Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 1
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan jumlah penduduk yang sangat pesat di Indonesia sangat mempengaruhi emisi karbon di atmosfer. Semakin meningkatnya jumlah penduduk maka konversi vegetasi dari ekosistem alami menjadi ekosistem binaan yang dikelola secara intensif untuk memenuhi kebutuhan penduduk baik dari segi sandang, pangan, papan, serta energi semakin meningkat pula. Konversi lahan ini telah mengubah tataguna lahan dalam skala yang besar, contohnya pembukaan hutan yang semakin tinggi untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Pembukaan hutan untuk lahan pertanian semakin meningkat, sementara di pihak lain terdapat kesepakatan internasional pemerintah negara-negara di dunia yang telah menyepakati penurunan tingkat emisi untuk setiap negara maju dengan prinsip tanggung jawab bersama tetapi dengan kewajiban yang berbeda (common but differenciated responsibility). Hal ini berhubungan dengan adanya Protokol Kyoto yang di dalamnya terdapat kesepakatan negara-negara maju untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tingkat emisi tahun 1990 pada perioda 2008-2010 (Murdiarso 2003, diacu dalam Ulumuddin et al. 2005). Sementara kesepakatan yang terbaru dan akan ditetapkan untuk negara Indonesia pada tahun 2011 adalah “Letter of Intent” yang berisi tentang bersedianya negara Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26%, yang artinya pembukaan hutan yang akan dilakukan untuk lahan pertanian dan perkebunan akan dihentikan. Salah satu gas rumah kaca yang sangat diperhitungkan menyebabkan pemanasan global adalah karbon diksida (CO2). Hooijer et al. (2009) menuliskan bahwa daerah yang mengemisikan karbon terbesar di Indonesia adalah daerah Sumatera dan Kalimantan akibat dari pembukaan lahan gambut menjadi lahan pertanian dan perkebunan terutama perkebunan sawit, dengan kata lain emisi karbon yang besar pada perkebunan sawit menunjukkan besar karbon yang tersimpan pada perkebunan sawit sangat kecil, sementara pada proses fotosintesis dan pembentukan buah karbon banyak diperlukan pada tanaman sawit. Pada penelitian ini akan dilihat besar perbedaan cadangan karbon pada dua vegetasi yang berbeda yaitu perkebunan sawit dan bukan perkebunan sawit.
Pendugaan nilai karbon pada suatu vegetasi telah banyak berkembang baik langsung melakukan pengukuran di lapang maupun menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh. Metode yang umum digunakan pada teknologi penginderaan jauh adalah pendekatan nilai NDVI. Penulis kali ini akan melakukan penelitian menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dengan dua metode pendekatan yaitu pendekatan neraca energi dimana mempertimbangkan energi yang diterima dan dilepaskan oleh vegetasi, dan pendekatan nilai NDVI. Analisis nilai kapasitas karbon pada perkebunan sawit diturunkan dari nilai biomassa. Besar biomassa suatu vegetasi dapat diketahui dengan menghitung nilai LAI (leaf area index) dari neraca energi yang diestimasi dari citra satelit Landsat ETM+ dan pendekatan hukum Beer-Lambert. Pengujian nilai LAI akan dilakukan pada dua vegetasi yaitu perkebunan sawit dan vegetasi bukan perkebunan sawit. Hasil akhir adalah pendugaan cadangan karbon yang mampu di estimasi dari besarnya nilai LAI suatu vegetasi. 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk : a. Menganalisis nilai LAI mengunakan metode pendekatan neraca energi dan pendekatan nilai NDVI. b. Menganalisis nilai biomassa dan cadangan karbon pada perkebunan sawit dan vegetasi bukan perkebunan menggunakan data citra satelit Landsat. BAB II. TINJAUAN PUSTKA 2.1 Ciri Umum Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elais guineensis Jacq) termasuk ke dalam tanaman monokotil serta famili Arecaceae (dulu disebut Palmae). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada suhu udara 27 0C dengan suhu maksimum 33 0 C dan suhu minimum 22 0C sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata tahunan yang mungkin untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 12503000 mm yang merata sepanjang tahun (dengan jumlah bulan kering kurang dari 3). Topografi untuk pengembangan tanaman kelapa sawit adalah kurang dari 400 m di atas permukaan laut (dpl). Apabila ketinggian tempat lebih dari 400 m dpl maka areal ini tidak disarankan untuk pengembangan kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit di lapangan secara normal memerlukan cahaya penuh. Umur 3-4
