Gambar : www.phototips.biz
Diterbitkan oleh Pusat Sains Antariksa (Pussainsa) LAPAN Pelindung Kepala LAPAN Deputi Bidang Sains, Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Penanggung Jawab Kepala Pusat Sains Antariksa Redaktur Drs. Jiyo, M.Si. Editor Irvan Fajar Syidik, S.T. Johan Muhamad, S.Si Varuliantor Dear, S.T. Annis Siradj Mardiani,A.Md Kontributor Abdul Rachman, M.Si. Santi Sulistiani, S.Si. Fitri Nuraeni, S.Si. Rasdewita Kesumaningrum, M.Si Visca Welyanita, S.Si. L. Muhammad Musafar K., M.Sc. Asnawi, M.Sc
Timbul Manik, M.Eng. Siti Mutiara Fitry, S.Sos. Penata Letak Endah Oktaviani, S.Ds. Sekretariat Sucipto, S.A.B. Alamat Jl. Dr. Djundjunan No.133 Bandung 40173 Phone. (022) 6012 602 / 6038 005 Cell. 0813 2121 0002 Fax. (022) 6014 998 / 6038 005
Untuk pemesanan Buletin Cuaca Antariksa Kirim faks permohonan langganan Buletin Cuaca Antariksa ke :
(022) 6038 005 Contact Person :
Annis Siradj 0813 2121 0002
Daftar Isi 03 Lubang Korona Matahari 05 Populasi Sampah Antariksa 07 Monitoring Sintilasi Ionosfer di Indonesia 09 VLF Receiver
11 12 13 14
Cuaca Antariksa Aktivitas Matahari Aktivitas Geomagnet Indeks T Regional Indonesia Review : Cuaca Antariksa pada Puncak Siklus Matahari
Gambar : http://apacificview.blogspot.com
16 Pulsa Magnetik di Magnetosfer Bumi 17 Warta LAPAN: International Workshop on Space Weather in Indonesia 2013 18 Kalender Astronomi 19 Teka Teki Silang
Oleh :
Salam Redaksi Senang sekali kami dapat kembali menSenang sekali kami dapat kembali menyapa pembaca Buletin Cuaca Antariksa di manapun Anda berada. Tak terasa, telah satu tahun kami menemani pembaca dengan berbagai informasi mengenai cuaca antariksa melalui media ini. Semoga pembaca dapat memperoleh banyak manfaat dari Buletin Cuaca Antariksa yang telah terbit dalam satu tahun terakhir. Dalam perjalanan penerbitan Buletin ini, Tim Redaksi mengalami suka dan duka. Meski demikian, kami yakin bahwa itu semua menjadi pendorong bagi kami agar Buletin Cuaca Antariksa ini dapat terbit dengan lebih baik lagi. Kami juga banyak belajar dalam menampilkan isi buletin ini agar dapat lebih menarik dan berguna bagi pembaca. Pada edisi sebelumnya, pembaca kami suguhi dengan berbagai materi dengan tema-tema dan terminologi dasar tentang cuaca antariksa. Dari edisi-edisi tersebut, kami berharap pembaca dapat menambah wawasan tentang peristiwa yang terjadi di antariksa, serta ruang lingkup cuaca antariksa yang begitu luas. Atas dasar itu, mulai edisi ini, kami akan menyajikan tema-tema perkembangan penelitian cuaca antariksa, terutama yang dilakukan
Fitur matahari yang terlihat pada
Rasdewita Kesumaningrum korona antara lain streamer, plumes dan oleh LAPAN. Dengan begitu, pembaca dapat menambah pemahaman tentang cuaca antariksa dengan lebih dalam lagi. Selain itu, diharapkan pembaca juga dapat mengikuti perkembangan kemajuan penelitian mengenai cuaca antariksa, terutama di Indonesia. Meskipun demikian, kami tetap menyampaikan berbagai rubrik yang menjadi ciri khas Buletin Cuaca Antariksa. Pembaca dapat memperoleh informasi tersebut dalam rubrik-rubrik mengenai laporan kondisi cuaca antariksa dalam tiga bulan terakhir. Kami juga menyampaikan informasi seputar kegiatan yang diadakan oleh Pusat Sains Antariksa (Sainsa) LAPAN dalam rubrik Warta LAPAN. Tidak ketinggalan, kami juga menampilkan beberapa peristiwa astronomi yang akan terjadi dalam tiga bulan kedepan. Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada pembaca setia Buletin Cuaca Antariksa. Semoga edisi kali ini dapat memberi lebih banyak manfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca dan sampai jumpa lagi di edisi berikutnya!
ISSN 2303-2707
Bidang Matahari dan Antariksa
Korona adalah lapisan terluar atmosfer matahari yang dapat dilihat pada saat gerhana atau menggunakan instrumen khusus yaitu koronagraf. Daerah ini adalah asal angin matahari, dengan ketinggian dari permukaan dapat mencapai hingga 1 juta km dan temperatur yang sangat panas hingga mencapai temperatur 1-2 juta derajat Celcius, jauh lebih panas dibandingkan fotosfer matahari dan jauh lebih rendah kerapatannya yaitu 10-12 kali kerapatan fotosfer matahari. Pada temperatur tinggi ini, baik hidrogen maupun helium (unsur utama di matahari), di matahari terlepas dari elektronnya. Bahkan unsur-unsur lainnya seperti oksigen, nitrogen, karbon terlepas sama sekali dari intinya. Hanya unsur berat seperti besi dan kalsium yang dapat tetap mempertahankan elektronnya. Unsur-unsur yang mengalami ionisasi ini adalah materi korona yang disebut plasma.
lengkungan-lengkungan magnetik. Korona tampak terang pada panjang gelombang sinar-X karena temperatur yang sangat tinggi. Pada korona terdapat suatu daerah gelap yang disebut dengan lubang korona. Lubang korona adalah daerah dengan kerapatan plasma yang lebih rendah dari sekitarnya, dengan medan magnet terbuka. Lubang korona dapat diamati sebagai daerah gelap di permukaan matahari yang diukur dalam spektrum UV dan radiasi sinar-X, atau juga diamati sebagai daerah dengan intensitas terendah yang diukur di atas tepi matahari, yang terlihat selama gerhana matahari total atau dengan koronagraf . Citra lubang korona pertama kali dibuat oleh Skylab pada panjang gelombang sinar-X resolusi tinggi pada tahun 1973. Berdasarkan lokasi, lubang korona dapat diklasifikasikan sebagai lubang korona di kutub, dan lubang korona lintang menengah (Wang et al., 1996). Sepanjang aktivitas matahari rendah, lubang korona
lebih sering terdapat di kutub utara dan selatan matahari. Pada periode yang lebih aktif, lubang korona dapat terjadi di berbagai posisi lintang matahari. Rata-rata kuat medan magnet lubang korona berkisar 3 - 4 Gauss pada saat aktivitas minimum dan bisa mencapai 30 - 36 Gauss pada saat aktivitas matahari maksimum. Istilah lubang korona juga dimaksudkan untuk menyebut suatu daerah medan terbuka yang menjadi footpoint bagi aliran angin matahari dengan kecepatan tinggi.
Gambar 1. Struktur atmosfer matahari.
