Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014
Fungsi Teks Babad Banyumas Versi Darmasumarta B Sugeng Priyadi Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh PO BOX 202 Purwokerto 53182 ABSTRAK Babad Banyumas versi Darmasumarta B mencirikan teksnya dengan deskripsi relasi klien dan patron yang berbeda sesuai dengan periodisasi kerajaan Jawa dari zaman Majapahit dan diakhiri dengan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Patron Majapahit menjadi kebanggaan bagi klien Wirasaba karena Majapahit adalah kerajaan besar yang pernah berkuasa di Nusantara dan berpengaruh di Pulau Jawa. Patron Demak difungsikan dalam teks dengan berita Islamisasi di Wirasaba yang berkaitan dengan kasus perkawinan secara Islam yang menyangkut putri Adipati Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka. Patron Pajang difungsikan dalam teks sebagai landasan legitimasi bagi Bagus Mangun yang menggantikan mertuanya dengan gelar Adipati Warga Utama II, yang menjadi pendiri Banyumas setelah membagi Wirasaba menjadi empat sehingga disebut Adipati Mrapat. Patron Mataram difungsikan untuk menjelaskan munculnya nama Kalikethok (Kaligathuk) dan kedudukan Banyumas lebih sempit. Yudanegara dianggap mempunyai masalah sehingga mereka dipecat, kecuali Yudanegara III, yang dianggap sebagai trah Banyumas yang mengalami mobilitas sosial yang tinggi dengan jabatan Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta. Yudanegara V yang dipecat tidak digantikan oleh keturunannya karena Banyumas dibagi menjadi dua,Kasepuhan dan Kanoman. Pembagian Banyumas menjadi dua memasuki masa penjajahan Belanda di Banyumas pasca-Perang Jawa. Keturunan Cakrawadana dan Bratadiningrat mengisi masa kolonial, terutama keturunan Bratadiningrat, yaitu Gandasoebrata sebagai penutup teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B. Kata kunci: filologi, terbitan diplomatik, khazanah perbabadan, teks Darmasumarta B, klien-patron, legitimasi, Islamisasi, dan mobilitas sosial. PENDAHULUAN Babad Banyumas merupakan tradisi teks yang masih hidup sehingga melahirkan teks-teks baru yang beraneka ragam. Kreativitas para penulis dan penyalin menunjukkan produktivitas yang tinggi (Priyadi, 2002 & 2010). Salah seorang penyalin yang bernama Darmasumarta dapat dijadikan contoh yang nyata. Pada tahun 1927, di desa Paguwan, Darmasumarta menghasilkan dua teks yang berbeda atau dua versi meskipun keduanya berbentuk tembang macapat dengan huruf Latin (Behrend & Titik Pudjiastuti, 1997: 874-875; Priyadi, 2011; 59-61). Babad Banyumas karya Darmasumarta A dan B sebagai produk kebudayaan lokal tidak dikenal di kalangan para penyalin dan penulis babad, baik di Purwokerto maupun Banyumas. Ketidakterjangkauan itu mungkin disebabkan oleh eksistensi teks tidak tersimpan di skriptorianya karena keduanya tersimpan pada Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) dan microfilmnya tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Kedua karya Darmasumarta tersebut dianggap oleh seorang peneliti sebagai teks yang sama. Padahal, berdasarkan penelitian Priyadi dan Kartono (2013), kedua teks itu berbeda sehingga disebut dua versi, yaitu versi Darmasumarta A dan versi Darmasumarta B. Versi yang pertama sudah diteliti (Priyadi & Kartono, 2013) sehingga penelitian terhadap Babad Banyumas versi Darmasumarta B merupakan penelitian lanjutan. Katalog naskah FS UI memberi judul Babad Wirasaba untuk kedua karya Darmasumarta tersebut. Pemberian judul tersebut merupakan upaya yang mudah untuk mengidentifikasikan teks-teks yang tidak dikenal secara umum. Hal itu terbukti dari penelitian terdahulu, teks versi Darmasumarta A tidak dekat dengan versi Sejarah Wirasaba, tetapi dengan versi Mertadiredjan yang skriptorianya berada di kota Banyumas (Knebel, 1901; Priyadi, 1990, 1996, 2000; Ekadjati & Darsa, 1999: 211-212). Tahun 1925 sebagai tahun penulisan karya Darmasumarta bersamaan waktunya dengan periode masa jabatan KPA Gandasoebrata (1913-1933) Versi Sejarah Wirasaba yang telah mentradisi sebagai teks-teks yang berasal dari desa Wirasaba, Kecamatan Bukateja, Purbalingga tidak terjangkau oleh para penyalin dan penulis babad di kota Purwokerto. Teks karya Darmasumarta B perlu dikaji secara filologis agar dapat diketahui tradisinya.
