GENDER DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI Oleh: Yusno Abdullah Otta1 Abstrak Tulisan ini mendiskusikan tentang gender dalam perspektif antropologi dari perspektif Islam. Kajian gender senantiasa menjadikan acuan dasar serta berpengaruh secara signifikan terhadap ilmu-ilmu sosial, baik dalam pengertian umum maupun spesifik. Rujukan dasar tersebut tampak jelas pada saat mengkaji relasi kerja antara pria dan wanita, dalam berbagai struktur masyarakat dalam kultur yang berbeda. Karenanya, pembagian tanggung jawab antara pria dan wanita ditetapkan tidak saja secara sosial tetapi juga kultural, dan, lebih penting lagi menurut para sosiolog dan antropolog, bukan atas kodrat dan keinginan Tuhan. Kata Kunci: Gender, Antropologi, Islam
Pendahuluan Salah satu bagian penting dalam pembentukan struktur masyarakat adalah pembagian peran berdasarkan jenis kelamin atau apa yang dikenal dengan gender. Secara etimologi gender didefinisikan sebagai a gramatical classification of objective roughly corresponding to the sexes and sexlessness, property of belonging to such a class.2 Karenanya, dalam beberapa kasus, gender senantiasa dijadikan acuan dasar dan memiliki pengaruh signifikan dalam ilmu-ilmu sosial. Acuan dasar tersebut terlihat agak jelas ketika melihat hubungan kerja antara pria dan wanita dalam berbagai struktur masyarakat dalam kultur yang berbeda. sehingga, pembagian tanggung jawab tersebut ditetapkan tidak saja secara sosial tetapi juga kultural, dan, lebih pentinga lagi menurut para sosiolog dan antropolog, bukan atas kodrat dan keinginan Tuhan. Sudah cukup banyak kiritikan yang dimunculkan oleh para pemerhati feminism terhadap antropologi sosial, dan ilmu social lainnya. Para aktivis gender memandang bahwa para sosiolog dan antropolog tidak banyak melakukan kajian yang komprehensif tentang peran dan kedudukan wanita dalam studi mereka. Kalaupun kajian tersebut dilakukan oleh kedua ahli dalam bidang ilmu social tersebut, wanita lebih banyak kajian dan studi tersebut bersifat rancu; terutama memperlakukan wanita. Dengan kata lain, posisi wanita dan perannya, secara sosio-kultural,
Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Manado. Zakiyuddin Baidhawi, “Pengantar”, dalam Zakiyuddin Baidhawi, (ed.), 1997, Wacana Teologis Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. vii. 1
2
terabaikan dalam kajian antropologi tradisional. Wanita hanya digambarkan secara deskriptif, bukan bersifat empirik. Tidak sulit menemukan kajian dan studi para sosiolog dan antropolog yang berputar pada masalah hubungan kinship dan perkawinan. Padahal, menurut Heinrich Schrutz, perempuan adalah makhluk sosial, yang lebih suka berada dalam kelompok kekerabatan berdasarkan atas ikatan seksual dan fungsi reproduksi daripada membentuk unit tersendiri berdasarkan kepentingan yang diterima bersama,3 secara universal. Terdapatnya bias yang bersifat ekstrinsik dalam kajian sosio-antroplogi merupakan persoalan lain yang menambah daftar “kesalahan” para sosiolog dan antropolog mendeskripsikan wanita beserta peran dan fungsinya. Bias intrinsic ini secara umum datang dari laki-laki yang menurut Henrietta L. Mooer memiliki tiga tingkatan dan komponen.4 Bias pertama datang dari para antropolog sendiri baik ia seorang pria maupun wanita. Dalam penelitian mereka kebanyakan sudah didasarkan pada asumsi dan harapan kuat bahwa antara pria dan wanita memiliki hubungan yang signifikan, meskipun keduanya, pria dan wanita, memiliki permasalahan yang seimbang secara holistik. Akan tetapi, dalam hubungan ini bias laki-laki tidak jarang ikut terbawa dalam penelitian lapangan. Kondisi dapat dimengerti karena, pada umumnya, pria dipandang lebih mudah didekati dan mudah diajak