa Sawangan yang telah memberikan fasilitas untuk menunjang kegiatan saat penulis berada di lapangan. 5. Lutfi, Gian, Alam, Irfan, Azka, Rieza, Agnes, David, Hilman dan rekan-rekan Pondok Septa yang telah memberikan banyak dukungan motivasi, tambahan ilmu, dan diskusi ilmiah yang membantu dalam pencerahan ketika mengalami kebingungan. 6. Rekan-rekan HMG UNPAD, khususnya angkatan 2009 sebagai wadah sharing dan bertukar pengalaman, ketika sedang buntu untuk menyelesaikan Tugas Akhir. 7. Setiap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang memberikan inspirasi dalam hidup penulis.
ii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. oleh sebab itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan laporan pemetaan lanjut ini. Akhir kata penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi salah satu referensi bagi penelitian selanjutnya.
Jatinangor, April 2014
Rezki Naufan Hendrawan
iii
SARI Daerah penelitian secara administratif termasuk ke Kecamatan Rawalo dan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis terletak pada kordinat 109ᵒ 8’ 33.702” BT - 109ᵒ 14’ 4.8984” BT dan 7ᵒ 25’ 54.1344” LS - 7ᵒ 31’ 21.81” LS. Sebagian besar dari daerah penelitian berupa perbukitan dan pedataran yang didominasi oleh batuan sedimen yang telah mengalami deformasi dan mengalami perlipatan dan pensesaran. Berdasarkan aspek fisiografinya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Pegunungan Serayu Selatan. Geomorfologi daerah penelitian dapat dibedakan menjadi empat satuan; yaitu satuan pedataran aluvium, satuan pedataran sedimen landai, satuan perbukitan sedimen agak curam, dan satuan perbukitan sedimen curam. Berdasarkan aspek litostratigrafinya, daerah penelitian ini terbagi menjadi lima satuan batuan, dengan urutan dari yang berumur paling tua sampai berumur paling muda yaitu satuan Breksi berumur Miosen Tengah, satuan Batupasir Tufan Karbonatan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, satuan batupasir tufan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, satuan batupasir berumur Miosen AkhirPliosen Awal bagian bawah dan endapan aluvium berumur kuarter. Dilihat dari hasil penafsiran data DEM dan data lapangan, dapat diketahui struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian; yaitu sesar Ciandong, sesar Mandirancan, Sesar Tambaknegara, Sesar Tipar, Sesar Jatisaba, Sesar Pasanggrahan dan Sesar Kedungpasung. Terdapat tujuh lipatan berarah barat timur dibagian tegah menuju selatan (Sinklin Jatisaba, Sinklin Sawangan Kidul, Sinklin Tipar, Antiklin Karangcengis, Antiklin Karangendep, Antiklin Gunungpayung, Antiklin penjogol dan Antiklin Tipar). Sejarah geologi dimulai pada kala Miosen Tengah dimana satuan breksi polimik terendapakan di daerah penelitian, pada kala itu daerah penelitian berada pada lingkungan laut. Pada kala Miosen Tengah hingga Miosen Akhir, daerah penelitian mengalami siklus transgresi dan mulai diendapkan Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada lingkungan laut di kipás laut dalam dengan arus turbidit. Pada kala Miosen Akhir hingga Pliosen Awal muka air laut mengalami penurunan dan terjadi pengendapan Satuan Batupasir (neritik tengah-luar). Periode pembentukan struktur geologi di daerah penelitian dimulai pada kala Pliosen-Pleistosen dengan arah tegasan relatif utara-selatan yang membentuk lipatan dan sesar yang memotong seluruh satuan batuan kecuali endapan aluvium. Sumberdaya bahan galian golongan C daerah penelitian berupa batupasir sebagai bahan bangunan dan pengeras jalan dan kebencanaan berupa longsor.
iv
ABSTRACT Research area administratively belongs to Rawalo and South Purwokerto district, Banyumas Regencies, Central Java Province. Geographically located in coordinate 109ᵒ 8’ 33.702” East Longitude until 109ᵒ 14’ 4.8984” East Longitude and 7ᵒ 25’ 54.1344”South Latitude until 7ᵒ 31’ 21.81”South Latitude. Most of research area is hills and plain dominated by sedimentary rock. Based on its physiography aspect, the research area belongs to Southern Serayu Mountain Zone.. The geomorphology of the research area can be distinguished into four units; those are alluvial plain, sedimentary plain unit, slightly steep sedimentary hills unit and steep volcanic hills unit. Based on its lithostratigraphy aspect, research area is divided into five rock units, from oldest to youngest sequence those are Middle Miocene of breccias unit, Middle Miocene-Late Miocene of Tuffaceous Sandstone Carbonate unit, Middle Miocene-Late Miocene of tufaceous sandstone unit and Late Miocene-Early Pliocene of sandstone unit and Quarternary of alluvium unit. From the interpretation of DEM and field data, the geological structures that developed in the research area could be seen; those are Ciandong Fault, Mandirancan Fault, Karangendep Fault, Tambaknegara Fault, Tipar Fault, Jatisaba Fault, Pasanggrahan Fault and Kedungpasung Fault. There are seven fold trending west-east in the middle to southern (Jatisaba sincline, Sawangan Kidul Sincline, Tipar Sincline, Karangcengis Anticline, Karangendep Anticline, Gunungpayung Anticline, Penjogol Anticline and Tipar Anticline). The geological history started from Middle Miocene where breccias unit was deposited, the research area is expected located on marine environment. At Middle-Late Miocene research area had been transgresive cycle start of Tuffaceous Sandstone Carbonate and Tuffaceous Sandstone unit are deposite located at sub-marine fan, then by Late Miocene-Early Miocene research area sea level regressive so feldspatic sandstone occurred (middle-outer neritic) The geological structures period started on Pliocene-Pleistocene with north to south trend of stress, built some fold and fault to cross all unit of rock except alluvium deposit. Mineral resource type C in study area is sandstone for construction material and road,meanwhile for natural hazard identified is avalanche.
v
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i SARI ...................................................................................................................................iv ABSTRACT ....................................................................................................................... v DAFTAR ISI......................................................................................................................vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 1.1. Latar belakang .......................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................... 2 1.3. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................. 3 1.4. Metode Pemetaan Geologi ....................................................................................... 4 1.4.1. Objek Penelitian ................................................................................................ 4 1.4.2. Alat-Alat yang Digunakan ................................................................................ 5 1.4.2.1. Tahap persiapan ......................................................................................... 5 1.4.2.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan ......................................................... 5 1.4.2.3. Tahap Pengerjaan Laboratorium ................................................................ 5 1.4.2.4. Tahap Pengerjaan Studio ........................................................................... 6 1.4.3. Langkah-Langkah Penelitian ............................................................................ 7 1.4.3.1. Tahap Persiapan ......................................................................................... 8 1.4.3.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan ......................................................... 9 1.4.3.3. Tahap Pekerjaan Laboratorium ................................................................ 10 1.4.3.4. Tahap Analisis Data ................................................................................. 11 1.4.3.4.1. Analisis Geomorfologi ...................................................................... 11 1.4.3.4.2. Analisis stratigrafi ............................................................................. 18 1.4.3.4.3. Analisis Struktur Geologi.................................................................. 30 1.4.3.4.4. Analisis Geologi Sejarah ................................................................... 36 1.4.3.5. Tahap Bimbingan dan Pelaporan ............................................................. 36 1.5. Geografi Umum ..................................................................................................... 36 1.6. Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja ................................................................ 37 BAB II KERANGKA..GEOLOGI..REGIONAL ......................................................... 39
vi
2.1. Geomorfologi ......................................................................................................... 39 2.2. Stratigrafi ............................................................................................................... 40 2.2.1. Formasi Halang ............................................................................................... 41 2.2.2. Anggota Breksi Formasi Halang ..................................................................... 42 2.2.3. Formasi Tapak ................................................................................................ 43 2.2.4. Endapan Lahar G. Slamet ............................................................................... 44 2.2.5. Aluvium .......................................................................................................... 44 2.3. Struktur Geologi..................................................................................................... 44 BAB III GEOLOGI ........................................................................................................ 47 3.1. Geomorfologi ......................................................................................................... 47 3.1.1. Morfografi ....................................................................................................... 49 3.1.1.1. Bentuk lahan ............................................................................................ 49 3.1.1.2. Bentuk Lembah ........................................................................................ 50 3.1.1.3. Pola Pengaliran ........................................................................................ 50 3.1.1.3.1. Pola Pengaliran Anastomatik ............................................................ 51 3.1.1.3.2. Pola Pengaliran Angulate .................................................................. 52 3.1.1.3.3. Pola Pengaliran Pinnate .................................................................... 52 3.1.1.3.4. Pola Pengaliran Sub-Trellis .............................................................. 52 3.1.1.3.5. Pola Pengaliran Sub-Denditrik.......................................................... 53 3.1.1.3.6. Pola Pengaliran Paralel ..................................................................... 53 3.1.2. Morfogenetik................................................................................................... 54 3.1.3. Morfometri ...................................................................................................... 55 3.1.4. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian ......................................................... 56 3.1.4.1. Pedataran Aluvium................................................................................... 57 3.1.4.2. Pedataran Sedimen Landai ....................................................................... 57 3.1.4.3. Perbukitan Sedimen Agak Curam ............................................................ 58 3.1.4.4. Perbukitan Sedimen Curam ..................................................................... 59 3.2. Stratigrafi ............................................................................................................... 61 3.2.1. Satuan Breksi .................................................................................................. 63 3.2.2.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 63 3.2.2.2. Kisaran umur dan Lingkungan Pengendapan .......................................... 65
vii
3.2.2.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 66 3.2.2.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 67 3.2.2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan ............................................................... 68 3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 68 3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan......................................... 69 3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 74 3.2.1.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 75 3.2.3. Satuan Batupasir Tufan ................................................................................... 76 3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 76 3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan......................................... 78 3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 86 3.2.1.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 86 3.2.3. Satuan Batupasir ............................................................................................. 88 3.2.3.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 88 3.2.3.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan.......................................... 89 3.2.3.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 95 3.2.3.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 96 3.2.4. Endapan Aluvium ........................................................................................... 97 3.2.4.1. Litologi dan Penyebarannya..................................................................... 97 3.2.4.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan.......................................... 98 3.2.4.3. Hubungan Stratigrafi ................................................................................ 98 3.2.4.4. Kesebandingan Regional.......................................................................... 99 3.3. Struktur Geologi..................................................................................................... 99 3.3.1. Interpretasi Pola Kelurusan ........................................................................... 100 3.3.2. Struktur Lipatan ............................................................................................ 103 3.3.2.1. Sinklin Jatisaba ...................................................................................... 104 3.3.2.2. Antiklin Karangcengis ........................................................................... 104 3.3.2.3. Antiklin Karangendep ............................................................................ 105 3.3.2.4. Sinklin Sawangan Kidul......................................................................... 106 3.3.2.5. Antiklin G. Payung ................................................................................ 107 3.3.2.6. Sinklin Tipar .......................................................................................... 108
viii
3.3.2.7. Antiklin Tipar......................................................................................... 109 3.3.3. Struktur Kekar ............................................................................................... 110 3.3.4. Struktur Sesar ................................................................................................ 113 3.3.4.1. Sesar Naik Karangendep ........................................................................ 114 3.3.4.2. Sesar Naik Mandirancan ........................................................................ 115 3.3.4.3. Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba........................................................... 117 3.3.4.4. Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan ................................................. 119 3.3.4.5. Sesar Mendatar Sinstral Ciandong ......................................................... 121 3.3.4.6. Sesar Mendatar Sinistral Tipar ............................................................... 125 3.3.4.7. Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung ............................................... 127 3.3.4.8. Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara ............................................... 130 3.3.4.9. Sesar Mendatar Dekstral Serayu ............................................................ 132 3.4. Sejarah Geologi .................................................................................................... 134 3.5. Sumberdaya dan Kebencanaan Geologi .............................................................. 136 3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi ...................................................................... 136 3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi ...................................................................... 137 BAB IV RANGKUMAN............................................................................................... 138 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 142
ix
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Alur pengerjaan penelitian .............................................................................. 8 Gambar 1.2. Pola pengaliran menurut Howard (1967); A. Pola pengaliran dasar, B dan C pola pengaliran modifikasi ................................................................................................ 13 Gambar 1.3. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam Walker dan James, 1992) ....................................................................................... 22 Gambar 1.4. Karakteristik endapan sikuen Bouma (A) Sikuen Bouma dan interpretasi faciesnya (Bouma dalam Mutti, 1999), (B) Karakteristik Endapan Turbdit dari Proximal sampai Distal ( Bouma, 1962)........................................................................................... 24 Gambar 1.5. Facies pengendapan pada endapan turbidit (Mutti, 1999) ........................... 25 Gambar 1.6. Sikuen pengendapan endapan turbidit pada bagian proximal (inner fan) sampai distal ( outer fan-basin plain) (Mutti,1999) ......................................................... 25 Gambar 1.7. Model Lingkungan Pengendapan berdasarkan pemodelan submarine fan deposit (Walker,1992)....................................................................................................... 26 Gambar 1.8. Klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)27 Gambar 1.9. Klasifikasi batuan beku berbutir kasar (kiri) dan batuan beku berbutir halus (kanan), (Streckeisen, 1976) ............................................................................................. 28 Gambar 1.10. Klasifikasi batuan beku (Travis, 1955) ...................................................... 28 Gambar 1.11. Klasifikasi batupasir dan batulempung (Pettijohn, 1975 dalam Gillespie dan Styles, 1999)............................................................................................................... 29 Gambar 1.12. Klasifikasi batuan Vulkaniklastik (Schmidt, 1981 dalam Gillespic dan Styles, 1999) ..................................................................................................................... 29 Gambar 1.13. Klasifikasi tuff (Schmidt, 1981) ................................................................. 29 Gambar 1.14. Teori orientasi sesar (Anderson, 1951) ...................................................... 31 Gambar 1.15. Konsep sesar mendatar Moody & Hill (1959) ........................................... 32 Gambar 1.16. Klasifikasi Sesar (Rickard (1972) dalam Berkman (1976)) ....................... 34 Gambar 1.17. Hubungan Riedel Shear dari Harding (1973) dengan konsep Moody & Hill (1959) ................................................................................................................................ 34 Gambar 1.18. Klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964 .................................................. 35 Gambar 1.19. Peta administratif lokasi penelitian ............................................................ 37
x
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah modifikasi R.W. Van Bemmelen (1970) ............... 39 Gambar 2.2. Konfigurasi Struktur Pulau Jawa dikutip dari Situmorang, 1973 ................ 46
Gambar 3.1. Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian (Tanpa Skala) .................... 54 Gambar 3.2. Morfometri Daerah Penelitian (Tanpa Skala) .............................................. 56 Gambar 3.3. Pedataran Sedimen Landai (garis merah)..................................................... 58 Gambar 3.4. Perbukitan Sedimen Agak Curam (garis kuning)......................................... 59 Gambar 3.5. Perbukitan Sedimen Curam (garis merah) dan Pedataran Aluvium (garis kuning) .............................................................................................................................. 60 Gambar 3.6. Kenampakan daerah penelitian dengan model 3D ....................................... 61 Gambar 3.7. Singkapan Breksi Dominasi Komponen pada stasiun ST.56 (A) Singkapan sekala besar (B) dan (C) perbesaran dari singkapan skala besar....................................... 64 Gambar 3.8. Singkapan Breksi Dominasi matriks pada stasiun ST.54 (A) Singkapan skala besar (B) perbesaran dari singkapan skala besar............................................................... 65 Gambar 3.9. Kontak antara Satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.27 ..................................................................................................................... 67 Gambar 3.10. Singkapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (A) dan perselingan antara batupasir dan batulempung (B) ......................................................................................... 69 Gambar 3.11. Model lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dengan model Bouma (1962) ............................................................................................ 71 Gambar 3.12. Lingkungan pengendapan Batupasir Tufan Karbonatan (Walker, 1992)... 72 Gambar 3.13. Struktur sedimen (A) slump pada stasiun ST.44 (B) wavy pada stasiun ST.45 ................................................................................................................................. 72 Gambar 3.14. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966) .................... 74 Gambar 3.15. Kontak antara satuan batuan (A) Kontak satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (B) Kontak Satuan Batupasir Tufan dan Batupasir Tufan Karbonatan ........................................................................................................................ 75 Gambar 3.16. Singkapan Satuan Batupasir Tufan (A) batulempung pada stasiun ST.50 (B) batupasir halus ST.59 (C) batupasir kasar ST.06........................................................ 77 Gambar 3.17. Struktur sedimen (A) pebbly sandstone stasiun ST.06 (B) pasir massif stasiun ST.15 ..................................................................................................................... 81
xi
Gambar 3.18. Model sekuen Bouma (1962) (Ta) Graded bedding perselingan batuan stasiun ST.58 (Tb) parallel laminasi stasiun ST.49 (Tc) Ripple Mark stasiun ST.49 dan (Te) Lempung massif stasiun ST.66 ................................................................................. 81 Gambar 3.19. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan dengan model pengendapan Bouma, 1962 ............................................................................................... 82 Gambar 3.20. Lingkungan Pengendapan Batupasir Tufan (Walker, 1992) ...................... 84 Gambar 3.21. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et. Al. (1966) .................................... 85 Gambar 3.22. Kontak antar satuan batuan (A) kontak Satuan Batupasir Tufan dan SatuanBatupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.38 dan (B) kontak Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada stasiun A13.................................................................. 86 Gambar 3.23. Singkapan Batupasir karbonatan stasiun A14 (A) Tubuh singkapan (B) Batupasir halus (B) Batupasir kasar .................................................................................. 89 Gambar 3.24. Struktur sedimen pada Satuan Batupasir (A) dan (B) pebbly sandstone pada stasiun ST.40 dan ST.41, (C) terdapat pecahan moluska pada stasiun ST.70 dan (D) paralel laminasi stasiun ST.11 .......................................................................................... 92 Gambar 3.25. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam Walker dan James, 1992) ....................................................................................... 93 Gambar 3.26. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966) ...................................... 95 Gambar 3.27. Endapan Aluvium Kali Logawa ................................................................. 98 Gambar 3.28. Analisa Kelurusan Sungai (kiri) dan Analisa Kelurusan Kontur (kanan) tanpa skala....................................................................................................................... 101 Gambar 3.29. Analisa Kelurusan DEM (tanpa skala) ..................................................... 102 Gambar 3.30. Diagram Roset kelurusan DEM (merah), kelurusan kontur (kuning) dan kelurusan sungai (hijau) .................................................................................................. 102 Gambar 3.31. Stereonet Sinklin Jatisaba dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ........................................................................................................................................ 104 Gambar 3.32. Stereonet Antiklin Karangcengis dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ............................................................................................................................... 105 Gambar 3.33. Stereonet Antiklin Karangendep dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ............................................................................................................................... 106
xii
Gambar 3.34. Foto perubahan kemiringan lapisan batuan sebagai indikasi Antiklin Karangendep diantara stasiun ST.44 dan ST.45 ............................................................. 106 Gambar 3.35. Stereonet Sinklin Sawangan Kidul dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964).................................................................................................................. 107 Gambar 3.36. Stereonet Antiklin G.Payung dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ............................................................................................................................... 108 Gambar 3.37. Stereonet Antiklin Sidamulih dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ............................................................................................................................... 109 Gambar 3.38. Stereonet Antiklin Tipar dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964) ........................................................................................................................................ 109 Gambar 3.39. Diagram Stereonet K1 (stasiun ST.44), K2 (stasiun ST.49) dan K3 (stasiun ST.51) disertai dengan foto Kekar disetiap stasiun ......................................................... 111 Gambar 3.40. Diagram Stereonet K4 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.57........ 112 Gambar 3.41. Diagram Stereonet K5 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.35 ........ 113 Gambar 3.42. Diagram Stereonet OF9 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.57 ............................................................................................................................... 114 Gambar 3.43. Korelasi Sesar Karangendep dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 ................................................................... 115 Gambar 3.44. Diagram Stereonet OF12 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.25 ............................................................................................................................... 116 Gambar 3.45. Diagram Stereonet OF15 disertai foto ofset pada stasiun ST.29 ............. 116 Gambar 3.46. Korelasi Sesar Mandirancan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 ................................................................... 117 Gambar 3.47. Diagram stereonet pada OF16 .................................................................. 118 Gambar 3.48. Korelasi Sesar Jatisaba dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ............................................................... 118 Gambar 3.49. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill, 1959 (kanan)........................................................................................... 119 Gambar 3.50. Diagram stereonet pada OF11 disertai foto pada stasiun A10 ................. 120 Gambar 3.51. Korelasi Sesar Pasanggrahan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 120 Gambar 3.52. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 121 xiii
Gambar 3.53. Diagram stereonet dan foto pada OF2...................................................... 122 Gambar 3.54. Diagram stereonet dan foto pada OF3...................................................... 122 Gambar 3.55. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF4 ............................................. 123 Gambar 3.56. Diagram stereonet dan foto pada OF5...................................................... 123 Gambar 3.57. Breksi Sesar pada Sesar Semanding......................................................... 123 Gambar 3.58. Korelasi Sesar Ciandong dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 124 Gambar 3.59. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 125 Gambar 3.60. Diagram stereonet dan foto cermin sesar pada OF7................................. 126 Gambar 3.61. Korelasi Sesar Tipar dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ............................................................... 127 Gambar 3. 62. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 127 Gambar 3.63. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF6 ............................................. 128 Gambar 3.64. Korelasi Sesar Kedungpasung dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 128 Gambar 3.65. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 129 Gambar 3.66. Diagram stereonet pada OF10 .................................................................. 130 Gambar 3.67. Korelasi Sesar Tambaknegara dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan) ...................................................... 131 Gambar 3.68. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 132 Gambar 3.69. Kenampakan peta DEM dari Sesar Serayu .............................................. 133 Gambar 3.70. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan) ........................................................................................... 133 Gambar 3. 71. Tabel Sejarah Geologi Daerah Penelitian ............................................... 136 Gambar 3.72. Salah satu produsen batako didaerah penelitian ....................................... 137
xiv
DAFTAR TABEL Tabel.1.1. Hubungan kelas relief, Kemiringan lereng, dan Perbedaan Ketinggian (Van Zuidam, 1985) ................................................................................................................... 16 Tabel 1.2. Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)........ 17 Tabel 1.3. Satuan Bentuk Lahan dengan Morfogenetik (Van Zuidam, 1985) .................. 18 Tabel 1.4. Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964).............. 35
Tabel 2.1. Kesebandingan Stratigrafi Regional Daerah Penelitian ................................... 44
Tabel 3.1. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber: Van Zuidam, 1985) .......................................................................................................................................... 49 Tabel 3.2. Karakteristik umum geomorfologi daerah penelitian ..................................... 61 Tabel 3.3. Kesebandingan Satuan Breksi dengan Formasi Halang (Tmphb) ................... 67 Tabel 3.4. Zona kisaran Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan kandungan Foraminifera Planktonik (Bolli dan Saunders, 1989) ..................................... 70 Tabel 3.5. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ........................ 73 Tabel 3.6. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph) ...... 75 Tabel 3.7. Zona kisaran Satuan Batupasir tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C) ST.51 berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989) ......... 79 Tabel 3.8. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C) ST.51 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ................................................................................................................................. 84 Tabel 3.9. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph) ...... 86 Tabel 3.10. Zona kisaran Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42 berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989).................... 90 Tabel 3.11. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ............. 94 Tabel 3.12. Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Tapak (Tpt) .................... 96 Tabel 3.13. Kesebandingan Aluvium dengan Endapan Aluvium (Qa) ............................. 99
xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan segala isinya. Geologi sendiri mempunyai berbagai cabang disiplin ilmu lainnya. Untuk menjadi sukses dibidangnya, seorang geologist harus mampu mengembangkan potensi diri dan imajinasinya. Saat ini bidang ilmu geologi mulai memiliki peranan sangat penting dikalangan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi yang berkembang didaerah tersebut. Dari perkembangan dan kemajuan ilmu ini akan mendorong para geologist untuk melakukan penelitian secara regional. Dalam memahami ilmu geologi, seorang mahasiswa geologi tidak cukup hanya dengan menerima materi kuliah dilingkungan kampus saja, namun diperlukan pula aplikasinya dilapangan. Untuk menggabungkan kedua hal tersebut maka dilakukanlah kegiatan penelitian atau pemetaan geologi. Melalui pemetaan geologi kita dapat mengidentifikasi kondisi geologi di suatu daerah hingga merekonstruksi kejadian geologi yang pernah terjadi di masa lampau pada daerah tersebut. Pemetaan geologi lanjut ini dilaksanakan di daerah Purwokerto, karena daerah tersebut memiliki kondisi geologi yang menarik untuk dipelajari. Pemetaan geologi lanjut ini ditunjang oleh teori-teori geologi yang selama ini diperoleh di
1
2
bangku kuliah serta data dan informasi lapangan serta litelatur sehingga diharapkan dapat menjelaskan kondisi geologi daerah tersebut yang dituangkan dalam bentuk peta geologi dan laporan. Hasil penelitian lapangan dan pengolahan data-data lapangan ditunjang dengan penguasaan ilmu yang diterima selama ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pembangunan daerah, khususnya Desa Sawangan, Kecamatan Rawalo, Banyumas.