127
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Tulisan ini akan membahasa fungsi teks Babad Banyumas Versi Darmasumarta B dalam khazanah penulisan babad dengan mencermati fungsi teks tersebut sebagai karya yang baru, yang hadir dan berbeda dengan teks Versi Darmasumarta A. METODE PENELITIAN Penelitian terhadap teks Darmasumarta diawali dengan pembacaan microfilm naskah tersebut di Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) di Jakarta. Pembacaan kedua teks menunjukkan adanya kontaminasi dari teks-teks lain, seperti silsilah dinasti Mataram dan ajaran tasawuf heterrodoks. Oleh karena itu, kedua teks tidak dapat disusun silsilahnya dengan teks-teks yang berasal dari tradisi yang sama (Teeuw, 1988: 264). Setelah teks terbaca, kedua karya Darmasumarta ternyata tidak sama versinya sehingga keduanya memerlukan untuk diteliti agar posisinya sebagai teks Babad Banyumas di antara 101 teks yang ada dapat ditelusuri. Versi Darmasumarta A sudah diteliti lebih dahulu, dan selanjutnya, Versi Darmasumarta B dijadikan objek penelitian. Sebagai teks variabel, Versi Darmasumarta B ditranskripsikan yang selanjutnya diterbitkan secara diplomatik agar tradisi teksnya dapat diungkap. Tujuan penerbitan diplomatik adalah agar para pembaca mengenal sedekat mungkin teks aslinya sehingga tradisi teks tersebut akan dikenali (Sulastin-Sutriano, 1994: 67). Eksistensi teks Versi Darmasumarta B sebagai karya babad dalam proses pemaknaan atau konkretisasi teks yang baru dapat dibaca dalam kaitanya atau pertentangannya dengan teks-teks lain atau terdahulu (Culler, 1981: 103; Eagleton, 1988: 152). Kemudian, teks Versi Darmasumarta B dicermati agar dapat diungkap fungsinya sebagai teks yang baru. Kehadiran suatu teks akan selalu menunjukkan jiwa zamannya yang juga mencerminkan fungsinya di tengah-tengah pernaskahan babad di Purwokerto dan Banyumas. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Babad Banyumas Versi Darmasumarta B Babad Banyumas Versi Darmasumarta B adalah karya R. Darmasumarta yang ditulis di Purwokerto dengan judul Babad Wirasaba atau Babad Wirasaba B. Naskah tersebut berkode A. 5.10b (SJ 176b). Naskah merupakan koleksi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Naskah ditulis sejak tanggal 18 Besar 1857 (1345 H) atau 19 Juni 1927 pada Ahad Paing dan diselesaikan 1 Sapar 1858 Jimakir (1346 H) atau 31 Juli 1927 pada Ahad Wage. Tempat penulisannya adalah desa Paguwan, yang terletak di sebelah barat rumah Kabupaten Purwokerto (sekarang ibu kota Kabupaten Banyumas). Karya Darmasumarta yang disebut Versi B (SJ. 176 B) ini merupakan teks berisi 15 pupuh tembang macapat yang termuat dalam 66 halaman. Selain versi B, ada juga versi A (SJ. 176 A) yang tebalnya 38 halaman dan berisi 19 pupuh. Kedua versi tersebut oleh Darmasumarta disebut dengan judul Babad Wirasaba A dan Babad Wirasaba B. 2. Klien Patron Wirasaba-Majapahit Wirasaba sebagai klien dari patron Majapahit menunjukkan relasi politik yang dibumbui dengan legitimasi. Majapahit adalah kerajaan besar yang berkuasa di Nusantara yang menguasai pulau-pulau di luar Jawa. Wirasaba adalah kerajaan bawahan Majapahit yang terletak di Pulau Jawa yang identik dengan kerajaan daerah dengan nama Paguwon. Dalam struktur birokrasi kerajaan Majapahit terdapat kerajaankerajaan daerah Majapahit yang dikepalai oleh seseorang yang bergelar bhattara i atau disingkat dengan bhra i. Gelar tersebut melekat dengan nama daerahnya. Nama Wirasaba adalah nama kekinian ketika Babad Banyumas ditulis kembali oleh masyarakat Banyumas. Wirasaba merupakan nama yang masih dikenal oleh masyarakat Banyumas pada masa kini sebagai toponim yang berbeda dengan toponim yang lebih kuna.
128
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Tabel 1. Nama Pupuh dan Jumlah Bait Versi B No. Pupuh
Nama Pupuh
Jumlah Bait
I
ASMARANDANA
41
II
PUCUNG
43
III
KINANTHI
84
IV
DURMA
23
V
SINOM
44
VI
PANGKUR
22
VII
DHANDHANGGULA
31
VIII
MIJIL
44
IX
GAMBUH
53
X
MASKUMAMBANG
68
XI
MEGATRUH
40
XII
DHANDHANGGULA
36
XIII
ASMARANDANA
48
XIV
PUCUNG
86
XV
MIJIL
34
Paguwan adalah penamaan kerajaan daerah yang dapat dikembalikan kepada nama-nama kerajaan yang disebut di dalam Pararaton, yaitu Paguhan. Nama Paguhan telah dilestarikan dalam teks Babad Banyumas yang tertua dengan nama Kepaguhan. Kepaguhan dalam bahasa Jawa menunjukkan tempat tinggal seorang adipati yang berada di Paguhan. Kata Paguhan secara berangsur-angsur berubah menjadi Paguwan dan akhirnya Paguwon. Ada beberapa orang berpikir bahwa kata Paguwan atau Paguwon berasal dari kata pakuwon, yaitu tempat tinggal seorang akuwu. Babad Banyumas versi Darmasumarta B menyebut Adipati Paguwon sebagai pejabat akuwu, bawahan raja Majapahit sebagai raja daerah. Tampaknya, Paguhan lebih rasional sebagai nama yang tepat sebagai salah satu daerah yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Wirasaba sebagai penamaan suatu tempat diselaraskan dengan situasi masa kini yang dekat dengan nama sungai yang mengalir, yaitu Serayu. Wirasaba dan Serayu mengandung unsur kejantanan atau maskulinitas sebagai simbol Siwaistis. Kedua nama tersebut bersinergi dengan nama-nama adipati yang memakai unsur wira dan sura, yang termuat dalam teks Babad Banyumas versi Banjarnegara. Teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B tidak mengenal nama-nama tersebut. Namanama yang terkandung dalam teks desa Paguwon adalah nama-nama kecil yang disertai nama-nama gelar. Namun, adipati yang pertama dan ketiga diganti dengan nama daerah kekuasaannya, yaitu Paguwon. Di sini, tidak ditemukan nama Wira Utama yang biasanya disertai penomoran romawi I, II, dan III, serta Sura Utama. Dalam proses transformasi teks, nama-nama tersebut sering beralih bacaannya menjadi Wirontomo dan Surontomo pada versi PRBN (Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara) (Priyadi, 1999). Tabel 2. Nama Adipati Wirasaba No.
Nama Kecil
Nama Gelar
Raja Majapahit
1.
-
Adipati Paguwon I
2.
Urang
Adipati Urang (Adipati Paguwon II)
Brakumara (Brawijaya)
3.
Rawi
Adipati Paguwon III
4.
Kaduhu
Adipati Marga Utama
5.