berkomunikasi. Di samping itu, pria dianggap lebih menguasai informasi mengenai sesuatu hal. Sehingga para antropolog lebih cenderung meneliti pria, walaupun ada penelitian tentang wanita namun tetap saja dalam perspektif pria, dibanding wanita.5 Bias kedua terdapat dalam suatu komunitas masyarakan yang menjadi obyek penelitian. Hampir semua kelompok masyarakat, untuk tidak mengatakan seluruhnya, memandang bahwa wanita hanya menjadi subordinat pria. Wanita, menurut mereka, secara umum teralienasi dalam dunianya sendiri terlebih lagi dalam dunia yang diominasi budaya partriarkhi. Fenomena social ini yang kemudian terbangun, atau dibangung, dalam image para antropolog dalam penelitian mereka. Bias ketiga adalah yang sudah mengakar dalam budaya Barat. Alasannya adalah dalam implementasi penelitian lapangan para peneliti seringkali merasakan adanya relasi yang bersifat asimetris antara pria dan wanita dalam kebudayaan lain. Dalam ungkapan lain, mereka berasumsi bahwa hubungan asimetris antara pria dan wanita tersebut dapat dikiaskan dalam kebudayaan yang sedang mereka teliti dan pelajari. Kondisi demikian bukan tidak disadari oleh mereka, akan 3
William A. Haviland, 1993, Antropologi, terj. R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga, h. 14. Henrietta L. Moore, 1998, Feminisme dan Antropologi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, h. 10. 5 Rayna Rapp Reiter, 1975, Toward on Anthropology of Women, New York: Monthly Review Press h. 14. 4
tetapi lebih disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam mengoptimalkan pemahaman atas potensi kesetaraan antara keduanya tersebut. Itulah sebabnya, mengapa para peneliti dalam social dan antropologi berpendirian bahwa mereka tidak bisa bergerak dari perbedaan dan keasimetrisan sebagai ketidaksetaraan dan hirarki tersebut. Bias ketiga, menurut penulis, kebanyakan masyarakat, untuk mengatakan seluruhnya, memiliki kecenderungan kuatnya dominasi partriarkhi dalam kehidupan social mereka. Kecenderungan seperti demikian, sepatutnya tidak perlu terjadi bila saja masyarakat, terutama kaum Muslimin, memahami dengan baik pesan Al-Qur’ān. Dalam Al-Qur’ān secara tegas disebutkan bahwa Tuhan telah menjadikan manusia sebagai sebagai khalifah di bumi (Q.S. alBaqarah 2 : 30). Ayat ini, secara tekstual dan kontekstual, dengan jelas menyebut bahwa yang menjadi “pengganti” Tuhan di bumi itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Karenanya, tidak perlu adanya bias gender dalam kehidupan social kemasyarakatan; sebab setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan memiliki fungsi dan perannya sendiri-sendiri sesuai dengan kapasitasnya.6 Laki-laki dan perempuan, dalam penjelasan Al-Qur’ān, memiliki status, hak serta kewajiban yang egaliter di hadapan Tuhan. Tidak ada sesuatu yang menjadikan salah satunya mengungguli yang lain kecuali dengan taqwa; suatu sikap yang sangat memperhatikan larangan dan perintah agama. Tuhan tidak pernah, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’ān, membedakan amalan yang dikerjakan laki-laki dan perempuan. Siapa saja, baik laki-laki dan perempuan yang berbuat baik akan mendapat balasan yang setimpal dari amalan yang mereka kerjakan (Q.S. Alu Imran 3 : 190). Karenanya, jelas bahwa wanita dan pria memiliki hak yang sama. Namun, yang terjadi, di era modern sekarang ini, adalah sebaliknya. Wanita, yang juga manusia dan memiliki posisi yang sama dengan pria, sebagai khalifah, seakan terlupakan dalam setiap kegiatan; sosial, ekonomi dan politik. Tulisan ini mencoba mendiskusikan gender dalam perspektif antropologi dengan menggunakan kacamata Islam. Titik sentral dari pembahasan ini adalah bagaimana perspektif Islam tentang gender ditinjau dari aspek antropologis.