1.2. Rumusan Masalah Adapun permasalahan geologi suatu daerah yang dibahas dalam penelitian ini meliputi : 1. Bagaimana geomorfologi daerah penelitian dan apa proses-proses yang mempengaruhinya ? 2. Bagaimana stratigrafi, variasi litologi, dan hubungan antar batuan di daerah penelitian? 3. Bagaimana struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian ? 4. Bagaimana sejarah geologi pada daerah penelitian ? 5. Apa saja bahan galian yang dapat dimanfaatkan dan diolah di daerah penelitian?
3
1.3. Maksud, Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari Pemetaan Geologi Lanjut ini adalah untuk mempelajari dan mengungkap aspek-aspek geologi daerah penelitian, antara lain : 1. Aspek geomorfologi, yang meliputi unsur-unsur geomorfologi, prosesproses
geomorfologi yang telah dan sedang berlangsung, dan membuat
satuan-satuan geomorfologi berdasarkan unsur-unsurnya. 2. Aspek litologi, yaitu mendeskripsi karakteristik batuan, kemudian mengelompokkan menjadi satuan-satuan batuan bernama berdasarkan aturan
sandi
menganalisis
stratigrafi umur,
yang
hubungan
baku, antar
menelusuri satuan,
penyebarannya, dan
lingkungan
pengendapannya. 3. Aspek fisik dan karakter batuan, meliputi struktur sedimen, kandungan fosil, kandungan mineral, ketebalan, serta kontak antara satuan batuan. 4. Aspek struktur geologi, meliputi jenis, waktu pembentukannya, serta menelusuri hubungan kejadian dengan tektonik yang terjadi di daerah penelitian. 5. Aspek sejarah geologi, yaitu untuk mengungkapkan sejarah geologi daerah penelitian yang berlangsung mulai saat pembentukan daerah ini hingga keadaan akhir yang ditemukan sekarang. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan dan bekal pengalaman bagi penulis sebelum terjun di tengah-tengah masyarakat sebagai seorang ahli geologi. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat
4
memberikan informasi mengenai kondisi geologi pada daerah penelitian yang jika dibutuhkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menunjang pembangunan dan pengembangan ilmu geologi pada daerah penelitian.
1.4. Metode Pemetaan Geologi Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan untuk memetakan kondisi geologi suatu daerah sehingga menghasilkan peta geologi yang bertujuan untuk menyingkap sejarah dan proses geologi daerah penelitian yang bersangkutan. 1.4.1. Objek Penelitian Objek penelitian pada suatu pemetaan geologi meliputi : 1. Geomorfologi, digunakan untuk penentuan proses geomorfologi, tingkat erosi, pola pengaliran yang berkembang serta memperkirakan indikasi adanya struktur geologi yang aktif di daerah pemetaan. 2. Litologi, meliputi seluruh jenis batuan beserta seluruh karakteristik fisik, tekstur, dan struktur yang tersingkap di daerah pemetaan dan merupakan batuan yang masih segar dan insitu, yaitu batuan yang belum mengalami pelapukan dan perpindahan tempat. 3. Stratigrafi, yaitu meliputi perlapisan batuan dari batuan tertua sampai termuda dengan menyertakan fosil sebagai salah astu aspek penunjang untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan satuan batuan sedimen. 4. Struktur geologi dan indikasinya, yang dapat di gunakan untuk menentukan pola tegasan dan gaya yang terjadi pada masa lampau, jenis struktur geologi
5
serta pola struktur geologi, yaitu sesar, kekar, dan perlipatan yang berkembang pada darah pemetaan. 5. Geologi mineral ekonomi di daerah pemetaan, untuk memperkirakan bahan galian yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya. 1.4.2. Alat-Alat yang Digunakan 1.4.2.1. Tahap persiapan Pada tahap persiapan, dilakukan pembuatan peta dasar untuk melakukan penandaan dari setiap stasiun pengamatan di lapangan. Peta dasar yang digunakan adalah peta topografi dengan skala 1:25.000 hasil digitasi Peta Rupabumi Digital Indonesia no. 1308-612 dan 1308-334 dengan skala 1:25.000. 1.4.2.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan 1. Alat-alat lapangan yang terdiri dari GPS, kompas geologi, palu geologi terdiri atas palu beku dan palu sedimen, pita ukur 50m, komparator besar butir dan mineral, loupe perbesaran 10x dan 20x, kamera, HCl 0,1 Normal, kantong sample. 2. Alat-alat tulis yang terdiri dari ballpoint, pensil, pensil warna, spidol, mistar, busur derajat, buku lapangan, lembar deskripsi dan papan kerja. 3. Alat-alat penunjang pekerjaan lapangan lainnya seperti ransel, daypack, pakaian lapangan, sepatu lapangan, dan lain sebagainya. 1.4.2.3. Tahap Pengerjaan Laboratorium Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrofosil adalah:
6
1. Lumpang besi dan mortar. 2. Jarum, kuas, tatakan sample, tempat fosil, lem. 3. Mikroskop binokuler perbesaran 10x, 20x dan 40x. 4. Alat-alat tulis dan gambar. 5. Kamera digital. Alat-alat yang digunakan dalam petrografi sayatan tipis adalah: 1. Penyayat batuan (dimiliki dan dioperasikan oleh instansi). 2. Mikroskop polarisasi beserta komparator. 3. Diagram klasifikasi petrografi batuan. 4. Alat tulis dan alat gambar. 5. Kamera digital. 1.4.2.4. Tahap Pengerjaan Studio Peralatan studio meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Peta Geologi Lembar Kebumen, Jawa (S. Asikin dkk, 1992) skala 1 : 100.000 2. Citra DEM SRTM. 3. Seperangkat komputer dan printer. Adapun software yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. MapInfo Profesional 8.0 SCP, digunakan dalam penggambaran dan modifikasi peta. 2. Global Mapper 10 termasuk paket citra DEM SRTM (Digital Elevation Modelling Shuttle Radar Topography Mission) pulau jawa dengan resolusi
7
30 m, sebagai alat bantu kenampakan 3 dimensi dan untuk melihat kenampakan indikasi struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian. 3. Dips 5.1 yang digunakan untuk menentukan nilai rata-rata dari kedudukan dominan
kumpulan
data
unsur-unsur
struktur
geologi,
melalui
kenampakan diagram rosette dan proyeksi stereografinya. 4. Sofware pendukung seperti Corel Draw X3 yang digunakan untuk pembuatan graphic log dan ilustrasi-ilustrasi yang diperlukan dalam laporan, Microsoft Excel 2010 untuk pengolahan spredsheet atau data numerik, Microsoft Word 2010 sebagai media pembuatan laporan, Microsoft Power Point 2010 sebagai media pembuatan slide persentasi. 1.4.3. Langkah-Langkah Penelitian Secara garis besar pelaksanaan pemetaan dibagi kedalam lima tahapan, yaitu : 1. Tahap persiapan, 2. Tahap pengumpulan data lapangan, 3. Tahap pekerjaan laboratorium, 4. Tahap analisis data dan 5. Tahap bimbingan dan penyusunan laporan
8
Gambar 1.1 Alur pengerjaan penelitian
1.4.3.1. Tahap Persiapan Tahap persiapan dilakukan sebelum pekerjaan lapangan. Pada tahap persiapan, kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi mengenai daerah pemetaan yang berasal dari berbagai sumber sebagai referensi dan untuk mengetahui lebih dalam mengenai kondisi geologi daerah yang akan dipetakan. Persiapan sebelum melakukan pekerjaan lapangan meliputi : 1. Penentuan batas daerah penelitian berdasarkan koordinat yang telah ditentukan sebelumnya
9
2. Pembuatan Peta Dasar, dari Peta Topografi skala 1:25.000. 3. Studi pustaka, yakni untuk mengetahui gambaran umum daerah penelitan secara regional, yang mencakup fisiografi regional, stratigrafi regional, geomorfologi regional, dan geologi struktur regional daerah penelitian. 4. Analisis kemiringan lereng dan pengelompokkan pola pengaliran daerah penelitian. 5. Penafsiran Peta Topografi, analisa pola pengaliran sungai dan topografi serta rencana lintasan. 6. Perizinan. 1.4.3.2. Tahap Pengumpulan Data Lapangan Untuk mendapatkan hasil yang baik dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, maka dilakukan metode-metode penelitian sebagai berikut : 1. Metode GPS Metode ini dilakukan dengan cara plotting melalui alat bantu berupa GPS. Koordinat yang didapat dari GPS ini diplot pada peta. Sehingga dengan cara yang singkat didapatkan koordinat titik pengamatan yang didapatkan dari satelit dengan jelas dan cepat. 2. Metode Orientasi Lapangan Metode ini dilakukan dengan cara mencocokan kondisi alam sebenarnya yang disesuaikan pada peta dan yang dapat diamati dari titik pengamatan terhadap suatu objek yang jelas, seperti sungai, jalan, jembatan, gunung, dan lain-lain.
10
Pengamatan yang dilakukan selama di lapangan antara lain :
Plotting singkapan, untuk penempatan setiap lokasi pengamatan pada peta.
Pengamatan terhadap singkapan batuan meliputi jenis, karakteristik fisik secara megaskopis, pengukuran arah dan kemiringan perlapisan, ketebalan lapisan dan struktur sedimen, sehingga dapat dikelompokkan menjadi satuansatuan batuan.
Pengamatan terhadap indikasi yang dapat menunjukkan adanya perubahan litologi dan struktur geologi.
Pengambilan contoh batuan yang dianggap mewakili satuan-satuan batuan untuk selanjutnya dianalisa di laboratorium.
Penggambaran sketsa dan pengambilan foto.
Pengukuran penampang stratigrafi pada lintasan yang tegak lurus arah penyebaran batuan serta pada perubahan satuan batuan.
1.4.3.3. Tahap Pekerjaan Laboratorium Pekerjaan laboratorium yang dilakukan pada penelitian kali ini dibagi menjadi kegiatan di laboratorium Paleontologi dan Petrografi. Pengamatan di laboratorium Paleontologi memungkinkan kita untuk mengetahui umur relatif suatu satuan batuan diendapkan dan juga lingkungan pengendapannya. Batuan yang dianalisa adalah batuan sedimen yang mengandung fosil. Kegiatan ini terbagi menjadi dua tahap, yang pertama adalah picking atau pemisahan fosil dari sedimen yang kemudian akan dideterminasi menggunakan mikroskop binokuler.
11
Sedangkan kegiatan laboratorium petrografi bertujuan untuk mendeskripsi dan mengetahui jenis batuan berdasarkan sayatan tipis. Pada tahap ini juga dilakukan pengerjaan studio merupakan tahap pengolahan data lapangan yang meliputi analisis stratigrafi, analisis struktur geologi, dan analisis sejarah geologi daerah penelitian. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dengan tahap pengerjaan laboratorium, sehingga hasil analisis paleontologi dapat diintegrasikan menjadi rumusan pembahasan ke-tiga analisis di atas, disamping mengevaluasi hasil analisis geomorfologi yang telah dilaksanakan pada tahap persiapan, juga dengan menyusun peta tematik berupa peta pola jurus dan kemiringan perlapisan batuan serta peta geologi. Keseluruhan dari kegiatan ini dapat dijadikan sebagai pedoman pada tahap penyusunan laporan. 1.4.3.4. Tahap Analisis Data Pada tahap ini dilakukan beberapa analisis data, antara lain analisis geomorfologi, analisis stratigrafi, analisis geologi struktur, analisis paleontologi dan analisis geologi sejarah. 1.4.3.4.1. Analisis Geomorfologi Analisis geomorfologi dilakukan sebelum penelitian di lapangan, yaitu dengan mengelompokkan daerah penelitian berdasarkan empat aspek utama geomorfologi yakni aspek morfografi, morfometri, morfogenetik dan material penyusun yang nantinya dikaitkan dengan litologi daerah penelitian. Aspek morfografi adalah aspek yang memberikan gambaran tentang bentuk permukaan bumi yang secara garis besar terdiri dari :
12
1. Bentuk lahan dataran, dengan kemiringan lereng 0%-2%, terdiri dari bentuk lahan asal marin, fluvial, campuran (delta) dan bentuk lahan plato. 2. Bentuk lahan perbukitan, dengan kemiringan lereng 7%-20% dan ketinggian 50-500 meter. 3. Bentuk lahan pegunungan, dengan kemiringan lereng lebih dari 20%-55% dan ketinggian lebih dari 500-1000 meter. 4. Bentuk lahan gunung api, dengan kemiringan lereng 56%-140% dan ketinggian lebih dari 1000 meter. 5. Lembah, terdiri atas lembah bentuk U, V tumpul dan V tajam. 6. Bentuk lereng, terdiri atas bentuk lereng cembung, lurus dan cekung. 7. Pola punggungan, terdiri dari pola punggungan paralel, berbelok dan melingkar. 8. Pola pengaliran, merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang alur pengalirannya tetap mengalir meski dipengaruhi atau tidak dipengaruhi curah hujan (Howard, 1967).
13
Gambar 1.2. Pola pengaliran menurut Howard (1967); A. Pola pengaliran dasar, B dan C pola pengaliran modifikasi
Berikut pola pengaliran dasar dan karakteristiknya menurut Van Zuidam (1985), adalah sebagai berikut: 1.
Dendritik, bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta tahan akan pelapukan, dengan kemiringan landai.
2.
Paralel, bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang sampai agak curam, terdapat pada perbukitan memanjang dipengaruhi perlipatan, merupakan transisi pola dendritik dan trelis.
3.
Trelis, bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan menganan
14
memotong kepanjangan dari alur jalur punggungannya. Batuan sedimen dengan
kemiringan
atau
terlipat,
batuan
volkanik
serta
batuan
metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Jenis pola pengalirannya berhadapan pada sisi sepanjang aliran subsekuen. 4.
Rektangular, induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan dan sering memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus.
5.
Radial, bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah intrusi, kerucut volkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisa-sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan).
6.
Anular, bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai, sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak.
7.
Multibasinal, endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan salju atau permafrost.
8.
Kontorted, terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, anak sungai yang
15
lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya menunjukkan kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan pembeda antara penunjaman antiklin dan sinklin. 9.
Subdendritik, Umumnya struktural.
10.
Pinnate, Tekstur batuan halus dan mudah tererosi.
11.
Anastomatik, Dataran banjir, delta, atau rawa.
12.
Dikhotomik, Kipas aluvial dan delta seperti penganyaman.
13.
Subparalel, Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuk lahan memanjang.
14.
Kolinier, Kelurusan bentuk lahan bermaterial halus dan beting pasir.
15.
Trellis Berbelok, perlipatan memanjang.
16.
Trellis Sesar, Percabangan menyatu atau berpencar, sesar paralel.
17.
Trellis Kekar, Sesar paralel dan atau kekar.
18.
Angulate, Kekar dan sesar pada daerah berkemiringan.
19.
Karst, Batugamping.
Aspek morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari bentuk lahan, sehingga didapatkan klasifikasi dengan angka-angka yang jelas.
16
Tabel.1.1. Hubungan kelas relief, Kemiringan lereng, dan Perbedaan Ketinggian (Van Zuidam, 1985)
Klasifikasi
Kemiringan
Beda
Tinggi Warna
o
Datar
Persen (%) 0–2
Derajat ( ) 0–2
(m) <5m
Hijau
Agak Landai
2–7
2–4
5 – 25 m
Hijau muda
Landai
7 – 15
4–8
25 -75 m
Kuning
Agak Curam
15 – 30
8 – 16
75 – 200 m
Jingga
Curam
30 -70
16 – 35
200 – 500 m
Merah muda
Terjal
70 -140
35 – 55
500 – 1000 m
Merah
Sangat Terjal
> 140
> 55
> 1000 m
Ungu
Untuk mendapatkan persentase kemiringan lereng seperti yang tercantum dalam tabel digunakan rumus:
s
(n 1).Ic 100% dx.sp
Keterangan: s
= kemiringan lereng (%)
Ic
= interval kontur (cm)
dx
= jarak tertinggi dengan jarak terendah (cm)
n
= banyak nya kontur dalam grid 2cm x 2cm
sp
= skala peta
17
Dalam morfometri juga terdapat ketinggian absolut yang diukur dari atas permukaan laut. Tabel 1.2. Hubungan Ketinggian Absolut dengan Morfografi (Van Zuidam, 1985)
Ketinggian Absolut (meter)
< 50
Unsur Morfografi
Dataran rendah
50 - 100
Dataran rendah pedalaman
100 - 200
Perbukitan rendah
200 - 500
Perbukitan
500 - 1.500 1.500 - 3.000 > 3.000
Perbukitan tinggi Pegunungan Pegunungan tinggi
Beberapa pembagian dan klasifikasi seperti yang telah disebutkan di atas menjadi dasar dalam pembuatan peta geomorfologi daerah penelitian. Aspek morfogenetik mempengaruhi kenampakan bentuk lahan pada muka bumi, hal itu disebabkan oleh dua proses yakni: proses endogenik yaitu merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan dari dalam kerak bumi dan proses eksogenik yang merupakan proses yang dipengaruhi dari luar seperti iklim, vegetasi, erosi, perbuatan manusia.
