Tinjauan Pustaka
Fruktooligosakarida dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang Diabetes Melitus Tipe 2
Nurul Ratna Mutu Manikam, Savitri Sayogo Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak: Prevalensi Diabetes melitus (DM) di dunia terus meningkat, 90% di antaranya merupakan DM tipe 2. Diabetes merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia akibat kelainan sekresi atau kerja insulin. Salah satu upaya untuk mengoptimalkan sekresi insulin dan memperbaiki kadar glukosa darah adalah dengan stimulasi hormon glucagon-like peptide-1 (GLP-1), yang dapat diinduksi melalui peningkatan aktivitas asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) di dalam kolon. Komponen SCFA dapat disintesis dari fermentasi komponen karbohidrat tanaman yang tidak dapat dicerna, salah satunya adalah fruktooligosakarida (FOS). Konsumsi FOS selain bermanfaat sebagai prebiotik, juga dapat meningkatkan jumlah prekursor GLP-1 di ileum dan kolon. Studi pada hewan coba memperlihatkan FOS berperanan meningkatkan produksi GLP-1 di kolon, meningkatkan kadar insulin plasma, dan memperbaiki toleransi glukosa. Penelitian pada manusia memperlihatkan kontroversi dalam pengaruh FOS terhadap kadar glukosa darah puasa. Hal tersebut membuka peluang penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efek FOS terhadap produksi GLP-1, kadar insulin dan glukosa darah pada penyandang DM tipe 2 untuk menjawab hasil yang masih kontroversi. Kata kunci: diabetes melitus, fruktooligosakarida, glucagon-like peptide-1, glukosa darah
86
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
Fruktooligosakarida, dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang DM
Fruktooligosakarida and its Effet on Glucagon-like Peptide-1 Hormone in People with Type 2 Diabetes Mellitus Nurul Ratna Mutu Manikam, Savitri Sayogo Department of Nutritional Medicine, Faculty Medicine University of Indonesia, Jakarta
Abstract: Worldwide prevalence of diabetes mellitus (DM) keep rising and 90% of which is type 2 DM. Diabetes is a chronic metabolic disease characterized by hyperglycemia resulted from impairement of insulin secretion or function. An approach to optimalized insulin secretion and improve blood glucose is stimulation by glucagon-like peptide-1 (GLP-1) that can be induced by enhancing short chain fatty acid (SCFA) activity in colon. The component of SCFA could be synthesized from non-digestible carbohydrate fermentation, i.e fructoligosaccharide (FOS). FOS is not only has prebiotic properties, but also can increase the numbers of GLP-1 precursors in ileum and colon. Animal studies showed that FOS plays a role in increasing colonic GLP-1 production, increasing plasma insulin level, and improving glucose tolerance. Some human studies showed that FOS can reduce fasting plasma glucose level, while other studies failed to show this effect on blood glucose. Further research of the effect of FOS on GLP-1 production, insulin and blood glucose plasma levels in DM are thus expected to answer this controversy. Keywords: diabetes mellitus, fructooligosaccharide, glucagon-like peptide-1, blood glucose
Pendahuluan Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia yang terjadi akibat gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1 Jumlah penyandang DM di Indonesia terus meningkat, 90% di antaranya merupakan DM tipe 2.2 Prevalensi penyandang DM tipe 2 di Indonesia diperkirakan akan meningkat dari 6,9 juta orang pada tahun 2010 menjadi 12 juta orang pada tahun 2030. Studi yang dilakukan pada 18 pusat terapi DM di Indonesia memperlihatkan bahwa rerata usia penyandang DM 58,9±9,57 tahun dengan rerata indeks massa tubuh (IMT) 25,2±3,6 kg/m2.3 Hiperglikemia dapat disebabkan oleh adanya resistensi insulin perifer, gangguan produksi glukosa hati, maupun kerusakan sel β pankreas. Awalnya terjadi resistensi insulin, selanjutnya terjadi peningkatan sekresi insulin yang