1
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
2
HIBRIDA PAMERAN SENIMAN INDONESIA FRANCIS SURJASEPUTRA
PENANGGUNGJAWAB KOMITE SENI RUPA DEWAN KESENIAN JAKARTA PENYUSUN ANDIKE WIDYANINGRUM PENYUNTING HELLY MINARTI PROOFREADER ANA ROSNIANAHANGKA DESAINER GRAFIS RIOSADJA, TARIS ZAKIRA FOTO-FOTO FRANCIS SURJASEPUTRA / KOLEKSI PRIBADI
KOMITE SENI RUPA - DEWAN KESENIAN JAKARTA TAMAN ISMAIL MARZUKI, JL. CIKINI RAYA NO. 73 JAKARTA 10330 T/F: +6221.31937639 • WWW.DKJ.OR.ID
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
3
DEWAN KESENIAN JAKARTA (DKJ) ADALAH SALAH SATU LEMBAGA YANG DIBENTUK OLEH MASYARAKAT SENIMAN DAN DIKUKUHKAN OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA, ALI SADIKIN, PADA TANGGAL 7 JUNI 1968. TUGAS DAN FUNGSI DKJ ADALAH SEBAGAI MITRA KERJA GUBERNUR KEPALA DAERAH PROPINSI DKI JAKARTA UNTUK MERUMUSKAN KEBIJAKAN GUNA MENDUKUNG KEGIATAN DAN PENGEMBANGAN KEHIDUPAN KESENIAN DI WILAYAH PROPINSI DKI JAKARTA. ANGGOTA DEWAN KESENIAN JAKARTA DIANGKAT OLEH AKADEMI JAKARTA (AJ) DAN DIKUKUHKAN OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA. PEMILIHAN ANGGOTA DKJ DILAKUKAN SECARA TERBUKA, MELALUI TIM PEMILIHAN YANG TERDIRI DARI BEBERAPA AHLI DAN PENGAMAT SENI YANG DIBENTUK OLEH AJ. NAMA-NAMA CALON DIAJUKAN DARI BERBAGAI KALANGAN MASYARAKAT MAUPUN KELOMPOK SENI. MASA KEPENGURUSAN DKJ ADALAH TIGA TAHUN. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KESENIAN TERCERMIN DALAM BENTUK PROGRAM TAHUNAN YANG DIAJUKAN DENGAN MENITIKBERATKAN PADA SKALA PRIORITAS MASING-MASING KOMITE. ANGGOTA DKJ BERJUMLAH 25 ORANG, TERDIRI DARI PARA SENIMAN, BUDAYAWAN DAN PEMIKIR SENI, YANG TERBAGI DALAM 6 KOMITE: KOMITE FILM, KOMITE MUSIK, KOMITE SASTRA, KOMITE SENI RUPA, KOMITE TARI DAN KOMITE TEATER.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
4
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
5
SAMBUTAN DEWAN KESENIAN JAKARTA
SALAM budaya, Tradisi avant-garde seringkali meninggalkan jarak apresiasi yang jauh antara seniman dan masyarakatnya, karena keberanian para pelaku untuk melompat meninggalkan masyarakatnya demi kreativitas dan inovasi. Namun, ha lini diperlukan karena semangat petualangan kreatif wajib ada untuk selalu menafsir kehidupan. Seperti dalam ilmu pengetahuan, seni terus menafsir. Berulang-
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
6
ulang dengan berani menafsir ‘kebenaran’. Praktek senirupa akhir-akhir ini memperlihatkan semangat para perupa kontemporer untuk mendekatkan jarak apresiasi tersebut. Melalui pendekatan-pendekatan dan cara pandang yang membebaskan, pemakaian idiomidiom seni yang mengejutkan, seringkali menghadirkan lintas disiplin ilmu pengetahuan, (sosial, antropologi, psikologi, aritektur, …), juga lintas disiplin seni. Namun karena persoalan mendasar pada pendidikan (nasional) dan stigma yang terjadi di masyarakat luas bahwa seni hanya sekadar ‘hiburan’, praktek-praktek perupa kontemporer seringkali terasa eksklusif dan terkucil, alih-alih ingin membebaskan diri dari kutukan avant-garde, senirupa kontemporer Indonesia seringkali kembali terjebak pada ruang geraknya yang terbatas. Namun tidak demikian halnya dengan dunia ‘desain’. Lewat pendekatan fungsional, desain menyelinap dan berkelindan dengan nyaman memenuhi kebutuhan masyarakat akan ‘estetika’. Coba lihat, komposisi-komposisi etalase (window display) toko-toko di pusat perbelanjaan yang seringkali terlihat lebih ‘indah’ dibanding banyak produk seni instalasi di galeri-galeri dan ruang pamer. Meskipun seringkali nilainya menyusut oleh kepentingan kerangka kapitalis yang memanfaatkan dan menciptakan nafsu belanja yang di lain sisi