18
Salah satu hasil dari proses endogenik adalah struktur geologi, yang secara luas meliputi kegiatan tektonik dan vulkanik dan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap evolusi bentuk lahan yang tampak sekarang. Tabel 1.3. Satuan Bentuk Lahan dengan Morfogenetik (Van Zuidam, 1985)
Satuan Bentuk Lahan
Warna
Satuan Bentuklahan Struktural Satuan Bentuklahan Vulkanik Satuan Bentuklahan Denudasional Satuan Bentuklahan Marin (Laut) Satuan Bentuklahan Sungai Satuan Bentuklahan gletser Satuan Bentuklahan Aeolian Satuan Bentuklahan Karst
1.4.3.4.2. Analisis stratigrafi Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan yang berdasarkan pada ciri fisik batuan yang dapat diamati di lapangan, yang meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi, dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, pasal 6). Sedangkan penentuan batas penyebarannya harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
19
1. Batas satuan litostratigrafi adalah bidang sentuh antara dua satuan yang berlainan ciri fisik litologinya. 2. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau bila perubahan tersebut tidak nyata, maka batasnya merupakan bidang yang diperkirakan kedudukannya. 3. Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjari peralihannya dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan sandi. 4. Penyebaran satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan gejala-gejala litologi yang menjadi cirinya. 5. Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batasan cekungan pengendapan atau aspek geologi lainnya. 6. Batas-batas daerah hukum tidak boleh digunakan sebagai alasan berakhirnya penyebaran lateral suatu satuan. Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan atas jenis litologi yang paling dominan dalam satuan tersebut. Pengamatan terhadap litologi di lapangan dilakukan secara megaskopis meliputi warna batuan, ukuran butir, kebundaran, kemas, pemilahan, kekerasan, struktur sedimen, dan lain-lain. Indikasi sentuh stratigrafi yang ditemukan di lapangan sangat berguna untuk menentukan hubungan antara satuan batuan dengan satuan batuan lainnya. Adapun dasar penentuan jenis stratigrafi adalah : 1. Perlapisan merupakan sifat dari batuan sedimen yang memperlihatkan bidang-bidang yang sejajar yang diakibatkan oleh proses sedimentasi.
20
Perlapisan terbentuk karena adanya perubahan-perubahan pada proses sedimentasi, seperti pasang surut, banjir, perbedaan temperatur. 2. Bidang perlapisan adalah suatu bidang yang merupakan perlapisan dan dapat diwujudkan berupa amparan dari suatu mineral tertentu, besar butir atau bidang sentuh yang tajam antara 2 macam batuan yang berbeda. 3. Lapisan adalah satuan stratigrafi terkecil yang tersusun hanya dari satu macam batuan yang homogen dimana bagian atas dan bagian bawahnya dibatasi oleh bidang perlapisan secara tajam, erosional, ataupun berangsur. Batas satuan stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri satuan dan keseragaman secara lateral atau suatu lapisan tergantung dari jenis litologi dan media pengendapan. Jadi kontak antar satuan batuan atau sentuh stratigrafi dapat bersifat tajam ataupun berangsur. Ada dua macam hubungan stratigrafi, yaitu : 1) Selaras : sedimentasi berlangsung menerus tanpa interupsi dari satuan stratigrafi di bawah lapisan yang diatasnya. 2) Tidak selaras : terdapat empat jenis ketidakselarasan, yaitu : 1. Paraconfomity, dimana siklus sedimentasi tidak menerus atau terdapat gap umur, sedangkan pola arah jurus dan kemiringan batuan relatif sama. 2. Disconformity, dimana terjadi kontak erosional yang cukup berarti antara dua satuan batuan. 3. Nonconformity, dimana terdapat kontak antara dua satuan batuan yang berbeda genetik, seperti kontak antara batuan sedimen dengan batuan
21
beku, atau antara batuan sedimen dengan batuan metamorf, atau antara batuan metamorf dengan batuan beku. 4. Angular Unconformity, dimana terdapat perbedaan pola arah jurus dan kemiringan yang cukup signifikan antara dua satuan batuan.
Dalam menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian, penulis menganalisis melalui karakteristik batuan yang didalamnya termasuk tekstur dan struktur sedimen serta dibuatkan composite log (log gabungan) stasiun yang disebandingkan dengan model pengendapan dari beberapa referensi. Referensi yang digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan daerah penelitian adalah menggunakan model dari endapan tidalflat Dalrymple (1990), facies endapan turbidit Bouma (1962), Mutti (1999) dan model lingkungan pengendapan laut dalam menurut Walker (1984). Menurut Dalrymple dalam Walker (1992) Tidal flat merupakan lingkungan yang terbentuk pada energy gelombang laut pasang surut dengan amplitude yang besar, umumnya terjadi pada pantai dengan permukaan air yang sangat besar/luas. Luas dari daerah tidal flat ini berkisar antara beberapa kilometer sampai 25 km (Walker dan James, 1992). Pengendapan pada tidal channel umumnya sangat dipengaruhi oleh arus pasang surut sendiri, sedangkan pada daerah datar di sekitarnya (tidal flat), pengendapannya akan dipengaruhi pula oleh aktivitas dari gelombang yang diakibatkan oleh air ataupun angin. Suksesi endapan pada lingkungan tidal flat umumnya memperlihatkan sistem progradasi dengan penghaluskan ke atas sebagai refleksi dari batupasir pada pasang surut
22
rendah (subtidal) ke lumpur pada pasang surut tinggi (supratidal dan intertidal bagian atas). Berdasarkan pada elevasinya terhadap tinggi rendahnya pasang surut, lingkungan tidal flat dapat dibagi menjadi tiga zona (Dalrymple dkk., 1990 dalam Walker dan James, 1992), yaitu Zona Subtidal, Zona Intertidal dan Zona Supratidal.
Gambar 1.3. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam Walker dan James, 1992)
Menurut Bouma dalam Walker (1992), facies turbidit dikelompokan menjadi facies Ta, Tb, Tc, Td dan Te (Gambar 1.6). Facies Ta dalam divisi Bouma ditandai oleh endapan material yang berukuran kasar, dapat berkisar dari pebble sampai boulder, ukuran butir tersebut berangsur semakin halus ke arah atas, serta dicirikan oleh endapan tanpa struktur sedimen, pada facies ini menandakan energi yang tinggi pada arus turbidit yang terbentuk. Facies Tb
23
merupakan endapan yang makin halus dari facies Ta , biasanya batupasir dengan ukuran kasar sampai sedang yang ditandai oleh adanya struktur sedimen parallel lamination. Facies Tc pada sikuen Bouma ditandai oleh struktur sedimen berupa cross lamination dan kadang muncul struktur convolute. Facies Td merupakan endapan diatas facies Tc denga karakteristik butiran lanau sampai lempung dengan struktur sedimen parallel lamination. Facies Te merupakan facies terakhir yang terbentuk dengan karakteristik berupa endapan yang didominasi oleh butiran berukuran lempung yang menandakan endapan dengan pengendapan yang lambat akibat berkurangnya pengaruh arus turbidit. Selain mengetahuai karakteristik endapan turbidit dari struktur sedimen dan pola litologi yang disebandingkan fengan sikuen Bouma, maka dengan menganalisis facies yang berkembang dapat juga ditentukan bagian proximal, medial atau distal dari suatu endapan turbidit laut dalam. Pada bagian Proximal, sikuen Bouma yang dominan terbentuk berupa facies Ta-Tb, pada bagian medial Ta-Te, sedangkan pada bagian distal seringkali dijumpai facies Tc-Te saja yang terbentuk.
24
Gambar 1.4. Karakteristik endapan sikuen Bouma (A) Sikuen Bouma dan interpretasi faciesnya (Bouma dalam Mutti, 1999), (B) Karakteristik Endapan Turbdit dari Proximal sampai Distal ( Bouma, 1962).
B)
Sedangkan Mutti (1999) dalam bukunya mengenai facies turbidit pengisi cekungan mengungkapkan bahwa facies endapan turbidit dibagi menjadi empat facies, yaitu A, B, C dan D. Pembagian facies tersebut didasarkan oleh besar arus turbidit yang mempengaruhi terbentuknya endapan tersebut. Karakteristik facies A memiliki ciri butir berukuran boulder sampai pebble. Facies B memiliki karakteristik pebble sampai coarse sand. Facies C medium sand sampai fine sand. Sedangkan facies D memiliki karakteristik ukuran butir fine sand sampai lempung. Berdasarkan pembagian facies menurut Mutti, dapat memberikan gambaran pengendapan endapan turbidit dari bagian proximal sampai distal. Facies proximal biasanya diendapkan oleh facies A, berangsur ke arah distal diendapkan facies D. Perubahan facies tersebut terjadi karena kuat arus turbidit
25
yang semakin melemah sehingga berhubungan dengan kemampuan arus dalam membawa ukuran butir sedimen. Pada endapan yang berukuran kasar akan berada pada daerah proximal sedangkan endapan halus berada pada bagian medial sampai distal.
Gambar 1.5. Facies pengendapan pada endapan turbidit (Mutti, 1999)
Gambar 1.6. Sikuen pengendapan endapan turbidit pada bagian proximal (inner fan) sampai distal ( outer fan-basin plain) (Mutti,1999)
Menurut Walker mengenai endapan kipas pada laut dalam, mengusulkan bahwa kipas laut dalam terdiri dari tigabagian. Bagian pertama merupakan upper fan, yaitu hanya terdiri dari satu channel yang besar dengan didominasi oleh
26
material kasar berkisar pebble-boulder. Bagian kedua merupakan middle fan, pada bagian ini merupakan tempat pengendapan bagi lobe sebagai ujung dari channelchannel yang terbentuk. Bagian ketiga merupakan lower fan, pada bagian ini dicirikan oleh topografi yang relatif halus. Pada bagian lower fan, ditempati oleh material halus hasil dari endapan suspense dan juga pada bagian ini tidak terdapat sistem channel.
Gambar 1.7. Model Lingkungan Pengendapan berdasarkan pemodelan submarine fan deposit (Walker,1992)
Penentuan umur masing-masing satuan batuan didasarkan atas kandungan fosil foraminifera planktonik dan posisi stratigrafinya. Kisaran umur fosil foraminifera planktonik merujuk kepada Blow (1969). Untuk penentuan lingkungan pengendapan, didasarkan pada fasies yang meliputi textural properties, structural properties, facies assosiation, dan facies succesion yang juga didukung oleh keberadaan fosil foraminifera bentonik untuk mengetahui
27
kisaran kedalamannya yang ditentukan berdasarkan tabel kisaran kedalaman menurut Phleger (1969). Analisis Paleontologi ini dilakukan untuk menganalisa fosil yang didapat di lapangan, untuk mengetahui umur dan batimetri pada sampel batuan yang dianalisis dengan dikontrol posisi stratigrafi. Analisis fosil foraminifera kecil tediri atas dua tahapan kerja, yaitu pemisahan fosil dari batuan dan identifikasi fosil dengan menggunakan mikroskop binokuler, yang kemudian digunakan untuk menentukan umur relatif dan lingkungan pengendapan batuan. Fosil foraminifera planktonik dideterminasi untuk menentukan umur berdasarkan zonasi Blow, 1969 (dalam Postuma, 1971), dan fosil foraminifera bentonik untuk penentuan lingkungan pengendapan menggunakan klasifikasi Tipsword et al., (1966) ; dan van Hinte , (1978) dalam Van Marley (1991).
Gambar 1.8. Klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)
Analisis Petrografi ini adalah membuat sayatan tipis untuk batuan yang padu kemudian di teliti di bawah mikroskop polarisasi untuk mengethui
28
komposisi dan jenis mineral dari setiap batuan sehingga dapat ditentukan jenis batuannya. Adapun klasifikasi batuan yang dipakai terlihat pada gambar 1.9 sampai gambar 1.13.
Gambar 1.9. Klasifikasi batuan beku berbutir kasar (kiri) dan batuan beku berbutir halus (kanan), (Streckeisen, 1976)
Gambar 1.10. Klasifikasi batuan beku (Travis, 1955)
29
Gambar 1.11. Klasifikasi batupasir dan batulempung (Pettijohn, 1975 dalam Gillespie dan Styles, 1999)
Gambar 1.12. Klasifikasi batuan Vulkaniklastik (Schmidt, 1981 dalam Gillespic dan Styles, 1999)
Gambar 1.13. Klasifikasi tuff (Schmidt, 1981)
30
1.4.3.4.3. Analisis Struktur Geologi Tahap pertama adalah inventarisasi data lapangan yang meliputi pengukuran arah jurus dan kemiringan lapisan batuan, pengamatan terhadap unsur-unsur struktur geologi yang ditemukan seperti cermin sesar, batuan sesar dan indikasi struktur lainnya. Data yang diperoleh diplot dalam peta dasar. Tahap berikutnya adalah interpretasi peta dasar berskala 1 : 25.000, analisis ini diharapkan dapat memberikan petunjuk mengenai struktur yang berkembang pada daerah pemetaan. Hal-hal yang diamati antara lain adalah kelurusan sungai, kelurusan punggungan, belokan sungai yang tiba-tiba, gawir dan lain sebagainya. Adapun hal-hal yang perlu dicatat dalam mengamati singkapan untuk analisis deskriptif dan kinematik struktur geologi adalah : 1. Lokasi dan Jenis singkapan, apakah berupa pergeseran batuan (offset litologi), cermin sesar (slicken side), lipatan seret (drag fold), struktur kekar, antiklin, sinklin, zona hancuran, bukit segitiga (triangular facet), air terjun, kelurusan mata air panas. 2. Litologi setempat dengan pola indikasi strukur geologi yang variatif. 3. Luas dan geometri singkapan. 4. Pengukuran arah jurus dan kemiringan batuan. 5. Pengukuran arah jurus dan kemiringan bidang sesar. 6. Besarnya picth, pengukuran pitch yaitu sudut lancip antara arah jurus dan gores garis sesar. Pada tahap akhir dilakukan rekonstruksi struktur geologi berdasarkan hasil inventarisasi data lapangan yang telah
31
dilengkapi dengan data analisis peta topografi. Hasilnya ditampilkan dalam bentuk peta pola jurus perlapisan batuan. Data slicken side yang didapatkan di lapangan, kemudian diolah dengan menggunakan stereogram untuk mengetahui arah tegasan relatifnya. Data lapangan yang berupa data struktur geologi digunakan guna mengetahui tentang mekanisme tektonik daerah pemetaan. Umur lipatan dan sesar ditentukan berdasarkan umur satuan batuan penyusun daerah pemetaan yang terpengaruh oleh stuktur yang berkembang dan didukung oleh data stratigrafi serta kontrol oleh periode tektonik regional yang berpengaruh terhadap daerah pemetaan. Moody & Hill (1959) mengemukakan bahwa sesar mendatar kemungkinan adalah tipe sesar yang paling dominan terjadi pada kerak bumi. Moody & Hill melakukan pembahasan ulang mengenai analisa sesar Anderson (1951) yang memberikan pemahaman mekanika sesar, suatu dasar yang menjelaskan tentang stress-stress yang membentuk satu set dari 3 sumbu yang saling tegak lurus.
Gambar 1.14. Teori orientasi sesar (Anderson, 1951)
32
Dalam sistem pergerakan sesar mendatar yang dikemukakan Moody & Hill diawali dengan tegasan utama yang membentuk sesar mendatar berpasangan (dekstral dan sinistral) dengan mengambil sudut geser dalam 30° sebagai nilai rata-rata di modifikasi dari Hubbert (1951) dan Billings (1954). Menurut McKinstry (1953) menuliskan “jika suatu gaya atau pergerakan akan menghasilkan sesar utama, stress-stress pada batuan akan berhubungan dan memiliki orientasi yang disebabkan pasangan bidang pecah baru yang berhubungan satu sama lain untuk menyeimbangkan salah satu sudut tajam dengan pergeseran utamanya.
Gambar 1.15. Konsep sesar mendatar Moody & Hill (1959)
33
Shear orde kedua akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde pertama, dan orde ketiga akan terbentuk tipe yang sama dari pergerakan orde kedua dan terus berulang, dengan arah pergerakan yang semakin banyak tiap orde nya. Shear orde kedua dan lipatan seret adalah manifestasi atau perwujudan dari reorientasi tegasan satu blok sesar atau satu blok diantara 2 sesar yang paralel. Wicox, Harding dan Seely (1973) merekonstruksi percobaan dengan lempung untuk mengevaluasi bentuk-bentuk struktur yang berkembang pada lapisan sedimen diatas dudukan dengan sesar mendatar. Gabungan sesar-sesar menghasilkan hubungan bentuk dengan sudut awal perpotongan sekitar 60°, dari 2 sesar tersebut salah satunya bergeser menyerupai zona sesar utama yang disebut synthetic dan yang satunya bergeser berlawanan dari zona utama yang disebut antithetic. Hasil percobaan sesar ini menghasilkan geometri dan kinematik yang biasa dikenal Riedel Shear, sesar mendatar syntethic adalah Riedel Shear (R-Shear) dan membentuk sudut sekitar 15° dari garis utama. Susunan sesar itu adalah en echelon yang berarti bahwa sesar tersebut parallel terhadap satu dan yang lainnya disusun sepanjang garis tegasan umum. Sesar mendatar antithetic adalah Conjugate Riedel Shear (R’-Shear) dan membentuk sudut yang besar sekitar 75° dari garis sesar utama. Selanjutnya, berkembang bidang syntethic baru yang dikenal P-Shear, dan membentuk sudut yang kecil sekitar 10° dari sesar utama. Susunan-susunan dari R, R’ dan P adalah sebagai sesar minor, semua dapat digunakan untuk interpretasi pergerakan dari garis sesar utama sebagai keseluruhannya.
34
Gambar 1.16. Klasifikasi Sesar (Rickard (1972) dalam Berkman (1976))
Gambar 1.17. Hubungan Riedel Shear dari Harding (1973) dengan konsep Moody & Hill (1959)
35
Tabel 1.4. Klasifikasi lipatan berdasarkan besar sudut interlimb (Fleuty, 1964)
Sudut Interlimb
Klasifikasi Lipatan
1800 - 1200
Gentle
1200 - 700
Open
700 - 300
Close
300 - 00
Tight
00
Isoclinal
Negatif
Mushroom
Gambar 1.18. Klasifikasi lipatan menurut Fleuty, 1964
36
1.4.3.4.4. Analisis Geologi Sejarah Analisis geologi sejarah merupakan penerapan penafsiran dari aspek geologi berupa geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi. Hasil dari pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan kejadian dan waktu, sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi, tektonik, dan erosi dalam kurun waktu tersebut. 1.4.3.5. Tahap Bimbingan dan Pelaporan Tahap bimbingan dan pelaporan merupakan tahap akhir dari penelitian ini. Pada tahap ini dilakukan diskusi baik formal maupun non-formal kepada dosen pembimbing 1 dan pembimbing 2 hingga tercapai penyelesaian mengenai masalah-masalah yang dihadapi selama proses pengerjaan. Selain itu dilakukan pula penyusunan laporan yang memuat seluruh data maupun analisis yang telah dilakukan selama proses penelitian.
1.5. Geografi Umum Secara administratif lokasi penelitian terletak di daerah Purwokerto dan sekitarnya yang berada di kawasan Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sedangkan secara geografis daerah penelitian ini terletak pada koordimat 109ᵒ 8’ 33.702” BT - 109ᵒ 14’ 4.8984” BT dan 7ᵒ 25’ 54.1344” LS - 7ᵒ 31’ 21.81” LS. Lokasi penelitian ini dapat dicapai dengan menggunakan angkotan umum bus jurusan Bandung – Purwokerto dengan lama perjalanan kurang lebih 7 jam. Rata-
37
rata penduduk yang berada didaerah penelitian bermata pencaharian sebagai petani dan berkebun.
