GENEALOGI KONTRAK (Studi tentang Historisitas Asas Dalam Hukum Kontrak)1
Oleh : Tri Budiyono2
A. PROLOG n. Ahli genealogi menggunakan berita dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik, serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai suatu keluarga dan menunjukkan kekerabatan dan silsilah dari anggota-anggotanya. Hasilnya sering ditampilkan dalam bentuk bagan (disebut bagan silsilah) atau ditulis dalam bentuk narasi.3 Terma genealogi4, dalam perkembangannya, tidak hanya dipakai untuk menelaah bidang kajian keluarga dan asal usul manusia, tetapi juga “dipinjam” pada berbagai disiplin ilmu untuk menggambarkan bagaimana asal-usul (historisitas) dari berbagai cabang ilmu. Paul Michel Foucoult5, adalah seorang pilsuf dan sejarahwan dari Perancis yang mengembangkan gagasan (yang dianggap orisinil) diantaranya berkaitan dengan genealogi kegilaan. Dari hasil pengkajian Foucoult, pandangan masyarakat terkait dengan kegilaan dapat dipilah berdasarkan periodisasi tertentu, yaitu, masa renaissance, masa klasik dan masa modern.6 1
Disampaikan dalam acara Orasi Ilmiah Fakultas Hukum pada tanggal 5 Desember 2012 di BU Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. 2 Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UKSW, Salatiga. 3 id.wikipedia.org/wiki/Genealogi diunduh pada 22 Oktober 2012 4 Dalam kamus elektronik Arti Kata. Com, genealogi memiliki 2 (dua) makna, yaitu (a) garis keturunan manusia dl hubungan keluarga sedarah; (b) garis pertumbuhan binatang (tumbuhan, bahasa, dsb) dr bentuk-bentuk sebelumnya. Lihat lebih lanjut http://www.artikata.com/arti-328402-genealogi.html. 5
Paul Michel Foucoult adalah filsuf yang memiliki gagasan penting pada berbagai bidang, misalnya arkeologi, genealogi, episteme, dispositive, biopower, governmentality, institusi disipliner, panopticism, dll. Ia dilahirkan pada tanggal 16 Oktober 1926 dan meninggal pada tanggal 24 Juni 1984 dalam usia 54 tahun. Foucoult dikenal dengan penelitian-penelitian yang tajam dalam bidang institusi social, terutama psikiatri, kedokteran, ilmu-ilmu kemanusiaan dan sistem penjara, dan karyanya tentang sejarah seksualitas. Karyanya yang menelaah kekuasaan dan hubungan antara kekuasaan, pengetahuan dan diskursus telah banyak diperdebatkan secara luas. Pada tahun 1960-an Foucoult sering diasosiasikan dengan gerakan strukturalis. Foucoult kemudian menjauhkan diri dari gerakan ini. Meski sering dikarakterisasikan sebagai seorang postmodernis, Foucoult selalu menolak label poststrukturalis dan postmodernis. 6 Wildan Sena Utama, Selubung Kekuasaan Atas Tubuh: Membongkar Pembentukan Tubuh Masyarakat Eropa Bersama Foucault, diunduh dari http://komunitaskembangmerak.wordpress.com/2010/12/10/selubung-kekuasaan-atas-tubuh-membongkarpembentukan-tubuh-masyarakat-eropa-bersama-foucault/
Melalui bukunya Madness and Civilization : A History of Insanity in the Age of Reason (1975), Foucoult mengupas kegilaan sebagai studi tentang penelusuran terhadap pergeseran pandangan manusia terhadap kegilaan. Hasil studinya, Foucoult menggambarkan pergeseran makna kegilaan dari suatu cara berfikir dan sekaligus cara hidup yang estetik menjadi cara berfikir dan cara hidup yang mengganggu orang (individu) lain sehingga harus disingkirkan atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Dede Mulyanto, dengan mempergunakan pendekatan anthropologi menulis buku tentang Genealogi Kapitalisme. Dalam bukunya tersebut, Dede Mulyanto menulis bahwa Kapitalisme tidak dilihat sekedar sebagai sistem ekonomi, melainkan relasi sosial yang sudah merasuk ke relung-relung kehidupan kita. Hal inilah kenapa pendekatan antropologi yang digunakan dalam kajian ini menjadi pisau analisis yang amat tajam untuk membedah anatomi kapitalisme. Tak hanya menyoroti perkembangan kapitalisme di Eropa, buku ini juga menyingkapi proses akumulasi primitif yang terjadi di Indonesia. Bagaimana kapitalisme masuk melalui penjajahan Belanda dengan menghancurkan pranata-pranata tradisional. Suatu proses yang belum selesai hingga sekarang, muncul di permukaan dalam bentuk konflikkonflik tanah atau sumberdaya yang marak di mana-mana antara masyarakat dengan korporasi-korporasi
Moestika Zed,7 dalam tulisanya berjudul “Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia : Kecenderungan
Bertahannya
Gejala
Parokialitas
Antardisiplin”,
berusaha
untuk
mengkonstruksi bahwa ilmu social Indonesia berbeda dengan dengan ilmu social barat yang lebih bersifat erocentris. Genealogi ilmu social Indonesia dapat ditelusur melalui proses historisitas, yang dapat dipilah menjadi 3 (tiga) periode berdasarkan fase perkembangannya, yaitu : 1. fase embrionik sejak zaman kolonial; 2. fase ilmu sosial developmentalis sejak 1950-an sampai masa Orde Baru dan 3. fase kontemporer, ketika ilmu sosial di negeri ini berada di persimpangan sejarah bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensional Fase perkembangan ilmu social tersebut secara diametral berbeda dengan perkembangan ilmu social barat,8 yang akar historitasnya dapat (harus) ditelusur melalui perkembangan ilmu social yang bermula di Eropa Daratan, khususnya Perancis dan Jerman. Melalui tulisan
7
Lihat lebih lanjut du seri tulisan Moestika Zed, dengan judul yang sama yaitu “Genealogi Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia : Kecenderungan Bertahannya Gejala Parokialitas Antardisiplin” sebagaimana dimuat dalam http://nasbahrygallery1.blogspot.com/2011/02/genealogi-ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia.html 8 Karenanya sifatnya yang kolonialistik, ilmu social barat dipadankan juga dengan ilmu social colonial (istilah sarkastik yang dipilih oleh Moestika Zed untuk menggambarkan kuatnya dominasi ilmu social barat yang dengan pongah mengklaim diri paling objektif dan ilmiah dan pada saat yang bersamaan meminggirkan ilmu social yang dikembngkan dari luar daerah tersebut.
