Friendster : ‘Tuhan’ Baru? Oleh: Adi Onggoboyo
Cyperspace, sebagai salah satu kecanggihan teknologi informasi, tiada bosannya memanjakan
manusia
dengan
tawaran-tawaran
yang
menyenangkan.
Dalam
perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat, selalu saja dibarengi dengan munculnya kreativitas, baik pada pengembangan konsep maupun pada tataran aplikasi. Belakangan ini, salah satu bentuk aplikasi baru yang kreatif dalam cyberspace, Friendster, telah mampu menyedot perhatian jutaan manusia di muka bumi dan menjadikannya kecanduan.
Friendster, sesungguhnya hanyalah sebuah website yang berguna untuk tujuan afiliasi, yang memungkinkan seseorang dapat mencari dan ‘bertemu’ dengan kawan lama, kawan baru, hingga pasangan hidup. Ide adanya Friendster tidaklah dapat dilepaskan kepada konsep ‘Six Degrees Separation’, yang merujuk pada hasil-hasil penelitian seorang psikolog dari Universitas Harvard, Stanley Milgram, yang dilakukan sekitar empat dekade silam, dengan eksperimen melalui surat, untuk menyelidiki pola jaringan sosial di Amerika. Ia mendapati hasil bahwa, antara seseorang dengan orang lain di Boston dan Omaha (yang berjarak sekitar 2000 km), yang tidak saling kenal sekalipun, rata-rata terhubung hanya dengan enam rantai saja.
Konsep inilah yang kemudian dipakai oleh John Guare dalam pementasan teaternya dengan judul Six Degrees Separation. Salah satu tokoh dalam pertunjukan teater tersebut, Ouisa, berkata: ‘ Everybody on this planet is separated by only six other people. Six degrees of separation. Between us and everybody on this planet…’ (Watts, Duncan J: Small Worlds, The Dynamics Of Networks between Order and Randomness; 1999). Kemudian, judul yang sama juga digunakan sebagai salah satu film Hollywood.
Tidak hanya itu, bahkan ide ini juga diaplikasikan dalam sebuah permainan yang dibuat oleh Departemen
Ilmu Komputer Universitas Virginia pada sebuah website
(http://oracleofbacon.org/oracle/star_links.html). Permainan ini bermaksud membuat jaringan artis di seluruh dunia, baik artis film maupun televisi. Cara mainnya ialah; tinggal ketikkan dua orang nama artis yang berasal dari mana saja di bumi ini. Misalkan saja, Desy Ratnasari dengan Nicole Kidman, yang ternyata hanya terhubung hanya melalui empat rantai saja. Hubungan tersebut didasarkan atas film yang pernah dibintangi Nicole Kidman bersama dengan artis lain yang terus terhubung hingga Desy Ratnasari. Ini adalah hasil yang menarik, mengingat artis di seluruh dunia jutaan jumlahnya. Berikut tampilan pada website tersebut:
The Oracle says: Nicole Kidman has a Desy Ratnasari number of 4. Nicole Kidman was in Billy Bathgate (1991) with Paul (I) Herman Paul (I) Herman was in Top of the World (1997) with Martin Kove Martin Kove was in Without Mercy (1995) with Ayu Azhari Ayu Azhari was in Telegram (2001) with Desy Ratnasari
Penelitian di bidang jaringan kemudian semakin terpicu, setelah sekitar enam tahun silam B Profesor Sosiologi yang mantan fisikawan dari Universitas Harvard, Duncan J Watts, Matematikawan alumni MIT Peter Dodds, dan Mahasiswa program Doktor departemen Sosiologi Universitas Columbia yang juga alumni Fisika ITB, Roby Muhamad, melakukan serangkaian penelitian yang berhasil membuat sebuah model matematis untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana fenomena dunia kecil (Small Worlds Phenomenon) dapat terjadi.
Kembali kepada Friendster, para perancangnya membuatnya lebih kreatif daripada sekadar permainan artis milik Departemen Ilmu Komputer Universitas Virginia. Ini menyebabkannya digandrungi, setelah sebelumnya, masyarakat cyber keranjingan dengan chatting dan blog. Sebetulnya tidak hanya Friendster yang mengaplikasikan konsep yang sama, namun ada website lain seperti www.LinkedIn.com, hanya saja tujuannya lebih spesifik, dalam konteks tersebut, situs www. LinkedIn.com lebih mengarah pada kerangka bisnis dan perdagangan.