disebabkan oleh mekanisme kompensasi untuk mempertahankan agar kadar glukosa darah tetap normal. Namun, bila keadaan tersebut berlangsung terus, sel β pankreas tidak akan mampu lagi melakukan kompensasi, sehingga terjadi penurunan fungsi sel β pankreas yang akan lebih meningkatkan kadar glukosa darah.4 Salah satu upaya untuk memperbaiki fungsi sel β pankreas adalah melalui stimulasi hormon inkretin. Salah satu jenis inkretin adalah glucagon-like peptide-1 (GLP-1), yang disekresi oleh sel L endokrin di mukosa sekum dan kolon. Hormon GLP-1 berperanan penting dalam stimulasi sel β pankreas untuk menghasilkan insulin,5,6 dan secara langsung Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
menghambat sekresi glukagon, sehingga terjadi penurunan kadar glukosa darah pascapandrial.5 Stimulasi sekresi GLP-1 berlangsung segera setelah seseorang mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan protein,5 dan mencapai puncaknya dalam 30-120 menit setelah makan. Namun, pada penyandang, DM tipe 2 tampak adanya kecenderungan bahwa sekresi GLP1 lebih rendah dibandingkan dengan individu sehat.7 Selain karbohidrat dan protein, asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) juga berperanan dalam peningkatan kadar GLP-1.8,9 Asam lemak ini dihasilkan dari fermentasi komponen karbohidrat yang tidak dapat dicerna, salah satunya adalah fruktooligosakarida (FOS). Patogenesis Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa >126 mg/dL atau kadar glukosa darah dua jam posprandial >200 mg/dL.10 Diagnosis tersebut ditegakkan berdasarkan pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.1,10 Resistensi insulin sebagai dasar patogenesis DM adalah keadaan menurunnya kemampuan jaringan target untuk bereaksi terhadap peningkatan kadar glukosa dalam sirkulasi. Jaringan target yang dimaksud adalah sel hati, sel adiposa, dan sel otot rangka Resistensi insulin yang disertai disfungsi sel β pankreas merupakan penyebab terjadinya DM tipe 2.11 87
Fruktooligosakarida, dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang DM Meningkatnya jumlah jaringan lemak viseral menyebabkan meningkatnya lipolisis sehingga terbentuk asam lemak bebas (ALB) dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan. Kelebihan ALB ini menyebabkan hambatan degradasi insulin di hati sehingga terjadi hiperinsulinemia sebagai respons tubuh untuk menjaga kadar glukosa plasma tetap normal.11 ALB yang berlebihan juga (a) menginduksi proses glukoneogenesis sehingga sumber energi terus menerus diproduksi, dan (b) menurunkan kepekaan jaringan perifer (terutama otot rangka) terhadap adanya insulin.12 Lama kelamaan, bila kadar ALB masih tetap tinggi, fungsi sel β pankreas semakin menurun sehingga tidak mampu menghasilkan insulin dalam jumlah yang memadai.12 Glukagon Like Peptide-1 Pada tahun 1932 Labarre memperkenalkan istilah hormon inkretin yaitu suatu zat yang punya aktivitas humoral yang dihasilkan di usus atas pengaruh makanan, dan befungsi meningkatkan sekresi endokrin pankreas.5 Inkretin yang efeknya paling poten, yaitu GLP-1,1313 mempengaruhi sekitar 80% peningkatan respons insulin. Selebihnya, peningkatan sekitar 20%, dipengaruhi oleh glucose-dependent insulinotropic peptides (GIP).14 Hormon GLP-1 disandi oleh gen prekursor yang sama dengan gen precursor yang menyandi glukagon, yaitu gen proglukagon. Namun, setelah mengalami translasi, gen proglukagon ini mengalami modifikasi pascatranslasi untuk membentuk gen yang menyandi hormon GLP-1 di usus dan gen yang menyandi hormon glukagon di pankreas. Hormon GLP-1 dikode dalam gen glukagon yang terletak di q36–q37 pada kromosom nomor 2, dan terdiri dari enam ekson dan lima intron. Hormon ini terdiri dari 30 asam amino dengan arginin sebagai asam amino terminal; 14 asam amino yang terkandung dalam hormon ini mirip dengan asam amino glukagon.15 Meskipun berasal dari gen prekursor yang sama, hormon GLP-1 dan glukagon memiliki