Gastrointestinal Disorder in Infant Born with Small for Gestational Age Prof. Dr. M. Juffrie, PhD, SpA (K) Untuk membicarakan mengenai gangguan sistem gastrointestinal pada bayi dengan small for gestational age (SGA), ada baiknya kita mengulas kembali mengenai pembentukan sistem gastrointestinal pada masa kehamilan. Sistem gastrointestinal terbentuk pada minggu ke-4 kehamilan, berupa saluran memanjang yang terdiri atas 3 bagian besar, yaitu bagian atas, tengah, dan bawah. Ketidaksempurnaan dalam sistem pembentukan sistem gastrointestinal pada masa kehamilan akan menyebabkan bayi yang lahir mengalami kelainan kongenital, seperti omfalokel, dll.
Kemudian kita mengenal istilah mekonium. Mekonium adalah kotoran yang berwarna hijau tua atau kehitaman yang berkumpul di saluran cerna janin pada saat mendekati usia cukup bulan. Gangguan sistem gastrointestinal yang dapat muncul pada masa neonatus antara lain: 1. Meconium plug syndrome Kelainan ini disebabkan oleh mekonium yang tidak bisa keluar, biasanya terjadi pada colon descendens atau rektum. Gangguan ini berhubungan dengan beberapa penyakit seperti small left colon syndrome, hipotiroidisme, morbus Hirschsprung, dan CF. Untuk menegakkan diagnosis meconium plug syndrome diperlukan pemeriksaan saline/kontras enema. 2. Meconium ileus Meconium ileus adalah gangguan dalam pengeluaran mekonium yang menyebabkan adanya sumbatan (obstruksi) saluran cerna. Tanda klinis yang muncul pada kelainan ini adalah muntah dan distensi abdomen. Gangguan ini dapat menyebabkan perforasi gastrointestinal dan meconium peritonitis. Untuk menegakkan diagnosis ini diperlukan pemeriksaan foto polos abdomen, dan akan ditemukan adanya “soap bubble” pada kuadran kanan bawah. 3. Pneumatosis intestinalis Pneumatosis intestinalis adalah banyak udara dalam saluran cerna. 4. Defek dinding abdomen Defek dinding abdomen disebabkan oleh kelainan pada saat proses pembentukan dinding abdomen pada masa kehamilan. Gangguan yang sering muncul adalah omfalokel dan gastroskisis. Omfalokel adalah defek dinding abdomen berupa organ-organ saluran cerna berada
di luar dinding abdomen dan tertutup selaput pembungkus. Biasanya terjadi pada tengah abdomen. Kelainan ini biasanya berhubungan dengan kelainan kongenital lainnya. Gastroskisis adalah defek dinding abdomen berupa organ-organ saluran cerna berada di luar dinding abdomen tapi tidak dibungkus selaput. Biasanya terdapat di sisi sebelah kanan abdomen, dan umumnya berhubungan dengan abnormalitas gastrointestinal lainnya. Gangguan gastrointestinal yang dapat ditemukan pada bayi dengan SGA antara lain: 1. Refleks sendawa buruk. Bayi dengan SGA seringkali mempunyai refleks bersendawa yang kurang baik sehingga menyebabkan lambung penuh dengan udara. 2. Sfingter esofagus bagian bawah inkompeten. Sfingter esofagus yang tidak bisa menutup dengan sempurna pada bayi SGA berpotensi menimbulkan refluks gastroesofageal. 3. Refleks hisap dan menelan yang buruk Kesulitan dalam menelan dan menghisap seringkali menyebabkan malnutrisi pada bayi dengan SGA. 4. Kesulitan memenuhi kebutuhan kalori untuk pertumbuhan 5. Ketidakmampuan saluran cerna untuk menerima makanan yang osmolaritasnya tinggi 6. Kesulitan menyerap lemak jenuh 7. Kesulitan mencerna laktosa. Hal ini disebabkan jumlah dan aktivitas enzim laktase pada bayi SGA lebih rendah daripada bayi AGA. 8. Kesulitan menyerap kalsium dan fosfor 9. Meningkatnya kebutuhan oksigen dan basal metabolic rate 10. Intoleran terhadap makanan 11. Potensial untuk mengalami enterokolitis nekrotikans (NEC) 12. Hiperbilirubinemia
Di antara gangguan-gangguan tersebut yang paling sering ditemukan antara lain: 1. Regurgitasi. Regurgitasi adalah keluarnya isi lambung ke faring atau mulut. Regurgitasi adalah tanda obyektif untuk menilai adanya refluks pada bayi, walaupun bukan dalam bentuk GERD (gastroesophageal reflux disease).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh james Martin, et all tahun 2002, prevalensi terjadinya regurgitasi pada bayi usia 3-4 pertama adalah sekitar 41%, dan < 5% pada usia 13-14 bulan. Apabila regurgitasi terjadi pada bayi sampai 90 hari pada dua tahun pertama kehidupan akan meningkatkan risiko menjadi refluks gastroesofageal pada usia 9 tahun.