tersebut Moestika Zed meminjam terma genealogi untuk menjelaskan bagaimana ilmu social Indonesia tumbuh dan berkembang berdasarkan lintasan waktu. Terlilhami oleh berbagai kreatifitas berpikir, terutama dari mereka yang pokok pemikirannya telah dipaparkan pada bagian terdahulu, penulis (akan) mengkaji bagaimana asas-asas hukum kontrak berkembang dari waktu ke waktu. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum (khususnya hukum kontrak) adalah bidang hukum yang berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Dinamika perubahan masyarakat yang dominan secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan hukum kontrak itu sendiri. Dari perspektif ini, hukum kontrak sejatinya meninggalkan jejak historisitas sebagai pembentuk asas dengan segala pemaknaan sebagaimana kita kenal pada masa kini. Kekinian sejatinya adalah hasil dialektika dari perkembangan masa lalu, yang terkadang terpoles, terkikis, bahkan mati seiring dengan perjalanan waktu. Perubahan tersebut terjadi secara incremental, yang terkadang berlangsung melintasi beberapa generasi. Untuk menegaskan kajian historisitas asas-asas hukum kontrak, penulis dengan sengaja meminjam dan memilih terma genealogi untuk menggambarkan silsilah perkembangan asasasas hokum kontrak dalam lintasan sejarah. Atas dasar pertimbangan ini, judul tulisan ini menjadi : “Genealogi Kontrak (Studi Tentang Historisitas Asas dalam Hukum Kontrak). Dengan segala keterbatasan, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengungkit minat untuk melakukan kajian hokum dari perspektif sejarah.9 Sebab, sejatinya hokum akan dapat dimaknai jauh lebih baik apabila perspektif sejarah evolusi maknanya terungkap ke permukaan. Pandangan ini dipumpunkan pada keyakinan bahwa perkembangan hokum merupakan bagian dari sejarah perkembangan masyarakat itu sendiri, sehingga bersifat historis.10 B. Kajian Pustaka Kontrak atau perjanjian harus diakui sebagai tonggak dari kehidupan masyarakat modern, terutama ketika aktivitas ekonomi mengalami perkembangan yang luar biasa. Kontrak tidak 9
Dalam struktur kurikulum pendidikan tinggi hukum, sejarah hukum belum (baca : tidak) distrukturkan sebagaian bagian mata kuliah yang disajikan dalam perkuliahaan. Pada umumnya, Sejarah Hukum baru menjadi matakuliah yang disajikan pada Strata 2 (Magister Hukum). 10 Terhadap persoalan apakah hukum itu bersifat historis atau bersifat ahistoris sejatinya tidak ada kesatuan pandangan. Hukum dikatakan bersifat ahistori dipumpunkan pada keyakinan bahwa pembentukan hukum itu terjadi oleh karena hasil dari olah akal sehat dan logika juridis semata, yang keberadaannya tidak harus dikaitkan dengan dialog antara dunia ide dengan realitas empiris. Sedang pandangan historis dipumpunkan pada keyakinan bahwa pembentukan hukum dipengaruhi oleh hasil dialog antara dunia ide dengan realitas empiris yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Pandangan yang terakhir ini terkristal melalui terbentuknya mazab sejarah yang dipelopori oleh Karl Frederic von Savigny dan G. Pucta.