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 2
bulan (pre-nursery) dan main nursery kadangkadang di naungi. Naungan dibutuhkan untuk menjaga panjang gelombang dari radiasi matahari. Jika tanaman ternaungi dan radiasi dipantulkan maka panjang gelombang akan tetap (konstan), radiasi yang diteruskan oleh daun akan miskin gelombang merah dan biru. Bagian tanaman yang lebih banyak dinaungi dari pada terkena matahari dapat mengakibatkan etiolasi. Fotosintesis secara kuantitatif berhubungan dengan intensitas cahaya dari bagian PAR (photosinthesis active radiation; λ 400-700 mikron). Bila langit cerah maka di ekuator cahaya minimum yang diperoleh adalah 1410 J cm-2 hari-1 (Juni & Desember) dan maksimum 1540 J cm-2 hari-1 (Maret & September). Daerah yang berada pada 10 0LU mendapat cahaya matahari sebesar 1218 J cm-2 hari-1 terjadi pada bulan Desember dan lebih dari 1500 J cm-2 hari-1 pada bulan September (Yahya et al. 2009) 2.2 Teknik Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai suatu metoda untuk mengenal dan menentukan obyek dipermukaan bumi tanpa melalui kontak langsung dengan obyek tersebut. Pada dasarnya teknologi pemotretan udara dan penginderaan jauh adalah suatu teknologi yang merekam interaksi sinar/ berkas cahaya yang berasal dari sinar matahari dan benda/ obyek di permukaan bumi. Pantulan sinar matahari dari benda/ obyek di permukaan bumi ditangkap oleh kamera/ sensor, tiap benda/ obyek memberikan nilai pantul yang berbeda sesuai dengan sifatnya. Sistem penginderaan jauh mencakup beberapa komponen utama yaitu : 1. Cahaya sebagai sumber energi 2. Sensor sebagai alat perekam data 3. Stasiun bumi sebagai pengendali dan penyimpan data 4. Fasilitas pemrosesan data 5. Pengguna data (Jensen 1986). Tabel 1 Informasi dan status satelit Landsat Satelit Masa Operasi 23 Juli 1972 Landsat 1 22 Januari 1975 Landsat 2 5 Maret 1978 Landsat 3 16 Juli 1982 Landsat 4 1 Maret 1984 Landsat 5 5 Oktober 1993 Landsat 6 15 April 1999 Landsat 7 ** Beroperasi hingga saat ini (Sumber : http://Landsat.gsfc.nasa.gov/)
Dalam teknologi penginderaan jauh dikenal dua sistem yaitu penginderaan jauh dengan sistem pasif (passive sensing) dan sistem aktif (active sensing). Penginderaan dengan sistem pasif adalah suatu sistem yang memanfaatkan energi alamiah, khususnya energi matahari, sedangkan sistem aktif menggunakan energi buatan yang dibangkitkan untuk berinteraksi dengan benda/ obyek. Sebagian besar data penginderaan jauh didasarkan pada energi matahari. Alat perekam adalah sistem multispectral scanner yang bekerja dalam selang cahaya tampak sampai inframerah termal (Lillesand dan Keifer 2004). Sistem ini sebagian besar adalah menggunakan sistem optik. Jumlah saluran (channel atau band) berbeda dari satu sistem ke sistem yang lain. Landsat 7 misalnya mempunyai 7 kanal/ band. Selain sistem pasif, penginderaan dengan sistem aktif menggunakan sumber energi buatan yang dipancarkan ke permukaan bumi dan direkam nilai pantulnya oleh sensor. Sistem aktif ini biasanya menggunakan gelombang mikro (micro wave) yang mempunyai panjang gelombang lebih panjang dan dikenal dengan pencitraan radar (radar imaging). Sistem aktif pada umumnya berupa saluran tunggal (single channel). Sistem ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan sistem optik dalam hal mampu menembus awan dan dapat dioperasikan pada malam hari karena tidak tergantung pada sinar matahari. 2.3 Citra Satelit Landsat Landsat adalah satelit Amerika Serikat yang pertama kali diorbitkan pada tahun 1972 sebagai satelit sumberdaya alam. Sampai sekarang telah diorbitkan generasi ke 7 dari satelit sejenis. Orbit Landsat adalah dari kutub ke kutub (orbit polar) pada ketinggian sekitar 700 Km dengan inklinasi 98.2 derajat dengan waktu orbit ulang untuk daerah tertentu (revisit time) 16 hari, artinya setiap 16 hari