Warga
Adipati Warga Utama I
129
Ardiwijaya
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Adipati Paguwon dan Adipati Urang sezaman dengan Raja Majapahit Brakumara, sedangkan Adipati Paguwon, Adipati Marga Utama, dan Adipati Warga Utama I berkuasa pada masa Raja Majapahit Ardiwijaya. Raja Ardiwijaya mempunyai adik yang bernama Raden Putra. Raden Putra diusir dari ibu kota Majapahit karena para adipati telah mendua tuan, pagi menghadap kepada Ardiwijaya, sore menghadap kepada Raden Putra. Raden Putra pergi ke Pajajaran melalui rute perjalanan Kaleng, Ngayah, Kejawar, dan Pasirluhur. Setelah Pasirluhur, Raden Putra memasuki wilayah Pajajaran. Raden Putra mempunyai empat orang anak dengan rincian tiga orang laki-laki dan seorang perempuan, yaitu Kaduhu, Banyak Sasra, dan Banyak Gumarang, serta Ngaisah. Keempat orang anak tersebut telah diramalkan tempat tinggalnya masing-masing oleh ayahnya. Kaduhu di Wirasaba, Banyak Sasra di Pasirluhur, Banyak Gumarang di Keling (Kaleng), dan Ngaisah di Kejawar. Kisah Kaduhu mengawali kehidupan keturunan Raden Putra di daerah Banyumas dengan Ki Buara, yang memperkenalkan dengan Adipati Wirasaba, Paguwon. Pertama-tama Kaduhu diambil anak oleh Ki Buara. Setelah diketahui bahwa Kaduhu membakar diri, tetapi tidak hangus, bahkan kelihatan sakti, maka ia pun diangkat anak oleh Adipati Paguwon. Adopsi kedua ini melicinkan jalan kehidupan Kaduhu untuk menduduki jabatan adipati di Wirasaba. Adipati Paguwon sendiri tidak mempunyai anak laki-laki. Adipati Paguwon mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Bagus Buwang. Pertemuan Kaduhu dengan Raja Majapahit Ardiwijaya diwarnai dengan gambaran supranatural. Ardiwijaya melihat pondok rombongan Wirasaba terbakar, tetapi setelah diperiksa tidak ada tanda-tanda kebakaran. Kaduhu adalah kemenakan Ardiwijaya berdasarkan keris yang dipakai Kaduhu sama dengan keris milik raja. Kaduhu sebenarnya akan diangkat sebagai raja Majapahit, tetapi ia menolak karena ingin tinggal di luar ibu kota kerajaan. Akhirnya, Kaduhu diangkat sebagai adipati Wirasaba dengan gelar Adipati Marga Utama. Pengangkatan itu menimbulkan rasa iri hati pada Bagus Buwang. Bagus Buwang menyerang Kaduhu ketika berada di perjalanan pulang ke Wirasaba. Bagus Buwang dan anaknya tewas dalam pertempuran di dekat Kali Palet. Kaduhu menggantikan ayah angkatnya sebagai adipati Wirasaba, sedangkan Adipati Paguwon tinggal di Kacepit. Kaduhu adalah perintis anak Raden Putra di Wirasaba yang diteruskan oleh Adipati Warga Utama I. Banyak Sasra tinggal di Pasirluhur dan mempunyai dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Yang lelaki bernama Bagus Mangun dan yang perempuan tidak disebutkan namanya. Bagus Mangun sepeninggal ayahnya disia-siakan oleh uwaknya dari pihak ibu. Ia disuruh menggembalakan kerbaunya. Raden Putra yang telah bergelar Pandhita Putra pergi ke Pasirluhur dan menegur uwak Mangun yang dinilainya tidak menghormati kemenakannya. Pandhita Putra meramalkan bahwa Mangun akan berkuasa di sepanjang Kali Lanang (Serayu). Pandhita Putra kemudian membawa Bagus Mangun ke Kejawar untuk diserahkan kepada Kiai Mranggi Kejawar yang telah menikah dengan adik ayahnya, Ngaisah. Pandhita Putra menasihati agar Mangun jangan pergi dari Kejawar, kecuali akan mengabdi kepada Adipati Wirasaba. Banyak Sasra sebagai seorang kakak telah menjodohkan Mranggi Kejawar dengan adik perempuan yang bernama Ngaisah. Perkawinan itu merupakan realisasi dari ramalan ayah mereka tentang tempat tinggal Ngaisah di kemudian hari. Perkawinan Kiai Mranggi Kejawar dengan Ngaisah tidak dikarunia anak sehingga Bagus Mangun diangkat sebagai anak. Tempat tinggal Mranggi Kejawar menjadi kunci masuk bagi Bagus Mangun di kemudian hari yang akan memilih daerah di sebelah barat laut Kejawar sebagai pusat kadipaten Wirasaba yang baru. Pengadopsian anak oleh suami Mranggi KejawarNgaisah menjadi kunci juga memasuki pengabdiaannya sebagai panakawan di Wirasaba. Masa pengabdian itu ditandai dengan diterimanya wahyu kekuasaan ketika Mangun sedang tidur di pendapa kadipaten. Sinar wahyu yang masuk ke ubun-ubun Mangun dilihat oleh Adipati Warga Utama I sehingga Mangun akhirnya dijodohkan dengan putri Adipati Wirasaba. Perjodohan Bagus Mangun dengan putri Wirasaba membawa konsekuensi permintaan uang lima reyal dari Adipati Warga Utama I. Ayah angkat Bagus Mangun bukanlah orang yang mampu secara ekonomis sehingga Kiai Mranggi dan istrinya pergi ke Keling (Kaleng) untuk meminta bantuan kepada sang kakak yang bernama Banyak Gumarang. Dengan demikian, tiga orang anak Pandhita Putra bekerja sama dalam mendukung Bagus Mangun, sedangkan anak Kaduhu, yaitu Adipati Warga Utama I, menjadi pihak pemberi istri. Bagus Mangun kawin dengan kemenakannya sendiri. Kasus ini menjadikan salah seorang ayah angkatnya yang lain, Kiai Toli, menasihati Mangun agar berhati-hati dalam perkawinannya dengan putri Wirasaba karena istrinya adalah seorang anak pejabat tinggi. Kiai Toli juga memberikan keris miliknya yang disebut Gajah Endra dengan pesan agar berhati-hati dalam memegang keris tersebut. Di sini, tidak ada pantangan Kiai Tolih agar keris Gajah Endra tidak dibawa ke medan perang sepanjang tujuh keturunan.