hanya penting dalam membangun keterhubungan antara individu yang satu dengan individu yang lain, tetapi kontrak sejatinya telah menjadi corner stone dalam aktivitas ekonomi. Dapat dijamin kebenarannya secara utuh kredo yang mengatakan : “tidak ada satu aktivitas bisnis apapun yang tidak dimulai dari kontrak”. Kontrak dalam penelusuran sejarah dapat ditemukan jejak sejarahnya dalam dokumen hokum yang berkembang dan dikembangkan pada masa kekaisaran Romawi.11 Bahkan, bukan tidak mungkin kontrak dapat ditelusur jejak sejarahnya dalam perkembangan masyarakat Yunani kuno.12 Hukum yang sekarang kita kenal sebagai hasil dari “west legal civilization” pada dasarnya merupakan hasil proses sejarah melintasi waktu yang berlangsung sejak masa Yunani13, masa Romawi14, masa Sleeping Giant15, masa Abad Pertengahan16, masa Hukum Modern, dan masa Hukum Kontemporer. 11
Kekaisaran Romawi (Imperium Romanum) merupakan kelanjutan dari Republik Romawi Kuno yang berlangsung kurang lebih 500 tahun. Kekaisaran Romawi mulai berdiri pada tahun 27 BC sampai dengan tahun 476 AD (runtuhnya Romawi Timur) dan 1453 AD (runtuhnya Romawi Barat). Puncak dari karya hukum pada masa kekaisaran Romawi adalah terkompilasikannya bahan-bahan hukum dalam Corpus Juris Civilis antara tahun 529-534 atas perintah kaisar Justinianus I yang memerintah di Bizantium (Romawi Barat). Corpus Juris Civilis terbagi dalam 3 (tiga) bagian, yaitu, Digesta atau Pandectae (terdiri dari 50 buku sebagai hasil tulisan dariahli hukum yang terkenal pada saat itu), Instituiones (tulisan teks untuk siswa yang diharapkan menjadi pengantar pemahaman hukum Romawi), dan Novellae (konstitusi yang dikeluarkan kaisar). 1212 Masa Yunani (kuno) adalah masa satu millennium (1000 tahun) berkembangnya peradapan Yunani, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 penggalan masa, yaitu masa Yunani Kuno, masa Yunani, dan masa Hellenisme. 13 Jaman Yunani berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 1000 tahun (satu millennium), yaitu pada kurang lebih abad ke-14 SM sampai dengan Abab ke-5 SM. Pada masa ini hukum dapat ditelusur dalam cerita-cerita mitologi Yunani. Satu millennium masa Yunani ini, dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) pilahan, yaitu masa pra Yunani, masa Yunani Kuno, Masa Yunani klasik, dan masa helenisme. 14 Jaman Romawi dimulai dari abad ke-5 SM sampai dengan abad ke-5 SM. Masa ini berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih satu millennium (1000 tahun). Tonggak perkembangan hukum ditemukan dari Twelve Table sampai dengan Corpus Juris Civilis. Pada masa ini hukum sudah ditemukan dalam dokumendokumen tertulis yang pada dasarnya menjadi embrio dari hukum modern yang kita kenal pada saat ini. 15 Sleeping Giant (raksasa yang tertidur) adalah masa antara abad ke-6 SM sampai dengan abad ke-11 SM, dimana dokumen-dokumen hukum yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi menjadi dokumen tanpa ada control otoritas negara untuk menjalankan hukum. Pada masa ini, sekalipun hukum tidak dikontrol oleh negara, namun proses internalisasi yang telah berlangsung lama mengakibatkan hukum telah menjadi cara hidup (budaya) dan hukum hidup sebagai cara hidup masyarakat bekas Kekaisaran Romawi dibawah control negara-negara kecil sebagai pecahan dari Kekaisaran Romawi. Pada masa ini, hukum diibaratkan sebagai raksasa yang tertidur, yang pada gilirannya nanti menjadi resources bagi pembentukan hukum modern. 16 Masa adan Pertengahan pada dasarnya menjadi masa pembentukan hukum modern dengan terjadi dialog yang intens antara lembaga pendidikan tinggi dengan dunia praksis. Masa ini berlangsung antara abad ke-
Setelah runtuhnya kekaisaran Romawi yang diawali dari perpecahan menjadi 2 (dua) Negara, yaitu Romawi Barat dan Romawi Timur, hokum yang berkembang dari Twelve Table sampai dengan Corpus Juris Civilis, hidup dalam praksis kehidupan sehari-hari masyarakat tanpa adanya control Negara sebagai pemegang otoritas kedaulatan. Dengan demikian hokum terlestarikan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui cara hidup individu-individu sebagai anggota masyarakat. Hukum dan cara berhukum yang eksis dalam praksis kehidupan masyarakat tanpa adanya control kedaulatan Negara yang cukup kuat ini berlangsung dari abad ke-5 (ditandai runtuhnya Romawi Timur pada tahun 476) sampai dengan abad ke-11 (titik dimana lembaga pendidikan tinggi secara sistematis melakukan kajian terhadap teksteks hokum kuno sebagai embrio pembentukan hokum modern.17 Abad ke-11 merupakan titik penting bagi proses awal pembentukan hukum modern, dengan melakukan pengkajian terhadap teks-teks kuno yang ditinggalkan oleh Kekaisaran Romawi. Universitas Bologna merupakan pendidikan tinggi di Italia, yang merintis pengembangan pengkajian bahan hukum kuno dengan membuat komentar dalam bentuk catatan yang dituliskan dipinggir naskah. Naskah hukum kuno sebagai peninggalan pada masa Romawi distudi secara ilmiah dan diberikan penafsiran sesuai dengan kondisi yang ada untu kemudian diberikan makna baru untuk menyesuaikan realitas yang ada dalam masyarakat. Hasil pengkajian pendidikan tinggi ini kemudian “didialogkan” dengan realitas kehidupan melalui proses dialektika untuk menguji dan sekaligus mengukuhkan makna baru yang dikonstruksikan. Pembentukan hukum barat sebagai bentuk peradaban hukum (legal civilization), menurut Harold J. Berman terjadi melalui dialektiga 3 (tiga) spiritual ancestors, yaitu filsafat Yunani, Religiositas Yahudi (Jews) dan Hukum Romawi. Dialektika ketiga spiritual ancestors tersebut pada ujungnya menghasilkan peradaban hukum barat terjadi oleh karena adanya proses
11 sampai dengan abad ke-18. Kajian terhadap naskah-naskah hukum kuno yang berkembang dan dikembangkan di universitas dimulai dari Universitas Bologna di Italia dan kemudian secara sporadic menyebar ke universitas-universitas lain di Eropa. Proses ini berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan berujung pada terbentuknya hukum modern. Hukum modern ini kemudian masuk pada proses globalisasi dan tersebar melalui proses transplantasi baik yang bersifat memaksa (dalam keterhubungan antara Negara penjajah dan Negara jajahan) maupun melalui transplantasi sukarela (legal colonization from within). 17
Dalam pandangan Max Weber, keterhubungan antara Negara modern dan hukum modern adalah keterhubungan yang sifatnya saling mengada. Hukum modern hanya bias dihasilkan oleh institusi-institusi yang terbentuk dalam Negara modern . Pada sisi lain, Negara modern hanya dapat eksis apabila ditopang oleh hukum modern.