Non Aktif 6 Januari 1978 25 Februari 1982 31 Maret 1983 14 Desember 1993 ** Hilang saat peluncuran **
Nama Satelit RBV, MSS RBV, MSS RBV, MSS MSS, TM MSS, TM ETM ETM+
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 3
Tabel 2 Karakteristik dan kegunaan umum masing – masing kanal dari satelit Landsat Panjang Resolusi Saluran Gelombang Spasial Sifat dan Aplikasi (Band) (μm) (m) Dirancang untuk penetrasi kedalaman tubuh air, 0.45 - 0.52 30 pemetaan perairan pantai, juga berguna untuk 1 pembedaan jenis tanah /vegetasi, pemetaan tipe hutan Mengukur puncak pantulan vegetasi pada spektrum 0.53 - 0.6 30 hijau, yang berguna untuk melihat perbedaan vegetasi 2 dan tingkat kesuburan. Memisahkan vegetasi, saluran pada serapan klorofil dan 0.63 - 0.69 30 3 memperkuat kontras vegetasi dan bukan vegetasi Tanggap biomassa vegetasi, identifikasi tipe vegetasi, 0.76 - 0.9 30 4 memperkuat kontras tanah-tanaman dan lahan-air Menentukan jenis tanaman dan kandungan air tanaman, 1.55 - 1.75 30 5 serta membantu menentukan kondisi kelembapan tanah Mendeteksi suhu objek, analisa gangguan vegetasi, 10.4 - 12.5 60 6 perbedaan kelembapan tanah 2.08 - 2.35 30 Pemisahan formasi batuan, dan analisa bentuk lahan 7 (Sumber : Kiefer 2004) sekali satelit itu melewati daerah yang sama (http://Landsat.gsfc.nasa.gov/). Informasi dan status satelit landsat ditampilkan pada Tabel 1 dan Tabel 2. 2.4 Radiasi Surya Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 K memancarkan radiasi sebesar 73.5 juta W m-2. Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 W m-2, hanya sekitar 50 % saja yang diserap oleh permukaan bumi, 20 % diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30 % dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer (Handoko 1993). Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih dari 0 Kelvin (-273 0C) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (hukum Stefan-Boltzman). Sehingga dari radiasi matahari akan diserap dan akan dipancarkan lagi dengan gelombang panjang. Hal tersebut menyebabkan adanya neraca energi. Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks (Risdiyanto dan Rini 1999). Konsep dari neraca energi adalah jumlah energi yang mengalir antara benda-benda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau tersimpan. Neraca energi penting dipelajari
karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan laten, fluks pemanasan udara dan fluks pemanasan tanah (Syukri 2004). Energi yang sampai pada suatu permukaan harus sama dengan energi yang meninggalkan permukaan pada waktu yang sama, semua fluks energi harus dipertimbangkan ketika persamaan keseimbangan energi ditentukan (Allen et al. 1998) . Selisih antara energi radiasi yang diabsorbsi dan yang dipancarkan oleh permukaan bawah, atmosfer dan subsistem bumi atmosfer disebut radiasi netto. Pemanasan atmosfer terjadi terutama ditentukan oleh jumlah radiasi yang diterima oleh permukaan dan respon permukaan terhadap radiasi yang diterima. Radiasi netto dari suatu permukaan terdiri dari radiasi langsung (direct) dan radiasi baur (diffuse) serta dari pancaran atmosfer yang diserap dan ditahan oleh suatu permukaan setelah kehilangan panas akibat emisi termal dari permukaan itu. Pemanasan neraca energi bumi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Rn = Rs↓ - Rs↑ + Rl↓ - Rl↑ .......................... (1) Keterangan : Rn : Radiasi netto Rs↓ : Radiasi gelombang pendek yang datang Rs↑ : Radiasi gelombang pendek yang meninggalkan bumi Rl↓ : Radiasi gelombang panjang yang datang
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 4