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013
3
Lubang korona dapat berasosiasi dengan lontaran massa korona (Coronal Mass Ejections – CME) atau erupsi filamen. Salah satu mekanisme yang menjelaskan kaitan lubang korona dan filamen serta CME adalah ketika di bawah lubang korona terdapat filamen yang mengalami erupsi, lubang korona berperan memantulkan filamen kembali ke permukaan matahari dan
Gambar 2. Citra Korona matahari hasil pengamatan AIA SDO pada EUV 193 Å. Terlihat adanya wilayah gelap yang disebut lubang korona, ditunjukkan dengan tanda panah. Atas: lubang korona pada saat aktivitas matahari minimum; bawah: lubang korona saat aktivitas matahari maksimum (bawah). (Credit: NASA/SDO)
memicu terjadinya CME di atas lubang korona (Jiang et al., 2007). Lubang korona dapat mempercepat angin matahari. Sebagai contoh, meskipun angin matahari pada kecepatan normal sekitar 400 km/s, namun angin matahari yang berasal dari pusat lubang korona dapat mencapai 800 km/s. Ketika partikel ini mencapai Bumi, sekitar 2 hingga 4 hari bergantung kecepatannya, badai geomagnet skala menengah dapat terjadi. Hembusan angin matahari kecepatan tinggi ini juga dapat mengganggu satelit pada orbit bumi. Meskipun lubang korona bukan fitur spektakuler seperti halnya flare, daerah aktif atau CME, lubang korona tetap menarik perhatian karena mer upakan sumber aliran angin matahari berkecepatan tinggi yang dapat
Gambar 3. Lengkungan medan magnet di matahari yang tertutup (A) dan terbuka (B). Pada medan magnet terbuka, terjadi aliran materi plasma ke ruang antar planet dibawa oleh angin matahari.
menimbulkan badai geomagnet besar. Adanya arus angin matahari kecepatan tinggi akan bertumbukan dengan ar us angin matahari berkecepatan rendah dan membentuk Corotating Interaction Region (CIR) di ruang antar planet dan interaksi antara CIR dan magnetosfer Bumi akan meningkatkan fluks elektron energetik (Cranmer, 2009)¥ Sumber: Cranmer, S., 2009, Coronal Holes, Liv.Rev. Sol. Phys., 6.3. Jiang, Yunchung, Liheng Yang, Kejun Li, Yuandeng Shen, 2007, Magnetic Interaction: An Erupting Filament and A Remote COronal Hole, Astrophys. Journal, 667: L105 - L108. Wang, Yi-Ming, Scott H. Hawley, dan Neil R. Sheeley Jr., 1996, The Magnetic Nature of Coronal Holes, Science Vol. 271 no. 5248 pp. 464-469. http://www.sohonascom.nasa.gov http://sdo.gsfc.nasa.gov http://physics.carleton.ca
Gambar 4. Ilustrasi aliran angin matahari dari lubang korona yang memengaruhi magnetosfer Bumi, mengancam satelit orbit Bumi serta memicu gangguan cuaca antariksa, menyebabkan aurora di lintang tinggi. (Credit: Janet Kozyra, NASA, & J. Geophys. Res.)
Gambar : http ://sxc.hu
4
Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Populasi Sampah Antariksa
Oleh : Abdul Rachman Bidang Matahari dan Antariksa
Gambar : http://www.ssloral.com/
Sampah antariksa saat ini mencapai 94% dari seluruh benda antariksa buatan yang mengorbit Bumi. Dari sekitar 17 ribu benda antariksa buatan, hanya sekitar 1000 di antaranya berupa satelit aktif (masih berfungsi). Studi sampah antariksa penting karena sampah tersebut dapat bertabrakan dengan satelit-satelit aktif dan jatuh ke Bumi jika ketinggiannya sudah cukup rendah sehingga berpotensi menimbulkan korban. Populasi sampah antariksa ditentukan oleh beberapa faktor. Peluncuran satelit baru (yang suatu saat akan menjadi sampah) dan jumlah benda jatuh hanyalah dua di antaranya. Pecahnya benda terutama akibat bertubrukan dengan benda lain adalah faktor yang semakin lama semakin besar perannya. Peluncuran satelit dan pecahnya benda menjadi faktor penambah (sources) populasi sampah antariksa, sedangkan jatuhnya benda adalah faktor pengurang (sinks). Penumpukan sampah akan terjadi jika faktor pengurang tidak mampu mengimbangi faktor penambah.
Jika dilihat perkembangannya sejak awal peluncuran satelit, penumpukan sampah antariksa secara umum terus terjadi (Gambar 1). Terlihat pada gambar tersebut bahwa kontributor yang paling berperan adalah pecahan ( fragmentation debris ). Lonjakan serpihan secara mencolok terjadi pada awal 2007, 2008, dan 2009 dikarenakan pecahnya satelit Fengyun 1C milik Cina pada 11 Jan 2007, pecahnya Cosmos 2421 milik Rusia pada 14 Mar 2008, dan pecahnya Iridium 33 milik Amerika Serikat dan Cosmos 2251 milik Rusia akibat bertabrakan pada 10
Gambar 1. Perkembangan populasi sampah antariksa sejak 1957 hingga 2012 (Sumber: NASA Orbital Debris Program Office).
Feb 2009. Peristiwa pecahnya satelit atau roket telah menjadi kontributor terbesar sampah antariksa setelah menggantikan peristiwa ledakan bekas roket. Matahari memegang peran yang sangat penting terkait populasi sampah antariksa. Peningkatan aktivitas Matahari akan menurunkan ketinggian bendabenda buatan di orbit rendah yang didominasi oleh sampah antariksa. Pengaruh peningkatan aktivitas Matahari pada sampah antariksa juga dikuatkan oleh rasio luas permukaan terhadap massa (area per mass) sampah antariksa yang
Gambar 2. Perbandingan aktivitas Matahari yang dinyatakan oleh indeks F10.7 dengan jumlah satelit + bekas roket yang jatuh.
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013
5
Monitoring Sintilasi Ionosfer di Indonesia
Gambar 3. Grafik rata-rata harian aktivitas Matahari yang dinyatakan indeks F10.7 dan smoothed value-nya sejak Jan 2009 hingga Okt 2012.