penstrukturan sejarah (historical structured) dan mensejarahkan struktur (structured history) secara bersama-sama. Proses pengaruh dan mempengaruhi ketiga spiritual ancestors terjadi melalui proses adopsi secara selektif untuk disesuaikan dengan kebutuhan kontemporer masyarakat pada saat itu dan prediksi kebutuhan masyarakat pada masa yang akan datang menurut para ahli hukum yang melakukan pengkajian pada saat itu. Dialog antara lembaga pendidikan tinggi dan praksis kehidupan hukum merupakan batu uji secara alamiah atas keterterimaan hukum di masyarakat. Dalam proses yang demikian, dapat dimengerti hukum dapat terkikis, terpoles, bertahan atau mati seiring dengan perjalanan waktu. Proses pengaruh dan mempengaruhi ketiga spiritual ancestor tersebut terwujud dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu penemuan ulang prinsip hukum yang telah ada pada masa lampau (rediscovery), pengujian ulang prinsipprinsip hukum untuk menyesuaikan perubahan masyarakat yang terjadi (reexaminations), atau adopsi (adoptions) terhadap teks-teks kuno dengan memberikan makna baru dari spiritual ancestors tersebut. Hal yang menarik dari pertelingkahan dari ketiga spiritual ancestors tersebut adalah sifat
antagonistic dari ketiga spiritual ancestors tersebut ternyata dapat dikelola menjadi satu world view, yang kemudian dikenal dengan peradaban hukum barat. Pada galibnya, teologi (baca : religiositas) Yahudi tidak bersifat toleran terhadap alam pemikiran filsafati yang berkembang di Yunani dan doktrin-doktrin hukum yang dihasilkan pada masa Kekaisaran Romawi. Demikian juga Filsafat Yunani tidak sejalan dengan cara hidup (religiositas) pengikut agama Yahudi dan doktrin-doktrin hukum Romawi. Serta, Hukum Romawi memiliki dasar pemikiran sendiri yang tidak selalu conform dengan religiositas Yahudi dan Filsafat Yunani. Namun pertemuan ketiga spiritual ancestors tersebut, di bawah “bendera” barat dapat tersinergikan yang pada akhirnya menghasilkan peradaban hukum barat (west legal
civilization). Pengertian hukum barat sejatinya tidak menunjuk pada letak geografis tertentu, tetapi lebih menunjuk pada peradaban hukum yang dihasilkan dari pertelingkahan ketiga spiritual ancestors tersebut. Hukum barat ini dalam sejarah perkembangannya menginfiltrasi hampir seluruh wilayah dunia melalui proses transplantasi hukum, baik yang terjadi secara
compulsory maupun secara voluntary.
PETA PERSEBARAN HUKUM BARAT
Sumber : google.map_legal_system.jpg Persebaran hukum melalui proses transplantasi ini sejatinya merupakan indicator kuat bahwa globalisasi hukum telah mendahului globalisasi bidang-bidang kehidupan yang lain. Bagaimana hukum berproses dari satu generasi ke gerasi berikutnya sejatinya telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang, juga terjadi pada hukum kontrak yang pada dasarnya merupakan bagian kecil dari hukum itu sendiri. Dari perspektif ini, hukum kontrak dapat diibaratkan suatu organisme yang bersiklus layaknya hidup manusia. Pada tiaptiap jaman, hukum kontrak memiliki kehidupannya sendiri, memiliki tantangannya sendiri, memiliki kejayaannya sendiri, dan pada akhirnya mengalami kepudarannya sesuai dengan perjalanan waktu. Sebagian dari poros-poros hukum kontrak terlahir kembali, sebagian mandul, sebagian memudar, dan mungkin sebagian berkembang pada generasi berikutnya. Perjuangan hidup (struggle of life) dari poros-poros hukum kontrak tersebut melahirkan kondisi bahwa hanya yang paling kuat yang tetap bertahan dalam ujian waktu, sementara yang lain mati. 18
18
Bandingkan dengan FW. Maitland, dalam Harold J. Berman, Law and Revolution, The Formation of Western Legal Tradition, Harvard University Press, Cambridge, 1983.