130
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 3. Klien Patron Wirasaba-Demak Patron Demak yang bertalian dengan Wirasaba menggambarkan informasi Islamisasi yang terjadi pasca-Majapahit. Demak mengambil alih sebagai patron dari klien Wirasaba setelah keruntuhan Majapahit. Berita masuknya Islam ke Jawa yang diperankan oleh Demak ditindaklanjuti dengan inisiatif adipati Wirasaba untuk menghadap ke patron yang baru. Adipati Warga Utama I merupakan pejabat yang diangkat oleh raja Majapahit. Ia memasuki zaman baru dengan penuh kesadaran untuk belajar Islam secara langsung ke Demak. Realitas yang diciptakan oleh teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B itu menunjukkan jiwa yang terbuka karena Adipati Warga Utama I juga membawa Ki Buara ke Demak untuk belajar Islam. Ki Buara menjadi ahli agama dan pengulu di Wirasaba. Eksistensi Ki Buara menjadikan Wirasaba tidak memerlukan seorang wali dari Demak. Dalam teks tidak pernah disebutkan nama seorang wali pun yang disertakan kepada Adipati Warga Utama I untuk mengislamkan penduduk Wirasaba. Adipati Warga Utama I dan Ki Buara yang diberi tugas oleh Sultan Demak untuk melakukan Islamisasi di daerah kekuasaannya. Seorang adik Warga Utama I, yang bernama Adipati Suwarna diislamkan oleh kakaknya dan pengulu Buara. Suwarna adalah pejabat Adipati Panjer di Kebumen. Eksistensi Islam di Wirasaba direlasikan dengan hukum perkawinan Islam antara salah seorang putri Adipati Warga Utama I dan anak laki-laki Demang Toyareka. Perkawinan mereka kelihatannya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh orang tua mereka. Putri tersebut tidak dapat mencintai suaminya sehingga Adipati Warga Utama I mengambil keputusan untuk menceraikan perkawinan dengan hukum Islam. Hal itu telah disepakati oleh kedua belah pihak. Babad Banyumas versi Darmasumarta B ini tidak sejalan dengan versi-versi lain karena teks telah memberikan penilaian terhadap karakter Toyareka sebagai orang yang mudah terbawa emosi. Penilaian semacam itu tidak pernah ditemukan pada teks Babad Banyumas versi-versi yang lain. Padahal, Toyareka masih saudara muda Adipati Warga Utama I dari ibu selir. Akibat emosinya, Toyareka mengadukan kakaknya kepada Sultan Pajang. Islamisasi di Wirasaba digambarkan melalui tiga tokoh yang menjadi pilar, yaitu saudara sekandung Warga Utama I dan Suwarna, yang ditambah dengan Ki Buara. Toyareka tidak dilibatkan dalam Islamisasi di Wirasaba. Hal itu dimungkinkan bahwa Toyareka dikarakterisasikan sebagai tokoh yang tidak layak atau tidak Islami karena perilaku mengadu domba kakaknya sendiri, yaitu Adipati Warga Utama I sebagai adipati Wirasana dengan Sultan Pajang. Jika dibandingkan dengan teks Babad Pasir, Islamisasi Pasirluhur juga melibatkan tiga pilar, yaitu saudara sekandung Banyak Belanak-Banyak Geleh (Wirakencana), yang didukung Syekh Makhdum Wali, yang berasal dari Demak. Banyak Belanak yang berjasa mengislamkan penduduk Pasirluhur dan sebelah barat sampai Sungai Citarum, mengislamkan penduduk di sebelah barat Jawa Timur, serta berpartisipasi dalam pendirian Masjid Agung Demak, mendapat gelar Pangeran Senapati Mangkubumi dari Sultan Demak. Berita kehebatan sejenis tokoh Banyak Belanak tidak ditemukan pada teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B. Adipati Warga Utama I tidak dikarakterisasikan seperti Banyak Belanak. Karakterisasi Banyak Belanak juga tidak ditemukan pada Adipati Suwarna dan Ki Buwara. Islamisasi di Wirasaba tidak dirumitkan dengan kasus Banyak Thole yang murtad, melainkan peristiwa yang sederhana dengan pemberian status pengulu kepada Ki Buwara sehingga Wirasaba tidak memerlukan figur seorang wali yang didatangkan dari Demak. Status pengulu Ki Buwara hanya untuk melegitimasikan perkawinan dan perceraian seorang putri Adipati Wirasaba dengan putra Demang Toyareka. Memang perceraian tersebut berujung dengan peristiwa yang mengenaskan pada diri Adipati Wirasaba yang disebut sebagai kasus Sabtu Pahing atau kasus Toyareka. 4. Klien Patron Wirasaba (Banyumas)-Pajang Menurut teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B, Pajang berdiri dengan ditandai oleh sengkalan buta nawa catur sasra. Pertalian antara Wirasaba dengan Pajang ini dapat diidentifikasikan dengan dua orang adipati, yaitu Adipati Warga Utama I dan Adipati Warga Utama II. Adipati Warga Utama I merupakan adipati Wirasaba yang mengalami tiga periode, yaitu Majapahit, Demak, dan Pajang. Pada masa Majapahit, Adipati Warga Utama I diangkat sebagai adipati Wirasaba untuk menggantikannya ayahnya, yaitu Adipati Marga Utama, yang telah meninggal dunia. Pada masa Demak, Adipati Warga Utama I dengan ikhlas menganut agama Islam dengan belajar langsung ke Demak. Pada masa Pajang, Adipati Warga Utama I mengalami nasib yang naas karena ia terbunuh oleh utusan Sultan Pajang sebagai akibat pengaduan adiknya, Demang Toyareka, serta kecerobohan Sultan Pajang yang tidak mengecek kembali aduan pihak Toyareka. Babad Banyumas versi Darmasumarta B menilai miring dari sifat Sultan Pajang yang memiliki karakter dasar seorang prajurit sehingga ia tidak teliti. Putri Adipati Wirasaba yang juga mantan menantu Demang Toyareka itu diserahkan kepada Sultan Pajang. Penyerahan itu menimbulkan emosi pada Demang Toyareka sebagaimana dinyatakan oleh teks 131