Amrita Basu, 1995, The Challenge of Local Feminism: Woman’s Movement in Local Perspective, Boulder, Colo: Westview, h. 212; Bandingkan Charlotte Bunch and Roxanna Carillo, 1990, “Feminist Perspectives on Woman Development”, in Irene Tinker, ed., Persistent Inequalities: Woman and World Development, New York: Oxford University Press, h. 70-82. 6
Wanita dan Antropologi Di akhir abad ke-20 ini, telah terjadi pergeseran paradigma berpikir dalam melihat pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang lebih dikenal dengan sebutan gender. Antara tahun 1600 – 1700-an, gerakan feminisme di Barat banyak dipengaruhi oleh filsafat yang dikembangkan oleh para filosof Barat. Kondisi tersebut mendapat momentumnya pada abad ke20 ketika Jean-Paul Sartre, filosof berkembangsaan Perancis, mencetuska pemikiran filsafatnya yang menitikberatkan pada eksistensialisme. Pemikiran eksistensialisme Sartre didasarkan pada kepercayaannya bahwa manusia diciptakan Tuhan tidak memiliki sifat alami, fitrah, atau esensi (innate nature). Sifat alami, fitrah dan innate nature tersebut, menurut Sartre, diciptakan sendiri oleh manusia yang kemudian dengan itu dia disebut eksis sebagai manusia. Karenanya apa yang disebut esensi manusia pada dasarnya adalah socially created yang tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial di mana ia berada. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk Tuhan yang bebas dan merdeka dalam menciptakan esensinya sendiri yang dengan itu dia menjadi eksis. Pemahaman ini diterapkan oleh Simone de Beauvoir untuk menolak eksistensi sifat alami pria dan wanita. Dalam bukunya Secondary Creation, Simone menyatakan bahwa secara kultural perempuan telah diposisikan sebagai manusia sekunder; yang tugasnya hanya mengasuh keluarga dan anaknya serta memelihara lingkungan hidup. Peran seperti demikian, lanjut Simone, bukan merupakan sifat alamiah dan bawaan perempuan. Dalam ungkapan lain, keadaan demikian bukan merupakan nature tapi nurture. Yang pertama dalam Islam dikenal dengan istilah “kodrat”. Norma-norma feminin yang terlihat pada perempuan seperti, mengandung dan melahirkan. Sedangkan yang kedua bersifat kultural, hadharah, seperti memelihara anak menjaga keluarga. Situasi dan kondisi seperti, tambah Simone, tercipta lebih disebabkan karena sifat yang dikulturkan oleh sistem patriarkhi. Menurut pemahaman ini, kulturisasi norma feminin dilangsungkan dan dilaksanakan oleh sistem partriarkhi dengan tujuan agar perempuan dapat “ditindas”. Perempuan mestinya, tandas Beauvoir, harus mampu melepaskan diri dari norma-norma tersebut, agar mereka dapat menentukan eksistensinya sendiri.7 Sulit untuk menemukan dalam literature agama, baik AlQur’ān maupun al-Hadits yang menekankan secara kuat bahwa wanita itu harus tunduk dan mengikuti
secara buta, tanpa
mempertimbangkan berbagai
aspek dan
akses
yang
Ratna Megawangi, “Bunga Rampai”, dalam Sachiko Murata, 1993, The Tao of Islam, terj. M.S Nasrullah, Bandung: Mizan, hlm. 9. 7
ditimbulkannnya, semua apa menjadi perintah dari laki-laki. Karena, perempuan, sebagaimana laki-laki, juga diberi oleh Tuhan akal dan perasaan sebagai instrument bagi dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Karenanya, sulit untuk menerima klaim bahwa perempuan “tidak berdaya” bila berhadapan dengan laki-laki.8 Meski keadaan seperti itu, celakanya hampir semua perempuan, untuk tidak mengatakan semuanya, menyetujui dan menerima secara sukarela kekuasaan serta dominasi pria atas dirinya. Bentuk kekuasaan yang dikenal dengan istilah hegemoni ini, tanpa terasa, ikut merasuk dalam kajian antropologi. Posisi wanita dalam kajian antropologi, serta ilmu social lainny, senantiasa hanya menempati posisi sebagai second information. Informasi