Dengan cara pemahaman bagaimana hukum, khususnya hukum kontrak, seperti ini, maka genealogi asas-asas hukum kontrak dapat ditelusur dan dapat lihat benang merahnya dengan asas-asas hukum kontrak yang sampai sekarang masih tetap eksis. C. Genealogi Kontrak Kontrak eksis oleh karena topangan dari asas-asas yang melingkupinya. Asas hukum sejatinya akan membentuk check and balances suatu hukum.19 Dalam kaitannya dengan hukum kontrak, dikenal berbagai macam asas hukum. Menurut Asser-Rutten, ada tiga asas hukum kontrak, yaitu : konsensualisme, kekuatan mengikatnya perjanjian, dan kebebasan berkontrak. Menurut Hoffman-Abas, selain asas tersebut ditambahkan asas kepatutan (billijkheids beginsel). Sedang Nieuwenhuis mengajukan 3 (tiga) prinsip hukum kontrak yaitu : otonomi para pihak (aotonomie beginsel), kepercayaan (vertrouwens beginsel) dan prinsip kausa (causa beginsel). Sementara Wery mengedepankan asas itikat baik (geode trouw
beginsel). Asas hokum ini dperlukan sebagai dasar dalam pembentukan aturan hokum dan sekaligus sebagai dasar dalam memecahkan persoalan hokum yang timbul manakala aturan hokum yang tersedia tidak memadahi. Asas hokum ini pada dasarnya bersifat meta kaidah. Asas-asas yang ada diseputar hukum kontrak sejatinya dapat dipilah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu asas-asas yang secara tegas dapat ditemukan dalam hukum kontrak Indonesia, baik yang dapat disimpulkan dari norma positif yang bersifat eksplisit maupun yang bersifat implicit, dan asas-asas yang terkait dengan kelompok asas golongan pertama tersebut. Asas hokum kontrak yang termasuk dalam kategori pertama adalah : a. Asas konsensualisme, b. Asas kebebasan berkontrak, c. Asas pacta sunt servanda, dan d. Asas itikat baik, Sedang asas yang terkait dengan asas hokum kontrak antara lain adalah asas rebus sic standibus, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, asas kepatutan, dan asas kesalahan dalam kontrak (mistakes of contract). Bertitik tolak dari persoalan ini, asas hukum yang secara khusus akan ditelusur genealigiknya hanya dibatasi terhadap asas yang secara langsung dapat itemukan dalam hokum kontrak Indonesia yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme 19
Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian, Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2009, hal 37
Konsensualisme atau kata sepakat menrupakan asas yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Masuknya kata sepakat sebagai salah satu unsure esensia untuk adanya perjanjian sejatinya merupakan hasil evolusi yang telah berlangsung sejak jaman Romawi. Pada masa kekaisaran Romawi, contractus (yang kemudian diterjemahkan menjadi kontrak, tidak mensyaratkan adanya kata sepakat dari pihak-pihak yang masuk dalam kontrak. Dalam tatanan Hukum Romawi persetujuan baru terjadi pada saat benda yang menjadi objek perjanjian diserahkan. Ini berarti perjanjian bersifat tunai dan terang. Dengan demikian, pada mulanya Hukum Romawi tidak mengenal persetujuanpersetujuan konsesual. Kondisi semikian berlangsung terus ketika /kekaisaran Romawi Runtuh dan Hukum Romawi hidup dalam cara hidup masyarakat di Negara-negra kecil yang menjadi bekas kekaisaran Romawi. Hukum Romawi berpegang teguh pada persyaratan-persyaratan yang ketat tentan persetujuan, dengan beberapa pengecualian adanya syarat-syarat tertentu untuk dapat dikatakan adanya persetujuan. Aturan umum nudus concensus obligat tidak berlaku. Kondisi yang hidup pada masa kekaisaran Romawi tersebut seringkali disebut sebagai hokum Romawi primitive. Dalam perkembangannya, apa yang dalam system hokum Romawi diposisikan sebagai pengecualian justru memperoleh ruang yang lebih luas, dimana persesuaian kehendak yang memenuhi persyaratan-pesyaratan tertentu dikui sebagai kontrak yang sah menurut hokum. Sejak saat itu, antara lain karena semakin berkembangnya perdaganga dan tuntutan terhadap pada pedagang,
secara perlahan
kontrak konsensual menggeser kontrak yang bersifat tunai dan terang. 2. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) merupakan hasil penyimpulan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.20 Asas ini mengandung makna bahwa orang sebagai subjek hokum memiliki kebebasan terhadap : a. Bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, b. Bebas untuk memilih dengan siapa seseorang membuat perjanjian, c. Bebas untuk menentukan isi perjnjian, dan
20
Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan : (1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya, (2) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena alasanalasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu, (3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik,
d. Bebas untuk menentukan bagaimana membuat perjanjian Negara-negara yang mempunyai sistem hukum Common Law mengenal kebebasan berkontrak dengan istilah Freedom of Contract atau laisseiz faire. Yang dirumuskan oleh Jessel M.R. dalam kasus “Printing and Numerical Registering Co. Vs. Samson” yang
“…… men of full age understanding shall have the utmost liberty of contracting, and that contracts which are freely and voluntarily entered into shall be held and onforce by the courts…… you are not lightly to interfere with this freedom of contract”.21 menyatakan
Dilihat dari benang merah perkembangan sejarah, asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang mengalami masa keemasan dan kemudian mengalami pasang surut cukup signifikan. Perubahan konstelasi bermasyarakat yang sejatinya menjadi pendorong terhadap pergeseran asas kebebasan berkontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak sejatinya mensyaratkan adanya kesetaraan dari para fihak yang membuat kontrak.