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Babad Banyumas versi Darmasumarta B. Toyareka memang dicitrakan berkarakter jelek. Toyareka menganggap saudaranya seperti musuh sejati. Toyareka mempunyai hati yang jahil sehingga mengadukan Adipati Wirasaba kepada Sultan Pajang bahwa istri anaknya telah diserahkan kepada raja. Padahal, putri Adipati Wirasaba itu sudah diceraikan sesuai dengan hukum Islam. Teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B mendeskripsikan bahwa penyerahan seorang putri sebagai suatu keistimewaan karena di situ hanya adipati Wirasaba yang melakukannya. Di sini, ada penilaian yang diberikan teks Babad Banyumas versi Darmasumarta B terhadap Sultan Pajang yang terlalu menyenangi atau mata keranjang kepada perempuan cantik. Sultan Pajang mengirim surat kepada Adipati Wirasaba yang mempunyai anak perempuan yang cantik. Pada teks Babad Banyumas versi-versi yang lain, Sultan Pajang memerintahkan kepada seluruh adipati atau bupati yang berada di bawah kekuasaan Pajang untuk menyerahkan putrinya atau putri lain yang berasal dari daerahnya masingmasing. Putri-putri tersebut akan dijadikan pelara-lara, yaitu penari serimpi yang bisa dijadikan selir oleh Sultan. Adipati Warga Utama I terbunuh ketika ia sedang berada di balai malang dan makan dengan lauk pindhang banyar dan timun wulan. Di situ, gandhek pertama yang mendapat tugas menghukum Adipati Wirasaba salah menerima tanda dari gandhek kedua. Gandhek pertama segera menghukum. Padahal, gandhek kedua bermaksud agar hukuman dibatalkan. Teks Darmasumarta B menilai Adipati Warga Utama I meninggal di jalan Allah atau sabil. Kematian Warga Utama I biasanya akan disusul dengan ucapan pepali atau pantangan oleh yang bersangkutan. Warga Utama I dipaparkan langsung meninggal dan dikuburkan. Yang menyatakan pantangan menurut teks Darmasumarta B adalah Adipati Suwarna, yaitu adik Warga Utama I yang menjadi adipati di Panjer. Ada lima pantangan yang dinyatakan oleh Suwarna, yaitu hari Sabtu Pahing, balai malang, kuda dhawukbang, pindhang banyar, dan timun wulan. Sebenarnya, timun wulan bukan pantangan Adipati Warga Utama I, tetapi pantangan Raden Putra. Pantangan pindhang banyar (sejenis ikan laut) pun merupakan salah satu tradisi yang lebih sedikit disebutkan pada teks Babad Banyumas. Sebagian besar selalu menyebut pindhang banyak (daging angsa) karena bertalian dengan binatang totem angsa (banyak) sebagai nenek moyang Adipati Warga Utama I dari pihak ibunya (Priyadi, 2001a & 2001b). Masa Kerajaan Pajang terkait dengan Adipati Warga Utama II. Ia adalah menantu Adipati Warga Utama I. Adipati Warga Utama II mempunyai nama kecil yang di dalam teks disebut Bagus Mangun. Ketika mertuanya terbunuh, Bagus Mangun bersedia berangkat menghadap kepada Sultan Pajang. Sementara itu, Wiranagara dan Wirakusuma tidak mau menghadap. Bagus Mangun diangkat sebagai adipati sebagai pengganti mertuanya dengan gelar seperti nama pendahulunya. Sultan Pajang di dalam teks Darmasumarta B berinisiatif untuk membagi empat daerah Wirasaba. Namun, nama Adipati Mrapat melekat kepada Adipati Warga Utama II. Adipati Warga Utama II mendapat daerah Banyumas, sedangkan bagian lain Bogor Krawang untuk saudaranya yang lain. Teks Darmasumarta B tidak menyebut empat daerah yang dibagi-bagi. Bogor dan Krawang tidak pernah diperhitungkan dalam pembagian Wirasaba. Wirasaba sendiri tidak disebutkan. Wirasaba menjadi salah satu daerah penting yang ditingggalkan. Wirasaba yang tadinya pusat kekuasaan menjadi daerah kekuasaan dari pusat yang baru, yaitu Banyumas. Banyumas sebagai pusat yang baru memang dipilih sendiri oleh Adipati Warga Utama II yang didasarkan bisikan gaib. Teks Darmasumarta B tidak berbicara tentang bisikan gaib, tetapi langsung Banyumas sebagai daerah yang dipilih. Adipati Warga Utama II mempunyai empat orang anak mungkin dari padmi, dan seorang anak dari selir, yaitu Raden Janah, Kiai Selandaka, Nyai Wirasaba, Kiai Semaru, dan Ki Gedhe Tangkil. Janah menggantikan ayahnya dengan hanya menguasai Banyumas saja, sedangkan Panjer, Ngayah, Mreden, Dayeuhluhur, dan Pasir berdiri sendiri. Ngabehi Janah beranak 20 orang, tetapi yang disebut hanyalah Raden Mertasura, yang kemudian bernama Ngabehi Kaliketok. Nama Kaliketok terdengar aneh. Tampaknya, Darmasumarta tidak paham dengan nama geografi tersebut. Nama yang tepat adalah Kaligathuk, yang terbaca pada teks-teks lain adalah Kaligethuk yang berarti dua sungai bertemu, Sungai Banyumas dan Sungai Perwaton. Ngabehi Janah adalah bupati Banyumas yang berada pada masa peralihan antara Pajang dan Mataram. Pada masa Mataram, daerah Banyumas hanya Banyumas saja, sedangkan daerah lain dijadikan daerah yang berdiri sendiri. Karena kecewa, anak Ngabehi Janah, yang bernama Mertasura melakukan tapa brata di pertemuan dua sungai yang disebutkan di atas. Berkat tapa brata itulah Ngabehi Mertasura disebut dengan nama Ngabehi Kaligathuk. Kaligathuk adalah tempat bertapa, bukan tempat tinggal seperti yang disebutkan dalam teks Darmasumarta B.