cenderung lebih besar dibanding benda-benda utuh seperti satelit dan bekas roket. Benda-benda yang Gambar 4. Grafik pertumbuhan populasi benda buatan yang berada di orbit (kiri) dan yang rapuh (area per mass-nya besar) jatuh (kanan) sejak Des 2008 hingga Okt 2012. memang lebih mudah meluruh ketinggiannya dibanding bendabenda yang lebih padat. Tidak mudah melihat korelasi aktivitas Matahari dengan pertumbuhan populasi sampah antariksa karena banyaknya faktor lain yang turut berperan. Namun, ada cara sederhana untuk melihatnya yakni dengan mengabaikan serpihan walau efek aktivitas Matahari memang paling berpengaruh ke serpihan tersebut. Hasilnya, walau masih kurang jelas, terlihat pada Gambar 2. Peningkatan aktivitas Matahari akan mengakibatkan adanya aliran massa dalam populasi sampah Gambar 5. Perbandingan jumlah benda buatan dengan ketinggian dalam rentang 600 – 700 antariksa. Benda-benda yang turun km dengan benda di bawah ketinggian 600 km. dari suatu ketinggian tergantikan antariksa secara umum meningkat menggunakan pendekatan teori gas oleh benda-benda baru yang berasal meski jumlah yang jatuh terus kinetik dengan model distribusi dari ketinggian di atasnya. Oleh menerus bertambah (Gambar 4). Poisson dapat dihitung bahwa k a r e n a i t u , p e n t i n g u n t u k Jika dirata-ratakan, 2,7 sampah probabilitas tabrakan LAPANmengetahui bagaimana kondisi antariksa bertambah setiap hari, TUBSAT pada Oktober 2012 adalah p o p u l a s i s a m p a h a n t a r i k s a sedangkan yang jatuh rata-rata hanya 33,8% lebih tinggi dibanding khususnya sekitar ketinggian satelit 1,1 setiap hari. Besarnya persentase probabilitasnya pada Desember Indonesia yang berada di orbit sampah Fengyun 1C, Cosmos 2251, 2008. rendah. Saat ini Indonesia memiliki dan Iridium 33 yang masih Selain memicu terjadinya aliran satu satelit di orbit rendah yakni mengorbit menjadi faktor utama massa dalam populasi sampah peningkatan populasi tersebut. LAPAN-TUBSAT. antariksa, aktivitas Matahari juga Di ketinggian antara 600 dan 700 mengurangi akurasi prediksi orbit Dengan menganalisis perkembangan jumlah benda km yang bisa didefinisikan sebagai benda-benda antariksa. Akibatnya, antariksa yang mengorbit dan yang ketinggian di sekitar LAPAN- resiko terjadinya tabrakan semakin jatuh di masa peningkatan aktivitas TUBSAT, ditemukan peningkatan b e s a r k a r e n a b e r k u r a n g n y a Matahari sejak Desember 2008 jumlah sampah secara kontinu sejak pengetahuan tentang orbit benda.¥ hingga Oktober 2012 (Gambar 3) Desember 2008 hingga Oktober ditemukan bahwa populasi sampah 2 0 1 2 ( G a m b a r 5 ) . D e n g a n 6
Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Ionosfer adalah bagian atas atmosfer bumi yang ber-ion. Kerapatan elektron di ionosfer pada ketinggian dan lokasi tertentu bergantung pada fluks sinar ultra violet kuat, komposisi muatan netral, dan dinamika angin netral, serta medan listrik. Dinamika dan perubahan kerapatan ion dan elektron di ionosfer bervariasi sebagai respon adanya perubahan cuaca antariksa. Pengamatan ionosfer adalah bagian dari pengamatan cuaca antariksa karena perubahan ion, elektron dan arus medan listrik di ionosfer menjadi indikator perubahan cuaca antariksa. Lapisan ionosfer akan merespon setiap perubahan cuaca antariksa yang dipicu oleh aktivitas matahari, seperti kemunculan flare, CME dan partikel berenergi tinggi yang dibawa oleh angin matahari dan masuk pada sistem magnetosfer dan ionosfer sehingga memicu badai geomagnet dan badai ionosfer. Badai ionosfer adalah salah satu bentuk gangguan pada ionosfer yang dapat menyebabkan masalah pada aplikasi gelombang radio seperti radio komunikasi, sistem navigasi sehingga penelitian gangguan ionosfer menjadi subjek yang penting dalam kontribusi riset cuaca antariksa. Sebelum mencapai Bumi, sinyal harus melalui ionosfer yang banyak mengandung ion-ion dan elektron dan akan memantulkan, membelokan, bahkan melemahkan gelombang radio dari satelit. Ketakteraturan kerapatan eletron di ionosfer akan menyebabkan gangguan pada putaran faraday sinyal dan sinyal mengalami fluktuasi secara cepat pada amplitudo dan fasa yang diterima di receiver. Fluktuasi ini dikenal sebagai sintilasi ionosfer. Penelitian gangguan sintilasi
Oleh : Asnawi Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
ionosfer pada sinyal satelit telah dimulai tahun 1970. Sampai saat ini telah banyak penelitian dan metode yang dikembangkan untuk meneliti sintilasi ionosfer dan salah satunya adalah dengan memanfaatkan sinyal satelit GPS (Global Postioning System). Sinyal satelit GPS pada pita frekuensi L (1,5 GHz) dimanfaatkan untuk meneliti perubahan kerapatan ionosfer, jumlah elektron total ionosfer (TEC, Total Electron Content) dan sintilasi ionosfer. Fenomena sintilasi memiliki k a i t a n d e n g a n ke mu n c u l a n gelembung plasma yang terjadi setelah matahari terbenam. Proses fisis kemunculan gelembung plasma adalah ketidakstabilan Rayleigh-Taylor. Sedangkan proses kimianya dikontrol dari efek
Gambar 1. Sinyal satelit yang melewati ionosfer terganggu oleh gelembung plasma.
Gambar 2. Sistem perima GPS (GISTM) dan PC pemroses data yang digunakan untuk monitoring sintilasi ionosfer.
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013
7
rekombinasi antara elektron dan ion positif, yang menyebabkan terjadinya gradien vertikal profil kerapatan elektron setelah matahari terbenam. Apabila ketidakstabilan terus berlanjut maka dapat memicu bagian bawah lapisan F ionosfer yang telah berkurang kerapatannya bergerak ke bagian atas yang lebih rapat. Fenomena pergerakan ini dikenal sebagai gelembung plasma. Saat terjadi gelembung plasma maka akan terjadi gradien keraptan elektron yang cukup tajam di ionosfer sehingga menyebabkan ketidakteraturan ionosfer dari skala kecil hingga menengah. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa gelembung pada plasma adalah identik dengan penurunan kerapatan elektron. Ketidakteraturan plasma akibat terbentuknya gelembung tersebut akan menyebabkan fluktuasi pada sinyal satelit yang melewatinya sehingga terjadi sintilasi. Monitoring Sintilasi ionosfer Pengamatan fenomena sintilasi ionosfer dilakukan dengan peralatan GISTM (GPS Ionospheric Scintillation and TEC Monitor), yaitu penerima GPS yang ditempatkan di Loka dan Balai pengamatan dirganta milik LAPAN dan stasiun kerjasama. GISTM telah dipasang di Loka dan Balai Pengamat Dirgantara LAPAN serta stasiun pengamat dirgantara kerjasama antara LAPAN dan Universitas untuk memantau sintilasi ionosfer. Lokasinya di Kototabang - Sumatra Barat,
Bandung, Pontianak, Manado (kerjasama UNSRAT-LAPAN) dan Kupang (kerjasama UNDANALAPAN). Lokasi dari GISTM ditunjukkan pada Gambar 3. Dengan distribusi letak GISTM ini maka monitoring diharapkan dapat mencakup selur uh wilayah Indonesia. Beberapa stasiun pengamat dirgantara tersebut telah terhubung jaringan internet via VPN sehingga data dapat diperoleh dengan mudah. Pe n g a m a t a n ke mu n c u l a n sintilasi dilakukan untuk semua sinyal satelit yang visible dalam satu hari. Grafik pada Gambar 4 adalah contoh indeks sintilasi dari 30 satelit (PRN) pada tanggal 30 Maret 2012. Setiap sinyal satelit yang ditangkap penerima GPS dalam satu hari pengamatan diberi tanda dan warna yang berbeda sehingga dapat diketahui dengan mudah sinyal satelit yang mengalami sintilasi ionosfer. Gambar 4 adalah contoh kemunculan sintilasi pada kategori kuat dengan indeks S4 > 0.5. Sintilasi kuat terjadi sekitar pukul 13:00 hingga 18:00 UT atau sekitar pukul 20:00 WIB hingga pukul 01:00 WIB dini hari. Dalam rentang waktu tersebut beberapa sinyal satelit mengalami sintilasi yaitu satelit (PRN) 4,7,11,13 dan 23. Variasi Sintilasi ionosfer Untuk melihat karakteristik kemunculan sintilasi maka data satu tahun pengamatan dikemas dalam bentuk kontur. Dari kontur dapat
dilihat perubahan kemunculan sintilasi pada setiap bulan. Hasil pengamatan dalam satu tahun dalam bentuk kontur ditunjukkan pada Gambar 5. Gambar 5 adalah contoh kemunculan sintilasi dalam satu tahun pengamatan di Loka Pengamatan Atmosfer Kototabang tahun 2012, yang menunjukkan sintilasi kuat muncul secara dominan pada bulan equinox yaitu Maret - April dan September Oktober. Peningkatan kemunculan sintilasi pada bulan equinox terkait dengan terminator matahari dan meridian medan magnet yang terbentuk pada bulan-bulan tersebut. Formasi medan magnet dan terminator matahari menyebabkan arus drift dynamo ExB di lapisan F ke arah ekuator sehingga meningkatkan ketidakteraturan plasma. Ketidakteraturan ini terkait juga dengan meningkatnya gelembung plasma pada bulan-bulan tersebut sehingga sintilasi terjadi secara intens pada bulan-bulan tersebut. ¥
VLF Receiver
Oleh : Timbul Manik Bidang Teknologi Pengamatan
Gambar : http://eishbergs.wordpress.com
VLF receiver adalah peralatan untuk memantau gelombang VLF (Very Low Frequency), spektrum 3-30 kHz) yang berasal dari alam (petir) maupun dari pemancar VLF tetap (fixed frequency transmitter). Rentang frekuensi yang lebih rendah (<10 kHz) untuk pengamatan gelombang VLF bersumber dari petir, sedang rentang frekuensi yang lebih tinggi (>10 kHz) untuk yang bersumber dari pemancar VLF. Manfaat pemantauan spektrum VLF ini tergantung dari sumber dan rentang frekuensi yang dipantau, meliputi
pemantauan SID akibat aktivitas matahari, pemantauan lapisan bawah ionosfer dan radio atmosferik, pemantauan magnetosfer dan whisler pada saat kondisi geomagnet tenang maupun saat terg ang gu, deteksi dan penentuan lokasi sambaran petir dan lain-lain. Penulis mencoba memaparkan beberapa peralatan VLF receiver terkait penelitian di LAPAN, baik yang sudah beroperasi, yang akan dioperasikan maupun yang sedang dalam pengembangan.