dari mereka baru bisa diakui dan diterima bila telah mendapat legitimasi dan dikuatkan oleh pria. Para perempuan, di mata para peneliti tidak memiliki independensi dalam menyampaikan keinginan dan kemauan mereka secara merdeka; mereka harus mendapatkan persetujuan dari pihak laki-laki. Semuanya tergantung bagaimana persetujuan laki-laki. Sehingga mereka menjadi, dalam istilah Edwid Ardener, kelompok yang tidak bersuara atau bungkam.9 Kelompok ini dibuat bungkam oleh struktur dominan dalam segala segi kegiatan; sosial, ekonomi dan politik. Kebungkaman itu juga akibat ralasi-relasi dominan yang terdapat di antara kelompok dominan dan sub-dominan dalam masyarakat. Segala aktivitas dan tanggung jawab mereka dibekukan dan dibungkam. Kebungkaman itu terjadi karena mereka sebagai wanita. Mereka tersungkur dan terhalangi dari struktur masyarakat yang didominasi pria. Dengan sikap ini, mereka memunculkan perspektif sendiri tentang pandangan dunia sendiri, berbeda dengan yang dipahami pria. Mereka mengekspresikan pandangan tentang dunia tidak dengan menggunakan terminologi model pria yang dominan. Bahasa yang mereka pergunakan dalam melihat dunia berbeda dengan pria. Mereka menggunakan bahasa yang tidak langsung, berbisik dan bergumam. Sehingga dunia dalam perspektif wanita berseberangan dengan pria. Mereka menjadi subordinasi dari ordinasi dan dominasi yang mayoritas.10 Analisis tentang subordinasi wanita/feminin ditentukan atas beberapa pertimbangan dalam relasi-relasi yang berdasarkan gender. Analisis antropologi yang mengkaji studi gender, 8 Miriam Cooke, 2001, Woman Claim Islam: Creating Islamic Feminism through Literature, New York: Routledge. 9 Henrietta L. Moore, Feminisme, h. 12. 10 Ann Elizabeth Meyer, 1995, “Cultural Pluralism as a Bar to Woman’s Right: Reflections on the Middle Eastern Experience” in Julia Peters and Andrea Wolper, eds., Woman’s Right Human Right: International Feminist Perspective, New York: Routledge, h. 179.
berangkat dari dua perspektif yang berbeda. Namun, keduanya tetapi saling terkait antara satu dengan lainnya. Khosrowkhavar melihat bahwa gender, dalam antropologi, dapat dilihat sebagai suatu konstruksi simbolik maupun sebagai suatu hubungan sosial.11 Konstruksi simbolik karena dia adalah manusia yang berbeda secara seksualitas dari pria. Bahwa secara alamiah wanita berbeda dengan laki-laki, dan secara nyata dia harus tunduk kepada laki-laki. Sedangkan untuk yang kedua, wanita memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu komunitas sosial masyarakat yang saling berhubungan. Perbedaan sexual tidak memberikan dasar yang universal dalam definisi sosial. Peran kebudayaan dalam membedakan jenis kelamin merupakan variabel yang tidak terbatas, sehingga sex tidak memiliki peran yang menentukan. Wanita dan pria merupakan produk dari hubungan sosial, bila kita mengubah hubungan sosial berarti kita mengubah katagori ‘wanita’ dan ‘pria’.12 Tidak selamanya informasi yang diberikan pria merupakan model yang akrab dengan para antropolog. Kalaupun itu terjadi, lebih disebabkan karena memang para peneliti, bahkan juga kita, hidup dan terdidik dalam ilmu yang pria-sentris. Kita, pria dan wanita, hidup dalam lingkaran dominasi dan selalu berorientasi pada pria. Egaliter yang disusun dan sudah terstruktur di Barat, di mana pria disatukan dalam masyarakat sebagai sesuatu yang inherently. Keadaan ini menguatkan asumsi yang telah terbangun, tidak terkecuali para antropolog, bahwa ‘pandangan laki-laki adalah juga pandangan masyarakat’ secara menyeluruh,13 termasuk para wanita di dunia Islam. Di tambah lagi dengan perspektif Barat, seperti yang diungkap oleh Annemerie Schimmel,14 yang memandang secara negatif mengenai sepak terjang dan posisi wanita dalam agama, khususnya Islam. Selama ini kajian Barat tentang wanita dalam Islam, lanjut Schimmel, hanya jatuh pada kajian tentang kasus poligami dan mudahnya perkara perceraian,15 padahal cukup banyak variasi obyek yang bisa diangkat dari kajian tentang gender dalam Islam. Farhad Khosrowkhavar, 2000, “Toward an Anthropology of Democratization in Iran”, Critique, no. 16 (Spring), h. 3-30. 