Namun demikian, kesetaraan yang
sebenar-benarnya
sesungguhnya tidak ada. Pitlo menyatakan bahwa kebebasan berkontrak pada dasarnya adalah sebuah fiksi.22 Oleh karena itu, persangkaan (presumption) yang dianggap ada adalah kesetaraan minimal. Artinya, pada batas minimal seseorang masih memiliki kesempatan untuk mempergunakan kehendak bebas (free will) untuk masuk atau tidak masuk dalam perjanjian. Henry James Sumner Maine menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak menjadi semakin penting, sebab tejadi pergeseran masyarakat dari peran berdasarkan status menjadi peran berdasarkan kebebasan berkontrak. Sumner Maine mengatakan “a status
system establishes obligations and relationships by birth whereas a contract presumes that the individuals are free and equal.” Dalam masyarakat modern, kebebasan berkontrak merupakan ekspresi dari seseorang untuk untuk membuat keputusan secara independen dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Konsep klasik kebebasan berkontrak meliputi 2 (dua) hal, yaitu kontrak didasarkan pada persetujuan dan kontrak merupakan hasil dari pilihan bebas. 23
21
Jessel dalam Haridjan Rusli, “Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law”, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 1993, Hal-39 22 Bandingkan dengan Soedjon Dirdjosisworo, Misteri Dibalik Kontrak Bermasalah, Mandar Maju, Bandung, 2002 dan Catrine MacMillan, Mistakes in Contract Law, Oxford and Forland, Oregon 2010. 23 P.S. Atiyah dalam Sogar Simamora, Op. Cit. hal. 39
Sekalipun asas kebebasan berkontrak tidak terlalu panjang lebar dituangkan dalam proses positivisasi24 KUH Perdata, namun asas ini sejatinya sarat dengan perdebatan pergulatan philosofis. Titik kritis dari persoalan ini terletak pada konstruksi hokum dari asas kebebasan berkontrak yang sejatinya ada pada alam ide yang tidak koheren dengan realitas kehidupan, yaitu ketiadan equalitas dan kebebasan yang absolute.25 Dalam kondisi yang demikian, kebebasan berkontrak sejatinya dibangun diatas fiksi kebebasan dan equalitas masyarakat. Diatas kondisi yang demikian, pembatasan terhadap kebebasan berkontrak diperlukan. Pembatasan terhadap kebebasan berkontrak berada dalam arena tarik-menarik dalam rangka mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Perkembangan asas kebebasan berkontrak mencapai puncak kejayaan bersamaan dengan masa keemasan individualism dan liberalism. Pada saat revolusi Perancis berlangsung dan berujung pada terbentuknya Negara Perancis, kredo
liberte, egalite dan fraternite
(kebebasan, keadilan, persaudaraan) dikukuhkan menjadi moto Negara. Pada saat yang hampir bersamaan, individualism dan liberalism menjadi faham yang hampir secara merata diterima di Eropa. Faham ini pada dasarnya menghendaki agar Negara membatasi campur tangannya dalam kehiduan bermasyarakat. Semakin sedikit campur tangan pemerintah semakin baik. Pada saat yang bersamaan eksplorasi kebebasan individu mendapat ruang yang sangat luas. Salah satu persyaratan adanya tertib sosial terletak pada kebebasan individu, yaitu kebebasan bagi setiap orang untuk memperjuangkan kesejahteraannya dan mengatur hubungan-hubungannya sesuai dengan apa yang dianggap baik. Pengaruh faham individualism dan faham liberalism terhadap asas kebebasan berkontrak didasarkan pada 2 (dua) buah dalil, yaitu : a. Mengadakan perikatan-perikatan kontraktual dperkenankan, dan b. setiap perikatan kontraktual yang dibuat dengan bebas adalah adil dan patut dan oleh sebab itu memerlukan sanksi undang-undang. Dalam sejarah perkembangannya, kebebasan berkontrak menjadi semakin menyempit oleh karena pembatasan-pembatasan baik yang dilakukan oleh pengadilan, pemerintah, 24
Positivisasi adalah proses menjadi positif. Ini berarti sesuatu yang semula tidak positif (tidak identik dengan negative) karena proses tertentu menjadi positif. Dari perspektif ini, proses positivisasi menghasilkan sesuatu yang positif, yaitu sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindera. Dalam dunia hukum positivisasi terjadi ketika nilai (values) berubah menjadi norma melalui proses pembentukan hukum oleh para pemegang otoritasnya. 25 Kondisi ini sebenarnya merupakan bentuk pertarungan dua pandangan besar dalam filsafat, yaitu aliran idealism dan aliran realism. Keduanya memiliki titik tolak pandangan yang saling bertolak belakang yaitu alam ide dan alam realitas empiris.
maupun kelompok masyarakat yang secara posisonal memiliki kekuatan ekonomi. Atiyah26 menyatakan bahwa : “much of this change was influenced by a widespread belief that the classical law
of contract no longer accorded with the facts of the modern world in many situations …. But even here the law had change a good deal, and by 1980 classical contract law appeared to be scrumbling fast.” Campur tangan pengadilan mengemban fungsi untuk menciptakan keadilan dengan cara membatalkan kesepakatan yang dihasilkan dari kebebasan berkontrak, tetapi secara substansial bersifat opresif terhadap salah satu fihak. Beberapa putusan pengadilan menyatakan bahwa kesepakatan yang telah dicapai oleh para fihak dibatalkan oleh pengadilan dengan alas an untuk memberikan keadilan. Dala kondisi yang demikian, putusan pengadlan berfungsi untuk mengkoreksi realitas yang secara nyata memunculkan ketidak adilan. 27 Campur tangan pemerintah terhadap kebebasan berkontrak menjadi semakin besar seiring dengan menguatnya kritik terhadap faham individualism dan liberalism, dan pada saat yang hampir bersamaan menguatnya konsep Negara kesejahteraan (welfare state). Bertolak belakang dengan faham individualism/liberalism, welfare state justru menghendaki Negara secara aktif ikut campur tangan dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Instrumen yang lazim dipergunakan oleh Negara untuk mengintervensi kehidupan masyarakat adalah peraturan perundang-undangan.