Rl↑ : Radiasi gelombang panjang yang meninggalkan bumi Sebagian dari radiasi gelombang pendek ada yang dipantulkan dan ada yang diserap atau diteruskan. Besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaan. Albedo (α) yaitu nisbah antara radiasi pantulan dan radiasi datang (Risdiyanto dan Rini 1999). Nilai albedo untuk vegetasi sangat beragam. Keragaman nilai albedo pada vegetasi tersebut dapat disebabkan oleh tipe vegetasi, warna vegetasi, geometri kanopi, kandungan kelembaban, persen permukaan yang tertutup oleh vegetasi, ukuran dan luas daun, dan tahap (fase) pertumbuhan tanaman. Selain itu nilai albedo juga sangat dipengaruhi oleh besarnya sudut datang matahari dan panjang gelombang (Geiger et al. 1961). 2.5 Interaksi Cahaya (Radiasi Matahari) dengan Kanopi Tanaman Kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal, tiga sifat optikal tersebut adalah reflektifitas (ρ) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, transmisivitas (τ) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun, dan absorbsivitas (α) yaitu proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun (Impron 1999) Radiasi matahari mempunyai peran penting dalam pemanasan dan fotosintesis di dalam kanopi tanaman. Radiasi juga berperan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. 2.5.1 Cahaya dan PAR PAR atau Photosynthetically Active Radiation adalah salah satu bagian dari spektrum radiasi matahari yang termasuk dalam cahaya tampak (300-800 nm). Dengan adanya PAR ini tanaman tampak berwarna hijau bagi manusia karena pemantulan terbesar pada spektrum sinar berwarna hijau (550 nm). Cahaya tampak (visible light) penting bagi tanaman karena sangat berkaitan erat dengan fluks fotosintesis (400-700 nm). Cahaya dengan panjang gelombang selain fluks fotosintesis juga penting untuk tanaman (Prasad 1997). Incident PAR adalah sejumlah PAR yang datang pada puncak atmosfer. Jumlah PAR yang ada di puncak kanopi bervariasi tergantung letak lintang dan topografi, variasi diurnal akibat perbedaan sudut datang
matahari, variasi penutupan awan dan gangguan atmosfer. Intercepted PAR (IPAR) adalah sejumlah PAR yang ditangkap oleh lapisan kanopi sebagai incedent PAR pada kanopi yang terus menembus lapisan kanopi hingga ke tanah, Absorbed PAR (APAR) adalah jumlah PAR yang diserap kanopi sesungguhnya setelah dikurangi Reflected PAR. Fractional PAR (fPAR) membagi inciden PAR ke dalam intercepted (fIPAR) atau absorbed (fAPAR). Penyerapan PAR oleh kanopi tanaman yang terjadi pada proses sesaat atau proses yang berlangsung cepat dengan variasi bergantung hari dan secara musiman bergantung tahun (Prasad 1997). 2.5.2 Hubungan Antara Penyerapan Radiasi Dengan Indeks Vegetasi Fraksi penyerapan PAR oleh jaringan tanaman dalam suatu kanopi (fAPAR) tergantung dari luasan incident radiasi, struktur dan sifat optik kanopi, serta nilai reflektansi dari sifat latar belakang tanah (Myneni dan Williams 1994). Perkiraan perhitungan fAPAR membutuhkan gabungan dari penyerapab spektral pada interval panjang gelombang 0.4-0.7 µm. Myneni dan Williams (1994) menyatakan bahwa minimal terdapat lima kanal dalam interval 0.4-0.7 µm pada penyerapan oleh atmosfer kurang dari 10 %. Rata-rata 90 % PAR yang diterima langsung oleh tanaman memiliki tiga kanal 0.401-0.513 µm, 0.535-0.587 µm dan 0.589-0.685 µm (dengan masing-masing adalah 38 %, 20 % dan 32 %). Kontribusi kanal-kanal ini pada fAPAR rata-rata adalah 0.35, 0.15, dan 0.36. Dengan tersedianya kanal ini, fAPAR yang terukur dapat merepresentasikan nilai 90 % pada tanaman aslinya. fAPAR dapat mencapai 95 % sesuai aslinya apabila terdapat kanal 0.589-0.685 µm. Hasil ini merupakan pengukuran terbaik pada perkiraan total fAPAR yang diserap oleh tanaman (Myneni dan Williams 1994). Berdasarkan hubungan tersebut dapat diketahui bahwa penyerapan radiasi (fAPAR) dapat diukur berdasarkan nilai panjang gelombang yang dipancarkan oleh tanaman yaitu melalui indeks vegetasi. Namun Myneni dan Williams (1994) menambahkan bahwa meskipun fAPAR secara fungsional berhubungan dengan nilai total indeks luas daun yang direpresentasikan melalui NDVI, untuk berbagai parameter (misalnya nilai reflektansi tanah) pengaruhnya sangat berbeda.