Berdasarkan meta-analisis beberapa clinical trial mengenai intervensi pemberian makan pada bayi dengan SGA untuk mengurangi terjadinya regurgitasi pada bayi, dapat disimpulkan bahwa pemberian ASI atau susu formula bayi yang dikentalkan (diberikan tepung) dapat mengurangi frekuensi terjadinya regurgitasi.
2. Intoleransi laktosa Intake laktosa bervariasi pada berbagai usia. Intake laktosa pada bayi adalah sekitar 35-55% dari total asupan harian. Rata-rata orang dewasa mengonsumsi 300 gram karbohidrat per hari, di mana hanya 5%-nya dalam bentuk laktosa.
Sebanyak 70% bayi normal mempunyai enzim laktase dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat mencerna laktosa dengan baik. Aktivitas laktase meningkat pada periode akhir kehamilan. Bayi preterm mempunyai kadar dan aktivitas laktase yang rendah, khususnya bayi yang lahir antara usia 28-32 minggu. Pada bayi SGA, insiden kekurangan enzim laktase cukup tinggi, sehingga laktosa yang merupakan asupan karbohidrat utama pada bayi tidak dapat tercerna dengan baik.
Kelebihan laktosa yang tidak dicerna ini akan difermentasikan oleh bakteri di colon sehingga membentuk asam laktat dan gas hidrogen (H2). Gas H2 menyebabkan bayi menjadi kembung. Asam laktat yang terbentuk akan menyebabkan diare osmotik dengan feses yang bersifat asam.
Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada bayi yang mengalami intoleransi laktosa antara lain kembung, nyeri pada bagian perut seperti rasa kram yang terlokalisasi di area periumbilikus atau kuadran bawah, sering kentut, muntah, diare dengan tinja yang banyak, encer, dan berbuih.
Cara mendiagnosis intoleransi laktosa pada bayi dapat dilakukan dengan berbagai cara, yang paling mudah adalah dengan mengamati kulit pantat bayi apakah ada warna kemerahan atau
tidak. Tinja yang bersifat asam pada intoleransi laktosa akan mengiritasi kulit bayi di daerah pantat, oleh karena itu kulit pantat bayi di sekitar lubang anus akan berwarna kemerahan.
Cara lain untuk mendiagnosis intoleransi laktosa adalah dengan breath hydrogen test (BHT) atau tes malabsorpsi laktosa, dan tes absorpsi laktosa. Prinsip yang dipakai dalam BHT adalah mengukur banyaknya gas hidrogen yang keluar pada saat bernapas sebagai produk laktosa yang tidak dicerna. Sedangkan pada tes absorpsi laktosa prinsipnya adalah menilai berapa banyak laktosa yang dicerna dengan mengukur kenaikan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi 50 gram laktosa pada menit ke-0, 60, dan 120.
Tatalaksana bayi yang mengalami intoleransi laktosa antara lain: a. Mengurangi diet laktosa. b. Mengganti laktosa dengan nutrien alternatif lainnya untuk mempertahankan asupan energi dan protein. c. Menambahkan substansi enzim laktase, akan tetapi ini belum ada di Indonesia. d. Mempertahankan asupan kalsium.