Gambar 5. Kemunculan sintilasi ionosfer selama 2012 di atas Kototabang.
Gambar 3. Distribusi letak GISTM dan lintasan satelitnya di seluruh wilayah Indonesia.
8
Gambar 4. Kemunculan sintilasi kuat S4> 0.5 yang terjadi pada 30 Maret 2012 jam 19:00 – 01:00 WIB.
Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Gambar 1. UKRA VLF Receiver, antena loop dan tuning unit, receiver, dan radio sky pipe data logging software (atas); SID Monitor, antena loop, SID monitor, data logger, dan PC; dan SuperSID Monitor, antena loop, SID monitor, PC sound card untuk AD converter dan PC data logging software (bawah).
UKRAA VLF Receiver, SID Monitor, dan SuperSID Monitor Ketiga jenis peralatan ini, merupakan peralatan pemantau SID (Sudden Ionospheric Disturbance), yaitu perubahan ionosfer yang terjadi tiba-tiba akibat perubahan aktivitas matahari/flare/CME. UKRAA VLF Receiver adalah buatan United Kingdom Radio Astronomy Association (UKRAA), sedang SID dan SuperSID Monitor buatan Stanford University. Prinsip kerja masing-masing peralatan sama, yaitu sinyal gelombang VLF yang sangat lemah yang dipantulkan oleh ionosferBumi dapat mencapai ratusan hingga ribuan kilometer dari sumbernya, yang terpengaruh oleh adanya perubahan di ionosfer, diterima oleh antena VLF (biasanya meng gunakan antena loop), diperkuat dengan pre-amp sekitar 1000 kali, di-filter, dan dikonversi ke sinyal digital menggunakan AD converter. Selanjutnya output berupa kuat sinyal dapat dibaca pada alat ukur, data logger, maupun PC software. Data yang diperoleh tidak memerlukan kalibrasi karena merupakan pengukuran sinyal dari matahari secara tidak langsung (indirect recording). Hal yang penting dari pengukuran ini adalah waktu perekaman sinyal (timing). SuperSID monitor merupakan generasi lanjutan, upgrade dari SID Monitor, lebih baik dan lebih kuat, tetapi berbiaya lebih murah. Kalau SID monitor dirancang untuk menerima frekuensi gelombang VLF tunggal, maka SuperSID monitor dapat me-monitor dan merekam beberapa gelombang VLF secara bersamaan. Pada SuperSID monitor, konversi sinyal analog ke digital dilakukan pada PC sound card. AWESOME dan Pontianak VLF receiver Kalau UKRAA VLF Receiver, SID Monitor, dan SuperSID Monitor
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013
9
ditujukan untuk edukasi, maka Stanford University juga membuat receiver yang lebih sensitif untuk tujuan riset dan edukasi, dinamai AWESOME (Atmospheric Weather Electromagnetic System for Observation Modeling and Education). Ada empat bagian besar komponen utama AWESOME yaitu antena (loop dan GPS) dan kabel, preamplifier, main amplifier, serta PC dan software. GPS digunakan untuk timing yang akurat, dan antena dua loop untuk menerima sinyal dari dua arah yang berbeda, biasanya U-S dan B-T. Jenis antena yang digunakan tergantung pada spesifikasi sistem penerima. Sinyal yang diterima kemudian diperkuat pada preamplifier yang ditempatkan di dekat antena, lalu diteruskan ke main amplifier di dalam ruangan melalui kabel yang panjang. Sinyal kemudian di-filter, sinkronisasi data dengan GPS, dan dikonversi menggunakan AD converter, untuk selanjutnya diteruskan ke sistem PC untuk akuisisi data. Ada dua jenis data yang disimpan. Pertama, data broadband gabungan dari dua antena U-S dan B-T, yang bisa mencapai 1,5 GB p e r j a m , s e h i n g g a u mu m n y a dilakukan pengambilan data dengan format sinoptik, yaitu misalnya 1 menit dari 5 menit data. Kedua, data sinyal frekuensi tertentu, yaitu amplitudo dan fasa dari sinyal
frekuensi tunggal dari pemancar VLF yang dipantau. VLF receiver Pontianak memiliki prinsip kerja yang sama dengan AWESOME, terdiri dari empat bagian besar, antena (digunakan tiga jenis antena: loop, dipole dan monopole, dan GPS) dan kabel, pre-amplifier dipasang dekat antena, main amplifier, serta PC dan software. Sinyal yang diterima oleh masing-masing antena diperkuat pada pre-amplifier, dan kemudian diteruskan ke main amplifier di ruangan untuk selanjutnya disimpan pada PC untuk akuisisi data. GPS bertugas mensinkronkan waktu pengamatan. Perbedaan dengan AWESOME adalah VLF receiver Pontianak menambahkan dua jenis antena, antena monopole untuk deteksi dan penentuan lokasi petir, antena dipole untuk pemantauan pemancar VLF pada frekuensi yang lebih tinggi (LF). AWESOME dan VLF Receiver Po n t i a n a k d i g u n a k a n u n t u k memantau gelombang VLF dari aktivitas petir dan dari transmitter VLF. VLF receiver berbasis soundcard Satu lagi jenis VLF receiver yang sedang dikembangkan adalah VLF receiver berbasis soundcard PC. VLF receiver ini umumnya bekerja dengan sampel frekuensi tertentu, biasanya 44,1/48,0 kHz. Pada sistem ini umumnya menggunakan antena loop.
Gambar 2. Kiri, AWESOME, antena loop, GPS, pre-amp, main amp, dan PC software. Kanan, contoh data AWESOME di India. Gambar atas adalah tampilan spektrogram data, garis-garis vertikal adalah pertanda petir, disebut sferik, garis datar menunjukkan sinyal dari pemancar VLF frekuensi tunggal. Gambar bawah kiri adalah pembesaran sinyal frekuensi tunggal, dan kanan pembesaran fungsi waktu dari satu gelombang petir.