132
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 5. Klien Patron Banyumas-Mataram Ngabehi Mertasura dinyatakan pindah ke Cempaga. Nama Cempaga merupakan kesalahan baca dari Tembaga. Tembaga adalah lokasi yang dipilih oleh Adipati Warga Utama I. Adipati Mertasura mempunyai anak 10 orang, tetapi hanya satu yang disebutkan, yaitu Ngabehi Buang. Nama yang terakhir juga tidak tepat. Mestinya Ngabehi Bawang atau Ngabehi Tembawang. Babad Banyumas versi Darmasumarta B menyatakan bahwa pada masa Ngabehi Bawang, ibu kotanya dipindahkan ke Karangkamal. Perpindahan itu sering disebut-sebut dalam teks Babad Banyumas versi Wirjaatmadjan. Ngabehi Bawang dinyatakan mempunyai anak 8 orang, yaitu Raden Kukum, Banyak Widhe, Martayuda, Patrayuda, Demang Kedhung Wuluh, Tirtayuda, Surayuda, dan Mertanangga. Nama Kukum adalah suatu nama yang menjadi sebutan lengkapnya adalah Tumenggung Kokum. Raden Kukum adalah bupati Banyumas yang pertama yang memakai nama Tumenggung Yudanegara (I). Banyumas kembali menguasai Pasir, Panjer, Dayuehluhur, Ngayah, Galuh, Banjar, dan Mreden. Gaya hidup Yudanegara seperti raja dengan memabangun taman yang asri, bale kambang, dan mengambil dayang-dayang sebanyak 20 orang. Pada masa Yudanegara, terjadi pemberontakan Saradenta dan Saradenti yang sebenarnya anak buah Untung Surapati. Mereka berdua dijadikan tumenggung. Untung Surapati melaporkan bahwa di Kalijirek ada dua pemberontak tersebut kepada raja Mataram, Mangkurat. Selain dua orang tersebut, juga ada pemberontakan Cijambe. Yudanegara ditugaskan untuk menumpas pemberontakan Cijambe, sedangkan Untung Surapati untuk menangkap Saradenta-Saradenti. Surapati dengan mudah memancung dua orang bekas anak buahnya itu. Pemberontakan Cijambe juga dapat dihancurkan. Gaya hidup Yudanegara menjadikan istri padminya tidak senang dan mengadukan kepada raja. Yudanegara dihukum mati di masjid desa Tandha sehingga di dalam teks-teks lain disebut dengan nama anumerta Tumenggung Seda Masjid atau Tumenggung Todhan atau Tumenggung Kokum. Nama Tandha di dalam teks disebut desa Todhan. Yudanegara mempunyai enam orang anak, yaitu Raden Gandakusuma, Nyi Mangunyuda, Nyi Wangsanegara, Raden Somayuda, Patrayuda, dan Tirtayuda. Setelah Yudanegara mendapatkan hukuman mati, tidak ada seorang pun anaknya yang menggantikan kedudukannya di Banyumas. Pengganti Yudanegara adalah Suradipura. Suradipura dipecat karena melakukan kesalahan. Raden Gandakusuma diangkat menjadi bupati Banyumas dengan gelar Tumenggung Yudanegara II. Yudanegara II mempunyai empat orang anak, yaitu Raden Kendhuruhan, Raden Gandakusuma, Raden Ayu Dipayuda, dan Raden Ngabehi Dipayuda. Raden Gandakusuma diangkat anak oleh raja dengan dipersaudarakan Raden Mas Sujalma (di kemudian hari bernama Pangeran Mangkubumi). Pada masa Yudanegara II, di daerah Pasundan muncul lagi pemberontakan Cijambe. Pemberontakan tersebut pernah muncul pada zamannya Tumenggung Kokum. Pemberontakan tersebut sudah terdengar oleh raja. Raja mengirim utusan ke Banyumas karena Yudanegara II kelihatannya diam saja dan tidak melaporkan hal itu kepada raja. Raja memerintahkan agar Yudanegara II harus menangkap para pemberontak. Jika tidak berhasil akan dihukum pancung. Utusan sudah bertemu dengan Yudanegara II. Bupati Banyumas tersebut segera berangkat dengan membawa pasukan 200 orang. Utusan raja pulang Kartasura dan melaporkan bahwa Yudanegara II masih ada di rumahnya, serta ada perintah, baru berangkat membawa pasukan. Raja menyatakan bahwa Yudanegara II harus dihukum. Gandakusuma yang berada di keraton mengetahui bahwa raja akan menghukum ayahnya. Gandakusuma sebelum pulang ke Banyumas, mampir ke Pacinan untuk membeli roti, kue, dan gula batu. Yudanegara II pada waktu itu sedang menginap di desa Bawang. Gandakusuma menemui ayahnya dengan memberikan oleh-oleh dan minuman yang sudah dipersiapkan. Setelah minum, Yudanegara II merasa badannya panas dan sakit, kemudian jatuh, tetapi badannya dapat diselamatkan oleh Gandakusuma dengan dimasukkan ke dalam sebuah tandu. Gandakusuma membawa pulang ayahnya ke Banyumas. Yudanegara II ditempatkan di pendapa. Ketika diperiksa, Yudanegara II telah meninggal. Teks-teks Babad Banyumas yang lain menyebut Yudanegara II dengan nama anumerta Tumenggung Seda Pendhapa. Gandakusuma dan ibunya menghadap ke Kartasura. Mereka menyerahkan surat yang berisi berita bahwa pemberontakan Cijambe sudah dapat diberantas dan Yudanegara II meninggal sesampainya di pendapa dari medan perang. Gandakusuma diangkat menjadi bupati Banyumas dengan gelar Tumenggung Yudanegara III. Pada masa Yudanegara III menjadi bupati Banyumas, terjadi pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Salah seorang adik Yudanegara III yang bernama Ngabehi Dipayuda. Pada waktu perang, Dipayuda memakai pakaian dengan gaya Kumpeni sehingga ia menjadi sasaran.