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 5
2.5.3 Distribusi Cahaya Dalam Kanopi Pola penyerapan, penerusan dan pemantulan cahaya untuk kebanyakan suatu permukaan daun hijau dibedakan dalam tiga wilayah panjang gelombang, yaitu tampak (300-800 nm), inframerah dekat (800-1 500 nm) dan inframerah menengah (> 1 500 nm). Pembagian energi cahaya dalam penyerapan, penerusan dan pemantulan tergantung pada morfologi (struktur bagian dalam daun dan sifat permukaan kanopi) dan fisiologi daun. Sifat optis daun sangat diperlukan khususnya dalam intersepsi pemrosesan data penginderaan jauh (Prasad 1997). 2.6 Indeks Luas Daun (Leaf Area Index) Pendugaan LAI dilakukan menggunakan pendekatan hukum Beer-Lambert yang dikenal juga dengan pendekatan optik. Prinsip kerja hukum Beer-Lambert adalah hubungan empiris dari cahaya yang meradiasi sebuah optik (permukaan homogen) dan optik tersebut menyerap serta meneruskan radiasi dari cahaya tersebut. Pancaran radiasi surya yang sampai pada permukaan kanopi tumbuhan yang bersifat homogen (hutan alam, perkebunan sawit karena sifat komposit nilai pixel satelit yang digunakan) diserap (absorbsi) dan diteruskan (transmisi). Asumsi yang digunakan dalam perhitungan LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert diantaranya adalah bahwa tajuk tumbuhan adalah homogen (dapat dipenuhi oleh sifat komposit nilai pixel satelit yang digunakan), semua radiasi yang datang langsung mengenai permukaan daun, langit dalam kondisi isotropik dan nilai koefisien pemadaman adalah konstan. Dengan mengetahui besarnya radiasi surya di permukaan kanopi dan radiasi pada lapisan dengan ketinggian tertentu dalam kanopi serta nilai dari suatu koefisien pemadaman, dapat diketahui besarnya suatu nilai LAI dengan pendekatan hukum Beer-Lambert. Selain pendekatan secara optik menggunakan hukum Beer-Lambert, pendugaan LAI juga dapat dilakukan dengan dasar pantulan dari kanopi vegetasi. Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi yaitu daun, substrat dan bayangan. Daun memantulkan secara lemah panjang gelombang biru dan merah. Namun memantulkan secara kuat panjang gelombang inframerah dekat. LAI daun berhubungan negatif dengan pantulan merah, tetapi berhubungan positif dengan pantulan inframerah dekat. Rasio pantulan merah
dengan inframerah dekat selanjutnya menunjukkan kenaikan LAI. Twele et al. (2006) diacu dalam Zein (2009) mendapatkan hubungan eksponensial antara NDVI dengan LAI untuk tanaman hutan tropis (tropical forest) pada taman nasional Lore-Lindu. Persamaan yang diperoleh adalah LAI = -0.392 + 11.543 NDVI dengan nilai R2 = 0.777. Hubungan ini dapat digunakan karena hasil interpolasi antara NDVI dengan LAI yang telah dilakukan oleh Twele et al. (2006) tersebut menunjukkan korelasi yang sangat baik. Adapun beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan seperti Schneider dan Eugster (2006) membuat suatu model pendugaan LAI dengan cara menghubungkan keadaan atmosfer pada suatu lokasi dengan faktorfaktor pendukung seperti keadaan tanah dan iklim lokal. Htut (2004) menggunakan persamaan empiris dari nilai NDVI. Setiawan (2006) menggunakan hukum Beer-Lambert dan validasi menggunakan data hasil pengukuran di lapangan. Hildanus (2005) menggunakan persamaan allometrik dan pendekan nilai NDVI. Nilai LAI tersebut ditampilkan pada Tabel 3 di bawah ini: Tabel 3 Nilai LAI pada beberapa tipe vegetasi