Dalam Friendster, tiap orang memilki profil masing-masing yang lengkap, mulai dari umur, jenis kelamin, interest, buku favorit, film favorit, sekolah, organisasi, tempat tinggal, tentang diri kita, siapa yang ingin kita temui, hingga foto yang dipajang, dimana dapat diupload lebih dari satu buah foto (maksimum lima buah). Hal seperti ini tidak jauh berbeda dengan website lain yang bertujuan membangun afiliasi /hubungan sosial. Yang membuat Friendster menarik, ialah adanya testimonials, yaitu pendapat-pendapat tentang diri seseorang oleh orang lain yang menjadi temannya, yang dapat ditulis dengan bebas dan seringkali isinya mengundang senyum dan tawa. Kemudian, kawan yang dimiliki oleh seseorang sebagai kawan 1st degrees, dapat diklik untuk membantu mencari kawankawan mereka (2nd degrees) yang bisa jadi merupakan kawan orang tadi, untuk kemudian di approve untuk menjadi kawan 1st degrees –nya. Demikian seterusnya, sehingga kita dapat mencari kawannya kawannya kawan atau lebih. Pada saat profil orang lain sedang ditampilkan, disana terdapat keterangan nama-nama pemakai Friendster yang menunjukkan jumlah rantai menuju diri orang yang sedang menggunakan loginnya.
Selain itu, seseorang dapat mencari kawanKlamanya berdasarakan kesamaan-kesamaan tertentu, bisa sekolah, organisasi, kesukaan, dan lain-lain. Tinggal mengetikkan kata kuncinya yang kemudian Friendster akan melakukan searching untuk menemukan orangorang yang menuliskan profilnya terdapat seluruh atau sebagain dari kata kunci yang diketikkan. Dengan demikian, Friendster dapat dijadikan ajang reuni via cyberspace. Hal ini dapat ditunjukkan dengan banyaknya pembuatan login bukan untuk pribadi, namun diberi nama sekolah, kampus, komunitas, dan sejenisnya, yang memungkinkan alumnusalumnus dapat saling berkumpul menjadi teman ‘sekolah’ atau ‘kampus’ tersebut. Di sisi sebaliknya, Friendster juga dapat mencari kawan baru berdasarkan apa saja yang seseorang sukai. Tidak jarang, baik kaum laki-laki maupun kaum perempuan, sangat menikmati Friendster lantaran dapat menngoleksi kawan barunya yang cantik-cantik atau ganteng-ganteng.
Fasilitas dalam Friendster memang cukup memanjakan. Disana ada fasilitas semacam email untuk saling berkirim surat dengan siapapun pengguna Friendster, juga ada fasilitas semacam mailing list dalam bentuk bulletin board. Pada bulletin board inilah, banyak
orang yang menyenanginya lantaran banyak berisi hal-hal yang sekadar iseng-iseng, konyol, kucu, dan berandai-andai daripada pengumuman atau informasi yang lebih bermutu atau serius.
Meski melalui Friendster tidak dapat fasilitas chat, namun dengan fasilitas lainnya yang lebih tersebut, menjadikan dunia Friendster dapat dikatakan memilki tingkat kebohongan yang relatif lebih rendah daripada chatting, lantaran pada chatting mayoritas orang hanya mengetahui sekadar nickname-nya saja tanpa mengetahui apapun lainnya sebelum melakukan chat. Bukan berarti kemudian tingkat bohong tidaknya dalam Friendster lantas menjadi rendah. Dunia Friendster, juga menyimpan banyak keraguan dan kamuflase. Banyak terdapat disana tokoh-tokoh nasional maupun internasional, artisartis, para calon presiden RI, hingga partai-partai politik, bahkan PKI sekalipun. Uniknya, sekalipun sulit diketahui kebenarannya dari tokoh-tokoh dan artis-artis tersebut, selalu saja membludak orang-orang yang menghubungkannya menjadi teman, dan demikian pula dengan testimonial-nya, dipenuhi dengan pujian-pujian terhadap idolanya tersebut. K
Tidaklah mengherankan, jika kemudian Friendster menjadi keasyikan tersendiri bagi para pengguna cyberspace. Bahkan tidak sedikit orang yang membukanya tiap hari. Sebagai contoh ekstrim –meski tidak bisa digeneralisir-, ada seorang kawan yang selalu membuka situs tersebut setiap 10-30 menit sekali. Saking mengejalanya, Friendster dan dinamikanya seringkali menjadi bahan obrolan, baik di kantor, sekolah, dan kampus. Memaksa mengisi testimonial, minta di-add, kecengan baru, koleksi foto-foto cantik dan tampan, berlomba banyak-banyakan teman dalam waktu tertentu, bertemu kawan lama, hingga janjian untuk copy darat, adalah sekitar obrolan-obrolan tersebut. Itulah sebabnya, banyak perkantoran yang mulai memblok website tersebut, karena menurunkan kinerja karyawan. Jadi sesungguhnya, modernisme yang dahulu selalu dielu-elukan sebagai pembebas manusia dari segala kungkungan berhala dan mitos abad pertengahan yang dianggap menindas, kini justru menjadikannya sebagai berhala dan mitos baru yang bahkan lebih menindas.