Lokasi penelitian
Gambar 1.19. Peta administratif lokasi penelitian
1.6. Waktu Penelitian dan Kelancaran Kerja Waktu penelitian yang digunakan dimulai dari bulan Maret 2013 sampai bulan Desember 2013. Penelitian ini memiliki lima tahap, yaitu tahap pengumpulan data lapangan, tahap pekerjaan laboratorium, tahap analysis data dan tahap pelaporan yang dilakukan lebih kurang dalam waktu 9 bulan. Selama penelitian di lapangan, basecamp berada di Desa Sawangan karena daerah tersebut merupakan salah satu pemukiman yang dapat menjangkau akses untuk pengambilan data di lapangan. Dalam pelaksanaannya, penelitian terkendala oleh waktu yang bertabrakan dengan pengerjaan Tugas Akhir di salah satu perusahaan
38
dan terkendala faktor fisik akibat kecelakaan peneliti yang memperpanjang waktu penelitian yang telah ditentukan.
BAB II KERANGKA..GEOLOGI..REGIONAL
2.1. Geomorfologi Secara fisiografis daerah Jawa Tengah oleh Van Bemmellen (1949) dibagi menjadi 6 (enam) zona fisiografi utama. Enam Fisiografi tersebut adalah : 1. Dataran Aluvial Jawa Utara 2. Zona Serayu Utara 3. Zona Depresi Jawa Tengah 4. Pegunungan Selatan Jawa 5. Pegunungan Serayu Selatan
Gambar 2.1. Fisiografi Jawa Tengah modifikasi R.W. Van Bemmelen (1970)
39
40
Berdasarkan pembagian fisiografi menurut Van Bemmellen (1949) ini, daerah penelitian merupakan bagian dari zona Pegunungan Serayu Selatan. Zona Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Dibagian barat dari Pegunungan Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk anticlinorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.
2.2. Stratigrafi Geologi daerah penelitian merupakan bagian dari peta geologi Lembar Purwokerto – Tegal (Djuri dkk,. 1996), secara regional stratigrafi di daerah penelitian terbagi menjadi beberapa formasi, yaitu satuan tertua adalah Formasi Halang berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal, dengan tebal sekitar 800m. Diatasnya menindih secara selaras Formasi Tapak yang tersusun oleh batulempung secara dominan, kadang-kadang napal dan tidak berlapis atau batugamping dengan sisipan batupasir, sedangkan Anggota batugamping yang tersusun oleh lensa-lensa batu gamping berwarna kelabu kekuningan dan Anggota breksi yang tersusun oleh breksi gunung api dan dibeberapa tempat terdapat urat kalsit. Diatasnya menindih secara selaras Formasi Kalibiuk yang tersusun atas batulempung dan terkadang napal kebiruan dengan kandungan fosil moluska. Pada bagian tengah ditemukan sisipan lensa-lensa batupasir kehijauan dengan kandungan moluska yang melimpah.
41
2.2.1. Formasi Halang Perselingan batupasir, batulempung, napal dan tuf dengan sisipan breksi. Bagian bawah terdiri dari breksi dan napal dengan sisipan batupasir dan batulempung. Breksi, berwarna kelabu kehijauan; padat; komponen menyudutmenyudut tanggung, kemas terbuka, terpilah sangat buruk, terdiri dari napal, kepingan batulempung dan batupasir berukuran dari beberapa cm sampai 30cm; massadasar batupasir atau batulempung gampingan. Napal, berwarna putih kelabu sampai kuning kecoklatan; padat; bercampur tuf. Sisipan batupasir, berwarna kuning kecoklatan; padat; berbutir sedang, menyudut tanggung; tebal lapisan antara 5-10cm. Sisipan batulempung, berwarna kelabu kekuningan; padat. Lebih keatas, terdapat perselingan antara batupasir dan napal dengan sisipan batulempung, tuf dan kalkarenit. Batupasir, berwarna kelabu kekuningan; berbutir halus sampai kasar, terpilah buruk, membundar tanggung – meyudut tanggung; setempat tufan; padat; kesarangan sedang. Tebal lapisan antara 5-10cm, tetapi ada juga yang mencapai 1m. Napal, berwarna putih kekuningan; tufan dan repih (dapat diremas). Batas antara lapisan batupasir dan napal setempat tegas, setempat berangsur. Sisipan batulempung, tuf dan kalkarenit berketabalan 530cm. Setempat bagian ini berupa breksi, padat, berkomponen kepingan batuan andesit, berukuran antara 1-30cm, terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, semenya mengandung oksida besi. Struktur sedimen yang dijumpai selain struktur nendatan (slump structures) juga lapisan bersusun, perairan sejajar, konvolut, tikas beban dan tikas sering (flute cast).
42
Foraminifera plangton dijumpai pada napal baik dibagian bawah maupun dibagian atas formasi ini. Foraminifera plangtonik dibagian bawah menunjukan umur N15-N16 atau akhir Miosen Tengah – awal Miosen Akhir (Safaruddin, 1982). Dibagian atas dijumpai foraminfera plangtonik yang menunjukan umur N17-N18 atau Miosen Akhir – Pliosen Awal (Safaruddin, 1982). Dengan demikian umur Formasi Halang adalah akhir Miosen Tengah sampai Pliosen Awal (N15-N18). Berdasarkan temuan foraminifera bentos, seperti Gyroidina sp. Dan Eponiodes sp. Disimpulkan bahwa lingkungan pengendapan Formasi Halang adalah Batial atas dengan kedalaman antara 200-500m (Safaruddin, 1982). Simandjuntak dan Surono (1982) berpendapat bahwa lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal dan terbuka (neritik), sedangkan Haryono (1981) menyimpulkannya sebagai endapan turbidit. Formasi Halang bersifat proksimal (bagian bawah) dan distal (bagian atas), serta diendapkan dibagian dalam sampai luar kipas dalam-laut (submarine-fan). 2.2.2. Anggota Breksi Formasi Halang Breksi gunungapi dengan komponen basalt dan sebagian andesit, massadasar berupa batupasir tuffan. Breksi, berwarna hitam kelabu; padat; setempat berlapis sejajar dan lapisan bersusun. Komponen berukuran dari beberapa puluh mm hingga 60cm, terpilah buruk, menyudut-menyudut tanggung, kemas terbuka-tertutup, umumnya bersusunan basal dan hanya sebagian saja yang andesit. Dibeberapa tempat, dibagian dasar satuan ini terdapat komponen batugamping dan napal.
43
Basal, pada sayatan tipis
tampak bertekstur porforitik halus dengan
fenokris piroksen, plagioklas dan mineral bijih; bermasadasar mikrolit plagioklas, piroksen dan kaca. Sebagian mineral telah terubah menjadi klorit. Massadasar batupasir tufan berukran pasir sedang sampai kasar, menyudut hingga membundar tanggung. Secara mendatar, litologi satuan ini berupah menjadi konglomerat yang berselingan dengan batupasir dan napal. 2.2.3. Formasi Tapak Batupasir bersisipan napal dan breksi, mengandung cangkang moluska. Batupasir, berwarna kelabu, kelabu tua sampai kelabu kehijauan; tidak begitu padat; berlapis antara 50cm dan 2m; berbutir kasar-sedang, setempat mengandung komponen berukuran kerikil. Komponen terdiri dari rombakan batuan gunungapi, batulempung dan sedikit batugamping. Bagian bawah satuan ini berupa batupasir berbutir kasar dengan sisipan breksi; sedangkan bagian atas bersisipan batulempung, napal atau napal pasiran yang bersifat tufan dan berwarna kelabu kehijauan. Beberapa lapisan batupasir mengandung cangkang moluska; sedangkan pada napal banyak ditemukan foraminifera kecil plangton, menunjukan umur Pliosen Awal atau N19 (Yudha, 1982). Fosil bentos yang dijumpai adalah Anomalia sp., Amphistegina sp,. Elphidium sp. dan Eponides sp. yang menunjukan lingkungan pengendapan neritic dalam.
44
2.2.4. Endapan Lahar G. Slamet Endapan Lahar G. Slamet tersusun atas lahar, dengan bongkahan batuan gunungapi bersusun andesit-basal, bergaris tengah 10-50 cm, dihasilkan oleh G. Slamet Tua. Sebenarnya meliputi daerah datar. 2.2.5. Aluvium Aluvium tersusun oleh kerikil, pasir, lanau dan lempung, sebagai endapan sungai dan pantai. Tanda titik-titik menunjukan undak sungai. Tebal hingga 150m. Tabel 2.1. Kesebandingan Stratigrafi Regional Daerah Penelitian
2.3. Struktur Geologi Pulau Jawa secara tektonik dipengaruhi oleh dua lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Indo-Australia dibagian selatan. Pergerakan dinamis dari lempeng-lempeng ini menghasilkan perubahan tatanan tektonik Jawa dari waktu ke waktu. Secara berurutan, rejim tektonik Jawa
45
mengalami perubahan yang dimulai dengan kompresi, kemudian mengalami regangan dan kembali mengalami kompresi. Pulunggono dan Martodjojo (1994) menjelaskan bahwa tektonik kompresi terjadi pada Kapur Akhir-Eosen (80-52 juta tahun yang lalu), yang diakibatkan oleh penunjaman berarah timurlaut-baratdaya dari lempeng Indo-Australia. Tektonik Kompresi kembali terjadi pada kala Oligosen-Miosen Awal, akibat terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Pada Eosen Akhir-Miosen Awal pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu Selatan. Kegiatan magma yang lebih muda yang berumur Miosen Akhir-Pliosen bergeser ke utara dengan dijumpai singkapan batuan volkanik di daerah Karangkobar, Banjarnegara (Asikin, 1992). Pada kala Miosen Tengah-Pliosen Awal, posisi tektonik daerah penelitian (cekungan banyumas) merupakan bagian dari cekungan depan busur. Perlipatan di daerah ini umumnya mempengaruhi batuan Neogen Muda, dengan arah utama hampir barat-timur. Beberapa sumbu lipatan yang arahnya acak diduga merupakan lipatan seretan akibat sesar-sesar regional. Sesar Utama berarah baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya, dengan gerakan miring. Sesar lainnya berarah hampir utara selatan atau barat-timur. Sesar naik yang arahnya barat-timur, dimana bongkah utara relatif sebagai hanging wall diduga sebagai bagian dari sistem sesar naik busur belakang. Berdasarkan pola sebaran sesar dan lipatannya, arah mampatan utama adalah utara selatan (Djurie dkk,. 1996).
46
Gambar 2.2. Konfigurasi Struktur Pulau Jawa dikutip dari Situmorang, 1973
BAB III GEOLOGI
Pada bab ini dijelaskan hasil penelitian dan pembahasan yang meliputi aspek geomorfologi, aspek stratigrafi, aspek struktur geologi, aspek geologi sejarah dan bahan galian yang berada pada daerah penelitian. Data yang dibahas dalam bab ini berasal dari data-data yang terdapat dilapangan baik secara langsung maupun hasil pengamatan laboratorium. Keempat aspek yang telah disebutkan diatas akan saling berhubungan untuk mendapatkan suatu kesimpulan mengenai keadaan geologi daerah Purwokerto dan sekitarnya, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.
3.1. Geomorfologi Secara umum daerah penelitian memperlihatkan topografi pedataran sampai perbukitan yang memiliki ketinggian berkisar antara 21-400 mdpl. Angka ketinggian ini ditentukan berdasarkan nilai ketinggian yang terdapat didalam peta topografi. Kenampakan diakibatkan oleh faktor yang mempengaruhinya, baik material penyusun maupun proses geologi penyertanya. Elevasi tertinggi pada daerah penelitian adalah dibagian tenggara, dengan tinggi 400 mdpl yang terletak pada selatan Desa Mandirancan bagian tenggara 47
48
penelitian. Sementara itu elevasi terendah berada pada bagian tengah daerah penelitian diantara Desa Kedungwuluh Lor dan Desa Kedungwuluh Kidul dengan elevasi 21 mdpl. Material penyusun didaerah penelitian terdiri dari alluvium, batupasir, dan breksi. Alluvium menempati daerah pedataran di utara memanjang hingga selatan searah mengikuti Kali Serayu dan pada bagian baratdaya tepatnya di Desa Pesawahan. Batupasir menempati daerah pedataran sedimen, perbukitan sedimen landau, perbukitan sedimen agak curam dan perbukitan sedimen curam yang berada didaerah penelitian membentang dari barat ke timur. Breksi berada didaerah perbukitan sedimen landai dan perbukitan sedimen agak curam berada di tengah menuju ke selatan daerah penelitian. Dalam kurun waktu geologi, daerah penelitian telah mengalami prosesproses baik itu secara endogen maupun eksogen. Proses endogen yang terdapat di daerah penelitian berupa deformasi oleh struktur geologi berupa lipatan dan sesar. Sementara itu proses eksogen berupa proses-proses pelapukan, erosi dan transportasi material hasil penghancuran baik akibat dari proses fisika, kimia dan biologi. Hal ini teramati dilapangan berupa tersebarnya erosi material-material oleh kikisan aliran sungai. Bentuk lahan yang bervariasi dari satu daerah terhadap daerah lainnya serta bentuk parit pada lembahan merupakan hasil erosi yang curam dan menjadi drainase bagi sungai-sungai intermiten.
49
3.1.1. Morfografi 3.1.1.1. Bentuk lahan Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985), daerah penelitian dapat dikategorikan memiliki bentuk lahan dataran rendah sampai dengan perbukitan agak curam dengan ketinggian antara 21-400 mdpl. Bentuk lahan dataran tersebar dibagian utara dan baratdaya dan perbukitan tersebar dibagian tengah dari barat memanjang ke timur dan tenggara. Tabel 3.1. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (sumber: Van Zuidam, 1985)
KETINGGIAN ABSOLUT
UNSUR MORFOGRAFI
< 50 meter
Dataran rendah
50 meter - 100 meter
Dataran rendah pedalaman
100 meter - 200 meter
Perbukitan rendah
200 meter - 500 meter
Perbukitan
500 meter - 1.500 meter
Perbukitan tinggi
1.500 meter - 3.000 meter
Pegunungan
> 3.000 meter
Pegunungan tinggi
50
3.1.1.2. Bentuk Lembah Berdasarkan kenampakan topografi dan kenampakan dilapangan maka lembah yang berkembang didaerah penelitian dapat dikategorikan sebagai lembah U sampai V. Bentuk lembah ini berkembang baik sepanjang sungai-sungai utama didaerah penelitian antara lain : Kali Serayu, Kali Logawa, Kalibening, Kalikemajing, Kali tenggulun dan Kalilele. 3.1.1.3. Pola Pengaliran Sungai-sungai yang mengalir pada daerah penelitian merupakan anak sungai dari sungai besar Kali Serayu yang berada pada bagian tenggara dan Kali Bleber yang berada pada bagian baratdaya. Mengalir dari utara-selatan daerah penelitian, Kali Serayu memiliki beberapa percabangan anak sungai yaitu Kali Leming, Kali Laogseb, Kali Bacin, Kali Tenggulun, Kalimenyawak, Kali Banjaran dan Kali Logawa. Kali Tenggulun yang merupakan anak sungai dari Kali Serayu, memiliki anak sungai yaitu kalibening dan kali kemajing pada daerah tengah penelitian. Sedangkan Kali Bleber yang mengalir dari utara-selatan memiliki dua anak sungai yaitu kalilele dan kalikulu pada bagian barat daerah penelitian. Terdapat tiga anak sungai lain yaitu Kali Gending, Kali Jaro dan Kali Tanjung dengan arah aliran dari utara ke selatan bermuara ke sungai besar yang berada diluar lokasi daerah penelitian. Berdasarkan hal tersebut, daerah penelitian ini terbagi atas dua belas daerah aliran sungai (DAS) yakni DAS Kali Banjaran, DAS Kalikemajing, DAS Kalibening, DAS Kali Bacin, DAS Kali Menyawak, DAS Kali Logawa dan DAS Kali Banjaran yang merupakan anak sungai Kali Serayu serta DAS Kalilele dan
51
DAS Kalikulu yang merupakan anak sungai Kali Bleber dan DAS Kali Gending, DAS Kali Jarod an DAS Kali Tanjung. Berdasarkan topografi dan kenampakan di lapangan terhadap pola aliran sungai dengan anak sungai tersebut yang kemudian dibandingkan dengan pola pengaliran berdasarkan Howard (1967), maka pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi 6 (enam) pola pengaliran (Gambar 3.1), yaitu : 1. Anastomatik 2. Angulate 3. Pinnate 4. Sub-trellis 5. Sub-dendritik 6. Paralel 3.1.1.3.1. Pola Pengaliran Anastomatik Pola pengaliran anastomatik dicirikan oleh jaringan saluran sungai yang saling berkaitan, berawa-rawa dan danau kaki yang umum ditemukan dalam daerah limpahan banjir. Pola pengaliran ini berkembang dibagian timurlaut daerah penelitian yang memanjang dari utara ke selatan pada Kali Serayu dan
dibagian baratdaya
memanjang menuju selatan pada Kali Bleber yang total menempati 36.4% dari daerah penelitian. Secara keseluruhan pola pengaliran ini didominasi oleh
52
endapan alluvium namun pada bagian utara bisa dijumpai singkapan jendela berupa batupasir dan breksi. 3.1.1.3.2. Pola Pengaliran Angulate Pola pengaliran Angulate dicirikan oleh sungai yang memiliki beberapa anak cabang yang relatif menyerupai paralel namun lebih renggang dan cenderung terdapat pada daerah yang landai. Pola pengaliran ini dapat mencirikin daerah yang memiliki keterdapatan kekar atau sesar pada daerah yang miring. Pola pengaliran ini berkembang dibagian tengah daerah penelitian pada Kali Tenggulun. Pola pengaliran ini menempati sekitar 9.75% dari daerah penelitian. Secara keseluruhan tersusun oleh litologi batupasir namun terdapat beberapa sisipan batulempung dan breksi di beberapa titik singkapan. 3.1.1.3.3. Pola Pengaliran Pinnate Pola pengaliran Pinnate dicirikan oleh jaringan sungai yang memanjang dan cenderung tidak memiliki anak sungai dibagian yang cenderung datar. Pola pengaliran ini berkembang dibagian utara daerah penelitian dengan aliran sungai dari baratlaut menuju ke tenggara. Pola pengaliran yang memenuhi 11.94% dari daerah penelitian ini tersusun oleh endapan alluvium. 3.1.1.3.4. Pola Pengaliran Sub-Trellis Pola pengaliran Sub-Trellis dicikan oleh sungai yang berbentuk menyerupai tangga dengan sudut yang relatif sama antara anak sungai dan sungai besar. Pola pengaliran ini menandakan bentuk lahan memanjang dan sejajar.
53
Pola pengaliran ini memenuhi 8.79% dari daerah penelitian yang berada pada bagian barat dengan aliran sungai dari barat menuju ke timur pada Kali Kemajing. Secara keseluruhan tersusun oleh litologi batupasir. 3.1.1.3.5. Pola Pengaliran Sub-Denditrik Pola pengaliran Sub-Denditrik dicirikan oleh bentuk dari sungai yang membentuk percabangan menyebar seperti pohon rindang. Dikatakan SubDenditrik dikarenakan sudut antar anak sungai lebih kecil dibandingkan pola aliran Denditrik pada umumnya. Pola ini mencirikan bentuk lahan yang umumnya terjadi secara struktural. Pola Pengaliran ini memenuhi 28.8% daerah penelitian yang berada pada bagian tengah ke selatan di perbukitan agak curam. Pola pengaliran yang terdapat pada Kalibening, Kalilele, Kalilulu, Kali Gending dan Kali jaro memiliki arah aliran sungai yang berbeda. DAS Kalibening mengalir dari selatan menuju utara bermuara di Kali Tenggulun, sedangkan sisanya memiliki aliran sungai dari utara menuju ke selatan bermuara di Kali Bleber. Secara keseluruhan tersusun oleh litologi batupasir, batulempung dan breksi. 3.1.1.3.6. Pola Pengaliran Paralel Pola pengaliran Paralel membentuk pola yang cenderung sejajar. Pola pengaliran ini berada pada daerah perbukitan curam, terletak pada bagian tenggara daerah penelitian. Pola pengaliran ini mencerminkan perbukitan tersebut dipengaruhi oleh perlipatan atau proses struktur lainnya.