efek fisiologi yang berbeda. Glukagon berfungsi mempertahankan kadar glukosa darah dalam keadaan puasa, sedangkan GLP-1 berfungsi untuk merangsang sekresi insulin serta menurunkan kadar glukosa darah setelah makan.5 Sekresi utama GLP-1 terjadi di sel L yang terletak di sepanjang usus halus dan usus besar, yang semakin banyak jumlahnya mulai dari jejunum, ileum hingga ke kolon dan rektum. Bagian basal sel L berisi granula sekretorik yang banyak mengandung GLP-1 yang akan dilepaskan bila sel teraktivasi.5,15 Metabolisme GLP-1 Kadar GLP-1 dalam keadaan puasa sebesar 5-15 pmol/ L, dan meningkat secara cepat dalam beberapa menit setelah makan menjadi 20-30 pmol/L.15 Paparan karbohidrat, protein, dan lemak secara langsung dapat merangsang sel L 88
usus untuk mensekresi GLP-1.5,15,16 Hormon GLP-1 yang telah disekresikan kemudian segera dieliminasi dari sirkulasi dalam waktu kurang dari lima menit, oleh karenanya waktu paruh GLP-1 di sirkulasi hanya sekitar satu hingga dua menit.5,16 Proses eliminasi tersebut terjadi melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui proses enzimatik oleh enzim dipeptidil peptidase (DPP) IV yang terdapat di sel endotel lumen usus. Enzim tersebut memotong GLP-1 pada ujung terminal rantai asam amino histidin-alanin, menghasilkan GLP-19-36 amide yang tidak aktif. Jalur kedua berupa ekskresi melalui proses filtrasi glomerulus dan katabolisme di tubulus renalis ginjal. Jalur ketiga adalah ikatannya secara langsung pada reseptor GLP-1.15 Berikut ini beberapa efek GLP-1 dalam tubuh. l Stimulasi sekresi insulin: Hormon GLP-1 merupakan stimulan sekresi insulin yang poten baik in vivo maupun in vitro. Hormon ini berkhasiat merangsang ekspresi gen pro-insulin dan sintesis insulin. Mekanisme insulinotropik ini bergantung pada kadar glukosa, dan untuk stimulasi sekresi insulin diperlukan glukosa sekitar 3 mmol/L. Setelah terjadi sekresi insulin, maka kadar glukosa di sirkulasi segera menurun, dengan demikian efek GLP-1 akan hilang dengan sendirinya.15 l Menghambat sekresi glukagon. GLP-1 menghambat sekresi glukagon, ini terbukti dari terdapatnya reseptor GLP-1 di sel β pankreas yang menghasilkan glukagon. Bila GLP-1 yang disekresikan oleh sel L usus beredar di sirkulasi sistemik dan mencapai reseptornya di pankreas, maka sekresi glukagon secara langsung akan dihambat melalui ikatan GLP-1 dengan reseptornya di sel β pankreas dan secara tidak langsung melalui sekresi insulin dan somatostatin.15,17 Akibatnya, kadar glukosa darah turun karena kadar insulin di sirkulasi lebih tinggi daripada glukagon. Hambatan sekresi glukagon juga terjadi secara tidak langsung oleh adanya peningkatan kadar insulin pascamakan. Insulin dan glukagon berfungsi secara antagonis artinya bila terjadi sekresi insulin secara automatis akan terjadi hambatan sekresi glukagon.15 l Efek pada metabolisme karbohidrat Hormon GLP-1 meningkatkan rasio insulin terhadap glukagon, dan ini mengakibatkan terjadinya hambatan produksi glukosa hati sehingga kadar glukosa di sirkulasi menurun.15 Faktor yang memengaruhi kadar GLP-1 Beberapa hal di bawah ini dapat meningkatkan kadar GLP-1 dalam sirkulasi. l Glukosa. Pemberian glukosa secara oral dapat meningkatkan kadar GLP-1 lebih besar dibandingkan dengan akibat pemberian glukosa intravena dengan jumlah yang sama. Hal ini terjadi akibat efek sekresi inkretin apabila terdapat Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
Fruktooligosakarida, dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang DM
l
l
l
makanan dalam usus.5,18 Protein. Protein hidrolisat, atau pepton, merupakan nutrien yang dapat meningkatkan kadar GLP-1 karena pepton memiliki struktur peptida yang mirip komponen protein di dalam kimus usus.5 Lemak. Peningkatan jumlah mRNA proglukagon sebagai prekursor GLP-1 dapat terjadi karena adanya SCFA yang berasal dari hasil fermentasi serat oleh bakteri anaerob di kolon.5 Selain SCFA, asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (mono-unsaturated fatty acid/MUFA) juga menstimulasi sekresi GLP-1.7 Hormon dan neurotransmitter. Sekresi GLP-1 juga dipengaruhi oleh aktivasi parakrin di sekitar sel enterosit seperti glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP) yang dihasilkan oleh duodenum, gastrin releasing peptide (GRP), agonis muskarinik, dan bethanechol.15