‘Tuhan’ Baru? Fenomena Friendster, mengingatkan akan pendapat Jean Baudrillard, seorang pemikir Perancis, yang mengidentifikasi masayarakat barat saat ini sebagai masayarakat simulasi. Masyarakat simulasi ialah masyarakat yang hidup dengan ragam tanda, citra, kode dan sejenisnya yang merupakan hasil produksi ataupun reproduksi dalam sebuah simulacra. Istilah simulacra, seperti dikatakan Baudrillard, merupakan sebuah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Simulacra yang terjadi pada saat ini, merupakan tingkatan
ketiga
sejak
zaman
Renaissans,
yang
timbul
sebagai
ekses
dari
berkembanganya ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun dalam mekanisme simulasi, sesungguhnya manusia terjebak atau dijebak dalam sebuah ruang realitas yang dianggapnya nyata, yang padahal semu dan marak rekayasa.
Dalam wacana simulasi tersebut, menjadikan perbedaan antara yang maya dengan yang nyata, benar dan salah, jujur dan bohong, asli dan buatan, sangatlah tidak kentara, semuanya melebur menjadi satu. Efek lain yang dihasilkan, ialah mampu membuat hal yang menakjubkan dengan mereproduksi )realitas, nostalgia dan masa lampau, dan mencipatakan fantasi-fantasi.
Begitulah yang terjadi dalam dunia Friendster, menjadi tidak jelas dan tipis batasannya antara yang benar dan yang salah, jujur dan bohong, asli dan tiruan. Isian pada kolom testimonial, dapat bermakna jamak, mengingat kecenderungan manusia untuk cenderung suka dipuji, yang pada akhirnya terkait dengan eksistensi diri sebagai seorang manusia. Padahal bisa jadi --tanpa bermaksud pretensi negatif--, pujian-pujian yang dilontarkan kepada kawan seseorang dimaksudkan sebagai umpan balik untuk memuji dirinya, yang keduanya juga belum tentu benar sesuai dengan realitas aslinya. Kemudian, dengan banyaknya orang yang menghubungkan dirinya dengan artis-artis, dan dengan melihat isi testimonial dari mereka untuk sang artis, sesungguhnya mereka sedang memodelkan dirinya menjadi seperti sang artis idolanya tersebut, yang bisa jadi pemodelan atas diri sang artis itu diimajinasikannya lewat film dimana sang artis berperan. Inilah yang seringkali memunculkan fantasi-fantasi untuk menjadi seperti apa yang diidolakannya. Disisi lain, sang artis, katakanlah artis nasional, sesungguhnya tidak menjamin bahwa ia
‘menjadi’ dirinya sendiri, melainkan juga terjebak dengan memodelkan dirinya dengan artis-artis Barat dengan segala gaya hidupnya, dan segala ragam tanda dan citra.
Menurut Yasraf Amir Piliang, cyberspace adalah salah satu wahana pengembaraan ‘roh’ sebagai salah satu bentuk pengalaman spiritual, dengan asumsi bahwa manusia dapat masuk ke dalam cyberspace tanpa perlu membawa daging/tubuhnya. Namun demikian, cyberspace juga menyimpan paradoks-paradoks spiritualitas, yaitu antara berguna sebagai penyalur daya spiritualitas atau sebagai ‘spiritualitas’ itu sendiri, atau antara hakikatnya sebagai ‘pengingat kesucian’ Tuhan atau sebagai ‘Tuhan’ itu sendiri (Kompas, 19 April 2000)
Dan masih menurut Yasraf, cyberspace juga menyimpan paradoks lain, yaitu saling berpadunya hal-hal yang berisi kesenangan, kegembiraan, keterpesonaan, dan sejenisnya, yang pada sat yang sama, bersanding dengan sisi paling buruk dari manusia, yaitu kebrutalan, kekerasan, kebencian dan sejenisnya. )
Friendster, dengan melihat fenomenanya, dapat dikatakan -pada satu sisi- telah menjadi ‘Tuhan’ baru, suatu ‘Tuhan’ digital, ‘Tuhan’ cyber, yang bisa jadi hanya bersifat sementara sebelum kemudian manusia memindahkan ‘Tuhannya’ tersebut pada aplikasi lainnya dalam dunia cyber pada rentang waktu yang lain. Dengan kata lain, cyberspace adalah ‘Tuhan Tetap’, dan Friendster sebagai ‘Tuhan Temporer’-nya, atau hanya sebagai ‘Sub-Tuhan’, jika memang tidak hanya Friendster saja yang di-‘Tuhan’kannya. ***
Penulis adalah Mahasiswa Tingkat Akhir Departemen Fisika ITB Bandung