133
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Tumenggung Yudanegara III merasa prihatin melihat pemberontakan tersebut. Sejak muda Yudanegara III senang bertapa. Yang selalu dicitakan adalah keturunannya selalu memerintah sebagai bupati di Banyumas tanpa disisipi oleh pejabat dari luar. Yudanegara III bertapa di rumah dengan mengurangi makan dan tidur. Selanjutnya, dengan kawalan seorang bawahannya, Yudanegara III pergi ke Nusakambangan. Dalam pertapaan itu, ada panggilan dari Gubernur Jenderal agar membantu untuk merukunkan raja dengan adiknya, Pangeran Mangkubumi. Setelah berhasil, Yudanegara III dijadikan patih dengan gelar Danuredja untuk mendampingi Sultan Hamengku Buwana di Yogyakarta. Yudanegara III mempunyai tiga orang adik, yaitu Mertawijaya, Ranuwijaya, dan Nyi Mangkudrana. Yudanegara III digantikan oleh anak tertuanya dengan gelar Tumenggung Yudanegara IV. Yudanegara IV mempunyai istri Raden Ayu Angger (Raden Ayu Sombrong), salah seorang putri dari Pangeran Adipati Arya Mangkunagara. Perkawinan tersebut melahirkan lima orang anak, yaitu Raden Mas Gandakusuma, Raden Mas Mertakusuma (di Ngayah), seorang perempuan diperistri Pangeran Mangkubumi, Raden Panji Panjer, dan Raden Mas Yudakusuma. Istri yang lain, Mas Ajeng Batang juga melahirkan lima orang anak, yaitu Ngabehi Sumareja (Ngabehi Kedhu), Ngabehi Tirtawijaya (Sokaraja), Ngabehi Ranawijaya (Ngabehi Kartanagara), seorang perempuan yang diperistri oleh Tumenggung Arungbinang di Panjer, dan Mangkureja. Istri dari Pasinggangan mempunyai dua orang anak, yaitu Mertayuda dan seorang perempuan yang menjadi istri Tumenggung Cakrawadana. Yudanegara IV diketahui oleh raja telah memelihara pasukan Bugis sehingga ia dipecat dan digantikan oleh Toyakusuma yang berasal dari trah Mangkunegaran. Toyakusuma menjadi bupati selama enam tahun dan digantikan oleh Gandakusuma dengan gelar Tumenggung Yudanegara V. Yudanegara V berputra enam orang, yaitu Gandakusuma, Raden Mas Kampung, Raden Mas Litnan, Raden Mas Jayeng Palugon, Raden Ayu Mertadireja, dan Raden Ayu Yudadiwirya. Pada masa itu, Belanda datang ke Pulau Jawa sehingga Sinuhun Bagus tidak suka dan memerintahkan kepada Yudanegara V untuk memerangi Kumpeni di Tegal. Pasukan Kumpeni dipimpin oleh Marsekalk. Marsekalk didampingi oleh dua orang Belanda dan seorang Jawa, yaitu Bupati Semarang. Mereka berempat membujuk Yudanegara V agar membatalkan memerangi Kumpeni. Agaknya, Yudanegara V terbujuk dan tidak jadi memerangi Kumpeni. Hal itu diketahui oleh Sinuhun Bagus sehingga pada bulan Mulud, Yudanegara V dipecat dari jabatan bupati Banyumas. Menurut tradisi lisan, keturunan laki-laki dari Yudanegara V tidak bisa memerintah karena kualat raja Jawa. Ada seorang kerabat raja yang menjadi pembesar di Pasir yang bernama Cakrawadana. Ia tinggal di sebelah timur Pasir, yang setelah menjadi kota disebut Purwokerto pada tahun Jawa 1714. Dalam perkembangannya, Pasir dibagi menjadi dua dengan dua orang pejabat, yaitu Cakrawadana di Purwokerto dan Mertadiredja di Sokaraja pada tahun Jawa 1718. Mertadiredja adalah anak Ngabehi Mertawijaya di Kedhungrandhu. Mertawijaya adalah anak Yudanegara III. Pemecatan Yudanegara V menjadikan Banyumas dibagi dua dengan dua orang pejabat yang berpangkat tumenggung, yaitu Cakrawadana sebagai Kasepuhan dan Mertadiredja sebagai Kanoman. Peristiwa pembagian Banyumas terjadi pada bulan Mulud tahun Jawa 1743. Yang menggantikan kedua pejabat di Pasir adalah Cakradirdja (di Purwokerto) dan Sumadirdja (di Sokaraja). Ketika rombongan Tumenggung Kanoman menghadap raja, para pejabat tersebut mendapatkan nama baru. Mertadiredja diganti menjadi Bratadiningrat, Sumadiredja menjadi Bratadimedja, dan pejabat-pejabat yang lain. Ketika meletus Perang Jawa, Pangeran Diponegoro memakai gelar Sultan Erucakra. Banyak pasukan Belanda yang tewas. Perang Jawa telah membuat Belanda mengalami kebangkrutan. Pangeran Diponegoro takluk kepada Belanda pada tahun Jawa 1757. Pulau Jawa, termasuk Banyumas, berada di bawah kekuasaan Belanda. Untuk Banyumas, Cakradirdja diangkat menjadi Raden Adipati Cakranagara, sedangkan yang di Purwokerto adalah anak Bratadiningrat, yaitu Bratadimedja dengan gelar Raden Adipati Mertadiredja (II). 6. Klien Patron Banyumas-Belanda Bratadiningrat (Mertadiredja I) mempunyai anak 12 orang, yaitu (1) Raden Ayu Patih Tirtasoera, (2) Raden Mahmut (meninggal muda), (3) Raden Kartadirdja (Ngabehi Sokaraja), (4) istri Demang Sigaluh, (5) Mertadikrama, (6) Raden Adipati Mertadirdja, (7) Mlajasari (di Surakarta), (8) Mertawijaya, (9) Sasraredja (Patih Purwokerto dan Patih Cilacap), (10) istri Wangsabrata (Kebumen), (11) Surawidjaja, dan (12) Suradimedja (mantri pulisi Jatilawang). Mlayasari yang tinggal di Surakarta menjadi istri selir Paku Buwana V dan berputra Pangeran Sindusena. Raden Adipati Mertadiredja (II) berputra 13 orang, yaitu (1) Raden Nganten Atmarana, (2) Raden Sumardirdja (onderkolektur Purwokerto), (3) Raden Ayu Yudaatmadja (wadana Jatilawang), (4) Raden 134