Tipe Vegetasi Nilai LAI (min/max) Hutan campuran* 2.5/ 5.0 Hutan terbuka* 2.5/ 5.0 Hutan semak* 1.0/ 2.0 Padang rumput* 1.0/ 4.0 Rawa* 1.0/ 2.0 Perkebunan sawit** 1.42/ 7.19 Hutan alam*** 2.8/4.1 Hutan Tropis**** 5.973/8.077 Keterangan : * Schneider dan Eugster (2006) ** Htut (2004) *** Setiawan (2006) **** Hildanus (2005) 2.7 Biomassa dan Cadangan Karbon Perubahan lahan dari vegetasi hutan menjadi perkebunan sawit menjadi polemik yang sangat memuncak bagi Indonesia, karena di lain pihak Indonesia ingin mengembangkan perekonomian, namun harus menjaga keseimbangan alam. Cadangan karbon merupakan hal yang penting dalam keseimbangan alam. Akumulasi cadangan Karbon tahunan di Indonesia diperkirakan berkisar antara 0.01-0.03 Gt C-1 atau 59-118 g C/ m2/ th ( Neuzil dalam Mudiarso et al. 2004). Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan akumulasi di lahan
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 6
Tabel 4 Penelitian tentang cadanga karbon yang telah dilakukan Peneliti Judul/Tema Metode Pendugaan Cadangan Karbon Di Atas Permukaan Tanah Pada Menghitung cadangan karbon dari biomassa Subekti R et Berbagai pohon (berat kering) dan diameter batang al (2004) Sistem Penggunaan Lahan Di setinggi dada. Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur Membangun relasi kuantitatif antara Alih Guna Lahan Di Kabupaten informasi dari skala piksel pada citra satelit Nunukan: Pendugaan Cadangan dengan cadangan karbon dan Karbon Berdasarkan Tipe mengklasifikasikan kelas-kelas penutupan Atiek W et Tutupan lahan menjadi kelas-kelas penggunaan lahan al (2004) Lahan Dan Kerapatan Vegetasi yang kemudian dikonversi menjadi kelas Pada cadangan karbon berdasarkan atribut Skala Lanskap cadangan karbon dari kelas penggunaan lahan Combination Between Emperical Modelling and Menghitung cadangan karbon dengan Tin Moe Remote Sensing Technology in mengstimasi nilai LAI, NDVI, dan Htut (2004) Estimating Biomass and Carbon pemodelan empiris. Stock of Oil Palm Penentuan Biomassa Atas Permukaan Menggunakan Desi, T Menguji dan mengitung biomassa dan Persamaan Allometrik (Non(2010) cadangan karbon menggunakan persamaan Destruktif) di Kawasan Hutan allometrik Gambut Eks PLG (Blok C dan Blok D) Kalimantan Tengah (Sumber : Widayati et al. 2004) Tabel 5 Nilai kerapatan karbon pada beberapa tipe penutupan lahan Tipe Penutupan Lahan Dari Tipe Penutupan Lahan pada Klasifikasi Citra Satelit Pengukuran Plot Hutan primer Hutan primer Hutan bekas tebangan Hutan bekas tebangan Jakaw 0-10 tahun (bekas Semak tebangan, padi, dan suksesi sekunder) Jakaw > 10 tahun (bekas Hutan Sekunder tebangan, padi, dan suksesi sekunder) Kebun campuran muda Agroforestri 0-10 tahun Kebun campuran tua Agroforestri 11-30 tahun Imperata Hutan Tanaman Industri Acacia Mangrove Mangrove Perkebunan muda Kelapa Sawit (Sumber : Widayati et al. 2004) gambut sub-tropis atau boreal yang hanya berkisar antara 20-100 g C/ m2/ th. Sementara itu laju penyerapan Karbon melalui proses fotosintesis antara 8-80 g C/ m2/ th (Harden dalam Mudiarso et al. 2004).