10 Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Sinyal yang diterima kemudian diubah menjadi frekuensi audio sekitar 650 Hz. Frekuensi audio ini dilewatkan melalui filter narrow-band dengan bandwidth sekitar 100 Hz. Kemudian dikonversi menggunakan D/A converter yang terdapat pada sound card untuk selanjutnya dilakukan analisis spektrum menggunakan software analisis spektrum yang tersedia, antara lain Spectrum Lab, Spectran, dan lain-lain. PC yang digunakan juga tidak perlu memiliki spesifikasi yang tinggi. Kelebihan VLF berbasis soundcard antara lain dapat menerima multiple frekuensi dari beberapa pemancar secara bersamaan, sederhana dan lebih murah dibanding VLF receiver konvensional. Kelemahannya antara lain tidak dapat menerima sinyal dengan frekuensi di atas 22 kHz karena keterbatasan soundcard. PC dan kelengkapan lainnya seperti monitor PC merupakan sumber sinyal gangguan (noise) yang harus diperhatikan pada saat pemrosesan data. VLF r ecei ver yang sudah dioperasikan dan sedang diuji coba saat ini di LAPAN adalah UKRAA VLF Receiver di Bandung untuk memantau SID; VLF receiver di Pontianak untuk memantau SID dan mengamati gelombang VLF dari aktivitas petir (radio atmosferik), serta menentukan jarak dan lokasi sambaran petir. VLF receiver Pontianak dioperasikan simultan dengan peralatan sejenis dalam jaringan Asia VLF Observation Network (AVON). LAPAN juga memiliki SuperSID monitor yang sedang dipersiapkan untuk dapat segera dioperasikan. ¥
Prakiraan Bilangan Sunspot Bulanan Periode Desember 2012 November 2013 Bulan
Aktivitas Matahari Maret-Mei 2013
Sebuah flare M1.2 terjadi tanggal 5 Maret dari NOAA 1686, mencapai puncak pukul 07:54 UT. Dari flare ini dideteksi semburan radio matahari tipe II dan III. Pada 12 Maret terjadi CME setelah flare LDE kelas C2.0 dari NOAA 1690. CME ini tiba di bumi pada 15 Maret dengan sedikit peningkatan pada laju, densitas, dan temperatur angin matahari dan turbulensi medan magnet antarplanet. Pada 15 Maret terjadi flare M1.2, disertai CME halo yang tiba di bumi tanggal 17 Maret sekitar pukul 06:00 UT dengan lonjakan pada laju, kerapatan, dan temperatur angin matahari dan komponen medan Bz magnet antarplanet mencapai hampir -20 nT.
Gambar 1. Peristiwa flare X3.2 di NOAA 1748 (tepi timur/kiri) yang direkam oleh instrumen SDO tanggal 14 Mei 2013. (Sumber: Solar Dynamic Observatory)
Oleh : Santi Sulistiani Bidang Matahari Dan Antariksa
Tanggal 21 Maret pukul 22 UT terjadi flare M1.6 di NOAA 1692. Tanggal 17 Maret sekitar pukul 15 UT terdeteksi CME halo yang berasosiasi dengan filamen di sisi timur piringan matahari. CME ini memiliki laju 400 km/s dan tiba di bumi pada 20 Maret pukul 17 UT. ACE mencatat lonjakan medan magnet antar planet sampai 11 nT. Pada 30 Maret sekitar 13:20 UT dideteksi semburan radio tipe II yang berasosiasi dengan flare B4.8 di NOAA 1708, namun tidak dideteksi adanya CME. Sebuah flare M6.5 yang mencapai puncak pukul 07:16 UT dideteksi pada 11 April di NOAA 1719, disertai oleh semburan tipe II yang dimulai sekitar pukul 07:02 UT. Menurut data SDO/AIA flare ini juga disertai CME halo yang pertama kali dideteksi oleh C2 LASCO/SOHO pukul 07:24 UT dengan laju linier sekitar 930 km/s, menimbulkan gangguan yang tiba di bumi pada 13 April. Aktivitas matahari selama bulan Mei diwarnai oleh banyak peristiwa flare kelas M dan beberapa flare kelas X. Pada 5 Mei terjadi flare M1.4 di NOAA 1739. Pada 10 Mei sebuah flare M3.9 terjadi di NOAA 1744 dan M1.3 di NOAA 1745. Sebuah erupsi filamen besar terjadi dekat N35 W40 sekitar 21:45 UT pada 11 Mei, berasosisasi dengan CME yang tiba di bumi pada 15 Mei.
Prediksi Bilangan Sunspot
Juni 2013
68,5
Juli 2013
67,7
Agustus 2013
66,9
September 2013
66
Oktober 2013
65,1
November 2013
64,1
Desember 2013
63
Januari 2014
61,9
Februari 2014
60,8
Maret 2014
59,7
April 2014
58,5
Mei 2014
56,2
Keterangan: Prediksi ini tidak memodelkan kemungkinan kemunculan dua puncak dalam satu siklus.
Flare X pertama kali terjadi di NOAA 1748 ketika daerah aktif ini masih berada di belakang tepi timur piringan matahari pada 13 Mei pukul 02:17 UT. Lalu flare X2.8 dengan puncak pada 13 Mei pukul 16:05 UT, flare X3.2 pada 14 Mei pukul 01:11 UT, dan pada 15 Mei terjadi flare X1.2 yang mencapai puncak pukul 01:48 UT. Keempat flare X ini berasosiasi dengan semburan radio dan CME cepat. Pada 17 Mei dideteksi CME yang berkaitan dengan flare M3.2 di NOAA 1748 pukul 08:57 UT. Pada 22 Mei sekitar pukul 13:30 UT, NOAA 1748 menghasilkan sebuah flare M5 di tepi barat dengan sebuah CME yang tiba di bumi pada 24 Mei sekitar pukul 18:00 UT dan mengakibatkan peningkatan laju angin matahari sampai sekitar 700 km/s dan mengakibatkan komponen Bz medan magnet antarplanet mencapai puncak sebesar -12 nT.¥
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013 11
Aktivitas
Geomagnet http:\\www.ucar.edu
Selama bulan Maret hingga Mei 2013 telah terjadi 1 badai dan beberapa badai menengah, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Badai yang terjadi pada tanggal 17 Maret 2013 telah menyebabkan pengurangan kuat medan magnet hingga mencapai -132 nT. Badai pada tanggal tersebut didahului dengan adanya SSC. Sedangkan pada bulan April kondisi magnetosfer dapat dikatakan tenang, hal tersebut dapat dilihat pada nilai Dst yang tidak menunjukkan adanya depresi.
Indeks T Regional Indonesia
Oleh :
Oleh :
Fitri Nuraeni
Annis Siradj Mardiani
Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Bidang Ionosfer dan Telekomunikasi
Dst pada bulan Mei menunjukkan adanya badai menengah terjadi pada tanggal 1 dan 18. Badai yang terjadi pada tanggal 1 Mei 2013 menurunkan nilai kuat medan magnet sampai ke – 72 nT. Pada badai tangal 1 Mei ini tidak didahului oleh SSC dan nilai Dst nya menurun secara gradual sehingga kemungkinan badai ini disebabkan oleh adanya magnetic cloud. Sedangkan badai tanggal 18 Mei 2013 yang menurunkan nilai kuat magnet
hingga mencapai -60 nT termasuk badai menengah tanpa didahului oleh SSC dan kemungkinan disebabkan oleh flare kelas X pada tanggal 13 – 15 Mei 2013. Flare yang terjadi pada tanggal 13-15 Mei 2013 tersebut termasuk kedalam kelas X, tetapi ia tidak menyebabkan badai besar karena posisinya berada disamping piringan matahari sehingga arahnya tidak mengarah kebumi.¥
Regional
73 72 71 69 65 Gambar 1.