54
Keterangan : A. Anastomatik B. Angulate C. Pinnate
D. Sub-Trellis E. Sub-Dendritik F. Paralel
U
Gambar 3.1. Peta Pola Pengaliran Sungai Daerah Penelitian (Tanpa Skala)
3.1.2. Morfogenetik Dari hasil analisis peta topografi dan peta geologi berdasarkan kenampakan di lapangan, morfografi daerah penelitian terbentuk akibat proses eksogen (pelapukan dan erosi) dan proses endogen (struktural). Tahap perubahan permukaan bumi yang disebabkan oleh proses eksogen diawali dengan terjadinya proses pelapukan yang dipengaruhi oleh iklim dan kemudian diikuti terjadinya proses erosi yang merubah kenampakan permukaan bumi. Proses endogen yang dominan bekerja didaerah penelitian dipengaruhi oleh struktural berupa kekar, perlipatan dan sesar (patahan). Satuan bentuklahan menggunakan tabel klasifikasi bentuk lahan secara morfogenenetik (Van Zuidam, 1985) terbagi menjadi satuan bentuk lahan
55
struktural dan bentuk lahan sungai. Bentuklahan sungai berada pada Pedataran Alluvium dan bentuk lahan struktural berada pada Pedataran Sedimen Landai, Perbukitan Sedimen Agak Curam dan Perbukitan Sedimen Curam yang dibentuk oleh proses struktural. 3.1.3. Morfometri Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam (1985), maka morfometri daerah penelitian dibagi menjadi 5 bagian, yaitu : lereng datar, lereng sangat landai, lereng landai, dan lereng agak curam.
Lereng Datar (0°-2° / 0%-2%) tersebar dibagian timurlaut dan baratdaya daerah penelitian menempati 32.46% daerah penelitian. Ditunjukan oleh kotak berwarna biru tua.
Lereng Sangat Landai (2°-3.4° / 2%-6%) tersebar dibagian utara dan barat daerah penelitian dan menempati 21.77% daerah penelitian. Ditunjukan oleh kotak berwarna hijau.
Lereng Landai (5°-6.7° / 9%-11%) tersebar dibagian tengah dan beberapa dibagian utara daerah penelitian menempati 21.71% daerah penelitian. Ditunjukan oleh kotak berwarna kuning.
Lereng Agak Curam (8.5°-10° / 15%-18%) tersebar dibagian utara tengah dan selatan daerah penelitian, menempati 14.78% dari daerah penelitian. Ditunjukan oleh kotak berwarna Jingga.
56
Lereng Curam (11.7-19.6° / 21%-35%) tersebar dibagian tengah dan tenggara daerah penelitian, menempati 9.28% dari daerah penelitian. Ditunjukan oleh kotak berwarna merah muda.
Keterangan : Datar Sangat Landai Landai Agak Curam Curam
U
Gambar 3.2. Morfometri Daerah Penelitian (Tanpa Skala)
3.1.4. Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian Berdasarkan kondisi topografi, sifat litologi, struktur geologi yang mengontrol dan berdasarkan analisis morfografi, morfogenetik serta ditunjang dari morfometri, maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 (empat) satuan geomorfologi (Van Zuidam, 1985), yaitu : 1. Satuan Geomorfologi pedataran aluvium 2. Satuan Geomorfologi pedataran sedimen landai 3. Satuan Geomorfologi perbukitan sedimen agak curam
57
4. Satuan Geomorfologi perbukitan sedimen curam 3.1.4.1. Pedataran Aluvium Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang datar dan sangat landai, penyebarannya berada disebelah utara, timur dan baratdaya daerah penelitian. Luas penyebarannya sekitar 43.7% dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang sangat landai, satuan ini memiliki elevasi mencapai 100 mdpl dengan kemiringan lereng 0% 2%. Secara morfologi, satuan ini merupakan pedataran yang tersebar sepanjang bagian utara, tengah, timur dan baratdaya dari penelitian dan memiliki sungaisungai berpola anastomatik dan pinnate. Lembahnya menandakan tingkat erosi yang dewasa. Menurut
data
morfogenetik,
proses
yang
mempengaruhi
satuan
geomorfologi ini adalah proses eksogen, dimana pelapukan dan erosi tingkat lanjut lebih banyak mempengaruhi bentuk bentang alamnya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah alluvium. 3.1.4.2. Pedataran Sedimen Landai Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang datar dan sangat landai, berada disebalah barat, tenggara dan selatan daerah penelitian. Luas penyebarannya 36.50% dari seluruh daerah penelitian. Satuan ini merupakan pedataran dengan kemiringan lereng yang landai, memiliki elevasi dengan interval 50 – 100 mdpl dengan kemiringan lereng 2% - 12%.
58
Secara morfologi, satuan yang tersebar dengan interval 50-100 mdpl ini memiliki sungai yang berpola Sub-trellis, Sub-dendritik dan angulate. Lembahnya menandakan tingkat erosi yang berangsur ada bagian yang masih muda dan bagian lainnya menandakan tingkat erosi yang dewasa. Menurut aspek morfogenetik, proses mempengaruhi satuan geomorfologi ini adalah proses eksogen dan endogen, dimana pelapukan dan erosi yang berlangsung intesif serta produk morfologi yang diakibatkan oleh peristiwa tektonik. Litologi penyusun dari satuan ini adalah batupasir, batupasir tufan, batupasir tufan karbonatan dan breksi.
Gambar 3.3. Pedataran Sedimen Landai (garis merah)
3.1.4.3. Perbukitan Sedimen Agak Curam Satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang agak curam, satuan ini memiliki elevasi 100-200 mdpl dengan kemiringan lereng 14.8% - 17.8% . Penyebarannya berada di tengah dan timur daerah penelitian. Luas penyebarannya sekitar 16.93% dari seluruh daerah penelitian. Secara Morfologi, satuan ini berupa perbukitan yang tersebar didaerah penelitian memanjang dari barat menuju tenggara, dan memiliki sungai-sungai berpola angulate dan sub-dendritik. Lembahnya menandakan tingkat erosi yang
59
masih muda, walaupun ada sebagian daerah yang sudah mengalami tingkat erosi yang dewasa. Aspek morfogenetik menunjukan proses yang mempengaruhi satuan geomorfologi ini adalah proses endogen dimana terjadi peristiwa tektonik yang kompleks pada zona satuan ini sehingga menghasilkan morfologi yang cenderung berada di daerah lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir, batupasir tufan, batupasir tufan karbonatan dan breksi.
Gambar 3.4. Perbukitan Sedimen Agak Curam (garis kuning)
3.1.4.4. Perbukitan Sedimen Curam Satuan ini merupakan perbukitan dengan kemiringan lereng yang curam, memiliki elevasi 200 – 400 mdpl dengan kemiringan lereng 20.8% - 35.7%. Penyebarannya berada di tengah dan tenggara daerah penelitian yang memiliki luas penyebaran sekitar 2.87% dari seluruh daerah penelitian. Secara Morfologi, satuan ini berupa perbukitan yang tersebar di tengah dan tenggara, memiliki sungai-sungai berpola angulate, sub-dendritik dan paralel. Lembahnya menandakan tingkat erosi yang masih muda.
60
Aspek morfogenetik menunjukan proses yang mempengaruhi satuan geomorfologi adalah proses endogen dimana terjadi peristiwa tektonik yang kompleks pada zona satuan ini berupa lipatan antiklin dan sinklin. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini adalah batupasir, batupasir tufan, batupasir tufan karbonatan dan Breksi.
Gambar 3.5. Perbukitan Sedimen Curam (garis merah) dan Pedataran Aluvium (garis kuning)
61
Gambar 3.6. Kenampakan daerah penelitian dengan model 3D Tabel 3.2. Karakteristik umum geomorfologi daerah penelitian
3.2. Stratigrafi Satuan batuan merupakan tata nama satuan litostratigrafi tidak resmi, yang digunakan dalam pembahasan stratigrafi daerah penelitian. Penamaan satuan batuan ini berdasarkan pada ciri-ciri fisik batuan yang diamati dilapangan,
62
meliputi jenis batuan, keseragaman jenis batuan dan posisi stratigrafi antar batuan yang ditunjang dengan analisa petrografi dari beberapa sampel batuan yang memiliki ciri-ciri fisik sama atau berbeda yang mewakili setiap satuan. Penentuan batas penyebaran satuan batuan didasarkan pada kontak antara dua satuan yang berlainan ciri litologinya. Akan tetapi, pada beberapa satuan batuan yang tidak ditemukan kontak perlapisannya karena tertutupi oleh tanah akibat pelapukan yang intensif, maka batas penyebaran satuan ditentukan berdasarkan pertimbangan topografi, kedudukan lapisan dan interpretasi geologi dengan penarikan penampang serta kaidah hukum “V” pada beberapa stasiun batuan yang diduga sebagai batas antar litologi. Penentuan umur dan lingkungan pengendapan tiap satuan batuan berdasarkan data yang didapat pada lapangan penelitian. Penentuan umur satuan batuan pada lapangan penelitian mengacu pada prinsip stratigrafi yaitu superposisi yang menyatakan bahwa lapisan batuan bagian atas memiliki umur yang lebih muda dari lapisan batuan dibawahnya selama tidak ada pembalikan diketahui dengan rekonstruksi penampang secara vertikal, ditunjang dengan keterdapatan fosil foraminifera planktonik. Sedangkan penentuan lingkungan pengendapan satuan batuan diinterpretasi dengan menggunakan data struktur sedimen pada daerah penelitian dan rekonstruksi penampang stratigrafi terukur pada beberapa satuan sebagai penciri urutan litologi ditunjang dengan data fosil foraminifera bentonik dan PB ratio dengan data jumlah perbandingan foraminifera planktonik dan
bentonik.
Kedua
penentuan
ini
kesebandingan hasil peneliti sebelumnya.
selanjutnya
dikeralisakan
dengan
63
Berdasarkan hal tersebut, maka daerah penelitian dapat dibedakan menjadi lima satuan batuan, dengan urutan dari tua ke muda sebagai berikut : 1. Satuan Breksi (Miosen Tengah) 2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Miosen Tengah-Miosen Akhir) 3. Satuan Batupasir Tufan (Miosen Tengah-Miosen Akhir) 4. Satuan Batupasir (Pliosen akhir) 5. Endapan Aluvium (Kwarter) 3.2.1. Satuan Breksi 3.2.2.1. Litologi dan Penyebarannya Satuan ini secara keseluruhan tersusun oleh breksi polimik dengan ketebalan 1-2m dan ukuran komponen berkisar 1-20cm tersebar dibagian selatan dan tenggara daerah penelitian. Secara megaskopis Satuan Breksi ini memiliki komponen berwarna lapuk hitam keabuan dan warna segarnya hitam. Ukuran kristalnya profiritik berbentuk subhedral dengan derajat kristalisasi hypokristalin. Sedangkan matriksnya merupakan batupasir berwarna lapuk coklat kehitaman dan warna segar abu keputihan, mempunya ukuran pasir sedang-kasar, berbentuk menyudut hingga menyudut tanggung, terpilah buruk, kemasnya terbuka, permeabilitasnya baik dan tidak karbonatan. Secara mikroskopis komponen breksi memiliki deskripsi sayatan berwarna coklat tua transparan, ukuran kristal profiritik bentuk kristal subhedral-anhedral,
64
derajat kristalisasinya hypokristalin, keseragaman besar kristal inequigranular dan keseragaman bentuk kristal allotriomorf. Komposisi penyusun batuan ini terdiri dari butiran kuarsa, k-feldspar, plagioklas, piroksen dan mineral opak dengan mikrolit plagioklas sebagai massa dasar. Sedangkan untuk sayatan batupasir (matriks) berwarna kuning transparan, berbutir pasir halus-kasar, berbentuk membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas terbuka, terpilah buruk. Mengandung material-material vulkanik lebih dari 10%. Terdiri dari butiran kristal kuarsa, k-feldspar, piroksen, olivin, plagioklas, mineral opak, mineral lempung, mineral karbonat, fragmen litik dan fragmen gelas. Jenis komponen breksi ini berdasarkan klasifikasi Travis (1955) adalah porfiri andesite (Lampiran 1 kode conto: ST.37 komponen) dan Jenis matriks berdasarkan klasifikasi Schimdt (1981) dalam Gylespic dan Styles (1999) adalah tuffaceous sandstone (Lampiran 1 kode conto: ST.37 matriks).
Gambar 3.7. Singkapan Breksi Dominasi Komponen pada stasiun ST.56 (A) Singkapan sekala besar (B) dan (C) perbesaran dari singkapan skala besar
65
Gambar 3.8. Singkapan Breksi Dominasi matriks pada stasiun ST.54 (A) Singkapan skala besar (B) perbesaran dari singkapan skala besar
Satuan Breksi ini tersingkap pada bagian selatan dan tenggara daerah penelitian. Penyebarannya meliputi Desa Sidamulih, Desa Tambaknegara dan Desa Tumiyang. Secara keseluruhan penyebaran satuan ini memiliki luas sekitar 11.4% dari total luas daerah penelitian. 3.2.2.2. Kisaran umur dan Lingkungan Pengendapan Kisaran umur dilakukan dengan merekonstruksi penampang vertikal dari persebaran batuan dan ditunjang dengan foraminifera plangtonik untuk penentuan umur relatif. Dari hasil pengamatan lapangan dan rekonstruksi penampang geologi, Satuan Breksi ini diketahui berada dipaling bawah diantara satuan batuan yang diinterpretasi, oleh karenanya dapat diketahui bahwa umur satuan ini ada pada Miosen Tengah (setelah pengendapan Batupasir Tufan). Pada Satuan Breksi ini tidak ditemukan data fosil, oleh karena itu berdasarkan kesebandingan dengan Djurie dkk (1996) satuan ini sebanding dengan Anggota Breksi Formasi Halang yang terendapkan pada Miosen Tengah.
66
Penentuan Lingkungan pengendapan satuan ini tidak dapat ditentukan dengan data struktur sedimen ataupun foraminifera bentonik, hanya dapat ditentukan
dari
rekonstruksi
penampang
stratigrafi
terukur.
Dengan
kesebandingan regional dapat ditentukan bahwa lingkungan pengendapannya berada di neritic luar-bathyal atas dengan facies arus turbidit pada kipas dalam laut. Mengacu pada peneliti terdahulu menyebutkan bahwa Anggota Breksi Formasi Halang diendapkan pada lingkungan laut. 3.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Berdasarkan posisi stratigrafi, Satuan Breksi berada dipaling bawah dengan diatasnya adalah Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan serta dibeberapa tempat ditemukan hubungan stratigrafi selaras menjemari antara Batupasir Tufan Karbonatan berdasarkan rekonstruksi penampang. Ditemukan kontak antara Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Breksi (Gambar 3.9).
67
Gambar 3.9. Kontak antara Satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.27
3.2.2.4. Kesebandingan Regional Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan, umur, lingkungan pengendapan dan stratigrafinya maka Satuan Breksi ini dapat disebandingkan dengan Anggota breksi Formasi Halang. Tabel 3.3. Kesebandingan Satuan Breksi dengan Formasi Halang (Tmphb)
Aspek Kesebandingan Litologi
Satuan Breksi
Formasi Halang (Asikin dkk., 1992)
Satuan ini secara keseluruhan tersusun Breksi, berwarna kelabu, padat, oleh breksi polimik dengan ketebalan 1- kompenen menyudut-menyudut 2m dan ukuran komponen berkisar 1- tanggung,
kemas
terbuka,
20cm. Satuan Breksi ini memiliki terpilah sangat buruk, terdiri komponen
berwarna
lapuk
hitam darinapal,
kepingan
keabuan dan warna segarnya hitam. batulempung
dan
batupasir
Ukuran kristalnya profiritik berbentuk berukuran dari beberapa cm subhedral dengan derajat kristalisasi sampai
30cm;
massa
dasar
68
hypokristalin. Sedangkan matriksnya batupasir merupakan batupasir berwarna lapuk gampingan.
atau
batulempung
Napal
berwarna
coklat kehitaman dan warna segar abu putih kelabu sampai kuning keputihan, mempunya ukuran pasir kecoklatan; padat; bercampur sedang-kasar,
berbentuk
menyudut tuf.
hingga menyudut tanggung, terpilah buruk,
kemasnya
permeabilitasnya
baik
terbuka, dan
tidak
karbonatan. Posisi Stratigrafi
Memiliki hubungan selaras dengan
Berada ditengah-tengah dari
satuan Batupasir Tufan dan selaras
Formasi Halang
dengan Satuan Batupasir. Umur
Lingkungan Pengendapan
Miosen Tengah
Miosen Tengah
Laut dengan facies arus turbidit pada
Lingkungan pengendapan Laut
kipas dalam laut
dalam
3.2.2. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan 3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir dan batulempung. Batupasir berwarna lapuk coklat kehitaman dan warna segar abu keputihan dengan ukuran butir halus-kasar, berbentuk membundar tanggung-menyudut tanggung, kemas terbuka dengan permeabilitas baik, terpliah buruk dan karbonatan disertai dengan keterdapatan material vulkanik. Batulempung yang berseling dengan litologi batupasir memiliki warna lapuk coklat kehitaman, keras dan karbonatan. Pada persebaran batuan dalam satuan Batupasir Tufan karbonatan terdapat struktur
69
sedimen paralel laminasi, slump dan wavy. Satuan ini tersebar di bagian tengah, membentang sepanjang barat sampai timur daerah penelitian. Batupasir memiliki deskripsi Sayatan berwarna kuning kecoklatan, berbutir halus, bentuk butir membundar-membundar tanggung, kemas terbuka, pemilahan baik. Batupasir ini memiliki nama Tuffaceous Sandstone (Schimdt, 1981) (lampiran petrografi kode conto ST.22 dan ST.62)
Gambar 3.10. Singkapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (A) dan perselingan antara batupasir dan batulempung (B)
Satuan Batupasir tufan ini tersingkap dibagian tengah daerah penelitian. Penyebarannya meliputi Desa Tambaknegara, Desa Karangendep, Desa Sawangan Kidul, Desa Karangmangu dan Desa Mandirancan. Penyebaran satuan ini memiliki luas daerah sekitar 8.8% dari daerah penelitian. 3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur dilakukan dengan menganalisis dari rekonstruksi penampang. Sesuai penampang pada Peta Geologi (EF) yang sebelumnya telah dibuat berpatokan data persebaran stasiun batuan pada Peta Kerangka, didapat bahwa Satuan Batupasir Tufan Karbonatan berada dibawah Satuan Batupasir
70
Tufan (bertabrakan dibeberapa penarikan penampang) dan Satuan Batupasir, serta berada diatas Satuan Breksi dari penampang. Selanjutnya, dilakukan analisis fosil foraminifera plangtonik. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada kandungan fosil pada stasiun ST.46. Adapun fosil foraminifera plangtonik yangditemukan pada stasiun ST.46 : 1. Globorotalia continuosa BLOW 2. Globigerinoides Subquadratus BRONNIMAN 3. Hastigerina siphonifera D’ORBIGNY 4. Globigerinoides trilobus immaturus LEROY Tabel 3.4. Zona kisaran Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan kandungan Foraminifera Planktonik (Bolli dan Saunders, 1989) ST.46
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera plangtonik di atas, kisaran umur satuan ini didapat interval umur berkisar antara N12-N13. Oleh karena itu dapat dinterpretasikan bahwa proses pengendapan satuan batupasir tufan berlangsung pada Miosen Tengah. Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menginterpretasi model stratigrafi batuan dari penampang stratigrafi terukur dan keterdapatan
71
struktur sedimen pada Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, ditunjang dengan kisaran batimetri dari foraminifera bentonik. Dengan keterdapatan struktur sedimen seperti yang telah disebutkan sebelumnya,bahwa keterdapatan perselingan litologi dengan batuan yang berada diatasnya (Satuan Batupasir Tufan), slump, paralel laminasi dan wavy, dan batuan konglomeratik dan juga model penampang stratigrafi yang menghalus keatas dan juga karbonatan menunjukan bahwa Satuan ini terendapkan dengan lingkungan pengendapan laut. Ditunjang dengan data Composite Log 1, lingkungan pengendapan ini adalah laut dengan arus turbidit di mid fan disesuaikan dengan model submarine fan deposit (Walker, 1992).
Gambar 3.11. Model lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dengan model Bouma (1962)
72
Gambar 3.12. Lingkungan pengendapan Batupasir Tufan Karbonatan (Walker, 1992)
Gambar 3.13. Struktur sedimen (A) slump pada stasiun ST.44 (B) wavy pada stasiun ST.45
73
Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang ditemukan pada stasiun ST.46 adalah : 1. Euvigerina reineri BELLFORD 2. Bulimina ampliaperture CUSHMAN 3. Laevidentalina translucent PARR 4. Heterolepa ornanta CUSHMAN Tabel 3.5. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun ST.46 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011) ST.46
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka lingkungan pengendapan dari satuan batupasir tufan adalah lingkungan laut pada kisaran batimetri bathyal atas hingga bathyal tengah (159,4 – 480 m). Dengan ini disimpulkan bahwa Satuan Batupasir Tufan Karbonatan diendapkan pada lingkungan laut tepatnya di slope di antara neritik luar – bathyal atas.