Kerapatan Karbon (Mg ha-1) 230.1 201.3 19.4
58 37.7 72.6 4.2 88.1 176.8 91
Cadangan karbon (C-stock) adalah jumlah karbon yang disimpan di terrestrial ekosistem (daratan) yang meliputi komponen biomasa dan nekromasa, baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah (bahan organik tanah, akar
Generated by Foxit PDF Creator © Foxit Software http://www.foxitsoftware.com For evaluation only. 7
tanaman dan mikroorganisme) per satuan luasan lahan. Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukkan beberapa hasil penelitian yang dilakukan dilapangan maupun pemodelan tentang biomassa dan cadangan karbon pada berbagai vegetasi. BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Nopember 2010 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB. 3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan a. Citra satelit Landsat 7 ETM/ ETM+ path/row 119/62 diakuisis pada : 2001 : 15 Januari 2001 2004 : 19 Agustus 2004 2008 : 19 Januari 2008 2009 : 22 Februari 2009 (sumber : glovis.usgs.gov) b. Peta Administrasi wilayah Kalimantan Tengah (Kec. Hanau dan Kec. Danau Sembuluh) skala 1 : 522 844 3.2.2 Alat Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data adalah seperangkat komputer (minimal RAM 2GB), Hardisk Eksternal 320 GB, dengan perangkat lunak Ms. Office 2007, Arc View Gis 3.3, dan Er Mapper 7.0. 3.3 Metode Penelitian Langkah pertama yang dilakukan adalah penentuan daerah studi penelitian, pemrosesan awal citra satelit yang meliputi : import data citra, koreksi geometrik, image enhachment, dan klasifikasi penutupan lahan dengan teknik klasifikasi tidak terbimbing. Langkah kedua yang dilakukan adalah mengekstraksi dan menganilisis lebih lanjut peubah-peubah dalam perhitungan nilai biomassa dan cadangan karbon. Peubahpeubah dalam perhitungan nilai biomassa dan cadangan karbon kemudian diekstraksi untuk mendapatkan nilai LAI melalui persamaan hukum Beer-Lambert dan pendugaan melalui pendekatan NDVI. Pendugaan nilai LAI yang diperoleh dari estimasi citra satelit Landsat. Berdasarkan diagram alir pada Lampiran 1 dapat dilakukan pendugaan nilai LAI dan dilanjutkan dengan pendugaan cadangan karbon.
3.3.1 Pengolahan Awal Data Citra Satelit a. Koreksi geometrik dan radiometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk meminimalisasi error atau kesalahan geometrik dari citra satelit yang terdistorsi karena perbedaan sistem koordinat dan datum. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan error atau kesalahan nilai spektral citra satelit yang disebabkan oleh proses penyerapan, penghamburan dan pemantulan di atmosfer selama proses akuisisi citra satelit koreksi radiometrik dilakukan dengan metode Histogram Manually Adjudment Technique. Metode ini termasuk sederhana, karena dilakukan dengan melihat histogram setiap kanal secara independen. Dari histogram tersebut dapat diketahui nilai piksel terendah dari setiap band. Selain melakukan proses koreksi radiometrik dan geometrik dilakukan pengisian gap yang kosong pada citra satelit Landsat yang diakibatkan oleh matinya Scan Line Corrector pada Landsat-7 ETM+ sejak tahun 2003. b. Klasifikasi citra satelit Teknik klasifikasi adalah penggunaan informasi spektral atau menggunakan informasi spasial dari suatu citra dalam rangka membagi citra menjadi beberapa kelas yang berbeda dan mempunyai arti terhadap obyeknya. Proses klasifikasi citra Landsat dilakukan dengan menggunakan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Perbedaan kelas lahan dilakukan secara digital dan hanya didasarkan pada nilai digital tiap pixel (Picture Element) secara mutlak kemudian dibagi menjadi sejumlah kelas. Sedangkan metode pengkelasannya menggunakan metode kemungkinan kemiripan maksimum (maximum likelihood) agar tiap pixel termasuk ke dalam kelompok yang lebih mewakili. Sistem klasifikasi tak terbimbing ini digunakan terutama untuk kenampakan liputan lahan yang sangat kompleks, yang sulit dibedakan bila diklasifikasikan dengan metode klasifikasi terbimbing. (Dewanti dan Dimyati 1998). Pada klasifikasi tidak terbimbing akan dibedakan kelas perkebunan dan bukan perkebunan. 3.3.2 Peubah-peubah dalam Perhitungan Nilai Biomassa dan Cadangan Karbon Komponen neraca energi yang digunakan pada penelitian ini hanya radiasi gelombang pendek yang diturunkan dari nilai specrtral radiance kanal 1, 2, dan 3 data Landsat. Nilai