Grafik Keberhasilan Komunikasi antara Watukosek - Bandung selama bulan Mei 2013.
Meskipun selama satu tahun kedepan trend indeks T mengalami penurunan, namun menurut NASA (http:// solarscience. msfc. nasa. gov/predict. shtml ) selama periode Juli – Desember 2013, aktivitas matahari masih diprediksi tinggi. Dari pengamatan jaringan stasiun ALE (Automatic Link Establishment) sirkit Bandung – Watukosek selama bulan Mei 2013 dapat dilihat bahwa keberhasilan komunikasi cukup tinggi pada frekuensi 7, 10, 14 MHz. Sedangkan keberhasilan
komunikasi pada frekuensi 18 MHz umumnya terjadi pada waktu siang sampai sore hari. Sebagai acuan pemilihan frekuensi serta waktu komunikasi selama bulan Juli – September 2013, operator dapat melihatnya pada buku prediksi frekuensi komunikasi HF triwulan III – 2013 yang diterbitkan oleh PUSAINSA LAPAN. Berikut prakiraan indeks T regional Indonesia periode Juli 2013 – Juni 2014.¥
62 61 60 58 57 56 55
Gambar 1. Plot Dst index bulan Maret – Mei 2013
Gambar : http://k0rv.files.wordpress.com/
12 Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013 13
review
Cuaca Antariksa pada Puncak Siklus Matahari Oleh :
Rasdewita Kesumaningrum Bidang Matahari dan Antariksa
Gambar 1. Citra flare X2,8 tanggal 13 Mei 2013 yang diamati pada panjang gelombang 131 armstrong. (Credit:Nasa/SDO)
Cuaca antariksa m e n g g a m b a r k a n ko n d i s i d i antariksa yang meliputi kondisi pada matahari, angin matahari, m a g n e t o s f e r, i o n o s f e r, d a n termosfer. Aktivitas matahari seperti sunspot, flare, prominensa, filamen, lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection – CME) merupakan faktor penting yang memengaruhi cuaca antariksa yang dapat menekan magnetosfer dan memicu terjadinya badai geomagnet. Matahari melepaskan partikel energetik melalui peristiwa CME. Untuk mencapai lingkungan Bumi, par tikel ber muatan tersebut membutuhkan waktu sekitar 3 hari bergantung pada kecepatan angin matahari, sedangkan flare merupakan peningkatan radiasi elektromagnet sehingga pengaruhnya dapat mencapai bumi dalam waktu 8 menit.
Salah satu daerah aktif yang kompleks, NOAA 1748 dengan konfigurasi magnet βγδ (beta-gammadelta , konfigurasi yang sangat berpotensi menghasilkan flare atau CME). Sejak kemunculannya di tepi timur piringan matahari melepaskan beberapa flare yang sangat kuat yaitu flare kelas X berturut-turut flare X1.7 (13 Mei pkl. 02:17 UT), flare X2.8 (13 Mei pkl. 16:09 UT), flare X3.2 (14 Mei pkl. 01:17 UT), dan flare X1.2 (15 Mei pkl. 01:52). Selain beberapa flare yang sangat kuat dari daerah aktif 11748, daerah aktif tersebut juga menghasilkan flare kelas M yaitu tanggal 16 Mei flare M1.3 pukul 21:53 UT dan flare kelas M3.2 tanggal 17 Mei pukul 08:50 UT. Terjadi CME yang mengikuti rangkaian flare tersebut yaitu tanggal 13 dan 17 Mei 2013.
14 Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
Kejadian flar e dan CME tersebut berasal dari daerah aktif yang baru muncul di tepi timur piringan matahari sehingga partikel energetik dibawa oleh angin matahari menjauhi bumi. Meskipun dampak pada lingkungan bumi sangat rendah namun terdapat kemungkinan adanya sebagian partikel yang masuk ke bumi dimana terdeteksi adanya semburan radio tipe II yang mengikuti flare tanggal 17 Mei 2013, diamati di Loka Pengamat Dirgantara (LPD) Lapan Sumedang, Culgoora, Learmonth dan beberapa observatorium dari grup Callisto. Semburan radio ini mengindikasikan adanya lontaran massa korona yang akan berdampak pada atmosfer atas Bumi karena terjadinya badai geomagnet yang diindikasikan penurunan Dst pada hari berikutnya. Pengamatan Dst tanggal 18 Mei 2013 pukul 05.00 UT menunjukkan nilai sebesar - 63 nT (badai menengah) dengan Indeks Kp 5 (badai) dan terdeteksi peningkatan densitas angin matahari tanggal 22 - 23 Mei 2013. Aktivitas matahari ini berdampak pada per ubahan kerapatan elektron di ionosfer. Hasil peng amatan ionosfer menunjukkan terjadi variasi dan peningkatan foF2 dan TEC , sehingga frekuensi HF yang dipantulkan oleh ionosfer juga bervariasi. Pengamatan aktivitas matahari yang kuat pada daerah aktif NOAA1748 ini menunjukkan
bahwa besarnya gangguan yang terjadi di lingkungan Bumi sangat ditentukan oleh posisi daerah aktif, flare dan CME pada piringan matahari. Bila berada di tepi timur, maka pengaruhnya sangat rendah. Pengaruh aktivitas matahari pada geomagnet yang diklasifikasikan sebagai badai besar terjadi pada 17 Maret 2013 dimana nilai Dst turun sampai dengan -132 nT pada pukul 21.00 UT. Peristiwa badai ini berkaitan dengan CME halo yang terjadi pada tanggal 15 Maret 2013 pukul 07.12 UT dengan kecepatan 726 km/s. Gangguan dari CME untuk sampai ke Bumi dipicu oleh peristiwa flare kelas M1.2 pada tanggal 15 Maret 2013 yang mencapai puncaknya pada pukul 07:03 UT. Peningkatan angin matahari terjadi pada tanggal 20 Maret 2013 sekitar pukul 18.00 UT yang diikuti oleh nilai Bz negatif. Sedangkan ionosfer dinyatakan tenang karena tidak ada badai yang dinyatakan dengan indek T Regional 90. Hal ini dapat terlihat pada peta prediksi foF2 dan TEC di atas wilayah Indonesia dengan foF2 mencapai maksimum 15 MHz, dan TEC mencapai maksimum 86 TECU (TEC Unit) pada jam yang sama di atas wilayah Indonesia. Aktivitas matahari menengah yang dapat berpotensi menimbulkan badai antara lain dikarenakan adanya flare kelas M, misalnya pada tanggal 11 April 2013 dari hasil pengamatan satelit GOES terjadi flare cukup kuat (M6.5) pukul 07:16-07:54 UT (14:16-14:54 WIB), bersumber dari