tidak pernah memuaskan “masyarakat”. Desain juga acapkali memberontak dan menggugat. Sejarah dunia fashion memperlihatkan gejalagejala ini. Kita masih ingat betapa semangat pemberontakan punk mengilhami dunia fashion, juga tato dan tindik (piercing). Dengan adanya permintaan ‘pasar’ yang besar, para desainer Indonesia bekerja (dan bereksperimen..) tidak hanya memenuhi aspek ‘fungsi’ tetapi juga estetika. Nampaknya desain mampu mengisi ‘kekosongan’ jarak apresiasi masyarakat yang muncul karena praktek semangat avant-garde. HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
7
Demikianlah, karenanya Komite Senirupa Dewan Kesenian Jakarta memandang perlu untuk mendorong dunia desain dengan memamerkan karya Francis Surjaseputra, seorang desainer interior dan produk. Kita akan diajak tidak hanya menikmati karya-karyanya, namun sekaligus memahami latar belakang pemikiran proses kreasinya dalam pameran ini. Dengan latar belakang 240 juta jiwa rakyat Indonesia, (yang berarti munculnya 240 juta kebutuhan berbagai produk ‘desain’...), sangatlah sayang jika kita tidak memandang penting dan mendukung proses kreatif para desainer Indonesia. Pada akhirnya desain tidak saja bicara fungsi, tetapi juga ‘keindahan’. Salam, Jakarta, Desember 2014
Irawan Karseno Ketua Umum Pengurus Harian
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
8
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
9
KURATORIAL
PELEBURAN WILAYAH CHANDRA JOHAN )*
1 KALAU kita mencermati perkembangan dunia ‘desain industri’ di Indonesia (di kalangan akademis dikenal dengan nama ‘industrial design’ atau ‘product design’) maka kita menemukan beberapa lapisan yang khas: pertama, yang cukup dominan dan sangat bernafaskan mesin industri, adalah karya-karya desain yang sepenuhnya menampakkan citra modern tanpa embel-embel ‘menggali kearifan lokal’ dan sebagainya. Tentu saja produk yang dihasilkan
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
10
memperlihatkan wajah keinternasionalan, apakah berupa furniture, peralatan rumah tangga sehari-hari atau lainlainnya. Kedua, karya industri kreatif yang lazim disebut ‘craft’, dimana unsur-unsur lokal cukup dominan; dan yang ketiga, karya desain yang mencoba mengawinkan kedua unsur tersebut dengan pendekatan kreatif yang tampak lebih eklektik dan modern. Ketiga generalisasi tersebut dapat kita saksikan dalam pameran-pameran besar furniture dan industri di Jakarta atau di kota-kota besar di Indonesia. Jarang kita temukan pameran desain yang betul-betul menggulirkan sebuah konsep yang baru dan beresiko. Meninjau unsur yang pertama adalah penafsiran dari spirit modernisme internasional yang berbasis pada spirit masinal industrialisasi abad ke-20. Dalam dunia desain dan arsitektur, visi utama modernisme adalah mengembangkan bahasa bentuk yang sesuai dengan zaman ‘kekinian’ yang terstruktur. Kata modern dan ‘kekinian’ ditekankan secara khusus karena beruhubungan dengan filsafat positivisme logis yang menalar setiap bentuk dari hukum-hukum fisiognomi dan sifat fisikokemikal material- sembari menolak gaya ornamental yang diturunkan turun temurun. 2 DALAM sejarah seni dan desain, sumbangan paling besar dalam menegakkan nilai-nilai modernisme ini adalah Bauhaus, sebuah ajang pendidikan modern di Jerman di awal abad 20 yang berpengaruh besar dalam membentuk watak internasionalisme, yang dapat kita temukan di sekolah-sekolah seni dan desain di seantero jagad ini. Bauhaus menolak nilai-nilai craftsmanship bentuk dari masa lampau yang tidak sesuai lagi dengan asas-asas jaman modern yang mengutamakan fungsi, efisiensi dan keringkasan, yang tentu berlawanan dengan desain yang mengutamakan penghiasan dan beatification dari masa