74
Gambar 3.14. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)
3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi Berdasarkan posisi stratigrafi Satuan Batupasir Tufan Karbonatan selaras dengan Satuan Batupasir Tufan, dibawah Satuan Batupasir dan berada dibagian bagian atas dari Satuan Breksi. Ditemukan kontak interkalasi dengan Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Breksi (Gambar 3.15). yang mencirikan bahwa Satuan Batupasir Tufan dengan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan memiliki hubungan stratigrafi selaras menjemari.
75
Gambar 3.15. Kontak antara satuan batuan (A) Kontak satuan Breksi dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (B) Kontak Satuan Batupasir Tufan dan Batupasir Tufan Karbonatan
3.2.1.4. Kesebandingan Regional Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan, umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir Tufan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Halang. Tabel 3.6. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dengan Formasi Halang (Tmph)
Aspek Kesebandingan Litologi
Satuan Batupasir Tufan Karbonatan
Batupasir
berwarna
kehitaman
dan
Formasi Halang (Tmph) (Djurie dkk., 1996, S.Asikin dkk., 1992) coklat Batupasir andesit konglomerat
lapuk
warna
segar
abu tufan
dan
keputihan dengan ukuran butir halus- batupasi kasar, berbentuk membundar tanggung- antara
napal
terdapat batupasir
bersisipan perselingan dan
napal
menyudut tanggung, kemas terbuka dengan sisipan batulempung, tuf dengan permeabilitas baik, terpliah dan
kalkarenit.
Batupasir,
buruk dan karbonatan disertai dengan berwarna kelabu kekuningan; keterdapatan
material
vulkanik. berbutir halus sampai kasar,
Batulempung yang berseling dengan terpilah
buruk,
membundar
litologi batupasir memiliki warna lapuk tanggung – meyudut tanggung; coklat kehitaman, keras dan karbonatan
setempat
tufan;
padat;
kesarangan
sedang.
Tebal
76
lapisan antara 5-10cm, tetapi ada juga yang mencapai 1m. Posisi Stratigrafi
Memiliki hubungan selaras dengan
Selaras menjemari dengan
Satuan Breksi, Batupasir Tufan, dan
Formasi Tapak
Batupasir Umur
Lingkungan Pengendapan
Miosen Tengah (N12-N13)
Miosen Tengah - Pliosen Awal
Laut pada zona batimetri di Neritik luar
Bathyal atas sampai kipas dalam
– Bathyal atas, pada bagian tengah
laut (Haryono, 1981), Berfacies
kipas dalam laut dengan arus turbidit
Turbidit (Mulhadiyono, 1973),
(159.4 - 480 m)
Lingkungan laut dalam hingga Zona Bathyal atas (Armandita dkk., 2009)
3.2.3. Satuan Batupasir Tufan 3.2.1.1. Litologi dan Penyebarannya Satuan ini tersusun dari batupasir dengan warna lapuk hitam kecoklatan dan warna segar abu keputihan. Besar butirnya berupa pasir halus-kasar, bentuknya menyudut tanggung hingga membundar tanggung, kemas terbuka, terdapat beberapa bagian yang mudah dicukil dan bagian sisanya keras. Satuan ini terdiri dari 3 litologi batulempung dengan warna lapuk abu kecoklatan dan warna segar abu kehitaman, non karbonatan dan permeabilitas baik, batupasir halus dan batupasir kasar dan tidak karbonatan. Pada persebaran batuan dalam satuan Batupasir Tufan terdapat struktur sedimen wavy, perlapisan berangsur (graded), ripple mark, parallel laminasi dan terdapat pebbly sandstone. Satuan ini tersebar
77
di bagian tengah menuju ke selatan, membentang sepanjang barat sampai timur daerah penelitian. Batupasir memiliki deskripsi sayatan berwarna kuning transparan, berbutir sedang-kasar, bentuk butir menyudut-menyudut tanggung, kemas terbuka, pemilahan buruk. Mengandung material-material vulkanik lebih dari 10 %. Terdiri dari butiran kristal kuarsa, k-feldspar, plagioklas, piroksen, mineral opak, fragmen litik, dan fragmen gelas. (lampiran petrografi kode conto ST.06, dan ST.51)
Gambar 3.16. Singkapan Satuan Batupasir Tufan (A) batulempung pada stasiun ST.50 (B) batupasir halus ST.59 (C) batupasir kasar ST.06
78
Satuan Batupasir tufan ini tersingkap dibagian tengah sampai selatan daerah
penelitian.
Penyebarannya
meliputi
Desa
Tambaknegara,
Desa
Karangendep, Desa Tumiyang dan Desa Sidamulih. Penyebaran satuan ini memiliki luas daerah sekitar 17.9% dari daerah penelitian. 3.2.1.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur dilakukan dengan menganalisis rekonstruksi penampang. Sesuai penampang pada Peta Geologi yang sebelumnya telah dibuat berpatokan data persebaran stasiun batuan pada Peta Kerangka, didapat bahwa Satuan Batupasir Tufan berada dibagian tengah diantara Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir. Selanjutnya, dilakukan analisis fosil foraminifera plangtonik. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada kandungan fosil pada stasiun ST.50, ST.64 dan ST.51 (berurut dari bagian paling atas ke bawah) . Adapun fosil foraminifera plangtonik yangditemukan pada ketiga stasiun yang telah disebutkan : 1. Globorotalia Mayeri CUSHMAN 2. Globigerinoides Subquadratus BRONNIMAN 3. Globoquadria Dehiscens CHAP, PAR, COLL 4. Shaeroidinllopsis Subdehiscens BLOW 5. Globorotalia Obesa BOLLI 6. Globoquadrina altispira CUSHMAN dan JARVIS
79
7. Globorotalia acostaensis BLOW 8. Spaerodinella subdehiscens BLOW 9. Globigerinoides immaturus LEROY 10. Globorotalia pseudomiocenia BOLLI dan BLOW 11. Globorotalia homerosa praehumerosa NATORI 12. Orbulina Suturalis BRONNIMANN 13. Spaerodinellopsis multiloba LEROY 14. Orbulina Universa D’ORBIGNY Tabel 3.7. Zona kisaran Satuan Batupasir tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C) ST.51 berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989)
80
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera plangtonik di atas dengan pengambilan sampel dari batuan yang ada dibagian atas, tengah dan bawah satuan, maka kisaran umur satuan ini didapat interval umur berkisar antara N13-N19. Oleh karena itu dapat dinterpretasikan bahwa proses pengendapan satuan batupasir tufan berlangsung pada Miosen Tengah sampai Pliosen Awal. Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menginterpretasi model stratigrafi batuan dari penampang stratigrafi terukur dan keterdapatan struktur sedimen pada satuan batupasir tufan, ditunjang dengan kisaran batimetri dari foraminifera bentonik. Dengan keterdapatan struktur sedimen seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mengacu kepada model struktur sedimen Walker (1973) bahwa keterdapatan
perselingan
litologi,
pebbly
sandstone,
perlapisan
massif,
keterdapatan model bouma sekuen, dan batuan konglomeratik dan juga model penampang stratigrafi yang mengkasar keatas menunjukan bahwa daerah tersebut terendapkan oleh arus turbidit yang berada pada slope atau kipas bawah laut.
81
Gambar 3.17. Struktur sedimen (A) pebbly sandstone stasiun ST.06 (B) pasir massif stasiun ST.15
Gambar 3.18. Model sekuen Bouma (1962) (Ta) Graded bedding perselingan batuan stasiun ST.58 (Tb) parallel laminasi stasiun ST.49 (Tc) Ripple Mark stasiun ST.49 dan (Te) Lempung massif stasiun ST.66
82
Ditunjang dengan data Composite Log 1,4 dan 3, lingkungan pengendapan satuan ini adalah laut dengan arus turbidit di upper hingga lower fan disesuaikan dengan model submarine fan deposit (Walker, 1992).
Gambar 3.19. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan dengan model pengendapan Bouma, 1962
Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang ditemukan pada stasiun ST.50, ST.64 dan ST.51 (berurutan dari posisi yang paling atas ke yang paling bawah) adalah : 1. Spirillina aciculans CUSHMAN 2. Haplopragmoides canariensis CUSHMAN 3. Thurammina papillata BRADY
83
4. Martinotella nodulosa CUSHMAN 5. Stilostomella fistuca SCWARGER 6. Pseudolingulina milleto BRADY 7. Parafissurina lateralis CUSHMAN 8. Pseudonodosaria discrete REUSS 9. Patellina corrugate WILLIAMSON 10. Nodosaria timorensis LOEBLICH dan TAPPAN 11. Textularia paragglutinans ZHENG
84
Gambar 3.20. Lingkungan Pengendapan Batupasir Tufan (Walker, 1992) Tabel 3.8. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan pada stasiun (A) ST.50, (B) ST.64 dan (C) ST.51 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011)
85
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut, maka lingkungan pengendapan dari satuan batupasir tufan adalah lingkungan laut pada kisaran batimetri neritic luar hingga bathyal tengah (135 – 702 m). Dengan ini disimpulkan bahwa satuan batupasir tufan diendapkan pada lingkungan laut tepatnya di slope dengan arus turbidit dibagian awal kipas dalam laut tepatnya di bathyal atas - tengah.
Gambar 3.21. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir Tufan menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et. Al. (1966)
86
3.2.1.3. Hubungan Stratigrafi Berdasarkan posisi stratigrafi Satuan Batupasir Tufan berada dibagian atas Satuan Breksi, dibagian bawah Satuan Batupasir dan sejajar dengan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan. Ditemukan kontak interkalasi Satuan Batupasir Tufan dengan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir. mencirikan bahwa hubungan kedua satuan secara stratigrafi diendapkan selaras.
Gambar 3.22. Kontak antar satuan batuan (A) kontak Satuan Batupasir Tufan dan SatuanBatupasir Tufan Karbonatan pada stasiun ST.38 dan (B) kontak Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada stasiun ST.13
3.2.1.4. Kesebandingan Regional Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan, umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir Tufan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Halang. Tabel 3.9. Kesebandingan Satuan Batupasir Tufan dengan Formasi Halang (Tmph)
Aspek Kesebandingan Litologi
Satuan Batupasir Tufan
Formasi Halang (Tmph) (Djurie dkk., 1996, S.Asikin dkk., 1992) Batupasir dengan warna lapuk hitam Batupasir andesit konglomerat kecoklatan
dan
warna
segar
abu tufan
dan
keputihan. Besar butirnya berupa pasir batupasi
napal
terdapat
bersisipan perselingan
87
halus-kasar,
bentuknya
menyudut antara
batupasir
dan
napal
tanggung hingga membundar tanggung, dengan sisipan batulempung, tuf kemas
terbuka,
terdapat
beberapa dan
kalkarenit.
Batupasir,
bagian yang mudah dicukil dan bagian berwarna kelabu kekuningan; sisanya keras. Satuan ini terdiri dari 3 berbutir halus sampai kasar, litologi batulempung dengan warna terpilah
buruk,
membundar
lapuk abu kecoklatan dan warna segar tanggung – meyudut tanggung; abu kehitaman, non karbonatan dan setempat
tufan;
padat;
permeabilitas baik, batupasir halus dan kesarangan
sedang.
Tebal
batupasir kasar dan tidak karbonatan. lapisan antara 5-10cm, tetapi ada Pada persebaran batuan dalam satuan juga yang mencapai 1m. Batupasir
Tufan
terdapat
struktur
sedimen wavy, perlapisan berangsur (graded), cross lamination, parallel laminasi dan terdapat pebbly sandstone.. Posisi Stratigrafi
Umur
Memiliki hubungan selaras dengan
Selaras menjemari dengan
Satuan Breksi dan Satuan Batupasir
Formasi Tapak
Miosen Tengah - Pliosen Awal
Miosen Tengah - Pliosen Awal
(N13-N19) Lingkungan Pengendapan
Di slope pada kipas dalam laut bagian
Bathyal atas sampai kipas dalam
atas-bawah dengan facies turbidit di
laut (Haryono, 1981), Berfacies
neritic luar-bathyal tengah.
Turbidit (Mulhadiyono, 1973),
(135 – 702 m)
Lingkungan laut dalam hingga Zona Bathyal atas (Armandita dkk., 2009)
88
3.2.3. Satuan Batupasir 3.2.3.1. Litologi dan Penyebarannya Satuan ini tersusun oleh litologi batupasir yang berselingan dengan batulempung. Batupasir berwarna lapuk abu kehitaman dan warna segar abu keputhan memiliki ukuran butir pasir halus-kasar dengan bentuk butir membundar -menyudut tanggung, memiliki kemas terbuka, permeabilitasnya sedang, terpilah baik, dengan kekerasan yang kompak dan karbonatan yang terbagi dalam stasiun batupasir kasar dan batupasir halus. Terdapat batulempung yang berseling dengan batupasir dibeberapa stasiun memiliki warna lapuk abu kecoklatan dan warna segar abu kehitaman, permeabilitasnya buruk, keras dan karbonatan. Pada persebaran batuan dalam Satuan Batupasir terdapat struktur sedimen graded bedding, paralel laminasi, terdapat pula pebbly sandstone dan pecahan moluska. Batupasir dalam Satuan Batupasir memiliki deskripsi sayatan berwarna kuning kecoklatan, berbutir pasir halus-sedang, bentuk butir membundarmembundar tanggung, kemas terbuka dan pemilahan baik. Terdiri dari butiran kristal kuarsa, k-feldspar, fragmen batupasir, mineral lempung, mineral karbonat dan mineral opak. Jenis Batupasir ini menurut klasifikasi Pettijohn (1975) adalah Feldspatic Wacke (lampiran petrografi kode conto: ST.41 dan ST.43). Persebaran batuan pada Satuan Batupasir berada pada bagian barat, baratlaut, utara menuju ke timur daerah penelitian. Terdapat batulempung yang berseling dengan batupasir dibeberapa titik dan secara keseluruhan material batupasir kasar berada dibawah material batupasir halus. Persebaran batuan ini
89
berada dibagian barat, baratlaut, utara menuju ke timur daerah penelitian yang secara admistratif berada di Desa Mandirancan, Desa Patikraja, Desa Karanganyar, Desa Jatisaba dan Desa Sawangan kidul. Mempunyai luas area sekitar 19.9% dari luas daerah penelitian.
Gambar 3.23. Singkapan Batupasir karbonatan stasiun ST.14 (A) Tubuh singkapan (B) Batupasir halus (B) Batupasir kasar
3.2.3.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur diketahui melalu rekonstruksi penampang vertikal dan ditunjang dengan data foraminifera planktonik untuk mengatahui umur relatif Satuan Batupasir. Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, Satuan Batupasir dalam penampang vertikal berada di atas Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Breksi dan dipastikan bahwa peristiwa pengendapan Satuan Batupasir paling cepat diendapkan pada Pliosen Awal. Pengambilan sampel pada stasiun ST.76 dan ST.42 (dari atas ke bawah) menunjukan keterdapatan fosil foraminifera plangtonik sebagai berikut : 1. Orbulina Universa D’ORBIGNY
90
2. Globigerinoides Trilobus Immaturus LEROY 3. Hastigerina Siphofera BRADY 4. Globigerinoides Conglobatus BRADY 5. Pulleniatina Praecursor CUSHMAN 6. Orbulina Bilobata D’ORBIGNY 7. Globorotalia margaritae margaritae BOLLI dan BERMUDEZ 8. Globigerinoides ruber D’ORBIGNY 9. Spaerodinella seminulina SCHWARGER 10. Spaerodinellopsis sphaeroides LAMB Tabel 3.10. Zona kisaran Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42 berdsarkan kandungan Formanifera Plangtonik (Bolli dan Saunders, 1989)
Berdasarkan kandung fosil foraminifera Plangtonik seperti
yang
disebutkan di Tabel 3.10, kisaran umur Satuan Batupasir berkisar antara N18 – N21. Dikorelasikan dengan interpretasi penampang vertikal, dapat diambil
91
kesimpulan bahwa proses pengendapan Satuan Batupasir berlangsung selama kurun waktu Pliosen. Penentuan
Lingkungan
Pengendapan
dapat
ditentukan
dengan
menginterpretasi ciri litologi satuan batuan melalui penampang stratigrafi terukur dihubungkan dengan referensi mengenai ciri khas litologi suatu lingkungan pengendapan dan keterdapatan struktur sedimen dari persebaran batuan dalam Satuan Batupasir ditunjang dengan kisaran kedalaman Foraminifera Bentonik pada batuan didalam Satuan tersebut. Mengacu kepada Diagram blok sistem pengendapan (Dalrymple dkk., 1990 dalam Walker dan James, 1992) bahwa karakteristik susunan stratigrafi yang menghalus keatas dan terdapat perselingan batupasir dan batulempung serta struktur sedimen graded bedding, paralel laminasi, terdapat pula pebbly sandstone dan pecahan moluska dan karbonatan pada Satuan Batupasir menunjukan bahwa daerah tersebut terendapkan pada dan pecahan moluska pada stasiun ST.70 diinterpretasikan sebagai akibat dari energy yang kuat dari arus pasang surut zona intertidal.
92
Gambar 3.24. Struktur sedimen pada Satuan Batupasir (A) dan (B) pebbly sandstone pada stasiun ST.40 dan ST.41, (C) terdapat pecahan moluska pada stasiun ST.70 dan (D) paralel laminasi stasiun ST.11
Ditunjang dengan data Composite Log 2 dan 3, lingkungan pengendapan satuan ini adalah pada tidal flat yang dipengaruhi oleh zona pasang surut (terdapat pecahan moluska) dan struktur sedimen penunjang dibagian intertidal (Walker, 1992).
93
Gambar 3.25. Diagram Blok pada sistem pengendapan Tidal Flat (Dalrymple et al. 1990 dalam Walker dan James, 1992)
Penentuan lingkungan pengendapan ditunjang dengan melihat kisaran kedalaman dari foraminifera bentonik. Adapun fosil foraminifera bentonik yang ditemukan pada stasiun ST.76 dan ST.42 adalah : 1. Peneroplis pertusus FORSKAL 2. Lenticulina robulus pliocaenicus BRADY 3.Polysegmentina circanata BRADY 4. Opercullina ammonoides GRONOVIUS 5. Streblus gaimardii D’ORBIGNY 6. Heterolepa subhaidingeri PARR
94
7. Bucella frigida CUSHMAN 8. Nummulites veosus FICHTELL dan MOLL 9. Ammonia tepida CUSHMAN Tabel 3.11. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir pada stasiun (A) ST.76 dan (B) ST.42 berdasarkan kandungan foraminifera bentonik (Harris dan Baker, 2011)
95
Gambar 3.26. Lingkungan pengendapan Satuan Batupasir menurut klasifikasi lingkungan laut yang dikemukakan oleh Tipsword et al. (1966)
Berdasarkan kandungan fosil foraminifera bentonik tersebut maka lingkungan pengendapan dari Satuan Batupasir adalah lingkungan laut pada kisaran batimetri neritik dalam - luar (18 – 180 m). Dengan ini disimpulkan bahwa Satuan Batupasir diendapkan pada lingkungan laut di zona intertidal dengan arus pasang surut di bagian neritik dalam - luar. 3.2.3.3. Hubungan Stratigrafi Satuan Batupasir berada diatas Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, dan berada dibawah endapan alluvium. Satuan Batupasir merupakan satuan batuan yang memiliki umur paling muda dan diendapkan secara selaras dengan satuan batuan yang berada dibawahnya.
96
3.2.3.4. Kesebandingan Regional Berdasarkan ciri-ciri litostratigrafi yang meliputi karakteristik fisik batuan, umur, lingkungan pengendapan dan posisi stratigrafinya maka Satuan Batupasir dapat disebandingkan dengan Formasi Tapak. Tabel 3.12. Kesebandingan Satuan Batupasir dengan Formasi Tapak (Tpt)
Aspek Kesebandingan Litologi
Satuan Batupasir
Batupasir
berwarna
kehitaman
dan
lapuk
kehijauan
dan
keputhan memiliki ukuran butir pasir konglomerat, setempat
breksi
halus-kasar membundar
warna
dengan
segar
Formasi Tapak (Tpt) (Djurie dkk., 1996, S.Asikin dkk., 1992) abu Batupasir berbutir kasar
bentuk
-menyudut
memiliki
abu berwarna
butir andesit. Dibagian atas terdiri
tanggung, dari batupasir gampingan dan
kemas
terbuka, napal
berwarna
hijau
yang
permeabilitasnya sedang, terpilah baik, mengandung kepingan moluska. dengan kekerasan yang kompak dan Tebal sekitar 500m. karbonatan yang terbagi dalam stasiun batupasir kasar dan batupasir halus. Terdapat batulempung yang berseling dengan batupasir dibeberapa stasiun memiliki warna lapuk abu kecoklatan dan
warna
segar
permeabilitasnya
abu
buruk,
kehitaman, keras
dan
karbonatan. Pada persebaran batuan dalam struktur
Satuan sedimen
Batupasir
terdapat
graded
bedding,
paralel laminasi, terdapat pula pebbly sandstone dan pecahan moluska. Posisi Stratigrafi
Memiliki hubungan selaras dengan
Selaras dengan Formasi
97
Satuan Batupasir Tufan dan Satuan
Kumbang dan Formasi Halang
Breksi Umur Lingkungan Pengendapan
Selama Pliosen (N18-N21)
Pliosen Awal
lingkungan laut pada kisaran batimetri Lingkungan pengendapan laut neritic dalam-luar (18 – 180 m). Dengan dangkal atau tidal flat. ini disimpulkan bahwa Satuan Batupasir diendapkan pada lingkungan laut di zona intertidal dengan arus pasang surut di bagian neritik.