Stimulasi sekresi GLP-1 lebih tinggi pada keadaan setelah makan dibandingkan dengan pada keadaan puasa. Studi oleh Ahren et al memperlihatkan bahwa kadar GLP-1 dapat diukur setelah subjek diberi sarapan yang mengandung 50% karbohidrat, 27% protein, dan 23% lemak setelah subyek dipuasakan semalaman.19 Terdapat dua faktor yang menghambat sekresi GLP-1, yaitu: l Hormon Somatostatin yang disekresi dari sel β pankreas dan glukagon yang berasal dari sel β pankreas merupakan penghambat sekresi GLP-1.15 l Enzim Enzim DPP IV adalah enzim yang memotong ikatan asam amino di posisi kedua ikatan histidin-alanin sehingga menghasilkan fragmen peptida antagonis yang secara cepat menghambat aktivitas biologis GLP-1.15 Peranan GLP-1 pada penyandang DM tipe 2 Ada beberapa peranan GLP-1 pada penyandang DM tipe 2. l
l
l
Hormon GLP-1 dapat memperbaiki defek pada pankreas, dengan cara meningkatkan sensitivitas sel β terhadap peningkatan kadar glukosa di sirkulasi.15 Karena merangsang sekresi insulin, dibandingkan dengan hipoglikemik oral, obat yang mengandung GLP1 jarang memberikan efek hipoglikemia.15 Hal tersebut karena kadar GLP-1 meningkat cepat dalam waktu 30 menit setelah makan, kemudian menurun dengan sendirinya seiring dengan menurunnya kadar glukosa darah. 15 Meningkatnya rasio insulin terhadap glukagon sebagai efek GLP-1 menyebabkan perbaikan metabolisme karbohidrat, sehingga peningkatan kadar ALB di
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
sirkulasi yang terjadi pada penderita DM tipe 2 dapat diturunkan.6 Fruktooligosakarida Fruktooligosakarida (FOS) merupakan substansi karbohidrat dari famili fruktan, terdiri dari bermacam-macam gugus polimer fruktosa. Zat ini terdapat pada berbagai jenis tanaman, dan disimpan sebagai karbohidrat oleh tanaman. Dalam penggolongan serat pangan, FOS termasuk dalam serat fungsional karena memiliki efek fisiologis yang berguna bagi kesehatan manusia.20 FOS mengandung campuran oligomer dan polimer β-(21)-fruktosa.20,21 Karena adanya konfigurasi β pada monomer fruktosa, FOS tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan usus halus.22 Struktur kimia FOS ditunjukkan dengan simbol GFn; G menunjukkan unit glukosil, F menunjukkan unit fruktosil, sedangkan n menunjukkan jumlah unit yang terikat oleh â-(2-1)-fruktosa. Unit fruktosil pada FOS panjangnya bervariasi antara dua hingga lebih dari 60 fruktosil.21,23 Fungsi Fungsi FOS antara lain sebagai berikut. l Peningkatan jumlah sel L dalam usus Konsumsi FOS bermanfaat meningkatkan jumlah sel L usus, terutama yang terletak di proksimal kolon. Studi yang dilakukan pada hewan coba memperlihatkan jumlah sel L usus meningkat dua kali lebih banyak setelah konsumsi FOS selama empat minggu.24 l Penghasil komponen SCFA. Sifat FOS yang tahan terhadap enzim pencernaan saluran cerna bagian atas, menyebabkan komponen FOS tetap utuh di usus halus. Di kolon, FOS mengalami fermentasi oleh bakteri anaerob dan menghasilkan SCFA (asetat, propionat, butirat), asam laktat, serta beberapa gas seperti hidrogen (H2), karbondioksida (CO2), dan metan (CH4).25 l Sebagai prebiotik FOS berfungsi sebagai prebiotik melalui penurunan pH di dalam kolon yang bermanfaat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, terutama Escherichia coli, Clostridium spp, dan Bacteroides, serta dapat meningkatkan aktivitas dan pertumbuhan bakteri komensal di kolon.21,22,26 Sebagai prebiotik, FOS dapat dikombinasi dengan probiotik (misalkan dalam yogurt) untuk menghasilkan efek sinbiotik.21 l Penyedia energi dan substrat metabolisme. Sekitar 90–95% SCFA diabsorbsi di sekum dan kolon ascenden. Salah satu komponen SCFA, yaitu butirat digunakan sebagai sumber energi utama bagi kolonosit; sedangkan propionat, laktat, dan asetat masuk ke dalam vena porta menuju ke hati untuk mengalami metabolisme lebih lanjut.25 l Meningkatkan volume (bulk) feses dan mencegah konstipasi