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
11
sebelumnya. Ide Bauhaus akhirnya jelas bahwa desain haruslah mengutamakan fungsi dari pada bentuk, dan karena itu secara ideologis desain berbeda dengan seni, craft ataupun kitsch. Meskipun pada kenyataannya di era Bauhaus, keterpautan seni, desain dan craft tidak serta merta lenyap jika kita cermati karya-karya Sol Lewitt atau Donald Judd. Namun demikian, gagasan dan pemikiran Bauhaus dianggap lebih sesuai dengan spirit modernitas, karena itu pula menjadi panutan internasional dan dapat diterima oleh perguruan tinggi seni rupa modern di dunia. Maka dari itu tidak heran jika sampai sekarang di perguruan tinggi senirupa modern, paradigma seni, desain dan craft dipercaya memiliki perbedaan satu dengan lainnya. Di Indonesia upaya menjebol batasan-batasan yang dianggap terlalu elitis ini pernah dicoba oleh GSRB (Gearakan Seni Rupa Baru), namun upaya GSRB itu hanya menunjukkan suatu kegelisahan dari kalangan seniman, dan bukan para desainer. Pada akhirnya yang terjadi adalah gerakan seni yang menerobos berbagai tapal batas senirupa. Ini berbeda dengan gerakan Anti-Design yang terjadi di Eropa pada tahun 1970-an yang digerakkan oleh para desainer dan arsitek. Mereka seakan menentang dirinya sendiri yang selama ini hanya membuat barang-barang pesanan untuk kepentingan mesin industri kaum kapitalis dan kalangan elit, serta melupakan peran desainer sesungguhnya sebagai ‘problem solver’ bagi masyarakatnya. Akhirnya mereka membuat barang-barang yang mengejek, mengangkat kembali fungsi ornamen, memperkenalkan kembali bahasa-bahasa simbolik dan metafora, suatu pendekatan desain yang justru ditentang oleh kaum modernisme formal dan fungsionalisme. Pada titik ini memang ada persamaan antara gerakan desain yang menentang formalisme dan fungsionalisme dengan
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
12
gerakan-gerakan seni kontemporer semasanya, khususnya pada Neo-Dada dan Conceptual Art atau ‘arte Povera’. Gerakan ini bertujuan untuk menjadikan desain sebagai seni yang mampu berperan sebagai media kritik. Anti-Desain dan Anti-Seni sampai sekarang masih saling terpaut dalam pameran-pameran besar di dunia internasional. Kecenderungan untuk membuat hiasan, eklektisme simbolik atau mengekspolitir kembali barangbarang kitsch adalah salah satu karakterisasinya. Sebuah sofa seperti ‘Joe Sofa’nya Lomazzo tampil sperti barang kitsch, berdampingan dengan patung-patung pop karya Claes Oldenburg dan seniman konseptual dari Superstudio dan Gruppo Strum seperti Gaetano Pesce, Ugo La Pietra, Emilio Ambasz, Ettore Sottsass Jr. Di tangan mereka desain ‘berbicara’ : desain bisa mengangkat persoalan mitologis, desain bisa membangkitkan kesadaran social; intinya, desain bukan sekedar untuk dipakai dan dikonsumsi. Desain telah menjadi media kritik diri, sebagaimana halnya kritik dan cemoohan Dada terhadap masyarakat absurd pada zamannya. Dalam beberapa hal visi, para desainer-seniman ini sangat utopis, seperti tercermin dalam tulisan Marco Zanuso tentang Radikalisme dan Anti Desain: Desainer bukan lagi seorang perancang agar membuat rumah atau barang menjadi kelihatan indah, manis dan berfungsi fisikal. Desainer adalah orang yang bergerak dalam persoalan dialektis, dan menstimulir pola perilaku yang memberi kesadaran penuh agar terjadi suatu equilibrium bagi nilai-nilai baru dan pada akhirnya melahirkan suatu evolusi dan penemuan kembali manusia itu sendiri… Kegelisahan para desainer dan arsitek ini melahirkan karya desain-seni yang saling melebur dan kabur batasbatasnya.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