3.2.4. Endapan Aluvium 3.2.4.1. Litologi dan Penyebarannya Aluvium terdiri dari material lepas berupa lempung, pasir kerikil, kerakal berukuran kerikil sampai bongkah yang merupakan hasil proses dari penggerusan batuan yang telah ada sebelumnya yang berumur tua, kemudian diangkut melalui media transportasi air dan diendapkan di tempat-tempat yang lebih rendah. Endapan ini terletak dibagian utara dan baratdaya daerah penelitian. Penyebarannya meliputi daerah Kali Serayu, Kali Logawa dan Desa Pesawahan dan menempati sekitar 44% dari luas daerah penelitian. Endapan alluvium ini berbatasan dengan Satuan Batupasir dibagian utara dan Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Breksi dibagian selatan daerah penelitian. Satuan Aluvium terendapkan dengan tidak menerus atau terisolasi, hal tersebut dikarekan alluvium terbentuk karena adanya proses tektonik pada Kala Pliosen-Plistosen dimana bagian material alluvium tersebut berasal dari batuan
98
yang sudah mengalami erosi dan tertransportasi mengisi daerah yang datar dan berelevasi rendah.
B
A
Gambar 3.27. Endapan Aluvium Kali Logawa
3.2.4.2. Kisaran Umur dan Lingkungan Pengendapan Aluvium daerah penelitian merupakan endapan batuan paling muda yang tersingkap. Dilihat dari posisi stratigrafinya, endapan ini berada di atas Satuan Batupasir, Satuan Batupasir Tufan, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Breksi. Berdasarkan kenampakan dilapangan terlihat endapan ini belum terkompaksi serta menunjukan proses erosional dan pengendapan yang masih berlangsung hingga saat ini. Endapan permukaan ini diperkirakan berumur Holosen – Resen dengan lingkungan pengendapan darat. 3.2.4.3. Hubungan Stratigrafi Berdasarkan Hasil rekonstruksi penampang geologi dan pengamatan langsung di lapangan, alluvium ini diinterpretasikan menindih tidak selaras semua satuan yang berada di daerah penelitian.
99
3.2.4.4. Kesebandingan Regional Dari karakteristik fisik yang ditemukan di lapangan, maka endapan permukaan ini dapat disebandingkan dengan Endapan Aluvium (Djurie dkk, 1996) Tabel 3.13. Kesebandingan Aluvium dengan Endapan Aluvium (Qa)
Aspek
Aluvium
Endapan Aluvium (Qa)
Kesebandingan Litologi
(Djurie dkk, 1996) Endapan permukaan yang merupakan Kerikil, material lepas terdiri atas material Lempung
pasir,
lanau
sebagai
dan
endapan
kerikil, kerakal, bongkah batuan beku sungai dan pantai. Tebal hingga
Posisi Stratigrafi
Umur
dan fragmen halus.
150m.
Menindih tak-selaras Satuan Breksi
Menindih tidak selaras Formasi
Volkanik dan Satuan Batupasir Hitam
Kumbang dan Tapak
Berumur Holosen - Resen
Diperkirakan berumur Holosen Resen
Lingkungan
Darat
Diperkirakan darat
Pengendapan
3.3. Struktur Geologi Penentuan keberadaan dan jenis struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian dilakukan berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran indikasi struktur geologi yang diamati langsung di lapangan seperti cermin sesar (slicken side), arah jurus dan kemiringan lapisan, offset litologi dan analisis data kekar.
100
Selain pengamatan indikasi struktur di lapangan, penentuan struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian juga dibantu dengan analisis citra DEM untuk mengetahui kelurusan punggungan serta dibantu dengan peta dasar untuk mengetahui kelurusan kontur dan sungai. Kegiatan analisis ini dapat membantu penarikan pola jurus dan mengenali daerah-daerah yang kemungkinan terdapat struktur geologi. Berdasarkan indikasi di lapangan serta analisis terhadap citra satelit dan kelurusan sungai serta kontur, maka struktur yang berkembang di lapangan antara lain Lipatan, Kekar dan Sesar. Hasil pengolahan terhadap data-data tersebut menunjukan bahwa struktur yang berkembang di daerah penelitian merupakan hasil dari satu kali periode tektonik yang dialami Pulau Jawa pada Kala PliosenPlistosen yang menghasilkan lipatan antiklin dan sinklin serta sesar berupa sesar naik dan sesar mendatar yang memotong struktur yang terjadi sebelumnya dan memotong Satuan Batupasir (Tpbp) yang berumur Pliosen, Satuan Batupasir Tufan (Tmbp), Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) dan Satuan Breksi (Tmb) yang berumur Miosen. 3.3.1. Interpretasi Pola Kelurusan Interpretasi kelurusan punggungan, kontur maupun sungai dengan menggunakan data berupa citra DEM dimaksudkan untuk megamati pola-pola kelurusan yang konsisten yang nantinya dapat membantu dalam interpretasi struktur geologi didaerah penelitian dan dapat mengetahui pola tegasan yang terjadi didaerah penelitian pada tahapan pra-lapangan untuk membantu pengambilan data dan interpretasi struktur geologi di lapangan.
101
Berdasarkan interpretasi kelurusan-kelurusan menggunakan citra DEM, didapat 116 kelurusan dengan panjang kelurusan dengan interval 182 – 6449 meter. Dengan menempatkan data-data kelurusan DEM, sungai dan kontur ke dalam diagram bunga, maka dapat disimpulkan umumnya punggungan didaerah penelitian bearah timurlaut-baratdaya, dengan pola kelurusan memiliki trend yang dominan pada interval 130º-140º terhadap arah utara.
Gambar 3.28. Analisa Kelurusan Sungai (kiri) dan Analisa Kelurusan Kontur (kanan) tanpa skala
102
Gambar 3.29. Analisa Kelurusan DEM (tanpa skala)
Gambar 3.30. Diagram Roset kelurusan DEM (merah), kelurusan kontur (kuning) dan kelurusan sungai (hijau)
103
Diagram Roset menunjukan bahwa kelurusan yang dibentuk baik kelurusan DEM, kelurusan kontur dan kelurusan sungai menunjukan bahwa daerah penelitian memiliki arah tegasan pembentuk morfologi daerah tersebut memiliki arah timurlaut-baratdaya. 3.3.2. Struktur Lipatan Lipatan adalah struktur geologi yang memiliki suatu bentuk lengkungan (curve) dari suatu bidang lapisan batuan (Park, 1980). Struktur lipatan yang berkembang didaerah penelitian berupa rangkaian antiklin dan sinklin yang menyebabkan perlibatan pada Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp), Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) dan Satuan Breksi (Tmb) membentang dibagian barat-timur menuju ke selatan daerah penelitian. Penentuan struktur Sinklin dan Antiklin ini didasarkan oleh rekonstruksi penampang geologi ditunjang dengan pola jurus perlapisan yang memiliki arah kemiringan (dip) yang berbeda. Berdasarkan hasil rekonstruksi pola jurus dan kemiringan lapisan batuan dalam penampang, maka didapat 4 (empat) buah antiklin dan 3 (tiga) buah sinklin di daerah penelitian yakni, Sinklin Jatisaba, Antiklin Karangcengis, Antiklin Karangendep, Sinklin Sawangan Kidul, Antiklin G. Payung, Sinklin Tipar dan Antiklin Tipar. Persebaran lipatan tersebut secara berurutan dari utara menuju ke selatan daerah penelitian.
104
3.3.2.1. Sinklin Jatisaba Sinklin Jatisaba berada dibagian baratlaut daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 175º E/13º pada limb1 dan N 338º E/15º pada limb2 serta memiliki arah trend 345º relatif baratlaut-tenggara dengan plunge 2º sudut kemiringan axial surface sebesar 86º dan sudut interlimb 155º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis gentle upright sub-horizontal fold.
Gambar 3.31. Stereonet Sinklin Jatisaba dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
3.3.2.2. Antiklin Karangcengis Antiklin Karangcengis berada dibagian barat daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 53º E/21º pada limb3 dan N 299º E/20º pada limb4 serta memiliki arah trend 84º relatif barattimur dengan plunge 11º sudut kemiringan axial surface sebesar 88º dan sudut interlimb 145º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis gentle upright gently-plunging fold.
105
Gambar 3.32. Stereonet Antiklin Karangcengis dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
3.3.2.3. Antiklin Karangendep Antiklin Karangendep berada dibagian tengah menuju ke timur daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 121º E/23º pada limb5 dan N 286º E/55º pada limb6 serta memiliki arah trend 289º relatif baratlaut-tenggara dengan plunge 5º sudut kemiringan axial surface sebesar 75º dan sudut interlimb 103º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis open steeply inclined sub-horizontal fold.
106
Gambar 3.33. Stereonet Antiklin Karangendep dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
Gambar 3.34. Foto perubahan kemiringan lapisan batuan sebagai indikasi Antiklin Karangendep diantara stasiun ST.44 dan ST.45
3.3.2.4. Sinklin Sawangan Kidul Sinklin Sawangan Kidul berada dibagian tengah daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 121º E/23º pada limb7 dan N 298º E/28º pada limb8 serta memiliki arah trend 299º relatif barat-timur dengan plunge 1º sudut kemiringan axial surface sebesar 85º dan sudut interlimb 128º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis gentle upright sub-horizontal fold.
107
Gambar 3.35. Stereonet Sinklin Sawangan Kidul dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
3.3.2.5. Antiklin G. Payung Antiklin G.Payung berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 116º E/46º pada limb9 dan N 300º E/26º pada limb10 serta memiliki arah trend 117º relatif barattimur dengan plunge 1º sudut kemiringan axial surface sebesar 82º dan sudut interlimb 108º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis Open Upright Sub-Horizontal Fold.
108
Gambar 3.36. Stereonet Antiklin G.Payung dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
3.3.2.6. Sinklin Tipar Sinklin Tipar berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 115º E/46º pada limb11 dan N 285º E/36º pada limb12 serta memiliki arah trend 291º relatif barat-timur dengan plunge 5º sudut kemiringan axial surface sebesar 84º dan sudut interlimb 98º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis open upright sub-horizontal fold.
109
Gambar 3.37. Stereonet Antiklin Sidamulih dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
3.3.2.7. Antiklin Tipar Antiklin Tipar berada dibagian selatan daerah penelitian. Struktur lipatan ini dibentuk dari dua sayap yang memiliki strike dip N 117º E/36º pada limb13 dan N 284º E/34º pada limb14 serta memiliki arah trend 291º relatif barat-timur dengan plunge 4º sudut kemiringan axial surface sebesar 86º dan sudut interlimb 110º. Berdasarkan klasifikasi Fleuty (1964), maka struktur ini termasuk kedalam jenis open upright sub-horizontal fold.
Gambar 3.38. Stereonet Antiklin Tipar dan klasifikasi penamaan lipatan (Fleuty, 1964)
110
3.3.3. Struktur Kekar Kekar atau rekahan (Joint) adalah jenis struktur geologi yang merupakan suatu bidang pecahan atau rekahan planar pada batuan yang sedikit atau tidak sama sekali mengalami pergeseran (Haryanto, 2003). Dalam mengalami pergeseran, bidang rekahan pada kekar tidak menunjukan adanya pergerakan yang berarti sepanjang arah paralel bidang tersebut.Kekar yang berkembang di daerah penelitian, umumnya merupakan kekar gerus (shear joint). Sulit untuk menentukan umur kekar yang berada didaerah penelitian karena struktur kekar dapat menjadi produk dari periode tektonik paling tua hingga periode tektonik resen yang dialami oleh daerah penelitian. Dengan meninjau dari hasil pada pengambilan data di lapangan, terdapat 5 stasiun kekar dengan 3 arah tegasan berbeda. Dengan keterdapatan data kekar K1, K2 dan K3 dilakukan rekonstruksi dengan menggunakan stereonet (wuff, schimdt dan karlsberg). Berdasarkan rekonstruksi stereonet kekar K1, K2 dan K3, didapat hasil interpretasi dengan data tersebut memiliki arah pola tegasan yang relative sama, yakni memiliki arah baratlaut-tenggara. Kekar K1 dan K2 memotong Satuan Batupasir (Tpbp) sedangkan kekar K3 memotong Satuan Batupasir tufan (Tmph). Dari data tersebut dapat dikerucutkan bahwa kekar K1, K2 dan K3 terjadi minimal saat kala miosen akhir, setelah Satuan Batupasir Tufan terendapkan. Ketiga data kekar ini dapat pula menjadi penguat untuk penarikan struktur sesar mendatar yang tercantum dalam Peta Pola Jurus dan Peta Geologi yang membentang disepanjang Kalibening.
111
Gambar 3.39. Diagram Stereonet K1 (stasiun ST.44), K2 (stasiun ST.49) dan K3 (stasiun ST.51) disertai dengan foto Kekar disetiap stasiun
K4 didapat pada stasiun ST.57 pada bagian timur daerah penelitian. Setelah dilakukan rekonstruksi menggunakan stereonet, diinterpretasikan bahwa K4 memiliki arah pola tegasan dengan kecenderungan utara-selatan. K4 memotong kontak antara batupasir tufan dengan batupasir karbonatan sehingga dapat diasumsikan bahwa K4 memiliki umur tidak lebih tua dari kala Pliosen.
112
Disebandingkan dengan data tektonik regional daerah penelitian, Kekar K4 memiliki pola tegasan yang sama dengan pola tegasan tektonik regional. Pada stasiun ST.57, terdapat pula offset yang mengindikasikan terjadinya sesar naik.
Gambar 3.40. Diagram Stereonet K4 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.57
Data Kekar K5 didapat pada stasiun ST.35 yang terletak dibagian selatan daerah penelitian. Setelah dilakukan rekonstruksi stereonet menggunakan data strike dip kekar yang bersangkutan, dihasilkan pola arah tegasan pada K5 cenderung baratdaya-timurlaut. Kekar ini memotong batupasir tufan dan dapat diasumsikan bahwa Kekar K5 memiliki kisaran umur paling tua pada Kala Miosen. Data Kekar K5 dapat menjadi bukti penunjang untuk penarikan sesar di bagian utara stasiun ST.35.
113
Gambar 3.41. Diagram Stereonet K5 disertai dengan foto Kekar di stasiun ST.35
3.3.4. Struktur Sesar Sesar atau patahan (fault) merupakan salah satu fenomena geologi yang umum dijumpai di kulit bumi. Sesar didefinisikan sebagai bidang rekahan yang disertai oleh adanya pergeseran relative (displacement) satu blok terhadap blok batuan lainnya. Jarak pergeseran tersebut dapat hanya beberapa millimeter hingga puluhan kilometer, sedangkan bidang sesarnya mulai dari yang berukuran beberapa centimeter hingga puluhan kilometer (Billing, 1959). Pada daerah penelitian, terdapat 9 buah Sesar. Sesar-sesar tersebut sebagian besar didapat dari hasil rekonstruksi berdasarkan data primer berupa cermin sesar berupa data strikedip sesar dan pitch, serta offset litologi yang didapat saat tahap pengambilan data lapangan ditunjang oleh data sekunder berupa lipatan geser (dragfold), keterdapatan breksi sesar, anomali strikedip, zona hancuran, keterdapatan data kekar, kelurusan DEM, kontur, dan sungai. Penentuan orde sesar hanya untuk menentukan keterjadian didaerah penelitian, bukan berdasarkan keterjadian umum secara regional pulau jawa.
114
3.3.4.1. Sesar Naik Karangendep Sesar
Karangendep
membentang tengah
terdapat
menuju
timur
dibagian daerah
tengah penelitian.
daerah
penelitian
Penarikan
Sesar
Karangendep berdasarkan data primer berupa cermin sesar dan ofset litologi pada stasiun OF9 yang memiliki strikedip sesar N 106º E / 44º dengan pitch 57º NW yang terdapat pada stasiun ST.57.menunjukan pergeseran relatif naik yang diakibatkan oleh gaya kompresional dari arah relatif timurlaut-baratdaya. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Karangendep yang membentang sepanjang barat-timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang sama dengan pola kelurusan disekitar sesar tersebut, selain itu ditunjang dengan data kekar K4.
Gambar 3.42. Diagram Stereonet OF9 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.57
Sesar Karangendep pada daerah penelitian memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir (Tpbp). Disebandingkan dengan tegasan tektonik regional pada daerah penelitian dan model sesar menurut Moody & Hill,1959 maka didapat umur Sesar
115
Karangendep pada Kala Pliosen-Plistosen dengan tegasan timurlaut-baratdaya yang merupakan orde ke 1 pada pembentukan struktur geologi daerah penelitian dalam kurun satu periode tektonik tertentu. Sesar Karangendep ini merupakan jenis sesar Right Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).
Gambar 3.43. Korelasi Sesar Karangendep dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972
3.3.4.2. Sesar Naik Mandirancan Sesar Mandirancan terdapat dibagian timur daerah penelitian dengan trend berarah barat-timur daerah penelitian. Penarikan Sesar Mandirancan berdasarkan data primer berupa cermin sesar dan ofset litologi pada stasiun OF12 yang memiliki strike dip sesar N 108º E / 24º dengan pitch 72º NW pada stasiun ST.25 dan OF15 yang memiliki strike dip sesar N 75º E / 60º pada stasiun ST.29 menunjukan pergeseran relatif naik yang diakibatkan oleh gaya kompresional dari arah relatif timurlaut-baratdaya. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Mandirancan yang membentang pada timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang sama dengan pola kelurusan disekitar sesar tersebut.
116
Gambar 3.44. Diagram Stereonet OF12 disertai foto ofset dan cermin sesar pada stasiun ST.25
Gambar 3.45. Diagram Stereonet OF15 disertai foto ofset pada stasiun ST.29
Sesar Mandirancan pada daerah penelitian memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk). Disebandingkan dengan tegasan tektonik regional pada daerah penelitian dan model sesar menurut Moody & Hill,1959 maka didapat umur Sesar Mandirancan pada Kala Pliosen-Plistosen dengan tegasan utara-selatan yang merupakan orde ke 1 pada pembentukan struktur geologi daerah penelitian dalam kurun satu periode tektonik tertentu. Sesar Mandirancan ini merupakan jenis sesar Right Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).
117
Gambar 3.46. Korelasi Sesar Mandirancan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972
3.3.4.3. Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba Sesar Jatisaba terdapat dibagian barat daerah penelitian. Penarikan Sesar Jatisaba berdasarkan data primer berupa cermin sesar pada stasiun OF16 yang memiliki strikedip sesar N 40º E / 80º dengan pitch 28º SE menunjukan pergeseran relatif menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional dari arah relatif barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Jatisaba yang berada dibagian barat daerah penelitian memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan membentuk kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Jatisaba dengan pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan batuan disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Jatisaba.
118
Gambar 3.47. Diagram stereonet pada OF16
Gambar 3.48. Korelasi Sesar Jatisaba dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
Sesar Jatisaba memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang berada pada bagian barat daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama barat-timur. Dikorelasikan dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun OF16, didapat bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Jatisaba berarah timurlaut-baratdaya dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik
119
regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan jenis sesar normal right slip (Rickard, 1972).
Gambar 3.49. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill, 1959 (kanan)
3.3.4.4. Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan Sesar Pasanggrahan terdapat dibagian barat daerah penelitian. Penentuan dan penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar dan cermin sesar di OF11 yang memiliki strike dip sesar N 37º E / 76º dan pitch 38º SE yang terdapat pada stasiun ST.10, dan ditunjang dari data sekunder berupa pergeseran dari data kelurusan DEM, sungai, kontur dan anomali strikedip batuan. Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa pergerakan Sesar Sawangan merupakan sesar dominan mendatar dekstral.