89
Fruktooligosakarida, dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang DM Meningkatnya jumlah bakteri anaerob akibat proses fermentasi menyebabkan berat kering feses (fecal dry weight) dan ekskresi biomassa bakteri meningkat. Setiap gram FOS yang dimakan dapat meningkatkan berat feses sebesar 1,5-2 gram, sehingga FOS juga dapat digunakan untuk menanggulangi konstipasi. 21,23 Bahan Makanan Sumber FOS Bahan makanan sumber FOS tersebar luas, tidak hanya dalam jumlah yang kecil, tetapi dapat mencapai beberapa gram dari makanan sehari-hari.21 Seratus gram bawang putih dapat mengandung 3-6% FOS, sedangkan 100 gram bawang bombay mengandung 2-6% FOS, sementara 100 gram asparagus mengandung 2-3% FOS.20,27 Selain itu, FOS terdapat pada pisang, apel merah, pir, semangka, dan singkong sekitar 0,1 hingga 1,4% dalam 100 gramnya.28 Angka Kebutuhan Kebutuhan tubuh akan FOS belum diketahui secara jelas, tetapi konsumsi rata-rata di negara Eropa sekitar 3–11 gram per hari, dan konsumsi di Amerika Utara sekitar 1–4 gram per hari.21,23 Asupan FOS yang dapat ditoleransi per hari adalah sampai 20 gram. 21 Penelitian Roberfroid et al memperlihatkan bahwa untuk mendapatkan efek prebiotik dibutuhkan dosis minimal FOS sebanyak 4 gram per hari untuk meningkatkan aktivitas bifidobacteria, 21 sedangkan menurut Bouhnik et al 29 peningkatan aktivitas bifidogenik mulai terjadi dengan mengonsumsi FOS sedikitnya 2,5 gram per hari. Efek Samping Pada umumnya serat pangan dapat menyebabkan beberapa efek samping yang tidak diinginkan, seperti gangguan absorpsi vitamin dan mineral, reaksi alergi, maupun efek yang merugikan pada flora normal usus serta metabolismenya. Efek negatif tersebut tidak ditemukan pada penggunaan FOS.21 Namun demikian, suatu studi yang pernah dilakukan pada perempuan usia 20-36 tahun memperlihatkan bahwa penggunaan FOS sebesar 14 gram
per hari selama empat minggu dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, seperti kembung, nyeri perut, dan flatulen.30 Studi lain oleh Bouhnik et al.29 memperlihatkan bahwa FOS dapat ditoleransi dengan baik dengan dosis 2,5-10 gram per hari. Peranan FOS dalam Meningkatkan Kadar Glucagon-like peptide-1 Penyandang DM Tipe 2 Hasil fermentasi FOS berupa SCFA berperanan dalam meningkatkan ekspresi gen prekursor GLP-1 sehingga kadar GLP-1 di vena porta meningkat. Peningkatan kadar GLP-1 ini dapat menginduksi sekresi insulin, meningkatkan proliferasi sel β pankreas, serta mengendalikan sintesis glukagon pada sel otot.24 Mekanisme tersebut di atas tampak dari hasil beberapa studi intervensi yang pernah dilakukan. Penelitian pada hewan coba memperlihatkan FOS dapat meningkatkan kadar GLP-1, namun pada manusia belum ada penelitian yang mengkaitkan FOS dengan kadar GLP-1. Peranan FOS terhadap kadar glukosa darah penyandang DM hasilnya juga tampak masih kontroversi (Tabel 1). Ringkasan Salah satu upaya untuk memperbaiki kadar glukosa darah dan kadar insulin adalah melalui stimulasi efek GLP-1. Produksi GLP-1 dapat ditingkatkan melalui peningkatan jumlah SCFA yang merupakan hasil fermentasi komponen karbohidrat tanaman yang salah satunya adalah FOS. Bahan makanan sumber FOS banyak ditemukan di Indonesia, dan merupakan bagian dari konsumsi sehari-hari. Beberapa hasil penelitian pada hewan coba memerlihatkan konsumsi FOS memberikan hasil yang menggembirakan, namun penelitian pada manusia memperlihatkan hasil yang kontroversial. Hal tersebut membuka peluang untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebagai langkah baru dalam penanggulangan DM. Daftar Pustaka 1.
Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta:
Tabel 1. Matriks Rujukan Penelitian Subyek penelitian
Desain penelitian
Intervensi
Parameter
Model tikus diabetes
Studi intervensi dengan kontrol plasebo Studi intervensi dengan kontrol plasebo Studi intervensi dengan kontrol plasebo Desain menyilang dengan kontrol plasebo Desain menyilang dengan kontrol plasebo
10% FOS dari total makanan FOS 10 gram
Kadar GLP-1
Meningkat
Kadar GLP-1
Meningkat
FOS 8 gram dan konseling gizi FOS 20 gram dan konseling gizi FOS 15 gram dan konseling gizi
Kadar insulin
Meningkat
Kadar glukosa darah puasa Produksi glukosa basal Kadar glukosa darah puasa Berat badan
Menurun
No. 34
Tidak ada perubahan
No. 35
Model tikus diabetes Penyandang DM tipe 2 Penyandang DM tipe 2 Penyandang DM tipe 2
90
Efek yang diamati
Rujukan No. 31 No. 32 No. 33
Tidak ada perubahan Menurun
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
Fruktooligosakarida, dan Pengaruhnya terhadap Hormon Glucagon-like Peptide-1 pada Penyandang DM
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Pusat Penerbitan Penyakit Dalam FK UI. 2006.h.1880-90. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A. The diabcare asia 2008 study-outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients in Indonesial. Med J Indones. 2010;19:235-44. Suyono S. Patofisiologi diabetes melitus. Dalam: Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2009. hal. 11-8. Kieffer TJ, Habener JF. The glucagon-like peptides. Endocr Rev. 1999;20(6):876-913. Available from:http://www.edrv. endojournals.org/cgi/reprint/876. Drucker DJ. Enhancing incretin action for the treatment of type 2 diabetes. Diab Care. 2003;26:2929-40. Available from: http:/ /care.diabetesjournal.org/content/26/10/2929.full.pdf. Leon DD, Crtuchlow MF, Jee YNH. Role of glucagon-like peptide-1 in the pathogenesis and treatment of diabetes mellitus. Int J Biochem Cell Biol. 2006;38:845-59. Available from: http:// www.springerlink.com/content Brighenti F. Dietary fructans and serum triacylglycerols: A metaanalisis of randomized controlled trials. J Nutr. 2007;137:2552S6S. Kok NN, Morgan LM, Williams CM, Roberfroid MB, Thissen JP, Delzenne NM. Insulin, glucagon-like peptide 1, glucose-dependent insulinotropic polypetide and insulin-like growth factor 1 as putative mediators of the hypolipidemic effect of oligofructose in rats. J Nutr 1998;128:1099-1103. Available from: http://www.jn.nutrition.org/cgi/reprint. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta. Champe PC, Harvey RA, Ferrier DR. Biochemistry. edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2008.hal.33747. Semiardji G. The significant of visceral fat in metabolic syndrome. Dalam: Optimizing Efforts in the Prevention of Type 2 Diabetes Mellitus. Dibacakan pada seminar Jakarta Diabetes Meeting; 2004 Oktober; Jakarta: Indonesia. Jakarta: Divisi Endokrinologi dan Metabolik FK UI. 2004.hal.69-75. Druce MR, Small CJ, Bloom SR. Minireview: Gut peptides regulating satiety. Endocr. 2004;145:2660-65. Available from: http:/ /www.endo.endojournals.org/cgi/reprint/14562660. Anderson JW. Diabetes Mellitus: Medical nutrition therapy. Dalam: Shils ME, Shike M, Ross AC, Caballero B, Cousins RJ, editor. Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi ke-10. Philadelphia: Lippincot Williams and Wilkins. 2006. hal.104364. Ahren B. Glukagon-Like Peptide-1 (GLP-1): A gut hormone of potential interest in the treatment of diabetes. Bio Essay. 1998; 20:642-51. Holst JJ. The physiology of glucagon-like peptide-1. Pysiol Rev 2007;87:1409-39. Available from: http://physrev.physiology.org/ cgi/reprint/8741409. Campbell RK. Rationale for dipeptidyl peptidase 4 inhibitors: a new class of oral agents for the treatment of type 2 diabetes mellitus. Ann Pharmacother. 2007;41:51-60. Waspadji S. Diabetes Melitus: Mekanisme dasar dan pengelolaannya yang rasional. Dalam: Soegondo S, Soewondo P, Subekti I, editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009.hal.31-45. Ahren B, Holst JJ, Mari A. Characterization of GLP-1 effects on β-cell function after meal ingestion in humans. Diab Care.
Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 2, Februari 2011
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32
33.
34.
35.
2003;26:2860-64. Available from: http://www.care.diabetesjournals.org/content/26/10/2860.full.pdf Gallagher ML. The nutrients and their metabolism. Dalam: Mahan LK, Stump SE, editor. Krause’s Food and Nutrition Therapy. edisi ke-12. Missouri: Saunders Elsevier. 2008.hal.47-8. Coussement P, Franck A. Inulin and Oligofructose. Dalam: Cho SS, Dreher ML, editor. Handbook of Dietary Fiber. New York: Marcel Dekker; 2001.hal.721-32. Roberfroid. Inulin-type fructans: functional food ingredients. J Nutr 2007;137:2493-502S. Available from: http://jn.nutrition. org/cgi/reprint/249302502. Niness KR. Inulin and oligofructose: What are they? J Nutr 1999;129:1402S-6S. Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/ reprint/14020140624 Delzenne NM, Cani PD, Neyrinck Am. Modulation of Glucagon Like Peptide-1 and energy metabolism by fruktooligosakarida and oligofructose: experimental data. J Nutr. 2007;137:2547S51S. Available from: http://jn.nutrition. org/cgi/reprint/ 137112547S Roberfroid MB. Dietary fiber properties and health benefits of non-digestible oligosaccharides. Dalam: Cho SS, Prosky L, Dreher ML, editor. Complex Carbohydrates in Food. New York: Marcel Dekker; 1999.hal.25-32. Roberfroid MB, Van Loo JAE, Gibson GR. The Bifidogenic Nature of Chicory Inulin and Its Hydrolisis Products. J Nutr. 1998;128:11-19. Available from: http://jn.nutrition.org/cgi/reprint/1119 Coussement P. Inulin and Oligofructose as Dietary Fiber: Analytical, Nutritional and Legal Aspects. Dalam: Cho SS, Prosky L, Dreher ML, editor. Complex Carbohidrates in Food. New York: Marcel Dekker; 1999.hal.203-16. Food and Drug Administration. Generally recognized as safe notification for short chain fructooligosaccharide. Virginia: Environ International Corp; 2000. Avalable from: http://www. accessdata.fda.gov/scripts/fcn/gras_notice/302413A.pdf. Bouhnik Y, Raskine L, Simoneau G, Paineau D, Bornet F. The capacity of short chain fructooligosaccharides to stimulate faecal bifidobacteria: a dose-response relationship study in healthy humans. Nutr J 2006;5:8. Available from: http://www.nutritionj. com/content/pdf/1475. Pederson A, Sandstrom B, Van Amelsvoort JMM. The Effect of Ingestion of Inulin and Oligofructose on Blood Lipids and Gastrointestinal Symptoms in Healthy Females. Br J Nutr. 1997; 78:215-22. Delzenne NM, Cani PD, Daubioul C, Neyrinck AM. Impact of inulin and oligofructose on gastrointestinal peptides. Br J Nutr. 2005;93:S157-61. Cani PD, Daubioul CA, Reusens B, Remacle C, Catillon G, Delzenne NM. Involvement of Endogenous Glucagon-Like Peptide-1 (736) amide on Glycaemia Lowering Effect of Oligofructose In Streptozotocin Treated Rats. J Endocr. 2005;185:457-65. Yamashita K, Kawai K, Itakura M. Effect of fructo-oligosaccharides on blood glucose and serum lipids in diabetic subjects. Nutr Res. 1984;4:961-6. Luo J, Yperselle MV, Rizkalla SW, Rossi F, Bornet FRJ, et al. Chronic consumption of short chain fructooligosaccharides does not affect basal hepatic glucose production or insulin resistance in type 2 diabetics. J Nutr. 2000; 130:1572-7. Alles MS, de Roos NM, Bakx JC, van de Lisdonk E, Zock PL, et al. Consumption of fructooligosaccharides does not favorably affect blood glucose and serum lipid concentrations in patients with type 2 diabetes. Am J Clin Nutr. 1999;69:64-9. ZD/FS/YY
91