26
P.S. Atiyah dalam Sogar Simamora, Op. Cit. hal. 40 . In Lochner v. New York, Justice Peckham wrote for the majority: "Under that provision no state shall deprive any person of life, liberty, or property without due process of law. The right to purchase or to sell labor is part of the liberty protected by this amendment..." Writing in dissent, Oliver Wendell Holmes accused the majority of basing its decision on laissez-faire ideology. He believed that they were making law based on economics rather than interpreting the constitution. Neither did he believe that "Liberty of Contract" existed or was intended in the constitution. 27
In his "Liberty of Contract" (1909), Roscoe Pound critiqued freedom of contract laws by laying out case after case where labor rights were struck down by State and Federal Supreme Courts. Pound argued the courts' rulings were "simply wrong" from the standpoint of common law and "even from that of a sane individualism" (482). Pound further compared the situation of labor legislation in his time to common opinion of usury and that the two were "of the same type" (484). Pound lamented that the legacy of such "academic" and "artificial" judicial rulings for liberty of contract engendered a "lost respect for the courts", but predicted a "bright" future for labor legislation (486-87).
Dengan instrument ini, Negara membatasi kebebasan individu baik secara terbuka maupun secara memaksa.28 Semakin besarnya pembatasan terhadap kebebasan berkontrak, terutama yang dilakukan oleh pemerintah, melahirkan suatu keadaan yang oleh Hugh Collins disebut regulating
contract.29 Suatu istilah yang sejatinya merupakan ironi kalau dilihat dari perspektif kebebasan berkontrak, karena banyaknya rambu-rambu yang harus dipatuhi oleh para pihak yang akan membuat kontrak. Sindiran ini sebenarnya merupakan tengara matinya kebebasan berkontrak sebagaimana telah diungkapkan oleh Grant Gilmore dalam bukunya The Death of Contracts. Sedang pembatasan terhadap kebebasan berkontrak oleh kelompok masyarakat tertentu pada umumnya dituangkan dalam bentuk perjanjian baku, dimana satu fihak telah menyusun isi perjanjian, dan fihak lain yng akan masuk dalam perjanjian tinggal memiliki 2 (dua) pilihan, yaitu menyetujui (take it) atau tidak menyetujui dan kemudian
30
meninggalkanya (leave it). Pada tataran praksis, perjanjian baku dipersiapkan oleh mereka yang secara ekonomi memiliki posisi dominan. Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak
28
Pembatasan kebebasan individu secara terbuka dilkukan oleh pemerintah dengan cara mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku, dengan memberikan peluang kepadanya untuk mebuat penyimpangan melalui kesepakatan yang dibuat oleh para fihak. Sedang pembtasan kebebasan secara memaksa dilakukan oleh Negara untuk mengarahkan perilaku individu sesuai dengan apa yang dikhendaki oleh Negara dengan ancaman batal kalau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidak diikuti. 29 Istilah regulating contract pertama kali dikemukakan oleh Hugh Collins pada tahun 1999 melalui bukunya yang berjudul Regulating Contract. Watak kontrak semacam ini adalah substansinya yang tidak mencerminkan kebebasan dalam berkontrak karenya banyaknya rambu-rambu yang berupa regulasi. Kontrak jenis ini merupakan fenomena dan sekaligus sebagai bntuk justifikasi bagi penganut teori negara kesejahteraan (welfarist theory of contract). Lihat lebih lanjut Sogar Simamora Op. Cit. hal. 38 30 Grant Gilmore, The Death of Contracts, Ohio State University Press, Columbus, 1995, hal. 95.
kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. 3. Asas Pacta Sunt Servanda Dalam bahasa inggris, asas pacta sunt servanda memiliki arti “agreement must be kept”. Sedang dalam banyak tulisan di Indonesia, pacta sunt servanda dimaknai sebagai peletak asas kepastian hokum. Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seagai undang-undang bagi para fihak yang membuatnya. Asas ini sudah mulai dikenal sejak jaman kekaisaran Romawi. Dalam hokum Romawi, dibedakan antara contractus dan pacta (conventiones). Pada masa Kekaisaran Romawi, isilah contractus mempunyai arti yang jauh lebih terbatas apabila dibandingkan dengan pengertian kontrak pada saat ini. Contractus dijabarkan dari kata kerja contrahere. Obligationem contrahere pada awalnya tidak diartikan sebagai sebuah perikatan yang dilahirkan daam kontrak, melainkan dengan cara sederhana membuat sebuah perikatan. Contrahere pada mulanya dapat dilakukan tapa harus ada kata sepakat (persesuaian kehendak). Dalam perjalanan waktu, orang mulai memasukkan persesuaian kehendak sebagai unsure yang esensial dalam cntractus. Conventio secara etimologis berasal kata kerja convenire, yang berarti mengadakan pertemuan, dan dalam penggunaan istilah ini diperluas untuk menggambarkan pertemuan orang-orang yang mempunyai suatu pendapat atau opini. Dengan demikian, contractus dan convention merupakan dua istilah yang memiliki kemiripan tetapi memiliki perbedaan yang esensial dalah hal daya kerjanya. Contractus memiliki daya kerja yang jauh lebih kuat, yaitu dalam hal terjadi pengingkaran terhadap apa yang dijanjikan, dapat dituntut pelaksanaannya oleh pihak yang mempunyai hak atas suatu prestasi. Sedang dalam convention (pact) apabila kesepakatan tersebut diingkari, pelaksanaan dari janji tersebut pada dasarnya tidak dapat dipaksakan. Dengan semakin kuatnya pengaruh pemikiran teologia etis pada abad pertengahan, muncul desakan agar orang mentaati apa yang telah dijanjikan sebagai bentuk kepatuhan kepada ajaran agama. Atas dasar latar belakang ini, terhadap convention (pact) juga dituntutkan untuk tetap ditaati, sekalipun pada saat itu berlaku keyakinan kuat bahwa pengingkaran terhadap convention (pact) tidak dapat dituntut. Hugo de Groot kemudian mencetuskan kredo pacta sunt servanda (agreement must be kept) dengan tanpa membedakan antara contractus dan convention (pact). Dengan berangkat dari pact dan bukan contractus. Ini berarti, terhadap conventio (pact) ada tuntutan moral orang untuk tetap mentaatinya, apalagi terhadap contractus.
4. Asas Itikat Baik Asas itikat baik dalam perjanjian dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (3), yang menyatakan bahwa “perjanjian harus dilakukan dengan itikat baik”. Sekalipun asas itikat baik tidak sama dengan asas pacta sunt servanda, namun kedua asas ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Dengan pumpunan asas itikat baik, dikandung makna bahwa bahwa para pihak dalam kontrak tidak hanya terikat dengan apa yang secara eksplisit dinyatakan melalui klausula-klausula dalam perjanjian, tetapi juga terikat dengan apa yang menurut itikat baik juga diharuskan. Suatu janji dari kontrak harus dilaksanakan dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan dari para pihak sebagaimana telah dijanjikan dalam kesepakatan. Hari Purwanto31 dalam tulisannya berjudul Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional menyatakan bahwa asas pacta sunt sevanda adalah pasangan asas itikat baik. Dilihat dari perspektif kontrak sebagai rangkaian kegiatan yang meliputi fase prakontraktual, pase kontraktual dan fase pasca-kontraktual, asas itikat baik menyinungi disemua tahapan tersebut. Pada fase pra-kontraktual implementasi itikat baik antara lain tertengara pada kewajiban untuk memeriksa dan kewajiban untuk memberitahukan secara jujur terhadap objek perjanjian. Asas itikat baik juga terwujud pada kewajiban untuk melakukan pencermatan terhadap seluruh aspek yang terkandung dalam kontrak yang akan ditanda tangani. Kewajiban yang terakhir ini lazim disebut the obligation to
exercise due delignce.32 Pada fase kontraktual, implementasi itikat baik tertengara dari perilaku yang layak dan patut dari para pihak. Pengujiannya, didasarkan pada normanrma objektif yang tidak tertulis. Selain itu, itikat baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat dari objek perjanjian.
D. Epilog Kontrak berproses dari waktu ke waktu. Pergeseran jaman dan perubahan masyarakat telah secara signifikan berpengaruh terhadap pergeseran kontrak. Berkembangnya industrialisasi dan semakin kuatnya masyarakat kapitalis, telah mengakibatkan semakin kuatnya fungsi kontrak. Wolfgang Friedmann33 menyatakan bahwa penyebab utama terhadap transformasi kontrak adalah :
31
Hari Purwanto, Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum Volume 21, Nomoe 1, Februari 2009, hal. 155-170 32 Kartini Mulyadi dalam Sogar Simamora, Op.Cit. hal. 44 33 Wolfgang Friedmann, Law in Changing Society, Second Edition, Penguin Books, Australia, 1972, p. 129-130
1. The widespread process of concentration in industry and business, corresponding to an increasing urbanization and standardization of life. Its lega; result is the standard contract or contract of addesion. 2. The increasing substitution of collective for individual bargaining in industrial society. Its legal product is the collective contract between management and labour, with verying degree of state intervention. 3. The tremendous expantion of the welfare and social services function of the state in all common -law jurisdictions. Its legal product is twofold : on one hand, it has led to a multitude of statury term of contract, substitute for, or added to the terms agreed between the parties; on the other hand it has led to a vast increase of contract where government departments or other public authorities are on side, and private party on the other. The effect of this on the law of contract, though as yet little explored, is profound. Melalui lintasan sejarah telah diuraikan bahwa hokum kontran merupakan hasil dari rekonstruksi dan terus akan merekonstruksi diri sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyrakat. Perubahan masyarakat merupakan keniscyaan (condition sine qua non) dengan demikian perubahan hokum kontrak juga akan bersifat demikian. Perubahan hokum kontrak dapat diposisikan sebagai bentuk dari social engineering, dan sekaligus perubahan hokum kontrak dapat pula diposisikan sebagai bentuk kristalisasi nilai-nilai (values) yang berkembang di masyarakat. Salatiga, 5 Desember 2012 Dirgahayu FH UKSW