13
3 MESKIPUN di Indonesia belum pernah terjadi gerakan desain yang radikal seperti di Eropa pada tahun 1970an, peleburan desain dan seni mulai terlihat dalam Biennale Desain dan Kriya 2013. Dalam Biennale tersebut desain mengalami perubahan dan perluasan makna, sebagaimana terjadi dalam dunia senirupa kontemporer saat ini. Batasbatas antara seni, desain dan kriya diterobos, sehingga memberi peluang bagi karya desain untuk dikaji dari sudut pandang senirupa. Dalam skala yang lebih kecil, pameran ICAD pada tahun 2010 adalah juga sama, berupaya meleburkan proses penciptaan desain-seni. 4 DALAM khasanah pemikiran senirupa kontemporer, watak peleburan ditengarai sebagai semangat pembongkararan berbagai batas wilayah yang selama ini ditegakkan secara normatif-formal, khususnya yang sebelumnya dibangun berdasarkan oposisi biner (seni/desain, seni rendah/ seni tinggi dan seterusnya) sedemikian rupa, sehingga menimbulkan konsekuensi peleburan batas dan pencairan kategori. Pencairan pada tingkat moral memang akan menimbulkan ketidakpastian nilai seperti benar/salah, boleh/tak boleh, pantas/tak pantas, namun pada tataran kreatifitas, peleburan menjadi sebuah konsekuensi zaman yang senantiasa berubah. Pada realitas pernandaan, misalnya, peleburan sedang terjadi secara terus menerus, yang melenyapkan batas: realitas/fantasi, fakta/fiksi dan sebagainya. 5 MAKA, Pameran Biennale Desain dan ICAD (Indonesia Contempporary Art & Design) adalah contoh terjadinya
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
14
peleburan itu yang dimulai dari kegelisahan para desainer untuk melarikan diri dari rutinitas dan kungkungan industri, serta membuat karya-karya eksperimentif yang keluar dari pakem desain per se. Dari pameran-pameran tersebut, wacana desainseni muncul sebagai paradigma senirupa kontemporer, yang memungkinkannya untuk masuk ke dalam pameranpameran senirupa kontemporer, dan pelakunya dapat dipandang sebagai individu yang penting. Hal ini bukan sesuatu yang baru dalam dunia gemerlap desain fashion. Dalam dunia desain fashion, desainer menjadi individu penting, dan karya mereka dilirik sebagai brand tersendiri sebagai hip. Sesungguhnya proses produksi industri tak menghalangi terjadinya individuasi. Sebagaimana hal dunia senirupa dan fashion, persentuhan desain-seni dalam karya-karya mereka akan melahirkan karya-karya yang hip, dan desainernya menjadi star-designer. Walaupun produk yang mereka hasilkan bukan one of a kind, mereka tetap melahirkan produk yang terbatas—untuk menunjukkan keistimewaannya—dengan penyebaran yang bisa lebih luas dan masif. Itu sebabnya mereka dinilai “… the heroes of a myth about the capacity of an autonomous individual to reshape the world”. Kapasitas para desainer tersebut untuk menjadikan nama mereka sebagai brand sama saja dengan artist’s signature. Mitos desainer yang otonom sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Chales Eames di tahun 1960an atau Phiip Starck, Luigi Colani di tahun 1980an menyandang gelar sebagai star-designer. Sebaliknya, nama-nama seniman yang meleburkan dunia seni ke desain, seperti Yayoi Kusama, Takashi Murakami, Donald Judd, Sol Lewitt, Barbara Kruger, memberi peluang bagi desainer untuk berkiprah secara lebih individual.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
15