120
Gambar 3.50. Diagram stereonet pada OF11 disertai foto pada stasiun ST.10
Gambar 3.51. Korelasi Sesar Pasanggrahan dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
Sesar Pasanggrahan memotong Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) pada bagian barat daerah penelitian. Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF11 menggunakan stereonet, Sesar Pasanggrahan memiliki pola tegasan barat-timur. Berdasarkan data tektonik regional dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan utama yang berasal dari barat-timur disimpulkan bahwa Sesar Pasanggrahan merupakan sesar yang terjadi pada orde ke-3 di satu periode tektonik regional yaitu periode
121
tektonik pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Normal Right Slip Fault berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.
Gambar 3.52. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
3.3.4.5. Sesar Mendatar Sinstral Ciandong Sesar Ciandong terdapat dibagian tengah daerah penelitian. Penentuan dan penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar dan cermin sesar di stasiun OF3 yang memiliki nilai strike dip sesar N 30º E / 56º dan memiliki nilai pitch 44ºN , pada stasiun OF2 yang memiliki nilai strike dip sesar N 49º E / 78º , pada stasiun OF4 yang memiliki nilai strike dip sesar N 30º E / 88º dan stasiun OF5 yang memiliki nilai strike dip sesar N 47º E / 75º. Selain data primer, terdapat juga data sekunder berupa pergeseran dari data kelurusan DEM, sungai, kontur, anomali strike dip batuan dan ditunjang oleh data kekar di stasiun kekar K1, K2 dan K3. Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa pergerakan Sesar Ciandong merupakan sesar dominan mendatar sinistral.
122
Gambar 3.53. Diagram stereonet dan foto pada OF2
Gambar 3.54. Diagram stereonet dan foto pada OF3
123
Gambar 3.55. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF4
Gambar 3.56. Diagram stereonet dan foto pada OF5
Gambar 3.57. Breksi Sesar pada Sesar Semanding
124
Sesar Ciandong memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk), Satuan Batupasir Tufan (tmbp) dan Satuan Batupasir (Tpbp) pada bagian tengah daerah penelitian. Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF3 menggunakan stereonet, Sesar Pasanggrahan memiliki pola tegasan utara-selatan. Berdasarkan data tektonik regional dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan utama yang berasal dari utara-selatan disimpulkan bahwa Sesar Pasanggrahan merupakan sesar yang terjadi pada orde ke-1 di satu periode tektonik regional yaitu periode tektonik pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Reverse Left Slip Fault berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.
Gambar 3.58. Korelasi Sesar Ciandong dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
125
Gambar 3.59. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
3.3.4.6. Sesar Mendatar Sinistral Tipar Sesar Tipar terdapat dibagian selatan daerah penelitian. Penentuan dan penarikan sesar ini didasari oleh keterdapatan data primer berupa breksi sesar dan cermin sesar di stasiun OF7 yang memiliki nilai strike dip sesar N 10º E / 86º dan memiliki nilai pitch 40ºN. Selain data primer, terdapat juga data sekunder berupa pergeseran dari data kelurusan DEM, sungai, kontur dan anomali persebaran batuan. Dari data yang telah disebutkan, dapat diasumsikan bahwa pergerakan Sesar Tipar merupakan sesar dominan mendatar sinistral.
126
Gambar 3.60. Diagram stereonet dan foto cermin sesar pada OF7
Sesar Tipar memotong Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk), Satuan Batupasir Tufan (tmbp) dan Satuan Batupasir (Tpbp) pada bagian selatan daerah penelitian. Dari rekonstruksi data ofset yang ada pada OF7 menggunakan stereonet, Sesar Tipar memiliki pola tegasan kompresional baratlaut-tengara dan ekstensional pada arah timurlaut-baratdaya. Berdasarkan data tektonik regional dan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tegasan utama yang berasal dari baratlaut-tenggara disimpulkan bahwa Sesar Tipar merupakan sesar yang terjadi pada orde ke-3 di satu periode tektonik regional yaitu periode tektonik pliosen-plistosen. Sesar ini memiliki jenis sesar Reverse Left Slip Fault berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972.
127
Gambar 3.61. Korelasi Sesar Tipar dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
Gambar 3. 62. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
3.3.4.7. Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung Sesar Kedungpasung terdapat dibagian tengah daerah penelitian. Penarikan Sesar Kedungpasung berdasarkan data primer berupa offset litologi pada stasiun OF7 yang memiliki strikedip sesar N 42º E / 81º menunjukan pergeseran relatif menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional
128
dari arah relatif barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Kedungpasung yang berada dibagian tengah daerah penelitian memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan membentuk kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Kedungpasung dengan pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan batuan disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Kedungpasung. Pada gambar stereonet ini diasumsikan nilai pitch 0.
Gambar 3.63. Diagram stereonet dan foto ofset pada OF6
Gambar 3.64. Korelasi Sesar Kedungpasung dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
129
Sesar Kedungpasung memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang berada pada bagian tengah daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama utara-selatan. Dikorelasikan dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun OF6, didapat bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Kedungpasung berarah barattimur dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard, 1972).
Gambar 3.65. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
130
3.3.4.8. Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara Sesar Tambaknegara terdapat dibagian timur daerah penelitian. Penarikan Sesar Tambaknegara berdasarkan data primer berupa offset litologi pada stasiun OF10 yang memiliki strikedip sesar N 198º E / 36º menunjukan pergeseran relatif menganan yang diakibatkan oleh gaya dominan kompresional dari arah relatif barat-timur dan tensional cenderung utara-selatan. Ditunjang oleh data sekuder, Sesar Tambaknegara yang berada dibagian timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan membentuk kecenderungan pergeseran bagian timur Sesar Tambaknegara dengan pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan batuan disepanjang sungai yang dipotong oleh Sesar Kedungpasung dan ditunjang oleh data kekar K4. Pada gambar stereonet ini diasumsikan nilai pitch 0.
Gambar 3.66. Diagram stereonet pada OF10
131
Gambar 3.67. Korelasi Sesar Tambaknegara dengan Kelurusan DEM (kiri) dan penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (kanan)
Sesar Tambaknegara memotong Satuan Batupasir (Tpbp), Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) dan Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbpk) yang berada pada bagian timur daerah penelitian. Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode tektonik pliosen-plistosen dengan tegasan utama utara-selatan. Dikorelasikan dengan data yang didapat dari hasil rekonstruksi pada stasiun OF10, didapat bahwa arah tegasan yang membentuk Sesar Tambaknegara berarah barat-timur dan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Tambaknegara merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2 dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard, 1972).
132
Gambar 3.68. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
3.3.4.9. Sesar Mendatar Dekstral Serayu Sesar Serayu terdapat dibagian timur daerah penelitian. Penarikan Sesar Serayu Hanya terbatas oleh data sekuder, Sesar Serayu yang berada dibagian timur daerah penelitian memiliki pola sesar yang memotong pola kelurusan disekitar sesar dan membentuk kecenderungan pergeseran bagian barat Sesar Serayu dengan pergerakan keselatan serta diperkuat dengan adanya anomali strikedip dan satuan batuan serta kelurusan sungai, maka sesar ini dapat diasumsikan terjadi pada orde ke-2, sejajar dengan Sesar Tambaknegara fakta dilapangan, daerah yang tersesarkan ini sudah menjadi bendungan dengan aluviun yang megisi zona lemah dari sesar tersebut. Umur sesar diperkirakan terjadi pada saat periode tektonik pliosenplistosen dengan tegasan utama utara-selatan dicocokan dengan model sesar mendatar Moody & Hill, 1959 dan tektonik regional daerah penelitian menyimpulkan bahwa Sesar Serayu merupakan sesar yang terbentuk pada Orde-2
133
dalam satu fase tektonik yaitu pliosen-plistosen sebagai hasil re-work dari sesar yang terjadi pada Orde-1. Sesar ini merupakan jenis sesar right slip (Rickard, 1972).
Gambar 3.69. Kenampakan peta DEM dari Sesar Serayu
Gambar 3.70. Kesebandingan peta struktur daerah penelitian tanpa skala (kiri) dan model Moody & Hill 1959 (kanan)
134
3.4. Sejarah Geologi Berdasarkan hasil analisis Stratigrafi dan Struktur Geologi yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya dapat dijelaskan sejarah geologi daerah penelitian mulai dari Miosen Tengah hingga saat ini. Dimulai pada kala Miosen Tengah, daerah penelitian merupakan zona yang berada dibawah permukaan laut dengan diawali dengan pembentukan Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan yang diendapkan secara selaras pada zona batimetri dari Bathyal Tengah hingga Neritik Luar dengan arus turbidit pada slope dengan penciri dari keterdapatan struktur sedimen yang ada disertai dengan kenaikan muka air laut (transgresi) yang secara berutan terendapkan dari material paling kasar berangsur menjadi material halus yang membawa material-material vulkanik dari hasil letusan gunung api sebelum miosen tengah dengan posisi dari bawah ke atas secara berurutan yaitu Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan hingga kala Miosen Akhir-Pliosen Awal yang disebandingkan dengan Formasi Halang (Djurie, 1996). Pada Kala Miosen Akhir-Pliosen Awal muka air laut berubah yang awalnya naik (transgresi) menjadi turun (regresi). Sebelum pengendapan Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan terhenti, diendapkan lagi material pasir yang mengandung foraminifera dan moluska namun tidak disertai dengan material vulkanik seperti pengendapan sebelumnya. Material ini diendapkan pada zona batimetri Neritik Dalam hingga Neritik Luar pada zona pasang surut yang dicirikan dengan keterdapatan pecahan-pecahan
135
cangkang moluska yang diinterpretasikan sebagai akibat energy yang kuat dari arus pasang surut zona intertidal (Kurniawan, 2012) dengan suksesi batuan cenderung menghalus keatas. Endapan ini menghasilkan Satuan Batupasir berumur Pliosen yang disebandingkan dengan Formasi Tapak (Djurie, 1996). Pada kala Pliosen-Plistosen terjadi proses tektonik penting di pulau Jawa yang juga mempengaruhi keadaan daerah penelitian dengan arah tegasan utama relatif utara-selatan dengan sudut pergeseran 10-20º dari arah utara menuju timur (situmorang, 1976). Daerah penelitian ini mengalami perlipatan dan pensesaran sesuai dengan arah tegasan utama yang diawali pembentukan lipatan pada semua satuan yang telah diendapkan sebelumnya yang memiliki trend cenderung baratlaut-tenggara, lalu dikarenakan tingkat plastisitas batuan sudah mencapai batasnya, batuan yang sebelumnya mengalami perlipatan pun akhirnya tersesarkan berupa sesar naik dengan bagian selatan sebagai hanging wall atau bagian yang bergerak keatas, selanjutnya diikuti dengan sesar-sesar mendatar baik sesar mendatar sinistral maupun sesar mendatar dekstral yang secara berurutan dari sesar mendatar orde pertama, diikuti orde kedua dan seterusnya seperti yang telah dibahas pada sub-bab sebelumnya. Periode tektonik ini dikenal sebagai tektonik periode Pliosen-Plistosen. Setelah periode tektonik ini berakhir, yang terjadi pada daerah penelitian adalah proses erosi. Proses erosi yang terjadi pada seluruh bagian dari daerah penelitian. Hasil erosi ini kemudian diendapkan pada daerah rendah sebagai material lepas yang sekarang disebut alluvium. Aluvium ini disebandingkan dengan Endapan Aluvium (Djurie, 1996)
136
Gambar 3. 71. Tabel Sejarah Geologi Daerah Penelitian
3.5. Sumberdaya dan Kebencanaan Geologi 3.5.1. Potensi Sumber Daya Geologi Pada daerah penelitian terdapat bahan galian ekonomis berupa bahan galian C berupa pasir, kerikil, dan bongkah batu beku. Pasir kerikil dan batuan beku dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai bahan campuran semen, bahan timbunan jalan dan bangunan, sedangkan batupasir tufan digunakan sebagai bahan pembuat batako. Penambangan bahan galian tersebut masih dilakukan oleh penduduk dengan membergunakan alat sederhana. Selain dari bahan galian, pada
137
daerah penelitian juga terdapat potensi Geowisata pada kali Serayu yang saat ini telah menjadi sarana rekreasi warga sekitar.
Gambar 3.72. Salah satu produsen batako didaerah penelitian
3.5.2. Potensi Kebencanaan Geologi Berdasarkan pengamatan langsung di Lapangan, dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian memiliki potensi kebencanaan geologi berupa Longsor, Gempa dan Banjir. Ketiga hal tersebut sangat erat kaitannya dengan geomorfologi, jenis litologi dan struktur geologi di daerah penelitian. Berdasarkan jenis litologinya, daerah-daerah dengan litologi berbutir halus, yakni batupasir dan lempung yang berada pada tebing dapat menimbulkan longsor. Selain itu banyaknya struktur didaerah penelitian memungkinkan tereaktifasi kembali dan daerah penelitian mengalami gempa. Mengacu pada Endapan Aluvium hampir sebesar 50% dikarenakan morfologi yang datar atau sangat landau, memungkinkan keterjadian banjir apabila debit air tidak sebanding dengan tingkat resapan air.
BAB IV RANGKUMAN
Berdasarkan hasil penelitian lapangan, rekonstruksi data, dan hasil analisis laboratorium, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi geologi Daerah Purwokerto dan sekitarnya, Kecamatan Rawalo, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah adalah sebagai berikut : 1. Geomorfologi daerah penelitian dibagi menjadi 4 satuan satuan geomorfologi, yaitu : a. Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium, b. Satuan Geomorfologi Pedataran Sedimen Landai, c. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Agak Curam, d. Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedimen Curam.
2. Litologi penyusun daerah penelitian dapat dibagi menjadi lima satuan batuan, yang diurutkan dari tua ke muda sesuai litostratigrafi tidak resmi yaitu : a. Satuan Breksi (Tmb) berumur Miosen Tengah b. Satuan Batupasir Tufan Karbonatan (Tmbph) berumur Miosen Tengah- Miosen Akhir c. Satuan Batupasir Tufan (Tmbp) berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir
138
139
d. Satuan Batupasir (Tpbp) berumur Pliosen e. Endapan Aluvium (Ka) berumur Kwarter 3.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terjadi pada periode tektonik Pliosen - Plistosen yaitu : a. Lipatan :
b.
Sinklin Jatisaba
Sinklin Sawangan Kidul
Sinklin Tipar
Antiklin Karangcengis
Antiklin Karangendep
Antiklin G.Payung
Antiklin Tipar
Antiklin Penjogol
Sesar :
Sesar Naik Karangendep
Sesar Naik Mandirancan
Sesar Mendatar Dekstral Jatisaba
Sesar Mendatar Dekstral Pasanggrahan
Sesar Mendatar Sinistral Ciandong
Sesar Mendatar Sinistral Tipar
Sesar Mendatar Dekstral Kedungpasung
Sesar Mendatar Dekstral Tambaknegara
Sesar Mendatar Dekstral Serayu
140
4.
Sejarah Geologi daerah penelitian dimulai pada Miosen Tengah dengan terbentuknya Satuan Breksi yang terendapkan pada lingkungan laut. Pada Miosen Tengah hingga Miosen Akhir terjadi penaikan muka air laut dengan diikuti pengendapan material klastik yang lebih halus pada lingkungan laut yaitu pada zona batimetri bathiyal tengah sampai bathyal atas, hasil endapan ini dikelompokkan dalam Satuan Batupasir Tufan Karbonatan dan Satuan Batupasir Tufan. Dikarenakan pengendapan kedua Satuan ini dilakukan secara bersamaan sehingga hubungan stratigrafinya adalah selaras menjemari. Pada akhir Miosen Akhir terjadi penurunan muka air laut yang disertai pengendapan material klastik pada lingkungan laut yaitu pada zona batimetri neritik luar sampai neritik tengah, hasil endapan ini dikelompokan dalam Satuan Batupasir. Pada periode tektonik Pliosen - Plistosen terjadi proses perlipatan dan pensesaran dengan gaya relatif utara-selatan. Satuan Breksi, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada daerah penelitian ini terlipat menghasilkan Antiklin dan Sinklin. Pada periode ini tekanan yang berarah relatif utara-selatan masih terus berlanjut yang menyebabkan batuan terlipat sebelumnya terpatahkan oleh sesar naik Karangendep dan Sesar naik Mandirancan. Akibat tekanan yang kuat dari periode tektonik Pliosen - Plistosen ini, Satuan Batupasir Tufan Karbonatan, Satuan Batupasir Tufan dan Satuan Batupasir pada daerah penelitian terpotong oleh sesar - sesar mendatar, yaitu Sesar Jatisaba, Pasanggarahan, Ciandong, Tipar, Kedungpasung, Tambaknegara dan Serayu. Pada
141
Plistosen sampai Holosen proses pengangkatan terus berlanjut yang menyebabkan daerah penelitian menjadi daratan. Pada tahap ini juga terjadi proses erosi. 5.
Potensi sumberdaya geologi pada daerah penelitian terdapat bahan galian ekonomis berupa bahan galian C berupa pasir, kerikil, dan bongkah batu beku. Pasir kerikil dan batuan beku dimanfaatkan oleh penduduk setempat sebagai bahan campuran semen, bahan timbunan jalan dan bangunan, sedangkan batupasir tufan digunakan sebagai bahan pembuat batako. Penambangan bahan galian tersebut masih dilakukan oleh penduduk dengan membergunakan alat sederhana. Selain dari bahan galian, pada daerah penelitian juga terdapat potensi Geowisata pada kali Serayu yang saat ini telah menjadi sarana rekreasi warga sekitar.
6.
Potensi kebencanaan pada daerah penelitian berupa gempa bumi dan tanah longsor. Gempa bumi dapat terjadi akibat aktifitas tektonik yang masih aktif sedangkan tanah longsor berkaitan dengan jenis litologi, struktur geologi dan geomorfologi daerah penelitian. Jenis litologi yang berkembang yaitu litologi berbutir halus yang memiliki potensi terkena longsor. Selain itu mengacu kepada keterdapatan endapan Aluvium cukup besar hampir 50% yang merupakan endapan limpahan banjir pada umumnya, maka daerah penelitian pada Satuan Geomorfologi pedataran aluvium dimungkinkan terkena banjir apabila mengalami hujan dengan debit air yang besar.
DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia, volume I.A. The Hague Martinus Nijhoff, Netherland. Boggs, Sam, Jr. 1995. Principles of Sedimentology and Stratigraphy, second edition. Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey. Bolli, W.H., Saunders, J.B., Perc-Nielsen, K. 1986. Plankton Stratigraphy. Cambridge University. Compton, R.R. 1985. Geology In The Field. John Wiley & Sons Inc., New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Gillespic, M.R., and Styles, M.T. 1999, Classification of igneous rocks. Dalam : BGS Rock Classification Scheme, Volume I, British Geological Survey Research Report (2nd edition), British Geological Survey, Keyworth, Nottingham NG12, 5GG, UK, h.1-52. Haryanto, Iyan. 2003. Geologi Struktur. Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Geologi, Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Tidak Diterbitkan. Kurniawan, I., Aswan, Waluyo, G. Studi Lingkungan Pengendapan Formasi Tapak daerah Rajawana dan Sekitarnya, Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. 2012.JTM. Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. IAGI. M.Djuri dkk, dkk. 1996. Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia. Martodjojo, Soejono. 1984. Evolusi Cekungan Bogor. Desertasi, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung, Tidak Diterbitkan. Moody, J.D dan M.J Hill.1956. Wrench-Fault Tectonics. Bulletin Of The Geological Society Of America.
142
143
Mutti, E., Roberto T., Eduard R., Nicola M., Stefano Angella and Luca F. An Introduction To The Analysis Of Ancient Turbidite Basins From An Outcrop Perspective.1999. The American Association of Petroleum Geologists : Oklahoma. Nichols, Gary. 2009 , Sedimentology and Stratigraphy Second Edition, Blackwell, UK. Pettijohn, F. J. 1975. Sedimentary Rock. Harper and Row, Publishers, New York, Evanston, San Francisco, and London. Raymond, L. A. 1995. The Study of Igneous, Sedimentary, and Metamophic Rocks. Second Edition, Appalachian State University. S. Asikin, dkk. 1992. Geologi Lembar Banyumas. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Indonesia. Situmorang,dkk. 1976. Tectonic Significance with Relation to Wrench Fault Tectonic. AAPG, Annual Meeting, Washington DC. Travis.1955. Classification for Igneous Rock.unknown. Tucker, Maurice E. 1982. The Field Description of Sedimentary Rocks. John Wiley & Sons Inc., New York, Toronto. Walker, Roger. G dan James, Noel.P.,1992. Facies Models Response To Sea Level Change. Geological Association of Canada. Kanada Zuidam Van, R.A. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and Geomorfologic Mapping, Smith Publisher, The Haque, Amsterdam.