12 Penelope Brown dan L.J. Jordanova, 1982, “Oppresive dichotomies: the nature/cultur debate”, dalam The Cambridge Women’s Studies Group, ed., Women in Society, London: Virago, h. 393. 13 Henrietta L. Moore, Feminisme, h. 14. 14 Islamolog kelahiran Erfurt, sebuah kota kecil di Jerman bagian tengah. Seorang sarjana yang menghibahkan hidupnya untuk mendalami tasawuf dan studi Islam, dan menguasai lebih dari 10 bahasa. Salah satu karyanya mengenai wanita adalah Jiwaku adalah Wanita, yang didalamnya termuat riwayat hidupnya yang ditulis sendiri olehnya. Buku yang aslinya berjudul Meide Seele ist eine Frau: Das Wibliche im Islam, terbitan Kosel, Munchen, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti diterbitkan oleh Mizan tahun 1993. Untuk riwayat hidupnya lihat halaman 13-39. 15 Annemarie Schimmel, “Pengantar”, dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam, h. 22. 11
Kebanyakan tulisan-tulisan mereka mengenai wanita dalam Islam dan hak-haknya, hanya berbicara dalam skala global dan universal, yaitu “konsep hak-hak asasi manusia”. Terlebih lagi, unsur dan segi-segi etimologi yang mereka pakai dalam tulisan tersebut hamper seluruhnya menggunakan standar keilmuan Barat. Itulah sebabanya, tandas Schimmel, para sarjana Barat, secara umum, sulit menemukan dan mengurai karakteristik dalam padangan Islam terhadap manusia dan hak-hak asasinya. Para sarjana Barat selalu mengikuti dan mengutip pernyataan-pernyataan yang dikembangkan para pendahulu mereka pada abad pertengahan; perempuan dalam Islam tidak memiliki jiwa. Kondisi tersebut tambah diperparah dengan berbagai kejadian dan peristiwa yang terjadi di dunia Islam, pada dekade ini, yang ikut mendukung keyakinan para pengkritik dan memperkuat kesan mereka bahwa perempuan dalam suatu masyarakat militan dan fundamentalis, merupakan kelompok tertindas tanpa hak, dan tidak mampu menyuarakan pendapat-pendapat mereka atau terlibat dalam masalah agama mereka sendiri.
Wanita dalam Islam “Wanita selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi wanita”, ungkapan seorang Prof. Friedrich Huiler yang dikutip oleh Annemarie Schimmel.16 Dalam pandangan Huiler, cukup banyak kasus yang tidak mengenakkan yang dialami perempuan disebabkan oleh agama tertentu. Akan tetapi, dalam kasus Islam, tidak sulit untuk menemukan dalam literature agama (Islam) kedudukan, fungsi dan peran perempuan dalam kehidupan social dan keagamaan mereka. Agama Islam begitu menghormati kedudukan perempuan baik sebagai nurture maupun secara culture. Secara nurture bahwa perempuan memiliki kodrat untuk melahirkan dan menyusui, sementara culturally, melayani suaminya dalam rumah bisa tidak juga dipermasalahkan oleh agama Islam. Tidak sedikit ayat Al-Qur’ān terlebih hadits Nabi yang menjelaskan kedudukan dan posisi wanita dalam Islam. Gerakan feminisme dan kesetaraan gender Barat pada periode 1960 – 1970-an diwarnai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan hak agar para perempuan dapat menyamai pria dalam segala bidang; sosial, ekonomi dan kekuasaan politik. Tuntutan para feminis tersebut adalah ‘kungkungan’ yang dibuat oleh para laki-laki, dengan dominasi partriakhinya, harus segera dibongkar dari kehidupan social kemasayarakat para perempuan. Akan tetapi, dibalik 16
Annemarie Schimmel, 2002, Jiwaku adalah Wanita, Bandung: Mizan.