6 FRANCIS Surjaseputra, sepanjang yang saya ketahui, termasuk salah seorang ‘hacker’ dalam dunia desain. Sejak penampilan karyanya dalam pameran ICAD, karya Francis sudah memperlihatkan watak personal yang kuat dengan semangat peleburan batas-batas kategorial. Dalam karyakaryanya nilai-nilai desain, seni dan kriya melebur jadi kesatuan. Dengan kebebasan yang dimilikinya, beberapa karyanya lebih nampak sebagai barang desain-seni yang kuat dengan unsur simbol dan metafor. Bagi Francis, karyanya bukan hanya solusi bagi problem fisikal desain, melainkan malah ungkapan bagi problem kehidupan seharihari; karya desain yang justru mengandung problematic di dalam, karena karya itu ‘berbicara’ tentang sesuatu yang tak selesai, atau menjadi alat untuk bercermin diri. Di Indonesia masih langka karya desain yang mencoba ‘berbicara’ atau menjadikannya sebagai alat kritik. Karena itu pameran desain bertajuk Hybrid karya Francis Suryasahputra yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta ini menjadi cukup menarik dalam membuka cakrawala senirupa. 7 DILIHAT dari kecenderungan pameran seni dan desain yang pernah ada, maka pameran ini terasa tidak lazim, karena Francis tidak sepenuhnya memperlihat karya desain per se. Pada karya-karya Francis, dapat kita lihat berbaurnya antara penalaran desain, penanganan craftsmanship dan ekspresi personal yang bersinggungan dengan dunia seni. Di tangan Francis, desain bukan sekedar barang bisu yang sekedar untuk dikonsumsi. Desain sebagai benda pakai mengandung makna dibalik bentuk rancangannya. Demikianlah yang tersaji pada FurniLove. FurniLove adalah sebuah konsep furniture yang
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
16
mampu melayani atau merespon kebutuhan manusia secara interaktif dalam membangun hubungan intim. Rancangan ini menghidupkan benda untuk tidak teralienasi dari pemakainya. Karya ini memperlihatkan interaksi manusia dan barang yang dipakainya secara lebih intim. Pada karyanya yang lain, Suru, Francis menciptakan beberapa variabel ‘sendok’ yang sangat popular di masyarakat kala itu. Di Indonesia ‘suru’ adalah alat makan dari daun pisang yang dilipat sedemikian rupa yang muncul dari kebiasaan spontan masyarakat ‘otak atik gathuk’ yang membutuhkannya saat darurat. Di sini Francis membangun personal branding atas ‘suru’ yang nyaris hilang dan terlupakan. Demikian juga pada FurniLove. Dan pada kedua karya tersebut Francis mengawinkan nilai-nilai craft dengan pakem-pakem desain kontemporer. Sementara pada karyanya yang lain, Francis membuka kemungkinan bahwa dunia desain tidak terbatas hanya sekedar membuat barang, melainkan menciptakan hubungan imajiner antar manusia dan barang secara lebih interaktif. Desain yang diciptakan oleh oleh Francis adalah pengkoordinasian antar manusia melalui alat komunikasi, sehingga terjalin interaksi. Meninjau pameran Francis ini kita disajikan keluasan kemungkinan dari senirupa kontemporer. Bagaimanapun hal ini bisa terjadi karena Francis tidak memposisikan dirinya dalam design constraint, tapi meluaskan kemungkinan dari desain sebagai ‘art’. Desain-art atau desain-seni dalam kaitannya dengan craft-base production sesungguhnya sangat sesuai dengan konteks Indonesia. Dengan kemampuan craftsmanship Indonesia yang tak bisa diragukan, para desainer sebenarnya sudah diberi peluang untuk tampil secara personal dalam wacana senirupa kontemporer. Salah satu kelemahan produk desain-seni yang berbasis pada craftsmanship dan industri
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
17
adalah persoalan branding. Belum banyak desainer yang bergerak di lapangan ini memunculkan namanya sebagai star designer, seperti halnya George Hansen, Luigi Colani, Philip Starck, Tom Ford, Anne Asenio dan lainnya. Selain Francis, memang ada nama-nama lain yang mulai melakukan branding pada dirinya sendiri, seperti Singgih Kartono, Adhi Nugraha dan Amirul Nefo.