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Ayu Sumadiningrat (istri patih Pamalang), (5) Raden Ayu (istri Djajadiredja, bupati Purwokerto), (6) Raden Mangkuredja (kolektur Purwokerto), (7) Raden Mertasura (mantri gudang kopi Jatilawang), (8) Raden Ayu Pangulu, (9) Raden Sasradirdja (jaksa Banjarnagara), (10) Kangjeng Pangeran Mertadiredja, (11) Raden Ayu Djajasumitra (Karangkemiri), (12) Raden Ayu Patih Santadiredja (Patih Banyumas), dan (13) Raden Singadirdja. Mertadiredja II meninggal dan dimakamkan di Kalibogor. Yang menggantikan adalah menantunya yang bernama Raden Tumenggung Djajadiredja. Djajadiredja dibuang ke Padang karena ia bermasalah. Djajadiredja digantikan oleh Mertadiredja III sebagai bupati Purwokerto. Mertadiredja III dipindahkan ke Banyumas dan sebaliknya keturunan Cakranagara dipindahkan ke Purwokerto. Mertadiredja III mendapat gelar pangeran dan pensiun pada tahun Jawa 1857. Pada bulan Maret 1927, Pangeran Mertadiredja III meninggal dunia dan dimakamkan di Kalibogor. Yang menggantikan Pangeran Mertadiredja III adalah Raden Gandasoebrata, yang sebelumnya menjadi patih Banyumas dengan gelar Raden Tumenggung Gandasoebrata. Gandasoebrata menjadi penutup bagi teks Darmasumarta B. Teks diselesaikan penulisannya di Paguwon pada hari Minggu Wage, tanggal 1 Sapar 1858 Jimakir (1346 H), mangsa Kasa atau tanggal 31 Juli 1927. KESIMPULAN Babad Banyumas versi Darmasumarta B mencirikan teksnya dengan deskripsi relasi klien dan patron yang berbeda sesuai dengan periodisasi kerajaan Jawa dari zaman Majapahit hingga diakhiri dengan Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda. Patron Majapahit menjadi kebanggaan bagi klien Wirasaba karena Majapahit adalah kerajaan besar yang pernah berkuasa di Nusantara dan berpengaruh di Pulau Jawa. Patron Demak difungsikan dalam teks dengan berita Islamisasi di Wirasaba yang berkaitan dengan kasus perkawinan secara Islam yang menyangkut putri Adipati Warga Utama I dengan putra Demang Toyareka. Patron Pajang difungsikan dalam teks dengan peristiwa naas yang menyangkut Adipati Warga Utama I pada hari Sabtu Pahing. Peristiwa kematian tersebut menjadi landasan legitimasi bagi Bagus Mangun yang menggantikan mertuanya dengan gelar Adipati Warga Utama II, yang menjadi pendiri Banyumas dengan nama anumerta Adipati Mrapat. Patron Mataram difungsikan untuk menjelaskan munculnya nama Kalikethok (Kaligathuk) dan kedudukan Banyumas lebih sempit. Masa pemerintahan Gandasoebrata tidak diceritakan dalam teks dan hanya sebagai penanda akhir dari teks. DAFTAR PUSTAKA Behrend, T. E. & Titik Pudjiastuti. 1997. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Jilid 3-B Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO. Culler, Jonathan. 1981. The Pursuit of Signs, Semiotics, Literature, Deconstruction. London & Henley: Routledge & Kegan Paul. Eagleton, Terry. 1988. Teori Kesusasteraan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. Ekadjati, Edi Suhardi dan Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusanatara Jilid 5A, Jawa Barat, Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO. Knebel, J. 1901. “Babad Banjoemas, Volgens een Banjoemaasch Handschrift beschreven.” Tijdschrift van het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, deel XLIII: 397443. Priyadi, Sugeng. 1990. “Tinjauan Awal tentang Serat Babad Banyumas sebagai Sumber Sejarah.” Seminar Sejarah Nasional V. Semarang: Jarahnitra, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Depdikbud. Priyadi, Sugeng. 1996. “Sejarah Pangiwa dalam Tedhakan Serat Babad Banyumas.” Dalam Kebudayaan No. 10: 63-67. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Priyadi, Sugeng. 1999. “Babad Banyumas dalam teks Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara.” Kajian Sastra, No.27-28/XXIII: 228-236. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Priyadi, Sugeng. 2000. “Tedhakan Serat Babad Banyumas: Suntingan Teks, Terjemahan, dan Fungsi Genealogi dalam Kerangka Struktur Naratif.” Laporan Penelitian. Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Priyadi, Sugeng. 2001a. Makna Pantangan Sabtu Pahing. Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
135
Prosiding Seminar Hasil Penelitian LPPM UMP 2014 ISBN 978-602-14930-2-1 Purwokerto, 6 September 2014 Priyadi, Sugeng. 2001b. “Babad Banyumas: Budaya Pantangan dan Pantangan Sabtu Pahing.” Bahasa dan Seni. Tahun 29 edisi khusus (Oktober): 378-395. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Priyadi, Sugeng. 2002. Banyumas: Antara Jawa dan Sunda. Semarang: Penerbit Mimbar-The Ford Foundation-Yayasan Adikarya Ikapi. Priyadi, Sugeng. 2010. ”Dinamika Sosial Budaya Banyumas dalam Babad Banyumas Versi Wirjaatmadjan: Suntingan Teks dan Terjemahan.” Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Priyadi, Sugeng. 2011. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Priyadi, Sugeng & Kartono. 2013. “Babad Banyumas Versi Darmasumarta A,” Hasil Penelitian Tidak Dipublikasikan. Purwokerto: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Sulastin-Sutrisno, 1994. “Teori Filologi dan Penerapannya.” dalam Siti Baroroh Baried, dkk. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: BPPF Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka.
136