keberhasilan itu, banyak yang menyatakan bahwa para perempuan bukan saja telah ‘beradaptasi’ menjadi maskulin. Dalam ungkapan lain, para perempuan lebih mengedepankan aspek maskulinnya disbanding femininnya yang sebagai kodrati adalah anugerah Tuhan. Bahkan, tidak sedikit dari para perempuan, terutama di Barat, yang telah mengadopsi nilai-nilai maskulin yang pada dasarnya dikritiknya. Mereka tidak saja mengenal ‘dunia’ yang digeluti oleh para laki-laki tetapi mereka bahkan merambah masuk ke dalam dunia teresebut. Akibatnya, mereka meninggalkan kodratnya sebagai wanita mengasuh dan menyusui anak mereka, sebagaimana yang menjadi bagian dari perintah Islam.17 Dalam rentang sejarah Islam yang panjang, keikutsertaan wanita dalam berbagai kegiatan; sosial, ekonomi dan kekuasaan politik berlangsung sesuai dengan kebutuhan zaman. Bukankah khadijah r.a., istri Nabi pertama dan lebih tua dari beliau, merupakan salah seorang konglomerat wanita pada masanya? Khadijah tidak saja ‘berdiri’ sebagai istri dari Nabi Saw. tetapi juga ikut aktif dalam kegiatan social kemasyarakatan seperti ekonomi, sosial dan tidak ketinggalan dunia politik. Khadijah ikut berperan aktif dalam setiap kegiatan dakwah suaminya, ketika ditinggalkan sendirian oleh sanak keluarganya, seperti Abu Lahab. Contoh lain yang sangat bagus untuk menggambarkan sosok wanita yang integral dengan segala kegiatan adalah ‘Aisyah, istri termuda dan paling cerdas dari semua istri Nabi. Dari dia banyak hadis tentang kehidupan pribadi Nabi Saw. dalam rumah tangga yang diterima oleh pengumpul hadis; Bukhari, Muslim, Nasa’i dan lainya. ‘Aisyah adalah wanita yang ikut angkat senjata, bahkan memimpin perang ketika terjadinya perebutan kekuasaan khilafah antara ‘Ali dan Mu’awiyyah, yang bersifat politis. Walau tidak semua Muslim sepakat dengan sepak terjangnya ketika menentang kekhalifahan ‘Ali, baik kalangan Sunni maupun Syi’ah; itu menjadi bagian sejarah yang tidak bisa diabaikan hanya karena perbedaan ideology semata.18 Al-Afghani dalam bukunya ‘A’isyah wa al-Siyasah, mendeskripsikan dan memposisikan ‘Aisyah, serta para perempuan pada umumnya, pada jurang terjal dengan mengatakan, “Sepertinya Allah Swt.