)* Chandra Johan, Pengamat Senirupa.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
18
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
19
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
20
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
21
FURNILOVE
FURNILOVE adalah sebuah seri furniture yang didedikasikan ke cinta/love. Sebuah kolaborasi diawali ditahun 2012 bersama seniman Irawan Karseno dan manufaktur Byo living. Rocking Bed atau ranjang goyang adalah sebuah proyek kinetik di mana pada desain tersebut kegunaan sebua hranjang berubah pada saat dia dapat bergerak. Multi function furniture yang memungkinkan pengguna bereksperimen terhadap sebuah objek sehari hari yang dapat bergerak.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
22
SHELL
SHELL adalah bagian dari FurniLove, sebuah karya instalasi desain di mana masa depan, privasi adalah sebuah kebutuhan yang semakin menajam karena ruangan akan menjadi lebih kecil dengan nilai properti yang melonjak. Shell adalah sebuah instalasi kamar tidur yang sudah berubah menjadi sebuah furnitur karena keterbatasan ruang.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
23
7
7 atau pitu adalah sebuah interpretasi dari cerita rakyat terkenal, Joko Tarub. Sebuah karya kolaborasi dengan Doddy Obeng, “Saya percaya, bahwa bidadari dari surga ini tau bahwa ia sedang diintip. Diceritakan pula bahwa mereka tidak tau jika bidadari ini titisan Dewa yang sedang menggoda manusia. Kecantikan itu relatif, itu sebabnya wajah cantik bisa dignatikan oleh payudara atau tubuh. Jadi, dalam karya ini, kaki jenjang sangat istimewa. Inilah bagaimana kami menerjemahkan seksi”.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
24
PLAYBATH
PLAYBATH adalah sebuah bathtub dengan kedalaman pas yang mempersilakan pengguna merasakan pengalaman berbeda. Sebuah ruang nyaman untuk dua orang bermain di dalamnya, manjadikan mandi bukan hanya sekadar pengalaman membersihkan diri tapi sekaligus menyenangkan pasangan.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
25
JAVA
JAVA, kursi kantor dengan solusi desain yang memungkinkan pengguna merasa lebih nyaman di bersandar pada punggung kursi (berbahan tenun). Desain ini juga mencerminkan nuansa tropis setiap karya yang memungkinkan pengguna lebih bebas bergerak . (IGDS 2011 Penghargaan dari Kementerian Perindustrian )
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
26
SIRAMAN
SIRAMAN didesain berdasarkan atas cara kita mandi di masa lalu sebelum bathtub dan shower dikenal pada awal 70-an. Istilah ‘Siraman’ juga dikenal sebagai ‘Gebyuran’ adalah cara mencuci diri dengan menuangkan air dari gayung. Desain ini diperkenalkan kembali sebagai alternatif cara kita mandi.
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
27
BIODATA
FRANCIS SURJASEPUTRA FRANCIS Surjaseputra – Malang, 22 Juni 1967. Pada umur 15 tahun, dia sekolah di Brockwood Park School dan melanjutkan studi di Bath Collage of Higher Education in Bath, Inggris. Kemudian dia melanjutkan ke Parsons School of Art and Design in Paris France, jurusan Interior and Environmental Design. Francis menerima beasiswa dari Parsons untuk mahasiswa berbakat dan lulus pada tahun 1990. Karirnya di Indonesia di mulai di Bali ‘Center of the Art of Living’. Dia memulai perusahaannya sendiri 'PT. Axon 90 (akson puluh sembilan) 'pada tahun 2002. Sejak itu, ia aktif di berbagai bidang desain. Saat ini Dia juga menjabat sebagai Presiden HDII (Himpunan Desain Interior Indonesia) untuk masa jabatan 203 -2015, dan juga sebagai ketua APSDA (Asia Pacific Space Designers Alliance) 2012-2014 dan merupakan anggota kehormatan dari CIDI (Consejo Iberoamericano de Disenadores de Interiores).
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA
28
HIBRIDA // PAMERAN SENIMAN INDONESIA // FRANCIS SURJASEPUTRA