3. Enterokolitis nekrotikans (NEC) Patofisiologi terjadinya NEC adalah karena gangguan vaskularisasi atau aliran darah ke sistem gastrointestinal. NEC juga dapat terjadi akibat hipoksia atau syok. Prevalensi terjadinya NEC pada bayi SGA cukup tinggi.
Bayi yang mengalami hambatan pertumbuhan dalam rahim kurang mampu mengambil nutrisi dari plasenta melalui tali pusat. Ibu yang memiliki riwayat hipertensi, pre-eklampsia, eklampsia, dan/atau perdarahan antepartum mempunyai aliran darah ke plasenta yang lebih rendah daripada yang tidak mengalami kelainan tersebut. Aliran darah yang berkurang tersebut akan difokuskan untuk mempertahankan fungsi organ-organ vital seperti otak dan jantung, sehingga aliran darah ke tempat lain, seperti saluran cerna, akan lebih rendah. Akibatnya akan terjadi hipoksia sel-sel usus, dan kemudian menjadi nekrosis.
NEC terjadi pada dua minggu pertama kelahiran. Tanda dan gejala NEC antara lain: a. Toleransi makan yang buruk
b. Waktu pengosongan lambung (gastric emptying time) yang melambat c. Bising usus berkurang d. Distensi abdomen, kembung e. Muntah berwarna hijau kekuningan (bercampur dengan komponen empedu). Hal ini menunjukkan adanya obstruksi di bawah duodenum. f.
Warna kemerahan pada abdomen.
g. Tinja berdarah. h. Bradikardi, letargi, apneu, diare, suhu tubuh fluktuatif i.
Tanda-tanda yang lebih berat: adanya cairan bebas pada cavum peritoneum, adanya tandatanda syok.
Tatalaksana bayi dengan NEC antara lain: a. Mengistirahatkan saluran cerna, dan memberikan nutrisi parenteral. Akan tetapi, jika terlalu lama diberikan nutrisi parenteral, prognosis saluran cernanya akan memburuk. b. Pemberian antibiotik c. Pemberian makan secara enteral dengan menggunakan sonde lambung. d. Jika terbukti adanya sumbatan di saluran cerna maka perlu dirujuk ke dokter spesialis bedah.
4. Hiperbilirubinemia Jaundice (ikterus) fisiologis dapat muncul pada hari ke 3-5 setelah lahir, dengan kadar bilirubin > 12 mg/dl. Bayi preterm dan/atau SGA mempunyai kemampuan memetabolisme bilirubin yang lebih rendah dibandingkan bayi aterm, sehingga angka kejadian hiperbilirubinemia lebih tinggi.
Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus antara lain: a. Inkompatibilitas A, B, O, dan Rhesus. Ibu mempunyai golongan darah O, dan bayi mempunyai golongan darah selain O. Antibodi ibu masuk ke dalam plasenta dan menyerang aglutinogen bayi. b. Breastmilk jaundice. Ekskresi bilirubin berkurang karena asupan ASI yang kurang. c. Hemolisis ekstravaskuler. Biasanya disertai dengan adanya petechiae, cephalhematoma, atau bruises. d. Penyebab lainnya seperti polisitemia, obat-obatan, hipoglikemia, hipoksia.
Penilaian untuk hiperbilirubinemia adalah bila kadar bilirubin serum 8-12 mg/dl pada hari ke 1-2, dan lebih dari 12 mg/dl pada hari ke 3-5. Jika terdapat hepato/spnenomegali, toleransi makan buruk, edema, muntah, urine kuning pekat, dan ada demam maka ini adalah tanda bahaya yang menunjukkan bahwa ikterus yang terjadi bukan ikterus fisiologis.
Komplikasi yang dapat muncul pada keadaan hiperbilirubinemia adalah kerinkterus. Kernikterus muncul sebagai akibat dari kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi. Bilirubin indirek yang tinggi ini mampu melewati sawar darah otak sehingga menimbulkan beberapa gejala di antaranya berkurangnya refleks Moro, berkurangnya refleks hisap, toleransi makan yang buruk, high-pitch cry, sunset appearance pada mata, irritable, kejang, opisthotonus.