Suzzane Gordon, 1991, Prisoners of Men’s Dreamer, Striking Out for a New Feminine Future, Boston: Little, Brown and Company; Bandingkan dengan Jati Diri Wanita Menurut Al-Qur'an dan al-Hadis, terj. Mujiyo, Bandung: al-Bayan, dan Hibbah Rauf Izzat, 1997, Wanita dan Politik; Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani, Bandung: Remaja Rosda Karya. 18 Kelompok yang disebut terakhir, menilai bahwa ‘Aisyah ikut memperkeruh suasana ketika itu. Dan dalam literatur kaum Syi’ah, A’isyah bahkan dibandingkan dengan sapi kekuning-kuningan, kurban yang diserahkan kepada Musa dalam Q.S. 2 : 67-72. Lihat, Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, h. 60. 17
menciptakan wanita untuk menyambung keturunan, mendidik generasi muda, dan menjalankan rumah tangga…”.19 ‘Aisyah r.a., sebagai perempuan, terlepas dari berbagai polemik di atas, telah menunjukkan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan pria dalam berbagai kegiatan sosial dan permasalahan umat, termasuk politik. Berpolitik bagi wanita bukanlah hal yang tabu, dan harus dihindari. Wanita juga harus mampu memegang kendali dalam kontrol sosial bagi masyarakatnya, dan kontrol politik bagi pemerintah. Apabila politik Barat didefinisikan berkaitan dengan berbagai konsep bangsa, undang-undang, kekuasaan, kepentingan bersama dan negara, mengembangkan nilai-nilai persaingan dan rekayasa, solusi yang adil, serta memberikan porsi bagi kehidupan empiri,20 maka konsep politik Islam yang integral dan holistik ialah melakukan sesuatu yang sesuai bagi pribadi seseorang; berupa perbaikan manusia dengan memberikan pandangan untuk mereka agar meniti jalan yang selamat di dunia dan akhirat.21 Namun, karena pengaruh gerakan legalistik dan asketik yang semakin meningkat selama berabad-abad, wanita dalam Islam berpindah posisi yang pernah dijalani oleh dua istri Nabi Saw., yakni Khadijah dan Aisyah, ke posisi yang berbeda. Berbagai faktor yang menyebabkan bergesernya paradigma posisi perempuan dalam Islam tersbut seperti banyak tafsiran ayat-ayat Al-Qur’ān dan pemahaman hadits Nabi Saw banyak dilakukan oleh para pria. Sedikit sekali, untuk mengatakan tidak ada, tafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’ān dan pemahaman atas hadits Nabi Saw yang dilakukan oleh para perempuan.22
Refleksi Nabi Muhammad memandang wanita sebagai makhluk yang “ideal” dengan perspektif integral dan komprehensif. Pandangan yang memperlihatkan berbagai dimensi yang manfaatnya tidak hanya bisa diambil pada masanya saja. Perspektif ini juga sejalan dengan fitrah kemanusiaan yang murni dan asli tanpa mengambil karakter dan kecenderungan-kecenderungan pada dirinya, sebagai Nabi. Kiranya ini yang luput dari pantauan para kritikus Barat.
19
Lihat Fetima Mernissi, 1994, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka, h. 8. Alan C. Issac, 1985, Scope and Methodes of Political Sciencies, Illinois: The Dorsey Press, h. 17. 21 Hibbah Rauf Izzat, Wanita dalam Islam, h. 74. 22 Amani Qandil, “Tarikh al-Siyasah al-‘Ammah ka Ahad Madakhir Dirasah al-Nuzhum al-Siyasiyyah”, dalam Al-Sayyid Abd. Al-Muthalib Ghanim, dkk., 1987, Ittijahat Haditsah fi ‘Ilm al-Siyasah, Kairo: Maktabah alNahdhah al-‘Arabiyah, h. 103-138. 20
Tetapi, dalam hal ini para pemikir tidak selamanya berada pada posisi bersalah. Karena masalah ini, di abad post-industri ini, sudah menglobal dan merambah ke berbagai belahan. Sehingga, semestinya para pemikir lain, khususnya Islam yang dikonter Barat, menggali dan mengadakan reinterpretasi atas masalah dan permasalahan ini. Karena pada dasarnya, Islam memiliki konsep dan grand theory untuk mengembangkan isu ini lebih baik. Sebab landasan yang dijadikan acuan adalah norma yang tetap terjaga hingga sekarang, dan yang selalu membimbing setiap langkah dan kegiatan manusia menuju ke arah yang lebih baik. Islam tidak menjadikan wanitanya hanya menjadi subordinat dari laki-laki. Dia harus berperan aktif dalam menentukan eksistensinya. Secara kodrati, wanita hanya memiliki dua kewajiban yang tidak bisa dialihkan kepada lawan jenisnya, laki-laki, mengandung dan melahirkan. Sedangkan kewajiban lain, seperti menyusui dan mengasuh adalah tanggung jawab yang bisa dialihtugaskan kepada orang. Kewajiban pertama adalah nature, kodrat, sedang yang kedua adalah nurture, hadharah, budaya. Nabi Saw. sendiri disusui oleh seorang wanita Badui, yang tinggal di gurun Sahara, sebagaimana juga Nabi Musa yang diasuh oleh istri yang dikemudian hari menjadi orang yang paling menolak posisi Musa sebagai Nabi utusan Allah. Dari perspektif Islam, lebih diperbanyak lagi kajian tentang tafsir Al-Qur’ān dan pemahaman hadits yang dilakukan oleh para sarjana atau ulama peremuan. Demikian juga, dalam kajian antropologi terutama yang mempelajari gender mestinya para sarjana perempuan yang lebih aktif. Agar perspektif gender lebih didominasi oleh pemikiran perempuan sehingga bias gender bisa diminimalisir, bahkan kalau bisa dihilangkan.