NOAA 1719. Setelah kejadian flare tersebut, ter jadi CME yang mengarah ke bumi dengan laju diperkirakan berkisar 1430 km/jam, dan mencapai bumi dalam waktu 30 jam kemudian yakni sekitar tanggal 12-13 April 2013. Loka Pengamatan Dirgantara Sumedang mengamati adanya semburan radio tipe II pada 07:0207:29 UT. Ada indikasi peningkatan angin matahari proton pada 10:55 UT diamati oleh GOES 13. Arah medan magnet antarplanet tanggal 11 April 2013 positif (arah utara) namun dalam 24 jam berikutnya cenderung ke arah selatan (Bz negatif). Kondisi ini berpotensi menimbulkan badai magnet. Dari hasil pengamatan geomagnet, Indeks Dst terendah adalah -22 nT pada tanggal 16 April 2013 pukul 00:00 UT dengan Indeks Kp 3+ (tenang) pada tanggal 14 April 2013, sehinga aktivitas matahari tersebut dinyatakan tidak menimbulkan badai di lingkungan Bumi. Sedangkan pada lingkungan ionosfer, kondisi ionosfer relatif tenang namun ada sedikit peningkatan foF2 dan TEC, yang dapat diakibatkan oleh flare. Selain flare dan CME pada tanggal 11 April 2013, daerah aktif tersebut juga menghasilkan banyak flare menengah, salah satunya flare kelas C6.5 pada tanggal 18 April 2013 pukul 18:22 UT. Diiringi dengan peristiwa CME yang terdeteksi pada pukul 18:48 UT, dengan kelajuan 975 km/detik. Hanya diikuti oleh semburan radio pada pukul 18:16-
18:28 UT (sebag ai indikasi peningkatan densitas angin matahari) namun tidak ada ikutan semburan radio tipe I. Nilai Bz positif atau medan magnet antar planet mengarah utara sehingga tidak memungkinkan terjadinya rekoneksi dan tidak ada potensi terjadi badai magnetik di atmosfer atas Bumi. Indeks Dst terendah adalah -63 nT (badai menengah) pada tanggal 18 Mei 2013 pukul 05.00 UT dengan Indeks Kp 5 (badai) Dalam kondisi matahari berada sekitar puncak siklus pada Mei 2013, matahari relatif tenang. Selain serangkaian flare kuat pada tanggal 13-15 Mei 2013, yang merupakan flare kuat pertama pada tahun 2013 ini, matahari cenderung melepaskan flare menengah kelas C dan beberapa flare kelas M. Badai geomagnet yang terjadi sebagian besar berada dalam kategori badai menengah bahkan cenderung tidak terjadi badai. Sedangkan kondisi ionosfer cenderung normal dan hanya sedikit mengalami variasi pada foF2 atau TEC.¥ Sumber: http://www.nasa.gov http://www.swpc.noaa.gov/Solar Cycle/ http://sidc.oma.be/cactus/catalog .php. http://www.solarmonitor.org
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013 15
http://siappudannapogos.files.wordpress.com/
PULSA MAGNETIK DI MAGNETOSFER BUMI Oleh : La
Ode Muhammad Musafar K.
Bidang Geomagnet dan Magnet Antariksa
Kemunculan pulsa magnet dalam data magnetometer satelit maupun permukaan Bumi. Ada dua sumber pulsa magnet yaitu sumber eksternal dan internal magnetosfer Bumi. Sumber eksternalnya adalah angin surya, foreshock ion, bow-shock dan magnetopause. Gelombang ULF yang bersumber dari angin surya berasal dari matahari yang dibawa dan menjalar melalui angin surya. Variasi komponen medan magnet antar-planet dan kecepatan serta kerapatan plasma angin surya terjadi dalam orde frekuensi g elombang ULF. Per ubahan parameter angin surya tersebut memberi kontribusi pada perubahan
tekanan angin surya sehingga juga bervariasi dalam skala waktu gelombang ULF. Perubahan tekanan angin surya ini mengakibatkan magnetosfer Bumi mengalami ekspansi dan kontraksi dengan frekuensi osilasi pada orde gelombang ULF dan mengakibatkan terjadinya perubahan global dalam medan magnet di dalam magnetosfer Bumi. Gelombang ULF yang bersumber dari foreshock ion muncul sebagai akibat dari gerak ion di sepanjang garis medan magnet dalam arah tangensial terhadap shock. Saat ion bergerak di daerah upstream berinteraksi angin sur ya
Pi 2
Pi 1
Low High Class Period(s) Period(s)
Pulsations Irregular
menghasilkan gelombang dengan frekuensi yang bergantung pada kekuatan medan magnet angin surya. Gelombang yang dihasilkan dari interaksi tersebut memiliki frekuensi pada rentang gelombang ULF. Bow-shock adalah diskontinuitas dan merupakan gelombang berdiri mode-cepat yang terbentuk melalui superposisi gelombang dalam berbagai frekuensi berbeda di daerah angin surya. Shock-parallel pada bowshock merupakan daerah sumber gelombang ULF yang dapat menjalar menuju downstream dan pada kondisi tertentu dapat memasuki magnetosfer Bumi.
Irregular Pulsations
The Classification of ULF Waves
Pi 2 Pi 1
15C 45
45 1
Z by N
Odd Mode
16 Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
10-3
10-2
D
10-1
100
bx
Low High Class Period(s) Period(s)
Pc 1
Pc 2
Pc 3
Pc 4
Pc 5
Pulsations Continuous
10-4
bx
H
S
Continuous Pulsations
WAVE TYPE
Pulsa magnet merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan osilasi hidromagnetik di lingkungan antariksa Bumi; ruang antar-planet di sekitar Bumi, magnetosfer dan ionosfer. Pulsa magnet memiliki frekuensi pada rentang ULF (ultralow frequency) yaitu 1mHz – 1Hz. Klasifikasi gelombang ULF ditunjukkan dalam Gambar 1. Berdasarkan bentuk dan sifat gelombangnya, pulsa magnetik dibedakan menjadi dua yaitu pulsa magnet kontinyu (Pc) dan pulsa magnet iregular (Pi). Pulsa magnet kontinyu mer upakan osilasi hidromagnetik yang muncul secara kuasi-kontinyu pada periode tertentu dan pulsa magnet ini dibagi lagi berdasarkan rentang periodenya menjadi 5 kelas yang di kenal sebagai Pc1 , Pc2 , Pc3 , Pc4 , dan Pc5 . Sedangkan pulsa magnet iregular muncul secara impulsif/transien dan dibagi menjadi dua kelas yaitu Pi1 dan Pi2. Kemunculan pulsa magnet dapat diamati melalui osilasi dalam medan magnet menggunakan magnetometer permukaan atau osilasi medan listrik dan medan magnet menggunakan magnetometer yang di bawa oleh satelit.
Magnetopause yang merupakan daerah batas antara magnetosfer dan ruang antar-planet juga merupakan s u m b e r g e l o m b a n g U L F. Gelombang ULF di magnetopause dihasilkan oleh fluktuasi tekanan dinamis angin surya. Gelombang ULF yang dibangkitkan di bagian luar magnetosfer menjalar melewati magnetopause menuju magnetosfer dan ionosfer hingga akhirnya teramati oleh magnetometer permukaan Bumi. Ada dua proses transfer energi gelombang ULF dari luar ke dalam magnetosfer, yaitu melalui proses resonansi garis medan dan resonansi cavity. Rongga antara berbagai boundary bekerja sebagai cavity yang beresonansi atau sebagai pandu-gelombang. Dalam proses transfer energi tersebut garis medan dipol Bumi bekerja seperti pegas dan menghasilkan dua mode utama gelombang yaitu mode-toroidal dan mode-poloidal sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.