Daftar Pustaka Baidhawi, Zakiyuddin, (ed.), 1997, Wacana Teologis Feminis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Basu, Amrita, 1995, The Challenge of Local Feminism: Woman’s Movement in Local Perspective, Boulder, Colo: Westview. Brown, Penelope, dan Jordanova, L.J., 1982, “Oppresive dichotomies: the nature/cultur debate”, dalam The Cambridge Women’s Studies Group (ed.), Women in Society, London: Virago. Bunch, Charlotte, and Roxanna Carillo, 1990, “Feminist Perspectives on Woman Development”, in Irene Tinker, ed., Persistent Inequalities: Woman and World Development, New York: Oxford University Press. Cooke, Miriam, 2001, Woman Claim Islam: Creating Islamic Feminism through Literature, New York: Routledge. Gordon, Suzzane, 1991, Prisoners of Men’s Dreamer, Striking Out for a New Feminine Future, Boston: Little, Brown and Company. Haviland, William A., 1993, Antropologi, terj. R.G. Soekadijo, Jakarta: Erlangga. Issac, Alan C., 1985, Scope and Methodes of Political Sciencies, Illinois: The Dorsey Press. Izzat, Hibbah Rauf, 1997, Wanita dan Politik; Pandangan Islam, terj. Bahruddin Fannani, Bandung: Remaja Rosda Karya. Khosrowkhavar, Farhad, 2000, “Toward an Anthropology of Democratization in Iran”, Critique, no. 16 (Spring), h. 3-30. Megawangi, Ratna, “Bunga Rampai”, dalam Sachiko Murata, 1993, The Tao of Islam, terj. M.S Nasrullah, Bandung: Mizan. Mernissi, Fetima, 1994, Wanita di dalam Islam, terj. Yaziar Radianti, Bandung: Pustaka. Meyer, Ann Elizabeth, 1995, “Cultural Pluralism as a Bar to Woman’s Right: Reflections on the Middle Eastern Experience” in Julia Peters and Andrea Wolper, eds., Woman’s Right Human Right: International Feminist Perspective, New York: Routledge. Moore, Henrietta L., 1998, Feminisme dan Antropologi, terj. Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI, Jakarta: Obor. Mujiyo, t.th., Jati Diri Wanita Menurut Al-Qur'an dan al-Hadis, terjemahan, Bandung: al-Bayan. Murata, Sachiko, 1993, The Tao of Islam, Bandung: Mizan. Qandil, Amani, “Tarikh al-Siyasah al-‘Ammah ka Ahad Madakhir Dirasah al-Nuzhum alSiyasiyyah”, dalam Al-Sayyid Abd. Al-Muthalib Ghanim, dkk., 1987, Ittijahat Haditsah fi ‘Ilm al-Siyasah, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-‘Arabiyah. Reiter, Rayna Rapp, 1975, Toward on Anthropology of Women, New York: Monthly Review Press. Schimmel, Annemarie, 1998, Jiwaku adalah Wanita, terj. Rahmani Astuti, Bandug: Mizan.