101
Pc Pc Pc Pc Pc
5 4 3 2 1
60C 15C 45 10 5
FREQUENCY HERTZ
Gambar 1. Klasifikasi gelombang ULF (Jacobs, dkk., 1964)
150 45 10 5 0.2
by D:Antiparallel
H:Parallel N
Even Mode
bx
H D
bx
by
by
by
by
Mode-toroidal (kanan) muncul akibat pergeseran garis medan dalam arah azimut terkait dengan perturbasi magnetik dalam arah azimut. Sedangkan mode-poloidal (tengah) terkait dengan perturbasi dalam arah radial. Mode-toroidal dominan teramati di antariksa sedangkan mode-poloidal sudah tereksitasi karena untuk mode ini garis medan dalam arah radial pada daerah yang berdekatan berosilasi dengan frekuensi berbeda-beda. Sedangkan sumber internal gelombang ULF berasal dari berbagai ketidakstabilan plasma di magnetosfer. Frekuensi gelombang dikontrol oleh sifat-sifat distribusi partikel yang terjebak dalam medan dipol Bumi. Frekuensi gelombang ULF terkait dengan fenomena yang terjadi di magnetosfer Bumi. Sebagai contoh, pulsa magnet Pc1 dibangkitkan melalui ketidakstabilan ion siklotron, Pc4 melalui resonansi bounce dari titik cermin magnetik di belahan utara dan selatan, dan Pc5 terkait dengan resonansi drift dengan partikel ketika bergerak melewati medan magnet dan dewasa ini sangat bermanfaat dalam mempelajari pembentukan sabuk radiasi elektron. Pulsa magnet Pc3 dan Pc5 merupakan perubahan tekanan dinamis angin surya dan peristiwa badai magnet. Selain itu, pulsa magnet Pi2 pembangkitan terkait dengan percepatan partikel yang diinjeksi dari magnetotail ke ionosfer kutub yang mana sangat erat kaitannya dengan badai aurora. Sedangkan Pi1 sangat terkait dengan osilasi frekuensi tinggi di ionosfer. Dari hal-hal tersebut dapat dikatakan bahwa pulsa magnet dapat menggambarkan kondisi cuaca antariksa.¥
S bx
H:Parallel
D:Antiparallel
Gambar 2. Mode osilasi resonansi garis medan (McPherron, 2005)
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013 17
kalender Juli - September 2013
12-13 Agustus 2013 Hujan Meteor Perseid Salah satu hujan meteor terbaik dengan kemunculan meteor bisa 8 Juli 2013 mencapai 60 meteor per jam pada saat Bulan Baru puncaknya. Puncak hujan meteor Bulan akan tepat berada di antara Bumi biasanya terjadi pada 13-14 Agustus, dan Matahari sehingga tidak tampak dari tetapi sebagian meteor dari hujan meteor Bumi. Fase ini terjadi tepat pada pukul ini dapat terlihat sepanjang 23 Juli-23 07:14 UT. Agustus. Titik radian dari hujan meteor ini berada pada arah rasi Perseid di sebelah Timur Laut. Hujan meteor ini teramati dengan baik setelah tengah 22 Juli 2013 malam.
Warta LAPAN
INTERNATIONAL WORKSHOP ON SPACE WEATHER IN INDONESIA 2013
5 September 2013 Bulan Baru Bulan akan tepat berada di antara Bumi dan Matahari sehingga tidak tampak dari Bumi. Fase ini terjadi tepat pada pukul 11:36 UT.
Bulan Purnama
Bulan Purnama - Bulan akan berada pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 18:15 UT.
Oleh :
Siti Mutiara Fitry Bidang Matahari dan Antariksa
Bandung – Cuaca Antariksa (Space Weather) adalah kondisi di matahari dan angin surya, m a g n e t o s f e r, i o n o s f e r, d a n termosfer yang dapat m e m p e n g a r u h i ko n d i s i d a n kemampuan sistem teknologi, baik yang landas bumi maupun ruang angkasa, dan membahayakan kehidupan dan kesehatan manusia. Cuaca antariksa disebabkan adanya aktivitas matahari yang melontarkan milyaran ton partikel dan plasma berenergi tinggi serta radiasi gelombang elektomagnetik. Pusat Sains Antariksa Lapan telah melakukan upaya-upaya membangun informasi tentang cuaca antariksa, seperti pengamatan aktivitas matahari, pengamatan geomagnet, pengamatan ionosfer, pembangunan sistem informasi cuaca antariksa dan lain-lain. Bersama dengan Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH) Kyoto University . Pusat Sains Antariksa menyepakati suatu
kerjasama berkaitan dengan cuaca antariksa. sehingga dapat saling memberikan data dan informasi cuaca antariksa dalam lingkup regional (Asia Oceania). Untuk melihat capaian hasil kerjasama penelitian tersebut maka LAPAN dan RISH telah menyelenggarakan kegiatan “ 2013 Inter national Workshop on Space Weather in Indonesia” pada 25-26 Maret 2013 dengan tema “3th Research Enhancement and System Establishment for Space Weather in Indonesia”. Workshop dibuka secara resmi oleh Deputi Sains, Pengkajian, dan Infor masi Kedirgantaraan, L e m b a g a Pe n e r b a n g a n d a n Antariksa Nasional, dan dihadiri oleh Kepala Pusat Sains Antariksa (Pussainsa), para pejabat struktural dari Pussainsa dan Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, pejabat Fungsional Peneliti, Perekayasa, dan Litkayasa. Peserta yang hadir sebanyak 71 orang dari lembaga penelitian yang ada di Jepang
18 Juli - September 2013 | Buletin Cuaca Antariksa
(NICT, STELab Nagoya University, dan RISH Kyoto University), India (NARL), dan Indonesia (LAPAN dan ITB). Di antara kegiatan workshop diadakan juga sesi introduction poster. Sesi ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada peserta yang menyajikan poster dan memberi ulasan singkat tentang hasil penelitiannya.¥
RALAT Buletin Cuaca Antariksa Vol.2/No.2 April - Juni 2013 pada artikel “Pemantauan Benda Jatuh Antariksa” Halaman 7, Kolom 1 “Faktor utamanya adalah asteroid berukuran kecil (diameter di bawah 100 meter). Walau sangat banyak jumlahnya di sekitar Bumi tapi sangat redup." seharusnya “Faktor utamanya adalah redupnya kebanyakan asteroid yang banyak terdapat disekitar Bumi."
28-29 Juli 2013 Hujan Meteor Delta-Aquarid Selatan
19 September 2013
Hujan meteor ini dapat menghasilkan 20 meteor dalam satu jam pada saat puncaknya. Puncak hujan meteor ini terjadi antara 28-29 Juli, tetapi hujan meteor ini dapat terlihat sepanjang 18 Juli - 18 Agustus. Titik radian dari hujan meteor ini adalah pada arah rasi Aquarius. Peristiwa ini terlihat paling baik di sebelah Timur setelah tengah malam.
Bulan Purnama Bulan akan berad pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 11:13 UT.
21 Agustus 2013 Bulan Purnama Bulan akan berada pada oposisi dengan Bumi dari Matahari dan akan tersinari secara sempurna oleh Matahari. Fase ini tepatnya terjadi pada pukul 01:45 UT.
Equinox September
6 Agustus 2013 Bulan Baru
22 September 2013
27 Agustus 2013
Bulan akan tepat berada di antara Oposisi Neptunus Bumi dan Matahari sehingga tidak Planet Neptunus akan berada pada tampak dari Bumi. Fase ini terjadi tepat posisi terdekat dengan Bumi dan akan pada pukul 21:51 UT. tersinari sempurna oleh Matahari. Saat ini merupakan waktu yang paling tepat untuk mengamati Neptunus.
Terjadi pada pukul 20:44 UT. Matahari akan bersinar tepat di khatulistiwa dan di seluruh belahan Bumi akan terjadi lama siang dan malam dalam waktu yang hampir sama. Hari ini juga akan menjadi awal musim gugur (autumnal equinox) di belahan Bumi Utara dan menjadi awal musim semi (vernal equinox) di belahan Bumi Selatan.
Buletin Cuaca Antariksa | Juli - September 2013 19